diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun
dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah.
94
2. Sejarah Koalisi di Indonesia
Koalisi merupakan penggabungan dua kekuatan atau lebih untuk menggalang kekuatan lebih besar. Tujuan koalisi yakni mempengaruhi proses
politik: pembuatan undang-undang dan perebutan kekuasaan. Biasanya, koalisi lahir untuk menghadapi kekuatan besar. Tak ada kamus, di mana koalisi melumat
kekuatan kecil. Bisa juga, koalisi menghadapi ketidak pastian politik, di mana risiko kalah dan tersingkir jauh lebih besar ketimbang peluang menang. Koalisi
amat akrab dalam praktis partai politik. Mereka yang bersekutu diwarnai perbedaan ideologi, kultural atau atribut kelompok menjadi satu barisan setelah
diikat isu bersama mengenai persamaan persepsi terhadap masalah, atau kesejajaran kepentingan. Koalisi juga bisa lahir karena adanya musuh bersama.
Bahkan, seringkali kambing hitam itu menjadi kebutuhan dasar yang sengaja diciptakan sebagai alasan bersatu. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar
kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.
Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya Maklumat Presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, dan pada tahun tersebut banyak
94
Syamsudin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
partai politik yang di bentuk oleh rakyat berdasarkan pada maklumat tersebut. Sebelumnya saat pemerintahan Proklamasi dibentuk, dalam susunan kabinetnya
tidak terdapat dan tidak ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun telah keluar maklumat pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945
yang menganjurkan mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat memperjuangkan kemerdekaan. Pada saat itu kabinetnya di sebut sebagai kabinet
presidensial dan dipimpin oleh seorang presiden. Dalam perjalanannya usia dari kebinet ini tidak berlangsung lama hanya 3 bulan, dari tanggal 19 Agustus 1945
sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut terjadi karena adanya Maklumat Presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh Nasional yang sangat vokal pada
saat itu yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer. Inilah kejadian pertama dari penyimpangan terhadap UUD 1945. Mulai saat itu kabinet-kabinet ke dua
dan seterusnya dijabat oleh partai-partai politik dan bertanggung jawab kepada parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik
parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang melakukan koaliasi berkoalisi seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi
pada masa kabinet Syahrir I. Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur
sebagai oposisi, Sejalan dengan yang dikatakan Miftah Toha, bahwa: Kabinet yang tersusun pada waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi di
antara parpol. Selebihnya di antara parpol yang tidak berkoalisi memilih jalur oposisi, koalisi dan oposisi dimulai dari kabinet parlementer Syahrir pertama
sampai seterusnya dan kembali ke kabinet presidensial Moh. Hatta dan
Universitas Sumatera Utara
seterusnya.
95
Setelah selesai pemilihan umum pada tahun 1955, partai-partai politik merasa mempunyai legalitas dan memperoleh kekuasaan secara formal.
Sejak saat itu, dalam politik Indonesia, partailah yang memegang kekuasaan politik; walaupun dalam kenyataan kepemimpinan politiknya dilakukan atas dasar
kerjasama, aliansi, koalisi antara dua kekuatan atau lebih. Oleh karena itu, perkembangan situasi Tanah Air yang rawan oleh pemberontakan Poerwantana
menambahkah bahwa pada tahun 1945 presiden Soekarno menganjurkan unruk membubarkan partai-partai kecil karena tidak mampu membuat konsensus
pembentukan kabinet koalisi.
96
Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi point penting terhadap masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa sungguh-sungguh
bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitupula, kualitas
Dari penjabaran di atas jelas terlihat bahwa istilah koalisi antar partai politik bukanlah merupakan barang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Koalisi tidak muncul pertama kalinya pada saat Pemilu Capres Cawapres tahun 2004 lalu, melainkan dari tahun 1945. Selanjutnya pada Pemilu 2004 saat
diadakannya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia, wacana koalisi terangkat kembali, partai politik yang mengusung
pasangan Capres-Cawapres adalah partai politik yang saling berkoalisi terlepas dari tujuan diakannya koalisi tetrsebut, apakah untuk memenangkan Pemilu,
menghadapi kekuatan besar ataukah hanya kepentingan.
95
Miftah toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 119.
96
P. K. Poerwantana, Partai Politik di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya. Apakah koalisi tersebut bersifat permanen atau
masih hanya sekedar untuk kemenangan calon saja koalisi pragmatis. Kendati demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pemilihan capres-cawapres,
tetap merupakan bahan kajian yang menarik. Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antar partai dalam
mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik. Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda
dengan yang terjadi melainkan juga pada pola koalisi antar partai yang cenderung berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering
dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam mengajukan pasangan kandidat dalam pemilihan Capres-Cawapres.
3. Praktik Koalisi dalam Pembentukan Kabinet Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945