THE ROLE OF LOCAL ELITE POLITICS TOWARD THE INDEPENDE OF METRO CITY SOCIETY IN TAKING THE VOTING DECISION IN THE REGION’S GENERAL ELECTION OF 2010 PERANAN ELIT POLITIK LOKAL TERHADAP KEMANDIRIAN MASYARAKAT KOTA METRO DALAM KEPUTUSAN MEMILIH PADA PILKADA T

(1)

ABSTRACT

THE ROLE OF LOCAL ELITE POLITICS TOWARD THE INDEPENDE OF METRO CITY SOCIETY IN TAKING THE VOTING DECISION IN THE

REGION’S GENERAL ELECTION OF 2010 By

Erfir Thabrani Indra. RA

This case study is about the role of local elite politics toward the society independence of Metro City society in taking the voting decision in the region’s general election of 2010, the purpose of study, to know; 1) the factors that affected the society’s indefence of Metro City in taking the voting decision in the region’s general election of 2010, 2) the influence of elite politics toward the independence of Metro City society in taking the voting decision in the region’s general election of 2010, 3) the purpose of the local elite politics that influenced the voting decision of Metro City society in the region’s general election of 2010. This study was taken to analyze the role of local elite politics toward the independence of Metro City society in taking the voting decision in the region’s general election of 2010 with the qualitative approach, the study is often called as naturalism approach, because the study is done in its nature. Some also call it as ethnography approach because at the beginning of the approach was more used to do the anthrophology research.

The results of the study; 1) There were factors that influenced the independence of Metro City society in the voting decision in the region’s general electionof 2010, namely; the influence of the local elite politics tat came frome certain level, for the most is the cultural people also the head of society organization, religion head and birocracy chiefs. 2) The purpose of local elite politics that influenced the decision of Metro City society in the region’s general election of 2010, especially to show to the major and vice major candidates of the big imfact of the power they have towards the society’s politics decision.


(2)

ABSTRAK

PERANAN ELIT POLITIK LOKAL TERHADAP KEMANDIRIAN MASYARAKAT KOTA METRO DALAM KEPUTUSAN MEMILIH PADA

PILKADA TAHUN 2010 Oleh

Erfir Thabrani Indra. RA

Studi Penelitian ini mengenai Peranan elit politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada pilkada Tahun 2010, tujuan penelitian, untuk mengetahui; 1) Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010, 2) Pengaruh elit politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010, 3) Tujuan elit politik lokal mempengaruhi keputusan memilih masyarakat Kota Metro pada Pilkada Tahun 2010.

Penelitian ini di laksanakan untuk menganalisis peranan elit politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada pilkada Kota Metro tahun 2010, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini sering disebut penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi alamnya, ada juga yang menyebut sebagai penelitian etnografi karena pada awalnya pendekatan ini lebih banyak digunakan untuk penelitian antropologi. Hasil Penelitian; 1) Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010, antara lain : adalah pengaruh elit politik lokal yang berasal dari beberapa kalangan, utamanya adalah tokoh kultural serta pimpinan lembaga organisasi masyarakat, tokoh agama dan pimpinan birokrasi. 2) Tujuan elit politik lokal mempengaruhi keputusan memilih masyarakat Kota Metro pada Pilkada Tahun 2010 terutama untuk menunjukkan kepada calon Walikota dan Wakil Walikota atas besarnya pengaruh yang dimilikinya terhadap pilihan politik masyarakat.


(3)

PERANAN ELIT POLITIK LOKAL TERHADAP

KEMANDIRIAN MASYARAKAT KOTA METRO

DALAM KEPUTUSAN MEMILIH PADA PILKADA

TAHUN 2010

Oleh

ERFIR THABRANI INDRA. RA

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Lampung

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

BANDAR LAMPUNG


(4)

PERANAN ELIT POLITIK LOKAL TERHADAP

KEMANDIRIAN MASYARAKAT KOTA METRO

DALAM KEPUTUSAN MEMILIH PADA PILKADA

TAHUN 2010

(Tesis)

Oleh :

ERFIR THABRANI INDRA. RA

NPM : 0926021033

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

BANDAR LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Gaya Baru Kecamatan Seputih Surabaya Kabupaten Lampung Tengah, pada 29 Oktober 1970. Anak ke 2 dari 6 bersaudara, menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Braja Sakti Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timur lulus tahun 1983, SMP Negeri 3 Metro lulus tahun 1986, SMA Negeri 1 Metro lulus tahun 1989, Strata-1 di STISIPOL Dharma Wacana Metro lulus tahun 2000, dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan Strata-2 nya di Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung.

Penulis kini bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota Metro.


(9)

MOTO

“ Demi Bumi Pertiwi aku rela berkorban sampai tetes darah yang terakhir ”

“ Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan

adat-istiadat, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke! “ (Soekarno-1945)


(10)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya sederhana ini untuk :

Papi dan Mami orangtuaku serta Abah dan Ibu mertuaku yang ku cintai dan ku banggakan.

Istriku tercinta ”Elli Santi, SIP.” yang senantiasa setia dalam mendampingiku mengarungi bahtera rumah tangga dengan kesabaran, terima kasih atas cinta dan

motivasi yang engkau berikan kepadaku selama ini

Belahan jiwa, pelipur lara dan permata hati anak-anakku tercinta; Annisa Erlitsya Marchelina, Aldhira Erlitsya Maharani, Agung Indra Pandji Naraprastita. RA. Karena kalian hidup ini lebih bermakna, terima kasih sayang atas pengertian dan


(11)

SANWACANA

Puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan hidayah-Nya serta atas izin-Nya, sehingga penulis dapat merampungkan tesis

yang berjudul ” PERANAN ELIT POLITIK LOKAL TERHADAP

KEMANDIRIAN MASYARAKAT KOTA METRO DALAM KEPUTUSAN MEMILIH PADA PILKADA TAHUN 2010 ”.

Penyusunan tesis ini merupakan bagian dari persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan pada program Strata Dua (S2) dan untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar Magister Ilmu Pemerintahan (M.I.P.) dalam Ilmu Pemerintahan konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

Penulis telah banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dengan tidak mengurangi rasa terima kasih atas bantuan semua pihak dan mohon maaf atas segala kekeliruan yang disengaja maupun tidak di sengaja, maka secara khusus penulis ingin menyebutkannya, diantaranya sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S, selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas

Lampung;

3. Drs. Agus Hadiawan, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung;


(12)

4. Dr. Ari Darmastuti, M.A. selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung; 5. Dr. Suwondo, M.A, selaku Pembahas/Penguji Utama, terima kasih atas

segala saran dan ilmunya dan ke ikhlasan dalam penyelesaian penulisan tesis ini;

6. Dr. Pitojo Budiono, M.Si, selaku Pembimbing Utama, terima kasih atas segala saran dan ilmunya untuk tesis ini yang telah banyak mencurahkan pemikiran serta waktunya dalam membimbing penulis menyelesaikan tesis; 7. Drs. Amantoto Dwijono, M.H, selaku Pembimbing Pembantu dan

Pembimbing Akademik, yang senantiasa mengarahkan dan memotivasi penulis dalam proses belajar kearah yang lebih baik, semoga diberikan kesembuhan dari Alloh SWT;

8. Drs. Yana Ekana PS, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung;

9. Bapak dan Ibu Dosen di Program Magister Ilmu Pemerintahan yang telah memberikan bimbingan selama penulis menimba ilmu pengetahuan serta para pegawai dan karyawan yang telah memberikan pelayanan administrasi dan segala sesuatu keperluan akademik yang dibutuhkan penulis;

10. Kedua orangtuaku dan Kedua mertuaku yang selalu memberikan do‟a demi keberhasilan dan kesuksesan penulis;

11. Isteriku tercinta yang selalu tiada henti memberikan dorongan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan ini, terima kasih atas pengertian dan dukungannya, serta anak-anak yang tersayang;


(13)

12. Kakak dan Adik-adikku tercinta yang mendo‟akan penulis dalam mencapai cita-cita;

13. Teman-teman seperjuangan di Magister Ilmu Pemerintah; 14. Almamaterku tercinta Universitas Lampung;

Penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat mengingat keterbatasan kemampuan pengetahuan dan pengalaman penulis. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan Allah meridhai amal baik atas jasa yang telah membantu dalam penulisan tesis ini.

Bandar Lampung, Maret 2014 Penulis,


(14)

i DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL Hal

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 13

C. Tujuan Penelitian 14

E. Kegunaan Penelitian 14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsepi Mandiri 16

B. Kelompok Kepentingan 17

C. Relasi Kekuasaan 18

D. Teori Partai Politik 20

E. Teori Politik Lokal 21

F. Demokratisasi dan Elite Politik Lokal 22

G. Pengambilan Keputusan 26

H. Desentralisasi dan Demokrasi Lokal 28

I. Demokrasi dan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung 30

J. Sejarah Rekrutmen Kepala Daerah 36

K. Kerangka Pemikiran 41

III. METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian 43

B. Focusing Obyek Penelitian 46

C. Teknik Pengumpulan Data 47

1. Wawancara (interview) 47

2. Observasi 48

3. Studi Litelatur 49

4. Studi Dokumentasi 49

D. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 49

1. Reduksi data 49

2. Penyajian (Display) Data 49

3. Pengambilan Keputusan 50


(15)

ii BAB IV. PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 53

1. Gambaran Administratif Kondisi Fisik dan Administrasi

Wilayah Kota Metro 53

a. Kondisi Geografis 53

b. Luas Wilayah 54

2. Gambaran Umum Demografis 55

B. Pelaksanaan Tahapan-Tahapan dalam Pilkada 56

1. Tahap Persiapan 56

2. Tahap pelaksanaan 60

3. Penetapan Walikota dan Wakil Walikota Metro Terpilih,

Pengesahan dan Pelantikan 83

C. Peran Lembaga-lembaga terkait dalam pelaksanaan Pilkada 85

1. Peran KPUD Kota Metro 85

2. Peran Panwas Pilkada Kota Metro 86

3. Peran Pemerintah Kota Metro 86

4. Peran DPRD Kota Metro 87

D. Kualitas Pelaksanaan Pilkada 87

1. Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat 87 2. Perangkat peraturan perundangan yang mengatur pilkada 88

3. Waktu pelaksanaan pilkada 91

4. Keberadaan desk pilkada 92

5. Money Politics dalam Pilkada 95 6. Masalah Krusial saat Pilkada tahun 2010 100 E. Pilkada Langsung dan Munculnya Elite Politik Lokal 101 F. Peran Elite Politik Lokal dalam Pilkada 108 G. Peranan Elite Politik Lokal terhadap Kemandirian Masyarakat 112 H. Tujuan Elite Politik Lokal mempengaruhi

KemandirianMasyarakat 114

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 119

B. Saran 119


(16)

iii

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1 Luas Wilayah Administrasi Kota Metro 54 Tabel 2 Jumlah penduduk Kota Metro Tahun 2005–2009 55 Tabel 3 Lembaga terkait Proses Penetapan Daftar Pemilih 61 Tabel 4 Perbandingan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dengan

Daftar Pemilih Tetap 63

Tabel 5 Faktor-Faktor Penambahan dan Penghapusan Pemilih 64 Tabel 6 Pasangan Calon dan Dukungan Partai Politik

Yang Mendaftar Ke KPUD 67

Tabel 7 Pasangan Calon dan Dukungan Partai Politik

Yang Memenuhi Syarat 69

Tabel 8 Pasangan Calon Yang Tidak Memenuhi Syarat 70

Tabel 9 Nomor Urut Pasangan Calon 70

Tabel 10 Pelaksanaan Kampanye Pasangan Calon 73 Tabel 11 Hasil rekapitulasi perolehan suara Pasangan calon

Walikota dan Wakil Walikota Metro periode 2010-2015 83 Tabel 12 Rekapitulasi Data Pemilih dan TPS 88


(17)

iii

DAFTAR GAMBAR


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk menjalankan peran di tengah masyarakat yang selama diperankan pemerintah, elit politik lokal harus mampu membangun basis kekuasaan untuk menopang posisi elit politik lokal. Perubahan yang terjadi pada sistem politik membawa pengaruh selain terhadap hubungan antara elit dengan masyarakat. Perubahan yang berlangsung menjadikan masyarakat tidak lagi sebagai obyek yang pasif dalam hubungannya dengan elit. Kedudukan dan posisi elit politik tidak hanya dengan menyandarkan pada negara tetapi harus mampu melakukan kalkulasi taktis untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Selain itu, dapat pula dinyatakan bahwa di kalangan internal elit berlangsung dinamika, di mana masing-masing individu elit saling bersaing untuk mempertahankan posisi dan peranannya. Oleh karena itu, dengan terjadinya perubahan sistem politik, elit politik lokal harus mampu menyusun strategi untuk bisa meraih dan mempertahankan posisi dan perannya.

Penyelenggaraan Pilkada secara langsung merupakan pelaksanaan sistem demokrasi ditingkat lokal yang bertujuan menghasilkan penyelenggara pemerintahan di daerah yang demokratis dan aspiratif berdasarkan pada asas Pancasila dan konstitusi. Dengan demikian Pilkada secara langsung juga merupakan representasi dari pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal dalam menentukan pemimpin atau kepala daerah, sebagaimana esensi dari demokrasi adalah kedaulatan penyelenggaraan negara berada ditangan rakyat sehingga setiap


(19)

2 aspek penyelenggaraan negara harus dapat menempatkan kepentingan rakyat pada posisinya yang utama. Pilkada secara langsung di daerah harus dapat diselenggarakan dengan asas-asas pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil sehingga tidak perlu diwarnai dengan kekerasan dan anarkisme. Siapapun kandidat yang menjadi pemenang dalam Pilkada secara langsung seharusnya dapat diterima oleh semua pihak, karena tujuan pelaksanaan Pilkada adalah mencari pemimpin yang dapat dipercaya untuk membawa amanah rakyat secara keseluruhan.

Pelaksanaan demokrasi sangat ditentukan oleh kedewasaaan masyarakat dalam berdemokrasi dan dapat terlaksana apabila masyarakatnya memiliki partisipasi politik yang baik, partisipasi politik sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pemahaman masyarakat dan ketaatan pada aturan atau regulasi pelaksanaan Pilkada. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan Pilkada dapat terwujud dengan baik apabila masyarakatnya memiliki kesadaran politik yang cukup tinggi. Partisipasi masyarakat dalam berpolitik akan meningkat apabila partai politik benar-benar melaksanakan fungsinya yaitu dengan memberikan sosialisasi politik. Peran partai politik sangat diharapkan dalam membangun partisipasi politik di masyarakat, dalam rangka memahami konsep-konsep pelaksanaan Pilkada sebagai bagian dari sosialisasi. Pilkada menurut Juliansyah ( 2007 : 10 ) adalah :

”sebagai media untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara

demokratis sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, dan pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Dengan otonomi luas diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip


(20)

3 demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jabatan politik diisi melalui Pilkada sesuai konteks dari Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 dengan pemerintah daerah yang diharapkan dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat, karena masyarakat yang berada di daerah tersebut lebih mengenal karakter dan kemampuan pemimpinnya. Rakyat pemilih memiliki tanggung jawab sosial dari apa yang telah mereka pilih, sesuai visi, misi, dan program dalam mewujudkan kemajuan daerah yang ingin dicapai oleh pemimpin mereka yang berada di daerahnya melalui proses seleksi sosial. Karena itu hakekat pilkada adalah melalui suatu kompetisi dan proses politik, dan rakyat lokal dapat menerima proses yang sudah berjalan demi menciptakan

kesejahteraan bersama”.

Berdasarkan pendapat di atas, tujuan dari pelaksanaan Pilkada secara langsung, adalah rakyat dapat mengenal sendiri calon pemimpin daerahnya, hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Pilkada langsung adalah suatu mekanisme yang sangat demokratis. Pengenalan calon pemimpin terhadap karakter masyarakat serta daerahnya merupakan prasyarat mutlak demi membentuk pemimpin yang memahami kebutuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat.

Kondisi ini berbeda dengan sebelumnya, pemilihan kepala daerah pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999, rakyat tidak terlibat langsung dalam menentukan kepala daerah, sehingga terkadang yang menjadi kepala daerah hanya merupakan representasi dari partai politik atau elite politik dan pemerintah pusat. Sistem pemilihan yang demikian dikenal dengan sistem keterwakilan atau pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Kepala daerah yang terpilih terkadang memiliki konsep pemikiran serta perilaku yang tidak berpihak pada rakyat dan lebih berpihak pada partai atau koalisi partai serta elite politik. Kebijakan pemerintah dalam pemilihan kepala


(21)

4 daerah (pilkada) secara langsung merupakan implementasi pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara

demokratis”.

Pada aras lokal, pilkada langsung berdampak pada dua aspek krusial yaitu menguatnya dominasi para elite politik lokal dalam sistem pemerintahan di daerah serta terjadinya pergerakan konsolidasi demokrasi ke arah yang lebih massif

secara nasional. Penguatan dominasi para elite politik lokal ditandai dengan munculnya para penggiat partai politik yang duduk di parlemen lokal atau daerah yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya muncul pula para pemilik modal serta tokoh-tokoh sosial keagamaan yang juga menjadi elemen, yang turut mempengaruhi proses pemerintahan di daerah. Pergerakan konsolidasi demokrasi dimulai dari penyadaran masyarakat bahwa pemimpin di level daerah ditentukan oleh mayoritas keinginan suara masyarakat. Secara bertahap kesadaran atas pentingnya suara mayoritas tersebut mengkristal sebagai kegiatan politik masyarakat secara lebih massif.

Perkembangan politik yang stabil di Kota Metro tidak terlepas dari peran para elit politik lokal dalam menciptakan suasana kehidupan politik yang harmonis. Pilkada Kota Metro memang sudah selesai dilaksanakan dan pemerintahan sudah berjalan dengan baik, namun meskipun pilkada sudah selesai bukan berarti menjadi selesailah perkembangan politik yang terjadi di masyarakat, karena pilkada akan tetap dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Urgensi pemilihan


(22)

5 kepala daerah secara langsung adalah akibat terjadinya pergeseran politik terutama pada pergeseran tujuan desentralisasi dari model efisiensi administrasi ke model demokrasi lokal, proses demokrasi tersebut hanya dapat berkembang subur jika nilai-nilai demokrasi berakar kuat pada tingkat lokal. Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah tahun 2010 merupakan pemilu yang memiliki makna tersendiri masyarakat Kota Metro karena untuk pertama kali pelaksanaan pemilihan dilakukan langsung oleh masyarakat menuju tahap kedua pada pilkada tahun 2015, dan ini menjadi sejarah dalam pemilihan umum yang pernah ada di Kota Metro pasca reformasi.

Pilkada sebagai perwujudan demokrasi menjadi dambaan masyarakat, mengingat demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat. Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat sesuai hati nurani, demokrasi sesungguhnya didasarkan atas aturan rakyat dan dalam sistem politik yang demokratis rakyat, kesempatan dan suara yang sama dalam mengatur pemerintahan. Pilkada langsung yang memiliki makna pendidikan politik sekaligus penguatan potensi lokal yang selama ini terabaikan, sebagaimana disampaikan oleh Murray Print dalam Mawardi (2008) :

“pembentukan masyarakat yang memiliki keadaban demokratis dan

demokrasi keadaban paling mungkin dilakukan secara efektif hanya melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education)”.

Bentuk aktualisasi dari civic education terletak kepada tingkat partipasi politik rakyat di setiap momentum politik seperti Pemilu ataupun Pilkada maupun pada


(23)

6 saat beraktifitas dalam memperjuangkan dan mengagregasikan kepentingannya melalui partai politik. Pilkada yang diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 menyatakan bahwa ayat (1) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, ayat (2) pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pelaksanaan pilkada didasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor : 6 Tahun 2005 mengenai Tata cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah. Perjalanan sistem politik kini telah memasuki babak baru setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor : 5/PUU-V/2007, tentang putusan perkara permohonan pengajuan Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 yang pada dasarnya merupakan putusan untuk melegitimasi secara tegas posisi calon perseorangan untuk dapat maju dalam sebuah pemilihan kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) tanpa partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan langkah maju dari pelembagaan demokratisasi baik secara nasional maupun lokal. Pelaksanaan pilkada langsung merupakan sebuah peningkatan demokrasi ditingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara berarti dalam negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya. Winarno (2002: 11) mengatakan bahwa :

”Sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih.


(24)

7 Bambang Purwoko (2005: 10) menyatakan bahwa :

“Dalam pilkada langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyarakat untuk menduduki jabatan publik, juga berati adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan“.

Dilaksanakannya pilkada secara langsung tentu memiliki suatu tujuan, dimana untuk menjalankan amanat atau berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 yakni untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, Pilkada langsung sebagai pembelajaran politik yang mencakup tiga aspek yaitu :

1) Meningkatkan kesadaran politik (conscientization) masyarakat daerah dalam proses pemilihan, dimana masyarakat akan terbentuk pemahaman terhadap realitas sosial politik yang ada dan kemungkinan masyarakat secara aktif mengambil bagian atau mempunyai peran bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

2) Mengorganisir masyarakat daerah ke dalam suatu aktifitas politik yang memberikan peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi, pengorganisasian masyarakat, mengaktifkan dan mendidik masyarakat menjadi warga negara yang proaktif dalam proses-proses politik yang berlangsung ditingkat lokal dan mengikutsertakan masyarakat sebagai

stakeholder terbesar dalam kehidupan berdemokrasi.

3) Memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, misalnya dengan turut langsung menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan.


(25)

8 Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antara masyarakat dengan pemerintah dan institusi-institusi di luar pemerintahan, telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktek perilaku politik dalam semua sistem politik, oleh karena itu seringkali bisa dilihat dan diukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap masyarakat terhadap daerahnya, pemerintahnya, pemimpin politik yang mempengaruhi kemandirian.

Kota Metro yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Dati II Way Kanan, Kabupaten Dati II Lampung Timur dan Kotamadya Dati II Metro, merupakan wilayah pemekaran Kabupaten Lampung Tengah, saat ini Kota Metro dipimpin oleh seorang Walikota yang berdasarkan Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004 dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang demokratis. Sejak dibentuk menjadi Kotamadya Dati II, Kota Metro telah melaksanakan pemilihan Kepala Daerah sebanyak dua kali yaitu pada tahun 2005 dan tahun 2010.

Pada kedua pemilukada tersebut, pasangan calon kepala daerah merupakan pasangan calon yang kesemuanya berasal dari partai politik, bukan berasal dari calon independen. Pada tahun 2010 terdapat pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang ditetapkan oleh KPU Kota Metro tahun 2010 sesuai nomor urut sebanyak tiga pasangan calon, antara lain :

Nomor Urut 1 Hi. Lukman Hakim SH, MM - Hi. Drs. R. Saleh Chandra Pahlawan, MM (Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Gerindra, PKPI).

Nomor Urut 2 Hi. Drs. Abdul Haris - Hi. Prof. Dr. Juhri Abdul Muin, M. Pd (PKB, Partai Hanura, Partai Karya Perjuangan, PPP).


(26)

9 Nomor Urut 3 Hi. Djohan, SE,. MM – Hi. Hernowo Isyanto, SIP (Partai Amanat Nasional, PDI-P, Partai Golkar, PDK, PKPB, PNBK, PKNU, PBB).

Keberhasilan penyelenggaraan pilkada di Kota Metro karena pemerintahan demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai. Adapun Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi menurut Aristoteles (Soehino, 1996:27) adalah sebagai berikut:

a. Adanya keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung.

b. Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat.

c. Adanya persamaan hak bagi seluruh rakyat dalam segala bidang.

d. Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.

e. Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh rakyat.

f. Adanya media massa yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

g. Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

h. Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan memilih pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

i. Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).


(27)

10 Pelaksanaan pilkada sebagai bagian dari penguatan demokrasi lokal akan terus bergulir pada masa yang akan datang, untuk itu penyelenggaraan pilkada perlu mendapatkan perhatian serius melalui kemandirian masyarakat dalam memilih pemimpin, agar di masa yang akan datang terdapat perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Sebagai suatu sistem politik, pilkada langsung membutuhkan kesungguhan dalam penerapan, mulai dari perangkat aturan yang tegas, penyelenggara yang independen sampai dengan elite-elite politik yang berjiwanegarawan serta perilaku pemilih, agar pemilihan kepala daerah tidak dimaknai sesuatu proses yang berujung pada pragmatisme politik dan tindakan money politics. Pemilihan kepala daerah pada tahun 2010, yang diselenggarakan di Kota Metro merupakan bagian dari proses pemilihan kepala daerah yang secara teoritis menempatkan masyarakat Kota Metro sebagai pemegang kedaulatan dengan menentukan pilihannya pada saat pemilihan kepala daerah. Sebagai suatu proses politik, para elite politik memiliki peran yang besar dalam memperhatikan tahapan-tahapan pilkada sebagai barometer yang menjadi ukuran untuk menilai kualitas pemilihan kepala daerah, mulai dari persiapan, pelaksanaan, pemungutan suara hingga pengesahan dan pelantikan. Serangkaian proses politik yang yang baik menggambarkan kondisi lima tahun kepemimpinan kepala daerah, dengan semakin berkualitasnya proses pemilihan, maka makin besar kemungkinan kepala daerah yang terpilih akan semakin berkualitas.

Kedaulatan yang dimiliki oleh masyarakat yang diimplementasikan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung berdampak pada tumbuh suburnya kalangan elite lokal, yang dengan tujuan tertentu mempengaruhi kemandirian


(28)

11 masyarakat dalam memilih. Kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihannya secara demokratis kadang kala terusik oleh kepentingan-kepentingan serta pengaruh dari para elite lokal. Jika dilakukan identifikasi, terdapat beberapa kalangan yang dapat dikatagorikan sebagai elite lokal di Kota Metro, antara lain:

pertama, para pemimpin organisasi keagamaan seperti pimpinan Nahdlatul Ulama dan pimpinan Muhammadiyah. Sebagai tokoh ormas Islam terbesar, pimpinan NU dan Muhammadiyah Kota Metro memiliki pengaruh yang kuat terhadap para pengikutnya. Masyarakat Kota Metro yang berpenduduk mayoritas beragama Islam sangat menghormati para tokoh tersebut serta menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap perkataan serta tindakan mereka. Kedua, para tokoh masyarakat yang diidentifikasikan melalui kelompok-kelompok primordial terutama suku jawa. Di Kota Metro terdapat banyak sekali tokoh kultural jawa yang berasal dari mantan kepala desa (sebelum pemecahan menjadi Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Timur dan Kota Metro) yang masih memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap penduduk Kota Metro yang mayoritas bersuku jawa. Ketiga,

para tokoh pimpinan partai politik. Dalam hal ini, pimpinan partai politik bukan hanya sebagai pimpinan formal dari pengurus serta anggota partai politik saja, tetapi dalam kapasitasnya juga melakukan kegiatan-kegiatan politik yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga terdapat suatu hubungan tidak langsung antara pimpinan partai politik dengan masyarakat melalui interaksi di dalam kegiatan politiknya. Keempat, tokoh pengusaha lokal dan pemilik modal. Di Kota Metro terdapat pengusaha atau pemilik modal yang memiliki banyak karyawan/pegawai. Dalam kapasitasnya, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi masyarakat dalam aktifitas politik, terutama pada


(29)

12 momentum penyelenggaraan pilkada. Para pengusaha dan pemilik modal ini sering kali turut serta menyampaikan atau memberikan dukungan secara terbuka kepada salah satu pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Kelima, pejabat birokrasi pemerintahan. Meskipun tidak terlalu signifikan pengaruhnya, namun para pejabat birokrasi di Pemerintahan Daerah sering kali menjadi tokoh yang memetakan dirinya untuk mendukung salah satu pasangan calon dan secara aktif maupun pasif mempengaruhi kemandirian pilihan para pegawai di instansinya untuk memilih calon yang didukungnya.

Para elite politik lokal tersebut dapat sangat mempengaruhi masyarakat dalam menentukan pilihan dalam pilkada. Proses mempengaruhi dapat berupa himbauan semata atau melalui bujukan imbalan atau bahkan ancaman. Dalam hal pengaruh elite politik lokal terhadap kemandirian pilihan masyarakat, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain : pertama, sebagian besar masyarakat Kota Metro masih memiliki karakter paternalistik dan bersifat primordial. Masyarakat dengan karakter seperti ini cenderung patuh pada patronase. Artinya dominasi patron sangat kuat terhadap client-nya sehingga menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk menentukan pilihan secara mandiri. Kedua, wilayah Kota Metro adalah wilayah yang kecil sehingga memiliki kerapatan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini memberikan keleluasan dan kemudahan bagi para patron untuk mempengaruhi pilihan masyarakat. Ketiga, Partai-partai politik belum berfungsi baik dalam pendidikan politik. Partai-Partai politik yang eksis sekarang ini hampir semuanya tidak berorientasi pada program pendidikan politik, bahkan tidak jarang aspirasi masyarakat sering dimanipulasi. Keempat, jumlah pemilih di Kota Metro


(30)

13 relatif kecil sehingga biaya politik yang dikeluarkan oleh para elit politik lokal tidak terlalu besar sehingga memudahkan upaya teknis untuk mempengaruhi masyarakat. Kelima, Penegakan hukum atas pelanggaran pemilu hingga saat ini belum terselenggara dengan baik. Banyak pelanggaran-pelanggaran pemilu termasuk penyuapan serta pencurian suara yang tidak dapat terselesaikan melalui mekanisme hukum.

B. Rumusan Masalah

Kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan pada momentum pilkada sangat terkait dengan informasi serta pengetahuan yang diperoleh masyarakat pemilih tentang pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota. Informasi yang diterima masyarakat pemilih tentang kandidat biasanya didapat melalui saluran-saluran informasi yang tersedia, terutama para agent atau informan yang terdiri dari komunitas elit politik lokal. Dengan demikian elit politik lokal sesungguhnya memiliki kepentingan yang cukup besar atas pilihan masyarakat tersebut mengingat besarnya manfaat yang diperoleh jika pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang didukungnya menjadi pemenang dalam pilkada. Adanya simbiosis mutualisme antara masyarakat pemilih, elite politik lokal serta pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada akhirnya membentuk suatu aliansi tiga arah. Di satu sisi masyarakat pemilih memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, di sisi yang lain elite lokal dianggap memiliki pengaruh atas masyarakat pemilih serta dimungkinkan akan memiliki pengaruh terhadap kebijakan yang akan diambil oleh pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih. Sedangkan


(31)

14 pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memperoleh sejumlah dukungan suara yang dibutuhkan untuk memenangkan kompetisi pemilihan.

Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian adalah Peranan Elit Politik Lokal Terhadap Kemandirian Memilih Masyarakat Dalam Memilih Pada Pilkada di Kota Metro yang diselenggarakan tahun 2010. Waktu penyelenggaraan pilkada tahun 2010 dipilih berdasarkan asumsi bahwa pada tahun ini adalah pilkada terakhir yang dilaksanakan di Kota Metro sehingga data serta memori masyarakat serta informan masih dapat ditelusuri secara lebih komprehensif. Selain itu tahun pilkada tahun 2010 adalah pilkada yang kedua sehingga masyarakat dianggap memiliki pengalaman dan sudah memiliki pemahaman atas informasi yang bersifat ajakan atau black campaign. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Faktor Apakah yang dapat mempengaruhi kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010?

b. Bagaimanakah pengaruh elit politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010?

c. Mengapa elit politik lokal dapat mempengaruhi keputusan memilih masyarakat Kota Metro pada Pilkada Tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan aspek penting dalam kegiatan penelitian, salah satu aspeknya adalah menerangkan fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis :


(32)

15 a. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian masyarakat Kota Metro

dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010?

b. Pengaruh elit politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010?

c. Tujuan elit politik lokal mempengaruhi keputusan memilih masyarakat Kota Metro pada Pilkada Tahun 2010?

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah dapat memberi manfaat dalam pengkajian pelaksanaan pemilihan umum Walikota dan Wakil Walikota Metro yang akan datang, melalui :

1. Teridenfitikasinya berbagai aspek yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dalam upaya peningkatan kualitas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi para pengambil kebijakan terkait dalam upaya bagi peningkatan kualitas pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kemandirian

Kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting bagi individu. Individu yang memiliki kemandirian tinggi relatif mampu menghadapi segala permasalahan karena individu yang mandiri tidak tergantung pada orang lain, selalu berusaha menghadapi dan memecahkan masalah yang ada, Menurut

Antonius (2000:145) :

”seseorang yang mandiri adalah suatu suasana dimana seseorang mau dan mampu mewujudkan kehendak atau keinginan dirinya yang terlihat dalam tindakan atau perbuatan nyata guna menghasilkan sesuatu (barang atau jasa) demi pemenuhan kebutuhan hidupnya dan sesamanya”.

Mutadin (2002, www.epsikologi.com) :

“kemandirian adalah suatu sikap individu yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, individu akan terus belajar untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu berfikir dan bertindak sendiri dengan kemandiriannya seseorang dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat berkembang dengan lebih mantap”.

Menurut Drost (1993:22) :

“kemandirian adalah individu yang mampu menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya dan mampu bertindak secara dewasa”.

Hasan Basri (1994:53) mengatakan bahwa :

“kemandirian adalah keadaan seseorang dalam kehidupannya mampu memutuskan atau mengerjakan sesuatu tanpa bantuan orang lain”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah kemampuan seseorang dalam mewujudkan kehendak atau keinginannya secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain. Dengan demikian yang dimaksud


(34)

17 dengan kemandirian dalam penelitian ini adalah perilaku dalam mewujudkan kehendak atau keinginan secara nyata dengan tidak bergantung pada orang lain.

B. Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan (Interest Group) adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, tanpa berkehendak memperoleh jabatan publik. Sekalipun mungkin pemimpin-pemimpin atau anggotanya memenangkan kedudukan-kedudukan politik berdasarkan pemilihan umum, kelompok kepentingan itu sendiri tidak dipandang sebagai organisasi yang menguasai pemerintahan. Kelompok kepentingan terbentuk akibat adanya kesamaan kepentingan-kepentingan antar individu. Sehingga mereka mengartikulasikan kepentingan tersebut dengan menggabungkan diri dalam kelompok. Hal ini dilakukan agar kepentingan tersebut dapat terealisasi karena memiliki bargaining

yang tinggi. Jenis-jenis kelompok kepentingan ini menurut Gabriel A. Almond

adalah meliputi :

1. Kelompok Anomic, yaitu kelompok yang terbentuk diantara unsur-unsur dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika, dan karena tidak memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka kelompok ini sering tumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non konvensional, seperti, demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik. 2. Kelompok Non Assosiasional, yaitu kelompok yang termasuk kategori kelompok masyarakat awam (belum maju) dan tidak terorganisir dan kegiatanya bersifat temporer (kadangkala). Wujud kelompok ini antara lain


(35)

18 adalah kelompok keluarga, keturunan, etnik, regional yang menyatakan kepentingan secara kadangkala melalui individu-individu, kepala keluarga dan atau pemimpin agama.

3. Kelompok Institusional, yaitu kelompok formal yang memiliki struktur, visi, misi, tugas, fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya, Partai politik, korporasi bisnis, Badan legislatif, Militer, Birokrasi.

4. Kelompok Assosiasional, yaitu kelompok yang terbentuk dari masyarakat dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah atau perusahaan pemilik modal. Contoh lembaga ini adalah Serikat Buruh, Paguyuban, MUI, NU, Muhammadiyah.

C. Relasi Kekuasaan

Di dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu terdapat pengertian–pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang kehidupan, kekuasaan mencakup kemampuan untuk memerintah (agar yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi keputusan–keputusan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengharuhi tindakan–tindakan pihak lain. Hubungan kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini

disebabkan dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin” (direction) atau apa yang oleh Max Weberdisebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara apa yang oleh Leon Daguitdisebut “pemerintah” (gouverrnants) dan “yang diperintah” ( gouvernes ).


(36)

19

Max Weber mengatakan, kekuasaan adalah kesempatan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan–kemauannya sendiri, dengan sekaligus menerapkannya terhadap tindakan–tindakan perlawanan dari orang–orang atau golongan–golongan tertentu. Terkait dengan kekuasaan dalam pemerintahan, Max Weber membagi kekuasaan dalam tiga tipe, yaitu :

a. Kekuasaan tradisional, yaitu kekuasaan yang bersumber dari tradisi masyarakat yang berbentuk kerajaan dimana status dan hak para pemimpin juga sangat ditentukan oleh adat kebiasaan. Tipe jenis ini melembaga dan diyakini memberi manfaat ketentraman pada warga.

b. Kekuasaan kharismatik. Tipe yang keabsahannya berdasarkan pengakuan terhadap kualitas istimewa dan kesetiaan kepada individu tertentu serta komunitas bentukannya, tipe ini di miliki oleh seseorang karena kharisma kepribadiannya. Kekuasaan tipe ini akan hilang atau berkurang apabila yang bersangkutan melakukan kesalahan fatal. Selain itu, juga dapat hilang apabila pandangan atau paham masyarakat berubah.

c. Kekuasaan rasional–legal, yaitu kekuasaan yang berlandaskan sistem yang berlaku. Bahwa semua peraturan ditulis dengan jelas dan diundangkan dengan tegas serta batas wewenang para pejabat atau penguasa ditentukan oleh aturan main. Kepatuhan serta kesetian tidak ditujukan kepada pribadi pemimpin, melainkan kepada lembaga yang bersifat impersonal.

Dalam masyarakat demokratis kedudukan wewenang berupa sistem birokrasi, dan ditetapkan untuk jangka waktu terbatas (periode). Hal ini untuk mencegah peluang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya sekaligus menjamin


(37)

20 kepentingan masyarakat atas kewenangan legal tersebut. Dalam hal ini membahas relasi kekuatan-kekuatan politik di Metro. Relasi kuasa antar kekuatan yang dimaksud disini adalah para kandidat calon kepala daerah yang mengikuti kompetisi lima tahunan dan para partai politik pendukung pada Pilkada di kota Metro. Para calon kepala daerah dan Partai politik pendukungnya memiliki peran penting dalam Pilkada di kota Metro dan dari 3 pasangan calon kepala daerah ini memiliki relasi kuasa yang cukup kuat pada Pilkada.

Dalam Proses Demokrasi, Pilkada adalah instrumen demokrasi untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara kelompok masyarakat tentang siapa yang harus dan layak menjadi kepala daerah. Pertarungan dalam proses Pilkada menjadi sebuah proses pertarungan politik dalam wujud tindakan demokrasi. Demokratisasi merupakan usaha untuk mencapai keputusan politik melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Menurut Dahl ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu : pertama, seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan, dan kedua, seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.

D. Teori Partai Politik

Secara umum dalam teori bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik


(38)

21 dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka. Partai politik berbeda dengan kelompok penekan (pressure group) atau istilah yang lebih banyak dipakai dewasa ini, kelompok kepentingan (interest group). Kelompok ini bertujuan untuk

memperjuangkan sesuatu “kepentingan” dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau menghindarkan keputusan yang merugikan. Menurut Carl J. Friedrich, Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partai-partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partai-partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.

Sedangkan menurut R.H. Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.

Sigmund Neumann dalam karangannya “Modern Political Parties” juga mengemukakan definisi sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

E. Teori Politik Lokal

Pemilihan kepala daerah langsung merupakan salah satu bentuk demokrasi yang baru pertama dilaksanakan sejak tahun 2005, pilkada juga merupakan mekanisme pemilihan langsung pemimpin eksekutif di daerah, dari Walikota, Bupati hingga


(39)

22 Gubernur. Dalam pilkada kekuasaan politik yang terdesentralisasi dari pusat ke daerah, partai politik memiliki peranan yang penting dalam mengakomodasi isu-isu politik yang menjadi kepedulian masyarakat. Demokrasi berjalan terus, kekuatan pusat beralih ke daerah dan kekuatan-kekuatan lain muncul di daerah dengan suasana yang hampir sama dengan suasana rezim Orba.

Penguasa modal terus bergerilya untuk tetap eksis dalam bisnis dan elit-elit serta aktor-aktor politik yang tidak jauh dari pengaruh penguasa. Desentralisasi merupakan langkah penting dan langkah yang diperlukan untuk mengembangkan demokrasi lokal karena ia membuka ruang bagi partispasi warga dalam proses pengambilan keputusan. Pilkada merupakan bentuk terbaik bagi rekrutmen kepemimpinan di tingkat lokal dengan melibatkan rakyat sebagai penentu dan pemilik kedaulatan. Dalam pilkada, semua proses dan mekanisme penyelenggarannya harus benar, bersih dan jauh dari tekanan, rayuan dan kebohongan.

F. Demokratisasi dan Elit Politik Lokal

Tumbangnya pemerintahan Orde Baru menghasilkan kehadiran sistem politik yang bercorak demokratis sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pemaknaan struktur yang ada. Elit politik lokal yang semula memaknai struktur sebagai pembatasan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara dalam level daerah berubah menjadi pemberdayaan kekuatan serta pengaruh yang dimilikinya. Namun sebaliknya, para elit politik lokal yang tadinya memaknai demokratisasi


(40)

23 sebagai pemberdayaan justru berubah menjadi pembatasan eksplorasi resources

kekuasaan yang dimiliki.

Proses demokratisasi dalam aras lokal terejawantahkan dalam penerapan asas desentralisasi melalui otonomi penyelenggaraan pemerintahan di daerah membawa dampak yang cukup signifikan terhadap keberadaan dan peran elit politik lokal yang telah mapan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa. Demokratisasi di daerah menyebabkan terjadinya reposisi serta restrukturisasi elit politik lokal dalam perannya guna mempengaruhi keputusan politik serta kebijakan publik. Di era demokratisasi dan desentralisasi untuk memperebutkan dan mempertahankan posisi sebagai elit politik lokal harus dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat di antara individu-individu yang mengincar posisi tersebut. Hal ini tidak terjadi pada saat rezim Orde Baru berkuasa, di mana peran negara sedemikian dominan dalam mempengaruhi kemunculan dan peran elit poltik lokal. Sehingga keberadaan elite politik lokal tidak terlepas dari campur tangan pemerintah.

Pada era otoritarian orde baru elit politik lokal lebih sering memainkan peran untuk mewujudkan kepentingan pemerintah pusat ketimbang merealisasikan kepentingan dan kebutuhan daerah, elit politik lokal cenderung melakukan peran sebagai perpanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk mengkooptasi masyarakat (Antlov.1994:73). Untuk mewujudkan kepentingan tersebut, negara sangat berkepentingan dalam hal memilih dan menentukan peran yang diemban oleh elit politik lokal. Rezim orde baru mengendalikan roda pemerintahan, keberadaan dan peran elit politik lokal lebih banyak ditopang dan


(41)

24 tergantung pada negara. Hal ini dapat berlangsung karena negara yang direpresentasikan oleh pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Besarnya kekuasaan tersebut, salah satunya ditandai dengan kuat dan dominannya peran Kantor Kepresidenan, menjadikan segala urusan penyelenggaraan pemerintah sangat tergantung pada pemerintah pusat (Gaffar,1999:150-152) .

Runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru pada tahun 1998 menandai mulainya perubahan peta politik Indonesia serta dapat dibaca sebagai titik awal pelemahan peran negara di satu sisi dan menguatnya kontrol masyarakat pada sisi yang lain. Seiring berlangsungnya perubahan peta politik tersebut, keberadaan dan peran elite politik lokal tidak lagi sepenuhnya ditopang dan tergantung negara. Di era demokratisasi mereka mempunyai kesempatan untuk tidak lagi berperan sebagai perpanjangan tangan negara. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, menarik untuk mencermati keberadaan dan peran elit politik lokal. Tumbangnya rezim Orde Baru menghadirkan ruang yang lebih luas bagi elit politik lokal untuk mengekspresikan keberadaan dan perannya yang sebelumnya terkungkung dominasi pemerintah. Melemahnya peran negara yang diikuti dengan berkembangnya situasi kondusif bagi demokratisasi, menjadikan elit politik lokal berupaya secara mandiri untuk tetap dapat “survive”. Elit politik lokal harus mampu membangun pijakan baru sebagai basis kekuasaannya untuk menopang posisinya, hal ini karena mereka tidak mungkin lagi menyandarkan diri pada negara yang semakin lemah pengaruhnya.

Atas dasar uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan dan peran elit politik lokal tidak bisa lepas dari pengaruh perubahan yang terjadi pada sistem


(42)

25 politik yang melingkupinya. Perubahan yang terjadi pada sistem politik membawa pengaruh selain terhadap hubungan antara elit dengan massa, juga terhadap hubungan antara elit dengan negara. Perubahan yang berlangsung menjadikan massa tidak lagi sebagai obyek yang pasif dalam hubungannya dengan elit. Demikian pula elit untuk mempertahankan posisinya tidak bisa hanya dengan menyandarkan pada negara, tetapi harus mampu melakukan kalkulasi taktis untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, dapat pula dinyatakan bahwa di kalangan internal elite berlangsung dinamika, di mana masing-masing individu elit saling bersaing untuk mempertahankan posisi dan peranannya. Oleh karena itu, dengan terjadinya perubahan sistem politik, elit politik lokal harus mampu menyusun strategi untuk bisa meraih dan mempertahankan posisi, peran serta pengaruhnya. Sebagaimana diungkapkan dalam teori strukturasi, Giddens

menyatakan bahwa ada hubungan antara pelaku dan struktur, di mana hubungan antara keduanya berupa relasi dualitas. Dalam hubungan dualitas, termaktub pengertian bahwa antara pelaku dan struktur tidak terpisahkan, di antara keduanya terjadi hubungan saling mempengaruhi. Hubungan antara pelaku dengan struktur dapat dipahami melalui praktik sosial, di mana praktik sosial itu sendiri merupakan kejadian atau kebiasaan sehari-hari hasil interaksi antara struktur dengan pelaku. Hubungan tersebut dipengaruhi kesadaran praktis (practicalconsciousnes) dan kesadaran diskursif (discursive consiousness) dari pelaku.

Melalui kesadaran praktis pelaku, struktur dapat mengeliminasi atau membatasi pelaku dengan cara memaksa untuk melakukan rutinisasi tindakan (sebagai


(43)

26 kebiasaan sehari-hari). Sebaliknya dengan kesadaran diskursif yang dimilikinya, pelaku berupaya merubah struktur melalui praktik sosial baru dengan melakukan de-rutinisasi tindakan. Giddens yang menyatakan bahwa struktur merupakan aturan (rules) dan sumber daya (resources) dapat terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial dipahami sebagai faktor yang tidak hanya bersifat membatasi atau mengekang tetapi juga bersifat memberdayakan pelaku. Namun pada sisi lain, pelaku yang merupakan aktor dapat pula mempengaruhi struktur, dalam arti tidak harus selalu tunduk kepada struktur. Lebih lanjut Giddens

menyebutkan bahwa ada tiga gugus struktur, yakni signifikasi (signification), dominasi (domination), dan legitimasi (legitimation). Struktur signifikasi menunjuk pada pemaknaan atau simbolik, penyebutan, dan wacana; gugus struktur dominasi menunjuk pada penguasaan baik atas orang maupun barang; dan gugus struktur legitimasi menunjuk pada peraturan normatif yang tampak pada aturan hukum. Ketiga gugus struktur tersebut selain dapat membatasi, dapat pula memberdayakan pelaku. Sementara itu, dalam pandangan konsep strukturasi, pelaku dilihat bukan sebagai sosok yang pasif. Melalui kreativitas yang dimilikinya, pelaku mampu melakukan tindakan untuk melepaskan diri dari jeratan struktur yang melingkupinya. Pelaku bahkan mempunyai peluang menyiasati untuk membentuk struktur (baru) dengan melakukan de-rutinasi tindakan guna memberi keuntungan baginya.

G. Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan merupakan suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk ditindaklanjuti sebagai suatu cara


(44)

27 pemecahan masalah. Terkait dengan fungsi Pengambilan Keputusan, maka tujuan Pengambilan Keputusan dapat dibedakan:

1) Tujuan yang bersifat Tunggal. 2) Tujuan yang bersifat Ganda.

Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan keputusan, unsur pengambilan keputusan itu adalah : a. Tujuan dari pengambilan keputusan;

b. Identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah;

c. Perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di luar jangkauan manusia; dan

d. Sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.

Pengambilan keputusan secara rasional ini berlaku sepenuhnya dalam keadaan yang ideal. Pada pengambilan keputusan secara rasional terdapat beberapa hal sebagai berikut :

a. Kejelasan masalah, tidak ada keraguan dan kekaburan masalah. b. Orientasi tujuan, kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai.

c. Pengetahuan alternatif, seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya.


(45)

28 e. Hasil maksimal, Pemilihan alternatif terbaik berdasarkan atas hasil

ekonomis yang maksimal.

H. Desentralisasi dan Demokrasi Lokal

Menurut Bhenyamin Hoessein (1993) desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Pengertian ini didasarkan pada kasus empirik Indonesia, dimana kelahiran daerah otonom dan otonomi daerah di Indonesia merupakan hasil ciptaan pemerintah melalui proses desentralisasi. B. C. Smith (1985) mengemukakan bahwa desentralisasi mensyaratkan adanya pendelegasian kekuasaan (power)

kepada pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat disyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah daerah sebagai wujud dari pelaksanaan desentralisasi. PBB membagi desentralisasi dalam dua bentuk ; (1) Dekonsentrasi yang juga disebut desentralisasi administratif; dan (2) Devolusi yang juga sering disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau desentralisasi politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal. Dalam desentralisasi demokrasi atau desentralisasi politik, terdapat dua asumsi mendasar. Pertama, desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Kedua, lembaga perwakilan (DPRD) yang diserahi wewenang adalah hasil pemilu lokal. Desentralisasi kekuasaan juga dimaksudkan sebagai upaya memperkecil sentralisasi pemerintahan. Terwujud atau tidaknya desentralisasi dapat dilihat dari adanya penyerahan wewenang dari pemerintah kepada daerah


(46)

29 otonom untuk mengambil keputusan dan berkreasi secara mandiri sesuai dengan kepentingan politiknya. Di samping itu dalam desentralisasi harus terdapat kemauan politik (political will) yang serius dari pemerintahyang menyerahkan kewenangan dalam mendukung setiap kebijakan politik pemerintah daerah dan aspirasi politik kelompok masyarakat setempat.

Desentralisasi politik dinilai dapat meningkatkan dan memperkuat accountability, capability, dan responsibility masyarakat di daerah serta tumbuh dan berkembangnya demokrasi dalam pemerintahan dengan adanya partisipasi politik masyarakat. Dengan demikian, desentralisasi pada esensinya merupakan wahana bagi terciptanya partisipasi masyarakat dan terbentuknya kepemimpinan politik, baik di tingkat daerah maupun nasional (Maskun, 2000). Pada tingkat daerah, masyarakat memberikan partisipasi politik dalam merencanakan dan mengambil keputusan politik. Rakyat diikutsertakan dalam pemerintahan negara dengan menggunakan saluran tertentu yaitu lembaga perwakilan rakyat sesuai batas wilayah administratif yang telah ditentukan (Logeman dalam Pide, 1999). B. C. Smith (dalam Hidayat, 2000) melihat tujuan desentralisasi pada dua sudut pandang, yakni kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan daerah. Dilihat dari sisi kepentingan pemerintah pusat, sedikitnya ada empat tujuan utama dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, meliputi; pendidikan, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik, dan mewujudkan demokrasi sistem pemerintahan di daerah. Sementara, bila dilihat dari sisi kepentingan daerah desentralisasi memiliki tiga tujuan, yakni : pertama, mewujudkan political equality. Kedua, menciptakan lokal accountability. Ketiga, mewujudkan lokal


(47)

30

responsiveness. Desentralisasi politik biasanya dikaitkan dengan demokratisasi. Artinya, rakyat diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan politik, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan (DPRD).

Kebijakan pemerintah daerah maupun keputusan politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) akan lebih legitimate apabila didasarkan pada aspirasi politik rakyat, disesuaikan dengan kepentingan politik rakyat dan diatur bersama rakyat, tidak berdasarkan kepentingan politik pemerintah atau partai politik secara sepihak. Dasar pemikirannya adalah kebijakan pemerintah daerah maupun keputusan politik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat terselenggara dengan baik apabila rakyat yakin bahwa mereka adalah bagian dari keputusan atau kebijakan politik itu dan aspirasi politik mereka terpenuhi. Apabila pemerintah dan pemerintah daerah punya kemauan politik yang serius untuk menciptakan

“sense of belonging” dari kalangan masyarakat, maka desentralisasi adalah suatu keharusan dalam setiap proses pengambilan keputusan, baik di bidang politik maupun di bidang lain. Dalam ilmu pemerintahan, masyarakat yang demikian disebut sebagai masyarakat yang modern dan pemerintahan yang menempuh mekanisme ini disebut sebagai pemerintahan yang demokratis.

I. Demokrasi dan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Upaya untuk mewujudkan demokratisasi di Indonesia ditempuh melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan menjalankan desentralisasi, termasuk di dalamnya Pilkada langsung. Desentralisasi merupakan bagian dari proses demokratisasi. Dengan desentralisasi maka kepada daerah, baik pemerintahannya,


(48)

31 rakyatnya, maupun wakil-wakil rakyat, diberi kemungkinan dan kesempatan untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat (Nadapdap, 2005). Pilkada langsung merupakan salah satu bentuk implementasi desentralisasi dalam perspektif politik, dimana terjadi proses transfer lokus kekuasaan dari pusat ke daerah (Romli, 2005).

Pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia dimulai pada tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005. Pilkada langsung di Indonesia sering dikatakan sebagai suatu lompatan demokrasi yang dapat berkonotasi positif maupun negatif (Kristiadi, 2006). Dalam arti positif, Pilkada langsung memberikan kesempatan kepada rakyat di daerah sebagai salah satu infrastruktur politik untuk memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini akan mendorong terjadinya keseimbangan antara infrastruktur politik dengan suprastruktur politik, karena melalui pilkada langsung maka rakyat dapat menentukan jalannya pemerintahan dengan memilih pemimpin yang dikehendaki secara bebas dan rahasia. Meskipun rakyat tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan keputusan pemerintahan sehari-hari, namun mereka dapat melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan yang sudah mendapat mandat langsung dari rakyat.

Dengan demikian terjadi mekanisme check and balance yang mendorong dicapainya akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sedangkan, dalam arti negatif, Pilkada langsung sebagai lompatan demokrasi yang merupakan pestanya rakyat daerah, diartikan sebagai kebebasan rakyat untuk


(49)

32 berbuat apa saja, termasuk melakukan tindakan-tindakan anarki dalam pelaksanaan Pilkada serta mengambil keuntungan pribadi dari pelaksanaan Pilkada tersebut. Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, Pilkada langsung bisa menjadi pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional.

Terlaksananya Pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi. Kadar demokrasi suatu negara ditentukan antara lain oleh seberapa besar peranan masyarakat dalam menentukan siapa diantara mereka yang dijadikan pejabat negara. Semakin banyak pejabat negara, baik di tingkat lokal maupun nasional, yang dipilih langsung oleh rakyat, maka semakin tinggi kadar demokrasi di negara tersebut (Fitriyah, 2005). Hal ini sesuai dengan pendapat Dahl (1989) yang menyatakan bahwa demokratisasi pada tingkat nasional hanya mungkin terbangun jika demokrasi juga berlangsung pada tingkat lokal. Sedangkan, menurut Bentham

(1996), Manor (1998), Gaventa and Valderrama (1999), Cornwall and Gaventa

(2001), pemerintah lokal memiliki potensi dalam mewujudkan demokratisasi karena proses desentralisasi mensyaratkan adanya tingkat responsivitas, keterwakilan dan akuntabilitas yang lebih besar (Antlov, 2004). Sementara Smith, Dahl maupun Mawhood mengatakan bahwa untuk mewujudkan local accountability, political equity, dan local responsiveness, yang merupakan tujuan desentralisasi, diantara prasyarat yang harus dipenuhi adalah bahwa pemerintah daerah harus memiliki legal authority of power (teritorial kekuasaan yang jelas),

local own income (memiliki pendapatan daerah sendiri), dan local representative body (lembaga perwakilan rakyat) yang berfungsi untuk mengontrol eksekutif


(50)

33 daerah, serta adanya kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilihan umum (Hidayat, 2002).

Sebagaimana dikatakan Tip O’Neill, “all politics is lokal”, yang berarti bahwa demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat di aras nasional apabila di tingkatan yang lebih rendah (local) nilai-nilai demokrasi berakar kuat. Pilkada langsung akan mewujudkan makna tersebut (Legowo, 2005). Dengan pemahaman seperti itu maka penyelenggaraan Pilkada langsung dipandang dapat memberikan dampak positif terhadap penguatan demokrasi di Indonesia. Terdapat lima alasan mengenai hal itu, yaitu : Pertama, partisipasi politik. Dalam Pilkada langsung rakyat terlibat langsung dalam menentukan siapa yang layak (memiliki kredibilitas dan kapabilitas memperjuangkan aspirasi dan memenuhi kepentingan rakyat) menjadi pelayan (pejabat publik) mereka. Melalui proses semacam itu dapat tumbuh kesadaran bahwa merekalah (rakyat) pemegang kedaulatan politik yang sebenarnya. Termasuk dalam kesadaran ini adalah kehati-hatian dalam menentukan pilihan, sebab kesalahan memilih dapat membawa akibat buruk terhadap kehidupan mereka. Kedua, kompetisi politik lokal. Pilkada langsung membuka ruang untuk berkompetisi secara fair dan adil diantara para kontestan yang ada. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi suatu kontestan dari partai politik tertentu yang mendominasi secara terus menerus proses yang berlangsung dan menutup ruang bagi kelompok lainnya untuk turut berkompetisi secara fair.

Ketiga, legitimasi politik. Berbeda dengan cara Pilkada tidak langsung (melalui DPRD) seperti yang dilaksanakan sebelumnya, Pilkada langsung akan memberikan legitimasi yang kuat bagi kepemimpinan kepala daerah yang terpilih.


(51)

34 Dalam mekanisme pemilihan langsung, kepemimpinan yang terpilih akan merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih (rakyat), sehingga dapat dipastikan bahwa kandidat yang terpilih secara demokratis akan mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat pemilih.

Keempat, minimalisasi manipulasi dan kecurangan. Salah satu unsur yang mendorong penyelenggaraan Pilkada langsung adalah maraknya berbagai kasus

money politics dan berbagai bentuk kecurangan lainnya dalam penyelenggaraan Pilkada yang selama ini terjadi. Intervensi pemerintah dalam pemilihan kepala daerah memang menurun sejak diberlakukannya otonomi daerah, namun permasalahan beralih ke lembaga perwakilan di daerah yang melaksanakan Pilkada tersebut dalam bentuk money politics yang terjadi di hampir seluruh daerah.

Kelima, akuntabilitas. Dalam Pilkada langsung oleh rakyat, akuntabilitas kepala daerah menjadi sangat penting. Hal ini karena apabila rakyat sebagai pemilih menilai bahwa kepala daerah yang terpilih ternyata tidak dapat melaksanakan tugastugasnya secara baik dan bertanggung jawab kepada rakyat, maka rakyat akan memberikan sanksi dalam Pilkada berikutnya dengan tidak memilihnya kembali. Menurut Romli (2005), sejalan dengan tujuan desentralisasi dari Smith,

Pilkada langsung pada gilirannya akan memberikan pendidikan politik kepada rakyat di daerah untuk memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri tanpa adanya intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah pusat dan/atau elit-elit politik di tingkat pusat.


(52)

35 Pilkada langsung juga akan memberikan latihan kepemimpinan bagi elit-elit lokal untuk mengembangkan kecakapannya dalam merumuskan dan membuat kebijakan, mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat, komunikasi politik dengan masyarakat, serta melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Dari pengalaman-pengalaman inilah pada gilirannya diharapkan akan dapat dilahirkan politisi-politisi atau pemimpin-pemimpin yang handal yang dapat bersaing di tingkat nasional. Pilkada langsung juga menciptakan pola rekrutmen pimpinan lokal dengan standar yang jelas. Dengan Pilkada langsung maka akan terjadi rekrutmen pimpinan politik yang berasal dari daerah (lokal), bukan didrop dari pusat. Dengan Pilkada langsung, rakyat ikut terlibat secara langsung dalam memilih pemimpinnya. Keterlibatan rakyat secara langsung ini pada gilirannya akan meningkatkan demokratisasi di tingkat lokal, dimana rakyat benar-benar memiliki kedaulatan. Dengan kata lain tidak terjadi distorsi dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pilkada langsung juga dapat menciptakan stabilitas politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Hal ini karena kepala daerah yang terpilih memperoleh legitimasi kuat dari rakyat secara langsung, sehingga tindakan penghentian kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tidak dapat dilakukan oleh DPRD. Pilkada langsung sebagai pembelajaran politik mencakup tiga aspek pembelajaran, yakni : (1) meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; (2) mengorganisir masyarakat ke dalam aktifitas politik yang memberi peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi; dan (3) memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.


(53)

36 Pilkada langsung sekaligus merupakan upaya memperkuat sistem lokal dan memperkuat otonomi daerah sebagai suatu proses demokratisasi karena : (1) mengurangi arogansi DPRD melalui klaim sebagai satu-satunya lembaga representasi rakyat, karena pilkada langsung akan memposisikan kepala daerah juga sebagai representasi masyarakat lokal; (2) membatasi pengaruh konfigurasi politik DPRD kepada kepala daerah, karena akuntabilitas publik kepala daerah tidak semata-mata ditentukan oleh DPRD, tetapi juga oleh masyarakat lokal; (3) lebih menjamin terciptanya legitimasi pemerintahan daerah, sehingga pemerintahan daerah menjadi lebih efektif; dan (4) mengurangi praktek money politics dalam proses Pilkada dan proses pelaporan pertanggungjawaban kepala daerah (Ramses, 2003). Sedangkan dalam hal pelaksanaannya, tahap pelaksanaan Pilkada meliputi tahapan-tahapan, antara lain : (1) Tahap persiapan, (2) Tahap pelaksanaan, dan (3) Tahap pengesahan dan pelantikan.

J. Sejarah Rekrutmen Kepala Daerah

Perjalanan rekrutmen kepala daerah merupakan proses politik yang panjang, yang diwarnai berbagai kepentingan dan tarik-menarik kepentingan, antara kepentingan elite dengan kepentingan publik, antara kepentingan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan mungkin saja antara kepentingan nasional dengan kepentingan internasional. Berdasarkan perjalanan sejarah rekrutmen politik kepala daerah, ada semacam missing link (rantai yang hilang) apa bila bangunan argumentasinya hanya didasarkan dengan membandingan sistem pemilihan perwakilan menurut (Undang-Undang Nomor : 22 Tahun 1999) dan sistem pemilihan langsung (Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004). Sarundajang


(54)

37 (2005), mencatat bahwa pemilihan kepala daerah yang pernah dilaksanakan di Indonesia, setidaknya terdiri dari empat sistem, antara lain :

1. Sistem Penunjukan/Pengangkatan oleh Pusat

Sistem penunjukan atau pengangkatan oleh pusat (masa Pemerintahan Kolonial Belanda, penjajahan Jepang (Undang-Undang Nomor : 27 Tahun 1902). Kemudian Undang Nomor : 22 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1957, ketika berlakunya sistem parlementer yang liberal. Pada masa itu, baik sesudah maupun sebelum pemilu 1955 tidak ada partai politik yang mayoritas tunggal. Akibatnya, pemerintah pusat yang dipimpin oleh perdana menteri sebagai hasil koalisi partai, mendapat biasnya sampai ke bawah.

2. Sistem Penunjukan

Sistem ini merujuk pada Penetapan Presiden Nomor : 6 Tahun 1959 jo Penetapan Presiden Nomor : 5 Tahun 1960; Undang-Undang Nomor : 6 dan Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1956), yang lebih dikenal dengan era Dekrit Presiden, ketika diterapkannya demokrasi terpimpin. Penerapan Penetapan Presiden Nomor : 6 Tahun 1959 jo Penetapan Presiden Nomor : 5 Tahun 1960 disertai alasan yang memaksa.

3. Sistem Pemilihan Perwakilan Semu

Sistem ini mengacu pada Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1974, di era Demokrasi Pancasila. Pilkada dipilih oleh DPRD dan kemudian dari calon yang terpilih itu akan ditentukan kepala daerahnya oleh presiden.


(55)

38

4. Sistem Pemilihan Perwakilan

Sistem perwakilan mengacu pada (UU No. 18/1965 dan UU No. 22/1999), di mana kepala daerah dipilih secara murni oleh lembaga DPRD, tanpa intervensi pemerintah pusat.

5. Sistem Pemilihan Langsung

Mengacu pada Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004, di mana Kepala Daerah dipilih langsung oleh masyarakat.

Berdasarkan beberapa tahapan perubahan pola rekrutmen kepala daerah tersebut menunjukkan adanya kemajuan demokrasi dan pelembagaan politik masyarakat untuk turut serta dalam menetukan masa depan suatu daerah yang tentunya berimplikasi secara langsung terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam satu periode pemerintahan. Apabila membandingkan penerapan rekrutmen kepala daerah berdasarkan sistem perwakilan semu terdapat sejumlah penyimpangan yang cukup menarik. Syaukani HR, Affan Gaffar dan Ryaas Rasyid menggambarkan bahwa rekrutmen politik lokal ditentukan oleh orang Jakarta, khusunya pejabat Depdagri untuk pengisian jabatan Bupati, Walikota, Sekretaris Daerah, Kepala-Kepala Dinas di Provinsi. Sementara untuk jabatan Gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar TNI, dan Sekretariat Negara (2002:38).

Beberapa kelemahan sistem pemilihan perwakilan semu dalam konteks demokrasi termasuk kategori prinsipil, yaitu : (1) tiadanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggat waktu yang jelas, kompetitif, jujur, dan adil; (2) sempitnya rotasi kekuasaan, sehingga jabatan kepala daerah dipegang terus menerus oleh seseorang


(1)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, maka terdapat ditarik beberapa simpulan, yaitu:

1. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian masyarakat Kota Metro dalam keputusan memilih pada Pilkada tahun 2010, antara lain yang utama adalah peranan elite politik lokal yang berasal dari beberapa kalangan, utamanya adalah tokoh kultural serta pimpinan lembaga organisasi masyarakat (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah), pimpinan birokrasi serta tokoh politik.

2. Peran elite politik lokal terhadap kemandirian masyarakat Kota Metro pada Pilkada tahun 2010 berpengaruh keputusan memilih, hal ini ditandai dengan diikutinya himbauan atau ajakan para elit politik lokal oleh masyarakat Kota Metro. Masyarakat Kota Metro masih menganggap bahwa pilihan para elit politik lokal juga masih relevan untuk didukung.

3. Tujuan elite politik lokal mempengaruhi keputusan memilih masyarakat Kota Metro pada Pilkada Tahun 2010 terutama untuk menunjukkan kepada calon Walikota dan Wakil Walikota atas besarnya pengaruh yang dimilikinya terhadap pilihan politik masyarakat.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan antara lain :

1. Para elit politik lokal semestinya lebih bisa memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menentukan pilihannya secara mandiri. Mempengaruhi


(2)

120 keputusan politik masyarakat dalam momentum pemilihan umum justru menurunkan derajat demokratisasi;

2. Masyarakat harus mampu menentukan pilihannya secara lebih bebas dan rasional. Kebebasan dan rasionalitas masyarakat masyarakat dalam menentukan pilihan dalam pilkada sangat menentukan proses demokratisasi yang sedang berlangsung;

3. Penyelenggara pemilu (KPU dan Panwas) harus dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi dampak negatif pengaruh elit politik lokal atas kemandirian masyarakat dalam pilkada.


(3)

1

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul (ed.). 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta : Tiara Wacana.

Aminuddin dan A. Zaini Bisri. 2005. Pilkada Langsung Problem dan Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Alfian. (1992). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia,Jakarta: Gramedia Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Rineka Cipta. Jakarta.

Asfar, Muhammad. 2005. ‟Sistem Pilkada Langsung: Beberapa Problem, Implikasi Politik dan Solusinya.‟ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

B. Miles Mattew, dan Micchael Huberman. 1992. Analisa Data Kuantitatif. UI press. Jakarta.

Budiman, Arief, 1986, Teori Negara. Kekuasaan dan Ideologi, PT Gramedia, Jakarta

Budiardjo, Miriam, 1994, Demokrasi di Indonesia : Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Bugin Burhan. (2001). Metode Penelitian Sosial, edisi pertama, Surabaya: Airlangga University Press.

Djadijono, M. 2006. “Ideologi Partai Politik”. Dalam Indra J Piliang dan TA.

Legowo. Disain Baru Sistem Politik Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Hlm:71-88.

Faturohman, Deden dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, UMM Press, Malang.

Fitriyah. 2005. „Sistem dan Proses Pilkada Langsung.‟ Analisis CSIS, Vol. 34,

No. 3. Harris, Syamsuddin. 2005. ‟Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah.‟ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, 1990, Dalam Buku, Budaya Pollitik, tingkah laku politik dan demokrasi di lima Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Harison, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Politik. Kencana. Jakarta.


(4)

Hoessein, Bhenyamin. 1997. ‟Tantangan Global dan Tanggap Lokal: Desentralisasi Demokrasi dan Efisiensi.‟ Manajemen Pembangunan, No. 19/V.

James A.F. Stoner perencanaan dan pengambilan keputusan dalam manajemen James A.F. Stoner, Charles Wankel ; (penerjemah Sahat Simamora, Ed. 2. Jakarta: Rineka Cipta, 1993)

Lay, Cornelis,2003, “Otonomi Daerah dan Ke-Indonesiaan” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Legowo, Tommy A. 2005. „Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Good

Governance dan Masa Depan Otonomi Daerah.‟ Jurnal Desentralisasi, Vol. 6, No. 4.

Marijan, Kacung. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Predana Media Group. Jakarta.

Marsh, David dan Gerry Stoker,(2010).Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, Bandung; Nusa Media.

Miles dan Huberman,(1992).Analisa Data Kualitatif,Jakarta: UI press.

Macridis, Roy C, (1988).Pengantar Sejarah, Fungsi dan Tipologi Partai-partai, Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.

Moleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Cet Ke-22. PT. Remaja Rosda Karya. Jakarta.

Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Sosial. Gajah Mada Press. Yogyakarta.

Nadapdap, Binoto. 2005. „Pasang Surut Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala

Daerah Secara Langsung.‟ Sociale Polites Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Vol. V, No. 22.

Nurhasim, Moch. Konflik Antar Politik Lokal Dalam Pemilihan Kepala Daerah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Pratikno, 2003, Pilihan yang Tidak Pernah Final, Dalam Abdul Gaffar Karim (Ed.), Desentralisasi, , Kompleksitas Persoalan Otnomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar,Yogyakarta.

Prasojo, Eko, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan, (2006). Desentralisasi &Pemerintahan daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, Jakarta: Gramedia


(5)

3

Riswandha Imawan, Hubungan Antar Lembaga & Pemerintah:Sistem Politik & Pemerintah Indonesia. Yogyakarta.2001

Riyadmaji, Dodi, 2003, Mengkritisi Pemikiran Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Sinaga, Kastorius, 2003, Pemilihan Kepala Daerah Langsung Kota dan Kabupaten: Beberapa catatan Awal, dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Persoalan Otonomi di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Romli, Lili. 2005. „Pilkada Langsung, Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal.‟

Analisis CSIS, Vol. 34, No.3.

Singarimbun, Masri dan Effendi Sofian. 1995. Methode Penelitian Survey. LP3ES, Jakarta

Sjafii, Inu Kencana, 1994, Pengantar Ilmu Pemerintahan, CV. Mandar Madju, Bandung.

Smith. B. C. Decentralization : The Territorial Dimension of State.1985

Sugiyono,(2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, Jakarta: Alfabeta.

Surbakti, A. Ramlan, (1992).Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo.

Soemardjan, Dr Selo, Penguasa dan Kelompok Elit, Suzzane keller, Jakarta: Rajawali.

Silalahi oberlin, (1989). Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara, Yogyakarta: Liberty.

Sri Herwindya Baskara Wijaya, Tesis PPs S2 Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. 2008

Supranto. J. 2006. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan Untuk Menangkap Pangsa Pasar, Rineka Cipt. Jakarta.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung.

Urbaningrum, Anas. 2005. „Antisipasi Masalah-masalah Dalam Penyelenggaraan

Pilkada Langsung.‟Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Tim Pustaka Kendi, 2004, Desentralisasi dalam Prakrtek, tejemahan dari Henry Maddick,1961, Democracy, Decentralisation and Development.


(6)

Utomo, Tri Widodo W.,2004, Pilkada Langsung dalam Kerangka Reformasi

Birokrasi: Beberapa Catatan Kritis, dalam Inovasi Online,

vol.2/XVI/Nov.2004.

Montesquieu, 1784, L‟Espirit des Lois

Varma, S.P, (2001).Teori Politik Modern, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yuwono K.Andi, Kusnadi J. Raymond, Blegur Sinnal, (2010).Bersatu Membangun KuasaPengembangan Strategi Gerakan Rakyat Pasca Politik Elektoral 2009,Perkumpulan Praxis, Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat.

Peraturan-peraturan:

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

PP Nomor 35 tahun 1985

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 5/PUU-V/2007