Menurut  Schneider et  al. 2005b,  pemanfaatan  limbah  budidaya  ikan terutama  ditujukan  pada  senyawaan-senyawaan  terlarut.  Senyawaan  tak  terlarut
particulate  waste seringkali  dibuang  begitu  saja  dalam  jumlah  besar  sebagai bahan  yang  tak  termanfaatkan.  Bakteria  heterotrofik  dapat  mengubah  nutrien-
nutrien  semacam  ini  menjadi  biomassa bakteri  yang  potensial  sebagai  bahan pakan  ikan. Apabila  hal  ini  dapat  berlangsung  baik,  maka  buangan  limbah
budidaya ikan akan berkurang secara drastis.  Kendala utama agar proses ini dapat berlangsung  adalah  rendahnya  rasio  karbonnitrogen  CN  di  dalam air limbah.
Melalui  pemberian suplementasi  karbon  maka  produksi  bakteria  dapat  dipacu pada  sistem  akuakultur.  Penambahan  sodium  asetat  sebagai  sumber  karbon
sebanyak 8 gL dapat meningkatkan produksi protein kasar hingga mencapai 112 g proteinkg pakan, atau meningkat 50 dari sistem biasa. Pada pemberian pakan
dengan  kadar  protein  41,  penambahan  sodium  asetat menghasilkan  produksi bakteri  sebanyak 55 125 g VSSkg pakan, setara dengan 0.2 0.5 g VSSg karbon
Schneider et  al.,  2006. Secara  teoritis, untuk  mengubah  1  g  amonium dibutuhkan 20 g karbohidrat Avnimelech dan Wyk, 2007.
Menurut  Brune et  al. 2003  proses  biosintesis  bakteri heterotrofik berlangsung lebih cepat dibanding dengan proses biosintesis alga maupun proses
bakteri nitrifikasi,  yakni  waktu regenerasi 10 jam berbanding dengan 24-48 jam. McGraw  2002  menyatakan  selain  lebih  cepat  tumbuh,  bakteri  heterotrof
merupakan sumber pakan yang baik untuk ikan. Sementara itu, laju pertumbuhan alga dan bakteri nitrifikasi hampir sama namun koefisien produksi alga hampir 57
kali  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  bakteri  nitrifikasi,  yakni  11,4  g algag  N berbanding dengan 0,2 g bakterig N.
2.4. Teknologi Bioflok dalam Sistem Akuakultur
Komunitas  bakteri  yang  terakumulasi  di  dalam  sistem  akuakultur  akan membentuk  flok   gumpalan  yang  dapat  dimanfaatkan  sebagai  sumber  pakan
untuk  ikan. Salah  satu  jenis  ikan  yang  yang  dapat  memakan  komunitas  mikroba
dalam bioflok adalan ikan nila tilapia. Teknologi Bioflok BioFloc Technology, BFT dalam akuakultur  adalah  upaya  memadukan  teknik  pembentukan  bioflok
tersebut sebagai sumber pakan bagi ikan. Ikan nila dengan ukuran rata-rata 4,03 gekor yang dipelihara dengan padat
penebaran 125 ekorm
2
di bak bakteri heterotrofik dari limbah budidaya ikan lele 100 ekorm
2
mampu tumbuh menjadi 9,36 gekor  atau lebih dari 100 selama 40  hari  Rachmiwati,  2008. Menurut Azim et  al. 2007,    ikan  nila dapat
memakan  komunitas  bakteri  dalam  sistem BFT dan  tumbuh  baik  dengan  pakan berprotein  rendah,  sehingga  terjadi  penghematan  biaya  pakan.
Bioflok menyumbang 43 pertumbuhan ikan nila.
BFT mempunyai  keunggulan  dibandingkan  dengan  teknik  lainnya  karena teknik  ini  memadukan  penanganan  buangan  limbah  untuk  menjaga  kualitas  air
sekaligus memproduksi  pakan ikan secara in situ Schryver et al., 2008; Crab et al., 2007. Penelitian lanjut yang perlu dilakukan antara lain manajemen produksi
flok,  dinamika  flok  pada  sistem  akuakultur  intensif,  nilai  nutrisi  flok,  pengaruh flok  dalam  hal  kesehatan,  pertumbuhan  dan  kelangsungan  hidup  organisme,
karakteristik mikrobiologis flok, kemungkinan rekayasa komunitas mikrobial dan kehadiran organisme preprobiotik di dalam komunitas flok mikrobial Crab et al.,
2007. Komposisi  mikroba,  struktur  morfologis  dan  nilai  nutrisi  bioflok  bagi
akuakultur ditentukan oleh berbagai faktor antara lain intensitas percampuran air mixing  intensity,  kadar  oksigen  terlarut  dalam  air,  jenis  dan  jumlah  pasokan
bahan organik ke dalam air, temperatur dan pH air Schryver et al., 2008. Untuk mendapatkan  hasil  terbaik  konversi  nutrien  menjadi biomassa bakteri,  Schneider
et al. 2006 menyarankan waktu retensi hydraulic retention time antara 5-9 jam. Pada  waktu  retensi  8  jam, rata-rata produksi biomassa bakteri  mencapai  123,8  g
VSSkg pakan dengan tingkat konversi nitrogen anorganik mencapai 90. Menurut  Ekasari  2008,  penggunaan  sumber  karbon  yang  berbeda  yakni
gliserol sebanyak  0,9  mLL dan  glukosa sebanyak  0,6  gL tidak  mempengaruhi
kandungan  protein  kasar  dan  lemak kasar bioflok. Kadar  protein  bioflok  setelah masa pemeliharaan 30 hari berkisar antara 22-41 bobot kering, sementara kadar
lemak  kasar  bioflok  berkisar  antara  6-9  bobot  kering. Namun  demikian penggunaan gliserol sebagai sumber karbon menyebabkan kandungan asam lemak
n-6 PUFA yang lebih tinggi, yakni 17,6 mgg bobot kering dibandingkan dengan 3,9  mgg  bobot  kering  di  air  tawar  0  ppt  dan  16,2  mgg  bobot  kering
dibandingkan  dengan  14,4  mgg  bobot  kering  di  air  laut  30  ppt. Perbedaan salinitas  air media  tumbuh  bioflok 0  dan  30  ppt  juga  tidak  menyebabkan
perbedaan kandungan protein dan lemak bioflok.
2.5. Akuakultur Berbasis Jenjang Rantai Makanan