Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pada Tanaman Tomat
UJI SEROLOGI Tomato infectious chlorosis virus (TICV)
PADA TANAMAN TOMAT
NI NENGAH PUTRI ADNYANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
NI NENGAH PUTRI ADNYANI. Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus
(TICV) pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA.
Penyebaran Tomato infectious chlorosis virus (TICV) yang terbatas pada
jaringan floem ini menyebabkan TICV sangat sukar dipurifikasi untuk
mendapatkan virus murni dalam jumlah yang memadai sebagai antigen. Mungkin
karena alasan ini maka belum ada antiserum komersial yang tersedia untuk
mendeteksi TICV sehingga sampai saat ini deteksi TICV dilakukan hanya melalui
reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR). Kemajuan teknologi
di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode untuk mengekspresikan
suatu gen tertentu, dengan menyisipkannya dalam vektor ekspresi (plasmid) pada
Escherichia coli. Antiserum poliklonal disiapkan untuk selubung protein (coat
protein) (TICV) yang diekspresikan dalam Eschericia coli yang dievaluasi
berdasarkan reaksinya terhadap keberadaan partikel virus dalam jaringan tanaman
tomat. Evaluasi berdasarkan kekhususan reaksi antiserum dan tingkat titer
antiserum dengan menggunakan 3 macam uji serologi yang berbeda, yaitu
agarose gel precipitation test (AGPT), dot blot immunobinding assay (DIBA),
dan indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA). Antiserum
memberikan sinyal positif yang jelas pada semua uji serologi yang menggunakan
cairan perasan tanaman tomat yang terinfeksi TICV, tetapi tidak ada sinyal positif
yang terdapat dalam uji reaksi antiserum dan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Hal ini yang menunjukkan kekhususan dari antiserum tersebut. Antiserum yang
digunakan mempunyai titer yang cukup memadai yaitu 1/4 pada AGPT, 1/200
pada DIBA, dan 1/500 pada I-ELISA sehingga potensial digunakan sebagai alat
deteksi TICV.
Kata kunci : Tomato infectious chlorosis virus (TICV), antiserum TICV, agarose
gel precipitation test, dot blot immunobinding assay, indirect-enzyme
linked immunosorbent assay.
UJI SEROLOGI Tomato infectious chlorosis virus (TICV)
PADA TANAMAN TOMAT
NI NENGAH PUTRI ADNYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pada
Tanaman Tomat
Nama Mahasiswa : Ni Nengah Putri Adnyani
NIM
: A34080013
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Gede Suastika, MSc.
NIP 19620607 198703 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Abjad Asih Nawangsih, MSi.
NIP 19650621 198910 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Klungkung kota Semarapura, Bali pada
tanggal 22 Desember 1989 dari pasangan Bapak Drs. Ketut Suyastra, MPd. dan
Ibu Ni Luh Komang Darwati. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar dan pada tahun yang
sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan
penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma
IPB sebagai anggota Kewirausahaan dan pengurus Divisi Sosial dan Lingkungan.
Penulis juga pernah menjadi panitia Masa Perkenalan Departemen dan Masa
Perkenalan Fakultas Saung Tani 46 tahun 2010, panitia Gebyar Pertanian 2009,
panitia Gebyar Nusantara untuk OMDA Bali tahun 2008-2011, panitia WARTEG
dalam program Kuliah Kerja Profesi 2011 di Kabupaten Tegal dan panitia
Seminar Perhimpunan Entomologi Indonesia tahun 2012. Penulis juga
berkesempatan menjadi peserta IPB Go Field 2010 di Kabupaten Klaten pada
semester 4.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça
yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pada
Tanaman Tomat. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari Februari 2012 sampai bulan Juni
2012.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan rasa tulus kepada Dr. Ir.
Gede Suastika, MSc. selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan
bimbingan, masukan, dan saran-saran kepada penulis. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan saran yang
bermanfaat. Dr. Ir. Wayan Winasa, MSc. selaku dosen pembimbing akademik
yang senantiasa memberikan motivasi. Ketut Suyastra, Ni Luh Komang Darwati,
dan I Wayan Adi Mahardika atas dukungan semangat, perhatian, dan doa yang
telah diberikan kepada penulis selama kuliah di IPB. Keluarga besar di
Laboratorium Virologi Tumbuhan Fitrianingrum Kurniawati, MSi., Sdri. Tuti
Susanti Legiastuti, Bapak Edi Supardi, Rizki Haerunisa, Titin Rahayuningsih,
Yudia N., Lestari F., Hamdayanty, Dita M., Prio S., Arif M., kakak-kakak
Pascasarjana (Aceu Wulandari, Bundo Rita, Ita, Miftah, Melinda, Dwi, Dama,
Nurul, Laras, Rita, Vanty, Asni, Bunda Ifa dan karantina Nurul dan Riri). Temanteman seperjuangan Proteksi Tanaman angkatan 45 yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu, seluruh dosen, staf dan laboran di Departemen Proteksi Tanaman
yang telah banyak membantu. Terima kasih juga untuk Keluarga Mahasiswa
Hindu Dharma IPB angkatan 2008, teman-teman Griya Sandat, IP, dan Puje yang
selalu memberi semangat.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
skripsi ini bermanfaat untuk ke depannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini
dengan penuh rasa syukur dan bangga.
Bogor, September 2012
Ni Nengah Putri Adnyani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ...
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
viii
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) ..........................................
Antibodi Poliklonal.............................................................................
Uji Serologi Virus Tanaman…………………………………………
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT) ....................................
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) ......................................
Indirect-Enzyme linked immunosorbent assay (I-ELISA)……….
4
4
5
6
7
7
8
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................
Metode Serologi yang Digunakan…………………………………...
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT) ....................................
Dot blot immunobinding assay (DIBA) ......................................
Indirect-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) .........
10
10
10
10
11
12
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Reaksi Antiserum terhadap TICV .....................................................
Titer Antiserum TICV……………………………………………….
13
13
14
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
Kesimpulan…………………………………………………………..
Saran…………………………………………………………………
19
19
19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
20
LAMPIRAN ................................................................................................
23
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Titer antiserum TICV pada pengujian serologi............................
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman tomat memperlihatkan gejala klorosis........................
1
2 Bentuk partikel TICV................................................................
4
3 Serangga vektor Trialeurodes vaporariorum............................
5
4 Reaksi antiserum TICV pada AGPT.........................................
13
5 Reaksi antiserum TICV pada DIBA........................................
14
6 Reaksi antiserum TICV pada I-ELISA.....................................
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil nilai absorbans I-ELISA pada ELISA reader.....................
24
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) adalah salah satu virus yang
menyebabkan penyakit pada tanaman tomat (Tsai et al. 2004).Virus pada tanaman
tomat ini pertama kali ditemukan di California pada tahun 1993 (Duffus et al.
1996). Setelah itu, TICV dilaporkan telah menyebar ke wilayah penanaman tomat
dunia terutama di berbagai negara di Asia maupun Eropa (Vaira et al. 2002; Tsai
et al. 2004; Dalmon et al. 2005). Di Indonesia, virus ini telah ditemukan di
beberapa sentra produksi tomat seperti di Garut, Cianjur, Bogor, Magelang, dan
Yogyakarta (Hartono dan Wijonarko 2007; Fitriasari 2010).
Infeksi TICV pada tanaman tomat mengakibatkan gejala klorosis yang
sangat parah pada seluruh daun sehingga tanaman tampak kuning, penyakit yang
ditimbulkan ini disebut klorosis atau kuning (Vaira et al. 2002; Gambar 1). Gejala
khas dari penyakit ini adalah terjadinya klorosis pada bagian antara tulang daun
(interveinal chlorosis), dan jika penyakit sudah lanjut beberapa bagian daun
mengalami nekrosis dan menjadi rapuh. Buah tomat yang dihasilkan dari tanaman
sakit berukuran jauh lebih kecil dari normal dan proses pemasakannya terganggu
sehingga hasil panen sangat menurun (Tsai et al. 2004). TICV merupakan salah
satu anggota dari genus Crinivirus, famili Closteroviridae (Wisler et al. 1996),
yang dapat ditularkan melalui serangga vektor kutukebul Trialeurodes
vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae) secara semipersisten (Duffus et al.
1994).
Gambar 1 Tanaman tomat memperlihatkan gejala klorosis di daerah Bedugul,
Tabanan, Bali
2
Salah satu ciri dari anggota Crinivirus yang ditularkan kutukebul adalah
bahwa partikel virus hanya ditemukan pada jaringan floem sehingga konsentrasi
partikel virus pada keseluruhan jaringan tanaman inang sangat rendah (Wisler et
al. 1998). Rendahnya konsentrasi partikel virus ini (pada jaringan tanaman inang)
mempunyai implikasi pada proses deteksinya terutama yang berbasis antiserum.
Penyebarannya yang terbatas pada jaringan floem ini menyebabkan TICV sangat
sukar dipurifikasi untuk mendapatkan virus murni dalam jumlah yang memadai
sebagai antigen (Jacquemond et al. 2008). Mungkin karena alasan ini maka
belum ada antiserum komersial yang tersedia untuk mendeteksi TICV (Suastika
2012 Agustus 19, komunikasi pribadi) sehingga sampai saat ini deteksi TICV
dilakukan hanya melalui reverse transcription-polymerase chain reaction (RTPCR) (Andriani 2011; Nurulita 2011).
Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode
untuk mengekspresikan suatu gen tertentu, dengan menyisipkannya dalam vektor
ekspresi (plasmid) pada Escherichia coli (Abouzid et al. 2002; Cotillon et al.
2005). Kurniawati (2012) telah berhasil mengekspresikan gen protein mantel
(coat protein/CP) dari TICV dalam E. coli. Protein ini juga telah berhasil
dipurifikasi dari biakan sel bakteri dan mencukupi untuk digunakan sebagai
antigen dalam immunisasi kelinci dalam rangka memproduksi antiserum.
Reaksi antiserum (yang telah diproduksi ini) terhadap TICV yang terdapat
dalam jaringan tanaman tomat belum pernah dilakukan. Untuk mengetahui
terjadinya reaksi serologi tersebut, berbagai metode serologi telah tersedia saat ini
seperti agarose gel precipitation test (AGPT) (Noordam 1973), dot blot
immunobinding assay (DIBA) (Kubota et al. 2011), dan indirect-enzyme linked
immunosorbent assay (I-ELISA) (Nickel et al. 2004), sehingga penelitian ini
bertujuan menguji reaksi antiserum TICV yang telah diproduksi pada penelitian
sebelumnya dan mengukur titer antiserum tersebut melalui metode serologi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji reaksi antiserum TICV yang telah
diproduksi pada penelitian sebelumnya dan mengukur titer antiserum tersebut
melalui metode serologi.
3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang
deteksi Tomato infectious chlorosis virus pada tanaman tomat dengan tiga metode
serologi pada titer antiserum yang berbeda.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tomato infectious chlorosis virus
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili
Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus
(Martelli et al. 2002). TICV merupakan spesies dari genus Crinivirus. Partikel
TICV memiliki panjang rata-rata 645 nm, modal length 850 nm, dan partikel
terpanjang 1600 nm (Duffus et al. 1996; Liu et al. 2000). Pengamatan Wisler et
al. (1996) terhadap siapan hasil purifikasi dari tanaman tomat sakit menemukan
partikel
virus
yang
berbentuk
seperti
benang
(threadlike)
memanjang
(filamentous), lentur (flexuous), berukuran panjang 850 sampai 900 nm dan lebar
12 nm. Closterovirus ini terdapat pada sitoplasma jaringan floem tanaman
terinfeksi (Duffus et al. 1996).
Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan
lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)
Infeksi TICV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat menjadi
klorosis yaitu menguning di antara tulang daun (intervenal yellowing). Pada
perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami
nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah
keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan
apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan
proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga
5
sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi
(Duffus et al. 1996); Dalmon et al. 2008). TICV ditularkan dari satu tanaman ke
tanaman lainnya oleh serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera:
Aleyrodidae). Penularan dapat terjadi secara cepat ke seluruh areal pertanaman
karena serangga vektor bersifat aktif. TICV ditularkan oleh serangga vektor secara
semipersisten (Duffus et al. 1994; Wintermantel 2004). TICV tidak dapat
ditularkan secara mekanis tetapi dapat ditularkan dengan serangga vektor.
Memiliki periode persistensi selama 4 hari dan periode makan akuisisi di atas 48
jam. TICV dapat ditularkan dengan waktu yang terbatas yaitu antara 1-9 hari.
(Wisler et al. 1998a, 1998b).
Gambar 3 Serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae)
yang mampu menularkan TICV pada tanaman tomat (Kurniawati
2011)
Antibodi Poliklonal
Antibodi merupakan molekul immunoglobulin yang dihasilkan oleh sel
limfosit-B dari hewan yang berdarah panas sebagai tanggapan terhadap suatu
rangsangan molekul asing (antigen). Antibodi banyak dimanfaatkan dalam kajian
imunologi untuk mengidentifikasi suatu patogen. Ikatan antigen dengan antibodi
sangat spesifik, suatu molekul antigen mempunyai kemampuan untuk bereaksi
atau berikatan dengan molekul immunoglobulin tertentu (Haryadi 2006). Antibodi
poliklonal merupakan suatu populasi antibodi yang bereaksi terhadap lebih dari
satu epitop. Antibodi poliklonal diperoleh dari serum darah hewan yang telah
diimunisasi dengan antigen yang mempunyai lebih dari satu epitop. Antibodi
pertama kali diproduksi oleh hewan apabila diinjeksi antigen adalah IgM atau
disebut juga tanggap imun primer. Konsentrasi IgM mencapai puncak pada 10
6
hari setelah imunisasi dan setelah itu konsentrasi IgM akan menurun. Setelah
konsentrasi IgM menurun, IgG akan diproduksi dan mencapai puncak pada 14
hari setelah imunisasi. Apabila injeksi dilakukan lagi maka IgG akan diproduksi
lebih dominan sebagai tanggap imun sekunder (Akin 2006).
Setiap hewan berdarah panas dapat dijadikan sebagai hewan percobaan
untuk produksi antibodi poliklonal. Contohnya kelinci, ayam, burung puyuh,
tikus, kambing, babi, dan mencit paling banyak digunakan untuk membuat
antiserum. Di antara hewan tersebut, kelinci merupakan hewab yang paling
banyak digunakan karena mudah memeliharanya, relatif lebih murah, mempunyai
konsentrasi antibodi yang relatif tinggi, dan memerlukan sedikit antigen untuk
imunisasi (Akin 2006).
Uji Serologi Virus Tumbuhan
Reaksi antara antibodi dan antigen terjadi pada reaksi pertahanan hewan
apabila kemasukan antigen (patogen atau benda asing). Reaksi khas itu dapat juga
terjadi secara in vitro apabila antibodi yang diproduksi hewan itu diisolasi dan
direaksikan dengan antigen yang mengimbasnya. Sifat khas reaksi antibodi dan
antigen dimanfaatkan sebagai alat identifikasi patogen dan diagnosis penyakit
virus pada tanaman. Secara umum, reaksi serologi dapat digambarkan sebagai
berikut: antibodi + antigen
presipitasi (Akin 2006)
Selain untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit,
uji serologi juga berguna dalam mengukur konsentrasi virus dalam jaringan
tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk
mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Ada beberapa
metode yang digunakan dalam uji serologi antara lain Agarose gel precipitation
test (AGPT), Dot blot immunobinding assay (DIBA), Tissue blot immunosorbent
assay (TBIA), Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan immunoblotting
atau western blotting (Harlow and Lane 1999). Metode serologi yang telah
berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu
metode DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989).
Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk
mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Pengujian
7
presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah
berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi Wheat streak
mosaic tritimovirus (WSMV).
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)
AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk
mengukur titer antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding
dengan uji pengikatan primer namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini
digunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur
tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan antiserum yang telah
mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan berdifusi ke sekitar
sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik akan
terbentuk kompleks antigen-antibodi yang banyak sehingga kompleks mengendap
dan terjadi presipitasi yang membentuk garis putih. Tetapi bila tidak ada
kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis presipitasi tidak akan
terbentuk (Haryadi 2006)
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam
reaksi presipitasi. Pembentukan presipitasi terbentuk apabila antara konsentrasi
antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan
mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk yang disebut
postzone effect, sedangkan antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigenantibodi tetap ada dalam larutan prozone effect (Haryadi 2006)
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)
DIBA
merupakan
uji
serologi
menggunakan
membran
Nitropure
nitrocellulose (NPN) yang sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus
tanaman. Teknik ini menggunakan gerusan tanaman segar dan diblot pada kertas
membran (Lin et al. 1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang
tinggi, prosedur yang digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk
deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Dijkstra and De Jager 1998).
DIBA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan
dengan jumlah sampel yang ada. Sampel yang akan diblot digerus dengan buffer,
8
kemudian sap tersebut diblot menggunakan pipet mikrotiter pada kertas membran
(Somowiyarjo 1997). Dalam pengerjaannya, teknik DIBA sangat mudah dan
cepat dalam mendeteksi virus selain itu sampel yang sudah diblot pada kertas
membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010).
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini
diperkenalkan. Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase
atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan
seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan
antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor.
Menurut Dijkstra and De Jager (1998) beberapa keunggulan ELISA sebagai tes
serologi untuk virus tumbuhan yaitu konsentrasi virus yang dideteksi dapat sangat
rendah. Demikian juga antibodi yang digunakan bisa sangat sedikit. Metode ini
dapat digunakan untuk mendeteksi sampel virus dalam skala besar, dan hasil
deteksi ELISA dapat diukur secara kuantitatif.
Umumnya ELISA dibedakan menjadi 2 jenis yaitu standard (direct) double
antibody sandwich (DAS)-ELISA dan indirect ELISA (I-ELISA). Metode DASELISA diperkenalkan pertama kali oleh Clark dan Adams pada tahun 1977 untuk
deteksi virus tumbuhan dan uji ini pertama kali dilakukan pada pelat 96 sumur
berbahan polystyrene. Tahapan DAS-ELISA yaitu sumuran pelat dicoating
dengan menggunakan antibodi primer. Setelah plat dicuci, sampel virus (antigen)
dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali dengan phosphate buffer
saline tween (PBST), enzim konjugat (antibodi kedua) diisikan ke dalam sumuran.
Setelah dicuci kembali, substrat PNP (p-nitrophenyl phosphate) dimasukkan ke
dalam sumuran untuk pewarnaan (Dijkstra and De Jager 1998). DAS-ELISA
sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, tetapi untuk deteksi virus yang
membutuhkan spesifikasi tinggi DAS-ELISA terkadang bermasalah dalam
mendeteksi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan
serologi antar virus lebih stabil. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi
9
virus dengan jumlah virus yang sangat kecil pada satu benih (individu) atau
serangga vektor. Hal ini untuk membuktikan tingkat sensitivitas metode ELISA
(Dijkstra and De Jager 1998).
10
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai Juni 2012.
Bahan dan Alat
Metode Serologi yang Digunakan dalam Pengujian Antiserum TICV
Pengujian serologi untuk antiserum TICV ini dilakukan menggunakan 3
metode yaitu AGPT, DIBA, dan I-ELISA. AGPT merupakan teknik
imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi.
Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer namun
relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang
dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan
antigen dan antiserum yang telah mengandung antibodi pereaksi (Haryadi 2006).
Metode ini menggunakan sampel daun tomat terinfeksi TICV yang digerus
dengan bufer, antiserum TICV dengan titer 1/1 sampai 1/64 serta kaca preparat
dan 1% gel agarosa (Sigma, USA) sebagai media untuk mendeteksi TICV.
DIBA merupakan uji serologi menggunakan membran nitroselulosa yang
sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus tanaman. Teknik ini
menggunakan gerusan tanaman segar dan diblot pada kertas membran (Lin et al.
1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang
digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan
jumlah sampel yang banyak (Djiksa and De Jager 1998). DIBA dilakukan pada
kertas membran nitroselulosa (Sigma, USA) yang ukurannya dapat disesuaikan
dengan jumlah sampel yang ada kemudian antiserum yang digunakan yaitu titer
1/100 sampai 1/1000, plastik gerus sebagai media untuk merendam kertas
membran, skim milk, enzim konjugat, dan substrat untuk setiap tahapan.
ELISA telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini
diperkenalkan. Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase
atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan
11
seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi. Metode menggunakan bufer ekstraksi untuk
menggerus sampel daun yang terinfeksi TICV, pelat mikrotiter ELISA sebagai
media deteksi, titer antiserum yang digunakan 1/100 sampai 1/1000, skim milk,
enzim konjugat, substrat, dan ELISA reader sebagai deteksi secara kuantitatif.
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)
Reaksi antigen-antibodi pada AGPT dilakukan pada media 1% gel agarosa
(Sigma, USA). Gel dibuat dengan melarutkan 0.1 g agarosa, 0.01 g natrium azida
dalam 5 ml phosphate buffer saline (PBS) pH 7.2 dan 5 ml akuabides yang
dipanaskan dalam microwave selama 1 menit. Agar cair tersebut kemudian
dituangkan di atas kaca preparat setebal sekitar 2 mm dan dibiarkan pada suhu
ruang sampai membeku. Pada agar beku tersebut dibuat 2 lubang berdiameter 4
mm dengan jarak 4 mm untuk diisi dengan reaktan yang berbeda yaitu antigen
dan antibodi masing-masing sebanyak 20 µl. Antigen adalah cairan perasan
tanaman tomat yang positif terserang TICV dan yang sehat masing-masing
sebanyak 0.1 g yang telah dilumatkan dalam 1x PBS dengan perbandingan 1:10
(b/v). Antibodi berupa antiserum TICV yang telah tersedia di Laboratorium
Virologi Tumbuhan IPB yaitu hasil immunisasi kelinci dengan protein produk
ekspresi gen CP TICV pada E. coli (Kurniawati 2012). Untuk pengukuran titer
antiserum, dilakukan reaksi antara antigen tanpa pengenceran (siapan cairan
perasan tanaman tomat) dan antiserum dengan seri pengenceran dupleks mulai 1/1
sampai 1/64. Pengamatan terhadap terbentuknya garis presipitasi reaksi antigenantibodi pada media agarosa diamati setiap hari dan didokumentasikan. Metode
ini dilakukan berdasarkan prosedur dari Noordam (1973).
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)
Reaksi antigen-antibodi pada DIBA berdasarkan prosedur Kubota et al.
(2011) dilakukan pada membran nitroselulosa (Sigma, USA). Antigen dan
antibodi disiapkan sama seperti pada AGPT. Cairan perasan tanaman tomat
diteteskan pada membran dan dibiarkan pada suhu ruang selama 3 menit sehingga
partikel TICV yang terdapat pada cairan perasan terikat secara nonspesifik pada
membran. Kemudian membran diberi perlakuan sebagai berikut: (1) diinkubasi
dalam Triton X-100 5% (5 ml Triton dalam 100 ml akuades) selama 20 menit; (2)
12
diinkubasi dalam 1x bufer kalium phosphate salin tween (KPST) [0.02 M
K2HPO4, 0.15 M NaCl, pH 7.4 yang di dalamnya mengandung 0.05% Tween 20]
selama 20 menit; (3) diinkubasi dalam antiserum + konjugat (1 ml KPS 1x
ditambah dengan 0.4 g skim milk, 0.2 µl enzim konjugat (Goat anti rabbit-IgG
alkaline phosphatase) dan antiserum TICV) selama 90 menit; (4) dicuci 3 kali
masing-masing dalam 1x tris buffer saline tween dengan 0.05% Tween 20 (TBST)
[Tris-HCl 0.02 M, NaCl 0.15 M, pH 7.5 dan Tween 20] selama 10, 5 dan 5
menit; dan (6) diinkubasi dalam substrat (20 µl nitro blue tetrazolium +
bromochloroindolil phosphate) (NBT+BCIP) (Sigma, USA) dilarutkan dalam 1
ml bufer alkalin fosfatase). Untuk pengukuran titer antiserum, dilakukan reaksi
antara antigen tanpa pengenceran dan antiserum dengan seri pengenceran 1/100
,1/200, 1/300, 1/400, 1/500, 1/600, sampai 1/1000. Pengamatan dilakukan
terhadap adanya perubahan warna membran menjadi ungu pada tempat antigen
diteteskan dimulai beberapa menit setelah inkubasi dalam substrat.
Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA)
Reaksi antigen-antibodi pada ELISA menurut prosedur dari Nickel et al.
(2004) dilakukan dalam sumuran pelat mikrotiter ELISA. Antigen dan antibodi
disiapkan sama seperti pada AGPT kecuali cairan perasan tanaman dibuat dalam
bufer ekstraksi pH 9.6 [Na2CO5 1.59 g, NaHCO3 0.293 g, NaN3 0.20 g yang
dilarutkan dalam 1 L akuades steril] dengan perbandingan 1:100 (b/v). Pada
sumuran pelat mikrotiter ELISA dimasukkan reaktan 100 µl yang dilakukan
berturut-turut sebagai berikut: (1) inkubasi cairan perasan tanaman pada suhu 4oC
semalam; (2) pencucian dengan 1 x PBST) [NaCl 8 g, Na2HPO4 1.15 g, KH2PO4
0.2 g, KCl 0.2 g, Tween 20 0.5 ml, dan dilarutkan dalam 1 L akuades steril, pH
7.4] sebanyak 5 kali; (3) inkubasi dengan blocking solution (skim milk 0.2 g dalam
10 ml 1x PBST) pada suhu ruang selama 30 menit; (4) pencucian dengan 1x
PBST sebanyak 5 kali; (5) inkubasi dengan enzim konjugat Goat anti rabbit-IgG
alkaline phosphatase (Sigma, USA) yang diencerkan 1:2000 dalam bufer
konjugat pada suhu 37C selama 2 jam; (6) pencucian dengan 1x PBST sebanyak
5 kali; (7) inkubasi substrat (5 mg p-nitrofenil fosfat (Sigma, USA) yang
dilarutkan dalam 5 ml bufer substrat) pada suhu ruang selama 15 menit - 60
13
menit. Pembacaan nilai absorbans dilakukan dengan mesin ELISA reader (Biorad
model 550) pada panjang gelombang 405 nm.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat
Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam
jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui 3 metode uji serologi yaitu
AGPT, DIBA, dan I-ELISA.
Melalui AGPT, terjadinya reaksi (pengenalan) antibodi (antiserum)
terhadap antigen (partikel TICV dalam cairan perasan tanaman tomat) ditandai
dengan terbentuknya garis presipitasi berwarna putih pada gel agarosa di antara
lubang yang diberi cairan antiserum dan yang diberi cairan perasan tanaman
(Gambar 4).
Gambar 4 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat pada
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT). Kiri: reaksi antiserum
dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi TICV. Kanan: reaksi
antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Terbentuknya garis presipitasi ini membutuhkan waktu 2 hari setelah
dimasukkannya antiserum dan cairan perasan tanaman dalam masing-masing
lubang gel. Tampaknya difusi antibodi maupun antigen (partikel TICV) dalam gel
agarosa berjalan lambat sampai kedua komponen tersebut bertemu dan saling
berikatan membentuk kompleks antigen-antibodi (Ag-Ab). Kompleks Ag-Ab
terjadi sedikit demi sedikit dan terakumulasi dalam jumlah yang memadai sampai
dapat terlihat dengan mata telanjang (Nickel et al. 2004).
Pada sampel cairan perasan tanaman yang tidak mengandung TICV (cairan
perasan tanaman tomat sehat) tidak terbentuk (terlihat) adanya garis presipitasi
(Gambar 4, kanan). Hal ini menandakan bahwa antibodi yang terkandung di
dalam antiserum tersebut hanya mengenali protein CP TICV (dalam bentuk
15
partikel virus) dan tidak mengenali protein lain seperti protein komponen tanaman
misalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antiserum yang diproduksi
dari antigen CP TICV dengan spesifik dapat bereaksi dengan partikel TICV.
Pada DIBA, perubahan warna membran menjadi ungu terjadi pada tempat
cairan perasan tanaman terinfeksi TICV diteteskan, sedangkan pada tempat cairan
perasan tanaman sehat diteteskan tidak terlihat adanya perubahan warna menjadi
ungu (Gambar 5). Perubahan warna menjadi ungu terjadi karena perubahan
substrat NBT+BCIP oleh enzim yang terdapat pada konjugat (Kubota et al. 2011).
Konjugat tersebut telah berikatan pada antiserum TICV yang juga telah berikatan
dengan partikel TICV yang terdapat pada membran (di tempat cairan perasan
tanaman terinfeksi TICV diteteskan).
Gambar 5 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat. Pada
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA). Kiri: reaksi antiserum
dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi TICV. Kanan: reaksi
antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Hal ini membuktikan perubahan warna menjadi ungu merupakan sinyal
terdapatnya ikatan antibodi (antiserum TICV) dengan antigen (TICV dalam cairan
perasan tanaman sakit). Bila dilihat pada daerah membran yang ditetesi cairan
perasan tanaman sehat (Gambar 5), ditemukan bahwa tidak terjadinya perubahan
warna menjadi ungu di tempat tersebut. Seperti yang terjadi pada AGPT,
peristiwa ini menandakan bahwa antiserum TICV hanya dapat berikatan dengan
CP TICV (dalam bentuk partikel virus) dan tidak dengan protein lain.
Kemampuan membedakan antara partikel TICV dengan komponen tanaman
mencerminkan kespesifikan dari antiserum ini.
16
Pada I-ELISA, sinyal positif ditandai dengan terjadinya perubahan warna
substrat menjadi kuning. Substrat p-nitrofenil fosfat yang awalnya bening karena
adanya enzim alkalin fosfatase pada konjugat, maka sedikit demi sedikit berubah
warna menjadi kuning (Nickel et al. 2004) dan dalam jangka waktu 30 menit,
setelah mulai terjadinya reaksi enzimatik tersebut, intensitas warna kuning sudah
cukup teramati dengan mata telanjang (Gambar 6).
Gambar 6 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat pada
Indirect-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA). Duplo kiri:
reaksi antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi
TICV. Duplo kanan: reaksi antiserum dengan cairan perasan tanaman
tomat sehat.
Kecepatan perubahan dan intensitas warna kuning yang terjadi pada substrat
sangat bergantung pada jumlah enzim (konjugat) yang berikatan dengan
antiserum TICV, sedangkan jumlah antiserum yang ada bergantung pada jumlah
partikel TICV yang terdapat pada cairan perasan tanaman tomat (menempel pada
dinding sumuran pelat mikrotiter ELISA). Ketiadaan enzim (konjugat)
menyebabkan substrat tetap bening seperti terlihat pada sumuran pelat mikrotiter
ELISA yang diberi cairan perasan tanaman sehat, dan ini merupakan sinyal
negatif atau menandakan tidak terdapatnya partikel TICV yang menempel pada
dinding sumuran pelat mikrotiter (cairan perasan tanaman tomat) (Gambar 6).
Hasil yang disajikan pada Gambar 6 juga memperlihatkan kespesifikan
antiserum TICV melalui I-ELISA, sinyal positif hanya terjadi pada sampel cairan
perasan dari tanaman terinfeksi TICV dan tidak terjadi pada tanaman sehat.
Dengan demikian, antiserum ini sangat potensial digunakan sebagai sarana deteksi
TICV pada jaringan tanaman tomat.
17
Titer Antiserum TICV
Titer antiserum adalah tingkat pengenceran tertinggi dari antiserum yang
masih memberikan sinyal positif terhadap adanya kompleks Ag-Ab pada uji
serologi tertentu (Noordam 1973). Oleh karena itu, titer suatu antiserum sangat
ditentukan oleh kesensitifan metode serologi yang digunakan. Pada penelitian ini,
untuk menentukan titer antiserum TICV digunakan 3 metode serologi yaitu
AGPT, DIBA dan I-ELISA. Hasil titer antiserum TICV yang digunakan disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Titer antiserum TICV pada pengujian serologi menggunakan metode
agarose gel precipitation test (AGPT), dot blot immunobinding assay
(DIBA) dan indirect-enzyme linked immunosorbent assay (I-ELISA)*
Metode
AGPT
DIBA
I-ELISA
Pengenceran antiserum
Sinyal
1/1
+
1/2
+
1/4
+
1/8
-
1/100
+
1/200
+
1/300
-
1/400
-
1/300
+
1/400
+
1/500
+
1/600
-
*Pengujian sejenis telah dilakukan 3-4 kali dan memberikan hasil yang konsisten.
Pada penelitian ini, antigen yang digunakan adalah partikel TICV pada
tingkat konsentrasi sesuai dengan yang terdapat pada siapan cairan perasan
tanaman terinfeksi TICV yang tidak diencerkan. Pereaksi antiserum terhadap
antigen ini pada tingkat konsentrasi (pengenceran) yang berbeda diamati dengan
18
melihat intensitas sinyal yang terjadi. Seperti yang disajikan pada Tabel 1 terlihat
bahwa titer antiserum berbeda untuk ketiga metode serologi yang digunakan: titer
pada AGPT hanya 1/4, sedangkan pada DIBA adalah 1/200 dan I-ELISA
mencapai 1/500.
Perbedaan titer antiserum pada ketiga metode ini terjadi karena beberapa
hal. Pada AGPT, sinyal yang terlihat merupakan presipitasi molekul kompleks
Ag-Ab yang terakumulasi. Untuk dapat teramati dengan mata telanjang
diperlukan tingkat konsentrasi molekul kompleks Ag-Ab yang cukup tinggi,
sedangkan tingkat akumulasi kompleks Ag-Ab tersebut ditentukan oleh jumlah
antibodi yang terkandung dalam siapan antiserum. Pada pengujian ini, siapan
antiserum dengan pengenceran 1/4 masih memberikan tingkat akumulasi
kompleks Ag-Ab yang masih dapat teramati, namun pada pengenceran antiserum
1/8 sudah tidak terlihat walaupun mungkin akumulasi kompleks Ag-Ab masih
terjadi.
Berbeda dengan AGPT, pada DIBA sinyal positif masih terjadi pada
tingkat pengenceran antiserum yang jauh lebih tinggi yaitu 1/200. Tingkat
sensitivitas DIBA yang jauh melebihi AGPT karena penggunaan substrat. Seperti
sudah dijelaskan di atas bahwa akan terjadi perubahan warna membran menjadi
ungu apabila substrat tersebut bertemu dengan enzim yang terdapat pada
konjugat. Jadi dengan jumlah enzim yang tidak terlalu banyak akan menghasilkan
perubahan warna yang signifikan (dapat disaksikan dengan mata telanjang) jauh
melampaui batas yang diperlukan agar terlihatnya akumulasi kompleks Ag-Ab
secara langsung (dalam bentuk garis presipitasi) pada AGPT. Dengan demikian,
diperlukan jumlah molekul antibodi (antiserum TICV) sebagai cerminan jumlah
konjugat yang terikat lebih sedikit agar sinyal positif terjadi. Atau dengan kata
lain, pada pengenceran antiserum yang lebih tinggi (1/200) DIBA masih dapat
memberikan sinyal positif.
Pada I-ELISA, titer antiserum TICV ditemukan lebih tinggi lagi (1/500)
dibandingkan dengan pada DIBA. Di samping menggunakan substrat sebagai
sarana penguat sinyal, pada ELISA juga dibantu dengan alat pembaca intensitas
perubahan warna kuning substrat (ELISA reader) yang disajikan dalam bentuk
angka. Dengan ELISA reader, perubahan warna menjadi kuning dari substrat
19
yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang masih dapat dikuantifikasi. Sinyal
dikatakan positif apabila nilai absorbans(pada panjang gelombang 405 nm)
sampel (cairan perasan tanaman terinfeksi TICV) mencapai 1.5 kali dari nilai
absorbans kontrol negatif (cairan perasan tanaman sehat) (Dijkstra and De Jager
1998).
Walaupun ELISA mempunyai sensitivitas yang paling tinggi dari ketiga
metode serologi ini, namun tidak berarti harus meninggalkan kedua metode
lainnya. DIBA masih mempunyai keunggulan lainya yaitu lebih sederhana dalam
pelaksanaannya dan sampel bisa langsung diaplikasikan pada membran saat di
lapangan. Namun AGPT adalah satu-satunya metode serologi yang dapat
membedakan isolat virus yang berbeda tipe serologi (serotype)nya.
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Antiserum hasil immunisasi kelinci dengan protein produk ekspresi gen CP
TICV pada Escherichia coli (Kurniawati 2012), dapat secara spesifik bereaksi
dengan partikel TICV yang terdapat pada jaringan tanaman tomat. Sinyal positif
(adanya garis presipitasi pada AGPT, perubahan warna membran menjadi ungu
pada DIBA dan perubahan warna substrat menjadi kuning pada ELISA) sangat
jelas terlihat pada sampel tanaman terinfeksi TICV dan tidak terjadi pada sampel
tanaman sehat. Antiserum ini mempunyai titer yang cukup memadai pada AGPT
(1/4), DIBA (1/200) maupun I-ELISA (1/500) sehingga sangat potensial
digunakan sebagai sarana deteksi TICV. I-ELISA merupakan metode yang terbaik
dilihat dari sisi penggunaan antiserum TICV, pengenceran yang lebih tinggi pada
I-ELISA (jumlah antiserum yang sedikit) masih mampu mendeteksi TICV yang
terdapat pada cairan perasan tanaman tomat.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan pendeteksian TICV pada sampel
tanaman tomat dari berbagai daerah atau wilayah dengan antiserum yang sama
sehingga semakin banyaknya data maka akan terlihat hasil yang lebih konsisten
dan akurat dari antiserum tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abouzid AM, Astua JF, Purcifull DE, Beckam KA, Crawford WE et al. 2002.
Serological studies using polyclonal antisera prepared against the viral coat
protein of four Begomovirus expressed in Escherichia coli.Plant Dis.86(10):
1109-1114.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed. ke-5. New York (US): Academic Press.
Akin MH. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisisus
(Anggota IKAPI).
Andriani A. 2011. Deteksi diferensial Tomato chlorosis virus (ToCV) dan
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dengan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Chang PS, Mclaughlin WA, Tolin SA. 2010. Tissue blot immunoassay and
direct RT-PCR of cucumoviruses and potyviruses from the same Nitro Pure
nitrocellulose membrane. Journal of Virological Methods. 11(7): 345-351.
Cotillon AC, Desbiez C, Bouyer S, Scheibel CW, Gros C, Delecolle B, Lecoq H.
2005. Production of a polyclonal antiserum against the coat protein of
Cucurbit yellow stunting disorder crinivirus expressed in Escherichia coli.
EPPO Bull.3(5): 99-103.
Dalmon A, Bouyer S, Cailly M, Girard M, Lecoq H, Desbiez C, and Jacquemond
M. 2005. First report of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious
chlorosis virus in France. Plant Dis. 89 (11): 1243.
Dalmon A, Fabre F, Guilbaud L, Lecoq H, Jacquemond M. 2008. Comparative
whitefly transmission of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious
chlorosis virus from single or mixed infections. Plant Pathology.58(2) :
221-227.
Dijkstra J, de Jager CP. 1998. Pratical Plant Virology. Protocol and Exercises.
New York (US): Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Duffus JE, Liu HY, Wisler GC. 1994. A new Closterovirus of tomato in
Southern California transmitted by the greenhouse whitefly (Trialeurodes
vaporariorum). Phytopathology. 84(10): 1072-1073.
Duffus JE, Liu HY, Wisler GC. 1996. Tomato infectious chlorosis virus-a new
closterolike transmitted by Trialeurodes vaporariorum. Eur J Plant Pathol.
10(2): 219-226.
Fitriasari ED. 2010. Keefektifan kutu kebul dalam menularkan virus penyebab
penyakit kuning pada tanaman tomat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York
(US): Cold Springer Harbor Laboratory Press.
22
Hartono S, Wijonarko A. 2007. Karakterisasi biologi molekuler Tomato
infectious chlorosis virus penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat di
Indonesia. J Akta Agros. 2: 139-146.
Haryadi D. 2006. Produksi antibodi poliklonal Geminivirus, penyebab penyakit
daun keriting kuning cabai, dan kajian serologinya [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jacquemond M, Verdin E, Dalmon A, Guilbaud L, Gognalons P. 2008.
Serological and molecular detection of Tomato chlorosis virus and Tomato
infectious chlorosis virus in tomato. Plant Pathol.58(2): 210-220.
Kubota K, Usugi T, Tsuda S.
2011.
Production of antiserum and
immunodetection of Cucurbit chlorotic yellows virus, a novel whiteflytransmitted Crinivirus. J Gen Plant Pathol. 77(2): 116-120.
Kurniawati F. 2012. Ekspresi gen coat protein Tomato infectious chlorosis virus
pada Escherichia coli untuk antigen dalam produksi antiserum [tesis].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lin NS, Hsu YH, Hsu HT. 1990. Immunological detection of plant viruses and a
mycoplasma-like organism by direct tissue blotting on nitrocellulose
membranes. Phytophatology. 80(9): 824-828.
Liu HY, Wisler GC, Duffus JE. 2000. Particle lengths of whitefly-transmitted
Criniviruses. Plant Dis. 84(7): 803-805.
Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological
procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a
single wheat curl mite. Plant Dis. 81(3): 250-253.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M. 2002. The family Closteroviridae
revised. Archives of Virol. 147(10): 2039-2044.
Nickel O, Targon MLPN, Fajardo TVM, Machado MA, Trivillin Ap. 2004. Polyclonal
antibodies to the coat protein of Apple stem grooving virus expressed in Escherichia
coli: production and use in immunodiagnosis. Fitopatol Bras. 29(5): 558-562.
Noordam D. 1973. Identification of Plant Viruses Methods and Experiments.
Wageningen (NL): Center for Agricultural Publishing and Documentation.
Nurulita S. 2011. Identifikasi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan
Tomato chlorosis virus (ToCV) melalui reverse transcription-polymerase
chain reaction (RT-PCR) dan sikuen nukleotida [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Somowiyarjo S, Sako N, Nonaka F. 1989. Dot-immunobinding assay for
Zucchini yellow mosaic virus using polyclonal and monoclonal antibodies.
Ann Phytopathol Soc. 55(1): 56-63.
Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane
nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam deteksi TMV dengan
DIBA. J perlind Tan Indo. 1: 1-5.
Tsai WS, Shih SL, Green SK, Hanson P, Liu HY. 2004. First report of the
occurrence of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious chlorosis virus
in Taiwan. Plant Dis. 8(8): 311.
23
Vaira AM, Accotto GP, Vecchiati M, Bracaloni M. 2002. Tomato infectious
chlorosis virus causes leaf yellowing and reddening of tomato in Italy.
Phytoparasitica. 30: 290-294.
Wintermantel WM. 2004. Progress on management and control of Criniviruses
in Tomato. Salinas (AS): CTC Report. hlm 1-3.
Wisler GC, Duffus JE, Liu HY, Li RH. 1998a. Ecology and epidemiology of
whitefly-transmitted Closteroviruses. Plant Dis. 82(3): 270-280.
Wisler GC, Li RH, Liu HY, Lowry DS, Duffus JE. 1998b. Tomato chlorosis
virus: a new whitefly-transmitted, phloem-limited, bipartite closterovirus of
tomato. Phytopathology. 88(5): 402-409.
Wisler GC, Liu H-Y, Klaasen Va, Duffus JE, Falk BW. 1996. Tomato infectious
chlorosis virus has a bipartite genome and induces phloem-limited
inclusions characteristic of the Closteroviruses.Phytophathology.86(6): 622626.
24
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil nilai absorbans I-ELISA pada ELISA reader (BIO-RAD Model 550) dengan panjang gelombang 405 nm a
Waktu
a
Sampel
15
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
30
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
45
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
60
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
1/100
0,137
0,192
0,302
0,302>0,288
Positif
0,183
0,279
0,483
0,483>0,419
Positif
0,383
0,656
1,219
1,219>0,984
Positif
0,445
0,771
1,446
1,446>1,157
Positif
Pengenceran Antiserum TICV
1/200
1/300
1/400
0,123
0,117
0,122
0,155
0,144
0,146
0,201
0,189
0,190
0,2010,498 0,608>0,488
Positif
Positif
Positif
0,321
0,246
0,253
0,478
0,390
0,384
0,791
0,706
0,720
0,791>0,717 0,706>0,585 0,720>0,576
Positif
Positif
Positif
1/500
0,119
0,131
0,160
0,1600,432
Positif
1/600
1/1000
0,113
0,131
0,143
0,165
0,165
0,203
0,165
PADA TANAMAN TOMAT
NI NENGAH PUTRI ADNYANI
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ABSTRAK
NI NENGAH PUTRI ADNYANI. Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus
(TICV) pada Tanaman Tomat. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA.
Penyebaran Tomato infectious chlorosis virus (TICV) yang terbatas pada
jaringan floem ini menyebabkan TICV sangat sukar dipurifikasi untuk
mendapatkan virus murni dalam jumlah yang memadai sebagai antigen. Mungkin
karena alasan ini maka belum ada antiserum komersial yang tersedia untuk
mendeteksi TICV sehingga sampai saat ini deteksi TICV dilakukan hanya melalui
reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR). Kemajuan teknologi
di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode untuk mengekspresikan
suatu gen tertentu, dengan menyisipkannya dalam vektor ekspresi (plasmid) pada
Escherichia coli. Antiserum poliklonal disiapkan untuk selubung protein (coat
protein) (TICV) yang diekspresikan dalam Eschericia coli yang dievaluasi
berdasarkan reaksinya terhadap keberadaan partikel virus dalam jaringan tanaman
tomat. Evaluasi berdasarkan kekhususan reaksi antiserum dan tingkat titer
antiserum dengan menggunakan 3 macam uji serologi yang berbeda, yaitu
agarose gel precipitation test (AGPT), dot blot immunobinding assay (DIBA),
dan indirect enzyme-linked immunosorbent assay (I-ELISA). Antiserum
memberikan sinyal positif yang jelas pada semua uji serologi yang menggunakan
cairan perasan tanaman tomat yang terinfeksi TICV, tetapi tidak ada sinyal positif
yang terdapat dalam uji reaksi antiserum dan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Hal ini yang menunjukkan kekhususan dari antiserum tersebut. Antiserum yang
digunakan mempunyai titer yang cukup memadai yaitu 1/4 pada AGPT, 1/200
pada DIBA, dan 1/500 pada I-ELISA sehingga potensial digunakan sebagai alat
deteksi TICV.
Kata kunci : Tomato infectious chlorosis virus (TICV), antiserum TICV, agarose
gel precipitation test, dot blot immunobinding assay, indirect-enzyme
linked immunosorbent assay.
UJI SEROLOGI Tomato infectious chlorosis virus (TICV)
PADA TANAMAN TOMAT
NI NENGAH PUTRI ADNYANI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Judul Skripsi
: Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pada
Tanaman Tomat
Nama Mahasiswa : Ni Nengah Putri Adnyani
NIM
: A34080013
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Gede Suastika, MSc.
NIP 19620607 198703 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen
Dr. Ir. Abjad Asih Nawangsih, MSi.
NIP 19650621 198910 2 001
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Klungkung kota Semarapura, Bali pada
tanggal 22 Desember 1989 dari pasangan Bapak Drs. Ketut Suyastra, MPd. dan
Ibu Ni Luh Komang Darwati. Penulis merupakan anak kedua dari 2 bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar dan pada tahun yang
sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Proteksi Tanaman
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa perkuliahan
penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma
IPB sebagai anggota Kewirausahaan dan pengurus Divisi Sosial dan Lingkungan.
Penulis juga pernah menjadi panitia Masa Perkenalan Departemen dan Masa
Perkenalan Fakultas Saung Tani 46 tahun 2010, panitia Gebyar Pertanian 2009,
panitia Gebyar Nusantara untuk OMDA Bali tahun 2008-2011, panitia WARTEG
dalam program Kuliah Kerja Profesi 2011 di Kabupaten Tegal dan panitia
Seminar Perhimpunan Entomologi Indonesia tahun 2012. Penulis juga
berkesempatan menjadi peserta IPB Go Field 2010 di Kabupaten Klaten pada
semester 4.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça
yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Uji Serologi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) pada
Tanaman Tomat. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari Februari 2012 sampai bulan Juni
2012.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dengan rasa tulus kepada Dr. Ir.
Gede Suastika, MSc. selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan
bimbingan, masukan, dan saran-saran kepada penulis. Ir. Djoko Prijono, MAgrSc.
selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan saran yang
bermanfaat. Dr. Ir. Wayan Winasa, MSc. selaku dosen pembimbing akademik
yang senantiasa memberikan motivasi. Ketut Suyastra, Ni Luh Komang Darwati,
dan I Wayan Adi Mahardika atas dukungan semangat, perhatian, dan doa yang
telah diberikan kepada penulis selama kuliah di IPB. Keluarga besar di
Laboratorium Virologi Tumbuhan Fitrianingrum Kurniawati, MSi., Sdri. Tuti
Susanti Legiastuti, Bapak Edi Supardi, Rizki Haerunisa, Titin Rahayuningsih,
Yudia N., Lestari F., Hamdayanty, Dita M., Prio S., Arif M., kakak-kakak
Pascasarjana (Aceu Wulandari, Bundo Rita, Ita, Miftah, Melinda, Dwi, Dama,
Nurul, Laras, Rita, Vanty, Asni, Bunda Ifa dan karantina Nurul dan Riri). Temanteman seperjuangan Proteksi Tanaman angkatan 45 yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu, seluruh dosen, staf dan laboran di Departemen Proteksi Tanaman
yang telah banyak membantu. Terima kasih juga untuk Keluarga Mahasiswa
Hindu Dharma IPB angkatan 2008, teman-teman Griya Sandat, IP, dan Puje yang
selalu memberi semangat.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar
skripsi ini bermanfaat untuk ke depannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini
dengan penuh rasa syukur dan bangga.
Bogor, September 2012
Ni Nengah Putri Adnyani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ……………………………………………………… ...
viii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
viii
PENDAHULUAN ......................................................................................
Latar Belakang ...................................................................................
Tujuan Penelitian ...............................................................................
Manfaat Penelitian .............................................................................
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) ..........................................
Antibodi Poliklonal.............................................................................
Uji Serologi Virus Tanaman…………………………………………
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT) ....................................
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA) ......................................
Indirect-Enzyme linked immunosorbent assay (I-ELISA)……….
4
4
5
6
7
7
8
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................
Metode Serologi yang Digunakan…………………………………...
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT) ....................................
Dot blot immunobinding assay (DIBA) ......................................
Indirect-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA) .........
10
10
10
10
11
12
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
Reaksi Antiserum terhadap TICV .....................................................
Titer Antiserum TICV……………………………………………….
13
13
14
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
Kesimpulan…………………………………………………………..
Saran…………………………………………………………………
19
19
19
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
20
LAMPIRAN ................................................................................................
23
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Titer antiserum TICV pada pengujian serologi............................
16
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman tomat memperlihatkan gejala klorosis........................
1
2 Bentuk partikel TICV................................................................
4
3 Serangga vektor Trialeurodes vaporariorum............................
5
4 Reaksi antiserum TICV pada AGPT.........................................
13
5 Reaksi antiserum TICV pada DIBA........................................
14
6 Reaksi antiserum TICV pada I-ELISA.....................................
15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil nilai absorbans I-ELISA pada ELISA reader.....................
24
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) adalah salah satu virus yang
menyebabkan penyakit pada tanaman tomat (Tsai et al. 2004).Virus pada tanaman
tomat ini pertama kali ditemukan di California pada tahun 1993 (Duffus et al.
1996). Setelah itu, TICV dilaporkan telah menyebar ke wilayah penanaman tomat
dunia terutama di berbagai negara di Asia maupun Eropa (Vaira et al. 2002; Tsai
et al. 2004; Dalmon et al. 2005). Di Indonesia, virus ini telah ditemukan di
beberapa sentra produksi tomat seperti di Garut, Cianjur, Bogor, Magelang, dan
Yogyakarta (Hartono dan Wijonarko 2007; Fitriasari 2010).
Infeksi TICV pada tanaman tomat mengakibatkan gejala klorosis yang
sangat parah pada seluruh daun sehingga tanaman tampak kuning, penyakit yang
ditimbulkan ini disebut klorosis atau kuning (Vaira et al. 2002; Gambar 1). Gejala
khas dari penyakit ini adalah terjadinya klorosis pada bagian antara tulang daun
(interveinal chlorosis), dan jika penyakit sudah lanjut beberapa bagian daun
mengalami nekrosis dan menjadi rapuh. Buah tomat yang dihasilkan dari tanaman
sakit berukuran jauh lebih kecil dari normal dan proses pemasakannya terganggu
sehingga hasil panen sangat menurun (Tsai et al. 2004). TICV merupakan salah
satu anggota dari genus Crinivirus, famili Closteroviridae (Wisler et al. 1996),
yang dapat ditularkan melalui serangga vektor kutukebul Trialeurodes
vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae) secara semipersisten (Duffus et al.
1994).
Gambar 1 Tanaman tomat memperlihatkan gejala klorosis di daerah Bedugul,
Tabanan, Bali
2
Salah satu ciri dari anggota Crinivirus yang ditularkan kutukebul adalah
bahwa partikel virus hanya ditemukan pada jaringan floem sehingga konsentrasi
partikel virus pada keseluruhan jaringan tanaman inang sangat rendah (Wisler et
al. 1998). Rendahnya konsentrasi partikel virus ini (pada jaringan tanaman inang)
mempunyai implikasi pada proses deteksinya terutama yang berbasis antiserum.
Penyebarannya yang terbatas pada jaringan floem ini menyebabkan TICV sangat
sukar dipurifikasi untuk mendapatkan virus murni dalam jumlah yang memadai
sebagai antigen (Jacquemond et al. 2008). Mungkin karena alasan ini maka
belum ada antiserum komersial yang tersedia untuk mendeteksi TICV (Suastika
2012 Agustus 19, komunikasi pribadi) sehingga sampai saat ini deteksi TICV
dilakukan hanya melalui reverse transcription-polymerase chain reaction (RTPCR) (Andriani 2011; Nurulita 2011).
Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode
untuk mengekspresikan suatu gen tertentu, dengan menyisipkannya dalam vektor
ekspresi (plasmid) pada Escherichia coli (Abouzid et al. 2002; Cotillon et al.
2005). Kurniawati (2012) telah berhasil mengekspresikan gen protein mantel
(coat protein/CP) dari TICV dalam E. coli. Protein ini juga telah berhasil
dipurifikasi dari biakan sel bakteri dan mencukupi untuk digunakan sebagai
antigen dalam immunisasi kelinci dalam rangka memproduksi antiserum.
Reaksi antiserum (yang telah diproduksi ini) terhadap TICV yang terdapat
dalam jaringan tanaman tomat belum pernah dilakukan. Untuk mengetahui
terjadinya reaksi serologi tersebut, berbagai metode serologi telah tersedia saat ini
seperti agarose gel precipitation test (AGPT) (Noordam 1973), dot blot
immunobinding assay (DIBA) (Kubota et al. 2011), dan indirect-enzyme linked
immunosorbent assay (I-ELISA) (Nickel et al. 2004), sehingga penelitian ini
bertujuan menguji reaksi antiserum TICV yang telah diproduksi pada penelitian
sebelumnya dan mengukur titer antiserum tersebut melalui metode serologi.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji reaksi antiserum TICV yang telah
diproduksi pada penelitian sebelumnya dan mengukur titer antiserum tersebut
melalui metode serologi.
3
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang
deteksi Tomato infectious chlorosis virus pada tanaman tomat dengan tiga metode
serologi pada titer antiserum yang berbeda.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tomato infectious chlorosis virus
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) diklasifikasikan dalam famili
Closteroviridae yang terdiri dari 2 genus yaitu Closterovirus dan Crinivirus
(Martelli et al. 2002). TICV merupakan spesies dari genus Crinivirus. Partikel
TICV memiliki panjang rata-rata 645 nm, modal length 850 nm, dan partikel
terpanjang 1600 nm (Duffus et al. 1996; Liu et al. 2000). Pengamatan Wisler et
al. (1996) terhadap siapan hasil purifikasi dari tanaman tomat sakit menemukan
partikel
virus
yang
berbentuk
seperti
benang
(threadlike)
memanjang
(filamentous), lentur (flexuous), berukuran panjang 850 sampai 900 nm dan lebar
12 nm. Closterovirus ini terdapat pada sitoplasma jaringan floem tanaman
terinfeksi (Duffus et al. 1996).
Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan
lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)
Infeksi TICV pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat menjadi
klorosis yaitu menguning di antara tulang daun (intervenal yellowing). Pada
perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami
nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah
keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan
apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan
proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga
5
sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi
(Duffus et al. 1996); Dalmon et al. 2008). TICV ditularkan dari satu tanaman ke
tanaman lainnya oleh serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera:
Aleyrodidae). Penularan dapat terjadi secara cepat ke seluruh areal pertanaman
karena serangga vektor bersifat aktif. TICV ditularkan oleh serangga vektor secara
semipersisten (Duffus et al. 1994; Wintermantel 2004). TICV tidak dapat
ditularkan secara mekanis tetapi dapat ditularkan dengan serangga vektor.
Memiliki periode persistensi selama 4 hari dan periode makan akuisisi di atas 48
jam. TICV dapat ditularkan dengan waktu yang terbatas yaitu antara 1-9 hari.
(Wisler et al. 1998a, 1998b).
Gambar 3 Serangga vektor Trialeurodes vaporariorum (Hemiptera: Aleyrodidae)
yang mampu menularkan TICV pada tanaman tomat (Kurniawati
2011)
Antibodi Poliklonal
Antibodi merupakan molekul immunoglobulin yang dihasilkan oleh sel
limfosit-B dari hewan yang berdarah panas sebagai tanggapan terhadap suatu
rangsangan molekul asing (antigen). Antibodi banyak dimanfaatkan dalam kajian
imunologi untuk mengidentifikasi suatu patogen. Ikatan antigen dengan antibodi
sangat spesifik, suatu molekul antigen mempunyai kemampuan untuk bereaksi
atau berikatan dengan molekul immunoglobulin tertentu (Haryadi 2006). Antibodi
poliklonal merupakan suatu populasi antibodi yang bereaksi terhadap lebih dari
satu epitop. Antibodi poliklonal diperoleh dari serum darah hewan yang telah
diimunisasi dengan antigen yang mempunyai lebih dari satu epitop. Antibodi
pertama kali diproduksi oleh hewan apabila diinjeksi antigen adalah IgM atau
disebut juga tanggap imun primer. Konsentrasi IgM mencapai puncak pada 10
6
hari setelah imunisasi dan setelah itu konsentrasi IgM akan menurun. Setelah
konsentrasi IgM menurun, IgG akan diproduksi dan mencapai puncak pada 14
hari setelah imunisasi. Apabila injeksi dilakukan lagi maka IgG akan diproduksi
lebih dominan sebagai tanggap imun sekunder (Akin 2006).
Setiap hewan berdarah panas dapat dijadikan sebagai hewan percobaan
untuk produksi antibodi poliklonal. Contohnya kelinci, ayam, burung puyuh,
tikus, kambing, babi, dan mencit paling banyak digunakan untuk membuat
antiserum. Di antara hewan tersebut, kelinci merupakan hewab yang paling
banyak digunakan karena mudah memeliharanya, relatif lebih murah, mempunyai
konsentrasi antibodi yang relatif tinggi, dan memerlukan sedikit antigen untuk
imunisasi (Akin 2006).
Uji Serologi Virus Tumbuhan
Reaksi antara antibodi dan antigen terjadi pada reaksi pertahanan hewan
apabila kemasukan antigen (patogen atau benda asing). Reaksi khas itu dapat juga
terjadi secara in vitro apabila antibodi yang diproduksi hewan itu diisolasi dan
direaksikan dengan antigen yang mengimbasnya. Sifat khas reaksi antibodi dan
antigen dimanfaatkan sebagai alat identifikasi patogen dan diagnosis penyakit
virus pada tanaman. Secara umum, reaksi serologi dapat digambarkan sebagai
berikut: antibodi + antigen
presipitasi (Akin 2006)
Selain untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus penyebab penyakit,
uji serologi juga berguna dalam mengukur konsentrasi virus dalam jaringan
tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor dan untuk
mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Ada beberapa
metode yang digunakan dalam uji serologi antara lain Agarose gel precipitation
test (AGPT), Dot blot immunobinding assay (DIBA), Tissue blot immunosorbent
assay (TBIA), Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan immunoblotting
atau western blotting (Harlow and Lane 1999). Metode serologi yang telah
berhasil dikembangkan untuk mendeteksi virus tumbuhan diantaranya yaitu
metode DIBA digunakan untuk mendeteksi ZYMV (Somowiyarjo et al. 1989).
Abouzid et al. (2002) menggunakan ELISA dan western blotting untuk
mendeteksi beberapa protein selubung virus dari genus Begomovirus. Pengujian
7
presipitasi dengan memanfaatkan reaksi difusi antara antigen dan antibodi telah
berhasil dilakukan oleh Mahmood et al. (1997) untuk mendeteksi Wheat streak
mosaic tritimovirus (WSMV).
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)
AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk
mengukur titer antigen atau antibodi. Walaupun uji ini kurang peka dibanding
dengan uji pengikatan primer namun relatif mudah dilakukan. Pada uji ini
digunakan selapis media agar yang dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur
tersebut masing-masing diisi dengan antigen dan antiserum yang telah
mengandung antibodi pereaksi. Antigen dan antibodi akan berdifusi ke sekitar
sumur secara radial. Apabila antigen bereaksi dengan antibodi spesifik akan
terbentuk kompleks antigen-antibodi yang banyak sehingga kompleks mengendap
dan terjadi presipitasi yang membentuk garis putih. Tetapi bila tidak ada
kesesuaian antara antigen dan antibodi, maka garis presipitasi tidak akan
terbentuk (Haryadi 2006)
Perbandingan antigen dengan antibodi merupakan faktor penting dalam
reaksi presipitasi. Pembentukan presipitasi terbentuk apabila antara konsentrasi
antigen dengan antibodi tercapai keseimbangan. Kondisi antigen berlebihan akan
mengakibatkan melarutnya kembali komplek yang terbentuk yang disebut
postzone effect, sedangkan antibodi berlebih mengakibatkan komplek antigenantibodi tetap ada dalam larutan prozone effect (Haryadi 2006)
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)
DIBA
merupakan
uji
serologi
menggunakan
membran
Nitropure
nitrocellulose (NPN) yang sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus
tanaman. Teknik ini menggunakan gerusan tanaman segar dan diblot pada kertas
membran (Lin et al. 1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang
tinggi, prosedur yang digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk
deteksi rutin dengan jumlah sampel yang banyak (Dijkstra and De Jager 1998).
DIBA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan
dengan jumlah sampel yang ada. Sampel yang akan diblot digerus dengan buffer,
8
kemudian sap tersebut diblot menggunakan pipet mikrotiter pada kertas membran
(Somowiyarjo 1997). Dalam pengerjaannya, teknik DIBA sangat mudah dan
cepat dalam mendeteksi virus selain itu sampel yang sudah diblot pada kertas
membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010).
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini
diperkenalkan. Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase
atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan
seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi. ELISA diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall untuk menganalisis adanya interaksi antigen dengan
antibodi di dalam suatu sampel dengan menggunakan enzim sebagai pelapor.
Menurut Dijkstra and De Jager (1998) beberapa keunggulan ELISA sebagai tes
serologi untuk virus tumbuhan yaitu konsentrasi virus yang dideteksi dapat sangat
rendah. Demikian juga antibodi yang digunakan bisa sangat sedikit. Metode ini
dapat digunakan untuk mendeteksi sampel virus dalam skala besar, dan hasil
deteksi ELISA dapat diukur secara kuantitatif.
Umumnya ELISA dibedakan menjadi 2 jenis yaitu standard (direct) double
antibody sandwich (DAS)-ELISA dan indirect ELISA (I-ELISA). Metode DASELISA diperkenalkan pertama kali oleh Clark dan Adams pada tahun 1977 untuk
deteksi virus tumbuhan dan uji ini pertama kali dilakukan pada pelat 96 sumur
berbahan polystyrene. Tahapan DAS-ELISA yaitu sumuran pelat dicoating
dengan menggunakan antibodi primer. Setelah plat dicuci, sampel virus (antigen)
dimasukkan ke dalam sumuran. Setelah dicuci kembali dengan phosphate buffer
saline tween (PBST), enzim konjugat (antibodi kedua) diisikan ke dalam sumuran.
Setelah dicuci kembali, substrat PNP (p-nitrophenyl phosphate) dimasukkan ke
dalam sumuran untuk pewarnaan (Dijkstra and De Jager 1998). DAS-ELISA
sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, tetapi untuk deteksi virus yang
membutuhkan spesifikasi tinggi DAS-ELISA terkadang bermasalah dalam
mendeteksi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan
serologi antar virus lebih stabil. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi
9
virus dengan jumlah virus yang sangat kecil pada satu benih (individu) atau
serangga vektor. Hal ini untuk membuktikan tingkat sensitivitas metode ELISA
(Dijkstra and De Jager 1998).
10
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai Juni 2012.
Bahan dan Alat
Metode Serologi yang Digunakan dalam Pengujian Antiserum TICV
Pengujian serologi untuk antiserum TICV ini dilakukan menggunakan 3
metode yaitu AGPT, DIBA, dan I-ELISA. AGPT merupakan teknik
imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi.
Walaupun uji ini kurang peka dibanding dengan uji pengikatan primer namun
relatif mudah dilakukan. Pada uji ini digunakan selapis media agar yang
dilubangi. Kemudian ke dalam sumur-sumur tersebut masing-masing diisi dengan
antigen dan antiserum yang telah mengandung antibodi pereaksi (Haryadi 2006).
Metode ini menggunakan sampel daun tomat terinfeksi TICV yang digerus
dengan bufer, antiserum TICV dengan titer 1/1 sampai 1/64 serta kaca preparat
dan 1% gel agarosa (Sigma, USA) sebagai media untuk mendeteksi TICV.
DIBA merupakan uji serologi menggunakan membran nitroselulosa yang
sangat efektif mendeteksi dan mendiagnosa virus tanaman. Teknik ini
menggunakan gerusan tanaman segar dan diblot pada kertas membran (Lin et al.
1990). Metode ini mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi, prosedur yang
digunakan sangat sederhana dan dapat digunakan untuk deteksi rutin dengan
jumlah sampel yang banyak (Djiksa and De Jager 1998). DIBA dilakukan pada
kertas membran nitroselulosa (Sigma, USA) yang ukurannya dapat disesuaikan
dengan jumlah sampel yang ada kemudian antiserum yang digunakan yaitu titer
1/100 sampai 1/1000, plastik gerus sebagai media untuk merendam kertas
membran, skim milk, enzim konjugat, dan substrat untuk setiap tahapan.
ELISA telah banyak mengalami modifikasi sejak pertama kali teknik ini
diperkenalkan. Ciri utama ELISA adalah digunakannya enzim (alkalin fosfatase
atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Uji ini memiliki beberapa keunggulan
11
seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi. Metode menggunakan bufer ekstraksi untuk
menggerus sampel daun yang terinfeksi TICV, pelat mikrotiter ELISA sebagai
media deteksi, titer antiserum yang digunakan 1/100 sampai 1/1000, skim milk,
enzim konjugat, substrat, dan ELISA reader sebagai deteksi secara kuantitatif.
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT)
Reaksi antigen-antibodi pada AGPT dilakukan pada media 1% gel agarosa
(Sigma, USA). Gel dibuat dengan melarutkan 0.1 g agarosa, 0.01 g natrium azida
dalam 5 ml phosphate buffer saline (PBS) pH 7.2 dan 5 ml akuabides yang
dipanaskan dalam microwave selama 1 menit. Agar cair tersebut kemudian
dituangkan di atas kaca preparat setebal sekitar 2 mm dan dibiarkan pada suhu
ruang sampai membeku. Pada agar beku tersebut dibuat 2 lubang berdiameter 4
mm dengan jarak 4 mm untuk diisi dengan reaktan yang berbeda yaitu antigen
dan antibodi masing-masing sebanyak 20 µl. Antigen adalah cairan perasan
tanaman tomat yang positif terserang TICV dan yang sehat masing-masing
sebanyak 0.1 g yang telah dilumatkan dalam 1x PBS dengan perbandingan 1:10
(b/v). Antibodi berupa antiserum TICV yang telah tersedia di Laboratorium
Virologi Tumbuhan IPB yaitu hasil immunisasi kelinci dengan protein produk
ekspresi gen CP TICV pada E. coli (Kurniawati 2012). Untuk pengukuran titer
antiserum, dilakukan reaksi antara antigen tanpa pengenceran (siapan cairan
perasan tanaman tomat) dan antiserum dengan seri pengenceran dupleks mulai 1/1
sampai 1/64. Pengamatan terhadap terbentuknya garis presipitasi reaksi antigenantibodi pada media agarosa diamati setiap hari dan didokumentasikan. Metode
ini dilakukan berdasarkan prosedur dari Noordam (1973).
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA)
Reaksi antigen-antibodi pada DIBA berdasarkan prosedur Kubota et al.
(2011) dilakukan pada membran nitroselulosa (Sigma, USA). Antigen dan
antibodi disiapkan sama seperti pada AGPT. Cairan perasan tanaman tomat
diteteskan pada membran dan dibiarkan pada suhu ruang selama 3 menit sehingga
partikel TICV yang terdapat pada cairan perasan terikat secara nonspesifik pada
membran. Kemudian membran diberi perlakuan sebagai berikut: (1) diinkubasi
dalam Triton X-100 5% (5 ml Triton dalam 100 ml akuades) selama 20 menit; (2)
12
diinkubasi dalam 1x bufer kalium phosphate salin tween (KPST) [0.02 M
K2HPO4, 0.15 M NaCl, pH 7.4 yang di dalamnya mengandung 0.05% Tween 20]
selama 20 menit; (3) diinkubasi dalam antiserum + konjugat (1 ml KPS 1x
ditambah dengan 0.4 g skim milk, 0.2 µl enzim konjugat (Goat anti rabbit-IgG
alkaline phosphatase) dan antiserum TICV) selama 90 menit; (4) dicuci 3 kali
masing-masing dalam 1x tris buffer saline tween dengan 0.05% Tween 20 (TBST)
[Tris-HCl 0.02 M, NaCl 0.15 M, pH 7.5 dan Tween 20] selama 10, 5 dan 5
menit; dan (6) diinkubasi dalam substrat (20 µl nitro blue tetrazolium +
bromochloroindolil phosphate) (NBT+BCIP) (Sigma, USA) dilarutkan dalam 1
ml bufer alkalin fosfatase). Untuk pengukuran titer antiserum, dilakukan reaksi
antara antigen tanpa pengenceran dan antiserum dengan seri pengenceran 1/100
,1/200, 1/300, 1/400, 1/500, 1/600, sampai 1/1000. Pengamatan dilakukan
terhadap adanya perubahan warna membran menjadi ungu pada tempat antigen
diteteskan dimulai beberapa menit setelah inkubasi dalam substrat.
Indirect Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA)
Reaksi antigen-antibodi pada ELISA menurut prosedur dari Nickel et al.
(2004) dilakukan dalam sumuran pelat mikrotiter ELISA. Antigen dan antibodi
disiapkan sama seperti pada AGPT kecuali cairan perasan tanaman dibuat dalam
bufer ekstraksi pH 9.6 [Na2CO5 1.59 g, NaHCO3 0.293 g, NaN3 0.20 g yang
dilarutkan dalam 1 L akuades steril] dengan perbandingan 1:100 (b/v). Pada
sumuran pelat mikrotiter ELISA dimasukkan reaktan 100 µl yang dilakukan
berturut-turut sebagai berikut: (1) inkubasi cairan perasan tanaman pada suhu 4oC
semalam; (2) pencucian dengan 1 x PBST) [NaCl 8 g, Na2HPO4 1.15 g, KH2PO4
0.2 g, KCl 0.2 g, Tween 20 0.5 ml, dan dilarutkan dalam 1 L akuades steril, pH
7.4] sebanyak 5 kali; (3) inkubasi dengan blocking solution (skim milk 0.2 g dalam
10 ml 1x PBST) pada suhu ruang selama 30 menit; (4) pencucian dengan 1x
PBST sebanyak 5 kali; (5) inkubasi dengan enzim konjugat Goat anti rabbit-IgG
alkaline phosphatase (Sigma, USA) yang diencerkan 1:2000 dalam bufer
konjugat pada suhu 37C selama 2 jam; (6) pencucian dengan 1x PBST sebanyak
5 kali; (7) inkubasi substrat (5 mg p-nitrofenil fosfat (Sigma, USA) yang
dilarutkan dalam 5 ml bufer substrat) pada suhu ruang selama 15 menit - 60
13
menit. Pembacaan nilai absorbans dilakukan dengan mesin ELISA reader (Biorad
model 550) pada panjang gelombang 405 nm.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reaksi Antiserum terhadap TICV pada Jaringan Tanaman Tomat
Reaksi antiserum TICV terhadap partikel virus yang terdapat di dalam
jaringan tanaman tomat telah berhasil diamati melalui 3 metode uji serologi yaitu
AGPT, DIBA, dan I-ELISA.
Melalui AGPT, terjadinya reaksi (pengenalan) antibodi (antiserum)
terhadap antigen (partikel TICV dalam cairan perasan tanaman tomat) ditandai
dengan terbentuknya garis presipitasi berwarna putih pada gel agarosa di antara
lubang yang diberi cairan antiserum dan yang diberi cairan perasan tanaman
(Gambar 4).
Gambar 4 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat pada
Agarose Gel Precipitation Test (AGPT). Kiri: reaksi antiserum
dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi TICV. Kanan: reaksi
antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Terbentuknya garis presipitasi ini membutuhkan waktu 2 hari setelah
dimasukkannya antiserum dan cairan perasan tanaman dalam masing-masing
lubang gel. Tampaknya difusi antibodi maupun antigen (partikel TICV) dalam gel
agarosa berjalan lambat sampai kedua komponen tersebut bertemu dan saling
berikatan membentuk kompleks antigen-antibodi (Ag-Ab). Kompleks Ag-Ab
terjadi sedikit demi sedikit dan terakumulasi dalam jumlah yang memadai sampai
dapat terlihat dengan mata telanjang (Nickel et al. 2004).
Pada sampel cairan perasan tanaman yang tidak mengandung TICV (cairan
perasan tanaman tomat sehat) tidak terbentuk (terlihat) adanya garis presipitasi
(Gambar 4, kanan). Hal ini menandakan bahwa antibodi yang terkandung di
dalam antiserum tersebut hanya mengenali protein CP TICV (dalam bentuk
15
partikel virus) dan tidak mengenali protein lain seperti protein komponen tanaman
misalnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa antiserum yang diproduksi
dari antigen CP TICV dengan spesifik dapat bereaksi dengan partikel TICV.
Pada DIBA, perubahan warna membran menjadi ungu terjadi pada tempat
cairan perasan tanaman terinfeksi TICV diteteskan, sedangkan pada tempat cairan
perasan tanaman sehat diteteskan tidak terlihat adanya perubahan warna menjadi
ungu (Gambar 5). Perubahan warna menjadi ungu terjadi karena perubahan
substrat NBT+BCIP oleh enzim yang terdapat pada konjugat (Kubota et al. 2011).
Konjugat tersebut telah berikatan pada antiserum TICV yang juga telah berikatan
dengan partikel TICV yang terdapat pada membran (di tempat cairan perasan
tanaman terinfeksi TICV diteteskan).
Gambar 5 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat. Pada
Dot Blot Immunobinding Assay (DIBA). Kiri: reaksi antiserum
dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi TICV. Kanan: reaksi
antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat sehat.
Hal ini membuktikan perubahan warna menjadi ungu merupakan sinyal
terdapatnya ikatan antibodi (antiserum TICV) dengan antigen (TICV dalam cairan
perasan tanaman sakit). Bila dilihat pada daerah membran yang ditetesi cairan
perasan tanaman sehat (Gambar 5), ditemukan bahwa tidak terjadinya perubahan
warna menjadi ungu di tempat tersebut. Seperti yang terjadi pada AGPT,
peristiwa ini menandakan bahwa antiserum TICV hanya dapat berikatan dengan
CP TICV (dalam bentuk partikel virus) dan tidak dengan protein lain.
Kemampuan membedakan antara partikel TICV dengan komponen tanaman
mencerminkan kespesifikan dari antiserum ini.
16
Pada I-ELISA, sinyal positif ditandai dengan terjadinya perubahan warna
substrat menjadi kuning. Substrat p-nitrofenil fosfat yang awalnya bening karena
adanya enzim alkalin fosfatase pada konjugat, maka sedikit demi sedikit berubah
warna menjadi kuning (Nickel et al. 2004) dan dalam jangka waktu 30 menit,
setelah mulai terjadinya reaksi enzimatik tersebut, intensitas warna kuning sudah
cukup teramati dengan mata telanjang (Gambar 6).
Gambar 6 Reaksi antiserum terhadap TICV dalam jaringan tanaman tomat pada
Indirect-Enzyme Linked Immunosorbent Assay (I-ELISA). Duplo kiri:
reaksi antiserum dengan cairan perasan tanaman tomat terinfeksi
TICV. Duplo kanan: reaksi antiserum dengan cairan perasan tanaman
tomat sehat.
Kecepatan perubahan dan intensitas warna kuning yang terjadi pada substrat
sangat bergantung pada jumlah enzim (konjugat) yang berikatan dengan
antiserum TICV, sedangkan jumlah antiserum yang ada bergantung pada jumlah
partikel TICV yang terdapat pada cairan perasan tanaman tomat (menempel pada
dinding sumuran pelat mikrotiter ELISA). Ketiadaan enzim (konjugat)
menyebabkan substrat tetap bening seperti terlihat pada sumuran pelat mikrotiter
ELISA yang diberi cairan perasan tanaman sehat, dan ini merupakan sinyal
negatif atau menandakan tidak terdapatnya partikel TICV yang menempel pada
dinding sumuran pelat mikrotiter (cairan perasan tanaman tomat) (Gambar 6).
Hasil yang disajikan pada Gambar 6 juga memperlihatkan kespesifikan
antiserum TICV melalui I-ELISA, sinyal positif hanya terjadi pada sampel cairan
perasan dari tanaman terinfeksi TICV dan tidak terjadi pada tanaman sehat.
Dengan demikian, antiserum ini sangat potensial digunakan sebagai sarana deteksi
TICV pada jaringan tanaman tomat.
17
Titer Antiserum TICV
Titer antiserum adalah tingkat pengenceran tertinggi dari antiserum yang
masih memberikan sinyal positif terhadap adanya kompleks Ag-Ab pada uji
serologi tertentu (Noordam 1973). Oleh karena itu, titer suatu antiserum sangat
ditentukan oleh kesensitifan metode serologi yang digunakan. Pada penelitian ini,
untuk menentukan titer antiserum TICV digunakan 3 metode serologi yaitu
AGPT, DIBA dan I-ELISA. Hasil titer antiserum TICV yang digunakan disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Titer antiserum TICV pada pengujian serologi menggunakan metode
agarose gel precipitation test (AGPT), dot blot immunobinding assay
(DIBA) dan indirect-enzyme linked immunosorbent assay (I-ELISA)*
Metode
AGPT
DIBA
I-ELISA
Pengenceran antiserum
Sinyal
1/1
+
1/2
+
1/4
+
1/8
-
1/100
+
1/200
+
1/300
-
1/400
-
1/300
+
1/400
+
1/500
+
1/600
-
*Pengujian sejenis telah dilakukan 3-4 kali dan memberikan hasil yang konsisten.
Pada penelitian ini, antigen yang digunakan adalah partikel TICV pada
tingkat konsentrasi sesuai dengan yang terdapat pada siapan cairan perasan
tanaman terinfeksi TICV yang tidak diencerkan. Pereaksi antiserum terhadap
antigen ini pada tingkat konsentrasi (pengenceran) yang berbeda diamati dengan
18
melihat intensitas sinyal yang terjadi. Seperti yang disajikan pada Tabel 1 terlihat
bahwa titer antiserum berbeda untuk ketiga metode serologi yang digunakan: titer
pada AGPT hanya 1/4, sedangkan pada DIBA adalah 1/200 dan I-ELISA
mencapai 1/500.
Perbedaan titer antiserum pada ketiga metode ini terjadi karena beberapa
hal. Pada AGPT, sinyal yang terlihat merupakan presipitasi molekul kompleks
Ag-Ab yang terakumulasi. Untuk dapat teramati dengan mata telanjang
diperlukan tingkat konsentrasi molekul kompleks Ag-Ab yang cukup tinggi,
sedangkan tingkat akumulasi kompleks Ag-Ab tersebut ditentukan oleh jumlah
antibodi yang terkandung dalam siapan antiserum. Pada pengujian ini, siapan
antiserum dengan pengenceran 1/4 masih memberikan tingkat akumulasi
kompleks Ag-Ab yang masih dapat teramati, namun pada pengenceran antiserum
1/8 sudah tidak terlihat walaupun mungkin akumulasi kompleks Ag-Ab masih
terjadi.
Berbeda dengan AGPT, pada DIBA sinyal positif masih terjadi pada
tingkat pengenceran antiserum yang jauh lebih tinggi yaitu 1/200. Tingkat
sensitivitas DIBA yang jauh melebihi AGPT karena penggunaan substrat. Seperti
sudah dijelaskan di atas bahwa akan terjadi perubahan warna membran menjadi
ungu apabila substrat tersebut bertemu dengan enzim yang terdapat pada
konjugat. Jadi dengan jumlah enzim yang tidak terlalu banyak akan menghasilkan
perubahan warna yang signifikan (dapat disaksikan dengan mata telanjang) jauh
melampaui batas yang diperlukan agar terlihatnya akumulasi kompleks Ag-Ab
secara langsung (dalam bentuk garis presipitasi) pada AGPT. Dengan demikian,
diperlukan jumlah molekul antibodi (antiserum TICV) sebagai cerminan jumlah
konjugat yang terikat lebih sedikit agar sinyal positif terjadi. Atau dengan kata
lain, pada pengenceran antiserum yang lebih tinggi (1/200) DIBA masih dapat
memberikan sinyal positif.
Pada I-ELISA, titer antiserum TICV ditemukan lebih tinggi lagi (1/500)
dibandingkan dengan pada DIBA. Di samping menggunakan substrat sebagai
sarana penguat sinyal, pada ELISA juga dibantu dengan alat pembaca intensitas
perubahan warna kuning substrat (ELISA reader) yang disajikan dalam bentuk
angka. Dengan ELISA reader, perubahan warna menjadi kuning dari substrat
19
yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang masih dapat dikuantifikasi. Sinyal
dikatakan positif apabila nilai absorbans(pada panjang gelombang 405 nm)
sampel (cairan perasan tanaman terinfeksi TICV) mencapai 1.5 kali dari nilai
absorbans kontrol negatif (cairan perasan tanaman sehat) (Dijkstra and De Jager
1998).
Walaupun ELISA mempunyai sensitivitas yang paling tinggi dari ketiga
metode serologi ini, namun tidak berarti harus meninggalkan kedua metode
lainnya. DIBA masih mempunyai keunggulan lainya yaitu lebih sederhana dalam
pelaksanaannya dan sampel bisa langsung diaplikasikan pada membran saat di
lapangan. Namun AGPT adalah satu-satunya metode serologi yang dapat
membedakan isolat virus yang berbeda tipe serologi (serotype)nya.
20
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Antiserum hasil immunisasi kelinci dengan protein produk ekspresi gen CP
TICV pada Escherichia coli (Kurniawati 2012), dapat secara spesifik bereaksi
dengan partikel TICV yang terdapat pada jaringan tanaman tomat. Sinyal positif
(adanya garis presipitasi pada AGPT, perubahan warna membran menjadi ungu
pada DIBA dan perubahan warna substrat menjadi kuning pada ELISA) sangat
jelas terlihat pada sampel tanaman terinfeksi TICV dan tidak terjadi pada sampel
tanaman sehat. Antiserum ini mempunyai titer yang cukup memadai pada AGPT
(1/4), DIBA (1/200) maupun I-ELISA (1/500) sehingga sangat potensial
digunakan sebagai sarana deteksi TICV. I-ELISA merupakan metode yang terbaik
dilihat dari sisi penggunaan antiserum TICV, pengenceran yang lebih tinggi pada
I-ELISA (jumlah antiserum yang sedikit) masih mampu mendeteksi TICV yang
terdapat pada cairan perasan tanaman tomat.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan pendeteksian TICV pada sampel
tanaman tomat dari berbagai daerah atau wilayah dengan antiserum yang sama
sehingga semakin banyaknya data maka akan terlihat hasil yang lebih konsisten
dan akurat dari antiserum tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Abouzid AM, Astua JF, Purcifull DE, Beckam KA, Crawford WE et al. 2002.
Serological studies using polyclonal antisera prepared against the viral coat
protein of four Begomovirus expressed in Escherichia coli.Plant Dis.86(10):
1109-1114.
Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed. ke-5. New York (US): Academic Press.
Akin MH. 2006. Virologi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisisus
(Anggota IKAPI).
Andriani A. 2011. Deteksi diferensial Tomato chlorosis virus (ToCV) dan
Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dengan reverse transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Chang PS, Mclaughlin WA, Tolin SA. 2010. Tissue blot immunoassay and
direct RT-PCR of cucumoviruses and potyviruses from the same Nitro Pure
nitrocellulose membrane. Journal of Virological Methods. 11(7): 345-351.
Cotillon AC, Desbiez C, Bouyer S, Scheibel CW, Gros C, Delecolle B, Lecoq H.
2005. Production of a polyclonal antiserum against the coat protein of
Cucurbit yellow stunting disorder crinivirus expressed in Escherichia coli.
EPPO Bull.3(5): 99-103.
Dalmon A, Bouyer S, Cailly M, Girard M, Lecoq H, Desbiez C, and Jacquemond
M. 2005. First report of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious
chlorosis virus in France. Plant Dis. 89 (11): 1243.
Dalmon A, Fabre F, Guilbaud L, Lecoq H, Jacquemond M. 2008. Comparative
whitefly transmission of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious
chlorosis virus from single or mixed infections. Plant Pathology.58(2) :
221-227.
Dijkstra J, de Jager CP. 1998. Pratical Plant Virology. Protocol and Exercises.
New York (US): Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Duffus JE, Liu HY, Wisler GC. 1994. A new Closterovirus of tomato in
Southern California transmitted by the greenhouse whitefly (Trialeurodes
vaporariorum). Phytopathology. 84(10): 1072-1073.
Duffus JE, Liu HY, Wisler GC. 1996. Tomato infectious chlorosis virus-a new
closterolike transmitted by Trialeurodes vaporariorum. Eur J Plant Pathol.
10(2): 219-226.
Fitriasari ED. 2010. Keefektifan kutu kebul dalam menularkan virus penyebab
penyakit kuning pada tanaman tomat [tesis]. Bogor (ID): Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harlow, Lane D. 1999. Using Antibodies. A Laboratorium Manual. New York
(US): Cold Springer Harbor Laboratory Press.
22
Hartono S, Wijonarko A. 2007. Karakterisasi biologi molekuler Tomato
infectious chlorosis virus penyebab penyakit kuning pada tanaman tomat di
Indonesia. J Akta Agros. 2: 139-146.
Haryadi D. 2006. Produksi antibodi poliklonal Geminivirus, penyebab penyakit
daun keriting kuning cabai, dan kajian serologinya [tesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Jacquemond M, Verdin E, Dalmon A, Guilbaud L, Gognalons P. 2008.
Serological and molecular detection of Tomato chlorosis virus and Tomato
infectious chlorosis virus in tomato. Plant Pathol.58(2): 210-220.
Kubota K, Usugi T, Tsuda S.
2011.
Production of antiserum and
immunodetection of Cucurbit chlorotic yellows virus, a novel whiteflytransmitted Crinivirus. J Gen Plant Pathol. 77(2): 116-120.
Kurniawati F. 2012. Ekspresi gen coat protein Tomato infectious chlorosis virus
pada Escherichia coli untuk antigen dalam produksi antiserum [tesis].
Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lin NS, Hsu YH, Hsu HT. 1990. Immunological detection of plant viruses and a
mycoplasma-like organism by direct tissue blotting on nitrocellulose
membranes. Phytophatology. 80(9): 824-828.
Liu HY, Wisler GC, Duffus JE. 2000. Particle lengths of whitefly-transmitted
Criniviruses. Plant Dis. 84(7): 803-805.
Mahmood T, Hein GL, French RC. 1997. Development of serological
procedures for rapid and reliable detection of Wheat streak mosaic virus in a
single wheat curl mite. Plant Dis. 81(3): 250-253.
Martelli GP, Agranovsky AA, Bar-Joseph M. 2002. The family Closteroviridae
revised. Archives of Virol. 147(10): 2039-2044.
Nickel O, Targon MLPN, Fajardo TVM, Machado MA, Trivillin Ap. 2004. Polyclonal
antibodies to the coat protein of Apple stem grooving virus expressed in Escherichia
coli: production and use in immunodiagnosis. Fitopatol Bras. 29(5): 558-562.
Noordam D. 1973. Identification of Plant Viruses Methods and Experiments.
Wageningen (NL): Center for Agricultural Publishing and Documentation.
Nurulita S. 2011. Identifikasi Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan
Tomato chlorosis virus (ToCV) melalui reverse transcription-polymerase
chain reaction (RT-PCR) dan sikuen nukleotida [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Somowiyarjo S, Sako N, Nonaka F. 1989. Dot-immunobinding assay for
Zucchini yellow mosaic virus using polyclonal and monoclonal antibodies.
Ann Phytopathol Soc. 55(1): 56-63.
Somowiyarjo S, Sumardiyono YB, Suharno. 1997. Pemanfaatan membrane
nitroselulosa untuk pengiriman antigen uji dalam deteksi TMV dengan
DIBA. J perlind Tan Indo. 1: 1-5.
Tsai WS, Shih SL, Green SK, Hanson P, Liu HY. 2004. First report of the
occurrence of Tomato chlorosis virus and Tomato infectious chlorosis virus
in Taiwan. Plant Dis. 8(8): 311.
23
Vaira AM, Accotto GP, Vecchiati M, Bracaloni M. 2002. Tomato infectious
chlorosis virus causes leaf yellowing and reddening of tomato in Italy.
Phytoparasitica. 30: 290-294.
Wintermantel WM. 2004. Progress on management and control of Criniviruses
in Tomato. Salinas (AS): CTC Report. hlm 1-3.
Wisler GC, Duffus JE, Liu HY, Li RH. 1998a. Ecology and epidemiology of
whitefly-transmitted Closteroviruses. Plant Dis. 82(3): 270-280.
Wisler GC, Li RH, Liu HY, Lowry DS, Duffus JE. 1998b. Tomato chlorosis
virus: a new whitefly-transmitted, phloem-limited, bipartite closterovirus of
tomato. Phytopathology. 88(5): 402-409.
Wisler GC, Liu H-Y, Klaasen Va, Duffus JE, Falk BW. 1996. Tomato infectious
chlorosis virus has a bipartite genome and induces phloem-limited
inclusions characteristic of the Closteroviruses.Phytophathology.86(6): 622626.
24
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil nilai absorbans I-ELISA pada ELISA reader (BIO-RAD Model 550) dengan panjang gelombang 405 nm a
Waktu
a
Sampel
15
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
30
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
45
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
60
menit
Bufer ekstraksi
Tanaman sehat
Antigen TICV
1/100
0,137
0,192
0,302
0,302>0,288
Positif
0,183
0,279
0,483
0,483>0,419
Positif
0,383
0,656
1,219
1,219>0,984
Positif
0,445
0,771
1,446
1,446>1,157
Positif
Pengenceran Antiserum TICV
1/200
1/300
1/400
0,123
0,117
0,122
0,155
0,144
0,146
0,201
0,189
0,190
0,2010,498 0,608>0,488
Positif
Positif
Positif
0,321
0,246
0,253
0,478
0,390
0,384
0,791
0,706
0,720
0,791>0,717 0,706>0,585 0,720>0,576
Positif
Positif
Positif
1/500
0,119
0,131
0,160
0,1600,432
Positif
1/600
1/1000
0,113
0,131
0,143
0,165
0,165
0,203
0,165