Konsumsi, Permintaan, dan Impor Kakao Indonesia

20 perkembangan tersebut tergolong lambat, karena industri dalam negeri hanya menyerap sekitar 10 – 15 persen dari seluruh produksi kakao Indonesia. Masalah yang dihadapi terutama tidak mampu bersaing dalam harga terhadap produk luar negeri, diduga karena pengelolaan yang kurang efisien, teknologi yang sudah ketinggalan, dan penggunaan bahan baku kakao yang bermutu rendah. Volume ekspor Indonesia menunjukkan peningkatan yang pesat, namun harga yang diterima menunjukkan kecenderungan yang menurun Muharminto, Abbas dan Lubis, 1996: 18. Ini mengisyaratkan bahwa harga tidak memiliki pengaruh nyata atas ekspor. Ini sejalan dengan apa yang dilaporkan oleh Lolowang 1999: 119 bahwa ekspor biji kakao Indonesia ketiga negara tujuan utama AS, Singapura dan Jerman dipengaruhi secara nyata hanya oleh perubahan produksi. Menurut Susila et al. 1998: 94 bahwa ekspor Indonesia diprakirakan memperoleh manfaat yang cukup nyata akibat diterapkannya komitmen dalam PU. Tanpa PU laju ekspor Indonesia diprakirakan akan mencapai 13,5 persen per tahun, sedangkan dengan PU akan meningkat dengan laju 17,6 persen per tahun. Selamat dan Shamsudin 2001: 31 mengemukakan bahwa dengan menurunnya areal tanam kakao di Malaysia, prospek permintaan untuk kakao biji asal Indonesia oleh grinder dari Malaysia diharapkan akan cemerlang. Bagaimanapun juga, prospek ini tidak bisa direalaisasikan jika kualitas kakao biji Indonesia tidak diperbaiki.

2.1.3 Konsumsi, Permintaan, dan Impor Kakao Indonesia

Mulai sekitar tahun 1990-an, pola pemasaran kakao Indonesia telah berubah dari Singapura yang semula sebagai tujuan utama ekspor telah berpindah ke AS Muarminto, Abbas dan Lubis 1996, 18. Ini sejalan dengan temuan yang dilaporkan oleh Gonarsyah et al. 1990: 6 – 1 bahwa elastisitas pendapatan terhadap impor kakao di AS relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di negara- negara konsumen lainnya. Hal ini konsisten dengan tingkat konsumsi kakao per kapita di AS yang masih lebih kecil dibandingkan dengan di negara lainnya. Dengan demikian, diprakirakan bahwa konsumsi kakao per kapita di AS masih 21 akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan. Lain halnya dengan apa yang dilaporkan oleh Susila et al. 1998, 93 bahwa dampak PU terhadap konsumsi kakao di AS bersifat marginal. Studi yang diselenggarakan oleh Lolowang 1999: 121 – 122 memperkuat penemuan Muharminto, Abbas dan Lubis 1996 dan Gonarsyah et al. 1990 yang dikemukakan di atas. Studi ini menemukan bahwa apresiasi nilai tukar mata uang dan peningkatan pendapatan per kapita negara-negara importir utama Belanda, AS, Jerman dan Inggris akan memberikan dampak yang sama, yaitu naiknya permintaan impor negara-negara tersebut, dan maningkatnya harga dunia. Kondisi ini berdampak positif terhadap sisi penawaran negara-negara eksportir utama termasuk Indonesia. Di bagian yang lain Lolowang 1999: 120 mengemukakan bahwa dalam jangka pendek, impor Belanda dan Inggris responsif terhadap pendapatan per kapita, sementara dalam jangka panjang, impor AS dan Jerman responsif terhadap pendapatan per kapita. Kebutuhan dunia akan kakao grinding berkisar antara 1,5 – 1,9 ton per tahun pada tahun 1980-an, dan mencapai lebih daripada 2,0 juta ton pada tahun 198889, dan pada 2,5 juta ton pada tahun 19931994. Ini berarti kebutuhan dunia akan grinding kakao meningkat sekitar 60 persen dalam 15 tahun terakhir. Permintaan grinding diprakirakan mengalami kenaikan di Eropa Timur, tetapi sebaliknya diprakirakan akan mengalami penurunan di Eropa Barat Muarminto, Abbas dan Lubis, 1996: 9. Sebenarnya pengguna-pengguna kakao terbatas pada beberapa industri kakao berskala besar yang telah menentukan formula-formula yang didasarkan atas ‘pola selera’ konsumen. Formula-formula demikian diusahakan dipenuhi secara ketat, dengan mengusahakan mendapatkan biji maupun produk kakao yang sesuai dengan kebutuhan industrinya. Dalam kaitan yang demikian Indonesia perlu mengkaji secara serius aspek-aspek penting yang sangat menentukan permintaan industri-industri kakao di berbagai kawasan Siswoputranto, 1991 dalam Muharminto, Abbas dan Lubis, 1996, 18. 22 Konsumsi kakao telah didominasi oleh lima negara konsumen utama, yaitu AS, Rusia, Jerman Barat, Inggris dan Prancis. Dari kelima negara tersebut, pertumbuhan konsumsi di Rusia, AS dan Prancis masih cukup tinggi dibandingkan dengan dua negara lainnya Sudaryanto dan Susilowati, 1991: 44. Sementara itu, konsumsi biji kakao di dalam negeri terutama di serap oleh industri kakao olahan untuk dijadikan kakao bubuk, kakao mentega dan kakao dalam bentuk makanan. Bahan baku yang digunakan oleh industir kakao olahan pada umumnya sebagian merupakan biji kakao yang bermutu rendah yang diperoleh khususnya dari perkebunan besar swasta dan perkebunan rakyat. Bahan baku tersebut oleh industri kakao olahan umumnya di campur dengan biji kakao mutu yang lebih baik yang umumnya dipereoleh dari PT Perkebunan atau impor. Produk yang dihasilkan sebagian besar dipasarkan di dalam negeri, sedangkan sisanya diekspor Muharminto, Abbas dan Lubis, 1996: 7. Sejalan dengan pernyataan tentang campuran dilakukan dengan kakao impor telah dikemukakan sebelumnya oleh Gonarsyah et al. 1990. Studi Gonarsyah et al. 1990 : 6 – 4 menemukakan bahwa secara agregat produksi kakao nasional terus mengalami peningkatan, namun pada saat yang sama Indonesia juga melakukan impor. Beberapa faktor yang mendorong terjadinya kegiatan impor tersebut antara lain : i industri pengolahan memerlukan jenis kakao tertentu untuk keperluan campuran guna menghasilkan warna dan cita rasa seperti yang diinginkan; ii situasi harga kakao dalam negeri yang kadangkala lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar luar negeri; dan iii produsen kakao biji kadangkala lebih mengutamakan mengekspor seluruh produksinya karena adanya ikatan kontrak dengan konsumen luar negeri.

2.1.4 Komoditi Kakao dalam Perekonomian Wilayah