Pembentukan Kabinet Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan ke-3, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.

Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.

Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi ke IV, Yayasan Cipta Loka, Jakarta, 1988.

Fatah, Eep Saifulloh, dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta.

Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara maju, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.

Haris, Syamsuddin, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.

Haris, Syamsudin, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodoligi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, Malang, 2007.

Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta.


(2)

Isra, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi : Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.

Isra, Saldi, 2008, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.

Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, 1985.

Khoiruddin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Kusnardi, Moh, dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988.

Kusuma, Mulyana W, dkk, Menata Politik Pasca Reformasi, KIIP, Jakarta, 2000. Kusuma, R. M. Ananda B, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam Jurnal

Kostitusi, Vol. 1 No.1., Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004.

Legowo, T. A, Paradigma Cheks and Balances, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 2002.

Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1975.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Poerwantana, P. K, Partai Politik di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Radjab, Dasril, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodoligi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997.


(3)

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 3.

Toha, Miftah, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar 1945

Undang-undang Dasar 1945 pasca amandemen

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.

Internet

Hariwardana, Yudha, Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen; http://Wordpress. go.id. Diaksses tanggal 1 Agustus 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/president,diakses pada tanggal 29 Mei 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlementer, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_presidensial, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

diakses pada tanggal 12 Mei 2010.

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlementer, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.


(4)

BAB III

PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL PASCA AMANDEMEN UUD 1945

A. Pengaturan Kabinet dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasca Amandemen

Perbincangan mengenai kelembagaan pemerintah di Indonesia saat ini tidak lagi sekedar mengulas segi-segi struktural organisasi pemerintahan, tetapi telah menukik pada dasar filosofis, sosiologis dan yuridis ketatanegaraan republik ini yang telah tertuang dalam empat amandemen Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada struktur ketatanegaraan yang lama terdapat satu lembaga tertinggi yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan lima lembaga tinggi negara yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan struktur ketatanegaraan yang baru meliputi BPK, MPR yang terdiri atas DPR dan Dewan Pertimbangan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY).

Hal yang perlu diperhatikan dalam perubahan struktur ketatanegaraan yang baru tersebut adalah diadopsinya prinsip-prinsip baru mengenai pemisahan kekuasaan dan ‘check and ballances’ sebagai pengganti sistem supremasi parlemen. Konsekuensinya, telah terjadinya perubahan peran, tugas dan fungsi lembaga negara dalam penyelenggaraan negara. Selain itu, hubungan antar lembaga negara tersebut diposisikan secara fungsional dan tidak secara hierarkhis.


(5)

Dengan keadaan tersebut tidak dikenal lagi lembaga tertinggi dan tinggi negara, yang ada hanyalah lembaga negara yang semuanya mempunyai peran dan kedudukan masing-masing secara equal.

Salah satu hal menarik terkait dengan perubahan struktur ketatanegaraan tersebut adalah amandemen terhadap Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang saat ini menjadi berbunyi sebagai berikut:

1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. 3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Pasal 17 tersebut pada dasarnya mengatur tentang keberadaan “penyelenggara negara” yang mempunyai peran strategis dalam mewujudkan tujuan negara. Penyelenggara negara itu mengarah pada Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar dan dalam menjalankan kekuasaanya tersebut, Presiden dibantu oleh sejumlah menteri.

Dalam perjalanan kehidupan bangsa yang merdeka selama lebih dari 63 tahun dan menikmati atmosfir reformasi selama lebih dari 10 tahun, baru kali inilah, terjadi kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah untuk menetapkan Undang Undang tentang Kementerian Negara. Peraturan perundang undangan tersebut diperlukan sebagai batu acuan (milestone) dalam menyusun kelembagaan pemerintahan. Sebagai bagian dari semangat reformasi birokrasi, Undang Undang tentang Kementerian Negara dibangun di atas pondasi akuntabilitas publik yang


(6)

lebih jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya lima kesepahaman antara DPR dengan Pemerintah.

Pertama, Undang-Undang tentang Kementerian Negara menegaskan kembali bahwa Presiden dibantu oleh para menteri yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, juga ditegaskan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif dalam menyusun kementerian negara yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Hadirnya Undang-Undang ini akan memudahkan Presiden dalam menyusun kelembagaan kementerian negara, karena secara jelas dan tegas Undang-Undang ini mengatur mengenai kedudukan, tugas, fungsi, dan susunan organisasi kementerian negara. Presiden juga diberikan payung hukum yang kuat dalam membentuk dan mengubah Kementerian melalui kriteria-kriteria yang diperlukan dalam melakukan pembentukan dan pengubahan Kementerian, misalnya suatu kementerian dibentuk dengan pertimbangan adanya perkembangan lingkungan global. Sedangkan pengubahan suatu kementerian dapat dilakukan dengan pertimbangan adanya kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri.

Kedua, meskipun memberikan ruang bagi penggunaan hak prerogatif Presiden, Undang-Undang ini tidak mengesampingkan peranan DPR. Oleh karena itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa jika Presiden hendak melakukan pengubahan dan pembubaran kementerian negara, maka Presiden perlu terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari DPR. Sedangkan persetujuan DPR diperlukan apabila ada kebutuhan dari Presiden untuk membubarkan kementerian


(7)

yang menangani urusan agama, hukum, keuangan dan keamanan. Di sisi lain, Presiden tidak dapat membubarkan kementerian luar negeri, dalam negeri dan pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ketiga, dengan didasari semangat untuk mendorong dilakukannya reformasi birokrasi guna terwujudnya struktur pemerintahan yang efisien dan efektif, Undang-Undang ini mengatur pembatasan jumlah kementerian negara yang dapat dibentuk oleh Presiden, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara. Namun demikian, perlu dipahami bahwa seluruh urusan pemerintahan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi harus tetap dijalankan oleh kementerian negara dalam jumlah yang paling efisien, yaitu paling banyak 34 (tiga puluh empat) kementerian negara atau kurang dari jumlah tersebut. Meskipun ada pembatasan, Undang-Undang ini tetap memberikan keleluasaan kepada Presiden untuk mewadahi suatu urusan pemerintahan dalam satu kementerian dan/atau menggabungkan dua atau lebih urusan pemerintahan dalam suatu kementerian negara tertentu.

Keempat, Undang-Undang ini tidak mencantumkan nomenklatur/ penamaan kementerian negara secara definitif, tetapi menggunakan pendekatan urusan-urusan pemerintahan yang harus dijalankan oleh Presiden secara menyeluruh dalam rangka pencapaian tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip dalam pendekatan urusan ini adalah bahwa seluruh urusan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian


(8)

Negara harus ditampung dalam kementerian sehingga satu kementerian dapat menangani satu atau lebih urusan pemerintahan,79

79

Vide Pasal 6 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

sesuai dengan pengorganisasian yang diserahkan kepada Presiden. Hal ini juga memberikan ruang gerak yang lebih leluasa bagi Presiden dalam menyusun kementerian negara. Pendekatan urusan-urusan pemerintahan tersebut dimaksudkan untuk lebih menitikberatkan pada upaya mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien serta mampu meningkatkan pelayanan publik yang prima.

Kelima, Undang-undang ini mengatur pula mengenai hubungan fungsional antara Kementerian dengan Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang selama ini dikenal sebagai Lembaga Pemerintah NonDepartemen. Sebagai lembaga pelaksana tugas khusus yang dimandatkan oleh Presiden, Lembaga Pemerintah NonKementerian berada di bawah koordinasi Menteri yang bersesuaian dengan bidang tugasnya. Pengaturan mengenai hal ini penting mengingat pembentukan kementerian negara semestinya didasarkan pada konsep pembagian habis urusan pemerintahan guna mewujudkan visi, misi dan strategi yang telah ditetapkan.

Undang-undang tentang Kementerian Negara yang terdiri atas 9 (sembilan) Bab dan 28 (duapuluh delapan) Pasal nantinya merupakan titik tolak bagi penataan kelembagaan pemerintahan yang selama ini diatur dalam tingkatan perundang-undangan Presiden. Ada perubahan yang cukup mendasar dalam konfigurasi jenis kementerian negara yang semula terdiri dari 3 (tiga) jenis kementerian yaitu Kementerian Koordinator, Departemen, dan Kementerian Negara menjadi hanya satu jenis yaitu dengan sebutan Kementerian.


(9)

Keberadaan Undang Undang ini mengisyaratkan adanya tanggung jawab bersama dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) antara Pemerintah/ Presiden, sektor swasta, dan masyarakat. Hal ini terlihat misalnya pada pelarangan rangkap jabatan bagi Menteri yang menjadi komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta. Menteri juga tidak boleh merangkap jabatan menjadi pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/ atau APBD.

Kelembagaan kementerian dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dilandasi klasifikasi urusan yang terdiri atas:80

1. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.

2. Urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945, meliputi urusan agama, hokum, keuangan, keamanan, HAM, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan.

3. Urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, meliputi: urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur Negara, kesekretariatan Negara, BUMN, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan,

80


(10)

teknologi, investasi, koperasi, UKM, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, oleh raga, perumahan, dan pembangungan kawasan atau daerah tertinggal.

Pembedaan urusan pemerintahan yang ditangani tersebut akan menentukan bentuk susunan organisasi dari kementerian negara yang bersangkutan.81 Namun demikian, pada umumnya susunan organisasi kementerian Negara terdiri atas: unsur pemimpin (Menteri), unsur pembantu pemimpin (Sekretariat Jenderal atau Sekretariat Kementerian), unsur pelaksana (Direktorat Jenderal atau Deputi), unsur pengawas (Inspektorat Jenderal atau Inspektorat), serta unsur pendukung (Badan dan/ atau Pusat, bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan82 dan unsur pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau di luar negeri (bagi kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan83

Pembagian susunan organisasi sebagaimana tersebut di atas didasari pada pendekatan fungsi manajemen serta dalam rangka upaya untuk menyerasikan proses internal organisasi dengan lingkungan eksternal. Susunan tersebut diharapkan dapat merefleksikan peran-peran yang diperlukan dalam suatu organisasi kementerian secara efisien. Namun demikian, pengaturan susunan organisasi dalam Undang-undang Kementerian Negara masih bersifat umum. dan kementerian yang menangani urusan agama, hukum, keuangan, dan keamanan. Di samping itu, bagi kementerian tertentu dapat diangkat Wakil Menteri apabila kementerian tersebut mempunyai beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus.

81

Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 82

Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

83


(11)

Susunan organisasi yang lebih rinci akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Presiden.84

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara akan dapat dirasakan secara nyata nanti setelah Presiden hasil Pemilu 2009 membentuk kabinet karena pada saat tersebut Presiden akan mengangkat menteri-menteri dan menyusun kementerian negara berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008. Presiden terpilih nantinya harus sudah membentuk kementerian paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan sumpah/ janji (pelantikan).85

Implementasi Undang-undang Kementerian Negara ini juga dapat menjadi momentum yang baik untuk menata kembali kelembagaan pemerintah secara keseluruhan agar lebih proporsional, efisien, dan efektif dan dapat menjalankan fungsi pelayanan publik yang prima. Hingga saat ini kelembagaan pemerintah dinilai masih kurang efisien dan masih jauh dari kondisi ideal yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang Kementerian Negara akan mengembalikan lagi peran-peran yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut secara lebih tepat. Sebagai contoh, dengan adanya fenomena menjamurnya lembaga non struktural, nantinya perlu dipilah peran yang dapat dilakukan lembaga non struktural sehingga tidak mengambil alih fungsi-fungsi kementerian negara karena berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 2008 urusan pemerintahan, termasuk perumusan kebijakan terkait dengan urusan pemerintahan tersebut adalah menjadi kewenangan kementerian negara. Dengan

84

Vide pasal 11 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 85


(12)

demikian, Undang-undang Kementerian ini diharapkan menjadi milestone untuk menata kembali kelembagaan pemerintahan sehingga nantinya dapat dihasilkan konfigurasi kelembagaan yang lebih baik dengan peran-peran yang tepat dan secara sinergis dapat menjadi birokrasi yang dapat menjalankan fungsi pemerintahan dan penyelenggaraan Negara secara lebih baik di masa yang akan datang.

B. Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Pembentukan kementerian negara mutlak berada di tangan presiden, Undang-undang kementerian negara mempertegas hal ini dengan menyatakan bahwa “Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia tahun 1945.86

Untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang harus memenuhi persyaratan:

Pembentukan kementerian dilakukan paling lama 14 hari kerja sejak presiden mengucapkan sumpah/janji. Urusan pemerintahan yang nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam UUD 194 harus dibentuk dalam satu kementerian tersendiri. Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden juga dapat membentuk kementerian koordinasi. Jumlah seluruh kementerian maksimal 34 kementerian.

87

86

Pasal 12 Undang-undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. 87


(13)

1. warga negara Indonesia;

2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

3. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;

4. sehat jasmani dan rohani;

5. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan

6. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pengaturan persyaratan pengangkatan menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu Presiden.88

Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima. Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan

88


(14)

diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya yang lebih bertanggung jawab.89

Kementerian negara yang selanjutnya disebut kementerian dibentuk dengan klasifikasi sebagai berikut:90

1. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; 2. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;

3. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 4. Kementerian Sekretariat Negara;

5. Kementerian Dalam Negeri; 6. Kementerian Luar Negeri; 7. Kementerian Pertahanan;

8. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 9. Kementerian Keuangan;

10.Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 11.Kementerian Perindustrian;

12.Kementerian Perdagangan; 13.Kementerian Pertanian; 14.Kementerian Kehutanan; 15.Kementerian Perhubungan;

16.Kementerian Kelautan dan Perikanan;

89

Penjelasan Undang-undang Kementerian Negara Alinea VIII. 90

Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.


(15)

17.Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 18.Kementerian Pekerjaan Umum;

19.Kementerian Kesehatan;

20.Kementerian Pendidikan Nasional; 21.Kementerian Sosial;

22.Kementerian Agama;

23.Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata; 24.Kementerian Komunikasi dan Informatika; 25.Kementerian Riset dan Teknologi;

26.Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah; 27.Kementerian Lingkungan Hidup;

28.Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;

29.Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi; 30.Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal;

31.Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional; 32.Kementerian Badan Usaha Milik Negara;

33.Kementerian Perumahan Rakyat; dan 34.Kementerian Pemuda dan Olah Raga.

C. Praktek Koalisi dalam Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Wacana koalisi bukanlah barang baru dalam perpolitikan Indonesia, tahun 1999, pernah terbentuk Poros Tengah, hasil koalisi beberapa partai politik yang


(16)

dimotori PAN dan PPP. Koalisi ini secara fenomenal sukses menaikkan Abdurahman Wahid sebagai Presiden pertama era reformasi. Namun usia kemassifan dan kesolidan Poros Tengah ternyata hanya seumur jagung. Kemudian tahun 2004 terbentuk Koalisi Kebangsaan untuk mendukung pasangan calon presiden (capres); calon wakil presiden (cawapres) Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Koalisi Kerakyatan untuk mendukung pasangan capres-cawapres Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Tetapi, kedua koalisi ini pun dalam perkembangannya tidaklah solid dan masif bahkan cenderung mencair.

Qodari (Khoirudin, 2004: 220) mengemukakan adanya empat hukum koalisi Capres dan Cawapres, yaitu:91

1. Pertama, Calon dari partai dengan perolehan kursi (atau persentase suara) lebih besar akan menjadi capres dan calon dari wakil harus puas dengan posisi calon wapres.

2. Kedua, Tiap partai dan calon akan berusaha berkoalisi dengan partai dan calon lain yang punya perolehan kursi yang signifikan di legislatif. Itu adalah koalisi yang berusaha mengupayakan penguatan kaki di DPR. Penguatan diperlukan untuk menjamin dukungan politik terhadap pembuatan kebijakan pemerintah.

3. Ketiga, Partai dan calon akan mencari partai yang lebih tinggi popularitas individualnya.

4. Keempat, Partai dan calon akan berkoalisi dengan partai dan calon lain yang dekat idiologi dan flatformnya.

91

Khoiruddin, Partai politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal. 220.


(17)

Meski ada kebutuhan menciptakan pasangan yang mewakili spektrum idiologis atau demografis. Terjadinya koalisi dimungkinkan oleh banyak faktor, di antaranya karena adanya kesamaan platform di antara partai yang akan berkoalisi tersebut. Platform yang dimaksud termasuk dalam masalah agama dan ekonomi. Dalam hal platform ekonomi, hampir semua partai besar punya platform yang sama: dalam retorika menekankan ekonomi kerakyatan, tapi dalam praktek melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi pasar. Karena itu, platform ekonomi belum menjadi faktor yang menentukan kenapa dua partai atau lebih membangun sebuah koalisi, sementara partai lainnya tidak bergabung dengan koalisi tersebut.

Dalam hal platform keagamaan, ada partai yang menekankan mendesaknya keterlibatan negara dalam menegakkan syariat Islam bagi kehidupan publik, seperti PBB, PKS, dan PPP, dan ada pula yang tidak demikian, seperti PDIP, Partai Golkar, PKB, dan PAN. Untuk sederhananya, kelompok yang pertama adalah partai Islam, sementara kelompok kedua adalah partai sekuler. Dalam dikotomi partai Islam dan partai sekuler ini, PKB dan PAN berada pada posisi yang agak kelabu. Walapun tidak berplatform Islam, sebagian besar elite dan pendukung partai ini secara historis terkait dengan organisasi Islam. Karena itu, secara kasar keduanya kadang-kadang dimasukkan ke kategori partai Islam. Kalau kesamaan platform keagamaan yang jadi dasar untuk koalisi, berarti koalisi yang mungkin adalah antara PPP, PBB, dan PKS, atau ditambah PAN dan PKB di satu sisi, dan di sisi lain PDI Perjuangan dan Partai Golkar.

Pasca Soeharto, koalisi yang pertama dikenal dengan nama Poros Tengah yang pernah terjadi dan sukses dalam pemilihan presiden di MPR tahun 1999.


(18)

Waktu itu Abdurrahman Wahid sebagai calon dari Poros Tengah menang mengalahkan Megawati. Kalau benar koalisi itu didasarkan atas sentimen keagamaan, mengapa koalisi tidak terjadi antara Golkar dan PDIP, yang sama-sama sekuler dan terancam oleh kekuatan Islam? Orang yang biasa melihat politik Indonesia dari kacamata Islam versus nasionalis-sekuler biasanya melakukan definisi ulang terhadap Golkar ketika dihadapkan dengan masalah tersebut: Golkar pasca-Soeharto adalah Golkar yang didominasi anak-anak santri, terutama yang berlatar belakang HMI. Dalam banyak hal, Golkar dan PAN tidak banyak berbeda. Karena itu, wakil-wakil Golkar di MPR tahun 1999 cenderung mendukung calon presiden dari Poros Tengah ketika dihadapkan pada pilihan antara Megawati yang nasionalis-sekuler dan Gus Dur yang berlatar belakang santri. Jika benar faktor sentimen ke-Islaman yang paling menentukan dalam koalisi ini, kemungkinan pola yang sama, yakni Poros Tengah plus Golkar, akan kembali terulang, karena sentimen keagamaan elite partai-partai itu sekarang pun kurang lebih sama, tapi kemungkinan lain juga harus dipertimbangkan.

1. Konsepsi dan Esensi Koalisi

Koalisi berasal dari bahasa latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat pengabung. Maka koalisi merupakan ikatan atau gabungan antara 2 atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau beberapa partai/ fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. Definisi


(19)

tersebut menunjukan bahwa koalisi dibentuk/ terbentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.92

Pendapat lain dikatakan oleh Yudha Hariwardana dalam artikelnya; mengatakan bahwa: Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Hal ini menunjukan bahwa dalam pembentukan sebuah koalisi mutlak adanya unsur kepentingan juga manfaat, sebuah koalisi tidak akan terbentuk begitu saja melainkan karena adanya faktor-faktor penentu yang mendukung. Misalkan partai A berkoalisi dengan partai B, hal tersebut terjadi karena partai A bias mengakomodir kepentingan dari partai B, demikian juga sebaliknya. Dengan kata lain terjadilah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan satu sama lain) dalam hal ini kepentingan masing-masing partai yang saling berkoalisi. Selain kepentingan dan untuk tercapainya tujuan tertentu pengertian lain dari koalisi bisa juga karena untuk memperoleh perolehan suara yang signifikan agar dapat memenangkan pertarungan.93

Essensi dari sebuah koalisi adalah adanya bergabungnya beberapa orang atau kelompok yang memiliki kepentingan. Karena dalam dunia politik yang berbicara adalah kepentingan, hal tersebut diperkuat oleh Syamsudin Haris yang menyatakan bahwa; secara teoritis, masalah koalisi sebenarnya hanya relevan dalam konteks sistem pemerintahan parlementer. Terciptanya koalisi sebenarnya

92

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi ke IV, Yayasan Cipta Loka, Jakarta, 1988, hal. 50.

93

Yudha Hariwardana, Mempertanyakan Urgensi Koalisi Permanen; http://Wordpress. go.id. Diaksses tanggal 1 Agustus 2010.


(20)

diperuntukan hanya dalam menggalang dukungan dalam membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, serta dibutuhkan untuk membangun dan memperkuat oposisi bagi partai-partai yang mempunyai kursi di parlemen namun tidak ikut memerintah.94

2. Sejarah Koalisi di Indonesia

Koalisi merupakan penggabungan dua kekuatan atau lebih untuk menggalang kekuatan lebih besar. Tujuan koalisi yakni mempengaruhi proses politik: pembuatan undang-undang dan perebutan kekuasaan. Biasanya, koalisi lahir untuk menghadapi kekuatan besar. Tak ada kamus, di mana koalisi melumat kekuatan kecil. Bisa juga, koalisi menghadapi ketidak pastian politik, di mana risiko kalah dan tersingkir jauh lebih besar ketimbang peluang menang. Koalisi amat akrab dalam praktis partai politik. Mereka yang bersekutu diwarnai perbedaan ideologi, kultural atau atribut kelompok menjadi satu barisan setelah diikat isu bersama mengenai persamaan persepsi terhadap masalah, atau kesejajaran kepentingan. Koalisi juga bisa lahir karena adanya musuh bersama. Bahkan, seringkali kambing hitam itu menjadi kebutuhan dasar yang sengaja diciptakan sebagai alasan bersatu. Tapi, koalisi juga bisa dibangun atas dasar kepentingan politik murni, yakni untuk mendapatkan jabatan publik strategis dan kemudian membagi-baginya di antara sesama peserta koalisi.

Kehidupan partai politik di Indonesia dikenal semenjak adanya Maklumat Presiden tanggal 16 Oktober 1945 Nomor X, dan pada tahun tersebut banyak

94

Syamsudin Haris, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 43


(21)

partai politik yang di bentuk oleh rakyat berdasarkan pada maklumat tersebut. Sebelumnya saat pemerintahan Proklamasi dibentuk, dalam susunan kabinetnya tidak terdapat dan tidak ditempati oleh orang-orang dari partai politik, walaupun telah keluar maklumat pemerintahan RI pada tanggal 3 November tahun 1945 yang menganjurkan mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat memperjuangkan kemerdekaan. Pada saat itu kabinetnya di sebut sebagai kabinet presidensial dan dipimpin oleh seorang presiden. Dalam perjalanannya usia dari kebinet ini tidak berlangsung lama hanya 3 bulan, dari tanggal 19 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945. Hal tersebut terjadi karena adanya Maklumat Presiden No X, juga pengaruh dari Syahrir tokoh Nasional yang sangat vokal pada saat itu yang menuntut dibentuknya kabinet parlementer. Inilah kejadian pertama dari penyimpangan terhadap UUD 1945. Mulai saat itu kabinet-kabinet ke dua dan seterusnya dijabat oleh partai-partai politik dan bertanggung jawab kepada parlemen, dan partai-partai yang memimpin kementrian dalam kabinet baik parlementer maupun presidensial pada saat itu adalah partai-partai yang yang melakukan koaliasi (berkoalisi) seperti Parkindo dan Masyumi yang berkoaliasi pada masa kabinet Syahrir I.

Adapun partai yang tidak ikut berkoalisi adalah partai yang memilih jalur sebagai oposisi, Sejalan dengan yang dikatakan Miftah Toha, bahwa: Kabinet yang tersusun pada waktu itu ternyata telah dilakukan berdasarkan koalisi di antara parpol. Selebihnya di antara parpol yang tidak berkoalisi memilih jalur oposisi, koalisi dan oposisi dimulai dari kabinet parlementer Syahrir pertama sampai seterusnya dan kembali ke kabinet presidensial Moh. Hatta dan


(22)

seterusnya.95 Setelah selesai pemilihan umum pada tahun 1955, partai-partai politik merasa mempunyai legalitas dan memperoleh kekuasaan secara formal. Sejak saat itu, dalam politik Indonesia, partailah yang memegang kekuasaan politik; walaupun dalam kenyataan kepemimpinan politiknya dilakukan atas dasar kerjasama, aliansi, koalisi antara dua kekuatan atau lebih. Oleh karena itu, perkembangan situasi Tanah Air yang rawan oleh pemberontakan Poerwantana menambahkah bahwa pada tahun 1945 presiden Soekarno menganjurkan unruk membubarkan partai-partai kecil karena tidak mampu membuat konsensus pembentukan kabinet koalisi.96

Terlepas dari berbagai regulasi mengenai koalisi point penting terhadap masalah ini adalah sejauh mana para pemimpin bangsa sungguh-sungguh bertanggung jawab dan berpihak kepada aspirasi dan kepentingan rakyat, dan hal tersebut barangkali masih merupakan pertanyaan besar. Begitupula, kualitas

Dari penjabaran di atas jelas terlihat bahwa istilah koalisi antar partai politik bukanlah merupakan barang baru dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Koalisi tidak muncul pertama kalinya pada saat Pemilu Capres/ Cawapres tahun 2004 lalu, melainkan dari tahun 1945. Selanjutnya pada Pemilu 2004 saat diadakannya pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia, wacana koalisi terangkat kembali, partai politik yang mengusung pasangan Capres-Cawapres adalah partai politik yang saling berkoalisi terlepas dari tujuan diakannya koalisi tetrsebut, apakah untuk memenangkan Pemilu, menghadapi kekuatan besar ataukah hanya kepentingan.

95

Miftah toha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 119.

96


(23)

demokrasi dan tata-pemerintahan mungkin masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi dan menilainya. Apakah koalisi tersebut bersifat permanen atau masih hanya sekedar untuk kemenangan calon saja (koalisi pragmatis). Kendati demikian, berbagai kecenderungan proses dan hasil pemilihan capres-cawapres, tetap merupakan bahan kajian yang menarik.

Kecenderungan proses pencalonan dan koalisi antar partai dalam mengajukan kandidat atau pasangan calon adalah salah satu fenomena paling menarik. Daya tarik itu tidak hanya terletak pada kecenderungan yang berbeda dengan yang terjadi melainkan juga pada pola koalisi antar partai yang cenderung berbeda dengan hasil pemilu legislatif. Partai-partai yang secara ideologis sering dipandang sangat berbeda satu sama lain bahkan bisa saling berkoalisi dalam mengajukan pasangan kandidat dalam pemilihan Capres-Cawapres.

3. Praktik Koalisi dalam Pembentukan Kabinet Pasca Amandemen Undang-undang Dasar 1945

Sejak Pemilihan Umum 1999, praktik sistem pemerintahan presidensial Indonesia beralih dari sistem kepartaian dominan (dominant party) menjadi sistem kepartaian majemuk (multiparty). Melalui perubahan UUD 1945, peralihan itu diikuti dengan purifikasi sistem pemerintahan presidensial (Isra, 2009). Berdasarkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945, salah satu upaya purifikasi tersebut pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung.97

97

Saldi Isra, 2008, Simalakama Koalisi Presidensial, dalam Harian Kompas, 27 November, Jakarta.


(24)

Gambaran praktik sistem pemerintahan presidensial yang dibangun dengan model kepartaian majemuk baru dapat dilihat agak lebih utuh setelah Pemilihan Umum (Pemilu) 2004. Gagal menghasilkan pemenang mayoritas, pemilu pertama paska perubahan UUD 1945 menghasilkan 17 partai politik yang mendapat kursi di DPR. Berdasarkan hasil Pemilu Legislatif, jumlah kursi terbesar diraih Partai Golkar dengan 127 kursi (23%) DPR. Sementara itu, dalam pemilihan presiden, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) mendapat dukungan 69.266.350 (60.62%) suara sah. Sementara itu, pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi memperoleh 44.990.704 (39,38%) suara sah. Jika hasil itu diletakkan di tingkat provinsi, SBY-JK unggul di 28 provinsi atau 88% dan pasangan Mega-Hasyim hanya mampu menguasai 4 provinsi atau 12% dari jumlah provinsi yang ada.98

Meski SBY-JK berhasil menang secara mencolok, secara keseluruhan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden hanya menghasilkan minority government.

Menurut Jose A. Cheibub, minority government terjadi karena pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di lembaga legislatif atau, dalam sistem bikameral, pemerintah tidak mengontrol suara mayoritas di salah satu kamar lembaga legislatif (Cheibub, 2002: 287). Pasalnya, partai politik pendukung awal SBY-JK (Partai Demokrat; Partai Bulan Bintang; dan Partai Keadilan dan Persatuan

Jika dirinci lebih jauh ke tingkat kabupeten/kota, berdasarkan hasil rekapitulasi Litbang Kompas, SBY-JK menang di 339 (77%) dan Mega-Hasyim menang di 101 (23%) dari keseluruhan jumlah kabupeten/kota.

98

Eep Saifulloh Fatah dkk, Pemimpi Perubahan: PR Untuk Presiden RI 2005-2009, KotaKita Press, Jakarta, hal. 63.


(25)

Indonesia) hanya mendapat dukungan 68 kursi (12%) di DPR.99

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi (coalition) dengan dukungan mayoritas absolut (sekitar 70 persen) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa partai politik di luar pendukung awal, tidak membuat pemerintah menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. Bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda pemerintah. Sulit dibantah dan secara jujur harus diakui, sepanjang pemerintahannya, koalisi berubah menjadi buah simalakama bagi SBY-JK.

Dengan kondisi dukungan itu, pemerintahan koalisi menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

100

Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri sampai era SBY-JK praktik sistem presidensial di Indonesia selalu menghadirkan minority government. Sebagaimana diketahui, hasil Pemilu 1999 tidak menghasilkan partai politik pemenang suara mayoritas di DPR (juga di MPR). Sebagai pemenag pemilu, PDI Perjuangan (PDI-P) hanya memperoleh 153 kursi (33,7%) dari 500 kursi DPR. Dengan hasil itu, hampir mustahil bagi PDI-P meloloskan ketua umumnya menjadi presiden tanpa dukungan partai politik lain. Ironisnya, kata Syamsuddin Haris, hampir tidak ada inisiatif politik dari Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus calon presiden yang direkomendasikan oleh Kongres PDI Perjuangan di Bali untuk menggalang

99

Dari jumlah itu, Partai Demokrat mendapatkan 56 kursi; Partai Bulan Bintang 11 kursi; dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia mendaptkan 1 kursi. Angka 12 persen juga merupakan hasil dari sebuah koalisi.

100


(26)

dukungan dan kerja sama politik dengan partai politik lain di luar PDI Perjuangan.101

Langkah darurat itu pula yang dilakukan Presiden SBY sebagai presiden minoritas (minority president sekaligus menghasilkan praktik sistem pemerintahan presidensial yang minority government) dengan hanya didukung modal awal 12 persen suara di DPR. Untuk memperbesar dukungan di DPR, SBY-JK merangkul beberapa partai politik di luar Partai Demokrat, PBB dan PKPI, yaitu PKS, PPP, PAN, Partai Golkar, dan PKB. Sekalipun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 pengangkatan menteri negara merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana kecenderungan koalisi dalam sistem presidensial yang dikemukakan Cheibub sebelumnya, langkah yang dilakukan Presiden SBY adalah membagi jabatan menteri kepada sejumlah partai politik yang menjadi bagian dari koalisi SBY-JK.102

Pengalaman koalisi kabinet SBY-JK, misalnya, sejumlah kalangan di Golkar sering “mengusik” Yudhoyono dengan menolak mengakui menteri yang berasal dari kader Golkar sebagai representasi partai berlambang pohon beringin ini di kabinet. Meskipun kemudian ada penambahan jumlah kader di kabinet, Golkar tetap saja tidak sepenuh hati mendukung agenda pemerintah di DPR. Kecenderungan serupa juga dilakukan partai politik lain yang menjadi pendukung koalisi pemerintahan SBY-JK. Selain itu, desain UUD 1945 setelah perubahan juga cenderung mempersulit posisi presiden berhadapan dengan DPR terutama dengan adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20A Ayat (2) UUD 1945

101

Syamsuddin Haris, 2007, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal. 69.

102


(27)

yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.103

103

Saldi Isra, 2008, Simalakama...

Sekalipun koalisi sistem presidensial dengan kepartaian majemuk menghadirkan banyak kesulitan dan masalah, menilik design sistem pemilu presiden yang berlaku, sulit menghindar dari pembentukan pemerintahan koalisi. Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu. Kemudian, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mengharuskan syarat dukungan paling sedikit 20 persen perolehan kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu DPR bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.


(28)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Republik Indonesia psaca amandemen UUD 1945 adaah sistem pemerintaha presidensial murni, yaitu suatu sistem pemerintahan yang benar-benar memiliki karakter sistem pemerintahan presidensial. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan sebelum amandemen yang menggunakan sistem campuran, yaitu campuran antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini dikarenakan dalam sistem ini Presiden ditentukan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan golongan fungsional.

2. Pembentukan kabinet dalam sistem pemerintaan presidensial pasca amandemen Undang-undang Dasar 1945 mutlak berada di tangan presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini dipertegas kembali oleh Undang-undang kementerian negara yang menyatakan bahwa “Presiden membentuk kementerian luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar 1945 Republik Indonesia tahun 1945.


(29)

B. Saran

1. Perlu adanya konsistensi dari pelaksanaan UUD 1945, khususnya yang mengatur mengenai pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial murni yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasca amandemen 1999-2002. 2. Presiden terpilih selaku pemegang hak prerogatif dalam pembentukan

kabinet tidak harus berkiblat pada kerangka koalisi yang telah dibangun, tetapi hendaknya harus mengedepankan profesionalitas dan kompetensi para menteri yang akan menduduk i jabatan-jabatan tertentu dalam kabinet yang akan dibentuk.


(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM SISTEM PEMERINTAHAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan

Untuk memahami lebih jauh mengenai pengertian sistem, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat tentang defenisi dari sistem tersebut. Sistem adalah suatu keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional, baik antara bagian yang satu dengan bagian yang lain maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan itu dapat menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, akibat yang ditimbulkan jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik maka akan mempengaruhi bagian-bagian yang lainnya.28

“Sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh, dimana di dalamnya terdapat komponen-komponen yang pada gilirannya merupakan sistem tertentu yang mempunyai fungsi masing-masing, saling berhubungan satu dengan yang lain menurut pola, tata atau norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan”.

Berkaitan dengan defenisi sistem, Pamudji menegaskan bahwa:

29

28

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1988, hal. 66.

29

Pamudji, Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal. 9-10.

Dari kedua rumusan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa sistem adalah suatu kebulatan atau keseluruhan yang utuh dari beberapa komponen yang mempunyai hubungan fungsional dan ketergantungan antara satu dengan yang lain menurut suatu norma tertentu dalam rangka mencapai suatu tujuan.


(31)

Secara etimologi, kata pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan pemerintah berasal dari kata perintah. Menurut kamus bahasa, kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut:

a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;

b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu negara (daerah negara) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara;

c. Pemerintahan adalah suatu perbuatan atau cara, urusan dalam hal memerintah.30

Pengertian pemerintahan juga mempunyai dua pengertian yang berbeda yaitu pemerintahan dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti yang sempit. Pemerintah dalam arti yang luas adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh organ-organ dan badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam rangka mencapai tujuan negara. Menurut ajaran tripraja, pemerintah dalam arti sempit hanya meliputi kekuasaan eksekutif saja dan pemerintahan dalam arti sempit meliputi segala kegiatan dari pemerintah. Jadi pemerintahan dalam arti sempit adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif dan jajarannya dalam rangka mencapai tujuan negara.31

1. Pemerintah sebagai gabungan seluruh badan kenegaraan yang berkuasa memerintah, dalam arti kata luas. Jadi termasuk seluruh badan kenegaraan yang bertugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, yakni badan yang bertugas membuat peraturan undangan, badan yang bertugas menjalankan peraturan perundang-undangan, dan badan yang bertugas mengawasi bagaimana peraturan perundang-undangan tersebut dijalankan. Dengan demikian badan-badan tersebut meliputi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Utrecht berpendapat bahwa istilah pemerintah itu meliputi 3 (tiga) pengertian yang berbeda, yaitu:

30

Ibid., hal. 3. 31


(32)

2. Pemerintah sebagai gabungan badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara, misalnya: Raja, Presiden, Yang Dipertuan Agung.

3. Pemerintah dalam arti kepala negara (Presiden) bersama-sama dengan menteri-menterinya, yang berarti organ eksekutif, yang biasa disebut dengan dewan menteri atau kabinet.32

Jadi apabila pengertian sistem dan pengertian pemerintahan dikaitkan, maka kebulatan atau keseluruhan yang utuh itu adalah pemerintahan, sedangkan komponen-komponen itu adalah legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang mana komponen tersebut telah mempunyai fungsi masing-masing. Komponen-komponen itu saling berhubungan satu dengan yang lain mengikuti suatu pola, tata dan norma tertentu.

Pada bab sebelumnya penulis juga sudah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah sistem hukum ketatanegaraan, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu mengenai hubungan antarpemerintah dan badan yang mewakili rakyat.33 Mahfud MD mengemukakan bahwa sistem pemerintahan dapat juga dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antarlembaga-lembaga negara.34

Penulis mengambil kesimpulan bahwa sistem pemerintahan adalah pola pengaturan hubungan antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya atau bila disederhanakan ialah hubungan antara lembaga ekskutif, legislatif, dan yudikatif. Hubungan itu meliputi hubungan hukum, hubungan organisasi, hubungan kekuasaan maupun hubungan fungsi.35

32

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Alumni, Bandung, 1975, hal. 23. 33

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, loc. cit. 34

Moh. Mahfud MD dalam ibid. 35

Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia Suatu Model Pengantar, Sinar Baru, Bandung, 1985, hal. 140.


(33)

dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan Negara yang lazimnya dirumuskan dalam undang-undang dasar suatu Negara atau dokumen-dokumen Negara resmi lainnya.

Dari penelusuran berbagai literatur hukum tata negara dan ilmu politik, terdapat perbedaan varian sistem pemerintahan. Misalnya C. F. Strong dalam buku “Modern Political Constitution” membagi sistem pemerintahan ke dalam kategori: parliamentary executive dan non-parliamentary excecutive atau the fixed executive.36 Sama halnya dengan C. F. Strong, beberapa pakar dan pengkaji hukum tata negara Indonesia juga punya pandangan yang beragam mengenai betuk sistem pemerintahan. Misalnya Jimly Asshiddiqie membagi sistem pemerintahan menjadi tiga kategori, yaitu sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem pemerintahan parlementer (parliamentary system), dan sistem campuran (mixed system atau hybrid system).37 Sri Soemantri juga mengemukakan tiga varian sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial, dan sistem pemerintahan campuran.38 Jika kita melihat pendapat Denny Indrayana mengenai sistem pemerintahan, akan kita temukan bentuk-bentuk sistem pemerintahan yang lebih variatif lagi, yaitu sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial, sistem hibrid atau campuran, sistem kolegial, dan sistem monarki.39

Walaupun terdapat banyak varian mengenai bentuk-bentuk sistem pemerintahan, namun sistem pemerintahan yang dibahas dalam penelitian ini

36

C. F. Strong dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 24. 37

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hal. 311.

38

Sri Soemantri dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 25. 39


(34)

dibatasi pada sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Karena secara umum pilihan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa ketiga sistem pemerintahan tersebut lebih banyak dipraktikkan jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya. Bahkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan dinilai mengandung unsur sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial atau sistem pemerintahan campuran. Di samping itu, jika dihubungkan dengan perkembangan sistem ketatanegaraan Indonesia, semua konstitusi yang pernah ada dan termasuk yang kini sedang berlaku tidak perah memperlihatkan karakter sistem pemerintahan kolegial dan sistem pemerintahan monarki.40

B. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial 1. Sistem Pemerintahan Parlementer

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, yang dimaksud dengan sistem pemerintahan parlementer ialah sistem pemerintahan yang tugas pemerintahannya dipertanggungjawabkan oleh para menteri ke parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet, tetapi pemerintah juga dapat membubarkan parlemen apabila parlemen dianggap tidak mewakili kehendak rakyat.41

Dalam semua varian sistem pemerintahan yang dikemukakan di atas, sistem pemerintahan parlementer adalah sistem pemerintahan yang paling luas diterapkan di seluruh dunia. Sistem pemerintahan parlementer ini pertama kali

40

Ibid., hal. 25-26. 41

http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlementer, diakses pada tanggal 12 Mei 2010.


(35)

lahir dan dilaksanakan di Inggris. Oleh karena itu, jika hendak menganalisis sistem pemerintahan parlementer sebaiknya dimulai dengan mengacu kepada berbagai lembaga dalam sistem politik Inggris. Tidak hanya merujuk kepada lembaga-lembaga politik, analisis juga harus mengacu kepada pengalaman Inggris dalam menganut sistem pemeritahan parlementer.42

Berdasarkan sejarah perkembangan sistem pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan parlementer tumbuh melalui suatu perjalanan sejarah ketatanegaraan Inggris yang panjang. Munculnya kabinet modern Inggris umumnya dikaitkan dengan kekuasaan Partai Whigs era pemerintahan William Walpole (1721-1742). Meski fakta itu dianggap benar, masih perlu mundur jauh ke belakang untuk menelusuri asal-usul kabinet modern yang sebenarnya. Sebelumnya raja menggabungkan kekuasaan negara (law giver, the excecutor of the law, and the judge) dalam jabatannya. Di bawah kekuasaan William I dibentuk the Great Council untuk membantu raja menjalankan tiga kekuasaan itu.43

Dalam sejarah Inggris, sistem ini dikembangkan karena adanya keperluan politis yang mendesak, sehingga perkembangannya tidaklah didasarkan atas tuntutan konstitusi, hukum, dan teori politik. Praktik mengenai ini berkembang mendaului teori yang dibuat. Pada mulanya, kabinet dibentuk sebagai suatu dewan pelayan rahasia ataupun dewan pelaksana perintah dari para Raja dalam menjalankan pemerintahan negara.44

42

Saldi Isra, loc. cit. 43

C. F. Strong dalam ibid., hal. 27. 44


(36)

Untuk menjamin kekuasaannya, para Perdana Menteri Inggris pada awal abad ke-18, selalu berusaha mencari dukungan parlemen sebagaimana dukungan dan kepercayaan yang mereka berusaha dapatkan dari Raja. Dukungan dari para anggota parlemen dibutuhkan oleh Perdana Menteri untuk mengesahkan anggaran pendapatan dan belanja kabinet yang diajukan sebagaimana ia membutuhkan kepercayaan dari Raja agar ia dapat tenang menjalankan tugasnya memimpin roda pemerintahan. Peristiwa yang dapat dianggap sebagai awal tumbuhnya tradisi dukungan parlemen itu, terjadi pada tahun 1742. Ketika itu, kedudukan Perdana Menteri Inggris dipegang oleh Sir Robert Walpole (1721-1742). Tetapi karena kehilangan kepercayaan dan dukungan parlemen, Walpole terpaksa mengundurkan diri meskipun Raja masih memberikan kepercayaan kepadanya untuk terus memimpin pemerintahan kerajaan Inggris.45

Peristiwa inilah yang kemudian yang menjadi preseden sehingga dukungan parlemen dianggap perlu bagi Perdana Menteri untuk menjalankan roda pemerintahan. Dari sudut sejarah pertumbuhannya, sistem kabinet ini dapat dianggap sebagai jawaban terhadap kebutuhan untuk membatasi kekuasaan Raja yang sebelumnya berkembang sesuai dengan prinsip Raja tidak mungkin melakukan kesalahan (the King can do no wrong)46

45

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah : Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996, hal, 65-66.

46

Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara…, op. cit. hal. 312.

yang berlaku umum di lingkungan negara-negara monarki seperti di Inggris. Begitu juga dengan pertanggungjawaban kabinet terhadap parlemen ini pada umumnya muncul karena adanya perselisihan antara Raja dan kabinet dengan parlemen, yang


(37)

dimungkinkan karena tanggung jawab Raja dalam hal-hal tertentu masih belum dapat dijangkau. Akibatnya, menteri harus bertanggung jawab, bukannya Raja.47

Mencermati kajian tentang sistem pemerintahan parlementer, perbedaan model yang ada tidak banyak dipersoalkan. Karena itu, kajian lebih banyak diarahkan pada karakter umum sistem pemerintahan parlementer. Dalam melakukan kajian, cara mudah untuk mengenal sistem pemerintahan parlementer adalah dengan memperhatikan dimana letak objek utama yang diperebutkan. Dalam sistem pemerintahan parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah parlemen. Berkaitan dengan itu, pemilihan umum parlemen menjadi sangat penting karena kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai kontestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas dalam parlemen. Seandainya tidak terdapat partai politik yang memperoleh suara mayoritas, beberapa partai politik bergabung (koalisi) untuk membentuk kabinet.48

Untuk mendalami karakter sistem pemerintahan parlementer, tidak cukup hanya dengan memperhatikan parlemen sebagai objek utama yang diperebutkan. Sistem parlementer merupakan sistem yang menterinya bertanggung jawab kepada parlemen ditambah dengan kekuasaan yang lebih kepada parlemen.49

Dalam sistem pemerintahan parlementer, badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet, sebagai bagian dari badan eksekutif Dengan argumentasi ini, sistem pemerintahan parlementer didasarkan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi.

47 Ibid. 48

Saldi Isra, op. cit., hal. 28. 49

R. M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, dalam Jurnal Kostitusi, Vol. 1 No.1., Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2004, hal. 156.


(38)

yang bertanggung jawab diharap mencerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif yang mendukungnya dan mati-hidupnya kabinet bergantung kepada dukungan dalam badan legislatif.50 Dalam perjalanannya, pemerintah bisa jatuh melalui mosi tidak percaya dari lembaga legisatif. Dengan kondisi itu, dalam sistem parlementer, keberlanjutan pemerintah sangat tergantung dari dukungan parlemen.51 Dalam praktiknya, sifat serta bobot ketergantungan tersebut berbeda antara satu negara dengan negara lain, akan tetapi umumnya dicoba untuk mencapai semacam keseimbangan antara badan eksekutif dan badan legislatif.52 Keseimbangan yang harus dibangun oleh eksekutif dan legislatif bisa dilakukan dengan bentuk kerja sama antara eksekutif dan legislatif agar pemerintah dapat bertahan dan efektif dalam melaksanakan program-programnya.53

a. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak murni terpisahkan;

Prinsip pokok ataupun karakteristik umum dibawah ini dapat memberikan kita kemudahan untuk mengetahui bahwa sistem pemerintahan yang dianut suatu negara tersebut merupakan sistem pemerintahan parlementer, antara lain yaitu:

b. Fungsi eksekutif dibagi kepada dua bagian, yaitu kepala pemerintahan dan kepala negara;

c. Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara;

d. Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif;

50

Miriam Budiardjo, op. cit., hal. 210. 51

Ibid. 52

Ibid. 53


(39)

e. Menteri biasanya berasal dari anggota parlemen;

f. Pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen, bukan kepada rakyat pemilih. Karena, pemerintah tidak dipilih oleh rakyat secara langsung, sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat pemilih juga bersifat tidak langsung, yaitu melalui parlemen;

g. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala negara untuk membubarkan parlemen;

h. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan parlemen dianggap lebih tinggi daripada bagian-bagian dari pemerintahan;

i. Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.54

Bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer ini, yang memegang kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan ialah Perdana Menteri yang berasal dari parlemen. Selain sebagai kepala pemerintahan yang fungsinya untuk menjalankan roda pemerintahan, salah satu hal yang harus dilakukan oleh seorang Perdana Menteri berikut dengan menteri-menterinya (kabinet) ialah senantiasa menjaga kepercayaan dan meminta dukungan dari parlemen agar dalam menjalankan tugasnya sehari-hari mendapat sambutan yang hangat dari parlemen dan untuk menghindari munculnya mosi tidak percaya dari parlemen terhadap kabinet yang bisa datang sewaktu-waktu, akibatnya ialah runtuh atau jatuhnya kabinet. Serta maju mundurnya suatu kabinet sangat tergantung kepada parlemen, dengan kata lain kabinet akan senantiasa berada di bawah tekanan parlemen.

54


(40)

2. Sistem Pemerintahan Presidensial

Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan perkembangan sistem parlementer Inggr is, sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Dalam berbagai literatur dinyatakan, Amerika Serikat bukan saja merupakan tanah kelahiran sistem pemerintahan presidensial, tetapi juga menjadi contoh ideal karena telah memenuhi hampir semua kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial. Oleh karena itu, jika hendak melakukan pengkajian mengenai sistem pemerintahan presidensial, maka ada baiknya dimulai dengan menelaah sistem politik Amerika Serikat.55

Latar belakang dianutnya sistem pemerintahan presidensial di Amerika Serikat ialah karena kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam trias politica itu terdapat sistem check and balance.

Berbeda dengan sejarah sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan tidak dibangun melalui proses evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari perjuangan Amerika Serikat dalam menentang dan melepaskan diri dari kolonial Inggris serta sejarah singkat pembentukan konstitusi Amerika Serikat.

56

55 Ibid. 56


(41)

Sebagai bentuk daripada penolakan terhadap Inggris, maka pembentuk konstitusi Amerika Serikat berupaya membentuk sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang dipraktikkan di Inggris. Salah satu konsep yang dimuat dalam konstitusi Amerika Serikat ialah pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif. Tidak hanya itu, jabatan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan pertama kali juga muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18.57 Jabatan presiden tersebut merupakan hasil Konvensi Federal pada tahun 1787.58 Sekalipun memilih Presiden dan menolak Raja, para perancang konstitusi Amerika Serikat memutuskan bahwa Presiden harus mempunyai kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya masalah bangsa. Karena itu dirancanglah konstitusi yang memberikan kekuasaan besar kepada Presiden, namun dengan tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis Raja yang tiran.59

Diantara semua kawasan di dunia, negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan merupakan kawasan yang paling luas menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu alasannya, secara geografis, negara-negara tersebut lebih dekat dengan Amerika Serikat. Sementara itu, di Afrika, Presiden Liberia yang hadir pada tahun 1848 adalah Presiden pertama yang mendapat pengakuan dunia internasioanl.60

57

Denny Indrayana dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 32. 58

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, ibid. 59

Ibid. 60

Ensiklopedi Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/president, diakses pada tanggal 29 Mei 2010.

Di Asia, pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang Presiden dicangkokkan Amerika Serikat di Filipina pada 1935.


(42)

peritiwa itu terjadi ketika Filipina memperoleh kemerdekaan dalam bentuk The Commonwealth of the Phlippinnes dari Amerika Serikat.61

Dengan semakin meluasnya negara-negara yang menganut bentuk pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang Presiden, mulai muncul kajian-kajian tentang praktik sistem pemerintahan presidensial. Misalnya, pada era 1940-an muncul kajian tentang perbandingan antara sistem pemerintahan parlementer dengan sistem pemerintahan presidensial. Selanjutnya, pada era 1950-an sampai 1970-an, kajian sistem pemerintahan presidensial lebih banyak menyoroti proses demokrasi dalam pelaksanaan fungsi legislasi pada sistem pemerintahan presidensial di Amerika. Dari berbagai literatur yang ada, era 1980-an sampai deng1980-an 1990-1980-an menjadi periode y1980-ang paling luas dalam mengkaji sistem pemerintahan presidensial. Pada periode 1980-1990-an ini, kajian mulai mengarah pada praktik sistem pemerintahan presidensial di beberapa benua.62

a. Gelombang pertama, ditandai oleh satu variabel penjelas, yaitu bentuk pemerintahan (tipe rezim) dan variabel perantara yakni keberhasilan konsolidasi demokrasi.

Pada era abad ke-19 sampai awal abad ke-21, kajian atas sistem pemerintahan presidensial memasuki dimensi yang lebih luas. Gelombang studi mengenai sistem pemerintahan presidensial pada tahun 1990 sampai awal abad ke-21 terus mengalami perkembangan. Secara umum, pada periode ini terdapat empat gelombang pemikiran dan studi mengenai sistem pemerintahan presidensial, yaitu:

b. Gelombang kedua, ditandai dengan variabel penjelas, yakni tipe rezim ditambah dengan sistem kepartaian dan/atau leadership powers dan

61

Harun Alrasyid dalam Saldi Isra, op. cit., hal. 34. 62


(43)

variabel perantara yaitu good governance yang pada umumnya bertentangn dengan variabel perantara konsolidasi demokrasi.

c. Gelombang ketiga, berbeda dengan gelombang pertama dan kedua, pada gelombang ketiga ini ditandai dengan pengaruh teori-teori ilmu politik. Dalam hal ini, manfaat-manfaat rezim presidensial tidak lagi menjadi satu-satunya fokus studi.

d. Gelombang keempat, penguatan paradigma good governance semakin mensyaratkan perubahan-perubahan struktural dan fungsi pada level sistem pemerintahan.63

Jika sejarah perkembangan sistem pemerintahan parlementer lebih menggambarkan perjuangan mengurangi kekuasaan absolut yang dimiliki Raja, maka perkembangan sistem pemerintahan presidensial lebih banyak ditandai dengan masalah dasar, yaitu bagaimana mengalola hubungan antara presiden dengan lembaga legislatif. Karena sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, sistem pemerintahan presidensial sering terjebak dalam ketegangan antara presiden dengan lembaga legislatif. Hal itu sering terjadi jika kekuatan partai politik mayoritas di lembaga legislatif berbeda dengan partai politik Presiden.

Menelusuri perkembangan sistem pemerintahan presidensial, masa jabatan yang tetap (fix term) hanya merupakan jaminan bahwa Presiden dapat bertahan sampai akhir masa jabatannya. Namun secara keseluruhan, masa jabatan Presiden tidak menjamin bahwa sistem pemerintahan presidensial lebih stabil dan mampu bertahan dalam kurun waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan parlementer.

Sementara itu, jika partai mayoritas di lembaga legisatif sama dengan partai politik pendukung Presiden atau mayoritas partai di lembaga legislatif mendukung Presiden, maka sistem pemerintahan presidensial akan mudah

63


(44)

terperangkap menjadi pemerintahan yang otoriter. Hal tersebut bisa terjadi jika mayoritas suara yang ada di lembaga legislatif telah berhasil diraih ataupun dikuasai Presiden. Kondisi yang seperti ini dapat memberikan potensi yang besar untuk menjadikan Presiden sangat berkuasa.

Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer, sistem pemerintahan presidensial tidak hanya meletakkan Presiden sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga sebagai pusat kekuasaan negara. Artinya, Presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi juga sebagai kepala negara. Itulah sebabnya kekuasaan Presiden tidak hanya menyentuh wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi juga merambah pada fungsi legisasi dan kewenangan di bidang yudikatif.64 Dengan kekuasaan Presiden yang begitu luas, jika dalam sistem pemerintahan parlementer objek yang diperbutkan ialah parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial objek yang diperbutkan ialah Presiden. Sekalipun dalam sistem pemerintahan presidensial tidak satupun lembaga negara yang menjadi fokus kekuasaan, peran dan karakter individu Presiden lebih menonjol dibandingkan dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada dalam negara. Oleh karena itu, mayoritas para ahli dalam menguraikan sistem pemerintahan presidensial cenderung menghadapkan posisi Presiden dengan lembaga legislatif.65

Untuk memahami lebih jauh tentang sistem pemerintahan presidensial, berikut ini akan dipaparkan karakteristik umum yang menggambarkan sistem pemerintahan presidensial tersebut, yaitu:

64

Denny Indrayana dalam ibid., hal. 38. 65


(45)

a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif.

b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden saja.

c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan.

d. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.

e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya.

f. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.

g. Jika dalam sistem pemerintahan parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.

h. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat. i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem

pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen. 66

Berdasarkan karakter yang dikemukakan di atas, hampir semua ahli sepakat bahwa salah satu karakter sistem pemerintahan presidensial yang utama adalah Presiden memegang fungsi ganda, yaitu sebagai kepala negara dan sekaligus sebagai kepala pemerintahan. Meski sulit untuk membedakannya secara jelas, sebagai kepala negara, jabatan Presiden dapat dikatakan sebagai simbol negara. Dalam kekuasaan eksekutif, sebagai kepala pemerintahan, Presiden merupakan pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tidak hanya sekedar memilih anggota kabinet, tetapi juga berperan penting dalam pengambilan keputusan di dalam kabinet. Terkait dengan hal itu, segala keputusan-keputusan penting dalam sistem pemerintahan presidensial dapat dibuat dengan atau tanpa pertimbangan anggota kabinet. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang tidak memungkinkan Perdana Menteri untuk membuat semua keputusan penting tanpa melibatkan anggota kabinet.

66


(46)

Di luar fungsi ganda yang dipegang oleh Presiden, karakter sistem pemerintahan presidensial dapat juga dilihat dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif. Pola hubungan itu sudah bisa dilacak dengan adanya pemilihan umum yang terpisah untuk memilih Presiden dan memilih anggota legislatif.67

a. Presiden yang dipilih secara langsung menjadikan kekuasaannya menjadi

legitimate karena mendapat mandat langsung dari rakyat. Sementara itu Sistem pemerintahan presidensial murni merupakan sistem yang antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif berifat independen antara satu dengan yang lainnya, karena masing-masing cabang kekuasaan ini mendapat mandat langsung dari rakyat.

Dengan pemisahan secara jelas antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial, pembentukan pemerintah tidak tergantung pada proses politik di lembaga legislatif. Jika dalam sistem pemerintahan parlementer eksekutif sangat tergantung akan dukungan parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial dibangun dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang jelas antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif. Tidak hanya itu, dengan adanya pemisahan kekuasaan, sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang dibatasi.

Dengan pola hubungan yang terpisah, setidaknya ada empat keuntungan yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial, yaitu:

67


(47)

dalam sistem pemerintahan parlementer, Perdana Menteri diangkat melalui proses penunjukan.

b. Adanya pemisahan antara lembaga negara terutama antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Dengan adanya pemisahan itu, setiap lembaga negara dapat saling melakukan pengawasan terhadap lembaga negara lainnya untuk mencegah terjadinya penumpukan dan penyalahgunaan kekuasaan.

c. Dengan posisi sentral dalam jajaran eksekutif, Presiden dapat mengambil kebijakan strategis yang amat menentukan secara cepat.

d. Dengan masa jabatan yang tetap, posisi Presiden jauh lebih stabil dibandingkan dengan Perdana Menteri yang bisa diganti setiap waktu.68 Prinsip-prinsip yang terdapat dalam sistem pemerintahan presidensial ini menggambarkan bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh pemegangnya secara proporsional. Satu cabang kekuasaan tidak bisa masuk ke dalam cabang kekuasaan lainnya, kecuali diminta, akan tetapi proses tersebut bukan dalam bentuk intervesi. Sistem pemerintahan presidensial yang memberikan fokus perhatian terhadap hubungan antara pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasan legisatif harus dijalankan secara konsekuen. Lembaga legislatif dan eksekutif tidak bergantung satu dengan lainnya, karena kedua cabang kekuasaan ini sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat yang menjadikan kekuasaan mereka legitimate. Karena itu, masing-masing cabang kekuasaan baik eksekutif

68


(48)

maupun legislatif dapat saling melakukan pengawasan terhadap kinerja masing-masing lembaga.

C. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945

Untuk mengetahui sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945, harus dimulai dengan melihat dan mempelajari berbagai persiapan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pada sidang yang diadakan tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945, sistem pemerintahan merupakan sebuah pokok bahasan yang diperdebatkan. Berbagai pendapat dan pandangan pun dikemukakan dalam sidang, termasuk Soepomo. Beliau merupakan orang yang paling banyak mendapat perhatian karena pidato yang disampaikannya dalam sidang tersebut terkait dengan gagasan negara integralistik. Dalam menyampaikan gagasan sistem permusyawaratan, Soepomo menghendaki adanya jaminan bagi pimpinan negara terutama kepala negara terus-menerus bersatu dengan rakyat. Beliau menghendaki susunan pemerintahan Indonesia harus dibentuk dengan sistem badan permusyawaratan.69

69

Ibid, hal. 49.

Dengan alasan kapitalisme yang merajalela, secara implisit Soekarno menolak model lembaga legislatif seperti di Amerika Serikat. Meskipun menolak model lembaga legislatif tersebut, bukan berarti Soekarno setuju dengan praktik demokrasi pola sistem pemerintahan parlementer.


(49)

Sementara itu, dalam Rapat Besar pada tanggal 15 Juli 1945, pada saat menyampaikan susunan kekuasaan pemerintahan, Muh. Yamin mengusulkan agar kementerian (satu per satu atau secara keseluruhannya) bertanggung jawab kepada dewan perwakilan. Meskipun anggota BPUPK cenderung menolak sistem pemerintahan parlementer, akan tetapi tidak ditemukan pembahasan yang secara eksplisit untuk menerima sistem pemerintahan presidensial. Pandangan yang ditemukan dalam rapat tersebut ialah bahwa Indonesia merdeka memerlukan pembentukan pemerintah yang kuat, dengan kata lain stabilitas merupakan syarat mutlak untuk membangun sebuah negara baru.70 Bahkan pada saat menyampaikan racangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada 15 Juli 1945, Soepomo menjelaskan bahwa sistem pemerintahan yang ditegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem pemerintahan yang memberikan dominasi kekuasaan negara bagi pemerintah, terutama kepada kepala negara, pertanggungjawaban dan pemusatan kekuasaan berada di tangan kepala negara.71

1. Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat, stabil, dan efektif untuk menjamin keberlangsungan eksistensi negara Indonesia yang baru diproklamasikan. Para pendiri bangsa meyakini bahwa model kemimpinan Maka, pada tanggal 18 Agustus 1945, sistem pemerintahan presidensial yang menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia disahkan oleh PPKI. Ada empat alasan pokok yang dijadikan referensi oleh para pendiri bangsa dan pembentuk kostitusi memilih sistem pemerintahan presidensial, yaitu:

70

Muh. Yamin dalam ibid., hal. 51. 71


(50)

negara kuat dan efektif hanya dapat diciptakan dengan memilih sistem pemerintahan presidensial dimana Presiden tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara tetapi juga sebagai kepala pemerintahan.

2. Karena alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita negara terutama cita negara integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang BPUPK. Sistem pemerintahan presidensial diyakini sangat kompatibel dengan paham negara integralistik.

3. Pada awal kemerdekaan, Presiden diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan DPR, MPR, dan DPA. Pilihan pada sistem pemerintahan presidensial dianggap tepat dalam melaksanakan kewenangan yang luar biasa itu. Tambah lagi, dengan sistem pemerintahan presidensial, Presiden dapat bertindak lebih cepat dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan pada masa transisi.

4. Merupakan simbol perlawanan atas segala bentuk penjajahan karena sistem pemerintahan parlementer dianggap sebagai produk penjajahan oleh para pendiri bangsa.72

Pada pokoknya sistem pemerintahan yang dipakai ialah sistem pemerintahan presidensial. Akan tetapi mencermati berbagai karakter yang ada dalam sistem pemerintahan parlementer dijalankan dalam sistem pemerintahan yang dipilih, maka dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh negara Republik Indonesia ialah sistem campuran. Dikatakan sistem campuran karena dalam sistem ini Presiden ditentukan harus tunduk dan bertanggung jawab

72


(51)

kepada MPR yang terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan-utusan golongan fungsional.

Dalam penjelasan UUD 1945, meskipun sekarang tidak berlaku normatif lagi secara langsung tetapi sebagai dokumen historis masih tetap dapat dijadikan acuan ilmiah yang penting, dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala pemerintahan menyatu dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan legislatif. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan bersifat campuran atau biasa disebut dengan sistem quasi presidensial, ataupun semi presidensial.73

a. Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR.

Hal tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum amandemen UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu:

b. MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi. c. Presiden adalah mandataris MPR.

d. Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia di masa lalu, praktik mengenai sistem pemerintahan presidensial yang bersifat campuran ini juga dilaksanakan secara tidak konsisten. Misalnya, dalam waktu tidak sampai tiga bulan sejak disahkan, UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensial tersebut sudah dilaksanakan secara menyimpang, yaitu dengan dibentuknya Kabinet

73


(52)

Parlementer Pertama di bawah Perdana Menteri Sutan Syahrir pada tangga 14 November 1945.74

Diterapkannya sistem pemerintahan parlementer itu didasarkan atas Maklumat Wapres No. X tanggal 16 Oktober 1945. Wakil Presiden mengumumkan, “Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya MR dan DPR, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN”. Menurut UUD 1945, para menteri tidak bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat, sekalipun dalam kesehariannya menteri bekerja sama dengan Komite Nasional Pusat atau Badan Pekerja dalam pembuatan undang-undang.

Padahal UUD 1945 yang baru disahkan tidak menganut sistem pemerintahan parlementer dan tidak mengenal jabatan Perdana Menteri sama sekali. Sistem pemerintahan parlementer ini terus menerus dipraktikkan sampai periode berlakunya UUD RIS 1949 dan UUDS 1950. Bahkan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kembali memberlakukan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia, sistem pemerintahan yang dipraktikkan adalah sistem pemerintahan parlementer.

75

Sebelum terbentuknya Kabinet Syahrir I, kabinet pertama yang dibentuk adalah kabinet presidensial di bawah tanggung jawab Presiden, yaitu kabinet yang bekerja antara tanggal 2 September 1945 – 14 November 1945, dapat dikatakan bahwa pemerintahan selanjutnya menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Akan tetapi, hal itu juga tidak dijalankan secara konsisten. Setelah itu kabinet presidensial kembali dibentuk, yaitu seteleh Kabinet Amir Syarifuddin II dibubarkan pada tanggal 29 Januari 1948, yaitu dari tanggal 29 Januari 1948 – 5

74

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1977, hal. 64. 75


(53)

Agustus 1949. Kabinet presidensial kedua ini dirombak pada tanggal 4 Agustus 1949 dan terus bekerja sampai dengan tanggal 20 Desember 1949. Namun secara substansial, kabinet tersebut merupakan kabinet parlementer, karena para menteri ditentukan bukan bertanggung kepada Presiden, melainkan kepada parlemen.76

Dapat dikatakan bahwa UUD 1945 itu baru dipakai sebagai referensi ketatanegaraan dalam praktik nyata pada masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, sistem pemerintahan presidensial yang diatur di dalam UUD 1945 diterapkan penuh dengan memusatkan tanggung jawab kekuasaan pemerintahan negara di tangan Presiden. Saking kuatnya kedudukan Presiden, maka meskipun MPR diakui sebagai lembaga tertinggi negara, tetap Presiden diharuskan tunduk dan bertanggung jawab, tetapi dalam kenyataan praktik, semuanya tergantung kepada Presiden. Adanya unsur pertanggungjawaban Presiden kepada MPR itu justru

Inkonsistensi penerapan sistem pemerintahan ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap ketentuan UUD 1945 sendiri yang jelas-jelas menganut sistem pemerintahan presidensial. Namun harus diakui bahwa keabsahan penerapan sistem pemerintahan parlementer tersebut dapat dibenarkan atas dasar konvensi ketatanegaraan dan hukum kebiasaan yang telah diterapkan sebelumnya. Di samping itu, kenyataan di atas dapat dikatakan juga terjadi karena UUD 1945 sendiri memang dimakudkan hanya sebagai undang-undang dasar kilat menurut Bung Karno dalam sidang-sidang BPUPK. Oleh karena itu dapat dimaklumi bahwa UUD 1945 itu belum dapat dijadikan referensi sungguh-sungguh sejak masa-masa awal kemerdekaan.

76


(54)

memperlihatkan ciri parlementer dalam sistem pemerintahan presidensial yang dianut oleh UUD 1945. Karena itu, secara normatif, sistem yang dianut oleh UUD 1945 itu bukanlah murni sistem pemerintahan presidensial, tetapi hanya quasi presidensial.

Sifat quasi atau sistem pemerintahan presidensial yang tidak murni itulah yang diubah ketika UUD 1945 diubah pada tahun 1999 sampai tahun 2002, yaitu dengan mengubah kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan sebagai lembaga negara yang sederajat dengan Presiden. Di samping itu, ditentukan pula bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, tergambar adanya semangat untuk mengadakan purifikasi atau pemurnian sistem pemerintahan presidensial Indonesia dari sistem sebelumnya yang dianggap tidak murni bersifat presidensial.77

a. Pasal 4 ayat (1) berbunyi; “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945’.

Bentuk daripada perubahan tersebut dapat kita lihat dari berbagai aturan yang dirubah melalui amandemen UUD 1945 mulai dari Perubahan Pertama sampai dengan Perubahan Keempat, yaitu:

b. Pasal 6A berbunyi; “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”.

77


(1)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, juga shalawat beriring salam Penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah banyak memberikan perubahan dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia.

Skripsi ini berjudu l “PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 “ disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak M. Husni, S.H, M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Armansyah, S.H., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.


(2)

4. Bapak Drs. Nazaruddin, S.H., M.A., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Yusrin Nazief, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi banyak masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu selama menjalani perkuliahan. 7. Kedua orang tua tercinta secara isitimewa yaitu ayahanda H. Asbun

Dalimunthe dan ibunda Hj. Murni Nasution yang telah memberikan kasih sayang dan perhatian yang besar dan juga memberikan dukungan moril dan materil yang tak ternilai agar Penulis dapat mencapai cita-cita dari Penulis masih kecil hingga sampai sekarang ini.

8. Seluruh kakak dan adik Penulis; Nuraisah Dalimunthe, S.Ag.; H. Anwar Sadat Dalimunthe, S.Hi., M.H.; Ismail Wahab Dalimunthe; Mawaddah Khoironi, S.Pd.; Khotimatul Wiladah, Am. Keb.; Salju Esnida; Desrayanti Sullama yang telah bersedia menjadi inspirasi bagi Penulis dalam menjalani hidup ini.

9. Atika Ayu S. Pulungan, SH., yang selalu hadir dan ada dalam berbagai keadaan untuk senantiasa berada di sisi Penulis.

10.Seluruh sahabat : Anggi P. Harahap; Daud Hidayat Lubis; Nina Wanda Hasibuan; M. Firnanda; Muhammad Zeini; Riki Syahputra, SH.; Sheila Miranda Hasibuan, SH.


(3)

11.Kakanda alumni dan senioren Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

12.Teman-teman seperjuangan Anggota Muda dan Anggota Biasa Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum USU.

13.Orang-orang yang tidak dapat Penulis sebutkan namanya satu-persatu, yang telah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap orang yang membaca.

Medan, September 2010 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 12

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II TINJAUAN UMUM SISTEM PEMERINTAHAN ... 18

A. Pengertian Sistem Pemerintahan ... 18

B. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial ... 22

C. Sistem Pemerintahan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945.. 36

BAB III PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945 ... 44

A. Pengaturan Kabinet dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasca Amandemen ... 44

B. Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 ... 52


(5)

C. Praktik Koalisi dalam Pembentukan Kabinet dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945 ... 55

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69


(6)

PEMBENTUKAN KABINET DALAM SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL DI INDONESIA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Abstrak

Alwan Husni Dalimunthe*) Nazaruddin**) Yusrin Nazief***)

Pemilihan umum merupakan salah satu sarana yang tepat untuk menciptakan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Karena dalam pelaksanaannya melibatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang dijalankan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Yaitu sebuah prosedur metode penelitian ilmiah yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yang juga disandarkan pada logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui studi pustaka dengan mengumpulkan sumber-sumber atau bahan-bahan antara lain dari buku-buku, artikel, koran, majalah, internet.

Secara umum, sistem pemerintahan lebih sering dibagi ke dalam dua varian, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial. Perubahan UUD 1945 sampai dengan empat kali memberikan penegasan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial murni yang harus dijalankan secara konsekuen.

Proses pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden pada gilirannya akan melahirkan satu pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang pengangkatan dan pemberhentiannya mutlak berada di tangan Presiden. Masing-masing menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.

Undang-undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara memberikan kemudahan bagi Presiden terpilih untuk memilih dan menentukan orang-orang yang akan duduk di dalam kabinet sampai masa jabatan berakhir. Hal ini dikarenakan berbagai persyaratan untuk dapat menjadi menteri telah dikemukakan di dalam Pasal 22 UU No.39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Tujuannya ialah agar terciptanya pemerintahan yang profesional, akuntabilitas, dan bertanggung jawab. Akan tetapi wewenang dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri tersebut tidak bisa dicampuri dan mutlak berada di tangan Presiden.

Kata kunci: Kabinet

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU Angkatan 2006 **) Dosen Pembimbing I

***) Dosen Pembimbing II