Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa dengan Menggunakan Assertive Training di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung

(1)

MENGGUNAKAN ASSERTIVE TRAINING DI SMA MUHAMMADIYAH 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013-2014

Oleh

NURAINI INDRIYANI

Masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya interaksi sosial siswa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah dapat meningkatkan interaksi sosial siswa dengan menggunakan assertive training?. Tujuan penelitian ini adalah untukmeningkatkan kemampuan interaksi sosial siswamelalui assertive training.

Penelitian ini bersifat quasi eksperimental dengan jenis desain One Group Pretest-Postest. Subjek penelitian ini sebanyak 8 orang siswa yang memiliki interaksi sosial rendah. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan pedoman observasi.

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi sosial siswa mengalami peningkatan yang signifikan dengan menggunakan teknik assertive training, dengan peningkatan 84%, terbukti dari hasil pretest dan posttest diperoleh Zhitung = 2,536 dan Ztabel 0,05 = 4. Zhitung < Ztabel. Dengan demikian Ha diterima, artinya terdapat peningkatan interaksi sosial dengan menggunakan teknik assertive training pada siswa XI IPS di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013-2014.

Kesimpulan adalah terdapat peningkatan kemampuan interaksi sosial setelah diberi teknik assertive training pada siswa kelas XI IPS SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013-2014 setelah diberi teknik assertive training.

Saran yang diberikan adalah (1) siswa yang memiliki kemampuan interaksi sosial yang rendah hendaknya berusaha untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya, sehingga dalam menjalankan kegiatan sehari-hari tidak mengalami suatu hambatan dalam membina hubungan dengan orang lain. (2) guru bimbingan konseling hendaknya melakukan teknik assertive training dalam meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa, (3) peneliti lain yang akan melakukan penelitian tentang interaksi sosial dengan teknik assertive training hendaknya dapat menggunakan subjek yang berbeda dan meneliti variabel lain dengan mengontrol variabel-variabel yang sudah diteliti sebelumnya.


(2)

MENINGKATKAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL SISWA DENGAN MENGGUNAKAN ASSERTIVE TRAINING DI SMA

MUHAMMADIYAH 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Oleh : Nuraini Indriyani

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Bimbingan dan Konseling Jurusan Ilmu Pendidikan

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 21 Juli 1991 di Kota Manna, Bengkulu Selatan. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Harmoko, S.IP., dan Puji Sri Handayani, AKS.

Penulis menempuh pendidikan formal diawali dari: TK Totokaton, Punggur, Lampung, lulus pada tahun 1997; SD Negeri 10 Kota Manna, Bengkulu Selatan, lulus tahun 2003; SMP Negeri 2 Kota Manna, lulus tahun 2006; kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 5 Bengkulu Selatan, lulus tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. Selanjutnya, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan Praktik Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah (PLBK-S) di SD Negeri 1 Bandar Agung. Kedua kegiatan itu dilaksanakan di Dusun XVI, Desa Bandar Agung, Kecamatan Bandar Sribhawono, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, di tahun 2012.

Selama masa kuliah, penulis aktif di Lembaga Kemahasiswaan, sebagai anggota di Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pendidikan (Himajip), Forum Mahasiswa Bimbingan dan Konseling (Formabika) sebagai anggota di tahun 2009-2010. Serta aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Universitas (UKM-U) Resimen Mahasiswa (Menwa) di tahun 2009-2013.


(7)

“Pahlawan

bukanlah orang yang meletakkan pedang

kepundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah

orang yang sanggup menguasai diri sendiri dikala ia

marah”

(Nabi Muhammad SAW)

“Keyakinan Menciptakan Kenyataan”

(William James)


(8)

PERSEMBAHAN

Bismillahirahmanirrohim…..

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT atas terselesaikannya penulisan skripsi ini, ku persembahkan karya kecilku ini untuk:

Ayahandaku Harmoko „Saimanto‟ dan Ibundaku Puji Sri Handayani, yang selalu senantiasa mendo‟akanku dalam setiap sujudnya. Terimakasih atas

semua yang telah kalian berikan kepadaku, pelajaran mengenai betapa indahnya saling mencintai dalam kesederhanaan kehidupan, memberiku perhatian, pengertian, serta dukungan luar biasa sehingga kalianlah sumber

motivasiku.

Adinda ku tercinta, Melati Puspita Sari, yang selalu memberikan senyum kebahagiaan di hari-hari ku.. “Mbak sayang adek Ta..”

Semua Keluarga Besar, Saudara-saudaraku, Sahabat-sahabatku, Kakanda, Ayunda, Adinda, dan Seseorang yang spesial di hati. Aku sangat menyayangi

kalian, dari dulu hingga batas waktu yang telah ditentukan Allah kepadaku.


(9)

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. yang tak henti-hentinya melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat beriring salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, selalu dinantikan syafaatnya di yaumul akhir nanti. Aamiin.

Terimakasih yang tak henti-hentinya saya ucapkan kepada ayahanda dan ibunda yang selalu mendoakan dan cinta serta semangat kepada penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis tidaklah sendiri, melainkan mendapat masukan, bimbingan, dorongan, serta nasihat dari berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Baharudin Risyak, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Yusmansyah, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. Muswardi Rosra, M. Pd., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing selama kegiatan perkuliahan berlangsung.


(10)

5. Bapak Drs. Syaifudin Latif, M.Pd, selaku Pembimbing I yang telah menyediakan waktunya dalam memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Ibu Ranni Rahmayanthi Z., S.Pd., M.A., selaku Pembimbing II yang telah memberikan motivasi, bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis selama ini. 7. Ibu Diah Utaminingsih, S.Psi., M.A., Psi., selaku penguji yang telah banyak

memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun.

8. Bapak dan Ibu Dosen Bimbingan dan Konseling Unila. Terimakasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama ini.

9. Ibu Dra. H. Iswani selaku Kepala Sekolah, Ibu Khaeranie. MR. S. Psi., M.PD I., selaku koordinator guru BK sekaligus guru pembimbing, siswa yang menjadi subjek penelitian dan seluruh warga SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung, yang telah memberikan kesediaan membantu penulis melaksanakan penelitian. 10. Bapak O’o dan Bu Puji, serta adinda semata wayang, adek Ita (si Ucil), yang

telah memberikan kasih sayang, semangat dan doa yang tak hentinya kepada mbak, dan mbak akan selalu berusaha yang terbaik untuk kalian.

11.Seluruh keluarga besarku, Keluarga Mbah Tukiyat (Alm) dan Mbah Hadi (Alm), yang selalu memberikan semangat dan selalu membuat lebih bahagia jika berada diantara kalian. Terutama keluarga besar Tidar: Pakde Dani, Bude in, Mas Hudan dan Mbak Ning, Bang Budi dan Mbak Lia Billy, Mas Andi dan Mbak Novi, Lala, Balqis, dek Arkan dan dek Rara. Terimakasih atas pelajaran hidup yang berharga serta motivasi yang tak hentinya dari kalian. Sungguh ku bahagia menjadi bagian dari keluarga ini.


(11)

kuat. Terimakasih untuk hari-harinya yang indah.

13.Sahabat terbaikku semasa sekolah dan hingga kini: Resti Pratidina Putri (A’res) dan Dessy Purnama Sari (I’des), terimakasih telah melengkapi cerita kehidupan Mb’in. Sungguh ku sangat bangga dan bahagia telah memiliki kalian.

14.Sahabat-sahabat perjuanganku Bimbingan dan Konseling angkatan 2009: Andreas, Irma, Ita, Christina, Yuda, Tudi (Atu Dian), Berlina, Erwin, Ijul, Adit, Hany, adek Asti, Heri, Halen, Ayu, Archi, Nelly O., Nelly H., Octaria, Yulia, Hesti, Asri, Yuni, Nurjanah, Fitri, R.A. Syifa, Shifa N.I., Ferlysta, Tika, Suci, Nike, Esty, Defiana, Dwi, Shella, Awan, Nanda, Ikhwan, Putri, Rista, Nisa, Dewi (Alm), Ulvi (Alm), Teguh ngguh, Karnaen, Scholastika, Terimakasih atas bantuan, dukungan, doa dan motivasinya.

15.Kakak dan adik tingkatku di Bimbingan dan Konseling Unila, terimakasih atas hari-hari yang berharga di kampus ini.

16.Saudara 1 angkatanku di Menwa (Resimen Mahasiswa), XXXI: Bina si wakil kepala bujang, Irma mbak boy, Ita si tukang nekad, Menyos si miss sleep, Nyus si muka India, Bli Gusti ndut, Bang ndut Ganda, Mas Harist si mamas tampan kata sinduk, Mas Gun si kapas, Bang Poer si muka polos, dan Afdal si uda Ganteng. Terimakasih untuk kalian yang telah menguatkanku, mengajakku tertawa dan menangis bersama. 31 Bravo !

17.Teruntuk kanda Menwa ku: Bang Mutiar, Kanjeng Abdul, Mas Radit, Mas Robertus, Mas Kukuh, Mas Agus, Mas Rahmad, Bang Riky, Mas Ari, Udo


(12)

Fahruddin, Mas Yoan, Kak Wira, Mas Haris (Alm), serta Ayundaku: Uncu Fitri, Mbak Santi, Mbak Ana, Mbak Meita, Ngah Wina, dan untuk semua yang tak dapat ku sebutkan satu persatu, terimakasih atas semua pelajaran kehidupan yang kalian berikan sehingga menjadikan adinda ini sesosok tidak kenal menyerah. 18.Adindaku di Menwa: Amin, Benny, Arief, Arifin, Yogi, Mulyati, Puji, Limah,

Sudiro, Evi, Samsul Anwar, Syahroni, Harianto Agusman dan semua yang telah berbaret ungu. Tingkatkan korsa dan semangat kalian. Kekuatan 55 !!!

19.Teman-teman KKN dan PLBK-S serta keluarga besar pak Sutino, yang telah memberikan pengalaman kehidupan bermasyarakat saat masih menduduki bangku perkuliahan ini.

20.Kerabat di kost Feby: Ani, Mbak Nyang, Nurul, teh Lindi, Endang, Ijah, Putri, Mbak Neti, Eka, Dona, Mbak I’in dan semua yang telah memberikan semangat serta hari-hari selama di kosan ini.

21.Sahabat dan teman-teman yang ada di dalam dan di luar kampus yang tak dapat ku sebutkan satu persatu, terimakasih telah mengisi ruang hari-hariku.

Semoga Allah SWT membalas amal dan kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga bermanfaat. Aamiin.

Bandar Lampung, 2014 Penulis,


(13)

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR LAMPIRAN-LAMPIRAN I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

1. Identifikasi Masalah ... 6

2. Pembatasan Masalah ... 7

3. Rumusan Masalah ... 8

B. Tujuan Penelitian dan Kegunaan ... 8

C. Ruang Lingkup penelitian ... 9

D. Kerangka Pikir ... 10

E. Hipotesis ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Interaksi Sosial ... 15

A.1. PengertianInteraksi Sosial ... 15

A.2. Faktor yang mempengaruhi Interaksi sosial ... 17

A.3. Syarat interaksi sosial ... 23

A.4. Bentuk-bentuk interaksi sosial ... 26

A.5. Kriteria untuk Menganalisis Proses Interaksi ... 30

B. TeknikAssertive Training ... 31

B.1.Pengertian Assertive Training ... 31

B.2. Kelebihan dan kekurangan Assertive Training ... 33

B.3. Tujuan Assertive Training ... 34

B.4. Manfaat Assertive Training ... 35

B.5. Tahapan Pelaksanaan Assertive Training ... 36

C. KeterkaitanAntara Interaksi Sosial dan TeknikAssertive Training ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan tempat penelitian ... 41


(14)

C. Variabel penelitian ... 42

D. Definisi Operasional Variabel ... 42

E. Subyek Penelitian ... 44

F. Teknik Pengumpulan Data ... 45

G. Uji Instrumen ... 50

1. Uji Validitas ... 50

2. Uji Reliabilitas ... 51

H. Teknik Analisis Data ... 52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 54

1. Gambaran Hasil Pra Assertive Training ... 54

2. Deskripsi Data ... 55

3. Pelaksanaan Assertive Training ... 58

4. Deskripsi Data Interaksi Sosial Siswa ... 61

5. Grafik Perubahan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa ... 63

6. Uji Hipotesis ... 64

7. Deskripsi Hasil yang Diperoleh Setiap Pertemuan ... 65

B. Pembahasan ... 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 91

1. Kesimpulan Statistik ... 91

2. Kesimpulan Penelitian ... 91

B. Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman TABEL

3.1 Kisi-Kisi Pedoman Observasi ... 46

4.1 Data Siswa yang Memiliki Interaksi Sosial Rendah ... 55

4.2 Kriteria Kemampuan Interaksi Sosial Siswa ... 56

4.3 Data Pretest Siswa ... 57

4.4 Tahapan pelaksanaan penelitian ... 58

4.5 Data kemampuan interaksi sosial siswa ... 62

4.6 Uji Signifikansi Menggunakan Uji Beda Wilcoxon ... 65

4.7 Tabel Perilaku Siswa Rifki ... 66

4.8 Tabel Perilaku Siswa Ubai ... 69

4.9 Tabel Perilaku Siswa Fausan ... 72

4.10Tabel Perilaku Siswa Eliza... 74

4.11Tabel Perilaku Siswa Sarah ... 77

4.12 Tabel Perilaku Siswa Rendi ... 79

4.13 Tabel Perilaku Siswa Rico ... 82


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman GAMBAR

1.1 Alur Kerangka Pikiran ... 13

3.1 One Group Pretest – Posttest Design ... 39

4.1 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Subjek ... 63

4.2 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Rifki ... 67

4.3 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Ubai ... 70

4.4 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Fausan ... 73

4.5 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Eliza ... 75

4.6 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Sarah ... 78

4.7 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Rendi ... 80

4.8 Grafik Peningkatan Interaksi Sosial Rico ... 83


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman LAMPIRAN

1. Kisi-Kisi Observasi Interaksi Sosial ... 93

2. Lembar Observasi ... 94

3. Pedoman Pelaksaan ... 96

4. Hasil Penelitian Para Ahli ... 108

5. Hasil Uji Coba ... 109

6. Hasil Observasi Uji Coba ... 110

7. Hasil Realibilitas Hasil Observasi ... 111

8. Tahap Pelaksanaan ` ... 112

9. Hasil Wawancara ... 113

10.Nama Siswa yang Direkomendasikan ... 119

11.Hasil Observasi Pretest ... 120

12.Hasil Observasi Posttest pertama ... 121

13.Hasil Observasi Posttestkedua ... 122

14.Narasi Assertive Training ... 123

15.Data Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial ... 149

16.Hasil Uji Wilcoxon ... 153

17.Tabel Nilai-Nilai Kritis Z untuk Uji Wilcoxon ... 154

18.Foto Kegiatan Assertive Training ... 155


(18)

I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tak akan terlepas dari kodratnya, yaitu manusia sebagai makhluk sosial, yang mana ia harus hidup berdampingan dengan manusia lainnya dan sepanjang hidupnya bersosialisasi dengan orang lain dalam proses interaksi. Interaksi sosial menghasilkan banyak bentuk sosialisasi. Bisa berupa interaksi antar individu, interaksi individu dengan kelompok, dan interaksi antar kelompok. Sedangkan syarat terjadinya interaksi sosial adalah terjadi kontak sosial dan terjadi komunikasi.

Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa adanya orang lain. Ini tetap berlaku pada diri orang yang anti sosial sekalipun. Kepekaan sosial ini bukan sekedar bawaan sejak lahir dan diperoleh hanya dengan cara dipelajari, melainkan penggabungan dari keduanya. Hal ini membuktikan bahwa interaksi sosial telah ada dengan adanya kepekaan sosial.


(19)

Interaksi sosial dapat membantu individu mengembangkan potensi yang berada didalam dirinya melalui bantuan orang lain. Tanpa adanya interaksi, maka manusia tak dapat berbuat apapun. Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi persaingan dan pertikaian.

Melalui interaksi sosial, seseorang dapat saling menunjukkan perilaku satu sama lain, dan hal ini menyebabkan pertukaran perilaku antar pribadi. Mereka dapat saling mempengaruhi satu sama lain, dengan cara mengimitasi, sugesti yang timbul, adanya identifikasi, dan timbulnya simpati terhadap orang lain.

Namun tak selamanya interaksi itu berjalan lancar, karena masing-masing individu memiliki tingkat kesukarannya dalam melakukan interaksi sosial ini. Berinteraksi sosial mampu menyatukan dua orang atau lebih, ataupun sebaliknya. Dalam interaksi sosial dibutuhkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial. Interaksi sosial ini mengajarkan individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian sehingga terefleksi kepekaannya terhadap perasaan dan hak orang lain. Seperti yang dikemukakan oleh Murray dan McClelland (dalam Walgito, 2002:57), bahwa individu mempunyai motif atau dorongan sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada individu, maka individu akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi. Dengan demikian, maka akan terjadilah interaksi antara individu satu dengan individu yang lain.


(20)

3

Siswa sebagai anggota masyarakat hendaknya memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik, terutama di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena sebagian besar waktu siswa digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang berada di lingkungan sekolahnya. Tak heran jika siswa satu sama lain sangat saling mempengaruhi, baik dari perilaku, cara berbicara, cara berpakaian, dan lain-lain. Namun permasalahan yang sering ditemui saat ini adalah beberapa siswa yang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial sehingga ia merasa dikucilkan dari teman-temannya yang lebih mampu berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan sekolah. Sedangkan di lingkungan sekolah siswa dituntut mampu berkomunikasi dengan baik dengan warga sekolah yakni guru, staf tata usaha dan teman sebaya, maupun personil sekolah lainnya.

Slameto (2003:68) mengatakan bahwa metode mengajar guru yang kurang berinteraksi dengan siswa secara akrab, akan menyebabkan proses belajar-mengajar kurang lancar, siswa akan merasa jauh dari guru, sehingga menyebabkan siswa enggan berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Sikap siswa yang akhirnya kurang berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar tersebut merupakan salah satu interaksi sosial yang rendah.

Selain itu, apabila ketika siswa yang ingin bertanya namun guru memarahinya, maka akan berdampak pada perilaku siswa yang selanjutnya mungkin saja tidak berani lagi untuk bertanya bahkan dalam hal lain, teman-teman yang lain juga akan ikut mengucilkannya karena guru yang mengajar


(21)

mereka menjadi marah di dalam kelas. Hal-hal seperti itu harus diperhatikan dalam pola mengajar guru karena akan membawa dampak terhadap perilaku siswa yang selanjutnya bisa saja berdampak terhadap prestasi belajar siswa.

Berdsarkan uraian diatas, maka penulis memberikan suatu alternatif penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan dalam meningkatkan interaksi sosial siswa dengan menggunakan teknik assertive training. Satu solusi dari pendekatan behavior yang notabene dengan cepat mencapai popularitas adalah assertive training.

Dalam teknik konseling assertive training, individu dapat melatih dirinya dalam mengungkapkan perasaan yang ia rasakan yang selama ini ia pendam. Teknik ini membantu individu mengatakan “tidak” dan meningkatkan penghargaan terhadap dirinya. Dengan hal ini telah terbentuk, maka interaksi sosial menjadi lebih lancar. Karena dengan assertive training ini, dapat berhubungan dengan individu lain dengan konflik, kekhawatiran dan penolakan yang lebih sedikit dan membantu individu mengungkapkan rasa kasih dan respon-respon positif yang lain.

Pernyataan dalam buku Assertion Training (Rees dan Graham: 1991) yang menjelaskan bahwa seseorang akan mampu menanyakan alasan orang lain memberikan penilaian buruk tentang dirinya. Ketika ia berani dan merasa berhak mengetahui alasan tersebut, maka saat itulah berkurangnya kecemasan


(22)

5

interaksi sosialnya terhadap teman-temannya dan warga sekolah yang lain dapat berkurang.

Jadi teknik yang diajarkan dalam assertive training sangat bermanfaat sebagai salah satu penyelesaian masalah, untuk berbagai macam karakteristik kepribadian yang unik, dapat digunakan untuk banyak hal, diantaranya adalah meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa.

Menurut Corey (2009) pendekatan behavioral berupa assertive training ini bisa diterapkan terutama pada situasi interpersonal dimana individu mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa menyatakan atau menegaskan diri adalah tindakan yang layak atau benar. Pendapat tersebut didukung oleh Lutfi (2007) yang menyatakan bahwa assertive training merupakan latihan keterampilan sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat tersinggung.

Siswa berusia remaja sangat bergantung pada teman sebaya. Mereka memiliki solidaritas yang tinggi terhadap teman karibnya. Tak jarang mereka selalu menyetujui setiap ajakan teman-temannya, padahal mereka sebenarnya ingin mengatakan tidak. Hal ini disebabkan karena mereka menghindari konflik diantara interaksi sosial antar individu


(23)

Berpedoman pada observasi awal yang dilakukan di SMAN 2 Muhammadiyah Bandar Lampung, tepatnya pada kelas XI IPS, penulis mendapatkan bahwa ada siswa yang terisolir dari teman sekelasnya, hal ini ditandai dengan kecenderungan siswa diam dan menyendiri dan kurang suka berkumpul dengan teman-temannya pada saat jam belajar mengajar berlangsung dan pada waktu jam istirahat, ada siswa yang susah mengemukakan pendapat dimuka umum, baik dalam kelas maupun lingkungan sekolah, ada siswa yang sulit bekerja dalam kelompok, hal ini ditandai dengan kurang aktifnya siswa dalam diskusi kelompok, ada siswa yang suka bertindak semena-mena terhadap teman sekelasnya, dan dengan sesuka hatinya meminta temannya yang untuk melakukan pekerjaan kelas. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari interaksi sosial siswa dengan teman sebaya yang rendah di lingkungan sekolahnya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Melalui Assertive Training di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013-2014”.


(24)

7

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat terlihat masalah dalam penelitian ini adalah rendahnya interaksi sosial siswa, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut:

1. Siswa masih takut mengungkapkan yang ia rasakan dikarenakan menghindari terjadinya konflik satu sama lain

2. Ada siswa yang suka menyendiri dari teman-temannya.

3. Siswa kurang mampu mengemukakan pendapat dengan penuh keyakinan dihadapan teman sebayanya

4. Terdapat siswa yang tidak mau bertegur sapa terlebih dahulu apabila bertemu dengan guru dan teman-temannya

5. Ada siswa yang sulit bekerja sama dalam suatu kelompok 6. Ada siswa yang semena-mena terhadap teman sekelasnya

2. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah adalah usaha untuk menetapkan batasan-batasan dari masalah penelitian yang akan diteliti. Maka memberikan batasan-batasan permasalahan untuk menghindari penafsiran yang berbeda-beda, sehingga ruang lingkup dari penelitian itu lebih jelas. Adapun batasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membahas tentang “Meningkatkan


(25)

Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Melalui Assertive Training di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013-2014”.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu “Apakah dapat meningkatkan kemampuan interaksi sosial dengan menggunakan teknik assertive training pada siswa kelas XI IPS di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun pelajaran 2013 – 2014?”.

B. Tujuan Penelitian dan Kegunaan 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial siswa melalui assertive training di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2013 – 2014.

2. Kegunaan Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari segi teoritis dan praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian secara teoritik bagi ilmu bimbingan dan konseling (di sekolah), khususnya


(26)

9

tentang peningkatan interaksi sosial pada siswa SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, sumbangan informasi dan pemikiran bagi guru bimbingan konseling di sekolah, guru bidang studi, dan terhadap siswa di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung mengenai peningkatan interaksi sosial siswa melalui teknik assertive training.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam hal ini penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini agar penelitian lebih jelas dan tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, diantaranya adalah;

1. Ruang lingkup ilmu

Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup ilmu bimbingan dan konseling.

2. Ruang lingkup objek

Ruang lingkup objek dari penelitian ini adalah kemampuan interaksi sosial siswa melalui assertive training.


(27)

3. Ruang lingkup subjek

Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah siswa SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung kelas XI pada jurusan IPS.

4. Ruang lingkup wilayah

Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini adalah SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung.

5. Ruang lingkup waktu

Ruang lingkup waktu dalam penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2013-2014.

D. Kerangka Pikir

Kerangka pikir merupakan gambaran mengenai hubungan antarvariabel dalam suatu penelitian, yang diuraikan oleh jalan pikiran melalui kerangka logis. Kerangka pikir memuat teori, dalil, atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian.

Siswa adalah makhluk sosial yang merupakan anggota masyarakat, setiap siswa hendaknya memiliki kemampuan interaksi sosial yang baik, terutama di lingkungan sekolah. Hal ini disebabkan karena sebagian besar waktu siswa


(28)

11

digunakan untuk berinteraksi dengan orang-orang yang berada di lingkungan sekolahnya, baik itu dengan teman sebaya, guru atau warga sekolah lainnya.

Namun tidak sedikit siswa yang mengalami hambatan dalam berkomunikasi, disadari ataupun tidak. Sehingga kelancaran ia dalam berinteraksi sangat kurang. Untuk membantu siswa mengungkapkan apa yang dirasakan, diinginkan, dan membantu siswa meningkatkan kemampuannya mengekspresikan dirinya dengan nyaman dalam berbagai situasi sosial. Dengan interaksi yang baik kepada teman sebaya serta kepada pendidik di sekolah, secara tidak langsung siswa mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Semakin ia aktif dalam proses belajar mengajar, maka semakin baik materi yang ia dapatkan.

Namun jika siswa tidak mampu berinteraksi dengan baik, maka ia akan memiliki rasa takut dalam menanyakan pelajaran yang belum ia mengerti. Dan bahkan ia ragu bertanya dengan temannya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa interaksi sosial memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan tersebut sejalan dengan pernyataan Slameto (2003:54) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar itu banyak jenisnya, namun dapat digolongkan menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Salah satu faktor dari faktor eksternal adalah faktor sekolah yang didalamnya termuat interaksi dengan sesama siswa.


(29)

Masalah dalam penelitian ini adalah interaksi sosial. Berdasarkan penelitian pendahuluan pada siswa SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung, masalah dalam interaksi sosial juga sering ditemukan pada siswa, seperti siswa masih takut mengungkapkan yang ia rasakan dikarenakan ia menghindari konflik, adapula siswa yang enggan bertegur sapa dengan guru, terdapat siswa yang terisolir dari rekan-rekannya.

Pada penelitian ini, peneliti mencoba mengemukakan alternatif lain untuk menyelesaian permasalahan tersebut yaitu melalui teknik assertive training. Corey (2009:215) menjelaskan bahwa:

assertive training (latihan asertif) merupakan penerapan latihan tingkah laku dengan sasaran membantu individu-individu dalam mengembangkan cara-cara berhubungan yang lebih langsung dalam situasi-situasi interpersonal. Fokusnya adalah mempraktekkan melalui permainan peran, kecakapan-kecakapan bergaul yang baru diperolah sehingga individu-individu diharapkan mampu mengatasi ketakmemadaiannya dan belajar mengungkapkan perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran mereka secara lebih terbuka disertai keyakinan bahwa mereka berhak untuk menunjukkan reaksi-reaksi yang terbuka itu.

Menurut Zastrow (dalam Nursalim 2005:129) menyatakan latihan asertif dirancang untuk membimbing manusia menyatakan, merasa dan bertindak pada asumsi bahwa mereka memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri dan untuk mengekspresikan perasaannya secara bebas. Dalam hubungan dengan orang lain seseorang diharapkan dapat berperilaku asertif artinya seseorang mampu mengekspresikan dirinya secara terbuka tanpa menyakiti atau melanggar hak-hak orang lain, maupun mempertahankan dan meningkatkan


(30)

13

penguat dalam situasi interpersonal melalui suatu ekspresi perasaan atau keinginan.

Menurut Corey (1995:8) menyatakan bahwa asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat apa yang diyakini serta sikapnya terhadap orang lain dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa asertivitas merupakan suatu kemampuan individu untuk mengungkapkan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan dengan jujur pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain yang tujuan dari sikap asertif adalah untuk menyenangkan orang lain dan menghindari konflik dengan segala akibatnya.

Melalui assertive training kurang tegasnya siswa yang menjadi kurang efektifnya interaksi sosial siswa dapat diubah menjadi lebih asertif sehingga siswa bisa memiliki kemampuan interaksi sosial yang lebih baik, sehingga interaksi sosial siswa pun terbentuk dan meningkat menjadi lebih baik. Dan siswa yang memiliki sikap agresif dapat mengendalikan dirinya sehingga ia mampu berinteraksi menjadi lebih baik lagi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka muncul kerangka pikir untuk melihat apakah kemampuan interaksi sosial siswa dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknik assertive training. Untuk lebih memperjelas maka kerangka pikir dapat digambarkan sebagai berikut :


(31)

Gambar 1.1. Alur kerangka pikir

E. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat peningkatan kemampuan interaksi sosial setelah diberi teknik assertive training pada siswa kelas XI IPS SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun pelajaran 2013-2014.

Berdasarkan hipotesis penelitian tersebut, maka hipotesis statistik yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ho : Kemampuan interaksi sosial tidak dapat ditingkatkan pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun pelajaran 2013-2014 dengan menggunakan teknik assertive training.

Ha : Kemampuan interaksi sosial dapat ditingkatkan pada siswa kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun pelajaran 2013-2014 dengan menggunakan teknik assertive training.

Penggunaan teknik

Assertive Training

Rendahnya interaksi sosial siswa

Siswa menjadi meningkat interaksi sosialnya


(32)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian ini berjudul “Meningkatkan Kemampuan Interaksi Sosial Siswa Dengan Menggunakan Assertive Training di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung”. Untuk itu teori yang sesuai dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu hal – hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dan teknik assertive training, serta keterkaitan antara interaksi sosial dengan teknik assertive training.

A. Interaksi Sosial

A.1. Pengertian Interaksi Sosial

Interaksi Sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Menurut Soekanto (2010: 53), interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk


(33)

proses sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, maka kegiatan– kegiatan antar satu individu dengan yang lain tidak dapat disebut interaksi.

Newcomb (dalam Santoso, 2010:163) mengatakan bahwa interaksi sosial adalah peristiwa yang kompleks, termasuk tingkah laku yang berupa rangsangan dan reaksi keduanya, dan yang mungkin mempunyai satu arti sebagai rangsangan dan yang lain sebagai reaksi.

Sargent (dalam Santoso, 2010:164) mengatakan bahwa interaksi sosial dapat diterangkan sebagai suatu fungsi individu yang ikut berpartisipasi / ikut serta dalam situasi sosial yang mereka setujui.

Sutherland (dalam Santoso, 2010:164) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan yang mempunyai pengaruh secara dinamis antara individu dengan individu dan antara individu dengan kelompok dalam situasi sosial.

Pengertian interaksi sosial, menurut beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi adalah hubungan yang terjadi dalam situasi sosial serta adanya aksi dan reaksi yang timbal balik antar individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, dan individu dengan kelompok, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran


(34)

17

secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar terjadi hubungan antara pihak- pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi.

A.2. Faktor Yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Menurut Soekanto (2010: 54), proses interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor Imitasi

Imitasi ini berarti meniru perilaku dan tindakan orang lain. Seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Walaupun pendapat ini berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi tidaklah kecil. Terbukti misalnya pada anak-anak belajar suatu bahasa, seakan-akan mereka mengimitasi dirinya sendiri, mengulang kata-katanya, melatih fungsi lidah dan mulut untuk berbicara. Kemudian ia mengimitasi kepada orang lain, dan memang susah jika orang belajar mengenai semua hal tanpa mengimitasi orang lain. Bahkan tidak hanya berbahasa saja, tetapi juga tingkah laku. Seperti cara memberi hormat, cara berterima kasih, cara memberi isyarat dan lain-lain yang kita pelajari berasal dari imitasi. Imitasi memiliki segi positif dan negatif. Dikatakan positif apabila suatu individu meniru perilaku individu lain yang baik sesuai nilai dan norma masyarakat. Namun dikatakan negatif apabila suatu individu


(35)

meniru perilaku individu lain yang tidak baik atau menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat.

2. Faktor Sugesti

Sugesti merupakan suatu proses dimana seorang individu menerima suatu cara pandangan tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pandangan itu dan menerimanya secara sadar atau tidak sadar tanpa berpikir panjang. Karena itu dalam psikologi, dibedakan menjadi dua:

a. Auto-sugesti, yaitu sugesti terhadap diri yang datang dari dirinya sendiri

b. Hetero-Sugesti, yaitu sugesti yang datang dari orang lain.

Dalam ilmu sosial, sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu proses dimana seseorang individu menerima suatu cara penglihatan, atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sugesti akan mudah terjadi apabila memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Sugesti karena hambatan berfikir

Setelah dikemukakan sebelumnya bahwa sugesti akan mudah diterima oleh orang lain tanpa adanya kritik terlebih dahulu. Karena jika orang orang itu dalam bersikap kritis, maka sulit baginya untuk menerima sugesti. Individu akan berkurang sifat kritiknya jika dalam kondisi lemah/ lelah, misalnya. Terutama


(36)

19

lelah berfikirnya, atau kalau individu itu terkena stimulus yang bersifat emosionil. Orang yang berjam-jam rapat biasanya telah lelah dan enggan berfikir secara berat, sehingga dalam keadaan demikian ini individu akan mudah menerima pendapat atau sugesti dari pihak lain.

2) Sugesti karena keadaan pikiran yang terpecah belah

Orang itu akan mudah juga menerima sugesti dari orang lain apabila kemampuan berpikirnya terpecah belah. Orang yang sedang mengalami kebingungan pada umumnya akan mudah menerima apa yang dikemukakan oleh orang lain tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Secara psikologis, orang yang sedang mengalami kebingungan ingin segera mencari pegangan untuk mengakhiri kebingungan itu. Selama individu mengalami kebingungan, maka selama itulah jiwanya terpecah belah. Kalau andai kata keadaan masyarakat dalam keadaan kebingungan, maka hal ini memberikan suasana yang menguntungkan untuk memberikan sugesti - sugesti yang berupa pandangan-pandangan, pendapat-pendapat, norma-norma, dan sebagainya.

3) Sugesti Karena Mayoritas

Dalam hal ini orang akan mempunyai kecenderungan untuk menerima suatu pandangan, pendapat, norma, dan sebagainya, apabila hal tersebut mendapatkan dukungan dari orang banyak atau mayoret, dimana dari sebagian besar dari kelompok atau


(37)

golongan itu menyetujui pendapat atau pandangan tersebut. Orang akan merasa terasing apabila ia menolak pendapat atau pandangan tersebut.

Orang akan beranggapan karena sebagian besar dari anggota telah menyetujuinya, maka ia akan merasa terasing atau tersingkir jika tidak ikut menerimanya.

4) Sugesti karena will to believe

Bila dalam diri individu telah ada pendapat yang mendahuluinya dan pendapat ini masih dalam keadaan yang samar dan pendapat tersebut searah dengan apa yang disugestikan, maka pada umumnya orang itu akan mudah menerima pendapat tersebut. Orang yang ada dalam keadaan ragu-ragu akan mudah menerima sugesti dari pihak lain. Dengan demikian, segesti itu akan meyakinkan tentang pendapatnya yang masih dalam keadaan samar-samar.

3. Faktor Identifikasi

Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Misalnya, identifikasi seorang anak laki-laki untuk menjadi sama seperti ayahnya, sedangkan seorang anak perempuan ingin menjadi sama seperti ibunya.


(38)

21

Awalnya anak mengidentifikasi dirinya sendiri dengan orang tuanya, tetapi lambat laun setelah dewasa, identifikasinya dapat beralih dari orang tuanya kepada orang yang berwatak luhur, dan sebagainya. Timbul persoalan: apakah bedanya identifikasi dengan imitasi? Imitasi dapat berlangsung antara orang-orang yang tidak mengenal, sedangkan identifikasi perlu dimulai lebih dahulu dengan teliti sebelum mereka mengidentifikasi dirinya.

4. Faktor Simpati

Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasionil, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi. Bahkan orang dapat tiba-tiba merasa tertarik kepada orang lain dengan sendirinya karena keseluruhan cara-cara bertingkah laku menarik baginya.

Sekarang, apa bedanya antara simpati dan identifikasi? jika simpati, dorongan utamanya adalah ingin mengerti dan kerjasama dengan orang lain. Sedangkan identifikasi, dorongan utamanya adalah ingin mengikuti jejaknya, ingin mencontoh dan ingin belajar dan orang lain yang dianggapnya ideal. Hubungan identifikasi hanya menghendaki bahwa yang satu ingin menjadi seperti yang lain dalam sifat-sifatnya yang dikaguminya. Dan identifikasi bermaksud belajar.


(39)

Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Seperti pada proses identifikasi, proses simpati pun kadang-kadang berjalan tidak atas dasar logis rasionil, melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Tertariknya ini bukan pada salah satu ciri tertentu dengan orang itu, tetapi keseluruhan pola tingkah lakunya.

Dengan demikian simpati hanya berlangsung dan berkembang dalam relasi kerja sama antara dua orang atau lebih terdapat saling pengertian.

Simpati terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu:

a) Yang menimbulkan respon yang cepat hampir seperti refleks, misalnya kalau kita melihat orang dipukul dengan keras kita merasa ngeri. Hal seperti ini kita rasakan penderitaan orang lain seperti terjadi dengan diri sendiri. Pertama kita hanya kita merasa takut bila dipukul dan akhirnya apabila kita melihat persoalan yang sama lalu kita asosiasikan dengan pengalaman yang menakutkan kita.

b) Yang sifatnya lebih intelektuil kita dapat bersimpati terhadap seseorang, meskipun kita tak merasakan seperti yang ia rasakan. Misalnya, kita akan mengucapkan kata selamat dan menyatakan simpatinya bila seseorang berhasil dalam usahanya, walau kita sendiri tidak berhasil atau sedang susah.


(40)

23

A.3. Syarat Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan didalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Didalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan interaksi sosial.

Menurut Soekanto (2010:58) interaksi sosial tidak mungkin terjadi tanpa adanya dua syarat, yaitu kontak sosial dan komunikasi.

a. Kontak Sosial

Kata “kontak” (Inggris: “contact") berasal dari bahasa Latin con atau cum yang artinya bersama-sama dan tangere yang artinya menyentuh. Jadi, kontak berarti bersama-sama menyentuh. Dalam pengertian sosiologi, kontak sosial tidak selalu terjadi melalui interaksi atau hubungan fisik, sebab orang bisa melakukan kontak sosial dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya bicara melalui telepon, radio, atau surat elektronik. Oleh karena itu, hubungan fisik tidak menjadi syarat utama terjadinya kontak. Kontak sosial memiliki sifat-sifat berikut.


(41)

1. Kontak sosial dapat bersifat positif atau negatif. Kontak sosial positif mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif mengarah pada suatu pertentangan atau konflik.

2. Kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak sosial primer terjadi apabila para peserta interaksi bertemu muka secara langsung. Misalnya, kontak antara guru dan murid di dalam kelas, penjual dan pembeli di pasar tradisional, atau pertemuan ayah dan anak di meja makan. Sementara itu, kontak sekunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui suatu perantara. Misalnya, percakapan melalui telepon. Kontak sekunder dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Kontak sekunder langsung misalnya terjadi saat ketua RW mengundang ketua RT datang ke rumahnya melalui telepon. Sementara jika Ketua RW menyuruh sekretarisnya menyampaikan pesan kepada ketua RT agar datang ke rumahnya, yang terjadi adalah kontak sekunder tidak langsung.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan syarat terjadinya interaksi sosial. Hal terpenting dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku (pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap) dan perasaan-perasaan yang disampaikan. Ada lima unsur pokok dalam komunikasi yaitu :


(42)

25

1. Komunikator, yaitu orang yang menyampaikan pesan, perasaan, atau pikiran kepada pihak lain.

2. Komunikan, yaitu orang atau sekelompok orang yang dikirimi pesan, pikiran, atau perasaan.

3. Pesan, yaitu sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat berupa informasi, instruksi, dan perasaan.

4. Media, yaitu alat untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi dapat berupa lisan, tulisan, gambar, dan film.

5. Efek, yaitu perubahan yang diharapkan terjadi pada komunikan, setelah mendapatkan pesan dari komunikator.

Ada tiga tahap penting dalam proses komunikasi. Ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut.

- Encoding

Pada tahap ini, gagasan atau program yang akan dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar. Dalam tahap ini, komunikator harus memilih kata, istilah, kalimat, dan gambar yang mudah dipahami oleh komunikan. Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan.


(43)

- Penyampaian

Pada tahap ini, istilah atau gagasan yang sudah diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaikan. Penyampaian dapat berupa lisan, tulisan, dan gabungan dari keduanya.

- Decoding

Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta gambar yang diterima menurut pengalaman yang dimiliki.

A.4. Bentuk – Bentuk Interaksi Sosial

Menurut Deuttch serta Park dan Buergess (dalam Santoso, 2010:191), bentuk-bentuk interaksi sosial yang dapat saja terjadi dalam sebuah situasi sosial ataupun kelompok sosial. meliputi:

a) Kerjasama (Coorporation) b) Persaingan (Competition) c) Pertentangan (Conflict) d) Persesuaian (Acomodation) e) Perpaduan (Assimilation)

Bentuk-bentuk tersebut dapat lebih dijelaskan sebagai berikut:

a) Kerja Sama (Coorporation)

Menurut Sargent (Santoso, 2010:191), kerja sama adalah usaha yang dikoordinasikan yang ditujukan kepada tujuan yang dapat dipisahkan. Pengertian ini memperkuat pandangan bahwa kerja sama sebagai akibat


(44)

27

kekurangmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dengan usaha sendiri sehingga individu yang bersangkutan memerlukan bantuan individu lain.

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang positif, dimana dibutuhkan rasa saling memahami dan kekompakan dalam melakukan sebuah kerja sama.

b) Persaingan (Competition)

Deuttch (dalam Santoso, 2010:193) menyatakan bahwa,

“persaingan adalah bentuk interaksi sosial di mana seseorang

mencapai tujuan, sehingga individu lain akan dipengaruhi untuk mencapai tujuan mereka. Dalam persaingan, setiap individu dapat mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan cara mereka masing-masing tanpa lepas dari pengaruh individu lain.”

Suatu persaingan pasti terjadi dalam interaksi sosial, karena setiap individu yang berada dalam suatu situasi sosial itu pasti memiliki tujuan yang ingin mereka capai, dimana tujuan individu itu bisa saja sama dengan individu lain yang berada dalam kelompok sosial yang sama. Misalnya, persaingan dalam memperebutkan juara kelas, tentu saja siswa akan bersaing baik melalui nilai-nilai tugas, ujian dan kegiatan-kegiatan belajar yang diadakan di kelasnya untuk menjadi yang terbaik, dan dalam hal itu tentu saja tidak terlepas dari interaksi siswa itu baik dengan teman maupun gurunya.


(45)

c) Pertentangan (Conflict)

Sargent (dalam Santoso, 2010:194) memberi pengertian bahwa,

“konflik adalah proses yang berselang-seling dan terus-menerus

serta mungkin timbul pada beberapa waktu, lebih stabil berlangsung dalam proses interaksi sosial. Lebih lanjut, konflik dapat mengarah pada proses penyerangan karena adanya beberapa

sebab seperti kekecewaan dan kemarahan.”

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa sebuah konflik itu bisa saja muncul dalam suatu hubungan, maka individu diharapkan dapat mengatasi konflik tersebut agar tidak berkepanjangan dan menyebabkan pertengkaran sehingga proses interaksi sosial dapat berjalan dengan baik.

d) Persesuaian (Acomodation)

Sargent (dalam Santoso, 2010:195) mengemukakan bahwa persesuaian adalah suatu proses peningkatan untuk saling beradaptasi atau penyesuaian. Tujuan persesuaian menurut Santoso (2010:195) antara lain: 1) Untuk mengurangi pertentangan antarindividu/kelompok

karena adanya perbedaan.

2) Untuk mencegah meledaknya pertentangan yang bersifat sementara.

3) Untuk memungkinkan adanya kerja sama antarkelompok. 4) Untuk mengadakan integrasi antarkelompok sosial yang

saling terpisah.

Dari uraian tersebut maka persesuaian itu sangat penting untuk disadari dan dilakukan dalam sebuah interaksi agar interaksi dapat berjalan dengan baik dengan adanya rasa saling pengertian dan memahami serta


(46)

29

menimbulkan suatu kerja sama yang baik antarindividu maupun antarkelompok.

e) Perpaduan (Assimilation)

Sargent (dalam Santoso, 2010:197) mengemukakan bahwa,

“Perpaduan adalah suatu proses saling menekan dan melebur

dimana seseorang atau kelompok memperoleh pengalaman, perasaan dan sikap dari individu dalam kelompok lain. Perpaduan ini memberi gambaran tentang penerimaan pengalaman, perasaan dan sikap oleh individu/kelompok lain, sehingga hal ini

mempercepat proses perpaduan.”

Menurut Santoso (2010:199), terdapat dua bentuk perpaduan antara lain yaitu Alienation dan Stratification.

1) Alienation, yaitu suatu bentuk perpaduan di mana individu-individu kurang baik di dalam interaksi sosial. Misalnya, perpaduan antara orang kulit putih dan orang kulit hitam. 2) Stratification, yaitu suatu proses di mana individu yang

mempunyai kelas, kasta, kedudukan, memberi batas yang jelas dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, kehidupan kasta di Bali.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa perpaduan adalah dimana terdapat hal yang beragam atau kelompok yang berbeda dalam suatu konteks sosial. Interaksi sosial yang baik akan mencerminkan perilaku penerimaan dari individu/ kelompok terhadap individu/ kelompok lain.


(47)

A.5. Kriteria untuk Menganalisis Proses Interaksi Sosial

Dalam menentukan kriteria untuk menganalisis proses intraksi sosial, Bales (Santoso, 2010:181) menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

a) Bidang-bidang proses interaksi sosial yang meliputi:

(1) Bidang sosio-emosional yang berupa reaksi-reaksi positif, yang meliputi: (i) menunjukkan solidaritas, member hadiah; (ii) menunjukkan ketegangan positif, kepuasan, tatanan;(iii) menunjukkan persetujuan, pengertian, penerimaan.

(2) Bidang-bidang tugas untuk memberi jawaban, meliputi: (i) memberi saran, tujuan; (ii) memberi pendapat, penilaian; (iii) member orientasi, informasi.

(3) Bidang-bidang tugas untuk meminta tugas, meliputi: (i) meminta saran, nasihat; (ii) meminta pendapat, penilaian; (iii) meminta orientasi, informasi

(4) Bidang-bidang serta emosional yang berupa reaksi-reaksi negatif yang meliputi: (i) menunjukkan pertentangan, mempertahankan pendapat sendiri; (ii) menunjukkan ketegangan, acuh tak acuh; (iii) menunjukkan ketidak setujuan, penolakan.

b) Analisis proses interaksi sosial

Bales (Santoso, 2010:182) menganalisis proses interaksi sosial dengan menyusun bidang-bidang proses interaksi sosial agar mudah menganalisis proses interaksi tersebut. Bales menyebut analisis


(48)

31

proses interaksi sosial dengan profile analysis/ analisis tingkah laku.

Analisis tingkah laku tersebut mengukur tentang solidaritas, kepuasan, persetujuan, memberi saran, memberi pendapat, meminta informasi, meminta pendapat, meminta saran, ketidaksetujuan, ketegangan dan pertentangan. Analisis tersebut dapat dibuat menggunakan diagram.

B. Assertive Training

B.1. Pengertian Assertive Training

Assertive training merupakan salah satu teknik dalam terapi behavioral.

Menurut Willis (2004:69) terapi behavioral berasal dari dua arah konsep yakni Pavlovian dari Ivan Pavlov dan Skinerian dari B.F Skinner. Mula-mula terapi ini dikembangkan oleh Wolpe untuk menanggulangi neurosis. Neurosis dapat dijelaskan dengan mempelajari perilaku yang tidak adaptif melalui proses belajar. Dengan kata lain perilaku yang menyimpang bersumber dari hasil belajar di lingkungan.

Asertivitas merupakan suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain. Hal itu sejalan dengan yang diungkapkan oleh Corey (1995: 87) yang menyatakan bahwa asumsi dasar dari pelatihan asertifitas adalah bahwa


(49)

setiap orang mempunyai hak untuk mengungkapkan perasaannya, pendapat, apa yang diyakini serta sikapnya terhadap orang lain dengan tetap menghormati dan menghargai hak-hak orang tersebut. Dapat dikatakan bahwa latihan asertif merupakan latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu yang diganggu kecemasan, tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, membiarkan orang lain merongrong dirinya, tidak mampu mengekspresikan amarahnya dengan benar dan cepat tersinggung.

Assertiveness adalah sifat orang yang terbuka (proaktif) dan dapat langsung mengemukakan keterbukaan diri. Sifat ini cenderung untuk memimpin daripada mengikuti dan serta merta dapat bertindak apabila memungkinkan. Tipe asertif akan cepat merasa mendapat kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, mandiri dalam bertindak, cenderung memberi perintah daripada melakukan sendiri. Lebih memberikan instruksi dibandingkan kerjasama.

Berdasarkan beberapa pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa assertive training atau latihan asertif adalah suatu proses latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu untuk membantu peningkatan kemampuan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.


(50)

33

B.2. Kelebihan dan Kekurangan Assertive Training

Seperti halnya teknik yang lain, Assetive Training juga memiliki

kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dan kelebihan yang terdapat dalam pelatihan ketegasan ini sebagai berikut:

1. Kelebihan assertive training

a. Melatih individu yang tidak dapat menyatakan kemarahan dan

kejengkelan

b. Melatih individu yang mempunyai kesulitan untuk berkata tidak

dan yang membiarkan orang lain memanfaatkannya

c. Melatih individu yang merasa bahwa dirinya tidak memiliki hak

untuk menyatakan pikiran, kepercayaan, dan perasaan-perasaannya

d. Melatih individu yang sulit mengungkapkan rasa kasih dan

respon-repon positif yang lain

Dari beberapa kelebihan assertive training (pelatihan ketegasan) ini

dapat disimpulkan bahwa teknik ini dapat melatih individu yang tidak punya keberanian menyampaikan keinginannya sehingga menjadi percaya diri dan memiliki keberanian untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan dan pikirkan namun tetap dapat menjaga perasaan orang lain yang menjadi lawan bicaranya.

2. Kelemahan assertive training

a. Perasaan takut menyakiti


(51)

Dari beberapa kelemahan pelatihan ketegasan ini dapat disimpulkan bahwa jika seorang individu belum mampu menguasai dirinya, hal ini akan menjadi ketakutan yang timbul dari dirinya, seperti ia takut akan dijauhi oleh temannya, takut terjadi konflik dan takut menyakiti perasaan lawan bicaranya.

Biasanya hal tersebut dikatakan sebagai hambatan mental. hambatan-hambatan mental untuk bersikap dan bertindak lugas juga harus dapat dibuang atau dikurangi. Hambatan mental untuk bersikap lugas biasanya bersumber dari pikiran-pikiran irasional dan irealistik yang sebelumnya dalam jangka waktu lama telah terinternalisasi tanpa kritik. Jadi dengan pemberian penguatan positif dalam pemikirannya akan membuat seseorang tersebut mampu menguasai dirinya.

B.3. Tujuan Assertive Training

Teknik assertive training dalam pelaksanaannya tentu memiliki beberapa

tujuan yang ingin dicapai oleh konselor dan klien. Day (2008:338) menjelaskan bahwa assertive training membantu klien belajar

kemandirian sosial yang diperlukan untuk mengekspresikan diri mereka dengan tepat.

Sedangkan menurut Fauzan (2010), terdapat beberapa tujuan assertive


(52)

35

a. Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain;

b. Meningkatkan keterampilan perilakunya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak;

c. Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain;

d. Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial;

e. Menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan komunikasi.

Berdasarkan paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tujuan assertive training adalah untuk melatih individu mengungkapkan dirinya, mengemukakan apa yang dirasakan dan menyesuaikan diri dalam berinteraksi tanpa adanya rasa cemas karena setiap individu mempunyai hak untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, apa yang diyakini serta sikapnya. Dengan demikian individu dapat menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam berkomunikasi.

B.4. Manfaat Assertive Training

Setiap pelatihan yang diberikan tentu tidak hanya sebagai pelatihan, namun pasti memiliki berbagai manfaat bagi individu yang mendapatkan pelatihan tersebut. Menurut pendapat Corey (2009:213), manfaat latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang:


(53)

b. menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya ;

c. memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak”;

d. mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

Berdasarkan pendapat yang telah disebutkan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat latihan asertif adalah membantu peningkatan kemampuan mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan pada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.

B.5. Tahapan Pelaksanaan Assertive Training

Prosedur adalah tata cara melakukan suatu instruksi. Pelaksanaan

assertive training memiliki beberapa tahapan atau prosedur yang akan

dilalui ketika pelaksanaan latihan. Pada umumnya teknik untuk melakukan latihan asertif, mendasarkan pada prosedur belajar dalam diri seseorang yang perlu diubah, diperbaiki dan diperbarui. Masters (dalam Gunarsih, 2007:217-220) meringkas beberapa jenis prosedur latihan asertif, yakni:

1. Identifikasi terhadap keadaan khusus yang menimbulkan persoalan pada klien.


(54)

37

2. Memeriksa apa yang dilakukan atau dipikirkan klien pada situasi tersebut. Pada tahap ini, akan diberikan juga materi tentang perbedaan perilaku agresif, asertif, dan pasif.

3. Dipilih sesuatu situasi khusus dimana klien melakukan permainan peran (role play) sesuai dengan apa yang ia perlihatkan.

4. Diantara waktu-waktu pertemuan, konselor menyuruh klien melatih dalam imajinasinya, respon yang cocok pada beberapa keadaan. Kepada mereka juga diminta menyertakan pernyataan diri yang terjadi selama melakukan imajinasi. Hasil apa yang dilakukan pasien atau klien, dibicarakan pada pertemuan berikutnya.

5. Konselor harus menentukan apakah klien sudah mampu memberikan respon yang sesuai dari dirinya sendiri secara efektif terhadap keadaan baru, baik dari laporan langsung yang diberikan maupun dari keterangan orang lain yang mengetahui keadaan pasien atau klien.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa assertive training

merupakan terapi perilaku yang dirancang untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan individu yang diganggu kecemasan dengan berbagai teknik yang ada agar individu tersebut dapat memiliki perilaku asertif yang diinginkan.


(55)

C. Keterkaitan antara Interaksi Sosial dengan Assertive Training

Menurut Soekanto (2010: 58), interaksi sosial merupakan kunci semua kehidupan sosial. Dengan tidak adanya komunikasi ataupun interaksi antar satu sama lain maka tidak mungkin ada kehidupan bersama. Jika hanya fisik yang saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat saling berinteraksi. Maka dari itu dapat disebutkan bahwa interaksi merupakan dasar dari suatu bentuk proses sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, maka kegiatan–kegiatan antar satu individu dengan yang lain tidak dapat disebut interaksi.

Interaksi sosial akan berlangsung apabila seorang individu melakukan tindakan dan dari tindakan tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi persaingan dan pertikaian.

Beberapa situasi peristiwa yang sering dialami seseorang saat berinteraksi sosial diantaranya ialah ketika datang ke rumah mereka seorang salesman atau

salesgirl menawarkan setengah mendesak-desak agar tuan rumah bersedia

membeli apa yang mereka jajakan. Dengan setengah terpaksa tuan rumah membeli barang yang ditawarkan sekalipun ia tidak membutuhkan. Dibelinya barang itu, dan setelah itu ia menyesali perbuatannya. Tetapi bagaimana lagi, ia merasa tidak enak kalau tidak membeli barang yang telah ditawarkan tadi. Sebagian orang mungkin terpaksa diam saja, tidak mampu meminta haknya, ketika ia merasa dirugikan orang lain, misalnya dalam jual beli


(56)

39

pengembaliannya kurang, mendapat pengembalian uang lusuh yang ia tidak suka atau bahkan uang itu tidak laku kerena ada bagian yang robek terpenggal. Sebagian yang lain lagi hanya mampu bersungut-sungut, berpaling menutup hidung dan terbatuk-batuk ketika terganggu asap rokok orang lain.

Penggalan-penggalan ilustrasi di atas mencerminkan betapa sebagian orang tidak memiliki sikap asertif dalam interaksi sosial. Keasertifan atau kelugasan merupakan kemampuan untuk menyadari keinginan dan perasaan diri dan untuk mempertahankan hak-hak diri tanpa perlu melanggar hak orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Kemampuan untuk bersikap asertif (tegas) adalah bagian penting dalam membuat batasan tentang diri sendiri dalam suatu interaksi sosial. Dalam hal ini dapat dibuat perbedaaan yang jelas antara keseganan, kepatuhan, agresi, dan asertif.

Assertive training (latihan ketegasan) banyak dibutuhkan orang yang selama

hidupnya acap kali diperdaya orang lain atau terlalu lemah untuk memperoleh kejelasan batasan diri dan pengambilan sikap lugas, tegas, dalam berhubungan dengan orang lain. Sikap asertif atau tegas yang berada diantara submisif (dikendalikan, pasif) dan agresif untuk sebagian orang sulit ditentukan posisinya untuk disikapi sehingga pemberian wawasan dan pengenalan prosedur pelatihannya diperlukan. Idealnya assertive training diterapkan

dalam proses kelompok sebab dengan begitu dapat dihadirkan situasi yang mendekati situasi nyata sebagaimana situasi sosial dalam kehidupan sehari-hari.


(57)

Berdasarkan hal tersebut, maka diperkirakan diketahui bahwa interaksi sosial erat kaitannya dengan assertive training. Hal itu dapat dilihat dari pengertian

asertif itu sendiri yaitu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain. Kemampuan untuk berperilaku asertif tersebut sangat diperlukan dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan pada saat berada pada lingkungan sosial dan melakukan interaksi sosial, sehingga diperlukan pelatihan asertif (assertive training) dalam upaya


(58)

41

O1 X O2

III. METODELOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung yang berlokasi di Jalan Hi. Z. A. Pagaralam No. 14 Labuhan Ratu, Bandar Lampung. Waktu penelitian ini adalah pada tahun pelajaran 2013-2014.

B. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi eksperimental). Eksperimen semu yaitu untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimen yang sebenarnya dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengontrol dan atau memanipulasikan semua semua variabel yang relevan. (Noor, 2011: 112).

Desain penelitian yang digunakan adalah One-Group Pretest-Posttest Design. Pada desain ini, adanya pretest sebelum diberikan perlakuan dan posttest setelah diberi perlakuan, dengan demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat karena dapat dibandingkan dengan keadaan sebelum diberi perlakuan. Desain ini dapat digambarkan sebagai berikut ;


(59)

Keterangan :

O1 = Keadaan interaksi sosial siswa sebelum diberi perlakuan

X = Treatment/ perlakuan yang diberikan (teknik assertive training) O2 = Keadaan interaksi sosial siswa setelah diberi perlakuan

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian dari suatu penelitian dengan tujuan untuk memperoleh informasi agar bisa ditarik suatu kesimpulan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode eksperimen semu.

Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen), yaitu :

a. Variabel bebas (independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Biasanya dinotasikan dengan simbol X. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu teknik assertive training.

b. Variabel terikat (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas. Biasa dinotasikan dengan Y. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah interaksi sosial.

D. Definisi Operasional Variabel

Agar variabel yang ada dalam penelitian ini dapat diobservasi perlu dirumuskan terlebih dahulu atau diidentifikasi secara operasional. Definisi


(60)

43

operasional variabel merupakan uraian yang berisikan tentang sejumlah indikator yang dapat diamati dan diukur untuk mengidentifikasikan variabel atau konsep yang digunakan.

Definisi operasional interaksi sosial dalam penelitian ini adalah hubungan timbal balik antar individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, dan individu dengan kelompok, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya memainkan peran secara aktif, yang sesuai dengan teori Bales (Santoso, 2010:181) yang ditandai indikatornya menggunakan beberapa bidang, meliputi:

(1) Bidang sosio-emosional yang berupa reaksi-reaksi positif, yang meliputi:

- menunjukkan solidaritas, memberi hadiah;

- menunjukkan ketegangan positif, kepuasan, tatanan; - menunjukkan persetujuan, pengertian, penerimaan. (2) Bidang-bidang tugas untuk memberi jawaban, meliputi:

- memberi saran, tujuan;

- memberi pendapat, penilaian; - memberi orientasi, informasi.

(3) Bidang-bidang tugas untuk meminta tugas, meliputi: - meminta saran, nasihat;


(61)

- meminta orientasi, informasi

(4) Bidang-bidang serta emosional yang berupa reaksi-reaksi negatif yang meliputi:

- menunjukkan pertentangan, mempertahankan pendapat sendiri; - menunjukkan ketegangan, acuh tak acuh;

- menunjukkan ketidak setujuan, penolakan.

Assertive training atau latihan asertif adalah suatu proses latihan keterampilan-sosial yang diberikan pada individu untuk membantu peningkatan kemampuan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan dan dipikirkan kepada orang lain namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan orang lain.

Adapun yang menjadi dasar pembuatan indikator dalam penelitian ini yang nantinya akan dipecah lagi menjadi deskriptor adalah sesuai ciri-ciri interaksi sosial, yaitu bidang sosio-emosional yang berupa reaksi-reaksi positif, bidang-bidang pemberian jawaban, bidang-bidang meminta tugas, serta emosional yang berupa reaksi-reaksi negatif.

E. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah sumber data untuk menjawab masalah. Subyek penelitian ini disesuaikan dengan keberadaan masalah dan jenis data yang ingin dikumpulkan. Subyek penelitian pada penelitian ini adalah delapan siswa kelas XI IPS di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung.


(62)

45

Untuk mengetahui interaksi sosial siswa, peneliti melakukan wawancara kepada wali kelas dan observasi kepada siswa. maka diperoleh subyek penelitian sebanyak delapan siswa yang memiliki interaksi sosial yang rendah. Alasan peneliti menggunakan subyek penelitian adalah karena penelitian ini merupakan aplikasi layanan bimbingan kelompok untuk meningkatkan konsep diri positif siswa dan hasil dari proses bimbingan kelompok ini tidak dapat digeneralisasikan, antara subyek yang satu tidak dapat mewakili subyek yang lain karena setiap individu berbeda.

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara-cara yang digunakan untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan, guna mencapai objektifitas yang tinggi. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

1. Observasi

Menurut Rianse (2009: 296), observasi dilakukan untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti dalam kenyataan. Dengan observasi peneliti dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang kehidupan sosial, yang sukar diperoleh dengan kehidupan yang lain. Observasi ini dilakukan oleh peneliti yang bertindak sebagai pengamat, dengan tujuan untuk lebih memahami dan mendalami masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sosial dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan proses penelitian.


(63)

Tujuan observasi dalam penelitian ini adalah mendapatkan data diri subyek serta hal-hal yang berkaitan dengan rendahnya kemampuan interaksi sosial siswa, di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.

Berikut ini merupakan kisi-kisi observasi yang akan menjadi pedoman peneliti dalam melakukan observasi:

Tabel 3.1 kisi-kisi pedoman observasi

Variabel Indikator Deskriptor Interaksi

Sosial

1. Perilaku sosio-emosional positif

1.1 Menunjukkan solidaritas kepada sesama

1.2 Memiliki perasaan empati 1.3 Menunjukaan respon kepuasan

saat mendapatkan sesuatu 2. Perilaku memberikan

jawaban

2.1Memberikan saran 2.2Memberikan penilaian 2.3Memberikan orientasi 2.4Memberikan informasi 3. Perilaku meminta tugas 3.1Meminta saran

3.2 Meminta penilaian 3.3 Meminta informasi 4. Perilaku

sosio-emosional reaksi negative

4.1Menunjukkan pertentangan

4.2 Mempertahankan pendapat sendiri 4.3 Menunjukkan sikap acuh tak acuh 4.4 Menunjukkan ketidaksetujuan Peneliti menggunakan bentuk rating scales dengan 5 alternatif jawaban dalam lembaran observasi, jawaban ini menunjukkan frekuensi muncul atau tidakknya perilaku yang diharapkan saat dilakukan observasi oleh


(64)

47

observer. Untuk item pernyataan yang positif, skor 5 diberikan jika perilaku muncul sebanyak 4 kali atau lebih dari 4 kali, skor 4 jika muncul sebanyak 3 kali, skor 3 jika muncul sebanyak 2 kali, skor 2 jika perilaku muncul sebanyak 1 kali dan skor 1 jika perilaku sama sekali tidak muncul selama observasi. Untuk item pernyataan yang negatif, skor 1 diberikan jika perilaku muncul sebanyak 4 kali atau lebih dari 4 kali, skor 2 jika muncul sebanyak 3 kali, skor 3 jika muncul sebanyak 2 kali, skor 4 jika perilaku muncul sebanyak 1 kali dan skor 5 jika perilaku sama sekali tidak muncul selama observasi. Perhitungan skor pada lembar observasi dilakukan dengan menghitung skor total yang diperoleh muncul atau tidaknya perilaku yang diamati.

Untuk mengkategorikannya, terlebih dahulu ditentukan besarnya interval dengan rumus sebagai berikut:

� = � − �

� Keterangan:

� : interval � : nilai tertinggi � : nilai terendah � : jumlah kategori

Pada saat peneliti melakukan observasi di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung, peneliti sebagai observer pertama dibantu oleh wali kelas sebagai observer kedua. Setelah mendapatkan izin oleh kepala sekolah SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung, saya menemui koordinator guru BK guna meminta seorang guru BK yang akan


(65)

membantu saya melaksanakan penelitian ini sesuai petunjuk dari kepala sekolah. Lalu ditunjuklah ibu Rani sebagai guru BK penanggung jawab kelas XI. Setelah mengemukakan maksud dan tujuan, bu Rani memberikan masukan agar wali kelas sebagai observer kedua. Karena wali kelas memiliki kedekatan dengan murid yang akan menjadi subjek penelitian.

Peneliti melakukan wawancara kepada wali kelas, dan setelah mendapatkan nama-nama siswa, peneliti lalu bertanya dengan guru BK terkait nama-nama tersebut. Mengenai sikap selama di sekolah tersebut. Dari keterangan wali kelas dan guru BK, peneliti mulai melaksanakan observasi pertama (sebelum perlakuan), sebagai pretest.

Peneliti kemudian memanggil nama-nama tersebut untuk bertemu di ruang BK untuk berkenalan dan melaksanakan kesepakatan dalam kegiatan assertive training. Pada saat yang bersamaan, peneliti melakukan observasi kembali saat dan setelah pemberian treatment.

2. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan berhadapan langsung dengan yang diwawancarai. Menurut Basrowi (2008:143), membagi jenis-jenis wawancara, yaitu wawancara bebas, wawancara terpimpin, dan wawancara bebas terpimpin.


(66)

49

Peneliti menggunakan wawancara bebas terpimpin, yang dalam pelaksanaannya peneliti sudah membawa pedoman tentang apa saja yang ditanyakan secara garis besar.

Berikut merupakan kisi-kisi pedoman wawancara kepada wali kelas XI IPS 1, 2 dan 3:

Tabel 3.2 Kisi-kisi Wawancara

No. Identifikasi Masalah Pertanyaan

1

Siswa masih takut mengungkapkan yang ia rasakan karena ingin menghindari konflik

Apakah ada siswa yang masih merasa takut dan ragu-ragu untuk

mengungkapkan perasaannya karena ingin menghindari konflik?

2

Ada siswa yang suka menyendiri dari teman-temannya

Apakah sering bapak/ ibu lihat siswa yang masih menyendiri dan tidak bergabung dengan teman-temannya?

3

Siswa kurang mampu

mengemukakan pendapat di depan teman sebayanya

Seberapa sering bapak/ ibu melihat siswa yang masih kurang mampu mengungkapkan apa yang ia rasakan didepan teman-temannya?

4

Terdapat siswa yang tidak mau bertegur sapa terlebih dahulu apabila bertemu dengan guru dan teman-temannya

Jika berpapasan dengan bapak/ ibu, siapa saja siswa yang enggan bertegur sapa ?

5

Ada siswa yang sulit bekerjasama dalam satu kelompok

Saat diberikan tugas kelompok, apakah ada siswa yang mengalami kesulitan dalam kerjasama dengan

kelompoknya?

6

Ada siswa yang semena-mena terhadap teman sekelasnya

Apakah ada siswa yang bertindak semena-mena terhadap teman kelasnya?


(67)

G. Uji Instrument

Keberhasilan suatu penelitian ditentukan oleh baik tidaknya instrumen yang digunakan, oleh karena itu hendaknya peneliti melakukan pengujian terhadap instrumen yang digunakan.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah. Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah.

Penulis menggunakan validitas konstrak. Untuk menguji validitas konstrak, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini, setelah instrument dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan para ahli.

Uji validitas dilakukan terhadap kisi-kisi pedoman observasi dalam interaksi sosial siswa. Setelah mendapatkan item-item yang dapat


(1)

53

c. Hitunglah jumlah nomor urut yang bertanda positif dan juga jumlah nomor urut yang bertanda negative.

d. Untuk jumlah nomor urut yang didapat di point 3), ambillah jumlah yang harga mutlaknya paling kecil. Sebutlah jumlah ini sama dengan Z. Jumlah Z inilah yang dipakai untuk menguji hipotesis.

e. Jika Z dari perhitungan lebih kecil atau sama dengan Z dari daftar berdasarkan taraf nyata yang dipilih maka Ho ditolak, dan dalam hal lainnya Ha diterima.


(2)

91

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu:

1. Kesimpulan Statistik

Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat diketahui bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan interaksi sosial siswa dengan menggunakan teknik assertive training. Hal ini terbukti dari hasil pre test dan post test yang diperoleh dari analisis yang menggunakan uji

Wilcoxon diperoleh hasil Zhitung = 2,536. Kemudian dibandingkan dengan

Ztabel 0,05 = 4. Karena Zhitung < Ztabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada perbedaan yang signifikan antara skor interaksi sosial siswa sebelum dan sesuadah diberikan teknik assertive training pada siswa kelas XI IPS di SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung tahun pelajaran 2013-2014.

2. Kesimpulan Penelitian

Terdapat peningkatan kemampuan interaksi sosial siswa dengan menggunakan teknik assertive training. Hal ini ditunjukkan dari perubahan perilaku ke-8 subyek penelitian yang sebelum diberikan


(3)

92

perlakuan memiliki kemampuan interaksi sosial yang rendah, tetapi setelah diberi perlakuan dengan assertive training delapan subyek tersebut kemampuan interaksi sosialnya meningkat menjadi lebih baik.

B. SARAN

Setelah peneliti menyelesaikan penelitian, membahas dan mengambil kesimpulan, maka peneliti mengajukan saran sebagai berikut:

1. Kepada siswa SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung

Apabila memiliki kemampuan interaksi sosial yang rendah hendaknya berusaha untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosialnya, sehingga dalam menjalankan kegiatan sehari-hari tidak mengalami suatu hambatan dalam membina hubungan dengan orang lain. Dan bagi siswa yang menjadi subjek penelitian agar bisa lebih meningkatkan dan mempertahankan kemampuan interaksi sosial yang telah terbentuk.

2. Kepada Guru Bimbingan dan Konseling

Hendaknya dapat memaksimalkan pemberian layanan Bimbingan dan Konseling kepada siswa di sekolah dan memanfaatkan teknik assertive

training untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan interaksi

sosial siswa yang rendah. 3. Kepada Peneliti Lain

Bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian tentang interaksi sosial dengan teknik assertive training hendaknya dapat menggunakan subjek yang berbeda dan meneliti variabel lain dengan mengontrol variabel-variabel yang sudah diteliti sebelumnya


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A.1990.Psikologi Sosial.Jakarta. Rineka Cipta

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatandan Praktek. Jakarta: RinekaCipta.

Azwar, S. 2010. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Basrowi dan Kasinu. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Kediri: Jenggala Pustaka Utama

Boeree, C. George. 2008. Personality theories. Yogyakarta: Prismasophie

Corey, G. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

________. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Penerjemah E. Koswara. Edisi keempat. Bandung: Refika Aditama.

________. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama

Day, X S. 2008. Theory and Design in Counseling and Psychotherapy. New York:


(5)

Fauzan, L. 2010. Assertive Training. Lutfifauzan.blogspot.com (diakses pada tanggal 12 Oktober 2012)

_________. 2007. Assertive Training: Pengembangan Pribadi Assertive Training

dan Transaksi Sosial. Depdiknas: UPT BK UM.

Gunarsih, S. D. 2007 .Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Gunung Mulia.

Hadfield, Jill. 1986. Pembelajaran Role Playing. http//pembelajaranclub (diakses pada 16 juli 2012)

Noor, J. 2011. Metodelogi Penelitian : Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah.

Kencana Prenadia Media Group. Jakarta

Nursalim, M.2005. Strategi Konseling. Surabaya: Unesa University Press. Ress, S. and Graham, S.R. 1991. Assertion Training. London: Routladge, New

Fetter Lane.

Sukardi. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan & Konseling di

sekolah. Jakarta: RinekaCipta

Santoso. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial. Bandung: RefikaAditama

Sangadji, E M dan Sopiah. 2010. Metode Penelitian pendekatan praktis dalam

Penelitian. Yogyakarta: Andi.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta

Soekanto, S. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sudjana. 2001. Metode Statistika. Bandung: Tarsito


(6)

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D. Bandung: Alfabeta

Tim Unila. 2011. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. Bandar Lampung: UNILA.

Walgito, B. 2002. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Yogyakarta


Dokumen yang terkait

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL MENGGUNAKAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING PADA SISWA KELAS X SMA MUHAMMADIYAH 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2011/2012

2 12 65

MENINGKATKAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL MENGGUNAKAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING PADA SISWA KELAS VII MTS NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

2 23 58

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGUNGKAPKAN PENDAPAT DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING PADA SISWA KELAS XII DI SMA PGRI 1 TUMIJAJAR TAHUN PELAJARAN 2015/2016

1 50 74

PROGRAM BIMBINGAN PRIBADI SOSIAL MENGGUNAKAN ASSERTIVE TRAINING UNTUK MENINGKATKAN DISIPLIN DIRI SISWA.

0 4 44

EFEKTIVITAS ASSERTIVE TRAINING DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL PESERTA DIDIK KELAS XI SMAN 12 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2016 2017

9 43 165

EFEKTIVITAS ASSERTIVE TRAINING DALAM MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL PESERTA DIDIK KELAS VIII MADRASAH TSANAWIYAH (MTs) MUHAMMADIYAH SUKARAME BANDAR LAMPUNG T A 2016 2017

0 2 151

KEEFEKTIFAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING UNTUK MENINGKATKAN INTERAKSI SOSIAL PADA PESERTA DIDIK KELAS X SMA NEGERI 2 KARANGANYAR.

0 0 17

Hubungan Penggunaan Media Sosial Dengan Kemampuan Interaksi Sosial Remaja di SMA Negeri 1 Kota Medan

0 0 2

EFEKTIVITAS LAYANAN KONSELING PRIBADI-SOSIAL MELALUI PENDEKATAN BEHAVIORAL DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL DI SMK N 7 BANDAR LAMPUNG - Raden Intan Repository

0 0 125

EFEKTIVITAS KONSELING KELOMPOK DENGAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING UNTUK MENINGKATKAN HARGA DIRI (SELF ESTEEM) PESERTA DIDIK KELAS X DI SMA NEGERI 6 BANDAR LAMPUNG TAHUN 2017/2018 - Raden Intan Repository

0 0 116