DALIL-DALIL TAWIL Tawil dalam Al-Quran

Tawil adalah hakekat luar haqiqah kharijiyah dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Quran agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui tawilnya. [35] Tawil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah lafazh, maka tawil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, tawil dapat berarti pendalaman makna intensification of meaning dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat implisit sedangkan tawil menemukan makna batin esoteris dari lafazh yang eksplisit tersurat atau ambigu mutasyabih. [36] Ada pula yang mengatakan bahwa tawil adalah merajihkan suatu makna dari makna-makna yang terkandung dalam sebuah lafazh, sedangkan tafsir adalah menjelaskan makna lafazh yang hanya mengandung satu makna. [37] Ada juga yang mengatakan bahwa tafsir hanya untuk mengetahui makna dan kosa-kata sebuah ayat, sedangkan tawil mengetahui hakekat dari yang dimaksudkan oleh ayat. Seperti tentang melihat Allah taala pada hari kiamat kelak, tafsirnya adalah mengetahui bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat kelak, sedangkan tawilnya adalah hakekat dari peristiwa itu tatkala terjadi. [38] Ringkasnya, tawil adalah pendalaman dari tafsir dalam mengungkap sebuah makna. Jika tafsir merupakan sebuah usaha untuk mengungkapkan suatu makna yang tersembunyi dari sebuah ayat, maka tawil lebih dari itu yaitu memilih makna sebuah lafazh yang ambigu yang memiliki banyak makna. Oleh karena itu, tafsir menggunakan riwayat dalam mengungkap makna sebuah ayat, sedangkan tawil menggunakan beberapa disiplin ilmu yang dimiliki oleh seorang mujtahid. Selain itu, tafsir biasanya hanya membahas lafazh-lafazh sedangkan tawil membahas makna-makna. Jika definisi tawil adalah mengungkap dan memilih makna dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna, maka hermeneutika Paul Ricour merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi tawil ini. Karena filsafat Ricour terarah pada hermeneutika, terutama pada interpretasi. [39] Hal ini ditegaskan sendiri oleh Ricour bahwa pada dasarnya, filsafat adalah hermeneutik yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna. [40] Menurut Ricour, setiap kata merupakan sebuah simbol sehingga kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi. Ia menambahkan, setiap apa yang diucapkan atau dituliskan memiliki makna lebih dari satu jika dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricour menyebut ini dengan istilah polisemi, yaitu kata yang memiliki makna lebih dari satu bila digunakan pada konteks yang berbeda. [41] Dengan demikian, interpretasi sangat dibutuhkan ketika terjadi pluralitas makna. Sedangkan interpretasi adalah sebuah usaha untuk mengungkap makna-makna yang masih terselubung dari multi lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata. [42] Oleh karena itulah, Ricour menyatakan bahwa hermeneutika bertujuan untuk menyingkap misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol tersebut. [43] Barangkali dari sisi inilah, sebagian orang mengidentikkan hermeneutika dengan tawil. Karena tawil merupakan usaha untuk memilih dan menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga merupakan usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep tawil dalam Islam. Tawil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari yang eksoteris zhahir kepada makna esoteris batin. Sedangkan hermeneutika tidak memperhatikan makna eksoteris zhahir dan langsung kepada makna esoteris batin. Hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang tidak memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas teksnya. Berbeda dengan tawil yang harus memperhatikan zhahir nash karena Al-Quran tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.

E. DALIL-DALIL TAWIL

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tawil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya makna rajih kepada makna esoteris makna marjuh berdasarkan dalil qarinah. Para ulama menjadikan adanya dalil sebagai syarat utama dalam melakukan tawil. Adanya dalil shahih yang menguatkan merupakan ciri tawil yang shahih, sedangkan tanpa dalil adalah tawil yang batil dan mengikuti hawa nafsu. [44] Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris makna marjuh dari pada makna zhahir. 1. Nash Al-Quran dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah dalam QS. Al-Maidah: 3. Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah anha yang mati yang akan dibuang, Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?, para sahabat menjawab, Tapi ini bangkai?, beliau menjawab, Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya. [45] Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya. 2. Ijma; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumuah: 9, [46] secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma mengecualikan anak-anak yang belum baligh. 3. Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku. 4. Hikmah Tasyri dan kaidah-kaidah dasar syariat; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor ةلااااااا شل ةةااااااا شل اانلاا ي عقبلروأل االوقاا كل ااياا فق . [ 47] Menurut ulama Syafiiyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang ikhraj al-qiymah karena lafazhnya jelas, khusus, dan qathi. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang ikhraj al-qiymah karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syariat. [48]

D. TAWIL DAN MAKNA