BAB II TINJAUAN PUSTAKA SKRIPSI WORK-FAMILY CONFLICT, STRES KERJA, KELELAHAN EMOSIONAL, KOMITMEN ORGANISASIONAL, KINERJA KARYAWAN, KEPUASAN KERJA

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Familly Conflict)

2.1.1.1 Pengertian Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work-Familly Conflict)

Terdapat beberapa pengertian Work-Familly Conflict menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Menurut Greenhaus & Bautell (1985), Work-Familly Conflict adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal.

2. Frone, Russel & Cooper (1992) mendefinisian konflik pekerjaan-keluarga (Work-Familly Conflict) yang terjadi pada karyawan, dimana satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di satu sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. 3. Menurut Ching dalam Rantika dan Sunjoyo (2010) Work-Familly Conflict

(konflik pekerjaan-keluarga) adalah bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal.

Berdasarkan beberapa definisi tentang Work-Familly Conflict diatas dapat disimpulkan bahwa Work-Familly Conflict adalah terjadinya konflik pada individu yang memiliki peran ganda antara peran dalam pekerjaan dan peran dalam keluarga.


(2)

2.1.1.2 Jenis-jenis Work-Familly Conflict

Greenhaus dan Bautel (1985) mengidentifikasikan tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga, yaitu:

1. Time-based conflict merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan dapat berasal dari keluarga maupun dari pekerjaan yang dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan lainnya.

2. Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran mempengaruhi peran yang lainnya.

3. Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan dan keluarga).

Konflik pekerjaan-keluarga terbagi dalam 3 bagian, yaitu:

1. Job-spouse conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan pasangan.

2. Job-parent conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan dari fungsi pemeliharaan anak.

3. Job-homemaker conflict: konflik antara tuntutan pekerjaan dengan tuntutan dari tanggung jawab yang berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga.

Kossek dan Ozeki dalam Rantika dan Sunjoyo (2010) membagi Work-familly conflict menjadi 2 (dua) dimensi, yaitu:


(3)

1. Work Interfering With The Familly (WIF) merupakan konflik yang muncul ketika peran pekerjaan mengganggu peran seseorang dalam keluarga. 2. Familly Interfering With The Work (FTW) merupakan konflik yang muncul

ketika peran seseorang dalam keluarga mengganggu peran dalam pekerjaan.

2.1.1.3 Prediktor Antara Konflik Pekerjaan-Keluarga

Menurut Ahmad (2008:60), terdapat prediktor dari work-familly conflict yang dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Faktor terkait pekerjaa, yaitu: a. Tipe pekerjaan

Karyawan profesional yang berada pada posisi manajerial dan tingkat atas lainnya lebih berpotensi mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga daripada karyawan yang berada dilini bawah lainnya. Hal ini disebabkan karena karyawan profesional pada posisi manajer biasanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dari pada karyawan lainnya, sehingga lebih berpotensi mengalami konfik pekerjaan-keluarga.

b. Komitmen waktu kerja

Salah satu yang menjadi tolak ukur konflik antara pekerjaan-keluarga adalah berbasis pada waktu. Konflik antara pekerjaan-keluarga akan terjadi ketika sebagian besar waktu yang karyawan miliki hanya dihabiskan untuk memenuhi satu peran dalam pekerjaan. Waktu berjam-jam yang digunakan karyawan untuk memenuhi peran dalam pekerjaan akan menjadi konsekuensi negatif bagi perannya di dalam keluarga.


(4)

c. keterlibatan kerja

Tingkat keterlibatan kerja yang tinggi dalam peran pekerjaan akan membuat karyawan menjadi semakin sibuk sehingga karyawan hanya akan menghabiskan waktu hanya pada pekerjaan mereka dengan menyampingkan peran di dalam keluarga, sehingga terjadilah konflik pekerjaan-keluarga.

d. Peran yang berlebihan

Ketika karyawan mengalami beban kerja berlebih sehingga menghabiskan waktu dan energi yang terlalu besar pada perannya dalam pekerjaan, maka karyawan akan mudah mengalami kelelahan emosional. Kelelahan emosional yang dialami karyawan inilah yang akan memicu terjadinya konflik antara pekerjaan-keluarga.

e. Fleksibilitas kerja

Mencegah terjadinya konflik antara pekerjaan-keluarga dengan mengatur jadwal kerja secara fleksibel akan membantu membuat peran pekerjaan dan peran keluarga menjadi sedikit seimbang.

2. Faktor terkait keluarga, yaitu: a. Jumlah anak

Semakin banyak anak yang karyawan miliki, maka akan semakin besar tanggung jawab dan waktu yang akan dibutuhkan karyawan untuk dapat berada dirumah untuk mengasuh dan merawat anak mereka.


(5)

b. Tahap siklus hidup

Karyawan yang memiliki anak balita akan lebih rentan mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga daripada karyawan yang memiliki anak diatas umur 5 tahun atau bahkan remaja. Hal ini disebabkan karena, anak balita membutuhkan perawatan dan pengawasan yang ketat dari orang tuanya sehingga lebih menyita waktu karyawan agar dapat berada dirumah.

c. Keterlibatan keluarga

Karyawan yang lebih terlibat atau tenggelam dalam domain keluarga akan lebih mudah mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga. Contohnya, karyawan yang tidak dapat berhenti memikirkan anaknya yang sedang sakit meskipun harus bekerja dan memenuhi tanggung jawabnya. Hal ini membuat karyawan menjadi tidak fokus dalam menjalankan tugas pekerjaannya.

d. Pengaturan perawatan anak

Kualitas pengaturan perawatan anak menjadi hal yang sangat penting untuk dipikirkan bagi para orang tua yang bekerja, agar kepentingan anak menjadi kebutuhan yang sama pentingnya dengan kualitas kerja orang tua sehingga patut untuk dapat diseimbangkan.

3. Faktor terkait individu, yaitu: a. Nilai peran

Nilai peran individu menjadi hal yang sangat penting untuk dapat mengatur tindakan untuk orang yang bekerja. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang


(6)

menyeimbangkan peran-peranya, memprioritaskan peran kehidupan mereka, dan apa saja yang menjadi kepentingannya.

b. Orientasi peran gender

Adanya pandangan tradisional tentang tuntutan dan tanggung jawab yang berbeda antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan membuat karyawan perempuan menjadi lebih rentan dalam mengalami konflik antara pekerjaan-keluarga.

c. Locus of control

Locus of control lebih mengacu pada faktor kepribadian seseorang, dimana seseorang akan memilih dimana tempat yang cocok agar dapat lebih efektif.

d. Perfeksionisme

Hal ini lebih didasarkan pada perasaan yang ingin menyempurnakan setiap pekerjaan mereka sehingga menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya untuk pekerjaanya.

2.1.1.4 Indikator Konflik Pekerjaan-Keluarga

Menurut Netemeyer (1996:401), indikator-indikator konflik antara pekerjaan-keluarga adalah:

1. Tekanan kerja

Tekanan kerja berkaitan dengan tekanan dari beberapa peran saling bertentangan harus dijalankan dalam waktu bersamaan. Dengan adanya tuntutan


(7)

kerja dan tanggung jawab dari peran dalam pekerjaan membuat seseorang menjadi lebih sulit untuk menjalankan peran lainnya.

2. Banyaknya tuntutan tugas

Tuntutan umum dalam peran pekerjaan meliputi tanggung jawab, tugas, dan komitmen. Untuk memenuhi tuntutan umum dalam peran pekerjaan ini membuat seseorang mengkhususkan sejumlah waktunya hanya untuk pekerjaan, sehingga mengabaikan perannya dalam keluarga.

3. Sibuk dengan pekerjaan

Banyaknya tuntutan tugas membuat seseorang lebih menghabiskan waktunya untuk dapat lebih berdedikasi terhadap pekerjaanya. Hal ini mengakibatkan pekerja lebih senang menghabiskan waktunya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam pekerjaanya.

4. Kurangnya kebersamaan keluarga

Waktu yang lebih banyak dihabiskan seorang pekerja untuk memenuhi dan menyempurnakan tugas dan tanggung jawabnya dalam pekerjaan, membuat pekerja mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga.

5. Konflik komitmen dan tanggung jawab terhadap keluarga

Seseorang yang berdedikasi dalam pekerjaanya akan meenentukan seberapa tinggi komitmen yang pekerja berikan. Semakin tinggi komitmen pekerja dalam


(8)

pekerjaan, akan membuat pekerja semakin sulit untuk menyeimbangkan tanggung jawab perannya dalam keluarga.

2.1.2 Stres Kerja

2.1.2.1 Pengertian Stres Kerja

Terdapat beberapa pengertian stres kerja menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Menurut Ivancevich dan Matteson dalam Luthans (2006:442), stres diartikan sebagai interaksi individu dengan lingkungan, tetapi kemudian diperinci lagi menjadi respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi, atau kejadian ekternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik secara berlebihan pada seseorang.

2. Menurut Beehr dan Newman dalam Luthans (2006:442) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul dari interaksi antara manusia dan pekerjaan serta dikarakteristikan oleh perubahan manusia yang memaksa mereka untuk menyimpang dari fungsi normal mereka.

3. Menurut Cooper (1994) dalam Waluyo (2013:91) stres didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek.

4. Menurut Selye (1956) dalam Waluyo (2013:92) stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stresor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis dan perilaku.


(9)

Dari beberapa pengertian tentang stres, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu respon individu terhadap kondisi lingkungan eksternal yang berupa peluang, kendala (contraints), atau tuntutan (demands), yang menghasilkan respon psikologis dan respon fisiologis, sehingga bisa berakibat pada penyimpangan fungsi normal atau pencapaian terhadap sesuatu yang sangat diinginkan dan hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting.

2.1.2.2 Penyebab Stres Kerja

Penyebab stres kerja tidak hanya disebabkan oleh satu faktor penyebab saja, namun stres bisa saja terjadi karena penggabungan dari beberapa sebab sekaligus. Seperti pendapat dari Luthans (2006:443) bahwa penyebab stres ada beberapa faktor, yaitu:

1. Stresor Ekstraorganisasi

Yaitu penyebab stres yang berasal dari luar organisasi. Penyebab stres ini dapat terjadi pada organisasi yang bersifat terbuka, yakni keadaan lingkungan eksternal mempengaruhi organisasi. Misalnya perubahan sosial dan teknologi, globalisasi, keluarga, dan lain-lain.

2. Stresor Organisasi

Yaitu penyebab stres yang berasal dari dalam organisasi tempat karyawan bekerja. Penyebab ini lebih memfokuskan pada kebijakan atau peraturan organisasi yang menimbulkan tekanan yang berlebih pada karyawan.


(10)

3. Stresor Kelompok

Yaitu penyebab stres yang berasal dari kelompok kerja yang setiap hari berinteraksi dengan karyawan, misalnya rekan kerja atau supervisor atau atasan langsung dari karyawan.

4. Stresor Individual

Yaitu penyebab stres yang berasal dari individu yang ada dalam organisasi. Misalnya seorang karyawan lainnya, sehingga menimbulkan tekanan tersendiri ketika karyawan tersebut menjalankan tugas dalam organisasi tersebut.

Menurut Handoko (2001) faktor yang mempengaruhi stres kerja adalah segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan, yang bisa menimbulkan stres pada karyawan. Hal-hal yang bisa menimbulkan stres yang berasal dari beban pekerjaan antara lain:

a. Beban kerja yang berlebihan. b. Tekanan atau desakan waktu. c. Kualitas supervisi yang jelek. d. Iklim politis yang tidak aman.

e. Umpan balik tentang pelaksanaan kerjayang tidak memadai.

f. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab. g. Kemenduaan peran (role ambiguity).

h. Frustasi.

i. Konflik antar pribadi dan antar kelompok.

j. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan. k. Berbagai bentuk perubahan.

2.1.2.3 Jenis-jenis Stres Kerja

Quick dan Quick (1984) dalam waluyo (2013:92) mengkategorikan stres kerja menjadi dua, yaitu:


(11)

1. Eustres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

2. Distres, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian.

2.1.2.4 Dampak Stres Kerja

Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Arnold (1986) dalam waluyo (2013:94) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu:

1) Terganggunya kesehatan fisik. Stres yang dialami oleh seseorang akan merubah cara kerja sistem kekebalan tubuh. Penurunan respon antibodi tubuh disaat mood sedang negatif dan akan meningkat naik pada saat mood seseorang sedang positif. Banyak sudah penelitian yang menemukan adanya kaitan sebab-akibat antara stres dan penyakit, seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya.

2) Terganggunya kesehatan psikis. Stres berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekhawatiran yang terus-menerus.


(12)

3) Kinerja terganggu. Pada tingkat kerja yang tinggi ataupun ringan akan membuat menurunkan kinerja karyawan. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan yang tidak selesai pada waktunya entah karena kelambanan ataupun karena banyaknya kesalahan yang berulang.

4) Mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Seseorang yang mengalami stres dalam bekerja tidak akan mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

2.1.3 Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

2.1.3.1 Pengertian Kelelahan Emosional (Emotional Exhaustion)

Terdapat beberapa pengertian kelelahan emosional (emosional exhaustion) menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Maslach dan Jackson (1981:101) mendefinisikan kelelahan emosional sebagai kelelahan emosi yang terjadi ketika timbul perasaan tertekan dan kelelahan yang diakibatkan suatu pekerjaan, yang ditantadai dengan kehabisan sumber daya emosional dan kekurangan energi.

2. Suminar dan Yulianti (2013:164) memandang kelelahan emosional sebagai kelelahan yang timbul karena seseorang yang bekerja terlalu intens, berdedikasi, dan berkomitmen pada pekerjaannya, sehingga bekerja terlalu banyak dengan waktu yang lama sehingga mereka mengesampingkan kebutuhan dan keinginan (keluarga) dan menimbulkan perasaan tertekan. 3. Ahmad (2010:269) kelelahan emosinal adalah kelelahan yang disebabkan

oleh menipisnya sumber daya atau energi dan waktu yang diakibatkan peran yang berlebihan sehingga seseorang tidak dapat melakukan peran dan tanggung jawabnya secara memadai dan nyaman.


(13)

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelelahan emosional (emotional exhaustion) adalah kelelahan yang terjadi ketika karyawan dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang berlebihan dan tidak dapat mengelola antara peran dan konflik yang terjadi pada pekerjaan dan keluarga.

2.1.3.2 Aspek Kelelahan Emosional

Menurut Maslach dkk (2001:404) terdapat 3 aspek dalam kelelahan emosional, yaitu:

1. Fisik

Fisik individu ditandai dengan meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, kepala pusing, kanker, ketegangan otot dan susah tidur.

2. Emosi

Emosi terdapat di dalam komponen afektif manusia. Kelelahan dalam emosi yaitu: mudah lupa, sulit berkonsentrasi, mudah menangis, mengalami kebosanan, tidak percaya diri, mudah putus asa, mudah cemas, gelisah, sulit beradaptasi, mengurung diri, mudah marah dan kesepian.

3. Mental

Mental merupakan kelelahan yang berupa kecemasan, ketegangan, bingung, sensitive, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, mengurung diri,


(14)

kesepian, depresi, dan mengasingkan diri, ketidak puasan kerja, lelah mental, menurunnya fungsi intelektual, kehilangan semangat hidup, serta menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.

2.1.3.3 Karakteristik Kelelahan Emosional

Menurut Maslach dan Jackson (1981:105) karakteristik yang mempengaruhi kelelahan emosional adalah:

1. Terganggunya secara fisik

Ditandai dengan gangguan secar fisik seperti: kepala terasa pusing, lemas, lesu, sulit tidur, tidak nafsu makan, tekanan darah, gangguan lambung, ketegangan otot.

2. Terganggu secara Psikologis

Ditandai dengan turunnya kepercayaan diri, mudah frustasi, mudah gugup, putus asa dan penurunan pencapaian pribadi.

3. Terganggu secara sosial

Ditandai dengan komunikasi tidak efektif, mengurung diri, kesepian, tidak perduli dengan keadaan sekitar, dan mengasingkan diri.

2.1.3.4 Indikator yang Mempengaruhi Kelelahan Emosional

Menurut Maslach dan Jakson (1981:108) indikator yang mempengaruhi kelelahan emosional ditandai dengan:


(15)

1. Terganggunya secara emosional

Ditandai dengan habisnya sumber daya (waktu dan energi), tidak dapat berkonsentrasi, susah berpikir, cenderung untuk lupa, tidak tekun dalam pekerjaanya, kepercayaan diri berkurang dan sulit mengontrol sikap.

2. Merasa lelah pada akhir hari kerja

Disebabkan karena terlalu berat beban kerja dihari kerja sehingga karyawan kurang beristirahat dan merasakan dampaknya pada akhir hari kerja.

3. Merasa lelah ketika bangun dipagi hari

Ditandai dengan adanya rasa nyeri di punggung, nyeri pada anggota badan, kaku pada kelopak mata dikarenakan kurangnya waktu untuk istirahat.

4. Tertekan ketika menghadapi pekerjaan

Ditandai dengan perasaan tidak percaya diri, lebih mengurung diri dan perasaan gugup.

5. Merasa lelah ketika menghadapi jadwal kerja

Ditandai dengan perasaan cemas saat memulai pekerjaan, lesu, kurang semangat dan kurang bergairah.

6. Merasa frustasi ketika bekerja.

Ditandai dengan emosi yang kurang stabil, tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan ceroboh.


(16)

7. Merasa telah bekerja terlalu keras

Ditandai dengan sikap menunda pekerjaan, merasa enggan menyelesaikan tugas tepat waktu.

8. Merasa sudah pada batasnya

Ditandai dengan sikap yang cenderung untuk bermalas-malasan, kurang perduli dengan keadaan sekitar dan cenderung mengurung diri.

2.1.4 Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)

2.1.4.1 Pengertian Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)

Terdapat beberapa pengertian komitmen organisasional menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Henkin & Marchiori (2004: 353) mendefinisikan komitmen organisasional sebagai perasaan karyawan yang memaksa mereka untuk menjadi bagian dari organisasi mereka dan mengakui tujuan, nilai, norma dan standar etika di suatu organisasi.

2. Robbins (dalam Majorsy, 2007:64) menyatakan komitmen organisasional sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu serta berniat memelihara keanggotaanya dalam organisasi tersebut.

3. Noe (2000:364) komitmen organisasional adalah tingkatan dimana seseorang memposisikan dirinya pada organisasi dan kemauan untuk melanjutkan upaya pencapaian kepentingan organisasinya.


(17)

4. Mahis dan Jackson (dalam Sopiah 2008:155) memberikan defininisi, komitmen organisasional adalah derajat yang mana karyawan percaya dan menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasi.

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional adalah suatu kondisi dimana loyalitas karyawan dibuktikan dengan berusaha tetap bertahan bersama organisasi yang ditempati dan memberikan usaha yang terbaik untuk mencapai tujuan dan nilai organisasi. 2.1.4.2 Bentuk Komitmen Organisasional

Menurut Meyer, dkk (1998) mengemukakan tiga komponen komitmen organisasional, yaitu:

1. Affective commitment, terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional.

2. Continuance commitment, muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan lain, atau karena tidak menemukan pekerjaan lain.

3. Normative commitment, timbul dari nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota organisasi karena adanya kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi merupakan hal yang seharusnya dilakukan.


(18)

Menurut David (1997) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi, yaitu:

1. Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman kerja, kepribadian, dll.

2. karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan, konflik, peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan, dll.

3. Karakteristik struktur, misalnya besar/kecilnya organisasi, bentuk organisasi (sentralisasi/desentralisasi), kehadiran serikat pekerja. 4. Pengalaman kerja, pengalaman kerja karyawan sangat berpengaruh

terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. 2.1.5 Kinerja Karyawan

2.1.5.1 Pengertian Kinerja Karyawan

Terdapat beberapa pengertian Kinerja menurut para ahli, diantaranya yaitu: 1. Mangkunegara (2005:9) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja secara

kualitas dan kuantitas yang dapat dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2. Wibowo (2007) Kinerja adalah tentang melakukan pekerjaan dan hasil yang dicapai dari pekerjaan itu, tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakan. Kinerja merupakan suatu prestasi kerja yang tidak terlepas dari proses pelaksanaan pekerjaan.

3. Hasibuan (2001) kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan


(19)

kepada karyawan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan dan waktu.

4. Brahmasari (2008:128) kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif dan kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain.

5. Simamora (2004:2009) kinerja adalah tingkatan dimana para karyawan mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan. Kinerja mengacu pada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang atau kelompok orang sesuai dengan wewenang/tanggung jawab masing-masing karyawan selama periode tertentu.

2.1.5.2 Karakteristik Karyawan yang memiliki Kinerja Yang Tinggi

Sebuah studi tentang kinerja menemukan beberapa karakteristik karyawan yang memiliki kinerja tinggi. Mink dalam (Rahardjo:2005) Menyebutkan beberapa karakteristik karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi, meliputi:

1. Berorientasi Pada Prestasi

Karyawan yang memiliki kinerja yang tinggi, keinginan yang kuat membangun sebuah mimpi tentang apa yang mereka inginkan untuk dirinya.

2. Percaya Diri

Karyawan yang kinerja tinggi memiliki sikap mental positif yang mengarahkannya bertindak dengan tingkat percaya diri yang tinggi.


(20)

3. Pengendalian Diri

Karyawan yang yang memiliki kinerja yang tinggi mempunyai rasa percaya diri yang sangat mendalam.

4. Kompetensi

Karyawan yang kinerjanya tinggi telah mengembangkan kemampuan spesifik atau kompetensi berprestasi dalam daerah pilihan mereka.

5. Persisten

Karyawan yang kinerjanya tinggi mempunyai piranti kerja, didukung oleh suasana psikologis, dan pekerja keras terus-menerus.

2.1.5.3 Indikator Kinerja

Sebuah organisasi didirikan tentunya dengan suatu tujuan tertentu. Sementara tujuan itu sendiri tidak sepenuhnya akan dapat dicapai jika karyawan tidak memahami tujuan dari pekerjaan yang dilakukannya. Artinya, pencapaian tujuan dari setiap pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan akan berdampak secara menyeluruh terhadap tujuan organisasi. Oleh karena itu, seorang karyawan harus memahami indikator-indikator kinerja sebagai bagian dari pemahaman terhadap hasil akhir dari pekerjaanya.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan indikator kinerja karyawan, simamora (1995) mengemukakan bahwa kinerja karyawan dapat diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut:


(21)

1. Kualitas Kerja, yaitu meliputi jumlah produksi kegiatan yang dihasilkan. 2. Kuantitas Kerja, yaitu berlaku sebagai standar proses pelaksanaan kegiatan

rencana organisasi.

3. Ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan, yaitu pemenuhan kesesuaian waktu yang dibutuhkan atau diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan. Indikator-indikator kinerja karyawan sebagaimana disebutkan diatas memberikan pengertian bahwa pekerjaan yang dilakukan karyawan dilandasi oleh ketentuan-ketentuan dalam organisasi. Disamping itu, karyawan juga harus mampu melaksanakan pekerjaanya secara benar dan tepat waktu.

2.1.5.4 Fator-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Para pemimpin organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya berada di bawah pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama namun produktivitas mereka tidaklah sama. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan menurut Mangkuprawira dan Hubeis (2007:153) terdiri dari:

1. Faktor intrinsik

Faktor personal atau individual, yaitu pengetahuan, ketrampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu karyawan.

2. Faktor ekstrinsik

a. Faktor kepemimpinan, meliputi aspek mutu manajer dan team leader dalam memberikan dorongan, semangat arahan dan dukungan kerja pada karyawan.


(22)

b. Faktor tim, meliputi aspek dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota lain.

c. Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh proses organisasi dan kultur kerja dalam organisasi.

d. Faktor situasional, meliputi tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.

Gibson (2002:56), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan adalah sebagai berikut:

1. Atribut individu

Dengan adanya berbagai atribut yang melekat pada individu dan dapat membedakan individu yang satu dengan yang lainnya. Faktor ini merupakan kecakapan individu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang telah ditentukan, terdiri dari:

a) Karakteristik demografi. Misalnya: umur, jenis kelamin, dan lain-lain. b) Karakteristik kompetensi. Misalnya: bakat, kecerdasan, kemampuan,

keterampilan, dan sebagainya.

c) Karakteristik psikologi. Misalnya: nilai-nilai yang dianut seperti sikap dan perilaku.

2. Kemapuan untuk bekerja.

Dengan berbagai atribut yang melekat pada individu untuk menunjukan adanya kesempatan yang sama untuk mencapai suatu prestasi. Untuk mencapai kinerja yang baik diperlukan usaha dan kemauan untuk bekerja keras, karena kemauan untuk bekerja keras, karena kemauan merupakan suatu kekuatan pada


(23)

individu yang dapat memicu usaha kerja yang lebih terarah dalam melakukan suatu pekerjaan.

3. Dukungan organisasi

Dalam mencapai tujuan karyawan yang tinggi diperlukan adanya dukungan atas kesempatan dari organisasi/perusahaan. Hal ini untuk mengantisipasi keterbatasan baik dari karyawan maupun dari perusahaan. Misalnya: perlengkapan dan kelengkapan kejelasan dalam memberikan informasi.

2.1.6 Kepuasan Kerja

2.1.6.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Terdapat beberapa pengertian kepuasan kerja menurut para ahli, diantaranya yaitu:

1. Robbins dan Timothy (2009:107) kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari sebuah evaluasi karakteristiknya.

2. Rivai (2012) kepuasan kerja adalah penilaian dari pekerja tentang seberapa jauh pekerjaanya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya. Kepuasan kerja juga adalah sikap umum yang merupakan dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu.

3. Waluyo (2013:2013) kepuasan kerja merupakan suatu sikap yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk di dalamnya upah, kondisi sosial, kondisi fisik, dan kondisi psikologis.


(24)

4. Dipboye dalam munandar (2012:350) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaanya.

5. Blum dalam As’ad (1995:104) kepuasan kerja adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja.

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah hal positif yang dirasakan karyawan mengenai pekerjaanya, yang akan ditunjukkan dengan sikap timbal balik karyawan kepada perusahaan.

2.1.6.2 Aspek-aspek kepuasan kerja

Faktor-faktor kepuasan kerja menurut Blum (1956) dalam As’ad (1995:112) adalah sebagai berikut:

1. Faktor individu seperti: umur, kesehatan, watak dan harapan.

2. Faktor sosial seperti hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerjaan, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.

3. Faktor utama dalam pekerjaan seperti: upah, pengawasan, ketentraman dalam kerja, kondisi kerja, kesempatan untuk maju, penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial, didalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia dan perasaan diperlukan adil dan baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.


(25)

Banyak faktor yang dapat menjadi penentu bagi kepuasan pegawai, salah satunya adalah pekerjaan itu sendiri. Hackman dan Oldham (1976) dalam Robbins (2006), inti dari kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Skill Varienty, semakin banyak variasi tugas yang dilakukan oleh pegawai dalam pekerjaanya, semakin menantang pekerjaan bagi mereka.

2. Task Identity, sejauh mana pekerjaan menuntut diselesaikannya suatu pekerjaan yang utuh dan dapat dikenali.

3. Task Significane, besarnya dampak pekerjaan yang dilakukan dapat mempengaruhi pekerjaan atau bahkan kehidupan orang lain. Hal ini akan membawa dampak penghargaan psikologis.

4. Autonomy, sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan, ketidak-ketergantungan, dan keleluasaan untuk mengatur jadwal pekerjaannya, membuat keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan yang dipakai. 5. Feedback, sejauh mana pelaksanaan kegiatan pekerjaan menghasilkan

informasi bagi individu mengenai keefektifan kinerjanya. Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh tanggapan terhadap nilai intrinsic dan extrinsic reward. Yang dimaksud dengan nilai extrinsic reward yaitu timbulnya suatu perasaan dalam diri pegawai karena pekerjaan yang dilakukan. Menurut Rivai (2004:475) teori mengenai kepuasan kerja terdiri dari tiga macam:

1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan


(26)

menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori keadilan (equity theory)

Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan, dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaanya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu.

3. Teori dua faktor (two factor theory)

Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang


(27)

menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

Menurut Weiss et al., (1967) dalam Spector (2000), ada 20 (dua puluh) aspek dari pekerjaan yang diukur untuk mengetahui kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan, adalah sebagai berikut:

1. Ability Utilizatian adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk bekerja di tempat kerja.

2. Activity adalah kesempatan yang dirasakan oleh karyawan untuk melakukan kesibukan setiap waktu sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

3. Achievment adalah kemampuan dari seorang karyawan untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat menantang.

4. Authority adalah kesempatan untuk memberitahu orang lain tentang apa yang harus dilakukan.


(28)

5. Independence adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangannya sendiri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan oleh atasannya.

6. Moral Values adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan paham yang dianut.

7. Responsibility adalah kewajiban dan kebebasan karyawan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau melakukan pekerjaanya sendiri dari atasan yang berwenang.

8. Security adalah indikasi-indikasi objektif yang menunjang rasa aman karyawan dalam melaksanakan pekerjannya, misalnya kestabilan perusahaan, jaminan hari tua, dan lain-lain.

9. Creativity adalah keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

10.Social Service adalah perasaan karyawan terhadap kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain ditempat kerja baik fisik maupun mental yang dapat mendorong semangat dan gairah karyawan untuk bekerja.

11.Social Status adalah kesempatan untuk menjadi seseorang dalam masyarakat.

12.Variety adalah pelaksanaan pekerjaan aktual atau tugas-tugas dari pekerjaan, rutinitas atau variasi kerja, kreativitas, mudah atau sukarnya pekerjaan yang dikerjakan.

13.Advancement adalah perubahan yang nampak secara objektif atau adanya situasi yang dirasakan karyawan untuk dapat mengembangkan ketrampilan, profesi dan statusnya kearah yang lebih baik.

14.Company policy and practice adalah segala sesuatu yang menyangkut perusahaan, khususnya mengenai masalah-masalah kebijakan perusahaan dan administrasi yang berlaku.


(29)

15.Compensation adalah gaji yang diterima karyawan.

16.Recognition adalah pengakuan yang diperoleh seseorang dalam bekerja meliputi penghargaan, pujian, dan perhatian baik dari atasan, teman seprofesi, bawahan, klien, maupun masyarakat umum.

17.Supervision-human relation adalah cara pemimpin mengenai hubungan antar sesama karyawan.

18.Supervision-technical adalah teknik langsung yang digunakan oleh atasan untuk mengawasi karyawan dan melaksanakan pekerjaan.

19.Working Condition adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja, dan peraturan kerja yang ada ditempat kerja.

20. Co-workers adalah kesempatan yang dimiliki oleh karyawan untuk bekerja sama dengan karyawan lainnya, sehingga mereka dapat bertukar pikiran dan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi.


(1)

4. Dipboye dalam munandar (2012:350) memandang kepuasan kerja sebagai hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai aspek dari pekerjaanya.

5. Blum dalam As’ad (1995:104) kepuasan kerja adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan sosial individu diluar kerja.

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah hal positif yang dirasakan karyawan mengenai pekerjaanya, yang akan ditunjukkan dengan sikap timbal balik karyawan kepada perusahaan.

2.1.6.2 Aspek-aspek kepuasan kerja

Faktor-faktor kepuasan kerja menurut Blum (1956) dalam As’ad (1995:112) adalah sebagai berikut:

1. Faktor individu seperti: umur, kesehatan, watak dan harapan.

2. Faktor sosial seperti hubungan kekeluargaan, pandangan masyarakat, kesempatan berkreasi, kegiatan perserikatan pekerjaan, kebebasan berpolitik dan hubungan kemasyarakatan.

3. Faktor utama dalam pekerjaan seperti: upah, pengawasan, ketentraman dalam kerja, kondisi kerja, kesempatan untuk maju, penghargaan terhadap kecakapan, hubungan sosial, didalam pekerjaan, ketepatan dalam menyelesaikan konflik antar manusia dan perasaan diperlukan adil dan baik yang menyangkut pribadi maupun tugas.


(2)

Banyak faktor yang dapat menjadi penentu bagi kepuasan pegawai, salah satunya adalah pekerjaan itu sendiri. Hackman dan Oldham (1976) dalam Robbins (2006), inti dari kepuasan kerja adalah sebagai berikut:

1. Skill Varienty, semakin banyak variasi tugas yang dilakukan oleh pegawai dalam pekerjaanya, semakin menantang pekerjaan bagi mereka.

2. Task Identity, sejauh mana pekerjaan menuntut diselesaikannya suatu pekerjaan yang utuh dan dapat dikenali.

3. Task Significane, besarnya dampak pekerjaan yang dilakukan dapat mempengaruhi pekerjaan atau bahkan kehidupan orang lain. Hal ini akan membawa dampak penghargaan psikologis.

4. Autonomy, sejauh mana pekerjaan memberi kebebasan, ketidak-ketergantungan, dan keleluasaan untuk mengatur jadwal pekerjaannya, membuat keputusan dan menentukan prosedur pekerjaan yang dipakai. 5. Feedback, sejauh mana pelaksanaan kegiatan pekerjaan menghasilkan

informasi bagi individu mengenai keefektifan kinerjanya. Kepuasan kerja pegawai dipengaruhi oleh tanggapan terhadap nilai intrinsic dan extrinsic reward. Yang dimaksud dengan nilai extrinsic reward yaitu timbulnya suatu perasaan dalam diri pegawai karena pekerjaan yang dilakukan.

Menurut Rivai (2004:475) teori mengenai kepuasan kerja terdiri dari tiga macam:

1. Teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)

Teori ini mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang diinginkan, maka orang akan


(3)

menjadi lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai.

2. Teori keadilan (equity theory)

Teori ini mengemukakan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, hasil, keadilan, dan ketidakadilan. Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaanya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaanya. Hasilnya adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seorang karyawan yang diperoleh dari pekerjaanya, seperti: upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau ditempat lain atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu.

3. Teori dua faktor (two factor theory)

Kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja itu merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan itu bukan suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfies atau dissatisfies. Satisfies ialah faktor-faktor atau situasi yang dibutuhkan sebagai sumber kepuasan kerja yang terdiri dari: pekerjaan yang


(4)

menarik, penuh tantangan, ada kesempatan untuk berprestasi, kesempatan memperoleh penghargaan dan promosi. Terpenuhinya faktor tersebut akan menimbulkan kepuasan, namun tidak terpenuhinya faktor ini tidak selalu mengakibatkan ketidakpuasan. Dissatisfies (hygiene factors) adalah faktor-faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan, yang terdiri dari: gaji/upah, pengawasan, hubungan antar pribadi, kondisi kerja dan status. Faktor ini diperlukan untuk memenuhi dorongan biologis serta kebutuhan dasar karyawan. Jika tidak terpenuhi faktor ini, karyawan tidak akan puas. Namun, jika besarnya faktor ini memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, karyawan tidak akan kecewa meskipun belum terpuaskan.

Menurut Weiss et al., (1967) dalam Spector (2000), ada 20 (dua puluh) aspek dari pekerjaan yang diukur untuk mengetahui kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawan, adalah sebagai berikut:

1. Ability Utilizatian adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan semua kemampuan potensial yang dimilikinya untuk bekerja di tempat kerja.

2. Activity adalah kesempatan yang dirasakan oleh karyawan untuk melakukan kesibukan setiap waktu sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

3. Achievment adalah kemampuan dari seorang karyawan untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan pekerjaan yang bersifat menantang.

4. Authority adalah kesempatan untuk memberitahu orang lain tentang apa yang harus dilakukan.


(5)

5. Independence adalah kesempatan yang diperoleh karyawan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangannya sendiri dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dibebankan oleh atasannya.

6. Moral Values adalah kesempatan untuk melakukan hal-hal yang tidak bertentangan dengan paham yang dianut.

7. Responsibility adalah kewajiban dan kebebasan karyawan untuk melakukan pekerjaan tertentu atau melakukan pekerjaanya sendiri dari atasan yang berwenang.

8. Security adalah indikasi-indikasi objektif yang menunjang rasa aman karyawan dalam melaksanakan pekerjannya, misalnya kestabilan perusahaan, jaminan hari tua, dan lain-lain.

9. Creativity adalah keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

10.Social Service adalah perasaan karyawan terhadap kesempatan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain ditempat kerja baik fisik maupun mental yang dapat mendorong semangat dan gairah karyawan untuk bekerja.

11.Social Status adalah kesempatan untuk menjadi seseorang dalam masyarakat.

12.Variety adalah pelaksanaan pekerjaan aktual atau tugas-tugas dari pekerjaan, rutinitas atau variasi kerja, kreativitas, mudah atau sukarnya pekerjaan yang dikerjakan.

13.Advancement adalah perubahan yang nampak secara objektif atau adanya situasi yang dirasakan karyawan untuk dapat mengembangkan ketrampilan, profesi dan statusnya kearah yang lebih baik.

14.Company policy and practice adalah segala sesuatu yang menyangkut perusahaan, khususnya mengenai masalah-masalah kebijakan perusahaan dan administrasi yang berlaku.


(6)

15.Compensation adalah gaji yang diterima karyawan.

16.Recognition adalah pengakuan yang diperoleh seseorang dalam bekerja meliputi penghargaan, pujian, dan perhatian baik dari atasan, teman seprofesi, bawahan, klien, maupun masyarakat umum.

17.Supervision-human relation adalah cara pemimpin mengenai hubungan antar sesama karyawan.

18.Supervision-technical adalah teknik langsung yang digunakan oleh atasan untuk mengawasi karyawan dan melaksanakan pekerjaan.

19.Working Condition adalah semua aspek fisik kerja, psikologis kerja, dan peraturan kerja yang ada ditempat kerja.

20. Co-workers adalah kesempatan yang dimiliki oleh karyawan untuk bekerja sama dengan karyawan lainnya, sehingga mereka dapat bertukar pikiran dan mendiskusikan masalah-masalah yang dihadapi.