Performa reproduksi imago jantan ulat sutera liar Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae)

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA
LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae)

WINDY ALVIANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa Reproduksi
Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Leptidoptera: Saturniidae) adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor

Bogor, Oktober 2014
Windy Alvianti
NIM B04104002

ABSTRAK
WINDY ALVIANTI. Performa Reproduksi Imago Jantan Ulat Sutera Liar
Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae). Dibimbing oleh DAMIANA RITA
EKASTUTI dan R. IIS ARIFIANTINI.
Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) termasuk salah satu serangga asli
Indonesia yang memiliki potensi besar dalam bidang industri. Pemenuhan
permintaan bahan baku benang sutera masih mengandalkan ulat sutera yang ada di
alam, oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangbiakan secara intensif dengan
pemanfaatan imago jantan seefektif mungkin dalam perkawinan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mempelajari performa reproduksi imago jantan.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengawinkan satu ekor imago jantan dengan
tiga ekor betina yang berbeda secara bergantian dengan waktu perkawinan selama
6 jam. Parameter yang diamati meliputi volume ejakulat I, II, dan III, jumlah telur
per imago, waktu tetas dan daya tetas telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
frekuensi perkawinan berpengaruh nyata terhadap persentase daya tetas telur.
Nilai optimum dicapai pada perkawinan pertama yaitu 53.58±18.26%. Penurunan

persentase daya tetas telur seiring dengan peningkatan frekuensi kawin imago
jantan. Jumlah telur per imago dan waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh
frekuensi perkawinan dengan rataan jumlah telur per imago 225.86±34.23 butir
dan rataan waktu tetas telur selama 11.20±3.23 hari.
Kata kunci: Attacus atlas, frekuensi perkawinan, imago, performa reproduksi

ABSTRACT
WINDY ALVIANTI. Reproduction Performance of Males Wild Silkworm
Attacus atlas L. Imagoes (Lepidoptera: Saturniidae). Supervised by DAMIANA
RITA EKASTUTI and R. IIS ARIFIANTINI.
Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae) is one of Indonesian native
insect that has a great potential economy. Fulfillment the demand of material for
silk thread still rely that exist in nature, therefore, needs to be done with the use of
intensive breeding male imago as effective as possible in mating. The aim of this
research was to study the reproduction performance of male imagoes of wild
silkworm A. atlas. This research was conducted by allow a male imago mate with
three different females. The time of each mating was 6 hours. The parameters
observed were the first, second and third ejaculate volume, the number of eggs
per imago, egg hatching time and hatchability of eggs. The results showed that
the frequency of mating significantly affect the percentage of egg hatchability. The

optimum value was achieved at first mating was 53.58 ± 18.26%. The percentage
of egg hatchability declined with increasing frequency of mating. The number of
eggs per imago and egg hatching time was not influenced by the frequency of
mating with the average number of eggs per imago 225.86 ± 34.23 eggs and the
average time of hatching eggs was 11.20 ± 3.23 days.
Keywords: Attacus atlas, imago, mating frequency, reproduction performance

PERFORMA REPRODUKSI IMAGO JANTAN ULAT SUTERA
LIAR Attacus atlas L. (Lepidoptera: Saturniidae)

WINDY ALVIANTI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 sampai April
2014 ini ialah reproduksi ulat sutera liar Attacus atlas, dengan judul Performa
Reproduksi Imago Jantan Ulat Sutera Liar Attacus atlas L. (Lepidoptera:
Saturniidae).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Damiana Rita Ekastuti,
MS AIF dan Ibu Prof Dr Dra R Iis Arifiantini, MSi selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan masukan dan saran. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya
penulis sampaikan kepada Ayahanda Alwi, Ibunda Elvi Nova dan adik tersayang
Julio Gumilang serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Penulis juga
mengucapkan terimakasih kepada para sahabat terkasih yang sudah memberikan
dukungan selama penelitian ini serta kepada teman-teman seperjuangan Acromion
FKH IPB angkatan 47.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga
penulis sangat menghargai saran yang diberikan. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014
Windy Alvianti

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)

2

Siklus Hidup

3

Morfologi


3

Feromon

5

Reproduksi Ulat Sutera

5

Penetasan Telur

5

Koleksi Ejakulat

6

Volume Ejakulat


6

METODE

6

Waktu dan Tempat

6

Bahan dan Alat

6

Prosedur

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN


7
11

Simpulan

11

Saran

12

DAFTAR PUSTAKA

12

RIWAYAT HIDUP

15


DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6

Data bobot badan dan volume ejakulat imago jantan A.atlas
Volume ejakulat imago A. atlas tiga kali pengambilan
Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu
tetas telur dan daya tetas telur
Jumlah total telur per imago
Waktu tetas telur
Daya tetas telur

8
9
9
10

10
11

DAFTAR GAMBAR
1

Korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dari
A. atlas jantan

8

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Alam tropis Indonesia memiliki beragam jenis plasma nutfah (sumber
daya hayati, flora dan fauna) dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi
komoditas unggul. Salah satu sumber daya hayati fauna yang dimiliki adalah
berbagai jenis ulat sutera. Pengembangan ulat sutera liar di Indonesia masih
terbatas di sejumlah wilayah antara lain Yogyakarta dan Jawa Barat dengan
produksi yang terbatas pula. Pesatnya perkembangan industri tekstil di Indonesia
menyebabkan semakin tingginya permintaan terhadap bahan baku pembuatan kain
seperti kapas, wool, sutera dan lain-lain. Kokon ulat sutera merupakan bahan baku
benang sutera yang dapat diolah menjadi kain atau pakaian berbahan sutera.
Attacus atlas merupakan salah satu jenis ulat sutera penghasil sutera yang
hidupnya masih di alam bebas. A. atlas tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia di antaranya pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, dan Papua (Peigler 1989). Kain sutera alam merupakan jenis kain yang
banyak diminati oleh masyarakat, karena mempunyai banyak keistimewaan yaitu
memiliki benang yang panjang, warna yang eksklusif dan bervariasi (Awan 2007),
lembut, tidak mudah kusut, tahan panas, dan tidak menimbulkan rasa gatal dan
antibakteri (Awan 2007; Faatih 2005). Selain warna benang sutera yang menarik,
A. atlas memiliki harga jual yang cukup tinggi. Sifat menguntungkan lainnya dari
A. atlas yaitu dapat hidup dalam beberapa generasi dalam setahun (polivotin),
dapat hidup dan makan pada pelbagai inang tanaman atau polifagus (Peigler 1989;
Nazar 1990; Awan 2007; Mulyani 2008) cukup adaptif terhadap perubahan pakan
dan lingkungan baru.
Kokon A. atlas banyak diambil dari alam oleh banyak orang karena
berpotensi sangat besar dari segi ekonomi. Harga kokon ulat sutera A. atlas lebih
mahal dibandingkan dengan kokon Bombyx mori. Harga kokon ulat sutera murbai
(B. mori) adalah Rp 25 000 per kg, sedangkan ulat sutera A. atlas adalah Rp 150
000 per kg. Harga benang sutera B. mori hanya Rp 300 000 per kg sedangkan
benang sutera dari A. atlas harganya mencapai Rp 1 500 000 per kg bergantung
pada kehalusan benang (Solihin dan Fuah 2010).
Perkebunan teh di daerah Purwakarta, Jawa Barat merupakan salah satu
tempat yang memiliki populasi ulat sutera A. atlas yang cukup banyak, tetapi
masih dianggap sebagai hama, sehingga selalu disemprot menggunakan
insektisida. Pemeliharaan ulat sutera A. atlas saat ini masih dilakukan di alam
bebas dengan tingkat keberhasilan sampai menjadi kokon sangat rendah yaitu
hanya sekitar 10 % (Awan 2007). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan
lingkungan yang terdiri dari beberapa faktor antara lain temperatur, jenis pakan,
kelembaban, intensitas cahaya, aliran udara, kecepatan angin, dan curah hujan
yang tidak menguntungkan.
Pemeliharaan di alam pada umumnya mengalami mortalitas yang tinggi
yaitu mencapai 90 % (Awan 2007). Imago betina mampu menghasilkan telur
dalam jumlah yang banyak, akan tetapi di alam populasi A. atlas sangat rendah.
Hal ini terjadi karena 40-80 % telur yang dihasilkan tidak berhasil menetas akibat
terinfeksi parasitoid. Oleh karena itu perlu dilakukan program untuk
meningkatkan produktivitasnya dengan cara domestikasi dan pemeliharaan secara

2
intensif. Pemeliharaan intensif dilakukan dalam kandang dengan mengatur sistem
perkawinan: frekuensi, lama perkawinan; pemberian pakan, jenis, cara dan
frekuensi pemberian pakan. Perjalanan dalam pembudidayaan ulat sutera masih
terbentur berbagai masalah diantaranya rasio imago jantan dan imago betina
dalam satu kandang tidak seimbang dan masa hidup imago jantan lebih singkat,
sehingga perlu dilakukan pengaturan perkawinan untuk efisiensi pejantan dalam
membuahi telur imago betina. Telah dilakukan penelitian tentang lama
perkawinan ulat sutera liar A. atlas oleh Desmawita et al. (2013). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa daya tetas telur tidak berbeda nyata antara
lama perkawinan 6 jam, 12 jam dan 24 jam. Bila lama perkawinan cukup 6 jam,
maka kemungkinan imago jantan dapat digunakan lagi untuk mengawini imago
betina lainnya, karena populasi imago betina lebih banyak dibandingkan imago
jantan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari performa reproduksi imago
jantan ulat sutera liar A. atlas dan mengamati pengaruh frekuensi perkawinan
terhadap jumlah telur per imago betina, waktu tetas dan daya tetas telur.

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus atlas)
Attacus atlas merupakan salah satu penghasil bahan sutera yang dapat
dimanfaatkan untuk industri tekstil sebagaimana anggota genus Attacus lainnya. A.
atlas memiliki ukuran tubuh yang besar, berwarna coklat kelabu, panjang sayap
terentang 13-15 cm pada jantan dan 18-20 cm pada betina. Kepompong berwarna
kelabu dengan panjang 8-9 cm dan lebarnya 3-4 cm (Kalshoven 1981).
Ulat sutera liar ini banyak ditemukan di wilayah Asia, terutama Asia
Tenggara, Asia bagian Selatan, dan Asia Timur (Peigler 1989). Penyebaran
serangga ini hampir meliputi seluruh wilayah di Indonesia di antaranya Sumatera,
Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Klasifikasi A. atlas
menurut Peigler (1989) adalah sebagai berikut:
Kingdom
Filum
Sub Filum
Kelas
Ordo
Sub Ordo
Super Famili
Famili
Sub Famili
Genus
Spesies

: Animalia
: Artropoda
: Atelocerata
: Insecta
: Lepidoptera
: Ditrysia
: Bombycoidea
: Saturniidae
: Saturniinae
: Attacus
: A. atlas (Linnaeus)

3
Attacus atlas termasuk hewan polivoltin (memiliki lebih dari dua generasi
per tahun) dan makan pada pelbagai inang tanaman atau polifagus (Peigler 1989;
Awan 2007; Mulyani 2008). Menurut Kalshoven (1981) larva A. atlas merupakan
ulat pemakan daun-daunan seperti daun sirsak (Annona muricata L), jeruk (Citrus
sinensis L), dadap (Erythrina variega L), alpokat (Persea americana Mill), teh
(Camelia sinensis), cengkeh (Syzygium aromaticum), mangga (Mangifera indica
L), dan tanaman dikotil lainnya.
Siklus Hidup
Attacus atlas merupakan serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna yang biasa disebut holometabola yang mengalami 4 fase yaitu telur,
larva, pupa, dan imago. Waktu yang dibutuhkan A. atlas untuk menyelesaikan
sekali daur hidupnya, mulai dari telur sampai imago bertelur kembali adalah 6488 hari. Masa inkubasi telur yaitu 10-12 hari. Stadium larva berlangsung dalam 6
instar. Instar pertama berlangsung 5-8 hari, instar ke-2 selama 5-7 hari, instar ke-3
sampai instar ke-4 selama 4-6 hari, instar ke-5 selama 6-8 hari, dan instar ke-6
yang membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan instar lainnya yakni
berlangsung selama 10-12 hari. Selanjutnya larva akan memasuki stadium pupa
yang secara morfologis dan fisiologis berbeda dengan stadium lainnya. Lama
periode pupa adalah 20-29 hari. Kemunculan imago betina dan jantan masingmasing adalah 27-29 hari dan 20-28 hari (Awan 2007).
Morfologi
Telur
Telur dihasilkan oleh betina, baik yang telah kawin ataupun yang tidak.
Telur yang menetas menjadi larva yaitu telur yang dibuahi, sedangkan imago
betina yang tidak melakukan perkawinan menghasilkan telur yang steril. Secara
umum telur A. atlas berbentuk oval agak datar atau gepeng dengan ukuran
panjang 2.5-2.7 mm, lebar 2.1-2.3 mm dan tinggi 2.1 mm (Peigler 1989).
Perilaku imago betina meletakkan telur-telurnya yaitu dengan melekatkan
secara berkelompok atau terpisah. Telur-telur yang berkelompok jumlahnya
bervariasi, dalam satu kelompok biasanya mencapai lebih dari 10 butir. Jumlah
telur yang dihasilkan berbeda-beda bergantung pada hari oviposisinya. Jumlah
telur terbanyak dihasilkan pada hari oviposisi ke-1 dan ke-2, dengan masa
inkubasi telur antara 8-13 hari (Mulyani 2008; Adria dan Idris 1997). Menurut
Desiana (2008), rata-rata jumlah telur per induk adalah 160 butir, sementara
Mulyani (2008) melaporkan jumlah telur yang dihasilkan imago betina fertil
berkisar antara 126-380 butir dan dari betina infertil antar 80-380 butir. Telur
yang fertil berwarna coklat gelap, sedangkan telur yang infertil berwarna kuning
pucat. Hasil penelitian Desiana (2008) menunjukkan bahwa daya tetas pada hari
oviposisi ke-1 dan ke-2 adalah 41.69 % dan 10.98 %. Telur yang belum menetas
dapat disimpan pada suhu ruang tidak boleh kurang dari 15 °C (Butterfly Arc
2003).

4
Pupa
Larva akan mulai mengeluarkan cairan sutera yang diletakan pada wadah
pemeliharaan atau pada daun yang akan digunakan untuk meletakkan kokon.
Kokon yang terbentuk sempurna berbentuk elips, ujungnya membulat dan pada
ujung anteriornya terdapat celah. Kokon yang baru terbentuk masih lemah dan
sedikit basah, kokon akan semakin kuat dan kering oleh pengaruh sinar matahari
dan gerakan angin (Awan 2007). Warna kokon bervariasi dari orange hingga
coklat tua, pada umumnya berwarna coklat muda, tekstur permukaan kesat dan
terkadang mengkerut (Peigler 1989). Panjang kokon mencapai 3.5-4.5 cm dan
lebar 0.8-1.2 cm (Nazar 1990).
Fase pupa merupakan tahapan paling penting sepanjang metamorfosis
larva menjadi imago. Pada fase ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan
organ-organ imago antara lain sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Pada
tahap ini diharapkan tidak ada gangguan agar proses organogenesis dapat berjalan
dengan sempurna, karena kondisi lingkungan
sangat berpengaruh pada
perkembangan pupa, gangguan dapat menyebabkan kegagalan pembentukan
organ bahkan menyebabkan kematian (Awan 2007). Pupa A. atlas memiliki
panjang 35-55 mm (Peigler 1989) dengan pupa bertipe obteka, berwarna coklat
hingga coklat tua (Awan 2007).
Imago
Imago keluar melalui lubang di ujung anterior kokon. Imago yang baru
keluar biasanya masih dalam keadaan basah oleh cairan yang berwarna putih
keruh dengan sayap yang belum mengembang sempurna. Imago baru ini akan
mencari ranting atau dahan dan mengambil posisi menggantung dengan abdomen
berada di bawah, sehingga memudahkan imago untuk mengembangkan sayapnya.
Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan mengeras
dan cukup kuat digunakan terbang (Awan 2007). Imago jantan memiliki sayap
dengan ujung yang lebih runcing (Peigler 1989) dengan panjang rentang sayap
17.5-20 cm dengan rataan 19.05 cm, sedangkan panjang rentang sayap imago
betina adalah 19-22.5 cm dengan rataan 20.10 cm (Mulyani 2008). Panjang antena
imago jantan adalah 23-30 mm dengan lebar 10-13 mm, sedangkan panjang
antena imago betina adalah 17-21 mm dengan lebar 3mm (Peigler 1989). Antena
pada imago jantan berfungsi untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan oleh
imago betina (Mulyani 2008).
Imago pada fase ini tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang
singkat (Williams et al. 2000). Imago A. atlas memiliki umur yang singkat, imago
jantan berumur 2-4 hari sedangkan imago betina berumur 2-10 hari (Awan 2007).
Perkawinan dimulai saat imago betina mengeluarkan feromon, sehingga akan
terdeteksi oleh imago jantan, kemudian segera mencari dan mendatangi imago
betina. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh dari dinihari hingga
menjelang malam hari. Beberapa jam setelah melakukan perkawinan, imago
betina akan segera bertelur (Awan 2007). Tingkah laku imago betina dalam
meletakkan telur-telurnya yaitu meletakkan secara berkelompok, terpisah
(Mulyani 2008) atau meletakkan telurnya berjejer di bawah daun dan kadangkadang di ranting, wadah pemeliharaan dan tempat lain yang dianggap cocok.
Imago betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100-360 butir (Awan 2007).

5
Feromon
Feromon merupakan senyawa kimia yang dilepaskan oleh organisme ke
dalam lingkungan untuk berkomunikasi dengan individu lainnya pada satu spesies.
Feromon berfungsi sebagai penanda adanya bahaya, penunjuk jalan, pemberi
perintah (pada lebah), dan sebagai ajakan kawin. Serangga memiliki alat
penciuman berupa antena dan maxillary pulp yang berfungsi untuk menangkap
sinyal kimia di udara menjadi sinyal listrik yang akan memberikan informasi
mengenai bau yang ada di lingkungan. Antena pada ngengat memiliki sensiliasensilia yang menyelubungi permukaan antena yang berfungsi untuk menyerap
bau dan mencegah kontak langsung Olfactory Receptor Neuron (ORN) dengan
lingkungan luar (Sato dan Touhara 2008).
Kondisi lingkungan dengan udara yang tidak bergerak atau tidak berangin,
ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 5 cm tetapi tidak
dapat menemukannya pada jarak 7 cm, sedangkan pada udara yang bergerak atau
berangin, ngengat jantan dapat menemukan ngengat betina pada jarak 25- 150 cm
(Plettner 2002).
Reproduksi Ulat Sutera
Masa inkubasi telur berkisar antara 2-10 hari (Awan 2007). Betina A. atlas
mampu memproduksi telur 326-426 butir dalam 5 hari (Yusuf 2009). Desiana
(2008) melaporkan bahwa persentase penetasan paling tinggi ditunjukkan pada
hari oviposisi ke-1 dan ke-2 sebesar 41.69% dan 10.98%. Embrio A. atlas telah
mencapai tahap organogenesis pada hari ke-5 dan organogenesis dilanjutkan
sampai hari ke-7 sehingga telur akan menetas saat 8-13 hari (Adria dan Idris 1997;
Mulyani 2008; Yusuf 2009). Persentase telur yang menetas mencapai nilai
tertinggi pada telur yang dioviposisikan di hari pertama dan menurun seiring
bertambahnya hari oviposisi, semakin bertambahnya hari oviposisi maka jumlah
sperma yang tersedia pada imago betina semakin sedikit (Rianto 2010).
Penetasan Telur
Peigler (1989) menyatakan bahwa imago A. atlas memiliki
perkembangbiakan yang tinggi. Perkembangbiakan dan kesuburan imago betina
merupakan faktor penentu dalam keberhasilan industri pesuteraan, terkait dengan
produksi bahan dasar sutera yang lebih banyak apabila keberhasilan hidup
mencapai kokon, cukup tinggi (Faruki 2005).
Inkubasi adalah masa perawatan telur ulat sutera sampai menetas. Tujuan
dari penetasan agar telur ulat sutera dapat menetas dengan baik dan merata dengan
persentase daya tetas di atas 90% (Samsijah dan Andadari 1992). Penetasan telur
Bombyx mori dapat dilakukan dengan pemberian cahaya dan penggelapan.
Cahaya akan berpengaruh kepada voltinisme dari tahap pembentukan kaki sampai
tahap pigmentasi kepala. Penggelapan telur B. mori dilakukan pada 2 hari sebelum
telur menetas (Atsmosoderajo et al. 2000). Penggelapan secara total pada kotak
penetasan bertujuan agar telur dapat menetas secara serentak sehingga ukuran
ulat-ulat tersebut akan seragam (Sunanto 1997).

6
Koleksi Ejakulat
Ejakulat tidak dapat langsung dikoleksi pada saat imago baru keluar dari
kokon. Hal ini disebabkan imago membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan
lingkungan dan juga memerlukan waktu untuk melakukan spermatogenesis.
Interval waktu pengkoleksian imago A. atlas tidak sebanyak waktu yang
dibutuhkan oleh hewan mamalia seperti sapi dan kambing yang membutuhkan
waktu interval koleksi semen berhari-hari. Menurut Pramono (2014) 14% imago
mengeluarkan ejakulat pada 2 jam pertama setelah keluar dari kokon dan koleksi
ejakulat dapat dilakukan 100% imago pada 4, 6 dan 8 jam setelah keluar dari
kokon. Habisnya produksi ejakulat di dalam imago disebabkan pada fase pupa dan
dewasa, imago tidak makan lagi sehingga nutrien terbatas.
Volume Ejakuat
Volume ejakulat yang dihasilkan oleh imago jantan A. atlas dipengaruhi
oleh faktor proses ejakulasi. Menurut Feradis (2010) proses ejakulasi dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa faktor internal diantaranya hormonal,
metabolisme dan keturunan. Faktor eksternal yang sangat berpengaruh yaitu
lingkungan. Menurut Walidaini (2014), faktor umur imago mempengaruhi volume
ejakulat. Imago yang berusia lebih dari satu hari biasanya sudah mengalami
ejakulasi sebelumnya sehingga pada saat dikoleksi volume ejakulatnya hanya
sedikit. Volume ejakulat dapat dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi
saat masa larva, ukuran testis dan besar atau kecilnya ukuran tubuh imago jantan
(Rabusin 2014). Volume ejakulat ulat sutera liar A. atlas jauh lebih besar daripada
ayam. Ayam hanya memiliki kisaran volume ejakulat 0.05-0.08 ml (Hanum 2001).
Rataan volume ejakulat A. atlas jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan
dengan rataan volume ejakulat ikan mas dan patin masing-masing 1.27±0.47 ml
dan 1.23±0.21 ml (Japet 2011). Rerata volume ejakulat A. atlas juga lebih sedikit
dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh kambing yaitu 1.42 ml (Yusuf et al.
2005).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Mei 2014 di Laboratorium
Metabolisme Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah kokon berisi pupa ulat sutera liar A. atlas.
Alat yang digunakan adalah kandang kain kasa ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm,
gunting, cawan petri, wadah pemeliharaan, microtube, pipet ukur dan timbangan
digital.

7
Prosedur
Pengambilan Kokon
Kokon ulat sutera liar diperoleh dari perkebunan teh di Purwakarta, Jawa
Barat. Kokon disimpan dalam kandang kain kasa berukuran 50 cm x 50 cm x
50cm.
Sexing Pupa
Sexing dilakukan dengan cara kokon dibuka sedikit menggunakan gunting
untuk melihat bentuk calon antena pada fase pupa. Pupa yang memiliki antena
kecil akan mejadi imago betina, sedangkan pupa yang memiliki antena besar akan
menjadi imago jantan. Kokon yang sudah di-sexing ditempatkan pada kandang
kain kasa yang terpisah.
Mengukur Volume Ejakulat dan Penimbangan Bobot Badan
Imago jantan ditimbang menggunakan timbangan digital dan dicatat bobot
badannya. Imago yang sudah ditimbang dikoleksi semennya dengan cara
memegang pangkal sayap imago dan bagian caudal dari abdomen dimasukkan ke
dalam microtube. Koleksi semen dilakukan sebanyak 3 kali dan sebelum koleksi
selalu dilakukan penimbangan bobot badan. Perlakuan ini diulangi sebanyak 5
kali.
Pengawinan Imago
Imago jantan yang digunakan pada tahap perkawinan ini bukanlah imago
yang sudah dikoleksi ejakulatnya, akan tetapi menggunakan imago jantan yang
berbeda. Imago yang sudah keluar dari kokon dipisahkan pada kandang yang
berbeda untuk segera dikawinkan. Satu ekor imago jantan dikawinkan dengan 3
ekor imago betina yang berbeda secara bergantian dengan waktu kawin masingmasing selama 6 jam. Perlakuan ini diulangi sebanyak 5 kali. Imago betina yang
telah kawin dipisahkan dari imago jantan untuk selanjutnya dipelihara dalam
wadah plastik yang dialasi kertas untuk oviposisi (peletakkan telur). Faktor yang
diamati adalah: volume setiap ejakulat (I, II dan III), jumlah telur imago betina,
waktu tetas dan daya tetas telur.
Analisis Data
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 3 x 5 sebagai
perlakuan adalah status perkawinan I, II dan III. Tiap perlakuan diulang sebanyak
5 kali. Data dianalisis dengan analisis sidik ragam atau analysis of variance
(ANOVA). Bila perlakuan memberikan pengaruh nyata, data diuji lanjut dengan
uji Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hubungan antara bobot badan dengan performa reproduksi imago jantan
dipaparkan pada Tabel 1. Rerata bobot badan imago jantan yang didapatkan
adalah 3.71±0.36 g berkisar antara 3.15-4.1 g. Nilai ini sedikit berbeda dengan
bobot imago jantan pada penelitian yang dilakukan oleh Walidaini (2013) yaitu

8
1.59±0.33 g. Hal ini disebabkan Walidaini melakukan penghitungan bobot badan
1 hari setelah imago keluar yang memungkinkan imago sudah mengeluarkan
ejakulat sebelum penimbangan, sedangkan pada penelitian ini penimbangan bobot
badan dilakukan beberapa saat setelah imago keluar. Rerata total ejakulat yang
dihasilkan adalah 1.32±0.64 ml yang merupakan 34.45±1.49% dari bobot badan
imago. Jumlah volume semen pada tubuh imago dipengaruhi oleh nutrien yang
dimiliki oleh imago saat menjadi larva, karena untuk menghasilkan semen
digunakan cadangan makanan selama masa larva tersebut. Keterbatasan nutrien
pada imago ini dikarenakan pada fase pupa dan dewasa tidak makan lagi. Korelasi
bobot badan dengan volume ejakulat mempunyai persamaan Y= 1.732X-5.105
dan berkorelasi sangat kuat (R=0.969). Karena korelasinya sangat kuat maka
persamaan tersebut dapat digunakan untuk menduga total volume ejakulat bila
bobot badan diketahui. Dari persamaan tersebut tampak bahwa semakin berat
bobot imago maka akan semakin banyak volume semen yang dihasilkan. Pola
korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dapat dilihat pada
Gambar 1.
Tabel 1 Data bobot badan dan volume ejakulat imago jantan A.atlas
% ejakulat terhadap
Hewan
BB (g)
Total ejakulat (ml)
BB
1
3.15
0.4
12.69
2
3.6
0.9
25.00
3
3.8
1.6
42.10
4
3.9
1.8
46.15
5
4.1
1.9
46.34
Rerata±SD
3.71±0.36
1.32±0.64
34.45±1.49

Gambar 1 Korelasi antara bobot badan dengan volume total ejakulat dari A.atlas
jantan Y= 1.732X-5.105
Total volume ejakulat yang dihasilkan diperoleh dari 3 kali pengambilan
secara langsung. Volume semen tiap ejakulasi dapat dilihat pada Tabel 2.

9
Tabel 2 Volume ejakulat imago A. atlas tiga kali pengambilan
Ejakulat (ml)
Hewan
Total ejakulat
I
II
III
1
0.2
0.2
0.0
0.4
2
0.5
0.2
0.2
0.9
3
0.9
0.6
0.1
1.6
4
1.1
0.6
0.1
1.8
5
1.1
0.7
0.1
1.9
Rerata±SD
0.76±0.39
0.46±0.24
0.10±0.07
1.32±0.64
Rerata volume ejakulat yang didapatkan adalah 0.76±0.39 ml pada
ejakulasi ke-I, 0.46±0.24 ml pada ejakulasi ke-II dan 0.10±0.07 ml pada ejakulasi
ke-III dan rerata total volume ejakulat yang didapat adalah 1.32±0.64 ml. Volume
semen yang dihasilkan semakin sedikit seiring terjadinya peningkatan ejakulasi.
Hasil berbeda didapat pada penelitian Pramono (2014) yaitu rerata volume semen
pada dua jam ke-I sampai ke-VI yaitu 0.32±0.27 ml, 0.57±0.38 ml, 0.33±0.19 ml,
0.24±0.14 ml, 0.19±0.10 ml dan 0.06±0.01 ml dan rerata volume total ejakulat
sebanyak 1.71±0.50 ml. Pengoleksian semen tanpa memberikan selang waktu
menunjukkan jumlah volume ejakulat lebih sedikit dibandingkan dengan
memberikan selang waktu saat pengambilan. Hal ini dikarenakan imago
membutuhkan waktu dalam proses spermatogenesisnya walaupun tidak sebanyak
yang dibutuhkan pada hewan mamalia. Berbeda pula pada penelitian Muttaqien et
al. (2014) yang melakukan koleksi ejakulat hanya satu kali pengambilan yaitu
0.42±0.47 ml.
Persamaan antara bobot badan dan volume ejakulat (Y= 1.732X-5.105)
dapat digunakan untuk menduga volume ejakulat yang dihasilkan. Misalnya
imago jantan dengan bobot badan 3.5 g dapat diduga menghasilkan semen
sebanyak 0.96 ml. Dengan memanfaatkan data Pramono (2014), maka dapat
diketahui jumlah sel spermatozoa yang dihasilkan imago berbobot 3.5 g adalah
sebanyak 1095 x 106 sel spermatozoa.
Imago A. atlas jantan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebanyak
5 ekor, dan 4 ekor di antaranya berhasil melakukan perkawinan sebanyak 3 kali,
sedangkan 1 imago hanya berhasil melakukan perkawinan sebanyak 2 kali.
Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu tetas dan
daya tetas telur ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Pengaruh frekuensi perkawinan A. atlas terhadap jumlah telur, waktu
tetas dan daya tetas telur
Perkawinan
Parameter
I
II
III
a
a
JT (butir/ imago)
231.80±16.26
230.20±52.21
215.60±30.20a
WT (hari)
11.60±0.89a
11.60±0.54a
10.40±5.85a
DTT (%)
53.58±18.26b
38.20±5.21ab
25.93±19.63a
JT: Jumlah telur, WT: Waktu tetas telur, DTT: Daya tetas telur. Angka-angka pada baris yang
sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% ( uji selang
berganda Duncan)

10
Jumlah telur per induk tidak dipengaruhi oleh frekuensi perkawinan. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel 3, jumlah telur pada perkawinan ke-I, ke-II dan
ke-III tidak berbeda nyata. Jumlah telur yang dihasilkan pada penelitian ini 215231 butir tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Awan (2007) yaitu 100-360
butir. Lama perkawinan yang digunakan pada penelitian ini yaitu 6 jam, hal ini
berdasarkan pada penelitian Desmawita et al. (2013) yang menyatakan jumlah
telur dari hasil perkawinan 6, 12 dan 24 jam tidak berbeda nyata, sehingga imago
jantan dapat dimanfaatkan untuk perkawinan selanjutnya Semakin banyak telur
yang dihasilkan setelah perkawinan, maka semakin banyak pula calon bibit yang
akan menetas. Singh et al. (2003) menyatakan bahwa proses peneluran tergantung
pada faktor intrinsik dan ekstrinsik, seperti hormon, fisik, tingkah laku dan
lingkungan. Jumlah telur juga dipengaruhi oleh sifat betina (maternal effect) dan
kualitas pakan yang dikonsumsi imago saat masih menjadi larva. Jumlah total
telur per imago dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah total telur per imago
Perkawinan

Ulangan (n)

Rerata±SD (butir)

Kisaran (butir)

I
II
III

5
5
5

231.80±16.26
230.20±52.21
215.60±30.20

211-249
162-280
184-251

Waktu tetas telur tidak dipengaruhi oleh frekuensi perkawinan. Hasil
penelitian menunjukkan waktu tetas telur pada perkawinan ke-I adalah 11.60±0.89
hari, perkawinan ke-II: 11.60±0.54 hari dan perkawinan ke-III: 10.40±5.85 hari.
Waktu tetas telur selama penelitian terlihat tidak berbeda nyata, hal ini dapat
mempermudah peternak dalam pemeliharaan untuk produksi bahan dasar sutera.
Pada penelitian sebelumnya (Barus 2013) waktu tetas telur menunjukkan hasil
yang seragam yaitu 9 hari. Waktu tetas telur yang beragam ditunjukkan pada
penelitian Adria dan Idris (1997) yaitu 7-13 hari dan penelitian Awan (2007) yaitu
10-12 hari. Waktu tetas telur disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Waktu tetas telur
Perkawinan

Ulangan (n)

Rerata±SD (hari)

Kisaran (hari)

I
II
III

5
5
5

11.60±0.89
11.60±0.54
10.40±5.85

10-12
11-12
12-14

Intensitas cahaya yang tidak rata merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya perbedaan waktu tetas telur (Sunanto 1997). Faktorfaktor lain yang memengaruhi waktu tetas telur adalah suhu lingkungan saat
inkubasi berlangsung, hormon ekdison dan juvenile dan aktivitas enzim
(Triplehorn dan Johnson 2005). Menurut Yusuf (2009) waktu tetas telur
dipengaruhi oleh perbedaan kecepatan dalam proses pembentukan embrio setiap
individu. Proses perkembangan embrio telah sempurna pada hari ke-6 dan ke-7
namun larva belum mampu membuka cangkang telur. Waktu tetas telur perlu

11
diketahui agar mempermudah peternak pada tahap persiapan untuk pemeliharaan
larva di antaranya penyediaan pakan, tempat pemeliharaan dan kondisi
lingkungan yang sesuai.
Daya tetas telur dipengaruhi oleh frekuensi imago jantan mengawini betina.
Persentase daya tetas telur pada perkawinan ke-I, ke-II dan ke-III oleh jantan
menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Semakin banyak frekuensi imago jantan
mengawini betina maka akan semakin kecil persentase daya tetas telur yang
dihasilkan oleh betina. Pada penelitian ini persentase daya tetas telur pada
perkawinan ke-I oleh imago jantan adalah 53.58±18.26%, perkawinan ke-II:
38.20±5.21% dan perkawinan ke-III: 25.93±19.63%. Hal ini berkaitan dengan
volume ejakulat yang dihasilkan oleh imago jantan (Tabel 2). Semakin sedikit
ejakulat yang dihasilkan maka semakin sedikit pula peluang telur yang bisa
dibuahi oleh spermatozoa, sehingga daya tetas ikut menurun. Persentase berbeda
ditunjukkan pada penelitian Adria dan Idris (1997) yaitu 72.06% untuk
perkawinan di alam. Perkawinan di alam dengan waktu perkawinan sekitar 24 jam,
persentase daya tetas telur yang dihasilkan lebih tinggi karena waktu perkawinan
di alam lebih lama dan satu pejantan hanya mengawini satu betina.
Tabel 6 Daya tetas telur
Perkawinan

Ulangan (n)

Rerata±SD (%)

Kisaran (%)

I
II
III

5
5
5

53.58±18.26
38.20±5.21
25.93±19.36

40.18-85.78
32.09-45.45
0-54.34

Proses penetasan telur dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat
penyimpanan telur, hormon ekdison dan juvenile (Triplehorn dan Johnson 2005).
Selain itu menurut Barus (2013) dalam penelitiannya menyatakan lama
perkawinan berpengaruh terhadap persentase daya tetas telur. Semakin lama
waktu perkawinan maka semakin banyak kesempatan imago betina menerima
spermatozoa untuk disimpan. Banyaknya spermatozoa yang tersimpan akan
meningkatkan peluang telur dibuahi dan akhirnya menetas.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah satu ekor imago jantan A atlas
menghasilkan total ejakulat sebesar 1.32±0.644 ml yang merupakan 34.45±1.49%
dari bobot badan imago. Frekuensi perkawinan (ke-I, ke-II dan ke-III) dari imago
jantan tidak memengaruhi jumlah telur dan waktu tetas telur. Frekuensi
perkawinan memengaruhi persentase daya tetas telur yang dihasilkan.

12
Saran
Pemanfaatan imago jantan dalam budidaya dapat digunakan untuk dua kali
perkawinan. Pada budidaya juga perlu diperhatikan keseragaman kondisi
lingkungan (intensitas cahaya, suhu, kelembaban) pada tahap pemeliharaan telur
yang akan ditetaskan.

DAFTAR PUSTAKA
Adria, Idris H. 1997. Aspek biologis hama daun Attacus atlas pada tanaman
ylang-ylang. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 3 (2): 37-42.
Atmosoedarjo H, Kartasubrata J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W. 2000.
Sutera Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.
Awan A. 2007. Domestikasi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera:
Saturniidae) dalam usaha meningkatkan persuteraan nasional [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Butterfly Arc. 2003. Breeding of cobra butterfly Attacus atlas–Philiphines)
[internet].[diunduh
2014
Jan
10].
Tersedia
pada:
http://www.butterflyarc.it/portal/eng/pg.php?pg=3b.
Desiana R. 2008. Produktivitas dan daya tetas telur A. atlas asal Purwakarta pada
berbagai jenis kandang pengawinan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Desmawita BK, Fuah AM, Ekastuti DR. 2013. Intensification of wild silkworm
Attacus atlas rearing (Lepodoptera: Saturniidae). Media Peternakan 36(3):
159-164.
Faatih M. 2005. Aktivitas anti-mikroba kokon Attacus atlas. Jurnal Penelitian
Sains & Teknologi. 6(1):35-48.
Faruki SI. 2005. Effect of pyridoxine on the reproduction of the mulberry
silkworm, Bombyx mori L (Lepidoptera: Bombycidae). ISJ. 2:28-31.
Feradis MP. 2010. Bioteknologi Reproduksi pada ternak. Bandung (ID): Alfabeta.
Hanum M. 2001. Efektifitas berbagai jenis pengencer terhadap kualitas semen cair
ayam lokal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Japet N. 2011. Karakteristik semen ikan ekonomis budidaya: Mas (Cyprinus
carpio) dan Patin (Pangasius hypophthalmus) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Kalshoven LGE. 1981. Pest of Crops in Indonesia. Van Der Laan PA, penerjemah.
Jakarta (ID): PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Mulyani N. 2008. Biologi Attacus atlas L (Lepidoptera: Saturniidae) dengan
pakan daun kaliki (Rincinus communis L) dan jarak pagar (Jatropa cura L)
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Muttaqien R, Arifiantini RI, Ekastuti DR. 2014. Karakteristik semen ngengat
Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae). Peran Reproduksi dalam
Penyelamatan dan Pengembangan Plasma Nutfah Hewan di Indonesia
dan Seminar Nasional Asosiasi Reproduksi Hewan Indonesia; 2013 Nov
18-19; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): CV Sinar Jaya. hlm 73-78.

13
Nazar A. 1990. Beberapa aspek biologi ulat perusak daun (Attacus atlas Linn)
pada tanaman cengkeh. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia.
16(1):35-37.
Peigler RS. 1989. A Revision of the Indo-Australian Genus Attacus. The
Liptidoptera Research Foundation. California (US): Inc. Beverly Hills.
Plettner E. 2002. Insect Pheromone Olfaction: New Targets for the Design of
Spesies-Selective Pest Control Agents. Current Medicinal Chemistry.
Ottawa (CA): Bentham Science Publishers.
Pramono D. 2014. Penentuan waktu optimal koleksi dan evaluasi kapasitas semen
ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera: Saturniidae) [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Rianto F. 2010. Performa reproduksi imago Attacus atlas L yang berasal dari
perkebunan teh Purwakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Samsijah, Andadari L. 1992. Petunjuk teknis budidaya ulat sutera (Bombyx mori
L). Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi
Alam.
Sato K, Touhara K. 2008. Insect Olfaction: Receptors, Signal Transduction and
Behavior. Tokyo (JP): The University of Tokyo.
Singh T, Saratchandra B, Raj HSP. 2003. Physiological and biochemical
modulation during ovipotition and egg laying in the silkworm, Bombyx
mori L. J. Indust. Entomol. 6(2):115-123.
Situmorang J. 1996. An attempt to produce Attacus atlas L using baringtonia
leaves as plant fooder. Int J of Wild Silkmoth and Silk. Dalam: Awan A.
2007. Aspek biologi ulat sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera:
Saturniidae) pada tanaman sirsak (Annona muricata L). Bali (ID):
Proceeding Kongres dan Seminar Nasional Entomologi VII.
Solihin DD, Fuah AM. 2010. Budi Daya Ulat Sutera Alam. Ed ke-1. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya.
Sunanto H. 1997. Budidaya Murbei dan Usaha Persuteraan Alam. Jakarta (ID):
Kanisius.
Triplehorn CA, Johnson NF. 2005. Borror and Delong’s Introduction to the Study
of Insect. 7th Ed. USA: Tomson Brooks/Cole.
Walidaini R. 2014. Karakteristik imago jantan ulat sutera liar Attacus atlas
(Lepidoptera: Saturniidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Williams M, Taylor J, Bray J, West M. 2000. Attacus atlas moth.
[internet].[diunduh
2014
Jan
10].
Tersedia
pada:
http://entweb.clemson.edu/museum/moths/exotic/moth1.htm.
Yusuf TL, Arifiantini RI, Rahmiwati N. 2005. Daya tahan semen cair kambing
peranakan etawah dalam pengenceran kuning telur dengan kemasan dan
konsentrasi spermatozoa yang berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan
Tropis. 30(4):217-223.
Yusuf Y. 2009. Embryonic development of Attacus atlas L (Lepidoptera:
Saturniidae). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

14

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Matur pada tanggal 5 Februari 1987, sebagai anak
ke-2 dari pasangan Bapak Alwi dan Ibu Elvi Nova. Penulis menyelesaikan
pendidikan dasar di SD N38 Limo Balai, Agam tahun 1998, pendidikan menegah
pertama di SLTP N 1 Matur, Agam tahun 2001, pendidikan menengah atas di
SMA 1 Matur, Agam tahun 2004.
Tahun 2007 Penulis menyelesaikan pendidikan Diploma III Teknisi Medis
Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan pada tahun 2010 Penulis diterima
sebagai mahasiswa Strata 1 Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur Alih
Jenis.