LEGAL ASPECT OF INFORMED REFUSAL BY PATIENT ASPEK HUKUM TERHADAP PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED REFUSAL) OLEH PASIEN
By Dina Adhareni
Doctor, patient and hospital are three legal subjects which connected to each other in the field
of
health maintenance. The relationship between doctor and patient that can be seen through theview of legal aspect is existence of relation between one legal subject to other. This relation is bounded in form of medication, where the doctor should not guarantee the cure of the patient.
However, it is the doctor's obligation to certifu that the patient has been taken care by morimum
endeavor. Due to this condition, inspanning verbintenis is generated. This research is aimed to know, understand and analyze the patient's right to refuse any medical procedures or curative
forces. It is also intended to identiff the principal reason of medical procedure refusal as well as legal impact of that informed refusal.
This research is using normative approach with descriptive method
in specific. The
data is sourced from secondary resource which is done through library research such as laws. The datathen was analyzed by using qualitative method.
This research found that patient has right to refuse any medical actions performed by the doctor.
It is
based on the therapeutic transaction between doctor and patients which is built by thepatient's
right
to
health care and the rightof
self-determination. Both rights must be acknowledged and honored. The basic core of informed refusal by patient is the patient willbe responsible for his entire refusal to any health care by the doctor. The legal impact of informed refusal by patient is that the patientwill be
responsible for the risks sourced from his refusal.Aside, the patient
will not be able to put a legal lawsuit
against the doctor or the hospital as health care facilitation if in case any unfortunate events happened because of his refusal.(2)
ABSTRAK
ASPEK HUKUM TERHADAP PENOLAKAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED REFUSAL) OLEH PASIEN
Oleh Dina Adhareni
Dokter, pasien, dan rumah sakit adalah tiga subyek hukum yang terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum yang kemudian mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien yang pada pelaksanaannya dokter tidak boleh menjanjikan kesembuhan kepada pasien, tetapi dokter harus berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan pasien. Oleh karena itu terbentuklah apa yang disebut dengan perikatan ikhtiar (inspanning verbintenis). Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak pasien untuk menolak terhadap prosedur medis atau tindakan kedokteran tertentu, mengetahui inti dari penolakan tindakan kedokteran, serta akibat hukum adanya penolakan tindakan kedokteran (informed refusal).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif. Data dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder yang dilakukan dengan cara mengadakan studi kepustakaan (library research), undang-undang dan kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa Pasien memiliki hak untuk menolak dilakukannya tindakan kedokteran. Hal ini didasarkan pada adanya transaksi terapeutik antara dokter dan pasien yang erat kaitannya dengan pelaksanaan hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan (the right to health care), dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination)
yang harus diakui dan dihormati, Inti dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien adalah pasien akan menanggung segala akibat dari penolakan tindakan kedokteran tersebut, Akibat hukum dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien adalah pasien akan menanggung sendiri risiko yang terjadi atas dampak penolakan tindakan kedokteran tersebut. Selain itu pasien tidak dapat mengajukan gugatan terhadap dokter ataupun rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan apabila terjadi hal-hal yang merugikan pasien akibat dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien tersebut.
(3)
KEDOKTERAN (INFORMED REFUSAL) OLEH PASIEN
OLEH
DINA ADHARENI
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada
Jurusan Sub Program Hukum Bisnia Program Pascasarjana Magister Hukum
Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG
(4)
NamaMahasiswa
No- Pokok Mahasiswa Pr+gram Kekhrlsr*s** Program Studi fakuttas
Pembimbiag Utama,
: Dina Adhareni :1222011056 : Huk*.*n Bisr*is
: Program Pascasarjana Magister Hukum
: Hukum
MEI\rYETUJT.N Dosen Pembimbing
Pembimbing Pendamping,
Ih, Hamzah, S.H"I!{.E
Nip 1969S520 199802 t O01
M{NGETAHUI
Ketua Fro gram PascasarjanaProgram St$di Magister Hskutrr Fakslt*s Hr:krls$
'. Muhammad Fakih' S.H.' 1l[S.
1964i218 198803 1002
ir
Anw*r, S,H., M.trtrum.(5)
1. Tim Penguji
Fembimbing
I
Pe,mbimbingII
Fenguji
Pengqii
Penguji
:
Ilr. Muhammad Fakit, S,I{r M.S.:I)r.H*mzahrSH-ML
: Dr.
Ifi.
Ileryandi, S.H., M.S.
:Ilr.
IfS. Tisnanta, S.H., M.H.: Dr. WaLyu Sesougko, S.H", M,H"
Fakult+s Htrkurn
eryandi, S.fl., M-'S. 1109 198703 I 0S3
ffi
Ui:,n.nN
Pascasarjana
rwo, M.S.
I
198103 1 SO2(6)
I
LEMBAR PER}IYATAAIT
Dengan ini saya menyatakan yang sebenarnya bahwa :
1. Tesis dengan judul Aspek Hukum Terhadap Penolakan Tindakan Kedokteran
(Informed Refusal) Oleh Pasien, adalatr karya saya sendiri dan saya tidak melakukan peaiiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain melalui tata caru yang tidak sesuai dengan etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik
atau yang disebut plagiatisme.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah
ini diseralrkan
sepenuhnya kepada UniversitasLampung.
Demikian pernyataan
ini saya
buat, apabila dikemudian hari ternyata ditemukanadanya ketidakbenaran atas pernyataan saya ini, maka saya bersedia menanggung akibat dan sanksi hukum yang berlaku.
Bandar Lampung, 20 Juri20l4
Pembuat pernyataan
(7)
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 September 1983, anak kedua
dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Haylani dan Ibu Siti Zuraida.
Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 4 Gulak-Galik diselesaikan pada tahun 1995,
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 25 Gotong Royong diselesaikan pada
tahun 1998, Sekolah Menengah Umum 10 Bandar Lampung diselesaikaan pada tahun
2001 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Hukum Unversitas
Lampung melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Pada tahun 2005 penulis berhasil mencapai gelar Sarjana Hukum lulusan dari
Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan pada tahun 2012 melanjutkan
pendidikan pada Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Lampung dan
(8)
MOTO
Teruslah berusaha walau rintangan sebesar apapun ada dihadapan kita Jangan pernah menyerah dalam segala kondisi
Karna Allah SWT tidak memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya
(9)
(10)
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap Alhamdulillah hirobbilalamin puji syukur kehadirat Allah SWT
dan Nabi Muhammad SAW atas segala anugerah yang diberikan kepada kepadaku
dan dengan kerendahan hati dan penuh rasa hormat, kupersembahkan karya
sederhana ini kepada : Bapak ku tercinta Haylani, S.E. dan Mama ku tersayang Siti
Zuraida atas segala doa, dan dukungan, serta kasih sayangnya yang selalu diberikan
disetiap saat.
Abang ku Dani Jaya Kesuma, S.Kom., M.T., Mbak ku Meliana serta Adek ku Yusuf
Romadhan,S.H. terima kasih atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepadaku.
Anak-anak ku tersayang Nadil dan Erza yang selalu membuat hidup bunda menjadi
(11)
ABSTRAK
I.
PENDAHT}LUAh{A.
Latar BelakangMasalah
... IB.
Permasalahan dan RuangLingkup
...10C.
Tujuan dan KegunaanPenelitian..
...11D.
Kerangka Teori danKonseptual...
...121.
KerangkaTeori...
...12a.
TeoriPerjanjian...
...132. Kerangka
Konseptual
...17E.
SistematikaPenulisan.. ...r...r....
...28II. TINJAUA1\i PUSTAKA
A.
Transaksi Terapeutik Dokter dan Pasien dalam RumahSakit...
...29B.
Eksistensi lnformed Consent dalam TindakanKedokteran
...39C. Penolakan Tindakan Kedokferan Qnformed Refusal) dalam TransaksiTeraupetik...47
III. METODE PEI\TELITIAN
A.
PendekatanMasalah
...51B.
Sumber dan JenisData...
...52C.
MetodePengumpulanData
...53D. Metode Pengolahan
Data...
...54E. Analisis
Data
...54IV. PEMBAHASAI{
A.
Hak Pasien untuk Menolak Tindakan Medis atau Tindakan Kedokteran Tertentu ...55B. Inti
Penolakan Tindakan Kedolrteran (Informed RefisafolehPasien
...-...85C. Akibat Hukum Penolakan Tindakan Kedokteran (infonned refusal) oleh Pasien...91
V.
IGSIMPULATI DAN SARANA.
Kesimpulan...
...99B.
Saran
...100..1
(12)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dokter, pasien, dan rumah sakit adalah tiga subyek hukum yang terkait dalam bidang
pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk baik hubungan medik maupun
hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara ketiganya adalah
hubungan yang obyeknya pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan
kesehatan pada khususnya. Dokter dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan sedangkan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Pelaksanaan
hubungan antara ketiganya selalu diatur dengan peraturan-peraturan tertentu agar
terjadi keharmonisan.
Hubungan dokter dan pasien dilihat dari aspek hukum adalah hubungan antara subyek
hukum dengan subyek hukum. Hubungan tersebut diatur oleh kaidah-kaidah hukum
perdata yang berisi pedoman ukuran bagaimana para pihak yang melakukan
hubungan melaksanakan hak dan kewajibannya, selain itu kaidah-kaidah tersebut
berisi pedoman tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh
dilakukan. Dilihat dari hubungan hukumnya, antara pasien dan dokter terdapat apa
yang dikenal dengan saling sepakat untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan
pengobatan bagi pasien, sehingga terbentuklah apa yang dikenal sebagai perikatan
(13)
Antara pasien dan rumah sakit juga mempunyai hubungan antara subyek hukum dan
subyek hukum yang diatur oleh kaidah-kaidah hukum perdata dan memenuhi
hubungan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak. Pasien sebagai
penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan
kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Hubungan antara pasien dan rumah
sakit pada prinsipnya diatur oleh suatu perjanjian atau kontrak, dimana rumah sakit
berkewajiban untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran
standar perawatan kesehatan. Oleh karena itu dengan adanya perjanjian antara pasien
dan rumah sakit maka lahirlah sebuah perikatan.
Doktrin ilmu hukum mengenal dua macam perikatan, yaitu perikatan ikhtiar
(inspanning verbintenis) dan perikatan hasil (resultaat verbintenis). Pada perikatan ikhtiar maka prestasi yang harus diberikan adalah berupa upaya semaksimal mungkin
yang hasilnya belum pasti. Sedangkan pada perikatan hasil prestasi yang harus
diberikan berupa hasil tertentu. Perikatan antara rumah sakit atau dokter dan pasien
dapat dikelompokkan sebagai perikatan ikhtiar. Rumah sakit atau dokter dalam
konteks ini diwajibkan untuk berusaha semaksimal mungkin berdasarkan
pengetahuan dan gejalanya untuk menyembuhkan pasien sesuai dengan standar
profesinya.
Pasien yang datang kerumah sakit untuk memeriksa kesehatannya akan menemui
dokter yang sesuai dengan keahliannya. Kedatangan pasien kerumah sakit untuk
menemui dokter, dalam konteks hukum perdata dapat dikonstruksikan sebagai sebuah
(14)
yang dialami pasien. Setelah pasien memberitahukan tentang kondisi kesehatannya,
kemudian dokter akan melakukan pemeriksaan. Proses tanya jawab antara dokter dan
pasien tersebut dalam bahasa kedokteran disebut anamesa. Tanpa disadari oleh dokter, dengan adanya anamesa maka telah terjadi apa yang disebut dengan penerimaan oleh dokter. Oleh karena itu dalam konteks ini telah terjadi suatu
penawaran dan penerimaan, yang pada akhirnya akan lahir suatu perjanjian yang
dalam doktrin ilmu hukum disebut sebagai transakasi terapeutik.
Para pihak dalam perjanjian atau kontrak antara pasien dan dokter bebas untuk
menentukan isi dari perjanjian atau kontrak yang mereka sepakati bersama dengan
syarat tidak bertentangan dengan undang-undang, kepatutan, kepantasan, dan
ketertiban, sebagaimana asas kebebasan berkontrak.1 Pada pelaksanaannya dokter
tidak boleh menjanjikan kesembuhan dari pasien, tetapi dokter harus berupaya
semaksimal mungkin menyembuhkan pasien (perikatan ikhtiar).
Pasien yang datang ke rumah sakit untuk kemudian menemui dokter yang dianggap
dapat membantu permasalahan kesehatan yang dialaminya akan memberikan
informasi kepada dokter tentang apa yang dikeluhkan perihal kesehatannya. Dokter
akan memberikan penjelasan yang cukup atas keluhan kesehatan pasien tersebut.
Penjelasan tentang tindakan kedokteran tersebut harus diberikan langsung kepada
pasien dan/atau keluarga terdekat, baik diminta maupun tidak diminta. Penjelasan
harus diberikan secara lengkap dan dengan menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti atau dengan cara lain yang bertujuan agar pasien mudah dalam memahami
1
(15)
penjelasan tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penjelasan tindakan kedokteran
tersebut antara lain berisi tentang :
1. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain, dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
6. Perkiraan pembiayaan.
Informasi atau penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh dokter merupakan hak
pasien sebagai subyek hukum yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor : 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran 2 dan Undang-Undang Nomor : 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebagaimana dalam Pasal 52 Undang-Undang
Praktik Kedokteran bahwa pasien dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran mempunyai hak mendapatkan informasi dan penjelasan secara lengkap
tentang tindakan medis. Pasien dalam kedudukannya sebagai konsumen pemakai juga
mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan kepastian serta perlindungan hukum.
Pemberian informasi yang lengkap dan adekuat mempunyai kedudukan yang
terpenting dalam hubungan terapeutik antara dokter dan pasien. Informasi yang
diberikan oleh dokter di rumah sakit harus secara lengkap, jelas, dan adekuat,
sehingga pasien dapat mengerti dan memahami tentang penyakit yang dideritanya.
(16)
Dengan adanya sejumlah informasi yang lengkap dari dokter kepada pasien atau
keluarganya, maka pasien akan menggunakan hak nya untuk menentukan diri sendiri
(the right of self determination) dan mengambil keputusan (informed decision). Pasien dalam hal ini akan menyetujui (consent) atau sebaliknya justru menolak
(refused) atas usulan dokter mengenai tindakan kedokteran yang akan di lakukan terhadap dirinya.
Pasien yang telah menyetujui tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
dirinya, maka pasien akan menandatangani formulir pernyataan persetujuan atas
tindakan kedokteran (informed consent) yang telah disediakan oleh rumah sakit. Sebaliknya apabila pasien menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadap dirinya maka pasien akan menandatangani formulir pernyataan penolakan
atas tindakan kedokteran yang telah disediakan oleh rumah sakit. Surat persetujuan
ataupun penolakan tindakan kedokteran tersebut dapat dikatakan sebagai salah satu
bentuk komunikasi antara dokter dan pasien ataupun keluarga pasien.
Penolakan tindakan kedokteran pada dasarnya adalah hak asasi dari seseorang untuk
menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya sendiri. Masih banyaknya
berbagai pihak baik masyarakat umum terutama pasien dan keluarga pasien dan
bahkan dokter ataupun institusi kesehatan yang kurang memahami arti dari penolakan
tindakan kedokteran, sehingga seringkali menjadi suatu hal yang tidak diinginkan
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dokter maupun pasien hendaknya memahami
(17)
timbul akibat persetujuan ataupun penolakan tindakan kedokteran terutama terhadap
hukum yang berlaku di Indonesia.
Penolakan tindakan kedokteran dapat terjadi karena faktor psikologis, faktor agama,
sosial dan yang paling banyak terjadi adalah faktor ekonomi. Apabila pasien menolak
terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, maka dokter berkewajiban
mencatat pernyataan lisan pasien dalam berkas rekam medik disertai catatan
mengenai hari, waktu, tanggal juga saksi-saksi yang turut mendengarkan pada saat itu
yaitu dari pihak dokter dan perawat.
Antara dokter, pasien, dan rumah sakit masing-masing memiliki hak dan kewajiban
antara satu sama lain. Secara umum hak adalah tuntutan seseorang terhadap sesuatu
yang merupakan kebutuhan pribadinya, sesuai dengan keadilan, moralitas, dan
legalitas. Mengenai hak pasien selalu dihubungkan dengan hak untuk mendapatkan
pemeliharaan kesehatan (The right to health care) yang menjadi hak utama pasien, yaitu hak untuk mendapatkan pemeliharaan kesehatan yang memenuhi kriteria
tertentu agar pasien mendapatkan upaya kesehatan, sarana kesehatan, dan bantuan
dari tenaga kesehatan yang memenuhi standar pelayanan kesehatan yang optimal.
Selain itu beberapa hak pasien juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yaitu:3
1. mendapatkan penjelasan sacara lengkap tentang tindakan medis,yang berisi :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
3
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, LN R.I No. 116 tahun 2004, TLN R.I No. 4431
(18)
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi;
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
2. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
3. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
4. menolak tindakan medis;
5. mendapatkan isi rekam medis;
Selain hak, pasien juga memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu meliputi :
1. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
2. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter/dokter gigi;
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana kesehatan;
4. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang telah di terimanya.
Selain Pasien, Dokter juga memiliki hak dan kewajiban yang masing-masing saling
berkaitan satu dengan yang lain. Adapun hak dan kewajiban dokter adalah sebagai
berikut :
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas, sesuai dengan
standar prosedur operasional;
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
(19)
4. Menerima imbalan jasa.
Selanjutnya kewajiban dokter adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional, serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu telah meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran gigi.
Dokter wajib memberikan informasi secara jujur dan benar. Batas kejujuran dan
kebenaran yang kadang-kadang sulit ditentukan. Bila dokter secara jujur dan benar
memberikan penjelasan dan secara luas menyampaikan risiko yang dapat terjadi,
dapat saja pasien menjadi takut dan menolak untuk memberikan persetujuan untuk
dilaksanakan tindakan kedokteran. Adalah hak pasien untuk menolak pengobatan
bagi dirinya, hal ini menjadi dilema bagi dokter. Di satu pihak dokter berkewajiban
secara moral untuk menolong pasien, di lain pihak dokter harus menghormati hak
(20)
pasien menolak meskipun setelah diberi penjelasan tentang kemungkinan sembuh dan
tentang risikonya jika tidak dilakukan tindakan kedokteran, dokter tidak boleh
memaksakan kepada pasien untuk memberikan persetujuan.
Penolakan pasien terhadap tindakan kedokteran adalah hak asasi pasien sebagai
subyek hukum. Jika dokter tetap melaksanakan tindakan kedokteran tanpa
persetujuan pasien, maka menurut hukum pidana dokter tersebut telah melakukan
penganiayaan, dan menurut hukum perdata dokter tersebut dapat digugat telah
melakukan bersalah melanggar hak pasien untuk memberikan persetujuan yang dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dokter harus menghormati
terhadap penolakan dan kondisi pasien. Artinya, dokter tidak boleh memaksa pasien
untuk dilakukan tindakan kedokteran yang disarankan olehnya. Sebaliknya, apabila
pasien telah menyatakan menolak untuk dilakukan tindakan kedokteran atas diri
pasien, maka segala akibat hukum yang terjadi akan menjadi tanggung jawab pasien
itu sendiri dengan tidak menghilangkan hubungan hukum antara dokter dan pasien.
Permasalahannya muncul pada sejauh mana dokter berkewajiban menghormati hak
pasien atas badannya sendiri (the right of self determination), serta hubungan hukum di antara keduanya. Problema pelik juga akan muncul pada saat dokter di hadapkan
pada pengambilan keputusan dalam penolakan yang terjadi pada situasi gawat darurat
(emergency). Jika di kemudian hari timbul hal yang tidak diinginkan sebagai akibat penolakan atau penghentian perawatan yang dilakukan pasien, maka dokter tidak
(21)
keseluruhan mengenai risiko, prognosis yang mungkin timbul jika tindakan
kedokteran tersebut tidak dilakukan. Penilaian terhadap sikap tindak dokter sebagai
seorang profesional yang wajar diatur dalam standar profesi medik juga merupakan
suatu ukuran bagi dokter apakah dokter tersebut dapat dikenakan
pertanggungjawaban hukum atau tidak.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka penulis dalam tulisannya ini akan
mengambil judul “ASPEK HUKUM TERHADAP PENOLAKAN TINDAKAN
KEDOKTERAN ( INFORMED REFUSAL )OLEH PASIEN “ B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
a. Apakah pasien berhak untuk menolak terhadap prosedur medis atau tindakan
kedokteran tertentu ?
b. Apakah inti dari penolakan tindakan kedokteran oleh pasien?
c. Bagaimana akibat hukum adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien ?
2. Ruang Lingkup
Selanjutnyaruang lingkup dalam penulisan tesis ini, penulis batasi pada :
a. Ruang lingkup disiplin ilmu Hukum Perdata Bisnis.
b. Ruang lingkup penelitian dibatasi pada pembahasan tentang Penolakan
(22)
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis hak pasien untuk menolak
terhadap prosedur medis atau tindakan kedokteran tertentu
b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis inti dari penolakan tindakan
kedokteran oleh pasien
c. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis akibat hukum adanya
penolakan tindakan kedokteran oleh pasien
2. Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian dalam penulisan ini
adalah :
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini berguna sebagai upaya wawasan pemahaman di
bidang ilmu hukum yang diteliti serta peningkatan keterampilan menulis karya
ilmiah dan memberikan sumbangan pemikiran terhadap perkembangan hukum
(23)
b. Kegunaan praktis
Adapun kegunaan praktis dari penelitian ini adalah :
1) Sebagai sumber informasi bagi para pembaca yang memerlukan mengenai
hak dan kewajiban pasien,dokter dan rumah sakit terhadap tindakan
kedokteran.
2) Sebagai salah satu syarat akademis bagi penulis dalam menyelesaikan
pendidikan pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka Teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis
mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,
pegangan teoritis.4 Kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk
bagaimana mengorganisasikan dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian terdahulu.5
Bagi sebuah penelitian kerangka teori sangat mendukung sebagai acuan yang relevan,
karena kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan. Teori adalah alur
logika atau penalaran, yang merupakan seperangkat konsep, definisi, dan proposisi
yang disusun secara sistematis. Secara umum, Teori mempunyai tiga fungsi, yaitu
4
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar maju, Bandung, 1994, hlm: 80 5
(24)
untuk menjelaskan (explanation), meramalkan (prediction), dan pengendalian
(control) suatu gejala6. Sedangkan kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisaasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian
dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.7
Teori Perjanjian
Pengobatan pasien di rumah sakit merupakan suatu kesepakatan yang terjadi antara
dokter, pasien dan rumah sakit. Pasien dalam hal ini sebagai pihak yang meminta jasa
dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya dengan melakukan tindakan
medis atau upaya medis. Sedangkan dokter dalam hal ini sebagai pihak yang diminta
jasanya tersebut oleh pasien serta rumah sakit sebagai penyedia sarana dalam proses
perawatan pasien. Dengan adanya kesepakatan tersebut lahirlah suatu perjanjian
penyembuhan antara dokter dan pasien yang kemudian dikenal dengan transaksi
teraupetik.
Transaksi teraupetik adalah suatu perjanjian yang obyeknya adalah pelayanan medis
atau upaya penyembuhan. Transaksi teraupetik termasuk dalam jenis perjanjian untuk
melakukan jasa khusus sebagaimana pasal 1601 KUH Perdata. Syarat sahnya
perjanjian teraupetik sebagaimana perjanjian pada umumnya di tuangkan dalam pasal
tiga belas dua puluh KUH Perdata , yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
2. Kecakapan membuat suatu perjanjian.
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif,dan R & D., Alfabeta, Bandung, 2001, hlm: 54 7
(25)
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
5. Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena kedua syarat
tersebut mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian.
Sedangkan kedua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai objek
dari perjanjian atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.8
Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Pasal 1234 KUHPerdata menyebutkan, bahwa tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Pasal ini berkaitan dengan hak akan suatu prestasi yang seharusnya didapat
satu pihak dan hak atas suatu prestasi yang harus didapat oleh pihak lain.
Apabila terjadi perikatan, hak pihak yang satu atas suatu prestasi tersebut dapat
berupa suatu barang atau berupa perbuatan pihak lain atau pihak lain tidak melakukan
suatu perbuatan. Suatu perjanjian mengandung beberapa asas kebebasan berkontrak
sebagai asas pembuatan perjanjian atau kekuatan mengikat perjanjian. Kebebasan
tersebut adalah dalam hal bentuk maupun isi perjanjian. Pengobatan pasien di rumah
sakit merupakan kesepakatan untuk kemudian melahirkan suatu perjanjian. Para
pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kontraktual bebas menentukan apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing, sepanjang hal itu disepakati semua
8
(26)
pihak, termasuk menentukan bentuk perikatannya. Dalam perjanjian tersebut pasien
memiliki hak kebebasan untuk :
1. Bebas untuk menentukan isi perjanjian.
perjanjian yang terjadi antara dokter dan pasien dalam hal ini adalah apa yang
sebut dengan transaksi terapeutik. Antara dokter dan pasien tunduk pada ketentuan
– kententuan KUH Perdata berkaitan dengan syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana pasal 10 KUHPerdata. Selama tidak menyalahi ketentuan-ketentuan
yang ada,maka antara dokter dan pasien bebas untuk menentukan isi dari
perjanjian yang akan dilakukan, tentu saja untuk keberhasilan tindakan kedokteran
yang akan dilakukan dokter terhadap pasien.
2. Bebas untuk memilih
Pasien dalam hal ini bebas dalam menentukan atau memilih dokter. Seseorang
mempunyai hak untuk memilih dokter yang diharapkan dapat memberikan suatu
pertolongan. Pada dasarnya hubungan dokter dengan pasien dilandasi oleh suatu
kepercayaan. Meskipun demikian, seorang pasien memilih dokter didasarkan atas
beberapa pertimbangan lain seperti :
a) Keadaan sosial ekonomi pasien.
b) Kepopuleran dokter.
c) Kelengkapan peralatan kedokteran.
d) Jarak tempat antara dokter dengan pasien.
(27)
3. Bebas untuk menerima atau menolak tindakan kedokteran Kebebasan untuk pasien
menerima ataupun menolak tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap
dirinya didahului dengan adanya penjelasan yang selengkap-lengkapnya atau
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan dan
risiko yang ditimbulkannya. Setelah adanya penjelasan yang lengkap tersebut
kemudian akan dituangkan kedalam sarana legitimasi bagi dokter dalam bentuk
informed consent apabila pasien tersebut menerima tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien atau berupa refused consent apabila pasien menolak tindakan kedokteran.
Pengaturan persetujuan tindakan kedokteran terdapat dalam Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008, dalam pasal 2 disebutkan bahwa semua tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.
Adapun yang dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran adalah :
a) Pasien sendiri, apabila pasien sudah dewasa dan berada dalam keadaan sadar serta
sehat mentalnya.
b) Orang tua/wali bagi pasien yang belum dewasa.
c) Pengampu bagi pasien yang ada dibawah pengampuan.
d) Orangtua/wali/pengampu bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental.
Kebebasan berkontrak sebagaimana dijelaskan tersebut diatas pada pokoknya
(28)
2. Kerangka Konseptual a. Tindakan Kedokteran
Tindakan kedokteran dalam Permenkes R.I Nomor: 290/MENKES/PER/III/2008 menegaskan bahwa tindakan kedokteran adalah suatu tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik atau rehabilitatif yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien. Tindakan kedokteran yang mengandung resiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasarkan tingkat probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
Tindakan medik adalah tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan.9 Tindakan kedokteran adalah suatu tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan tersebut ditujukan terutama bagi pasien yang mengalami gangguan kesehatan.
b. Rumah Sakit
Rumah Sakit dalam Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Pemahaman Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
9
Samsi Jacobalis, 2005, perkembangan ilmu kedokteran,etikamedis, dan bioetika. CV Sagung Seto bekerjasama dengan Universitas Tarumanegara, Jakarta, hlm.57
(29)
Menurut Undang-Undang Nomor: 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
disebutkan pada pasal 1 ayat (9), sarana pelayanan kesehatan adalah tempat
penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik
kedokteran atau kedokteran gigi. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan disebutkan pada pasal 1 ayat (4), sarana kesehatan adalah tempat
yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan. Rumah Sakit adalah
sarana pelayanan kesehatan perorangan yang merupakan sarana pelayanan rujukan
pelayanan publik. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan berhubungan dengan
hukum kesehatan adalah tenaga kesehatan di rumah sakit dan penerima pelayanan
kesehatan dalam hal ini pasien.
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan
karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan
kesehatan, kemajuan tekhnologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Hal ini juga sejalan dengan amanah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan disamping peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan Rumah sakit serta
pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam meperoleh layanan kesehatan, serta
landasan hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan
(30)
Sejalan dengan amanat Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 telah ditegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh
pelayanan kesehatan, kemudian dalam pasal 34 ayat (3) dinyatakan Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak. Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan,
persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan
pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Nilai kemanusiaan adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan dengan
memberikan perlakuan yang baik dan manusiawi dengan tidak membedakan suku,
bangsa, agama, status sosial, dan ras. Sedangkan makna “nilai etika dan
profesionalitas” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang memiliki etika profesi dan sikap professional, serta mematuhi etika
rumah sakit.
Adanya “nilai manfaat” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Sedangkan makna
“nilai keadilan” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau
(31)
Nilai persamaan hak dan anti diskriminasi adalah bahwa penyelenggaraan rumah
sakit tidak boleh membedakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok
dari semua lapisan. Adanya “nilai pemerataan” adalah bahwa penyelenggaraan rumah
sakit menjangkau seluruh lapisan masyarakat, sedangkan “nilai perlindungan dan
keselamatan pasien” adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan
peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan
keselamatan pasien.
Nilai keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan rumah sakit selalu
mengupayakan peningkatan keselamatan pasien melalui upaya manajemen risiko
klinik. Rumah Sakit tidak lepas dari “fungsi sosial rumah sakit” yang merupakan bagian dari tanggung jawab yang melekat pada setiap rumah sakit, yang merupakan
ikatan moral dan etik dari rumah sakit dalam membantu pasien khususunya yang
kurang /tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari
sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan
upaya kesehatan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai
karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan
dengan perangkat keilmuannya masing-masing berinteraksi satu sama lain. Ilmu
(32)
diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu,
membuat semakin kompleksnya permasalahan dalam rumah sakit.
Pengaturan penyelenggaraan rumah sakit bertujuan:
1) Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
2) Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
3) Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4) Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
rumah sakit, dan rumah sakit.
Rumah Sakit mengemban tugas yang sangat mulia, meliputi:
1. Memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dan untuk
menjalankan tugasnya rumah sakit mempunyai fungsi;
2. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit;
3. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
4. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
5. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan tekhnologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memerhatikan
(33)
c. Dokter
Pasal 1 ayat (2) UUPK menyebutkan dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Demikian juga dalam Permenkes R.I Nomor: 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteraan di sebutkan bahwa yang dimaksud dengan Dokter
dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar
negeri yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang dimaksud tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan,
memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan
yang memerlukan kewenangan dalam menjalankan pelayanan kesehatan.10 Tenaga
kesehatan juga harus mempunyai kualifikasi minimum, dan dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, serta
wajib memiliki izin dari pemerintah bagi tenaga kesehatan tertentu. Tenaga kesehatan
dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang dimiliki antara lain
meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan
10
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan , LN R.I Nomor 144 tahun 2009, TLN R.I Nomor 5063
(34)
masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian
medis, dan tenaga kesehatan lainnya.
Tenaga kesehatan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan ayat (8) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan terdiri dari:11 1. Tenaga medis terdiri dari dokter dan dokter gigi.
2. Tenaga keperawatan terdiri dari perawat dan bidan.
3. Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker. 4. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
5. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan diefisien.
6. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan 7. terapis wicara.
8. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, othotik prostetik, teknisi tranfusi dan perekam medis.
Dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran yang dimaksud dengan ”Petugas” adalah dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien12, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996, maka
(35)
yang dimaksud petugas dalam kaitannya dengan tenaga kesehatan adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan keteknisian medis.
d. Informed Consent dan Refused Consent
Permenkes R.I Nomor: 290/MENKES/PER/III/2008 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Istilah Informed Consent pertama kali tersirat pada Undang-Undang Nomor 23 tahun
1992 tentang kesehatan, yaitu pada Pasal 53 ayat (2) yang menyatakan bahwa : “
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Dalam menjelaskan hak pasien, penjelasan pasal tersebut memberikan contoh-contoh tentang hak pasien diantaranya hak atas
informasi dan hak untuk memberikan persetujuan”
Persetujuan dari pasien sebelum dokter dan dokter gigi melakukan pelayanan medik atau tindakan kedokteran atas pasiennya merupakan satu keharusan atau kewajiban. Hal ini tercermin dari ketentuan Pasal 45 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Praktik Kedokteran yang menyebutkan sebagai berikut :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap.
(36)
Persetujuan tindakan kedokteran dapat diberikan secara lisan dan dapat pula diberikan secara tertulis. Hanya saja UUPK mengharuskan adanya persetujuan tertulis untuk kasus-kasus yang berisiko tinggi dan ditandatangani oleh orang yang berhak memberikan persetujuan. Hanya saja siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak tersebut sampai saat ini belum ada ketentuannya karena belum ada Peraturan Pemerintah yang mengaturnya. Praktek yang terjadi selama ini yang menandatangani persetujuan tindakan kedokteran jika pasien tidak mampu melakukannya adalah orang tua, suami atau isteri, keluarga ataupun siapa saja yang mengantar pasien tersebut.
Adapun yang menjadi substansi persetujuan adalah tindakan kedokteran atau pelayanan kesehatan yang akan dilakukan oleh dokter sebagai wujud pelayanan kesehatan. Informed Consent baru sah diberikan kepada pasien jika memenuhi minimal unsur : 13
1. Keterbukaan informasi.
2. Kompetensi pasien di dalam memberikan persetujuan. 3. Kesukarelaan.
Berkaitan dengan kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan, dalam hal ini berkaitan dengan kecakapan bertindak. Pasien yang dalam keadaan tidak memenuhi syarat untuk melakukan persetujuan seperti belum cukup umur, terganggu secara mental dan tidak sadarkan diri tidak dapat menandatangani informed consent. Jika
13
(37)
yang bersangkutan tidak kompeten maka dapat ditanda tangani oleh walinya, suami/istri, ayah/ibu, kakak/adik yang sudah dewasa, anaknya yang sudah dewasa ataupun pihak yang telah diberi surat kuasa.
Informasi atau penjelasan wajib diberikan oleh dokter secara langsung kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta oleh pasien, terkecuali pasien memang menolak untuk diberikan penjelasan dengan alasan untuk ketenangan jiwa. Hal ini berkaitan dengan masalah pertimbangan satu dan lain alasan menghadapi keadaan fisik atau mental dan sikap dari akibat ketakutan dan kegoncangan jiwa pasien. Setelah pasien diberi penjelasan maka keputusan untuk menerima atau menolak tindakan perawatan yang ditawarkan dokter mutlak berada ditangan pasien itu sendiri. Hak untuk menolak perawatan ini disebut dengan informed refusal, namun dalam keadaan seperti ini dokter juga harus menerangkan secara rinci akibat dari penolakan tersebut, jika pasien tetap menolak perawatan maka pasien harus menandatangani formulir surat penolakan tindakan medis yang sudah disiapkan oleh rumah sakit. Apabila pasien menolak tindakan medik yang ditawarkan oleh dokter, maka dokter tidak boleh memaksakan kehendaknya, walaupun dokter tahu bahwa penolakan tersebut dapat memberikan dampak negatif untuk kesembuhan pasien tersebut. Pemaksaan kehendak dokter terhadap pasien untuk melakukan kegiatan medik tertentu kepada pasien, walaupun dokter berniat baik untuk menyelamatkan nyawa penderita akan dapat berakibat dituntutnya dokter atas tuduhan malpraktik.
Dengan telah di informasikannya tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter, maka selanjutnya pasien dapat mempergunakan haknya untuk memilih, menyetujui
(38)
atau menolak tindakan medik tersebut. Jadi pada hakekatnya hak atas persetujuan tindakan kedokteran ini merupakan pelaksanaan hak dasar atas pelayanan kesehatan ( the right to health care) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination) yang keduanya adalah hak pasien atas kesehatan yang harus diakui dan dihormati.
e. Pasien
Dalam Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak tergangggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.14 Dalam ketentuan umum Undang-Undang Praktik Kedokteran disebutkan pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pasien diartikan dengan orang sakit yang dirawat dokter atau dapat juga diartikan dengan penderita (sakit).15 menurut kamus kesehatan, definisi pasien adalah seorang individu yang mencari atau menerima perawatan medis.16 Berdasarkan pengertian - pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pasien adalah setiap orang yang
14
Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan tindakan Kedokteran
15
http//kbbi.web.id/pasien tanggal 28 februari 2014
16
(39)
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
E. Sistematika Penulisan
Agar tesis ini memenuhi syarat sebagai karya tulis ilmiah serta untuk memudahkan
dalam memahami isi pembahasan materi tesis ini, maka perlu dipaparkan sebuah
pertanggungjawaban sistematika. Sistematika dalam penulisan tesis ini terbagi
menjadi lima bab, yang terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode
(40)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Transaksi Terapeutik Dokter dan Pasien dalam Rumah Sakit
Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang dilaksanakan dengan rasa
kepercayaan dari pasien terhadap dokter disebut dengan istilah transaksi terapeutik.1
Yang menjadi obyek dalam transaksi terapeutik ini adalah upaya penyembuhan
pasien, bukan kesembuhan pasien. transaksi Terapeutik merupakan hubungan
pelayanan kesehatan (medical service) atau dengan istilah lain merupakan tindakan medik antara pemberi layanan kesehatan (health provider) dengan penerima layanan kesehatan (health receiver). Hubungan antara dokter dan pasien semakin berkembang ke dalam hubungan yang lebih seimbang, dimana antara dokter dan pasien memiliki
hak dan kewajiban masing-masing yang harus dipenuhi.
Perkembangan hubungan ini dapat dikelompokkan pada tahapan – tahapan sebagai berikut : 2
1. Hubungan “Aktif-Pasif”
Pada tahapan ini pasien tidak memberikan kontribusi apapun bagi jasa pelayanan kesehatan yang akan diterimanya. Ia sepenuhnya menyerahkan kepada dokter kepercayaannya untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Pasien sangat percaya dan memasrahkan dirinya pada keahlian dokter. Dokter bagi pasien merupakan orang yang paling tahu tentang kondisi kesehatannya. Pada tahapan hubungan yang seperti ini interaksi komunikasi yang dilakukan pasien tidak menyangkut pilihan-pilihan tindakan pelayanan kesehatan, pasien tidak mampu memberikannya. Ketidakmampuan tersebut dapat saja karena pasien benar-benar tidak memiliki pengetahuan atau karena kondisinya yang tidak memungkinkan
1
Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hlm. 14 2
Pedeo P Solis, Medical Jurisprudence, University of The Philippines, Manila,1980, hlm.33 dalam Totok T suriaatmadja dan M Faiz Mufdi, Aspek Tanggung Jawab Perdata Dalam Hukum Kesehatan Terutama Dalam Malpraktek, Makalah pada seminar sehari Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek, Kerjasama IKAHI dan IDI Cabang Sekayu, Di sekayu, 27 Mei 2006.
(41)
untuk memberikan pendapatnya, misalnya pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri.
2. Hubungan “Kerjasama Terpimpin”
Tahap hubungan ini terjadi apabila pasien sakit tapi sadar dan mempunyai kemampuan untuk meminta pertolongann dokter serta bersedia untuk kerjasama dengan dokter. Pada tahap hubungan ini sudah nampak adanya partisipasi dari pasien tetapi dalam proses pelayanan kesehatan. Peran dokter masih lebih dominan dalam menentukan tindakan-tindakan yang akan dilakukan. Dengan demikian kedudukan dokter sebagai orang yang dipercaya pasien masih signifikan.
3. Hubungan “Partisipasi Bersama”
Pada tahap hubungan ini pasien menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang sederajat dengan dokter, dan dengan demikian apabila ia berhubungan dengan dokter maka hubungan tersebut dibangun atas dasar perjanjian yang disepakati bersama. Kesepakatan tersebut diambil setelah dokter dan pasien melalui tahapan-tahapan komunikasi yang intensif hingga dihasilkan suatu keputusan.
Menurut Dassen sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, terdapat beberapa
alasan mengapa seorang pasien mendatangi dokter, alasan tersebut adalah sebagai
berikut :3
1. Pasien pergi ke dokter karena merasa ada sesuatu yang membahayakan
kesehatannya. Segi psikobiologisnya memberikan suatu peringatan bahwa dirinya
menderita sakit. dalam hal ini dokter atau dokter gigi dianggap sebagai pribadi
yang akan dapat menolongnya karena kemampuannya secara ilmiah. Dokter
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan peranan yang lebih penting daripada
pasien (dari sudut pandang pasien).
3
(42)
2. Pasien pergi ke dokter karena mengetahui dirinya sakit dan dokter akan mampu
untuk menyembuhkannya. Pasien menganggap kedudukannya sama dengan
dokter, tetapi peranan dokter lebih penting dari dirinya.
3. Pasien pergi ke dokter atau ke dokter gigi untuk mendapatkan pemeriksaan yang
intensif dan mengobati penyakit yang ditemukan. Hal ini mungkin diperintahkan
oleh pihak ketiga dan terjadi pemeriksaan yang bersifat preventif.
Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien yang kemudian akan menghasilkan
pelayanan medik atau tindakan medik, terdapat beberapa asas hukum sebagaimana
diatur dan termuat dalam UUPK pada Pasal 2 yang menyatakan : “ Bahwa
penyelenggaraan praktek kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan serta
perlindungan dan keselamatan pasien”. Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2
tersebut dijelaskan pengertian asas-asas tersebut diuraikan sebagai berikut :
1. Nilai ilmiah adalah, bahwa praktek kedokteran harus didasarkan pada ilmu
pengetahuan dan tekhnologi yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk
pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi.
2. Manfaat adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan
dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3. Keadilan adalah, bahwa penyelenggaraan praktek kedokteran harus mampu
memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya
(43)
4. Kemanusiaan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran
memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, status
sosial dan ras.
5. Keseimbangan adalah, bahwa dalam penyelenggaraan praktek kedokteran tetap
menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat.
6. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah, bahwa penyelenggaraan praktek
kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus
mampu memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.
Selain daripada asas-asas sebagaimana termaksud dalam Pasal 2 UUPK tersebut,
terdapat beberapa asas yang harus dipedomani dan dijadikan dasar oleh para dokter
dalam melakukan perjanjian atau transaksi terapeutik dengan pasien. Asas-asas
hukum yang dimaksud, yaitu : 4
1. Asas Legalitas
Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Kesehatan yang
menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan
kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/atau kewenangan tenaga
kesehatan yang bersangkutan. Hal ini mengandung makna bahwa pelayanan
kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten, baik
pendidikannya maupun perizinannya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
4
Veronika Komalawati ,Peranan Informed Consent dalam Transaksi Teraupetik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
(44)
Asas legalitas ini lebih ditekankan lagi pada UUPK, khususnya Pasal 26 sampai
dengan Pasal 28 yang mengatur tentang standar pendidikan profesi kedokteran dan
kedokteran gigi. UUPK juga menentukan kewajiban bagi dokter yang berpraktek
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan berkelanjutan guna menyerap
perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran maupun teknologi mutakhir.
Selain itu untuk menindaklanjuti asas legalitas, maka bagi dokter sebelum
melakukan praktek diwajibkan memiliki surat tanda registrasi dokter yang
diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan memenuhi
persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh UUPK, yaitu:
a. Memiliki ijazah dokter,dokter spesialis,dokter gigi atau dokter gigi spesialis.
b. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau
dokter gigi.
c. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental.
d. Memiliki sertifikat kompetensi.
e. Membuat pernyataan akan memenuhi dan melaksanakan etika profesi.
Selain harus ada surat tanda registrasi, seorang dokter yang praktek juga diwajibkan
memiliki surat izin praktek yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang
di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran dilaksanakan. Permenkes RI Nomor
2052/Menkes/Per/X/2011 menentukan, terdapat tiga jenis surat izin dalam
(45)
a. Surat Izin Dokter (SID) yang merupakan izin yang dikeluarkan bagi dokter yang
menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya di wilayah Negara RI.
b. Surat Izin Praktek (SIP), yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang
menjalankan pekerjaan sesuai dengan bidang profesinya sebagai swasta
perseorangan di samping tugas/fungsi lain pada pemerintahan atau unit pelayanan
kesehatan swasta.
c. Surat Izin Praktek (SIP) semata-mata, yaitu izin yang dikeluarkan bagi dokter yang
menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya sebagai swasta perseorangan
semata-mata, tanpa tugas pada pemerintahan atau unit pelayanan kesehatan
swasta.
2. Asas Keseimbangan
Fungsi hukum selain memberikan kepastian dan perlindungan terhadap
kepentingan manusia, hukum juga harus bias memulihkan keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu pada keadaan semula. Atas keseimbangan ini
merupakan asas yang berlaku umum tidak hanya berlaku untuk transaksi
terapeutik. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara
seimbang antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental,
juga keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara
manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medik yang dilakukan.
3. Asas Tepat Waktu
Asas tepat waktu ini merupakan asas yang sangat penting diperhatikan oleh para
(46)
seoran pasien akan dapat berakibat fatal yaitu kematian pasien. Penanganan yang
berkesan lambat dan asal-asalan terhadap pasien sangat tidak terpuji dan
bertentangan dengan asas tepat waktu ini. Kecepatan dan ketepatan penanganan
terhadap pasien yang sakit merupakan salah satu factor yang dapat berakibat
terhadap kesembuhan pasien.
4. Asas Iktikad Baik
Asas ini bersumber pada prinsip etis berbuat baik (beneficence) yang perlu diterapkan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien. Sebagai
professional seorang dokter dalam menerapkan asas iktikad baik ini akan
tercermin dengan penghormatan terhadap hak pasien dan pelaksanaan praktek
kedokteran yang selalu berpegang teguh pada standar profesi.
5. Asas Kejujuran
Kejujuran antara dokter dan pasien merupakan salah satu hal penting dalam
transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik telah berubah, semula kedudukan pasien
dianggap tidak sederajat dengan dokter karena dokter dianggap paling tahu
terhadap pasiennya, dalam hal ini kedudukan pasien sangat pasif dan sangat
bergantung pada dokter (vertical paternalistik).
Perkembangan transaksi terapeutik telah mengalami perubahan pola, dimana
pasien dianggap sederajat kedudukannya dengan dokter. Segala tindakan medis
yang akan dilakukan dokter terhadap pasiennya harus mendapat persetujuan dari
(47)
tentang segala seluk beluk penyakit dan upaya tindakan medik (horizontal kontraktual).
Kedudukan dokter tetap tidak akan sama dengan pasiennya, artinya dokter tetap
akan memiliki pengetahuan yang lebih tinggi tentang tekhnik mengenali dan
mengobati penyakit pasien. Transaksi terapeutik didasarkan pada adanya suatu
perjanjian, yaitu perjanjian dimana dokter berusaha semaksimal mungkin untuk
menyembuhkan pasien dari penderitaan sakitnya atau lazim disebut inspanning verbintenis. Maka dalam hal ini yang dituntut bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan atau disebut resultaat verbintenis, namun perjanjian tersebut berupa upaya atau usaha semaksimal mungkin dari dokter
untuk menyembuhkan pasien secara hati-hati dan cermat didasarkan pada ilmu
pengetahuan yang layak.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, berkaitan dengan transaksi terapeutik antara dokter
dan pasien dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut :5
a. Transaksi terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pasien maupun
dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan
kewajiban masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
b. Transaksi terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain,
misalnya dalam hal ini karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau
kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung
5
Anny Isfandyarie,Malpraktek&Risiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta,2005,hlm.69-70
(48)
jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis
yang jelas, untuk mengalihkan pasien kepada teman sejawat yang lain, dokter yang
bersangkutan harus meminta persetujuan pasien atau keluarganya.
c. Kedua belah pihak baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam
melaksanakan transaksi terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan
berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus
membantu menjawab dengan itikad baik agar hasil yang di capai sesuai dengan
tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
d. Transaksi terapeutik hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya
perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan atau
kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan
medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan
dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati
bersama dengan rumah sakit maupun organisasi profesi sebagai kebiasaan yang
berlaku.
Transaksi terapeutik memiliki beberapa kekhususan dibandingkan dengan perjanjian
lainnya, antara lain sebagai berikut :6
a. Subyek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak
sebagai pemberi pelayanan medik professional yang pelayanannya didasarkan
pada prinsip pemberian pertolongan. Pihak dokter mempunyai kkualifikasi dan
kewenangan tertentu sebagai tenaga professional di bidang medik yang
6
Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan Yuridis, Citra aditya Bakti, Bandung,2002,hlm. 44
(49)
berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan
pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang
dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas
pertolongan yang telah diberikan.
b. Objek perjanjian berupa upaya medik professional yang bercirikan pemberian
pertolongan.
c. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang
berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif),
pencagahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan
pemulihan kesehatan ( rehabilitatif).
Dalam Kode Etik Kedokteran, sebagaimana termaktub dalam surat Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/X/1983 tentang berlakunya Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki) bagi para dokter Indonesia. Kodeki tersebut
menyebutkan secara khusus hubungan antara dokter dengan pasien adalah sebagai
berikut :
a. Transaksi terapeutik hanya khusus mengatur hubungan hukum antara dokter dan
pasien
b. Dilakukan dalam nuansa saling percaya atau konfidensial, yang mengandung
makna bahwa pasien atau keluarga pasien harus percaya kepada dokter yang
melakukan upaya pengobatan penyembuhan terhadap sakit pasien, demikian pula
(50)
keluhannya dan segala ketidaktahuannya terhadap obat-obat tertentu, agar dokter
dapat memberikan terapi yang tepat.
c. Hubungan hukum antara dokter dan pasien yang khusus ini meliputi pula
hubungan emosional,harapan dan kekhawatiran makhluk insane atas kesembuhan
pasien.
A. Eksistensi Informed Consent Dalam Tindakan Medis
Pada transaksi terapeutik antara dokter dan pasien, para pihak harus saling sepakat
tentang upaya pengobatan atau pelayanan kesehatan yang akan diberikan dokter .
wujud dari transaksi terapeutik ini adalah Informed consent yang lazim diterjemahkan dengan persetujuan tindakan kedokteran. informed consent terjadi setelah hak atas informasi dan kemudian hak untuk memberikan persetujuan dari pasien atas upaya
dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan baginya telah diberikan secara cukup.
Secara etimologis informed consent berasal dari kata informed yang artinya sudah diberikan informasi atau sudah dijelaskan atau sudah diuraikan dan kata “consent” yang artinya persetujuan atau izin. Jadi informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan yang adekuat dari dokter.7
Persetujuan dari pasien sebelum dokter melakukan pelayanan medik atau tindakan
kedokteran atas pasiennya merupakan satu keharusan atau kewajiban. Hal ini
7
(51)
tercermin dari ketentuan Pasal 45 ayat (1 dan 2 ) UUPK yang menyebutkan sebagai
berikut :
1. Setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus
mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
Penjelasan yang harus diberikan oleh dokter kepada pasien atau keluarganya menurut
Pasal 45 ayat (3) minimal mencakup tentang :
1. Diagnosa dan tata cara tindakan medis.
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan.
3. Alternative tindakan lain dan resikonya.
4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang mungkin dilakukan.
Pada dasarnya persetujuan tindakan medik berasal dari hak asasi pasien dalam
hubungan dokter pasien,yaitu :8
1. Hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
2. Hak untuk mendapatkan informasi.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,maka semakin
kompleks jenis-jenis penyakit yang ditemukan para ahli di bidang kedokteran.
Sehingga dalam perkembangannya tidak saja diperlukan tenaga kesehatan yang biasa
8
(52)
akan tetapi juga memerlukan perawatan khusus dari dokter ahli dalam penanganan
pasien di rumah sakit.
Sebelum dokter melakukan tindakan operasi medik, dokter berkewajiban untuk
memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan
kedokteran yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta risiko-risiko
yang mungkin timbul dari tindakan kedokteran tersebut kepada pasien dan
keluarganya. Informed Consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan operasi medik,maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa
keberadaan informed consent sangat penting dan diperlukan di rumah sakit.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.9
Dari suatu perjanjian akan menimbulkan suatu hubungan antara dua orang yang
kemudian disebut dengan perikatan, di mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling
banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka
sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan
Undang-Undang hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat.
9
(53)
Menurut Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda atau pihak, dalam mana satu pihak
berjanji atau berjanji untuk melaksanakan sesuatu, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan.10
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata Untuk syarat sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat, yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian ;
3) Mengenai suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal;
Bila dikaitkan dengan ketentuan pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran maka
untuk syarat pertama syahnya suatu perjanjian yaitu adanya kata sepakat antara
dokter dan pasien yang merupakan asas konsensualisme dalam perjanjian dan diukur
dari ketiadaan paksaan, ketiadaan kekhilafan, dan ketiadaan penipuan. Seorang dokter
yang terikat dengan sumpah jabatannya tentu tidak akan pernah melakukan penipuan,
sedangkan untuk mengukur ketiadaan paksaan dan kekhilafan sangat tergantung dari
seberapa jauh pasien dapat memahami alternative pilihan-pilihan sebelum
memberikan persetujuan atas tindakan kedokteran tertentu, dan seberapa jauh dokter
telah memberikan penjelasan.
10
Syahrul Machmud,Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Di duga Melakukan Medical Malpraktek,mandar maju, oktober,2008, hlm.73
(54)
Pada akhirnya ukuran ketiadaan kekhilafan akan sangat banyak ditentukan dari
tingkat kepercayaan pasien terhadap dokter dan individu pasien. Bagi pasien tertentu
yang sudah sangat percaya kepada dokternya dengan mudah akan memberikan
persetujuannya tanpa banyak bertanya, sedangkan bagi pasien yang lain mungkin
akan banyak bertanya bahkan bila perlu bertanya kepada dokter lain (second opinion).
Selanjutnya untuk syarat kedua dari suatu perjanjian apabila dikaitkan dengan
persetujuan tindakan kedokteran adalah siapakah yang memberikan persetujuan, hal
ini berkaitan dengan kecakapan untuk membuat perjanjian. Permenkes tentang
persetujuan tindakan kedokteran telah menyebutkan bahwa pihak yang memberikan
persetujuan yaitu pasien sendiri dalam hal pasien tersebut telah dewasa (berumur 21
tahun keatas atau telah menikah) dan dalam keadaan sadar serta sehat akal.
Persetujuan tersebut diberikan pada dokter yang akan melakukan pelayanan
kedokteran untuk itu dokter harus mempunnyai wewenang untuk melakukan
pelayanan kedokteran tersebut. Jika dokter tidak memiliki wewenang tersebut, maka
informed consent dapat dibatalkan (verneiteghbaar voidable). Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa, setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH
Perdata menyebutkan bahwa, orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
perjanjian adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa
(55)
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Bahwa dalam setiap perjanjian dapat dikatakan sah apabila terdapat setidak-tidaknya
dua belah pihak yang akan melakukan perjanjian. Kemudian di dalam perjanjian
harus jelas tujuan dan objek yang dijadikan dasar perjanjian. Menurut kamus besar
bahasa Indonesia pengertian perjanjian adalah perikatan yang menyatakan kesediaan ,
kesanggupan untuk berbuat (kehendak memberi, menolong,datang dan bertemu).
Menurut M. Yahya Harahap, seseorang atau lebih yang berjanji kepada seseorang
atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan suatu hal, ini merupakan suatu
peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum antar orang yang membuatnya
yang disebut sebagai suatu perikatan. Dalam suatu perikatan terkandung hal-hal
sebagai berikut :
1. Adanya hubungan hukum,
2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta,
3. Memberi hak kepada pihak yang satu dan hak meletakkan kewajiban pihak yang
lain,
4. Adanya prestasi.11
Hukum perjanjian mengenal beberapa asas penting, yang merupakan dasar kehendak
pihak-pihak dalam mencapai tujuan.
11
(1)
2. Bahan hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi. Publikasi tersebut terdiri atas (a) buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, (b) kamus-kamus hukum, (c) jurnal-jurnal hukum, dan (d) komentar-komentar atas putusan hakim.3 Publikasi tersebut merupakan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, jurnal, surat kabar, dan sebagainya.4
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier itu sendiri terdiri dari kamus-kamus, bibliografi, ensiklopedia, dan sebagainya.
C. Metode Pengumpulan Data Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan adalah usaha untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan dilakukan dengan menggunakan serangkaian studi dokumentasi dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari, membuat catatan-catatan, dan
3
.H.Zainuddin Ali, ibid, hlm.54
4
Soerjono Soekanto & sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:Rajawali Press, 2003), hlm.33-37
(2)
54
kutipan serta menelaah bahan-bahan pustaka yaitu berupa karya tulis dari para ahli yang tersusun dalam literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitanya dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian.
D. Metode Pengolahan Data
Setelah data sekunder dan data primer terkumpul dan diolah, untuk menentukan hal yang baik dalam melakukan pengolahan data, melalui kegiatan editing, interpretasi, dan sistematisasi.
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dengan cara :
1. Editing yaitu meneliti kembali kelengkapan data yang diperoleh, apabila masih belum lengkap maka diusahakan dilengkapi kembali dengan mengkoreksi ulang ke sumber data yang bersangkutan.
2. Sistematisasi yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga memudahkan pembahasan
3. Interpretasi yaitu memberikan penafsiran atau penjabaran dari table atau hasil perhitungan data untuk dicari makna yang lebih luas dengan menghubungkan jawaban yang diperoleh dengan data lain.
E.Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dimana prosedur penelitiannya bersifat menjelaskan, mengolah, menggambarkan, dan menafsirkan hasil penelitian dengan susunan kata dan kalimat sebagai jawaban atas masalah yang diteliti.
(3)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pembahasan dapat disimpulkan atas permasalahan-permasalahan yang dijadikan bahasan dalam tesis ini, yaitu sebagai berikut :
1. Pasien memiliki hak untuk menolak dilakukannya tindakan kedokteran. Hal ini didasarkan pada adanya transaksi terapeutik antara dokter dan pasien yang erat kaitannya dengan pelaksanaan hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri yang harus diakui dan dihormati. Doktrin the right of self determination oleh para ahli dijadikan sebagai landasan bagi tenaga kesehatan untuk tidak sekehendak hati melakukan tindakan tindakan terhadap pasien. Pasien memiliki hak dasar yang bersifat hakiki untuk menentukan segala sesuatu terhadap tubuhnya apakah pasien akan menyetujui atau pasien menolak atas tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap dirinya.
2. Inti dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien adalah merupakan perwujudan dari adanya hak dasar pasien untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Pasien berhak untuk menolak tindakan kedokteran setelah pasien mendapatkan penjelasan atau informasi yang adekuat dan dimengerti oleh pasien dari dokter mengenai keadaan penyakitnya. Penolakan tindakan kedokteran tersebut secara
(4)
100
terang dan tegas dinyatakan oleh pasien dalam formulir penolakan tindakan kedokteran.
3. Akibat hukum dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien adalah pasien akan menanggung sendiri risiko yang terjadi atas dampak penolakan tindakan kedokteran tersebut. Selain itu pasien tidak dapat mengajukan gugatan terhadap dokter ataupun rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan apabila terjadi hal-hal yang merugikan pasien akibat dari adanya penolakan tindakan kedokteran oleh pasien tersebut.
B.SARAN
1. Rumah sakit agar lebih meningkatkan citra dalam pelayanan medis terhadap pasien, terutama dokter sebagai bagian dari rumah sakit dalam hal memberikan penjelasan atau informasi yang adekuat terhadap pasien.
2. Pasien agar lebih memahami bahwa hubungan hukum antara dokter dan pasien itu melahirkan aspek hukum inspannings verbintenis karena objek dari hubungan hukum itu adalah upaya maksimal yang dilakukan oleh dokter secara hati-hati dan penuh ketegangan berdasarkan pengetahuannya untuk menyembuhkan pasien. Jadi, tidak menjanjikan suatu hasil yan pasti.
3. Dokter dalam menjalankan profesinya agar dapat mendapat perlindungan hukum, mengingat banyaknya tuntutan/gugatan pasien yang banyak disebabkan oleh adanya perbedaan persepsi dan miskomunikasi. Dokter diharapkan dapat lebih memahami arti pentingnya informed consent dan penolakan terhadap informed consent.
(5)
Al Purwohadiwardoyo, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta, 1989.
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Yogyakarta, 2008.
Anny Isfandyarie, Malpraktek & Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana, Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta,2005.
Bahder johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 1999.
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, sinar Grafika, Jakarta, 1996. Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996. Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara,
Jakarta, 1996.
Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah Sakit, Ikapi, Semarang,2006.
Ermawati Dalami, Etika Keperawatan, Trans Info Media,Jakarta, 2010. H.Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Indra Bastian, Suryono, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta,2011.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum. Yogyakarta, Liberty.
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar maju, Bandung, 1994. M. Yahya harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1986.
Ns.Ta’adi, Hukum Kesehatan, Sanksi &Motivasi Bagi Perawat, EGC, 2011.
Pedeo P Solis, Medical Jurisprudence, University of The Philippines, Manila, 1980, dalam Totok T Suriaatmadja dan M Faiz Mufdi, Aspek Tanggung Jawab Perdata Dalam Hukum Kesehatan Terutama Dalam Malpraktek, Makalah pada seminar sehari Penegakan Hukum Terhadap Malpraktek, Kerjasama IKAHI dan IDI Cabang Sekayu, di sekayu, 27 Mei 2006.
Samsi Jacobalis, Perkembangan Ilmu Kedokteran, Etikamedis, dan Bioetika. CV Agung Seto bekerjasama dengan Universitas Tarumanegara, Jakarta, 2005.
(6)
Sri siswati,S.H.,Apt.,M.Kes,Etika dan Hukum kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan. PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Hak dan Kewajiban Pasien, Ind-Hill-Co, Jakarta,1989.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D., Alfabeta, Bandung, 2001.
Subekti, Hukum Perjanjian,PT Intermasa,Jakarta, 1990
Syahrul Machmud, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang di Duga Melakukan Medical Malpraktek, Mandar Maju, Oktober, 2008. Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik
Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien Suatu Tinjauan Yuridis, Citra aditya Bakti, Bandung, 2002.
Wila Chandrawila Supriadi,S.H., Hukum Kedokteran. Mandar Maju, Bandung, 2001. http//kamus kesehatan.com/arti pasien tanggal 28 februari 2014
http//kbbi.web.id/pasien tanggal 28 februari 2014
Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, LN R.I No. 116 tahun 2004, TLN R.I No. 4431.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,LN RI Nomor : 144 tahun 2009 TLN R.I Nomor. 5063.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor. 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 290/MENKES/PER/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :