Potensi rebusan daun sirih merah, Piper crocatum sebagai senyawa anthiperglikemia pada tikus putih galur Sprague-Dwaley

1

POTENSI REBUSAN DAUN SIRIH MERAH (Piper
crocatum) SEBAGAI SENYAWA ANTIHIPERGLIKEMIA
PADA TIKUS PUTIH GALUR Sprague-Dawley

AGUS SALIM

PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

2

ABSTRAK

AGUS SALIM. Potensi Rebusan Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Senyawa
Antihiperglikemia pada Tikus Putih Galur Sprague-Dawley. Dibimbing oleh
MEGA SAFITHRI dan NORMAN R. AZWAR.

Sirih merah (Piper crocatum) merupakan salah satu jenis tanaman hias,yang
kini berubah menjadi tanaman obat alternatif sejak diperkenalkan oleh Bambang
Sudewo – produsen tanaman obat di Blunyahrejo, Yogyakarta. Rebusan sirih
merah (Piper crocatum) telah digunakan secara tradisional untuk mengobati
diabetes melitus. Namun demikian, sampai sekarang belum ada penelitian
mengenai kandungan fitokimia dan menguji khasiat tanaman tersebut dalam
menurunkan kadar glukosa darah hewan uji. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari toksisitas akut rebusan sirih merah dan mengetahui
kandungan fitokimia sirih merah, serta hubungannya dalam menurunkan kadar
glukosa darah pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang dibuat
hiperglikemia.
Hasil analisis fitokimia diperoleh bahwa rebusan sirih merah mengandung
alkaloid, flavonoid, dan tanin. Uji toksisitas akut menunjukkan bahwa tidak
adanya tikus yang mati selama 7 hari pengamatan untuk semua kelompok dosis.
Ini berarti rebusan sirih merah praktis tidak toksik menurut klasifikasi Lu (1995).
Rebusan sirih merah dosis 20 g/kg BB memiliki aktivitas antihiperglikemia
seperti halnya dengan obat oral antidiabetes pembanding (Daonil®). Hasil analisis
statistika menunjukkan bahwa kelompok dengan dosis ini berbeda nyata
dibandingkan dengan kontrol negatif (aloksan) dengan p>0,05 pada hari ke-5
setelah pencekokkan rebusan sirih merah.


3

ABSTRACT

AGUS SALIM. Potency of celebes pepper decoction (Piper crocatum) as an
antihiperglycemia compound in rat strain Sprague-Dawley. Under the direction of
MEGA SAFITHRI and NORMAN R. AZWAR.
Celebes pepper ( P. crocatum) is one of the ornamental plant, that changed
into the herbs since introduced by Bambang Sudewo – herbs producer in
Blunyahrejo, Yogyakarta. Celebes pepper decoction (P. crocatum) had been used
to cure diabetes mellitus traditionally. Yet, there was no research concerning
phytochemical properties and herbs characteristic in decreasing blood glucose
level in animal test. Therefore, research aims to learn the acute decoction toxicity
of celebes pepper and observe the phytochemical properties of celebes pepper and
also its relation in decreasing blood glucose level in hyperglycemia rat male strain
Sprague-Dawley.
Results showed that celebes pepper decoction contains alkaloid, flavonoid,
and tannin. Acute toxicity test indicated all rats live during 7 treatment day for all
dose group. Its means celebes pepper decoction was not toxic practically

according to Lu clasification ( 1995).
Celebes pepper decoction dose 20 g/kg BB showed the activity as an
antihyperglycemia as does with the antidiabetic comparator oral medicine
(Daonil®). The statistic analysis indicated that the group with those dose different
compared to the negative control (aloxan) by p>0,05 on fifth day after the
decoction of celebes pepper orally.

4

POTENSI REBUSAN DAUN SIRIH MERAH (Piper
crocatum) SEBAGAI SENYAWA ANTIHIPERGLIKEMIA
PADA TIKUS PUTIH GALUR Sprague-Dawley

AGUS SALIM

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia


PROGRAM STUDI BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006

5

6

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian
dilakukan dari bulan Juli sampai Desember 2005 di Laboratorium Biokimia
Program Studi Biokimia dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka, Departemen
Kimia, FMIPA, IPB bogor. Tema yang dipilih adalah potensi antihiperglikemia
rebusan sirih merah, dengan judul kajian Potensi Rebusan Sirih Merah (Piper
crocatum) Sebagai Senyawa Antihiperglikemia pada Tikus Putih Galur SpragueDawley. Penelitian ini dibimbing langsung oleh Mega Safithri S.Si., M.Si dan
Prof.Dr. H. Norman R. Azwar.
Ungkapan terimakasih penulis berikan kepada berbagai pihak yang telah

membantu dalam pengerjaan karya ilmiah ini, terutama kepada Bapak Prof.Dr. H.
Norman R. Azwar dan Ibu Mega Safithri S.Si., M.Si selaku pembimbing yang
telah memberikan banyak saran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
seluruh staf di Laboratorium Biokimia dan Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka,
Martini, Dini, Wida, Thomas, Kharisma Adi dan Karim yang telah membantu
penulis selama penelitian ini.
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Bapak Edi Mulyadi,
Ibu Lulu, serta semua teman Biokimia 38 atas perhatian dan dukungannya. Tak
lupa penulis menyampaikan ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada
keluarga penulis yang senantiasa mendukung, dan mendoakan penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam bidang ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2006
Agus Salim

7

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 27 Agustus 1981 sebagai anak ketujuh dari

tujuh bersaudara, anak pasangan Muksin (almarhum) dan Rohani (almarhum).
Tahun 2001 penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 28 Jakarta
dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB. Penulis memilih program studi Biokimia, Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Kimia Dasar 1 untuk program studi kimia dan biologi tahun ajaran 2003/2004,
asisten praktikum Struktur Fungsi Subseluler dan Struktur Fungsi Biomolekuler
untuk program studi biokimia tahun ajaran 2004/2005, dan asisten praktikum
Biokimia Umum untuk Program studi Fakultas Kedokteran Hewan tahun ajaran
2004/2005. Penulis melakukan Praktik Kerja Lapangan di Balai Pengembangan
Pasca Panen, Cimanggu dari bulan Juli sampai Agustus 2005.

i

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... iii

PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Sirih Merah ............................................................................................
Insulin ....................................................................................................
Diabetes Melitus .....................................................................................
Pengobatan Diabetes Melitus ..................................................................
Uji Fitokimia ..........................................................................................
Uji Toksisitas Akut .................................................................................
Aloksan ...................................................................................................

1
2
3
4
5
6
6

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat ........................................................................................ 7

Metode .................................................................................................... 7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia ..........................................................................................
Uji Toksisitas Akut .................................................................................
Aktivitas Antihiperglikemia Rebusan Daun SM ......................................
Efek Rebusan SM terhadap Bobot Badan.................................................

8
8
9
10

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ................................................................................................. 11
Saran ....................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 11
LAMPIRAN .................................................................................................... 13

ii


DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi toksisitas akut dan nilai LD50 ..................................................... 6
2 Hasil uji fitokimia rebusan daun sirih merah ............................................... 8
3 Tingkat kematian hewan pada masa percobaaan selama seminggu .............. 9

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman sirih merah ................................................................................... 2
2 Sintesis insulin ............................................................................................ 2
3 Sekresi insulin dalam sel  kepulauan Langerhans ...................................... 3
4 Senyawa aloksan.......................................................................................... 6
5 Tikus percobaan galur Spraque-Dawley ...................................................... 7
6 Penyuntikan tikus melalui daerah intraperitonial ......................................... 8
7 Rata-rata bobot badan tikus pada uji toksisitas selama 2 minggu ................. 9
8 Rata-rata kadar glukosa darah tikus selama 2 minggu ................................. 10
9 Rata-rata penurunan kadar glukosa darah tikus selama 2 minggu ................ 10
10 Rata-rata bobot badan tikus pada uji aktivitas antihiperglikemia selama
2 minggu .................................................................................................... 11


iii

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Diagram alir penelitian ................................................................................ 14
2 Perhitungan obat daonil dan dosis rebusan sirih merah yang dicekok ........... 15
3 Bobot badan tikus pada uji toksisitas ........................................................... 16
4 Hasil uji statistika terhadap bobot badan tikus uji toksisitas akut ................. 17
5 Bobot badan tikus aktivitas antihiperglikemia ............................................. 18
6 Hasil uji statistika terhadap bobot badan tikus aktivitas
antihiperglikemia ........................................................................................ 19
7 Kadar glukosa darah tikus aktivitas antihiperglikemia ................................. 21
8 Rata-rata persen penurunan glukosa darah tikus aktivitas
antihiperglikemia ........................................................................................ 21
9 Hasil uji statistika terhadap kadar glukosa darah tikus aktivitas
antihiperglikemia ........................................................................................ 22

1

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus atau biasanya disingkat
DM atau diabet, merupakan penyakit yang
ditandai dengan keadaan hiperglikemia
kronik, di mana kadar gula darah lebih tinggi
dari normal. Karena dalam urin penderita
kadar gulanya juga lebih tinggi dari normal,
maka istilah populer dalam masyarakat adalah
penyakit “kencing manis”. Keadaan ini
berhubungan dengan terjadinya metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang tidak
normal dalam tubuh, serta adanya gangguan
hormonal seperti insulin, glukagon, kortisol
dan hormon pertumbuhan (Badan POM
2005).
Menurut survey yang dilakukan oleh
organisasi kesehatan dunia WHO, Indonesia
menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita DM dengan prevalensi 8,6% dari
total penduduk, sedangkan urutan diatasnya
India, Cina dan Amerika Serikat. Temuan tersebut semakin membuktikan bahwa Penyakit
Diabetes Melitus merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang sangat serius
(Depkes RI 2005).
Jumlah penderita DM terus meningkat
seiring dengan perubahan gaya hidup, jenis
makanan yang dikonsumsi, kekurangan
kegiatan jasmani, dan masih banyak lagi.
Organisasi yang peduli terhadap permasalahan
Diabetes, Diabetic Federation mengestimasikan bahwa jumlah penderita DM di Indonesia
tahun 2001 terdapat 5,6 juta penderita diabetes
untuk usia diatas 20 tahun, akan meningkat
menjadi 8,2 juta pada tahun 2020, bila tidak
dilakukan upaya perubahan pola hidup sehat
para penderita (Depkes RI 2005).
Timbulnya berbagai penyakit komplikasi
dan peningkatan jumlah penderita dapat
dicegah dengan melakukan usaha preventif.
Usaha tersebut dapat berupa perubahan gaya
hidup, pemberian insulin maupun obat oral
hipoglikemia. Saat ini harga insulin dan obat
oral hipoglikemia semakin mahal. Selain
mahal, penggunaan insulin dan obat oral
hipoglikemia juga dapat menimbulkan efek
samping. Oleh karena itu, saat ini masyarakat
mulai berpaling pada penggunaan obat
tradisional (Maryuni 2002).
Dalam penggunaan obat tradisional,
Indonesia termasuk salah satu negara di Asia
yang sudah lama mempunyai tradisi tersebut.
Menurut Heyne (1987) dan Sostroamidjojo
(1962) (didalam Maryuni 2002), ramuan obat
tradisional Indonesia menggunakan tidak
kurang dari 1200 jenis tanaman yang berasal
dari 160 suku tanaman. Khusus untuk

penyakit diabetes, Widowati et al.(1997)
menyatakan bahwa terdapat 46 jenis tanaman
yang telah mendapat perhatian karena
aktivitas antidiabetesnya.
Sirih merah (Piper crocatum) merupakan
tanaman merambat yang banyak tumbuh di
daerah tropis khususnya Indonesia. Tanaman
ini merupakan tanaman hias, yang kemudian
berubah menjadi tanaman obat sejak
diperkenalkan oleh Bambang Sudewo –
produsen tanaman obat di Blunyahrejo
(Duryatmo 2005). Daun sirih merah
digunakan secara tradisional untuk mengobati
DM. Namun demikian, sampai sekarang
belum ada penelitian mengenai kandungan
fitokimia dan menguji khasiat tanaman
tersebut dalam menurunkan kadar glukosa
darah hewan uji.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mempelajari toksisitas akut rebusan sirih
merah dan mengetahui kandungan fitokimia
sirih merah, serta hubungannya dalam
menurunkan kadar glukosa darah pada tikus
putih galur Spraque-Dawley yang dibuat
hiperglikemia. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat dalam menambah informasi
ilmiah mengenai dosis aman dari sirih merah
serta pemanfaatannya dalam mengobati
penyakit diabetes.
Hipotesis penelitian ini adalah sirih
merah (P. crocatum) memiliki senyawa
tertentu yang berfungsi dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada tikus putih
hiperglikemia.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli
sampai November 2005 di Laboratorium
Biokimia Program Studi Biokimia dan
Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka,
Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

TINJAUAN PUSTAKA
Sirih Merah
Sirih merah (Piper crocatum) merupakan
salah satu jenis tanaman hias, yang kini
berubah menjadi tanaman obat sejak diperkenalkan oleh Bambang Sudewo – produsen
tanaman obat di Blunyahrejo (Duryatmo
2005). Klasifikasi lengkap dari tanaman ini
adalah sebagai berikut : Divisi Spermatophyta, Subdivisi Angiospermae, Kelas
Monochlamydeae, Bangsa Piperales, Suku
Piperaceae, Genus Piper, dan Jenis Piper
crocatum.

2

lain hipertensi, leukemia, dan kanker payudara
(Duryatmo 2005).
Insulin

Gambar 1 Tanaman sirih merah (P. crocatum)
(Calisi 2005)
Tanaman sirih merah (SM) ini merupakan
tanaman merambat, yang tumbuh hingga
mencapai ketinggian 10 kaki atau lebih,
mudah tumbuh didaerah tropis (khususnya
daerah lembab), dan perkembangbiakannya
dengan stek. Permukaan atas daun ini
berwarna hijau gelap berpadu dengan tulang
daun merah kepekatan, sedangkan permukaan
bawah daun berwarna merah keunguan
(Duryatmo 2005).
Tanaman SM ini secara empiris telah
terbukti menyembuhkan berbagai macam
penyakit. Selain diabetes melitus, penyakit
yang disembuhkan dengan sirih merah antara

Insulin (bahasa Latin insula, "pulau",
karena diproduksi di Pulau-pulau Langerhans
di pankreas) adalah sebuah hormon
polipeptida yang mengatur metabolisme
karbohidrat. Selain merupakan faktor utama
dalam homeostasis karbohidrat, hormon ini
juga berperan dalam metabolisme lemak
(trigliserida) dan protein (Anonim, 2004).
Insulin disintesis pertama kali sebagai
preproinsulin pada sel  kepulauan
Langerhans. Preproinsulin mengandung ujung
–amino sekuensi sinyal (amino-terminal
signal sequence) yang diperlukan sebagai
prekursor hormon untuk melewati membran
retikulum endoplasma (RE) selama proses
translasi. Setelah sampai di RE, bagian sinyal
sekuensinya secara proteolitik dipotong dari
proinsulin, kemudian terbentuknya tiga ikatan
disulfida pada prepoinsulin. Selama di RE,
untai C peptida pada proinsulin diputus oleh
protease spesifik menjadi insulin. Insulin ini
kemudian dipaketkan dan disimpan dalam
bentuk granula yang nantinya terakumulasi
dalam sitoplasma (Gambar 2) (Caltailler
2004).

Gambar 2 Sintesis Insulin (Caltailler 2004)

3

Proses pelepasan insulin dari sel beta
merupakan salah satu respon dari perubahan
kadar glukosa dalam darah. Ketika kadar
glukosa dalam darah meningkat seiring
dengan peningkatan metabolisme karbohidrat,
menyebabkan glukosa dalam darah masuk ke
dalam sel beta lewat glukosa transporter tipe 2
(GLUT 2, spesifik pada sel  kepulauan
Langerhans dan sel hati). Hal ini
menyebabkan meningkatnya aktivitas enzim
glukokinase diikuti glikolisis, dan respirasi
yang menyebabkan terjadinya peningkatan
rasio
ATP/ADP.
Peningkatan
ini
menyebabkan kanal K ATP (ATP-sensitive
potassium channel) tertutup, sehinggga
terjadinya depolarisasi dalam sel yang
menyebabkan terbukanya kanal kalsium
(voltage-gated calcium channel). Meningkatnya kalsium dalam sel menyebabkan terjadinya pelepasan granula-granula insulin dalam
sel (Gambar 3) (Caltailler 2004).
Molekul insulin yang dikeluarkan dalam
sel beta kemudian diedarkan melalui aliran
darah sampai ke reseptor insulin yang terikat
dalam membran luar sel target. Reseptor
insulin ini nantinya akan menggerakkan
pengambilan glukosa dalam darah ke berbagai
jaringan
yang
mengandung
glukosa
transporter tipe 4 (GLUT 4, spesifik pada otot
rangka, otot jantung dan jaringan adiposa).
GLUT 4 merupakan transport glukosa yang
kerjanya dipengaruhi oleh keberadaan hormon
insulin. Ketika insulin sampai ke reseptor
insulin, maka reseptor ini akan mengaktifkan
kerja GLUT 4 dalam transport glukosa ke

dalam sel. Selain itu, insulin juga berperan
dalam metabolisme lemak (trigliserida),
protein,
ekspresi
gen
dan
regulasi
pertumbuhan sel (Caltailler 2004).
Insulin digunakan dalam pengobatan
beberapa jenis diabetes melitus. Pasien
dengan diabetes melitus tipe 1 bergantung
pada insulin eksogen (disuntikkan dibawah
kulit/subkutan) untuk keselamatannya karena
kekurangan absolut hormon tersebut; pasien
dengan diabetes melitus tipe 2 memiliki
tingkat produksi insulin rendah atau kebal
insulin, dan kadang kala membutuhkan
pengaturan insulin bila pengobatan lain tidak
cukup untuk mengatur kadar glukosa darah
(Anonim 2004).
Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) atau penyakit
kencing manis adalah suatu gejala kelainan
dalam tubuh yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia)
dan adanya gula dalam air seni. DM termasuk
kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya. Gejala yang ditimbulkan
penyakit antara lain sering haus, sering buang
air kecil, kesemutan, penglihatan kabur,
banyak makan tetapi berat badan menurun,
gatal-gatal, gairah seks menurun, serta cepat
merasa lelah, dan mengantuk (Purwakusumah
2003).

Gambar 3 Sekresi insulin dalam sel  kepulauan Langerhans (Caltailler 2004).

4

Seseorang dapat menderita penyakit DM
karena berbagai faktor, antara lain keturunan,
obesitas, pola makan yang tidak sehat,
malnutrisi, kehamilan, dan lingkungan
(Tjokroprawiro 1989).
Untuk mendeteksi adanya penyakit DM,
seseorang dapat melakukan pemeriksaan
glukosa darah atau urin. Pemeriksaan glukosa
darah spesifik dilakukan dalam keadaan puasa
(8-10 jam setelah makan). Kadar glukosa
darah puasa pada orang normal berkisar antara
70-120 mg/dl (Badan POM 2005, Mathur et
al. 2003). Konsentrasi tersebut bisa bertambah
tinggi pada keadaan setelah makan, yaitu 180
mg/dl dan akan kembali normal dalam waktu
2 jam. Bila hasil dua kali pemeriksaan pada
waktu yang berbeda menunjukkan kadar
glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl,
maka seseorang dapat didiagnosis menderita
penyakit diabetes (Mathur et al. 2003).
Penyakit diabetes jika tidak ditangani
dengan baik akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi tersebut dapat bersifat akut atau
kronis. Komplikasi akut terjadi jika kadar
glukosa darah seseorang meningkat atau
menurun tajam dalam waktu relatif singkat.
Kadar glukosa darah bisa menurun drastis jika
penderita menjalani diet yang terlalu ketat
atau mengkonsumsi obat diabetes oral
berlebihan. Komplikasi kronis berupa
kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa
menyebabkan serangan jantung, syaraf dan
penyakit berat lainnya (Afifah
2003).
Komplikasi kronis tersebut dapat berupa
nefropati (gangguan fungsi ginjal), neuropati
(gangguan fungsi syaraf mata) dan retinopati
(gangguan retina mata) (Mathur et al. 2003).
Diabetes melitus terbagi menjadi dua,
yaitu diabetes melitus tipe I (Insulin
Dependent Diabetes Mellitus) dan diabetes
melitus tipe II (Insulin Independent Diabetes
Mellitus).
Diabetes melitus tipe I disebut juga
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM),
atau diabetes melitus tergantung insulin.
Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang
berusia dibawah 30 tahun, orang yang kurus.
Sebagian besar kasus terjadi sebelum atau
sekitar masa pubertas (Mathur et al. 2003).
Penderita penyakit diabetes tipe ini tergantung
pada insulin seumur hidupnya. Hal ini
disebabkan oleh ketidakmampuan pankreas
untuk memproduksi insulin. Insulin sama
sekali tidak diproduksi atau diproduksi dalam
jumlah yang kecil sekali (Widowati et
al.1997). Menurut Ranakusuma et al. (1999),
tubuh tidak mampu memproduksi insulin
karena sel  kepulauan Langerhans

mengalami peradangan yang diakibatkan oleh
adanya virus seperti virus cochsakie, rubella,
cito megalo virus (CMV), herpes, dan lainlain.
Penderita diabetes tipe I yang tidak dapat
disembuhkan
mengalami
perubahan
metabolisme lemak. Tubuh tidak dapat
mengkonversi glukosa menjadi energi
sehingga tubuh akan menggunakan cadangan
lemak sebagai bahan bakar. Hal ini
menyebabkan peningkatan jumlah komponen
asam yang disebut badan keton dalam darah
yang mempengaruhi pernafasan.
Pada diabetes tipe II, jumlah insulin
normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang
terdapat pada permukaan sel kurang sehingga
masuknya glukosa kedalam sel terhambat.
Penyebab diabetes tipe ini sebenarnya tidak
begitu jelas, tetapi banyak faktor yang
berperan. Faktor tersebut antara lain obesitas,
diet tinggi lemak, dan rendah karbohidrat,
kurang gerak badan, dan faktor herediter
(Ranakusuma et al. 1999).
Pengobatan Diabetes Melitus
Pengobatan penyakit diabetes melitus
terbagi dalam empat bentuk utama, yaitu diet,
olahraga, terapi insulin, dan pemberian obat
hipoglikemia oral (Mathur et al. 2003).
Terapi diet bertujuan untuk memperoleh
berat badan ideal dan untuk menghindari
peningkatan kadar glukosa darah, sedangkan
olahraga meningkatkan sensitivitas insulin
sehingga dapat meningkatkan kerja insulin
dalam mengontrol kadar glukosa darah
(Mathur et al. 2003).
Insulin diperlukan oleh penderita DM tipe
I maupun tipe II. Pada penderita diabetes
melitus tipe I, insulin diberikan tanpa
pemberian obat hipoglikemia oral, sedangkan
pada penderita DM tipe II, kombinasi insulin
dengan obat hipoglikemia oral memberikan
hasil yang lebih baik (Ranakusuma et
al.1999).
Pemberian obat secara oral merupakan
cara pemberian obat yang paling umum
dilakukan karena mudah, aman, dan mudah
(Ganiswara 1980 didalam Maryuni 2002),
selain itu pemberian obat hipoglikemia oral
digunakan hanya untuk penderita DM tipe II
(Mathur et al. 2003). Obat hipoglikemia oral
bagi penderita diabetes dibagi dua, yaitu obat
modern dan obat tradisional.
Obat modern yang memiliki aktivitas
hipoglikemia dibedakan menjadi 4 kelas
menurut mekanisme kerjanya. Pertama,
golongan sulfonilurea mekanisme kerjanya

5

terutama pada peningkatan sekresi insulin,
sedangkan peningkatan sensitivitas insulin
merupakan efek kedua untuk mengurangi
konsentrasi glukosa darah. Kedua, golongan
biguanida, tidak mempunyai efek langsung
pada sekresi insulin. Mekanisme kerja
golongan ini belum dimengerti secara
sempurna tetapi diduga melalui pengurangan
produksi
glukosa
hati,
meningkatkan
sensitivitas
periferal
dan
mengurangi
penyerapan glukosa intestinal. Ketiga,
golongan inhibitor α-glukosidase salah
satunya adalah akarbose. Obat ini menghambat enzim spesifik yang menguraikan pati
dalam usus halus sehingga menunda
penyerapan karbohidrat. Keempat, adalah
insulin eksogen yang berperan dalam
meningkatkan sensitivitas insulin secara tidak
langsung dan menekan produksi glukosa hati
(Rahminiwati, et al. 2003).
Daonil merupakan salah satu contoh obat
yang merupakan turunan sulfonilurea,
termasuk dalam golongan glibenklamid. Obat
ini mengandung 5 mg glibenklamid dan
memiliki waktu paruh 5-7 jam. Cara kerjanya
sama dengan turunan sulfonilurea lainnya
yaitu dengan meningkatkan sekresi insulin.
Menurut Bowman & Rand (1968)(didalam
Maryuni 2002), obat yang termasuk dalam
golongan glibenklamid akan mengalami metabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit
diekresikan melalui urin, sedangkan sisanya
dibuang melalui empedu dan tinja. Pemberian
glibenklamid secara terus menerus akan
menyebabkan tumbuhnya sel-sel  pankreas
baru.
Pengobatan secara tradisional didasarkan
faktor-faktor empiris, kebiasaan, pengalaman,
dan terkadang unsur-unsur yang bersifat
mistik. Pada umumnya mekanisme proses
penyembuhan yang terjadi dalam pengobatan
jenis ini tidak dapat dijelaskan secara tuntas
seperti pengobatan modern. Banyak jenis obat
tradisional yang sudah digunakan sebagai obat
oral antidiabetik. Dalam Widowati et al.
(1997), disebutkan bahwa terdapat 46 jenis
tanaman yang digunakan sebagai obat
diabetes. Dari keseluruhan tanaman, baru 16
jenis tanaman yang telah diteliti secara ilmiah
yaitu bawang (Allium cepa L), babakan pule
(Alstonia scholaris), sambiloto (Andrographis
paniculata), belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L), sembung (Blumea balsamifera),
tapak dara (Catharathus roseus G. Don), ubi
jalar (Ipomoea batatas Poir), bungur putih
(Lagerstroemia speciosa (L) Pers), petai cina
(Leucaena leucephala de Win), bidara upas
(Merremia mammosa Hall), mengkudu

(Morinda citrifolia L), lampes (Ocimum
sanctum L), petai (Parkia speciosa Hassk),
keji beling (Sericocalyx crispus L. Bremek),
duwet (Syzgium cumini (L) Skeels), dan
bratawali (Tinospora crispa (L.) Miers).
Uji Fitokimia
Kimia tumbuhan atau fitokimia adalah
cabang kimia organik yang berada diantara
kimia organik bahan alam dan biokimia
tumbuhan, serta berkaitan erat dengan
keduanya. Bidang perhatian dari fitokimia
adalah keanekaragaman senyawa organik
yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan,
yaitu mengenai struktur kimia, biosintesis,
perubahan serta metabolismenya, penyebaran
secara ilmiah, dan fungsi biologis (Rafi 2003).
Analisis fitokimia atau uji fitokimia
merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui
keberadaan senyawa kimia spesifik seperti
alkaloid, senyawa fenol (termasuk flavonoid),
steroid, saponin, dan terpenoid tanpa
menghasilkan penapisan biologis. Uji ini
sangat bermanfaat untuk memberikan
informasi jenis senyawa kimia yang terdapat
pada tumbuhan. Senyawa-senyawa ini
merupakan metabolit sekunder yang mungkin
dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat.
Analisis ini merupakan tahapan awal dalam
isolasi senyawa bahan alam sehingga menjadi
panduan bersama-sama dengan uji aktivitas
biologis senyawa tersebut. Salah satu tujuan
pengelompokan senyawa-senyawa aktif ini
adalah untuk untuk mengetahui hubungan
biosintesis dan famili tumbuhan. Informasi ini
sangat berguna oleh ahli sintesis kimia
organik
untuk
memprediksi/mengubah
subsitituen senyawa aktif tersebut sehingga
dapat lebih berkhasiat. Tanaman yang diuji
fitokimianya adalah dapat berupa tanaman
segar, kering yang berupa rajangan, serbuk,
ekstrak atau dalam bentuk sediaan (Rafi
2003).
Uji fitokimia yang dilakukan berdasarkan
pada reaksi yang menghasilkan warna atau
endapan. Selama bertahun-tahun uji warna
sederhana dan reaksi tetes dikembangkan
untuk menunjukkan adanya senyawa tertentu
atau golongan tertentu karena sudah terbukti
khas dan peka. Uji fitokimia masih sering
digunakan dalam pencirian senyawa karena
mudah dan tidak memerlukan peralatan yang
rumit akan tetapi kadang kala tidak dapat
memberikan hasil yang memuaskan (Rafi
2003).

6

Uji Toksisitas Akut
Toksisitas akut didefinisikan sebagai efek
yang ditimbulkan oleh senyawa kimia atau
obat terhadap organisme target. Uji toksisitas
akut dilakukan dengan memberikan obat atau
zat kimia yang sedang diuji sebanyak satu kali
atau beberapa kali dalam jangka waktu 24 jam
atau 7-24 hari. Kebanyakan pemeriksaan
toksisitas akut diarahkan pada penentuan dosis
letal median (LD50) suatu bahan kimia tertentu
(Lu 1995).
LD50 didefinisikan sebagai dosis tunggal
suatu zat yang secara statistik diharapkan akan
membunuh 50% hewan coba (Lu 1995).
Pengujian ini dapat memberikan petunjuk
tentang dosis yang sebaiknya digunakan
dalam pengujian yang lebih lama. Dalam
beberapa hal, khususnya bila toksisitas akut
suatu zat kimia rendah, nilai LD50 tidak perlu
ditentukan secara tepat (Lu 1995). Informasi
bahwa dosis yang cukup besar menyebabkan
hanya sedikit kematian atau bahkan tidak
menyebabkan kematian sama sekali dianggap
cukup. Tingkat keracunan senyawa kimia atau
obat berdasarkan nilai LD50 dan klasifikasi
toksisitas akut pada hewan coba dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi toksisitas akut dan nilai
LD50 (Lu 1995)
kategori
LD50
Supertoksik
5 mg/kg atau kurang
Amat sangat toksik 5-50 mg/kg
Sangat toksik
50-500 mg/kg
Toksik sedang
0,5-5 g/kg
Toksik ringan
5-15 g/kg
Praktis tidak toksik > 15 g/kg
Aloksan
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidina; 5,6dioksiurasil) merupakan senyawa kimia yang
biasa digunakan untuk menginduksi penyakit
diabetes melitus (Gambar 4). Aloksan
pertama kali di diperkenalkan oleh Brugnatelli
tahun 1818. Wöhler dan Liebig pada tahun
1928 menggunakan nama ”aloksan” dan
memaparkan sintesis pembuatannya melalui
oksidasi asam urat. Pada tahun 1943, Shaw
Dunn, Sheehan dan McLetchie menemukan
bahwa pemberian aloksan pada kelinci
mengakibatkan hiperglikemia temporer, yang
diikuti hipoglikemia hebat, dan diakhiri
dengan kematian hewan. Peristiwa ini
berhubungan dengan nekrosis selektif sel-sel
β-kepulauan Langerhans. (McLetchie 2002
dan Szkudelski 2001).

Gambar 4 Senyawa aloksan (Szkudelski 2001)
Telah diteliti juga bahwa pemberian
aloksan
secara
intervena
maupun
intraperitoneal
mengakibatkan
diabetes
permanen, tidak hanya pada kelinci ataupun
tikus, tetapi juga anjing, kucing, hamster,
kambing, dan monyet. Dosis pemberian yang
berbeda untuk setiap jenis spesies. Untuk
tikus, dosis yang dapat membuat tikus
hiperglikemia adalah 120 mg/kg berat badan
(Purwanto 1995 dalam Maryuni 2002 dan
Hermawan H 2002).
Aloksan
bersifat
hidrofilik
dan
merupakan senyawa yang tidak stabil.
Memiliki waktu paruh pada pH netral dan
suhu 37ºC sekitar 1,5 menit dan semakin
meningkat pada suhu rendah (Lenzen &
Munday 1991 didalam Szkudelski 2001).
Perubahan histologi pulau Langerhans
pankreas merupakan konsekuensi dari injeksi
aloksan. Zat ini menyebabkan kerusakan
selektif sel-sel β-pulau Langerhans; piknosis
nukleus dan degranulasi terjadi pada sel-sel
tersebut setelah 30 menit injeksi. Dua belas
jam setelah injeksi, sel-sel β mengalami
disintegrasi dan membentuk massa nekrotik
yang luas dalam pulau Langerhans. Pada
waktu berikutnya, massa nekrotik diabsorpsi
dan habis pada
akhir 48 jam. Pulau
Langerhans hanya tinggal terdiri dari sel-sel α.
Hiperglikemia dihasilkan karena adanya
output glukosa dari hati yang dimungkinkan
oleh stimulasi epinefrin medulla adrenal. Fase
hipoglikemia disebabkan oleh adanya insulin
yang dibebaskan dari nekrotik atau sel β yang
rusak. Tidak adanya insulin lagi yang
diproduksi oleh sel-sel β mengakibatkan
hiperglikemia permanen (Maryuni 2002).
Balz et al. (1980) (didalam Maryuni
2002) mengungkapkan bahwa aloksan
menginduksi pengeluaran ion Ca2+ dari
mitokondria yang mengakibatkan proses
oksidasi sel terganggu. Keluarnya ion Ca2+
dari mitokondria ini mengakibatkan gangguan
homeostasis yang merupakan awal kematian
sel. Data penelitian terakhir ditulis dalam
Colca et al. (1983). Aloksan menghambat
aktivitas calmodulin, suatu senyawa yang

7

berperan dalam transport ion Ca2+ dalam sel.
Kalsium diperlukan dalam memulai sejumlah
proses seluler yang meliputi kontraksi sel,
sekresi neurotransmiter dan hormon, ritmic
firing dari jantung, dan sel syaraf. Calmodulin
merupakan protein pengikat ion Ca2+ yang
berperan sebagai aktivator agar sejumlah
tertentu ion Ca2+ berada didalam sel. Akibat
hambatan aktivitas calmodulin ini sekresi
insulin juga terhambat.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan yaitu daun
sirih merah segar, aloksan tetrahidrat, NaCl
0,9% (b/v), betadin, tissue, kapas, strip test
ACCU-CHEK Active, eter, alkohol 70%,
kloroform, amoniak, H2SO4 2N, H2SO4 pekat,
pereaksi Dragendorf, pereaksi Meyer,
pereaksi Wagner, metanol 30%, NaOH 10%
(b/v) , eter, pereaksi Lieberman Buchard,
FeCl3 1% (b/v), asam asetat 50%, dan
akuades.
Alat yang akan digunakan yaitu alat-alat
gelas, kertas saring, glukometer ACCUCHEK® Active, penangas air, Jarum suntik,
sonde, gunting bedah, sarung tangan, masker,
Neraca analitik Ohaus, timbangan Nationaal
Voorburg, spot plate (papan uji).
Metode Penelitian
Pembuatan Rebusan Daun Sirih Merah
(SM)
Daun SM segar ditimbang sebanyak 200
g, ditambahkan akuades sebanyak 1L, lalu
direbus dengan air mendidih sampai
volumenya menjadi 100 mL. Setelah itu
disaring untuk mendapatkan ekstrak air daun
sirih merah.
Analisis Fitokimia Daun Sirih Merah
(Harbone 1987)
Uji Alkaloid. Sebanyak 2 g contoh
digerus dengan pasir halus, ditambahkan 10
mL kloroform dan beberapa tetes amoniak.
Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan
dengan 10 tetes H2SO4 2 M. Fraksi asam
diambil kemudian ditambahkan pereaksi
Dagendorf, Meyer, dan Wagner. Adanya
alkaloid ditandai dengan terbentuknya
endapan putih oleh pereaksi Meyer, endapan
merah oleh pereaksi Dragendorf, dan endapan
coklat oleh pereaksi Wegner.
Uji Saponin. Sebanyak 1 g contoh
ditambah air secukupnya dan dipanaskan pada
air mendidih selama 5 menit. Larutan tersebut

didinginkan kemudian dikocok. Timbulnya
busa yang bertahan lebih dari 10 menit
menunjukkan adanya saponin.
Uji
Flavonoid
dan
Fenolik
Hidrokuinon. Sebanyak 1 g contoh ditambah
metanol 30% sampai terendam lalu
dipanaskan. Filtratnya ditaruh kedalam spot
plate (papan uji) dan kemudian ditambahkan
NaOH 10% (b/v) atau H2SO4 pekat.
Terbentuknya
warna
merah
karena
penambahan NaOH menunjukkan adanya
senyawa fenolik hidrokuinon sedangkan
warna merah yang terbentuk akibat
penambahan H2SO4 pekat menunjukkan
adanya flavonoid.
Uji Triterpenoid dan Steroid. Sebanyak
2 g contoh ditambah 25 ml etanol 30% lalu
dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan
kemudian ditambah eter. Lapisan eter dipipet
dan diujikan pada spot plate dengan
menambahkan pereaksi Liebermen Buchard
(3 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes
H2SO4 pekat). Warna merah atau ungu
menunjukkan adanya triterpenoid dan warna
hijau menunjukkan adanya steroid.
Uji Tanin. Sebanyak 10 g contoh
ditambahkan air kemudian dididihkan selama
beberapa menit, kemudian disaring. Filtratnya
ditambah FeCl3 1% (b/v). Warna biru tua atau
hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin.
Hewan Coba dan Rancangan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan adalah
tikus putih galur Sprague-Dawley dengan
jenis kelamin jantan, sehat, dan mempunyai
aktivitas normal, berusia 3-4 bulan dengan
berat badan 200-350 gram (Gambar 5).
Untuk uji toksisitas akut rebusan SM
digunakan 12 ekor tikus. Tikus dibagi menjadi
4 kelompok dosis, yaitu 0, 5, 10, dan 20 g/kg
BB dan masing-masing kelompok terdiri atas
4 ekor. Rebusan sirih merah diberikan secara
oral ke tikus sesuai dosisnya, kemudian diukur
bobot badannya dan mortalitas (tingkat
kematian) selama 1 minggu.

Gambar 5 Tikus percobaan galur SpragueDawley

8

Untuk uji aktivitas antihiperglikemia
digunakan tikus sebanyak 24 ekor, dibagi
menjadi 6 kelompok dengan masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus. Keenam
kelompok tersebut itu adalah kelompok
kontrol normal, kelompok kontrol positif,
kelompok kontrol negatif, dan kelompok
contoh dengan tiga macam dosis rebusan SM,
yaitu 0,322 g/kg BB (100xdosis daonil), 3,22
g/kg BB (1000xdosis daonil) dan 20 mg/kg
BB. Kelompok kontrol normal adalah
kelompok tikus yang mendapat induksi NaCl
0,9% (b/v) dan cekok akuades. Kelompok
kontrol negatif, disebut juga kelompok
diabetes, merupakan kelompok yang disuntik
aloksan dan dicekok akuades. Kelompok
kontrol
positif
merupakan
kelompok
pembanding, dengan tikus mendapat induksi
aloksan dan cekok obat antidiabetes
komersial, yaitu Daonil, yang termasuk
turunan sulfonilurea golongan glibenklamida
dengan dosis 3,22 mg/kg BB. Kelompok
contoh adalah kelompok tikus yang dibuat
diabetes dengan induksi aloksan dan
mendapat cekok rebusan daun SM.
Sebelum mendapatkan perlakuan, tikus
diadaptasikan selama dua minggu untuk
menyeragamkan cara hidup dan makanannya.
Induksi aloksan dilakukan dengan cara
menyuntikkan aloksan tetrahidrat pada bagian
intraperitonial rongga bawah perut tikus
(Gambar 6) dengan dosis 150 mg/ kg BB
(konsentrasi 5% b/v dalam pelarut akuades
steril). Selama perlakuan, darah tikus diambil
dan diukur kadar glukosanya. Pengambilan
darah dilakukan 16-17 jam setelah dipuasakan
pada hari ke-0, 3, 5, 8, dan 13 setelah disuntik
aloksan ataupun NaCl 0,9%.
Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Glukosa darah diukur menggunakan
Glukometer. Metode ini berdasarkan reaksi
antara
glukosa
dan NAD+
menjadi
glukonolakton
oleh
enzim
glukosa
dehidrogenase
(β-D-glukosa:NAD-Oksido
reduktase). Glukosa darah diukur 5 kali yaitu
pada hari ke-0, 3, 5, 8, dan 13 setelah disuntik
aloksan ataupun NaCl 0,9%.

Analisis Statistik
Analisis data menggunakan analisis
ragam (ANOVA) rancangan acak lengkap
(RAL) pada tingkat kepercayaan 95% dan
taraf α 0,05 dan kemudian dilanjutkan dengan
uji duncan.
Semua data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 11.5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Fitokimia
Sampel yang digunakan adalah rebusan
SM segar. Uji fitokimia bertujuan untuk
mengetahui adanya senyawa metabolit
sekunder yang diharapkan dapat berperan
sebagai antihiperglikemia atau antidiabetes.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa rebusan
sirih merah segar mengandung alkaloid,
flavonoid, dan tanin (Tabel 2). Pada uji
alkaloid sampel menunjukkan hasil positif
terhadap ketiga pereaksi (Wagner, Mayer, dan
Dragendorf). Adanya flavonoid ditunjukkan
dengan terbentuknya warna merah jingga.
Adanya tanin ditunjukkan dengan terbentuk
warna hitam kehijauan.
Hasil uji fitokimia ini tidak jauh berbeda
dengan hasil penelitian Andayani (didalam
Cahyani et al. 2006) yang menyimpulkan
bahwa SM kaya flavonoid, alkaloid, senyawa
folifenat, tanin dan minyak atsiri.
Dari ketiga senyawa tersebut (alkaloid,
flavonoid, dan tanin), alkaloid, dan flavonoid
merupakan senyawa aktif bahan alam yang
telah diteliti memiliki aktivitas hipoglikemia
(Ivorra et al. 1989 dalam Maryuni 2002).
Sedangkan
tanin
berfungsi
sebagai
antioksidan dan penghambat pertumbuhan
tumor.
Tabel 2 Hasil uji fitokimia rebusan daun sirih
merah
Uji
Hasil
Alkaloid
+
Flavonoid
+
Saponin
Triterpenoid
Steroid
Tanin
+
Keterangan :
(+) = mengandung senyawa uji,
(-) = tidak mengandung senyawa uji

Uji Toksisitas Akut

Gambar 6 Penyuntikan tikus melalui daerah
intraperitonial

Tabel 3 menunjukkan bahwa selama 24
jam pertama sampai 7 hari masa percobaan
tidak adanya hewan yang mati baik untuk
kelompok dosis 0, 5, 10, maupun 20 g/kg BB.

9

Tabel 3 Tingkat kematian hewan pada masa
percobaaan selama seminggu
Jumlah kematian
Dosis (g/kg BB)
24 jam
7 hari
0 (kontrol)
5
10
20
Keterangan :
Tanda (-) menyatakan tidak ada kematian

Tidak adanya kematian pada semua dosis
yang diujikan dapat dikatakan bahwa rebusan
sirih merah tidak toksik. Dengan demikian
dianggap semua toksisitas akut dapat
diabaikan dan nilai LD50 tidak perlu
ditentukan. Hal ini sesuai dengan klasifikasi
toksisitas akut menurut Lu (1995) yang
menyatakan bahwa zat kimia dengan nilai
LD50 15 g/kg BB atau lebih bersifat praktis
tidak toksik.
Pengukuran bobot badan baik sebelum
maupun sesudah perlakuan menunjukkan
peningkatan bobot badan (Gambar 7).
Peningkatannya ini tidaklah berbeda nyata
untuk semua dosis (p>0,05)(Lampiran 4). Ini
berarti perlakuan yang diberikan, yaitu
pemberian rebusan sirih merah, tidak
mempengaruhi pertumbuhan bobot badan
tikus. Hal ini disebabkan karena dosis yang
diberikan tidak membuat mati tikus, atau
dikatakan tidak toksik, sampai dosis 20 g/kg
BB sehingga tidak mengganggu metabolisme
dalam tubuh tikus.
190

Bobot badan (g)

180
170
160
150
140
130
-7 6 -5 -4 3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7

hari kekontrol

Dosis 5 g/kg BB

Dosis 10 g/kg BB

Dosis 20 g/kg BB

Gambar 7 Rata-rata bobot badan tikus pada
uji toksisitas selama 2 minggu.

Aktivitas Antihiperglikemia Rebusan Daun
SM
Grafik rata-rata hasil pengukuran kadar
glukosa darah tikus pada uji aktivitas
antihiperglikemia rebusan daun SM tertera
pada Gambar 8. Pada hari ke-0 sebelum
perlakuan (S+0), kadar glukosa darah tikus
pada semua kelompok dalam keadaan normal
berkisar antara 60-110 mg/dL. Selain itu uji
statistika terhadap bobot badan semua
kelompok pada hari ke-0 menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran
5). Setelah hari ke-3, tikus yang diinduksi
dengan aloksan mengalami peningkatan kadar
glukosa darah berkisar 141-487 mg/dL,
sedangkan kelompok tikus yang diinduksi
NaCl 0,9% kadar glukosa darahnya tetap
normal.
Mulai hari ke-3 (S+3C+0) sampai hari ke13 (S+13C+10), pemberian obat pembanding
maupun rebusan SM dengan berbagai dosis
cenderung memberikan pengaruh penurunan
kadar glukosa darah (hipoglikemia) terhadap
tikus
hiperglikemia.
Adapun
persen
penurunan kadar glukosa darah pada
kelompok negatif, positif, maupun kelompok
SM dengan berbagai macam dosis dapat
terlihat pada Gambar 9.
Hari ke-2 setelah pencekokan (S+5C+2),
obat pembanding maupun rebusan SM dosis
0,322 g/kg BB dan 20 g/kg BB telah
menunjukkan efek penurunan kadar glukosa
darah, sedangkan SM dosis 3,22 g/kg BB
menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Hal
ini mungkin disebabkan karena perbedaan
kondisi fisik dan fisiologi hewan coba.
Keadaan ini dimungkinkan tikus dalam
kelompok SM dosis 3,22 g/kg BB tersebut
sangat sensitif terhadap induksi aloksan
sehingga pada hari ke-2 pencekokan darahnya
masih tetap meningkat. Akan tetapi, ketika
hari ke-5 setelah pencekokan kelompok
dengan 3,22 g/kg BB telah menunjukkan efek
penurunan kadar glukosa darah. Bahkan
persentase
penurunannya
lebih
besar
dibandingkan kelompok dosis SM 0,322 g/kg
BB pada hari yang sama. Tingkat kenaikan
glukosa darah hari ke-2 pada kelompok dosis
ini tidak berbeda nyata dengan kelompok obat
pembanding maupun dosis rebusan sirih
merah yang lainnya (p>0,05) (Lampiran 9).
Hari ke-5 setelah pencekokan (S+8C+5)
terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
besar pada kelompok rebusan SM dosis 20
g/kg BB dibandingkan kelompok dosis yang
lain. Hasil analisis statistika menunjukkan
bahwa kelompok dengan dosis ini berbeda

10

400
300
200
100

S+
13
C
+1
0

S+
8C
+5

S+
5C
+2

S+
3C
+0

0
S+
0

Kadar glukosa darah (mg/dL)

nyata dibandingkan dengan kontrol negatif
(aloksan)
dengan
p>0,05,
sedangkan
kelompok yang lainnya (kontrol positif, SM
dosis 0,322 g/kg BB, tidak berbeda nyata
dengan kontrol negatif (Lampiran 9). Ini
berarti rebusan SM dengan dosis 20 g/kg BB
dapat menurunkan kadar glukosa darah.
Hari ke-10 setelah pencekokan (S+13
C+10)
kesemua
kelompok
perlakuan
mengalami penurunan kadar glukosa darah.
Penurunan kadar glukosa darah pada
kelompok
kontrol
negatif
mungkin
disebabkan karena efek diabetogenik aloksan
biasanya bekerja ± 2 minggu, setelah itu kadar
glukosa darahnya kembali normal (Purwanto
1995 didalam Hermawan H 2002). Penurunan
kadar glukosa kontrol negatif ini tidak
berbeda nyata dengan kelompok kontrol
positif, kelompok SM dosis 0,322 g/kg BB,
3,22 g/kg BB, dan 20 g/kg BB. Akan tetapi
berbeda nyata dengan kelompok kontrol
normal. Begitu pula kelompok SM dosis
0,322 g/kg BB berbeda nyata dengan
kelompok kontrol normal (p>0,05) (Lampiran
9). Kelompok kontrol positif, kelompok SM
dosis 3,22 g/kg BB, dan 20 g/kg BB tidak
berbeda nyata dengan kelompok kontrol
normal
(p>0,05)
(Lampiran 9).
Ini
menunjukkan bahwa kadar glukosa darah
kelompok kontrol positif, kelompok SM
dosis1000 x daonil, dan 20 g/kg BB telah
kembali normal, sedangkan kadar glukosa
darah kelompok kontrol negatif dan kelompok
SM dosis 100 x daonil belum kembali normal.

Hari kekontrol normal
kontrol positif (daonil)
SM dosis 3,22 g/kg BB

kontrol negatif (aloksan)
SM dosis 0,322 g/kg BB
SM dosis 20 g/kg BB

Gambar 8 Rata-rata kadar glukosa darah tikus
selama 2 minggu. S+0 = hari ke-0
sebelum penyuntikan; S+3C+0 =
hari ke-3 penyuntikan, hari ke-0
pencekokan; S+5C+2 = hari ke-5
penyuntikan, hari ke-2 pencekokan; S+8C+5 = hari ke-8 penyuntikan, hari ke-5 pencekokan; S+13
C+10 = hari ke-13 penyuntikan,
hari ke-10 pencekokan.

Gambar 9 Rata-rata penurunan kadar glukosa
darah tikus selama 2 minggu.
S+5C+2 = hari ke-5 penyuntikan,
hari ke-2 pencekokan; S+8C+5 =
hari ke-8 penyuntikan, hari ke-5
pencekokan; S+13C+10 = hari ke13 penyuntikan, hari ke-10
pencekokan. * beda nyata dengan
kontrol negatif pada p>0,05.
Efek Rebusan SM terhadap Bobot Badan
Grafik rata-rata hasil pengukuran bobot
badan
tikus
pada
uji
aktivitas
antihiperglikemia rebusan daun SM tertera
pada gambar 10. Bobot badan tikus sebelum
mengalami perlakuan (S-1) menunjukkan nilai
normal yaitu rata-rata 316.25 ±27,82 g
(Lampiran 5). Pemberian rebusan SM dengan
berbagai dosis tidak berbeda nyata dengan
kelompok kontrol negatif (Lampiran 6).
Penurunan bobot badan hanya disebabkan
akibat induksi (penyuntikan) baik itu dengan
aloksan maupun NaCl 0,9 %. Hal tersebut
terlihat jelas pada gambar 10, bobot badan
menurun sampai hari ke-3 setelah induksi
(S+3C+0). Penurunan bobot badan ini
semakin bertambah sampai hari ke-13
(S+13C+10), untuk kelompok tikus yang
diberi induksi aloksan, sedangkan kelompok
tikus yang diberikan induksi NaCl 0,9 %
(kontrol normal) menunjukkan peningkatan
bobot badan.
Penurunan bobot badan yang disebabkan
induksi aloksan karena aloksan dapat
menghambat sekresi insulin sehingga absorpsi
glukosa ke dalam jaringan terhambat. Kondisi
ini menyebabkan terjadinya glukoneogenesis
dan glikogenolisis pada hati untuk untuk
mendapatkan sumber energi. Glukoneogenesis
dapat berasal dari hasil asam amino degradasi
protein di otot. Hal ini menyebabkan
berkurangnya masa otot yang ditunjukkan
dengan penurunan bobot badan.

11

DAFTAR PUSTAKA

350

bobot badan (g)

320

Afifah

290

260

230

+2

+5
S+
13
C
+1
0

S+
8C

+0

S+
5C

S+
1

1
S-

S+
3C

2
S-

200

hari kekontrol normal
kontrol positif (daonil)
SM dosis 3,22 g/kg BB

kontrol negatif (aloksan)
SM dosis 0,322 g/kg BB
SM dosis 20 g/kg BB

Gambar 10 Rata-rata bobot badan tikus pada
uji aktivitas antihiperglikemia
selama 2 minggu. S-2 = hari ke-2
sebelum penyuntikan; S-2 = hari
ke-1 sebelum penyuntikan; S+3
C+0 = hari ke-3 penyuntikan,
hari ke-0 pencekokan; S+5C+2 =
hari ke-5 penyuntikan, hari ke-2
pencekokan; S+8C+5 = hari ke-8
penyuntikan,
hari
ke-5
pencekokan; S+13C+10 = hari
ke-13 penyuntikan, hari ke-10
pencekokan

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari uji fitokimia, rebusan daun sirih
merah mengandung alkaloid, flavonoid, dan
tanin.
Rebusan daun sirih merah tidak memiliki
toksisitas hingga dosis 20 g/kg BB.
Rebusan daun SM dosis 20 g/kg BB
memiliki efek antihiperglikemia dengan
menurunkan kadar glukosa darah tikus
diabetes
galur
Sprague-Dawley
yang
diinduksi aloksan tetrahedrat hingga 17,76%,
40,17%, 38,44% pada hari ke-5, ke-8 dan ke13 setelah induksi aloksan.
Saran
Penelitian lanjutan pada rebusan sirih
merah perlu dilakukan untuk menentukan
senyawa aktif yang bersifat antihiperglikemia.
Untuk mengamati aktivitas antihiperglikemia yang terbaik dalam sirih merah
diperlukan dosis yang lebih tinggi dan waktu
yang lebih lama agar kadar glukosa darah
tikus hiperglikemia mencapai kadar normal.
Selain itu perlu diteliti efek samping
pemberian rebusan terhadap hati maupun
pankreas secara histologi.

E. Diabetes melitus. Di dalam
Pelatihan Tanaman Obat Tradisional
(Swamedikasi) : Pengobatan Penyakit Diabetes Melitus, 3-4 Mei 2003.
Bogor : Pusat Studi Biofarmaka
Lembaga Penelitian IPB.

Andayani Y. 2003. Mekanisme aktivitas
antihiperglikemik ekstrak buncis
(Phaseolus vulgaris Linn) pada tikus
diabetes dan identifikasi komponen
aktif [Tesis]. Bogor : Program
Pascasarjana,
Institut
Pertanian
Bogor.
[Anonim]. 2004. Insulin. http://id.wikipedia.
org/wiki/Insulin [ 20 januari 2006].
Badan POM. 2005. Berita aktual : mengenal
beberapa tanaman yang digunakan
sebagai antidiabetika. http://www.
pom.go.id/public/berita_aktual/detail.
asp? id=74&qs_menuid=2 [28 Juli
2005].
Caltailler JP. 2004. Insulin- from secretion to
action. Dalam The Beta CellBiology
Consortium.www.betacell.org/conten
t/articles/print.php?aid=1[20 Januari
2006].
Colca JR, Kotagal N, Brooks CL, Lacy PE,
Landt M, McDaniel ML. 1983.
Aloxan inhibition of Ca2+-and
calmodulin-dependent protein kinase
activity in pancreatic islet. The J.
Bio. Chem. 258 : 7260-7263.
Cahyani D et al. 2006. Sirih merah : musuh
baru beragam penyakit. Trubus. 434 :
84-86.
Calisi AJ. 2005. Paper crocatum. http://home.
att.net/~a.j.calisi/plants.html [13 okt
2005]
Depkes RI. 2005. Diabetes melitus masalah
kesehatan masyarakat yang serius.
http://www.depkes.go.id/index.php?o
ption=news&task=viewarticle&sid=9
42 [28 Juli 2005].
Duryatmo S. 2005. Dulu hiasan kini obat.
Trubus. 427 : 37.
Duryatmo S. 2005. Wajah ganda sirih merah.
Trubus. 434 : 92-93

12

Drews G, Krämer C, Düfer M, Drew PK.
2000. Contrasting eff