Asal Usul Anak:
Anotasi terhadap Putusan No.597 KAg2015
Oleh: Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A.
A. Pendahuluan
Hasil diskusi komisi 2 bidang Urusan Lingkungan Peradilan Agama dalam
Rakernas bulan Oktober 2010 di Balikpapan Kalimantan Timur,
dinyatakan bahwa hakim Pengadilan Agama PA dalam mengambil
keputusan terhadap perkara sengketa perkawinan, harus memperhatikan
ketentuan dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga KDRT dan UU N o . 2 3 t a h u n 2 0 0 2 t e n t a n g
1
Pe rl i n d u n ga n A n a k . D e n ga n demikian, berdasarkan hasil rakernas
tersebut di samping berpedomna kepada Kompilasi Hukum Islam KHI,
UU No. 1 tahun 1974, dan PP No. 9 tahun 1975, hakim PA harus
mempertimbangkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga KDRT dan UU N o . 2 3 t a h u n 2 0 0 2 t e n t a n g
Perlindungan Anak. Ad a p u n c a ra ya n g d a p a t
d i t e m p u h h a k i m PA d a l a m menggunakan UU No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT dan UU
N o . 2 3 t a h u n 2 0 0 2 t e n t a n g P e r l i n d u n g a n A n a k , d a l a m
menyelesaikan perkara di bidang p e r k a w i n a n , a d a l a h d e n g a n
penemuan hukum. Ada beberapa istilah yang sudah populer digunakan
untuk menyebut penemuan hukum. Dari definisi dan istilah penemuan
hukum tersebut ditemukan beberapa kata kunci, yakni pembentukan,
penciptaan, penemuan, penerapan, dan pelaksanaan. Demikian juga sudah
populer tiga teori penemuan hukum, yakni metode interpretasi, metode
argumentasi, dan metode konstruksi. Maksud pembentukan hukum
b a h w a h a k i m b e r k e w a j i b a n membentuk hukum supaya tidak
terjadi kekosongan hukum. Penemuan hukum berkonotasi hukum sudah ada,
namun masih perlu digali, dicari, dan ditemukan. Namun disebutkan juga
hukum sudah ada, hakim hanya penerapkan dalam peristiwa konkret.
Penciptaan berkonotasi hukum belum ada atau kalaupun ada tetapi kurang
jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim perlu menciptakan atau
menyempurnakannya. Sedangkan penerapan hukum adalah penerapkan
hukum abstrak pada peristiwa konkret.
Abstrak
Tulisan ini merupakan catatan ringkas tentang pandangan penulis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 0346Pdt.P2014PA JS.,
yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 597 KAg2015 atas Penetapan perkara Asal Usul Anak. Dalam menganalisis
masalah ini penulis lebih menekankan pada penggunaan pendekatan linguistic bahasa, dengan analisis monodisipliner, interdisipliner dan
multidisipliner. Sebagai kesimpulan ada dua catatan dari tulisan ini. Pertama, penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menolak permohonan
pemohon, dan penetapan Mahkamah Agung yang menerima permohonan pemohon, sama-sama mempunyai misi dan substansi yang syarat dengan
tujuan memberikan yang terbaik untuk penegakan hukum. Kedua, secara kasat mata penetapan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
menggunakan pendekatan dan analisis Interpretasi Monodisipliner, sementara penetapan Mahkamah Agung menggunakan Interpretasi
Interdisipliner. Dari aspek ini maka pendekatan yang digunakan Mahkamah Agung dirasakan lebih konprehensif. Namun interpretasi interdisiplinari yang
digunakan masih pada aspek penyelesaian masalah, belum berusaha membangun kekuatan peraturan perundang-undangan bidang perkawinan di
masa depan.
1 Buku II edisi revisi 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama
Jakarta: Mahkamah Agung R.I., Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2011, hlm. 55, telah memasukkan UU No.
23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga KDRT dan UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, sebagai Hukum Material PA.
65
MAJALAH PERADILAN AGAMA
Edisi 9 | Juni 2016
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Yogyakarta dan Pengajar Fakultas Hukum UII
Sementara maksud metode interpretasi adalah usaha yang
dilakukan hakim untuk memutuskan perkara yang hukumnya kurang jelas
untuk diterapkan pada kasus konkret. Metode argumentasi adalah metode
penalaran hukum yang digunakan hakim ketika peraturan tidak lengkap.
Maka fungsinya adalah untuk melengkapi. Sementara metode
konstruksi usaha yang digunakan ketika aturan belum ada, sehingga
terjadi kekosongan hukum. Tujuan metode penemuan
hukum adalah agar hukum dapat mencapai tujuan, dimana tujuan
utama hukum ada tiga, yakni:² k e a d i l a n , k e p a s t i a n , ³ d a n
kemanfaatan. Di sisi lain disebutkan tiga alasan mengapa kebutuhan
penafsiran penemuan hukum semakin kuat. Pertama, UU bersifat
k o n s e r v a t i f k a r e n a b e g i t u diundangkan sudah diam, sehingga
memerlukan aktualisasi untuk akomodasi perkembangan agar
mampu menjadi hukum yang hidup living law. Kedua, kewenangan
menentukan kebenaran dan keadilan di persidangan hanyalah hakim,
sementara UU lahir dalam proses legislasi. Ketiga, masyarakat terus
4
berkembang. Sejalan dengan itu alasan
perlunya metode penemuan hukum Islam disebutkan misalnya oleh al-
Dawâlibî minimal tiga. Pertama, apa yang dirumuskan dalam undang-
undang, sebagai sumber utama hukum, kurang atau tidak jelas. Kedua,
aturannya semula jelas namun kasus berkembang lebih kompleks dari apa
yang diatur dalam undang-undang. K e t i g a , k a r e n a m a s y a r a k a t
berkembang demikian cepat sehingga banyak kasus yang belum terdapat
5
aturannya dalam undang-undang. Adapun metode penemuan
hukum Islam juga ada perdebatan di antara para ahli. Secara umum
disebutkan dua metode, yakni: 1 metode penemuan hukum dengan
interpretasipenafsiran linguistic, al- t}urûq al-bayânîyah, dan 2 metode
penemuan hukum analogi kausasi, al- talîl. Muhammad Abû Zahrah
menyebut 1 metode literer tarîqah l a f z } î y a h d a n 2 m e t o d e
6
maknawiyah tarîqah manawîyah. Namun ada juga yang menyebut,
ahli hukum Islam modern, bahwa metode penemuan hukum Islam ada
tiga, yakni: 1 ijtihad bayâni linguistic, 2 ijtihad qiyâsi analogi,
dan 3 ijtihad istislahi mas}lah}ah, welfare.
Namun kalau dicermati lebih jauh, metode ijtihad qiyâsi dan ijtihad
istislahi sama dengan metode kausasi. Lebih jauh malah al-Ghazâli
menawarkan metode penyelarasan sinkronisasi atau al-taufiq. Maka
dalam tulisan ini dicoba untuk menggabungkan teori tersebut
menjadi tiga metode penemuan hukum Islam, yakni: 1 metode
interpretasi linguistic, bayâni, 2 metode kausasi analogy,al-talîl, dan
8
3 metode sinkronisasi. Metode interpretasilinguistic
penafsiran adalah dengan cara melakukan interpretasipenafsiran
terhadap teks hukum Islam yang ada dalam al-Quran dan sunnah nabi
Muhammad saw. Maka metode ini hanya berlaku terhadap kasus yang
sudah ada teks hukumnya, hanya saja teks tersebut masih kabur atau kurang
jelas. Sementara metode kausasi
digunakan untuk menemukan hukum terhadap kasus yang tidak ada teks
hukumnya, dengan cara memperluas cakupannya, sehingga mencakup
kasus-kasus yang tidak terdapat teks hukumnya nash. Metode kausasi ini
masih dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. metode qiyâsi binâ al- ah}kâm alâ al-illah, yakni
penyamaan hukum kasus baru dengan kasus lama
karena ada kesamaan illat, dan
2. metode teleologis talîl al- ah}kâm bi maqâs}id al-
syarîah, yakni penyamaan hukum kasus baru dengan
kasus lama karena ada kesamaan tujuan hukum.
Adapun metode penyelarasan s i n k r o n i s a s i b e r u p a y a
menyelaraskan berbagai dalil hukum y a n g m u n g k i n s e c a r a z a h i r
bertentangan. Metode sinkrinisasi ini
9
dikembangkan menjadi tiga, yakni: 1. metode jamai.
2. Metode tarjih, dan 3. Metode nasakh.
Tulisan ini merupakan catatan ringkas tentang pandangan penulis
terhadap putusan Pengadilan Agama J a k a r t a S e l a t a n N o m o r
0346Pdt.P2014PA JS., yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung
d e n g a n P u t u s a n N o m o r 5 9 7 KAg2015 atas Penetapan perkara
Asal Usul Anak. Dalam menganalisis masalah ini penulis lebih menekankan
pada penggunaan pendekatan linguistic bahasa, dengan analisis
monodisipliner, interdisipliner dan multidisipliner. Dua pendekatan
terakhir adalah pendekatan yang akhir-akhir ini ditawarkan para
pemerhati karena dirasa memberikan pandangan, pemikiran dan keputusan
yang lebih konprehensif. Keputusan Rakernas di Balikpapan pun pada
h a k i k a t n y a d a l a m r a n g k a menggunakan analisis interdisipliner.
Sistematika tulisan adalah deskripsi ringkas tentang duduk perkara setelah
pendahuluan. Bagian berikutnya deskripsi analisis terhadap kasus.
Tulisan diakhiri dengan catatan akhir sebagai kesimpulan.
2 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir Bandung: Refika Aditama, 2006, hlm. 79.
3 kepastian hukum mempunyai dua sisi, yakni pasti dapat ditentukan hukum dalam hal yang konkrit, dan
kepastian dalam arti keamanan hukum. 4 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Jakarta:
Sinar Grafika, 2007, hlm. 860. 5 Al-Dawâlibî, Al-Madkhal Ilâ Ilm al-Us}ûl al-Fiqh
Beirût: Dâr al-Kitâb al-Jadîd, 1965, hlm. 6. 6 Abû Zahrah, Ilm Us}ûl al-Fiqh Kairo: Dâr al-Fikr al-
Arabî, t.t., hlm. 90. 7 Al-Dawâlibi, al-Madkhal ilâ Ilm al-Us}ûl al-Fiqh,
hlm. 405-412. 8 Syamsul Anwar, “Metodologi Hukum Islam”,
Kumpulan Makalah dan Diktat Kuliah Ushul Fikih, hlm. 22 dst., 58.
9 Ibid., hlm. 57.
66
MAJALAH PERADILAN AGAMA
Edisi 9 | Juni 2016
B. Duduk Perkara