Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT

PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA
TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN
PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

FAHRUDIN SURAHMAT

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ABSTRAK

FAHRUDIN SURAHMAT. Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM
999 (Capsicum annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). Dibimbing oleh HERMANU TRIWIDODO.

Pengelolaan tanaman cabai keriting hibrida TM 999 secara konvensional
dan PHT dilaksanakan di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Bogor
dengan tujuan untuk mengkaji pengaruh pengelolaan tanaman cabai keriting TM
999 secara konvensional dan PHT. Penelitian ini merupakan sebuah observasi

mengenai pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta
produktivitas tanaman cabai keriting hibrida TM 999 pada budidaya konvensional
dan PHT. Budidaya konvensional merupakan praktik pengelolaan tanaman cabai
yang umum dilakukan oleh petani, pengendalian hama dan penyakit pada
budidaya ini dilakukan dengan menerapkan aplikasi pestisida secara intensif.
Budidaya PHT merupakan strategi pengelolaan tanaman yang menerapkan
pendekatan alami dan meminimalisir penggunaan pestisida kimia. Budidaya PHT
dan konvensional memberikan hasil yang hampir sama terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman cabai. Pertumbuhan dan produktivitas tanaman cabai
keriting hibrida TM 999 terlihat lebih baik pada budidaya PHT, sedangkan
budidaya konvensional memberikan hasil yang sedikit lebih baik dalam menekan
keberadaan hama dan penyakit. Nilai rata-rata tinggi tanaman, tinggi cabang
dikotom, diameter, jumlah cabang dan produksi cabai keriting pada budidaya PHT
sebesar 67.33 cm, 32.99 cm, 0.96 cm, 51.53 dan 1.85 kg, sedangkan pada
budidaya konvensional 57.67 cm, 26.19 cm, 0.81 cm, 45.29 dan 1.45 kg.
Budidaya PHT mendukung perkembangan organisme lain yang berguna bagi
tanaman, sehingga tanaman cabai berkembang dengan optimal. Keberadaan hama
dan penyakit pada tanaman cabai seperti, Empoasca sp., lalat buah, puru, bercak
daun, antraknosa dan virus kuning lebih banyak terlihat pada budidaya PHT
daripada konvensional, namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan diantara

kedua pengendalian tersebut. Penelitian lebih lanjut mengenai peluang dan
tantangan budidaya PHT dalam budidaya cabai masih perlu untuk dilakukan,
sebagai upaya penyempurnaan konsep budidaya PHT pada tanaman cabai.
Kata kunci :

Budidaya, cabai keriting, pengendalian hama terpadu (PHT),
budidaya konvensional, pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama
dan penyakit, produktivitas tanaman.

PENGELOLAAN TANAMAN CABAI KERITING HIBRIDA
TM 999 (Capsicum annuum) SECARA KONVENSIONAL DAN
PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT)

FAHRUDIN SURAHMAT

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman


DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi

:

Nama Mahasiswa :
NIM

:

Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999
(Capsicum annuum) secara Konvensional dan PHT
Fahrudin Surahmat

A34061840

Disetujui,

Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc
Dosen Pembimbing

Diketahui,

Prof. Dr. Ir. Dadang, MSc
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur tanggal 5 September 1987
sebagai putra pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Chamsun dan Ibu
Badriyah.
Tahun 2006 penulis menyelesaikan studi di SMA Negeri 1 Tumpang dan

diterima kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi
masuk IPB (USMI). Setelah menempuh tingkat persiapan bersama (TPB) selama
2 semester penulis memilih Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian
IPB sebagai mayor dan Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas
Pertanian sebagai minor studi.
Penulis aktif di organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang
lingkungan, yaitu Uni Konservasi Fauna (UKF) sebagai biro kesekretariatan pada
tahun 2007-2008, ketua pendidikan pada tahun 2008-2009 dan ketua umum pada
tahun 2009-2010. Penulis pernah magang di Laboratorium Vertebrata Hama,
Departemen Proteksi Tanaman pada tahun 2008, asisten praktikum mata kuliah
Vertebrata Hama pada tahun 2008 dan 2010 dan asisten praktikum mata kuliah
Entomologi Umum pada tahun 2009. Penulis pernah menjadi panitia Pelatihan
Monitoring Burung Migran dan Workshop Internasional Burung Migran yang
diadakan oleh Raptor Indonesia (RAIN). Sampai saat ini penulis mengikuti
pelatihan pencincinan burung yang diadakan oleh Indonesia Bird Banding
Schame (IBBS), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berpartisipasi
dalam pembentukan Bogor Bird Banding Club (BBC). Penulis juga aktif dalam
kegiatan kebudayaan dalam kelompok Wahana Telisik Seni dan Sastra (WTS).

PRAKATA


Rasa syukur yang sedalam-dalamnya selalu tercurahkan kepada Tuhan yang
merahmati seisi alam, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 (Capsicum
annuum) secara Konvensional dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT)” sebagai
syarat untuk memenuhi gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor,
Fakultas Pertanian, Departemen Proteksi Tanaman. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Bapak Chamsun, Ibu Badriyah, Yanuar dan Nisa‟ yang telah memberikan
kehangatan dalam sebuah keluarga serta semua dukungan yang telah
diberikan.
2. Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah memberikan bimbingan dan nasihat.
3. Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, MS selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membantu selama masa kuliah.
4. Dr. Ir. Sri Hendrastuti, Msc selaku dosen penguji tamu.
5. Bapak Dadang, Slamet, Edi yang selalu membantu selama pengamatan.
6. Dosen, laboran dan staf Departemen Proteksi tanaman.
7. Mbak Dama yang membantu memperbaiki skripsi.
8. Teman-teman sekelas PTN 43 atas kebersamaannya selama masa kuliah.

9. Teman-teman seperjuangan di UKM Uni Konservasi Fauna.
10. Penghuni shelter Balio, baik penghuni asli maupun yang temporer.
11. Penghuni rumah bambu (Akmal, Ayi‟, Paus, Age, Purwanto, Putra, Mujib,
Nanang, Safi‟)
12. Semua teman dimanapun berada.
Semua hal yang ada tidaklah sempurna, namun penulis berharap skripsi ini
menjadi sebuah awal bagi sesuatu yang lebih baik.

Bogor, Agustus 2011

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................

viii

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................


ix

DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................

x

PENDAHULUAN ...................................................................................
Latar Belakang ...............................................................................
Tujuan ............................................................................................
Manfaat ..........................................................................................

1
1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
Tanaman Cabai ...............................................................................
Cabai Keriting Hibrida TM 999 ......................................................

Budidaya Tanaman Cabai ...............................................................
Hama dan Penyakit Tanaman Cabai ................................................

3
3
3
4
6

BAHAN DAN METODE .......................................................................
Waktu danTempat...........................................................................
Metode ...........................................................................................
Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 ............
Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh ....................
Pengamatan .............................................................................
Analisis Data ...........................................................................

12
12
12

12
13
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................
Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional
dan PHT .........................................................................................
Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 .................
Perkembangan Hama dan Penyakit .................................................
Thrips ......................................................................................
Empoasca sp. ...........................................................................
Lalat Buah ...............................................................................
Puru .........................................................................................
Bercak Daun ............................................................................
Antraknosa...............................................................................
Virus Kuning ...........................................................................
Produksi Cabai Keriting Hibrida TM 999........................................

15

15
16
18
18
20
21
22
24
25
26
27

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA.............. .................................................................

30

LAMPIRAN ............................................................................................

33

DAFTAR TABEL

No
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Halaman
PertumbuhanTanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 ....................
Perkembangan SeranganThrips pada Tanaman Cabai Keriting
Hibrida TM 999 ...............................................................................
Perkembangan Serangan Empoasca sp. pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Perkembangan Serangan Lalat Buah pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Perkembangan Penyakit Puru pada Tanaman Cabai Keriting
Hibrida TM 999 ...............................................................................
Perkembangan Penyakit Bercak Daun pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Perkembangan Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Produksi Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999 .........................

17
19
20
22
23
24
25
27
28

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman

1

Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999
pada Budidaya Konvensional ............................................................
2 Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999
pada Budidaya PHT ..........................................................................
3 Gejala Serangan Thrips pada Daun Cabai Keriting Hibrida TM 999
4 Gejala Serangan Empoasca sp. ..........................................................
5 Gejala Serangan Lalat Buah pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999
6 Gejala Penyakit Puru pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999 ....
7 Gejala Penyakit Bercak Daun pada Daun Cabai Keriting
Hibrida TM 999 ...............................................................................
8 Gejala Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999
9 Gejala Serangan Virus Kuning pada Tanaman Cabai Keriting
Hibrida TM 999 ...............................................................................
10 Panen Buah Cabai Keriting Hibrida TM 999 ....................................

18
18
19
21
22
23
25
26
27
28

DAFTAR LAMPIRAN

No
1
2
3
4

Halaman
Analisis Ragam Pertumbuhan Tanaman Cabai Keriting
Hibrida TM 999 ...............................................................................
Analisis Ragam Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai
Keriting Hibrida TM 999 .................................................................
Analisis Ragam Hasil Panen Tanaman Cabai Keriting Hibrida
TM 999 ............................................................................................
Perbandingan Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara
Konvensional dan PHT ..........................................................................

34
34
36
37

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai merupakan salah satu komoditas penting pertanian di Indonesia,
tanaman ini memiliki tingkat permintaan dan nilai ekonomis yang cukup tinggi.
Luas lahan produksi cabai di Indonesia mencapai 237 520 ha, dengan tingkat
produksi cabai sebesar 1 332 356 ton (Deptan 2010). Budidaya cabai dapat
dilakukan di dataran rendah maupun tinggi, tantangan terbesar dalam budidaya
cabai adalah keberadaan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit
tanaman menurunkan tingkat kualitas dan kuantitas produksi cabai. Beberapa
hama dan penyakit penting yang menyerang tanaman cabai adalah thrips, kutu
daun, antraknosa dan bercak daun (Pracaya 1999).
Sebagian besar petani cabai di Indonesia masih menggunakan pestisida
kimia dalam menggendalikan keberadaan hama dan penyakit. Survei yang
dilakukan oleh Klinik Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian IPB di Tegal, Garut, Pengalengan, Magelang, Nganjuk dan Blitar,
menunjukkan bahwa petani masih menggunakan pestisida kimia secara rutin
dalam mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Aplikasi pestisida kimia
dilakukan setiap seminggu sekali atau kurang lebih sekitar 20 kali selama satu
musim tanam. Pemilihan jenis dan aplikasi pestisida kimia yang digunakan
dilakukan dengan kurang bijaksana dan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Petani masih menggunakan pestisida berkategori sangat berbahaya dan prior
infrom concern (PIC), kategori PIC merupakan pestisida yang tingkat persistensi
di alam yang tinggi, berdasarkan konvensi Stockholm (2004) pestisida jenis ini
secara internasional dilarang atau dibatasi penggunaannya.
Pestisida kimia memang terbukti efektif dan efisien dalam mengendalikan
hama dan penyakit, namun aplikasi pestisida kimia yang dilakukan mampu
menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman, lingkungan dan manusia
(Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia menimbulkan kematian pada musuh
alami, resistensi dan menyebabkan munculnya hama dan penyakit baru. Aplikasi
pestisida kimia juga menyebabkan kematian pada organisme selain hama dan
penyakit, kondisi ini menyebabkan hilangnya kemampunan alami lingkungan
dalam menekan serangan hama dan penyakit tanaman (natural control). Selain
itu, residu pestisida yang tersisa pada buah cabai membahayakan kesehatan
konsumen.
Mengingat besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan
pestisida kimia maka perlu adanya alternatif lain dalam mengendalikan hama dan
penyakit pada tanaman cabai. Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan
strategi budidaya tanaman yang mampu meminimalisir penggunaan bahan-bahan
kimia dalam meningkatkan produktifitas tanaman. Pengendalian hama dan
penyakit tanaman dilakukan dengan menggabungkan pengendalian secara biologi
dan kimia, pengendalian kimia dilakukan sesuai dengan nilai ambang ekonomi
(Gray et al. 2009). Minimnya penggunaan pestisida kimia dalam budidaya cabai

2

memungkinkan perkembangan mikroorganisme yang berguna bagi tanaman cabai,
sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai menjadi optimal.
Konsep PHT mulai dikembangkan pada tahun 1976, setelah banyak laporan
mengenai dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia.
Program PHT semakin gencar dilaksanakan pada tahun 1989 dengan fokus utama
pada tanaman padi. Sosialisasi budidaya PHT kepada petani dilakukan melalui
program sekolah lapang PHT (SLPHT), program ini merupakan serangkaian
kegiatan pelatihan dan praktik budidaya PHT pada tanaman padi. Namun, sampai
saat ini kegiatan budidaya PHT masih belum memasyarakat di kalangan petani,
tingginya tingkat kekhawatiran petani mengenai kemungkinan gagal panen
menyebabkan pestisida kimia masih tetap digunakan dalam mengendalikan
keberadaan hama dan penyakit. Disamping itu, penerapan budidaya PHT di
lapangan cukup berat dan tidak semudah budidaya konvensional. Budidaya PHT
perlu ditunjang dengan berbagai pengetahuan mengenai siklus hidup tanaman,
bioekologi hama dan penyakit, informasi dasar mengenai morfologi, fisiologi dan
genetik dari masing-masing hama dan penyakit, interaksi antara hama dan
penyakit dengan tanaman dan lingkungan, dan potensi munculnya kerugian secara
ekonomi (Gray et al. 2009).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pengelolaan
tanaman cabai keriting TM 999 secara konvensional dan PHT terhadap
pertumbuhan tanaman, kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas
tanaman.

Manfaat Penelitian
Memberikan informasi dan data mengenai pertumbuhan tanaman,
kelimpahan hama dan penyakit, serta produktivitas tanaman cabai keriting hibrida
TM 999 pada pengelolaan secara konvensional dan PHT. Sehingga dapat menjadi
gambaran mengenai kegiatan budidaya PHT yang mampu menjawab berbagai
permasalahan yang terdapat pada budidaya cabai.

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Cabai
Cabai merupakan salah satu tanaman perdu dari famili Solanaceae.
Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan dan disebarluaskan ke seluruh dunia
oleh para pelancong. Jenis dan ragam tanaman cabai cukup banyak, diperkirakan
terdapat 20 jenis cabai di seluruh dunia. Jenis cabai yang umum dibudidayakan
oleh masyarakat adalah C. annuum, C. frutescens, C. chinense, C. pendulum dan
C. pubescens (Basu et al. 2003). Buah cabai memiliki rasa dan aroma yang khas,
beberapa jenis kuliner nusantara menggunakan cabai sebagai salah bahan
pelengkapnya. Buah cabai mengandung vitamin, gizi, protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, vitamin A, B1, dan vitamin C. Buah cabai tidak hanya dimanfaatan
sebagai bahan penambah rasa, aroma atau hiasan pada makanan, buah cabai juga
digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan obat-obatan (Duke 2002).
Klasifikasi
Kingdom
Divisi
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Tumbuhan
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Solanales
: Solanaceae
: Capsicum
: annum

Agronomi. Cabai merupakan tanaman berkayu dengan panjang batang
utama berkisar antara 20-28 cm dan diameter batang antara 1.5-2.5 cm
(Hewindati 2006). Percabangan batang berwarna hijau dengan panjang mencapai
5-7 cm dengan diameter cabang dikotom sekitar 0.5-1 cm. Bentuk percabangan
menggarpu dengan posisi daun berselang-seling, daun berbentuk hati, lonjong
atau agak bulat telur (Dermawan 2010).
Bunga cabai berbentuk seperti terompet atau bintang dengan warna bunga
umumnya putih, namun ada beberapa jenis cabai yang memiliki warna bunga
ungu. Bunga cabai termasuk bunga sempurna, karena mempunyai struktur bunga
yang lengkap seperti tangkai, dasar, kelopak, mahkota bunga, alat kelamin jantan
dan alat kelamin betina. Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau
bengkok. Bagian ujung buah meruncing, mempunyai permukaan yang licin dan
mengkilap, posisi buah menggantung pada cabang tanaman. Buah cabai
mempunyai bentuk dan warna yang beragam, namun setelah masak sebagian
besar berwarna merah.

4

Cabai Keriting Hibrida TM 999
Cabai keriting hibrida TM 999 merupakan salah satu varietas dari C.
annuum yang berasal dari Hungnong, Korea. Tanaman tegak dengan pertumbuhan
tanaman yang kuat dan kokoh, tanaman ini memiliki ketinggian sekitar 110-140
cm. Pembungaan berlangsung terus-menerus sehingga dapat dipanen dalam
jangka waktu yang panjang. Bentuk buah yang dihasilkan ramping dengan ujung
buah runcing, buah berukuran 12.5 x 0.8 cm dengan berat buah sekitar 5-6
g. Buah muda berwarna hijau dengan kulit buah agak mengkilat, setelah masak
warna buah berubah menjadi merah. Panen dapat dilakukan setelah tanaman
berumur 90 hst untuk dataran rendah dan 105 hst pada dataran tinggi. Produksi
cabai keriting hibrida TM 999 berkisar antara 0.8-1.2 kg setiap tanamannya.

Budidaya Tanaman Cabai
Persiapan lahan meliputi kegiatan pembersihan lahan dari sampah dan sisa
tanaman, kemudian dilakukan penggemburan tanah. Penggemburan tanah
dilakukan dengan menggunakan cangkul atau traktor dengan kedalaman tanah
kurang lebih 30 cm. Kegiatan selanjutnya adalah pembuatan bedeng, umumnya
tinggi bedeng sekitar 0.4 m, lebar 1 m dan jarak antar bedeng 40-50 cm. Bedeng
yang telah siap kemudian ditutup dengan menggunakan mulsa perak. Pembuatan
lubang tanam dilakukan dengan jarak sekitar 60 cm.
Kegiatan persemaian dimulai dengan menyiapkan media semai, media
semai yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos dengan perbandingan
2 : 1. Campuran tersebut diaduk secara merata dan dimasukkan ke dalam polibag
yang berukuran 4 x 6 cm. Benih yang telah diperam dimasukan kedalam polibag
yang telah disediakan, kemudian ditutup dengan sedikit media semai. Polibag
yang telah terisi benih cabai kemudian diletakkan pada petak semai. Penyiraman
dilakukan dua kali sehari atau disesuaikan dengan kondisi cuaca.
Pemindahan bibit cabai ke lahan dilakukkan ketika bibit sudah berumur 25
hari setelah semai (hss) atau ketika tanaman telah memiliki daun sebanyak 4-5
helai. Bibit yang akan ditanam terlebih dahulu dikeluarkan dari polibag dengan
cara mengepal polibag terlebih dahulu sebelum merobeknya. Bibit dimasukkan ke
dalam lubang tanam dengan posisi tegak dan ditutup dengan tanah. Pemberian ajir
dilakukan pada umur 7 hari setelah tanam (hst) pada bagian luar lubang tanam
dengan jarak sekitar 10 cm. Setelah cabai berumur 15-21 hst dilakukan pengikatan
dengan menggunakan tali.
Pemupukan dilakukan setelah tanaman cabai berumur 3, 6 dan 9 minggu
setelah tanam (mst). Pupuk yang diberikan adalah Urea, Suprphos dan KCL
dengan perbandingan 2:1:1 pada umur tanaman 3 mst, 1:1:1 pada umur tanaman 6
mst dan 1:2:2 pada umur 9 mst. Dosis dan perbandingan pupuk sangat tergantung
pada kondisi lahan yang digunakan, sehingga kemungkinan adanya perbedaan
mengenai dosis dan perbandingan pada masing-masing daerah sangat besar.
Pemupukan dilakukan dengan memasukkan pupuk tersebut ke dalam lubang
tanam sebanyak 10 gram dengan jarak pemberian pupuk dari tanaman cabai
sekitar 15 cm.

5

Panen dilakukan ketika buah telah berwarna merah secara keseluruhan,
umumnya panen dilakukan ketika tanaman cabai berumur 2 bulan. Panen
dilakukan dengan memetik buah beserta tangkainya atau dengan menarik buah
secara berlawanan dengan arah buah. Interval panen 3-5 hari sekali dengan masa
panen 1-2 bulan atau lebih. Buah yang cacat (karena penyakit atau penyebab lain)
dipisahkan dari buah yang lain.
Budidaya Konvensional. Budidaya konvensional pada tanaman cabai
merupakan kegiatan budidaya tanaman yang umum dilakukan oleh petani,
penggunaan pupuk dan pestisida kimia dilakukan secara intensif. Penggunaan
pupuk dan pestisida kimia secara intensif dimulai sejak munculnya gerakan
revolusi hijau di Indonesia. Selama revolusi hijau, teknologi di bidang pertanian
berkembang pesat dan telah digunakan dalam meningkatkan produktivitas
pertanian.
Penggunaan pupuk dan pestisida kimia memang terbukti berhasil
meningkatkan produktivitas pertanian, namun dampak negatif yang ditimbulkan
cukup besar bagi pertanian. Sekitar akhir tahun 1970 beberapa ahli pertanian
melaporkan adanya berbagai permasalahan yang muncul dari penggunaan
pestisida kimia dalam bidang pertanian (Oka 1978). Permasalahan yang muncul
seperti resistensi hama, munculnya outbreak hama dan penyakit, pencemaran
lingkungan dan gangguan kesehatan pada manusia (Resosudarmo et al. 2011).
Penggunaan pestisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit
tanaman masih tetap dilakukan petani sampai saat ini. Petani masih menganggap
bahwa penggunaan pestisida kimia merupakan pilihan yang tepat dalam
mengendalikan keberadaan hama dan penyakit. Dampak negatif yang ditimbulkan
dari aplikasi pestisida yang dilakukan oleh petani semakin besar karena
penggunaannya yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku. Kondisi
ini dipicu oleh minimnya informasi mengenai dampak negatif yang ditimbulkan
oleh penggunaan pestisida, serta tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap
kemungkinan gagal panen.
Budidaya Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Stern et al. (1959)
memperkenalkan konsep “pengendalian terpadu” ketika penggunaan pestisida
kimia seperti organoklorin, organopospat (Ops) dan karbamat menjadi pilihan
utama dalam mengendalikan hama dan penyakit. Konsep pengendalian hama
terpadu (PHT) didasarkan pada ambang ekonomi dan ekologi, dimana
pengendalian kimia dan biologi dikembangkan secara bersama-sama dan sinergis.
Penggunaan agen hayati dan pendekatan rasional merupakan kunci utama strategi
PHT yang mampu memenuhi tantangan di bidang pertanian (Ishaaya 2003;
Horowitz dan Ishaaya 2004; Ishaaya et al. 2005). Ehler et al. (2006) dalam Weiss
et al. (2009) memaparkan bahwa PHT merupakan suatu kegiatan bersama yang
mencakup pengelolaan hama, monitoring hama, musuh alami dan agen antagonis.
Penggunaan pestisida dan taktik pengendalian hama berdasarkan nilai ambang
ekonomi.
Penerapan PHT secara operasional mencakup upaya pengendalian hama
dan penyakit secara preemtif dan responsif. Upaya preemtif adalah upaya
pengendalian yang didasarkan pada informasi dan pengalaman mengenai status
hama dan penyakit pada waktu sebelumnya. Upaya ini mencakup penentuan pola

6

tanam, penentuan varietas, penentuan waktu tanam, keserentakan tanam,
pemupukan, pengairan, jarak tanam, penyiangan, penggunaan agen antagonis dan
budidaya lainnya. Sedangkan upaya responsif adalah upaya pengendalian yang
didasarkan pada informasi status hama dan penyakit dan faktor yang berpengaruh
pada musim yang sedang berlangsung, serta pertimbangan biaya dari tindakan
yang perlu dilakukan. Upaya ini meliputi penggunaan musuh alami, pestisida
nabati, pengendalian mekanis, antraktan dan pestisida kimia.
Konsep PHT di Indonesia mulai dilaksanakan pada tahun 1976, pada tahun
1989 dikembangkan program PHT yang fokus pada tanaman padi. Pemerintah
mendukung pengembangan PHT dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No.3
tahun 1986 mengenai pelarangan 57 formulasi insektisida pada tanaman padi.
Perkembangan PHT cukup signifikan dalam periode tahun periode 1989-1999
melalui program sekolah lapang PHT (SLPHT). Program ini membantu petani
untuk menerapkan konsep PHT pada budidaya padi dan tanaman pangan, melalui
serangkaian kuliah dan praktek langsung di lapangan.
Budidaya PHT terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan meminimalisir penggunaan bahan-bahan kimia, serta
mendukung pertanian yang berkelanjutan. Minimnya penggunaan bahan kimia
berdampak positif bagi kesehatan tanah dan mendukung perkembangan
mikroorganisme yang berguna bagi tanaman. Secara teknis budidaya PHT
memang terkesan lebih rumit daripada budidaya konvensional, kemungkinan hal
inilah yang menyebabkan budidaya PHT kurang diminati oleh petani. Kurangnya
informasi mengenai program PHT dan berbagai hal yang mendukungnya
merupakan permasalahan utama dalam penerapan PHT di Indonesia.

Hama dan Penyakit Tanaman Cabai

Empoasca sp.
Empoasca sp. merupakan serangga penghisap cairan tanaman yang
berukuran kecil (sekitar 3-4 mm). Umumnya serangga ini berbentuk
brachyptera, yaitu serangga yang memiliki sayap pendek dan aktif pada malam
hari (Capinera 2001). Serangga ini menjadi hama penting pada tanaman kapas,
selain kapas serangga ini juga menyerang rumput, bunga, sayuran, buah, semak,
palem dan gulma.
Serangan Empoasca sp. terlihat dari munculnya bercak berwarna putih pada
permukaan daun. Serangga ini menghisap cairan tanaman pada mesofil dan
jaringan pembuluh (floem dan xylem) daun. Empoasca sp. lebih menyukai daerah
yang teduh, sehingga serangan yang berat sering terlihat pada daun bagian bawah.
Pengendalian dilakukan dengan menggunakan teknik pengendalian fisik,
mekanik, biologi dan kimia. Pemanfaatan musuh alami dilaporkan mampu
mengendalikan serangan hama ini.

7

Kutu Kebul
Bemisia tabaci (Genn) (Hemiptera : Aleyrodidae)
Kutu kebul merupakan salah satu serangga dari famili Aleyrodidae yang
dijumpai menyerang tanaman cabai di daerah tropis dan sub-tropis. Kisaran
inang serangga ini cukup luas dan dapat mencapai populasi yang besar dalam
waktu yang cepat apabila kondisi kondisi lingkungan menguntungkan. Beberapa
tanaman pertanian yang menjadi inang kutu kebul adalah kentang, timun, melon,
labu, terong, cabai, lettuce dan brokoli.
Kerusakan langsung pada tanaman disebabkan oleh aktivitas imago dan
nimfa yang mengisap cairan daun, gejala yang timbul berupa becak nekrotik pada
daun akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul menghasilkan
embun madu, embun madu yang dihasilkan lebih susah dihilangkan daripada yang
dihasilkan oleh aphid, karena ukuran embun madu yang dihasilkan lebih besar.
Embun madu merupakan media yang baik bagi tumbuhnya embun jelaga,
keberadaan embun jelaga menyebabkan terganggunya proses fotosintesis pada
daun. Selain kerusakan langsung oleh isapan imago dan nimfa, kutu kebul sangat
berbahaya karena dapat bertindak sebagai vektor virus. Sampai saat ini tercatat 60
jenis virus yang ditularkan oleh kutu kebul antara lain Geminivirus, Closterovirus,
Nepovirus, Carlavirus, Potyvirus, Rod-shape DNA Virus.
Pengendalian dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pergiliran
tanaman (rotasi) dengan tanaman bukan inang, seperti tanaman tomat, cabai,
kentang dan mentimun. Pemasangan perangkap warna, kelambu dan sanitasi
tanaman yang terserang merupakan pengendalian teknis yang mampu menekan
populasi hama ini. Secara biologi pengendalian dapat dilakukan dengan
menginfestasikan kumbang predator Menochilus sexmaculatus (Coccinelidae)
atau parasitoid nimfa Encarcia formosa.

Kutu daun melon
Aphis gossypii (Glover) (Hemiptera: Aphididae)
Penyebaran hama ini sangat luas, meliputi daerah beriklim tropis dan sedang
kecuali Canada bagian utara dan Asia bagian utara. Kisaran inang dari hama ini
cukup luas, seperti tanaman dari family Fabaceaae (Legumes, Lucerne),
Solanaceae, Cucurbitaceae dan asteraceae. Kutu daun menyebabkan kerusakan
yang cukup serius pada beberapa tanaman sayuran, seperti asparagus, cabai,
terong dan okra. Selain tanaman sayuran, kutu daun juga menyebabkan kerusakan
yang cukup parah pada jeruk, kapas dan melon.
Serangan berat biasanya terjadi pada musim kemarau. Bagian tanaman yang
diserang oleh nimfa dan imago biasanya pucuk tanaman dan daun muda. Daun
yang diserang akan mengkerut, mengeriting dan melingkar, menyebabkan
pertumbuhan tanaman terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Hama ini juga
mengeluarkan cairan manis seperti madu, yang biasanya disebut dengan embun
madu. Embun madu menarik datangnya semut dan cendawan jelaga. Adanya
cendawan pada buah dapat menurunkan kualitas buah. Aphid juga dapat berperan
sebagai vektor virus (50 jenis virus) seperti, Papaya Ringspot Virus, Watermelon
Mosaic Virus, Cucumber MosaicVirus (CMV).

8

Pengendalian dapat dilakukan dengan menginfestasikan musuh alami
seperti, parasitoid Aphelinus gossypi (Timberlake), Lysiphlebus testaceipes
(Cresson), predator Coccinella transversalis atau cendawan entomopatogen
Neozygites fresenii.

Lalat Buah
Bactrocera dorsalis (Hendel) (Diptera: Tephritidae)
Keragaman jenis dari lalat buah (Tephhritidae) di seluruh dunia cukup
tinggi, kurang lebih terdapat sekitar 4000 jenis lalat buah yang tersebar di seluruh
dunia. Beberapa jenis dari serangga ini merupakan hama penting pada pertanian,
diantaranya adalah lalat buah dari genus Anastrepha, Ceratitis dan Bactrocera.
Genus Bactrocera terdiri dari 350-375 jenis, sedangkan jenis yang umum menjadi
hama pada genus ini adalah Bactrocera dorsalis (Hendel). Lalat buah tercatat
telah menyerang lebih dari 150 jenis buah dan sayuran, termasuk jeruk, jambu
biji, mangga, pepaya, alpukat, pisang, tomat, ceri Suriname, jambu, markisa,
kesemek, nanas, persik, pir, aprikot, ara, dan kopi. Alpukat, manga dan pepaya
merupakan buah-buahan yang sering diserang oleh hama ini.
Lalat buah oriental menyebabkan kebusukan pada buah, gejala pada buah
yang terserang ditandai dengan adanya titik hitam pada bagian pangkal buah,
gejala ini timbul karena bekas tusukan ovipositor lalat dewasa yang memasukkan
telurnya. Pengendalian hama ini cukup sulit untuk dilakukan, karena hama ini
menyerang dari dalam buah dan hanya stadia larva yang menjadi hama.
Umumnya pengendalian dilakukan dengan melakukan rotasi tanaman,
pembungkusan, perangkap feromon (metil eugenol) atau infestasi parasitoid.

Thrips
Thrips parvispinus (Karny) (Thripidae:Thysanoptera)
Thrips menjadi hama penting pada beberapa tanaman pertanian di Indonesia
dan mampu menyebabkan kerugian yang cukup besar. Hama ini berasal dari Asia
Tenggara, penyebaran hama ini meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Papua
Nugini dan Australia Utara, Hawaii, kepulauan Mikronesia, dan Yunani. Di
Indonesia, serangga ini menyerang beberapa tanaman di provinsi Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, DI
Yogyakarta dan Jawa Timur. Hama ini bersifat polifag dengan tanaman inang
utama cabai, bawang merah, bawang daun dan jenis bawang lainnya dan
tomat.Sedangkan tanaman inang lainnya tembakau, kopi, ubi jalar, waluh, bayam,
kentang, kapas, tanaman dari famili Crusiferae, Crotalaria dan kacang-kacangan.
Thrips menyebabkan daun bagian bawah berwarna keperak-perakan,
kemudian daun mengeriting atau keriput. Hama ini menyerang dengan cara
menghisap cairan tanaman pada bagian daun atau bunga. Gejala awal ditandai
dengan adanya bercak-bercak berwarna putih atau keperak-perakan yang tidak
beraturan. Setelah beberapa waktu, noda keperakan tersebut akan berubah menjadi
cokelat tembaga, kemudian daun akan mengeriting/keriput dan mati. Serangan
yang berat dapat menyebabkan pucuk daun menggulung ke dalam dan timbul

9

benjolan seperti tumor. Pertumbuhan tanaman yang terserang akan terhambat,
kerdil bahkan mati pucuk. Thrips merupakan vektor penyakit virus mosaik dan
virus keriting. Pengendalian yang umum dilakukan oleh petani adalah dengan
memasang mulsa perak, melakukan sanitasi, pergiliran tanaman dan aplikasi
insektisida.

Ganjur Cabai
(Asphondylia sp) (Diptera: Ceccidomyiidae)
Hama ganjur cabai merupakan hama baru yang menyerang tanaman cabai.
Buah cabai yang terserang akan mengalami malformasi, bentuk buah memuntir
dan membengkak (Orphanides 1975; Harris 1975). Kerusakan yang ditimbulkan
menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas produksi buah. Serangan hama ini
sering terlihat pada buah muda daripada buah matang, buah muda yang terserang
masih berkembang dan matang meskipun dengan ukuran yang lebih kecil. Hama
ganjur cabai meletakkan telur pada saat cabai mulai berbunga, sehingga ketika
larva menetas mendapatkan makanan berupa jaringan daging buah muda. Gejala
serangan pada buah terlihat pada kisaran 7-10 hari setelah peneluran, lama
stadium telur dan larva masing-masing 3 dan 7 hari (Orphanides 1975).
Gallagheret et all. (2002) menyarankan pengendalian preventif dengan
memanfaatkan musuh alami dan tindkan pengendalian secara fisik, mekanik dan
kimia.

Antraknosa (Colletotrichum capsici)
Penyakit ini menyerang bagian buah cabai, baik buah yang masih muda
maupun yang sudah masak. Cendawan ini termasuk salah satu patogen yang
terbawa oleh benih. Penyebaran penyakit ini terjadi melalui percikan air, baik air
hujan maupun alat semprot. Suhu optimum bagi perkembangan cendawan ini
berkisar antara 20–24° C.
Gejala awal penyakit ini ditandai dengan munculnya bercak yang agak
mengkilap, sedikit terbenam dan berair, berwarna hitam, orange dan coklat.
Warna hitam merupakan struktur dari cendawan (mikro skelerotia dan aservulus),
apabila kondisi lingkungan lembab tubuh buah akan berwarna orange atau merah
muda. Luka yang ditimbulkan akan semakin melebar dan membentuk sebuah
lingkaran konsentris dengan ukuran diameter sekitar 30 mm atau lebih. Dalam
waktu yang tidak lama buah akan berubah menjadi coklat kehitaman dan
membusuk, ledakan penyakit ini sangat cepat pada musim hujan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan membersihkan lahan dan tanaman yang
terserang agar tidak menyebar. Seleksi benih atau menggunakan benih cabai yang
tahan terhadap penyakit ini perlu dilakukan mengingat penyakit ini termasuk
patogen tular benih. Hindari pengguanaan alat semprot, atau lakukan sanitasi
terlebih dahulu sebelum menggunakan alat semprot. Secara kimia, pengendalian
dapat dilakukan dengan aplikasi fungisida sistemik yang berbahan aktif
triadianefon dicampur dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga hidroksida
atau mankozeb.

10

Layu Bakteri (Pseudomonas solanacearum)
Penyakit ini disebabkan oleh Pseudomonas solanacearum, bakteri ini
ditularkan melalui tanah, benih, bibit, sisa-sisa tanaman, pengairan, nematoda atau
alat-alat pertanian. Selain itu, bakteri ini mampu bertahan selama bertahun-tahun
di dalam tanah dalam keadaan tidak aktif. Penyakit ini cepat meluas terutama di
tanah dataran rendah.
Gejala awal ditandai dengan munculnya kelayuan yang tidak permanen pada
tanaman cabai, namun pada stadia lanjut kelayuan terjadi secara menyeluruh dan
permanen. Tanaman cabai mengalami kelayuan dan mati pada kurun waktu 3 hari
atau lebih. Keberadaan bakteri pada tanaman dapat diketahui dari adanya cairan
berwarna coklat susu berlendir, semacam asap yang keluar dari jaringan pembuluh
apabila batang dimasukkan ke dalam air.
Pengendalian dilakukan dengan menyingkirkan tanaman yang terserang
dengan segera sehingga tidak menyebar ke tanaman yang lain. Pencegahan dapat
dilakukan dengan cara menjaga bedengan tanam selalu dalam kondisi kering di
luar. Rotasi tanaman mampu mengurangi resiko serangan penyakit tersebut.
Secara kimiawi, pengendalian dapat dilakukan dengan menggunakan fungisida
berbahan aktif tembaga hidroksida, konsentrasi yang digunakan adalah 5 - 10
g/liter. Aplikasi dilakukan pada lubang tanam sebanyak 200 ml/tanaman dengan
interval waktu 10 - 14 hari dan dimulai saat tanaman mulai berbunga.

Bercak Daun (Cercospora capsici)
Bercak daun disebabkan oleh cendawan Cercospora capsici, cendawan ini
mampu bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Gejala awal penyakit ditandai
dengan munculnya bercak berbentuk bulat pada daun tanaman cabai. Serangan
yang berat dapat menyebabkan daun berguguran, sehingga pertumbuhan tanaman
kurang optimal. Cendawan ini juga menyerang batang, tangkai daun serta tangkai
bunga.
Pengendalian terhadap penyakit ini dapat dilakukan dengan membuang
tanaman yang terserang sekaligus membersihkan lingkungan disekitar tanaman.
Secara kimia dapat juga dicegah dengan fungisida kontak berbahan aktif tembaga
hidroksida atau mankozeb.

Virus gemini
Cabai sangat rentan dengan berbagai macam jenis penyakit yang
ditimbulkan oleh virus, lebih dari 70 jenis virus dilaporkan mampu menyebabkan
penyakit pada tanaman cabai. Beberapa dari virus tersebut merupakan patogen
penting secara ekonomi, salah satunya adalah virus gemini. Penyebaran virus ini
meliputi daerah Amerika bagian Utara dan Selatan, Asia, Timur Tengah dan
daerah Mediterania. Selain cabai virus ini juga mampu menyerang tanaman tomat,
gula bit atau tanaman pertanian yang lain. Penyakit ini disebabkan oleh virus
gemini dengan diameter partikel isometri berukuran 18–22 nm. Virus gemini
mempunyai genome sirkular DNA tunggal.

11

Gejala serangan penyakit ini pada tanaman cabai terlihat dari adanya warna
kuning pada daun, penggulungan daun dan pertumbuhan tanaman yang tidak
sempurna. Penyakit ini menghambat jaringan floem, sehingga pertumbuhan
tanaman tidak sempurna dan kerdil. Keberadaan penyakit ini sangat merugikan
karena mampu mempengaruhi produksi buah.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan September 2010
di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Metode
Pengelolaan Tanaman Cabai Keriting Hibrida TM 999
Lahan Konvensional. Lahan yang digunakan diolah sebagaimana
pengolahan lahan pada umumnya, tanah dibersihkan dari sampah dan sisa
tanaman sebelumnya. Tanah kemudian digemburkan dan dibuat bedengan, pada
bedengan yang telah siap ditambahkan pupuk kandang sebanyak dua karung,
diratakan dan kemudian ditutup dengan mulsa perak. Benih yang digunakan
adalah benih cabai keriting hibrida TM 999, sebelum disemaikan benih terlebih
dahulu direndam dengan air hangat selama kurang lebih 1 jam. Setelah direndam
benih cabai dikering anginkan dan disemai pada media persemaian. Ketika
tanaman sudah berumur 14 hari setelah semai dilakukan penyemprotan dengan
pupuk NPK majemuk dengan merek dagang “Gandasil D”, dosis yang digunakan
adalah 0.5 g/l air.
Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 minggu
setelah tanam (mst), pupuk yang digunakan adalah pupuk dasar seperti Urea,
Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah dengan aplikasi larutan kotoran hewan
(kohe), larutan kohe dibuat dengan mencampurkan kotoran hewan dan Efektif
Mikroorganism (EM-4) yang dibiarkan selama 1 minggu. Dosis EM-4 yang
digunakan adalah sebanyak 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe
dilakukan ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 minggu setelah tanam (mst).
Penanggulangan hama dan penyakit tanaman cabai dilakukan dengan
menyemprotkan pestisida kimia pada tanaman cabai. Penyemprotan pestisida
dilakukan setiap 2 minggu sekali ketika tanaman cabai berumur 15, 30, 45, 60, 75,
dan 90 hari setelah tanam (hst). Ketika tanaman sudah memasuki masa produksi,
penyemprotan dilakukan seminggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi
lingkungan. Pestisida yang digunakan dikenal dengan nama dagang Dithane yang
berbahan aktif karbamat, Curacron yang berbahan aktif profenofos, Antracol yang
berbahan aktif propineb dan Actara yang berbahan aktif thiamethoxan, aplikasi
pestisida dilakukan dengan dosis 5-10 g/l untuk fungisida dan 5 cc/l untuk
insektisida.
Lahan PHT. Lahan yang digunakan diolah sebagaimana pengolahan lahan
pada umumnya, tanah dibersihkan dari sampah dan sisa tanaman sebelumnya.
Tanah kemudian digemburkan dan dibuat bedengan, pada bedengan yang telah
siap ditambahkan pupuk kandang sebanyak dua karung, diratakan dan kemudian
ditutup dengan mulsa perak. Selain pupuk kandang, bedengan yang telah

13

disiapkan disemprot dengan larutan dekomposer maximum (Decomax) dengan
dosis 10 cc/liter air. Decomax merupakan dekomposer alami yang mengandung
Zygosaccharonyces fermentasi dan Pichia guilliermondii, bakteri ini merupakan
perombak selulosa. Perlakuan pada benih dilakukan dengan merendam benih
dalam larutan Actigrow dengan dosis 10 cc/ltr selama kurang lebih 6 jam.
Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorrescens yang terkandung di dalam
Actigrow diharapkan mampu mengurangi keberadaan patogen yang terdapat pada
benih. Benih yang telah direndam kemudian dikeringanginkan dan disemaikan.
Ketika persemaian telah berumur 14 hss dilakukan penyemprotan Actigrow
dengan dosis 10 cc/liter air.
Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada umur 3, 6 dan 9 mst,
pupuk yang digunakan adalah Urea, Superphos dan KCL. Pemupukan ditambah
dengan aplikasi larutan kotoran hewan (kohe), larutan kohe dibuat dengan
mencampurkan kotoran hewan dan Decomax yang dibiarkan selama 1 minggu
dengan dosis 10% dari seluruh larutan kohe. Aplikasi larutan kohe dilakukan
ketika tanaman telah berumur 4, 7, dan 10 mst.
Penanggulangan hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan
menyemprotkan Fitplanta dan Actigrow pada tanaman cabai. Fitplanta merupakan
penyehat tanaman yang mempunyai fungsi ganda sebagai pupuk dan biopestisida
alami yang mengandung unsur makro dan mikro, bakteri dan aktinomycetes
antagonis. Penyemprotan Fitplanta dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu ketika
tanaman cabai berumur 14, 28, 42/50, dan 90 hst. Dosis penyemprotan yang
dilakukan adalah 10 cc/l, penyemprotan dilakukan secara merata pada semua
bagian tanaman cabai. Aplikasi Actigrow dilakukan ketika tanaman cabai telah
berumur 30, dan 60 hst. Dosis yang digunakan adalah 10 cc/l air, aplikasi
Actigrow dilakukan dengan menyiramkan larutan disekitar perakaran tanaman
cabai.

Penentuan Petak Perlakuan dan Tanaman Contoh
Penentuan Petak Perlakuan. Penentuan petak perlakuan dilakukan secara
berurutan, petak 1, 3 dan 5 merupakan petak budidaya secara PHT, sedangkan
petak 2, 4 dan 6 merupakan petak budidaya konvensional. Petak budidaya PHT
dikelilingi oleh tanaman penghalang yang berupa singkong dan jagung, sedangkan
petak budidaya konvensional tidak dikelilingi oleh tanaman penghalang.
Pergantian antara petak budidaya PHT dengan konvensional diberi jarak kurang
lebih 50 cm.
Pengambilan Tanaman Contoh. Pengambilan tanaman contoh dilakukan
secara acak dengan mengambil 5 tanaman pada masing-masing petak. Pada setiap
bedengan terdapat satu tanaman contoh. Pengamatan hanya dilakukan pada
tanaman contoh yang telah ditentukan, apabila terdapat tanaman contoh yang
mengalami kematian pengamatan dilakukan pada tanaman lain di sekitarnya yang
memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan tanaman contoh yang mengalami
kematian.

14

Pengamatan
Pertumbuhan Tanaman. Pengamatan dilakukan sebanyak 3 kali, ketika
tanaman berumur 2, 4 dan 10 mst. Pengamatan dilakukan dengan melihat tinggi
tanaman, tinggi cabang dikotom, diameter dan jumlah pucuk. Pengukuran tinggi
tanaman dan tinggi cabang dikotom dilakukan dengan menggunakan penggaris
pancang, tinggi tanaman diukur dari tanah sampai daun bagian atas. Sedangkan
tinggi cabang dikotom adalah tinggi tanaman sampai percabangan pertama.
Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong dengan posisi
horisontal dan sejajar dengan mulsa perak.
Hama dan Penyakit. Pengamatan dilakukan setiap minggu sekali dengan
melihat kejadian hama dan penyakit pada masing-masing tanaman contoh yang
telah ditentukan. Pengamatan dilakukan dengan melihat kerusakan yang
ditimbulkan oleh hama dan penyakit pada beberapa bagian tanaman cabai
keriting, seperti pucuk daun, daun dan buah cabai keriting. Pengamatan pada
pucuk daun dilakukan untuk melihat gejala serangan thrips dan Empoasca sp.,
daun untuk melihat gejala penyakit bercak daun dan buah untuk melihat gejala
serangan lalat buah, puru dan antraknosa.
Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan kejadian penyakit dengan
kerusakan parsial, yaitu kerusakan yang terjadi pada beberapa bagian tanaman.
Penghitungan persentase kerusakan dilakukan dengan menggunakan rumus,
Kejadian penyakit (%) = (n ÷ N) X 100%
n : ∑ bagian tanaman terserang
N : ∑ total bagian tanaman.
Produksi. Pengamatan produksi buah cabai dilakukan ketika tanaman sudah
memasuki masa generatif. Pengamatan dilakukan dengan menghitung total panen
pada masing-masing petak.

Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) dengan 2 perlakuan dan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 5 tanaman
contoh. Uji lanjutan dilakukan dengan menggunakan uji selang ganda Duncan
(Duncan Multiple Range Test) pada taraf α = 5 % dengan menggunakan bantuan
program statistik statistical analysis software (SAS) for Windows 6.12.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT
Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan
pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Sebagian besar petani di Indonesia menerapkan budidaya jenis ini dalam
mengembangkan tanaman cabai. Penggunaan pestisida kimia yang intensif pada
kegiatan budidaya menimbulkan dampak negatif yang besar bagi tanaman,
lingkungan dan manusia (Igbedioh 1991). Penggunaan pestisida kimia yang
intensif dipicu oleh minimnya informasi mengenai teknologi budidaya tanaman
yang ramah lingkungan dan tingginya tingkat kekhawatiran petani terhadap
kemungkinan gagal panen. Kondisi ini diperparah dengan cara aplikasi pestisida
kimia yang tidak sesuai dengan aturan dan dosis yang berlaku.
Besarnya dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan pestisida kimia
mengharuskan adanya pembatasan atau pengurangan penggunaannya dalam
budidaya tanaman. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
menerapkan budidaya tanaman secara pengendalian hama terpadu (PHT). PHT
merupakan strategi budidaya tanaman yang menerapkan pendekatan budidaya
alami dan ramah lingkungan. Konsep budidaya PHT telah terbukti mampu
meminimalisir penggunaan pestisida kimia dalam kegiatan budidaya tanaman.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memanfaatkan agen
antagonis, musuh alami dan meningkatkan ketahanan alami tanaman. Penggunaan
pestisida kimia dalam budidaya PHT hanya dilakukan ketika upaya pengendalian
yang lain gagal dan disesuaikan dengan nilai ambang ekonomi, sehingga kerugian
ekonomi pada budidaya cabai dapat dihindari.
Budidaya konvensional yang diterapkan pada penelitian ini mengadopsi
praktik budidaya cabai yang dilakukan oleh petani, mulai dari pengolahan lahan
sampai dengan panen. Praktik budidaya cabai konvensional yang dilakukan pada
penelitian ini disajikan secara lengkap di dalam lampiran. Aplikasi pestisida kimia
dalam budidaya konvensional tidak sepenuhnya sama dengan yang dilakukan oleh
petani, penelitian ini hanya mengadopsi jenis-jenis pestisida kimia yang umum
digunakan oleh petani dalam megendalikan hama dan penyakit pada budidaya
cabai keriting hibrida TM 999. Jenis pestisida kimia yang digunakan umumnya
dikenal dengan nama dagang Dithane, Curacron, Antracol dan Actara.
Budidaya PHT yang dilakukan dalam penelitian ini memanfaatkan beberapa
jenis bakteri yang telah terbukti mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, serta membantu meningkatkan sistem ketahanan alami
tanaman. Bakteri yang digunakan adalah Bacillus polymixa dan Pseudomonas
fluorrescens yang terkandung dalam Actigrow, bakteri ini termasuk dalam
kelompok plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR merupakan
kelompok bakteri yang hidup pada perakaran tanaman, bakteri ini mampu
mengikat nitrogen bebas dari alam dan mengubahnya menjadi amonia yang
kemudian dimanfaatkan oleh tanaman. PGPR juga mampu menginduksi sistem
ketahan tanaman, sehingga tanaman menjadi lebi