• Bahwa Pemohon Kasasi I dan P e m o h o n K a s a s i I I t e l a h
m e l a ks a n a ka n p e rkaw i n a n berdasarkan hukum Islam pada
tahun 2009 tetapi tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau
dengan kata lain tidak tercatat, dan memperoleh anak yang diberi
nama Devon David Delbridge pada tanggal 8 Juni 2010, maka bila
berpegang teguh kepada bunyi Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, dan Pasal
42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 99 huruf a
Kompilasi Hukum Islam, anak bernama Devon David Delbridge
adalah anak sah dari Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II;
• Bahwa menyangkut hak anak dan perlindungan atas anak Pengadilan
Agama seharusnya mendasari pertimbangannya dengan asas
“kepentingan yang terbaik bagi anak” yaitu mempertimbangkan
hak tumbuh kembang anak baik d a r i a s p e k p s i k o l o g i s
perkembangan anak maupun dari aspek peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat 1 dan ayat 2
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Pasal 2 dan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2003 tentang Perlindungan Anak; • Bahwa dalam Hukum Islam sendiri
penetapan asal usul anak atau penetapan nasab juga dilakukan
d e n g a n m e m p e r h a t i k a n kepentingan anak, yaitu cukup
dengan adanya pernikahan tanpa memandang sah atau tidaknya
perkawinan tersebut Ibnu Qudamah, Al-Mughni, VIII:96 atau
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa Adillatuh, VII:690. Cara lain
ialah berbentuk pengakuan iqrar, dan pada kondisi adanya pihak lain
baru diperlukan pembuktian bayyinah;
Bahwa oleh karena itu Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan
harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara
ini dengan pertimbangan berikut ini: Menimbang, bahwa dalam hal
kepentingan anak dan lagi pula perkawinan Pemohon I dan Pemohon
II meskipun pada awalnya pernikahan Pemohon I dan Pemohon II dilakukan
secara tidak tercatat kemudian dilakukan tajdid nikah nikah resmi
dan memperoleh Akta Nikah, maka menurut Majelis Hakim Agung
permohonan tentang Penetapan Asal Usul Anak Para Pemohon dapat
dipertimbangkan; Dengan demikian, meskipun
dua keputusan ini bertentangan; dimana satu menolak permohonan,
sementara satunya menerima permohonan, namun dua putusan ini
secara prinsip menggunakan dasar hukum yang sama. Apa yang
menyebabkan munculnya perbedaan putusan pada bagian berikut
dijelaskan.
C. Analisis Kasus
Seperti ditulis pada bagian pendahuluan, ada beberapa kata kunci
dalam penemuan hukum, yakni pembentukan, penciptaan, penemuan,
penerapan, dan pelaksanaan. Demikian juga sudah populer
sejumlah teori penemuan hukum, yakni metode interpretasi, metode
10
argumentasi, dan metode konstruksi. Dalam tulisan ini penemuan hukum
yang dimaksud adalah penerapan atau pelaksanaan. Untuk menganalisis
masalah yang dibahas dalam tulisan ini penulis menggunakan pendekatan
bahasa dan analisis interpretasi metode interpretasi, sebab dalam
menyelesaikan masalah asal usul anak telah ada perundang-undangan yang
mengatur. Dalam menjelaskan masalah ini penulis menggunakan
analisis Interpretasi Monodispliner, Interpretasi Interdisipliner dan
Interpretasi Multidisipliner. Adapun yang dimaksud dengan
Interpretasi Monodisipliner, bahwa dalam menganalisis satu masalah
dilakukan dengan menggunakan satu d i s i p l i n i l m u t e r t e n t u d a n
11
menggunakan metode tertentu. Maka dalam studi monodisipliner satu
bidang ilmu tersendiri dengan objek m a t e r i a l d a n o b j e k f o r m a l
pendekatan, sudut pandang tertentu, dan dengan metode
tersendiritertentu pula. Dalam b i d a n g h u k u m , I n t e r p r e t a s i
Monodisipliner adalah dalam m e n y e l e s a i k a n s a t u k a s u s
diselesaikan dengan menggunakan hukum material di bidang hukum
tersebut. Misalnya apa yang dilakukan para hakim selama ini dalam
menyelesaikan masalah perkawinan adalah dengan menggunakan hukum
material yang berkaitan dengan perkawinan, yakni UU No. 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI.
A d a p u n I n t e r p r e t a s i Interdisipliner dalam kajian hukum
biasa dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu hukum dalam
menyelesaikan satu masalah. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari
12
satu cabang ilmu hukum. Dengan demikian Interpretasi Interdisipliner
masih dibatasi dalam cabang ilmu hukum. Sebagai contoh, interpretasi
atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”, hakim dapat menafsirkan
ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana,
administrasi negara, dan perdata. Kasus pernikahan Syeikh Puji dengan
Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat d e n ga n m e l i h a t i n te r p re t a s i
hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam
UU Perlindungan Anak yang berkaitan
13
dengan masalah pidananya.
10 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Yogyakarta: UII Press, 2006, hlm.30; Jazim Hamidi,
Hermeneutika Hukum Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 52; Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: sebuah Pengantar
Yogyakarta: Liberty, 1996, hlm. 55. 11 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif
Interdisipliner Yogyakarta: Paradigma, 2010, hlm. 18. 12 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan
Konstruksi Hukum Bandung: Alumni, 2000, hlm. 12 13 Memang ada pengertian lain dari interdisipliner,
yakni kerjasama antar satu ilmu dengan ilmu lain sehingga menjadi satu ilmu baru dengan metode baru. Kaelan, Metode
Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 21; Dalam sosiologi disebut juga Sosiologi Interdisipliner
Interdisciplinary Sociology, yang berarti memadukan antara sosiologi dan ilmu lain, seperti sosiologi budaya, merupakan
perpaduan antara ilmu sosiologi dan ilmu budaya, sosiologi kriminalitas, merupakan perpaduan ilmu sosiologi dan ilmu
kriminalitas, sosiologi ekonomi, sosiologi keluarga, sosiologi pengetahuan. Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010, hlm. 113 dst.
69
MAJALAH PERADILAN AGAMA
Edisi 9 | Juni 2016
Sementara dengan Interpretasi Multidisipliner bahwa dalam
menyelesaikan satu masalah, hakim perlu mempelajari satu atau beberapa
disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. Dengan perkataan lain, di sini hakim
membutuhkan verifikasi dan bantuan dari disiplin ilmu yang berbeda-beda
14
di luar hukum. Dengan demikian hakim tidak cukup mengandalkan
keahlian di bidang hukum saja, tetapi dibutuhkan keahlian dari bidang ilmu
lain yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Aspek Ilmu Jiwa dari hukum
menjadi psikologi hukum; aspek sosial dari hukum menjadi sosiologi hukum,
demikian seterusnya dengan aspek- aspek lain dari hukum.
Pengertian asli dari kajian multidisipliner adalah kerjasama
antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap berdiri sendiri
15
dan dengan metode sendiri-sendiri. Disebut juga bahwa multidisipliner
adalah interkoneksi antar satu ilmu dengan ilmu lain namun masing-
masing bekerja berdasarkan disiplin
16
dan metode masing-masing. Jazim Hamidi adalah di antara
ahli hukum yang memandang penting, bahkan semakin tidak terelakkan lagi
kebutuhan terhadap Interpretasi I n t e r d i s i p l i n e r d a n a t a u
multidisipliner di bidang hukum untuk menyelesaikan masalah yang
muncul di zaman teknologi seperti sekarang. Dalam ungkapan Jazim
Hamidi, ke depan Interpretasi Multidisipliner ini akan sering terjadi,
mengingat kasus-kasus kejahatan di era global sekarang ini mulai beragam
dan bermunculan, seperti kejahatan cyber crime, white color crime,
17
terrorism, dan lain sebagainya. Artinya, untuk menyelesaikan kasus-
kasus kontemporer tidak cukup hanya dengan pendekatan monodisipliner.
Kalaupun masih dapat dijawab dengan m o n o d i s i p l i n e r t e t a p i
p e n y e l e s a i a n n y a k u r a n g konprehensif, belum tuntas, sehingga
masih menyisakan masalah. Dengan menggunakan tiga
model interpretasi ini dalam membaca putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan dan Putusan Mahkamah Agung R.I. di atas, maka secara
sederhana boleh dikatakan bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan
menggunakan model Interpretasi Monodispliner dalam penetapannya.
Namun demikian penetapan ini syarat dengan usaha substansial dan misi
prospektif peraturan perundang- undangan perkawinan. Artinya,
dengan putusan ini ada misi luar biasa yang ingin diemban dan dibangun,
yakni masa depan perundang- undangan di bidang perkawinan. Misi
putusan ini menurut analisis penulis, di antaranya bahwa permohonan
penetapan status anak ini pada prinsipnya adalah permohonan
dispensasi. Maka penetapan PA ini ingin tegas bahwa masa dispensasi
dalam berbagai hal di bidang perkawinan sudah terlalu lama
b e r a k h i r. B a h w a p e m b e r i a n dispensasi sudah tidak waktunya lagi,
dan tidak relavan lagi. Setelah UU No. 1 tahun 1974 berumur 41 tahun,
mestinya isinya sudah waktunya dipatuhi secara menyeluruah. Dengan
umur UU yang begitu tua tidak ada lagi alasan orang tidak mematuhinya.
Sebaliknya, dengan pemberian dispensasi semacam ini membuat
perundang-undangan di bidang perkawinan tidak mempunyai
kekuatan powerless. Orang merasa tidak masalah kalau tidak mematuhi
perundang-undangan perkawinan, sebab kalau pun tidak mematuhi
selalu saja ada jalan dispensasi yang akan diberikan para hakim. Jurus ini
juga yang digunakan banyak orang dalam berbagai kasus. Prakter
poligami di berbagai daerah dengan modus yang sama terjadi. Laki-laki
yang akan poligami tidak perlu repot m e n g u r u s d a n m e m i n t a i j i n
Pengadilan Agama. Jurus mudah nya adalah nikah siri dan lanjut dengan
mempunyai anak. Setelah itu minta dispensasi penetapan perkawinan
dengan alasan yang sama dengan kasus ini, untuk penetapan status anak
demi masa depan anak. Dengan demikian, putusan PA
ini dalam kaitannya dengan misi pembangunan hukum ke depan agar
dipatuhi masyarakat , pantas mendapat apresiasi. Hanya saja cara
d a n p e n d e k a t a n n y a p e r l u ditingkatkan, dari Interpretasi
Monodisipliner meningkat menjadi minimal Interpretasi Interdisipliner,
bahkan sudah waktunya meningkat menjadi Interpretasi Multidisipliner.
Sementara putusan Mahkamah Agung tersebut di atas boleh
dikatakan telah menggunakan p e n d e k a t a n I n t e r p r e t a s i
Interdisipliner. Artinya di samping telah berdasarkan pada materi hukum
di bidang perkawinan, putusan ini juga didasarkan pada UUD 1945 dan
Undang-Undang Perlindungan Anak. Dengan putusan MK ini berarti sudah
sinkron secara sederhana dengan hasil R a k e t n a s B a l i k p a p a n , y a n g
menekankan pada penggunaan pendekatan danatau analisis
Interpretasi Interdisipliner. Namun boleh jadi sudah
waktunya untuk lebih maju ke analisis interpretasi multidisipliner; berupa
analisis sosiologi, analisis psikologis, analisis biologis, dll. Misalnya dalam
memberikan pertimbangan pada kasus dispensasi perkawinan dini
dengan menggunakan berbagai tinjauan yang relevan, baik tinjauan
hukum maupun tinjauan ilmu di luar hukum, misalnya Ilmu Biologi untuk
mengetahui kesiapan biologis dalam r a n g k a m e n j a l a n k a n f u n g s i
reproduksi. Demikian juga Ilmu Jiwa dalam rangka mengukur kesiapan
para calon suami dan isteri menjalankan tugas-tugas dan fungsi-
fungsi dalam kehidupan rumah tangga, menjadi isteri dan ibu dari
anak. Demikian seterusnya dengan ilmu lain yang relevan.
14 Yudha Bahkti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, hlm. 12 dst.
15 A.G.M. Van Melsen, Ilmu Pengatahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens Jakarta: Gramedia, 1985,
hlm. 59; Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, hlm. 19-20.
16 Kaelan, Metode Penelitian Agama, hlm. 20. 17 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum Yogyakarta:
UII Press, 2005.
70
MAJALAH PERADILAN AGAMA
Edisi 9 | Juni 2016
Demikian juga analisisnya tidak h a n y a m e l i h a t d a n
mempertimbangkan orang yang sedang kena danatau ditimpa kasus,
tetapi juga prospek hukum ke depan dan sisi pelajaran bagi orang lain. Perlu
ada ketegasan agar orang menghargai dan pada akhirnya mematuhi hukum.
Te n t u t i d a k m u d a h u n t u k mengakomodir dua kepentingan yang
boleh jadi bertentangan, tetapi bukan sesuatu yang mustahil dilakukan
bersama secara serius, substansial dan berkelanjutan. Misalnya di samping
berusaha menyelesaikan masalah yang sudah terjadi, ada juga usaha
memberikan pelajaran bagi yang bersangkutan dan pada gilirannya
orang lain agar tidak melanggar. Misalnya ada sanksi.
Dengan demikian pendekatan Interpretasi Interdisipliner yang
digunakan Mahkamah Agung masih berada pada tingkatan penyelesaian
masalah yang dihadapi, belum digunakan untuk menggiring
masyarakat mematuhi peraturan p e r u n d a n g - u n d a n g a n b i d a n g
perkawinan, yang dengan cara itu membuat UUP semakin kuat dan
dipatuhi. Pantas juga dirasakan sebagai
langkah mundur ketika dalam putusan MA menyebut bahwa hukum Islam
dalam bentuk fikih klasik, juga mendapat pengakuan sebagai dasar
pengabasahan perkawinan di Indonesia. Sebab dengan pengakuan
ini menjadi banyak aturan dalam perundang-undangan perkawinan
yang menjadi hambar; perkawinan sah tanpa pencatatan, poligami boleh
tanpa ijin pengadilan, talak absah diucapkan suami di manapun.
Penyebutan ini dirasa langkah mundur sebab mestinya kita bersama-sama
berusaha membangun paradigma dan kepercayaan bahwa fikih Islam
Indonesia di bidang perkawinan adalah perundang-undangan di
bidang perkawinan. Sebab rumusan itulah yang lebih cocok dengan
konteks masyarakat Indonesia dengan dua alasan. Pertama, hasil ijtihad
kolektif berupa Undang-Undang Perkawinan Indonesia lebih cocok
dengan konteks Indonesia sekarang. Kedua, Undang-Undang Perkawinan
sebagai hasil pemikiran ijtihad kolektif dari berbagai ahli di bidang
hukum Islam, mempunyai kekuatan yang lebih kuat dan konprehensif dari
18
pada fikih yang bersifat individu.
D. Kesimpulan