Pengetahuan Lokal Tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Di Desa Pasir Jambu Dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat

ABSTRACT

BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Local Knowledge Private Forest
Management in Pasir Jambu and Gunung Karung Villages Maniis Sub District
Purwakarta District West Java Province. Under supervision of DIDIK
SUHARJITO.
This research aims to describe the local knowledge private forest

management and explain the changes of local knowledge as well as the factors
that influencing it. This research was carried in Pasir Jambu and Gunung Karung
Villages Maniis Sub District Purwakarta District in January to February 2011. The
method used for this study was survey by conduction interview techniques,
observation and secondary data collection. Data analysis was done on a
descriptive and presented in the form of narrative text and tabulations.
Local communities ideas and actions about private forest management
include land preparation, seed preparation, planting, maintenance and harvesting.
Land preparation is an efforts by farmers so that the condition of land are ready
for plantation and planted crops can grow properly. Preparation of seeds is done
so that the condition of the tree seedlings that are ready to be planted can grow
properly. Plantation is done so that the growth of trees seedlings which is planted
in the ground can grow properly. Maintenance is done so that the condition of the

crops planted remained well so that the optimal results for production can be
obtained. Harvesting is done in order to obtain forest product as a timber which is
ready to cut. Along with the advanced age, local knowledge private forest
management changes. Factors that affect these changes is affected by the
orientation of the economic needs of the private forest farmers households and the
advancements of information technology, such as news papers and other audio visual media.

Key words: Local Knowledge, Private Forest, Pasir Jambu and Gunung Karung

Villages.

ABSTRAK

BUDI YAHNA WIHARJA (E14050422). Pengetahuan Lokal Tentang
Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung
Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh
DIDIK SUHARJITO.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan lokal tentang
pengelolaan hutan rakyat dan menjelaskan perubahan pengetahuan lokal serta
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir

Jambu dan Desa Gunung Karung Kecamatan Maniis Kabupaten Purwakarta pada
bulan Januari 2011 sampai Februari 2011. Metode yang digunakan adalah survei
melalui teknik wawacara, observasi dan pengumpulan data sekunder. Analisis
data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk teks narasi dan
tabulasi.
Gagasan dan tindakan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan rakyat
mencakup persiapan lahan, persiapan bibit, penanaman, pemeliharaan dan
pemanenan. Persiapan lahan merupakan bentuk usaha petani agar kondisi lahan
siap ditanami dan tanaman yang ditanam dapat tumbuh dengan baik. Persiapan
bibit dilakukan agar kondisi bibit pohon yang siap tanam dapat tumbuh dengan
baik. Penanaman dilakukan agar pertumbuhan bibit pohon yang ditanam di dalam
tanah dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan dilakukan agar kondisi tanaman
yang ditanam tetap baik sehingga hasil produksi diperoleh secara optimal.
Pemanenan dilakukan agar dapat memperoleh hasil hutan berupa kayu yang sudah
siap tebang. Seiring dengan kemajuan jaman, pengetahuan lokal tentang
pengelolaan hutan rakyat mengalami perubahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan tersebut dipengaruhi oleh adanya orientasi kebutuhan
ekonomi rumah tangga petani hutan rakyat (RTP-HR) dan kemajuan teknologi
pengetahuan/informasi, seperti media cetak dan media audio-visual.


Kata kunci: Pengetahuan Lokal, Hutan Rakyat, Desa Pasir Jambu dan Desa
Gunung Karung.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Hutan rakyat sebagai salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan
kayu

nasional,

saat

ini

masih

memerlukan


beberapa

kajian

dalam

pengembangannya. Pengembangan hutan rakyat dari aspek pengelolaan yang ada
saat ini terkendala pada pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat lokal.
Masyarakat lokal yang melakukan pengelolaan hutan rakyat cenderung
berpendidikan rendah dan memiliki keterbatasan terhadap informasi mengenai
pengelolaan.
Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan saat ini masih sebatas pada
pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal hadir berdasarkan pemahaman mereka yang
terjadi sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan yang diwariskan secara turuntemurun, akan tetapi untuk mengembangkan pengetahuan lokal tersebut agar
dapat diimplementasikan kedalam pengelolaan hutan yang lebih baik, perlu
dilakukan sebuah kajian; salah satunya mengenai pengetahuan lokal tentang
pengelolaan hutan rakyat.
Hal di atas dapat diperkuat dari hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh
Nurasiah (2009) dan Fakihhudin (2010) yang menyatakan pengetahungn lokal
masyarakat tentang pengelolaan hutan rakyat masih perlu dikaji dan dipelajari.

Dengan adanya penelitian ini, secara langsung dapat mengetahui dan mempelajari
sejauh mana perkembangan pengetahuan lokal khususnya tentang pengelolaan
hutan rakyat di suatu daerah dengan berbagai macam bahasa, suku dan budaya
yang sudah melekat pada masyarakat lokal. Pengetahuan lokal yang ada dalam
suatu masyarakat kerap kali dipengaruhi oleh situasi, kondisi dan budaya yang
sudah melekat. Hal tersebut dapat mempengaruhi arah keputusan/tindakan yang
diambil khususnya pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Kajian tentang
pengetahuan lokal terkait dengan pengelolaan hutan rakyat dilaksanakan di
Kecamatan Maniis yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di wilayah
administratif Kabupaten Purwakarta yang memiliki potensi cukup besar dalam
pengembangan hutan rakyat dengan luasan 13.299,74 ha.

1.2 Perumusan Masalah
Pengetahuan masyarakat lokal akan berkembang jika masyarakat lokal
tersebut dapat membuka diri terhadap sesuatu yang baru. Masyarakat lokal harus
menyadari betul bahwa suatu perubahan itu tidak akan tercipta tanpa adanya
kemauan untuk merubah diri, terkurung dalam suatu budaya dan norma yang
mengikat belum tentu akan membuat segalanya lebih baik. Salah satu contoh
pengetahuan masyarakat lokal yang perlu dikembangkan adalah pengetahuan
petani terkait dengan pengelolaan hutan rakyat. Pengetahuan masyarakat lokal

tersebut dapat digali dan dikembangkan melalui beberapa cara, yaitu penelitian
(reseach), kegiatan penyuluhan, media informasi audio-visual (seperti radio dan
televisi), buku dan sarana komunikasi lainnya.
Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan
wilayah yang spesifik pada umumnya diperoleh berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Keragaman pengetahuan
lokal yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan di setiap daerah
sangat penting untuk digali dan dipelajari. Beberapa parameter yang dijadikan
fokus dalam penelitian ini adalah mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal
dan sistem mata pencaharian masyarakat lokal dalam kegiatan pengelolaan hutan
rakyat dilihat dari tema budaya, pola sosial, gagasan, tindakan dan alat-alat
budaya serta perubahan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan
rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.3 Tujuan Penelitian
1.

Mendeskripsikan pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan
rakyat


2.

Menjelaskan

perubahan

pengetahuan

masyarakat

lokal

tentang

pengelolaan hutan rakyat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya

1.4 Manfaat Penelitian
Memberikan
perubahan


informasi

pengetahuan

mengenai

masyarakat

pengetahuan
lokal

mempengaruhinya tentang pengelolaan hutan rakyat.

dan

masyarakat

lokal,

faktor-faktor


yang

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya
Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan
negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara
keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati lingkungan yang
pemilikiannya berada pada rakyat (Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi
Lahan Departemen Kehutanan 1995). Menurut SK menteri Kehutanan
No.49/Kpts-II/1997 tentang Pendanaan dan Usaha Hutan Rakyat, pengertian
hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25
hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan atau jenis lainnya lebih
dari 50% dan atau tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.
Salah satu alternatif pemecahan masalah tekanan sumberdaya hutan adalah
pembangunan hutan rakyat. Hal ini merupakan cara yang tepat karena
pembangunan


hutan rakyat

dilakukan pada

tanah rakyat

yang status

kepemilikkannya sudah jelas. Salah satu usaha untuk mengembangkan
pemanfaatan lahan kering ataupun lahan kritis yang tidak produktif adalah dengan
menanam tanaman berkayu yang mempunyai nilai komersial di lahan milik
penduduk, sekaligus menjawab permasalahan terutama masalah pembangunan
sosial ekonomi penduduk di desa-desa (Suharjito 2000)
Balai Informasi Pertanian (1982) diacu dalam Suwardi (2010) membagi
hutan rakyat berdasarkan jenis tanaman menjadi tiga bentuk, yaitu :
a. Hutan rakyat murni, yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri dari satu jenis
tanaman pohon berkayu yang ditanam dan diusahakan secara homogen
atau monokultur.
b. Hutan rakyat campuran, yaitu hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.

c. Hutan rakyat agroforestry, yaitu hutan yang memiliki bentuk usaha
kombinasi kehutanan dangan cabang usaha tani lainnya, seperti
perkebunan, pertanian tanaman pangan, peternakan dan lain-lain secara
terpadu.

Secara formal ditegaskan bahwa hutan rakyat adalah yang dibangun di atas
tanah milik. Pengertian seperti itu, kurang mempertimbangkan kemungkinan
adanya hutan di atas tanah milik yang tidak dikelola oleh rakyat melainkan oleh
perusahaan swasta. Penekanan pada kata “rakyat” kiranya lebih ditujukan kepada
pengelola yaitu “rakyat” kebanyakan, bukan pada status pemilikan tanahnya.
Apabila istilah hutan rakyat yang berlaku saat ini akan tetap dipertahankan maka
diperlukan penegasan kebijakan yang menutup peluang perusahaan swasta
menguasai tanah milik tersebut untuk mengusahakan hutan. Namun, tidak
menutup kemungkinan rakyat pemilik tanah berkoperasi mengusahakan hutan
rakyat (Suharjito dan Darusman 1998)
Friday et al. (1999) menyatakan bahwa pengelolaan hutan rakyat seperti
agroforestry terdiri dari :
a. Pemilihan lokasi
Lokasi yang dipilih untuk ditanami pohon milik rakyat sebaiknya
dipilih kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan untuk pertanian
secara permanen. Apabila lahan-lahan tersebut sudah ada tanamantanaman yang berupa pohon, maka pohon dapat dilaksanakan sebagai
tanaman sisipan diantara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh
akan menjadi lebih produktif.
b. Persiapan lahan
Tanah–tanah yang akan ditanami pohon pada umumnya berupa
tanah yang telah menjadi kebun dan terdapat tanaman lainnya serta tidak
mengandung tanaman liar. Karena itu untuk menanam pohon tidak perlu
dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam
cukup disiapkan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30
cm dengan kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan diameter
lubangnya ± 100 cm (sistem cemplongan). Apabila pohon akan ditanam
bersama-sama dengan tanaman palawija dengan sendirinya persiapan
lahan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
c. Pemilihan jenis kayu
Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang sudah lazim
ditanam, di pulau Jawa misalnya: kayu sengon, kayu afrika, mindi dan

lain-lain yang merupakan jenis kayu yang sudah dikenal dan telah
mempunyai pasaran yang teratur baik sebagai bahan untuk kayu konstruksi
maupun sebagai bahan baku untuk industri.
d. Pengadaan bibit
Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit
yang berasal dari batang atau cabang dan secara generatif. Untuk
pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek dan
cangkokkan pada tanaman muda, sedangkan persiapan bibit secara
generatif yang berasal dari biji maka penanamannya dapat dilaksanakan
langsung dengan menanamkan biji di lapangan atau dibuat bibit dalam
persemaian tergantung sifat dan jenis kayu yang bersangkutan.
e. Pengangkutan
Mengangkut bibit dari persemaian ke lokasi penanaman perlu
diperhatikan, karena pengangkutan yang tidak baik dapat menyebabkan
rusaknya bibit. Bahaya terbesar adalah kekurangan air dan kerusakan akar,
sehingga diusahakan untuk memilih lokasi persemaian yang dekat dengan
lokasi penanaman, memiliki sumber air yang tersedia sepanjang tahun dan
kondisi tanah yang datar.
f. Penanaman
Dalam menanam bibit perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat
sesuai dengan rencana. Selain itu, tanaman kayu akan ditanam secara
murni, tanaman yang akan dicampur dengan tanaman lain. Apabila pohon
akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka perlu diperhatikan
jarak tanam yang diatur agar tidak saling mengganggu. Sedangkan apabila
tanaman kayu yang akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah
akan dimulai dengan tanaman yang rapat, misalnya 3 m - 2 m. Hal ini akan
tergantung dari kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan
dilaksanakan tumpangsari dengan jenis tanaman lain dapat dipilih jarak
tanam 4 m x 5 m, sehingga per ha akan diperoleh 500 pohon, sedangkan
diantara dua larikan pohon dapat ditanam palawija atau tanaman lain
sebagai tanaman campuran. Bila jarak sesuai, tanaman campuran tidak
akan saling mengganggu tanaman pokoknya. Penanaman sebaiknya

dilakukan pada musim penghujan dan diberi pupuk dasar bila
memungkinkan. Selain itu, diberi bahan mulsa yang digunakan di sekitar
pohon yang dapat diambil dari hasil penyiangan tentunya yang tidak
membahayakan.
g. Pemeliharaan tanaman
Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari
gulma dan semak serta alang-alang yang berlebihan. Oleh karena itu,
untuk mengurangi biaya pemeliharaan sebaiknya diantara larikan ditanam
palawija yang tidak mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang
kedelai, kacang wijen dan lain-lain. Kegiatan pemeliharaan seperti
pemupukkan,

penyiangan

melingkar,

meminimalkan

persaingan,

pemangkasan yang tepat dan melindungi pohon dari hama dan penyakit.
Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan penyiangan akan sangat
membantu pertumbuhan kayunya.
h. Penebangan
Penebangan pohon–pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
tujuan penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara
menebang. Berdasarkan pengalaman penebangan dengan orientasi pasar,
penebangan

sebaiknya

dilaksanakan

secara

tebang

pilih.

Perlu

diperhatikan bahwa setiap penebangan harus ditanam kembali secepatnya.
Apabila penebangan berupa pemeliharaan, yaitu penjarangan maka perlu
diperhatikan bahwa kayu yang ditebang sudah harus mencapai suatu
ukuran yang dapat dimanfaatkan sehingga kayu yang dihasilkan dapat
dipasarkan atau sebagai kayu bakar.
i.

Penanaman kembali
Di bekas pohon yang ditebang harus segera ditanami kembali,
sehingga jumlah tanaman akan selalu tetap. Oleh karena itu, setiap akan
melakukan penebangan petani sudah menyiapkan bibit untuk ditanam
sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.

j.

Kemurnian tanaman
Penanaman kayu terutama pada usia muda dianjurkan untuk
ditanam bersama dengan tanaman lain, terutama tanaman bawah yang

tidak saling mengganggu. Diantara tanaman yang dianjurkan sebagai
tanaman sela adalah jenis tanaman palawija, tanaman ekonomi, umbiumbian dan lain-lain. Bahkan padi gogo dan jagung juga banyak
digunakan sebagai tanaman campurannya. Tanaman campuran tersebut
hanya dapat ditanam sampai dengan daun pohonnya tidak terlalu rapat
menutupi bagian bawah pohon dan sinar mataharinya masih tetap dapat
menjangkau tanaman palawija yang ada di bawahnya.

2.2 Pengetahuan Lokal
Pengetahuan indigenous (pengetahuan lokal) secara umum diartikan
sebagai pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk bertahan hidup
dalam suatu lingkungan yang khusus (Warren 1991). Indigenous berarti asli atau
pribumi. Kata indigenous dalam pengetahuan indigenous merujuk pada
masyarakat indigenous. Yang dimaksud dengan masyarakat indigenous di sini
adalah penduduk asli yang tinggal di lokasi geografis tertentu yang mempunyai
sistem budaya dan kepercayaan yang berbeda daripada sistem pengetahuan
internasional.
Menurut Johnson (1992) pengetahuan indigenous adalah sekumpulan
pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke
generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam. Pengetahuan seperti ini
berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
masyarakat. Pengetahuan masyarakat lokal seperti sistem kepercayaan, norma dan
budaya yang diekspresikan kedalam suatu tradisi dan mitos yang dianut dalam
jangka waktu yang cukup lama akan menjadi suatu tindakan yaitu kearifan lokal.
Menurut Berkes et al. (2000) Sistem pengetahuan dalam lingkup
pengelolaan sumberdaya alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
kategori: pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal. Pengetahuan ilmiah adalah
suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah yang dirancang
secara seksama dan sudah terbakukan. Pengetahuan lokal adalah pengetahuan
yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses ekologi yang
terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya berdasarkan

interpretasi logis petani. Pembentukan pengetahuan lokal sifatnya kurang formal
dibandingkan pengetahuan ilmiah.
Menurut Mitchell et al. dalam Arafah (2002) Konsep pengetahuan lokal
berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional.
Pengetahuan lokal adalah kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar
dalam kebudayaan suatu kelompok masyarakat yang merupakan hasil pengamatan
selama kurun waktu yang lama.
Menurut Sunaryo dan Joshi (2003) pengetahuan lokal yang diterapkan
oleh petani berasal dari pengalaman bertani mereka maupun para pendahulunya.
Melalui aktivitas penelitian dan pengembangan secara informal, para petani
menghasilkan pengetahuan baru yang pada gilirannya bisa digunakan untuk
menghasilkan teknologi-teknologi baru.

2.3 Perubahan Pengetahuan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
Scoones dan Thompson mengungkapkan bahwa para petani di negaranegara berkembang memiliki segudang simpananan pengetahuan, yang umumnya
sudah selaras dengan kebutuhan, tujuan dan akses terhadap sumberdaya setempat.
Artinya pengetahuan petani, seperti halnya profesional, bersifat dinamis,
dipengaruhi dan berubah oleh faktor internal dan eksternal. Dewasa ini, sedang
berkembang konsensus diantara profesional bahwa petani yang berbeda
mempunyai jenis dan kedalaman pengetahuan yang berbeda. Perbedaan
dikarenakan oleh adanya perbedaan minat, tujuan dan sumberdaya yang dikuasai
diantara mereka (Sunaryo dan Joshi 2003).
Perlu disadari bahwa pengetahuan petani, seperti halnya pengetahuan
ilmiah, masih belum sempurna, dinamis dan terus-menerus berubah karena
pengaruh faktor internal maupun eksternal. Pengetahuan petani dapat menjadi
kompleks, kualitatif, logis walaupun kadang-kadang juga saling bertentangan.
Berkaitan dengan pengetahuan lokal ini, peran ilmuwan yang diharapkan adalah
bagaimana memperkuat pengetahuan petani dengan menghasilkan pengetahuan
yang tidak dapat dihasilkan oleh petani itu sendiri (Clarke 1991).
Adanya pengaruh globalisasi, mau tidak mau akan memaksa masyarakat
lokal untuk menjadi bagian dari masyarakat global dengan tatanan baru. Tekanan

pada masyarakat indigenous untuk berintegrasi ke dalam tatanan masyarakat yang
lebih besar akan menyebabkan pengetahuan indigenous yang ada mungkin
menjadi kurang relevan. Kekuatan ekonomi dan sosial secara perlahan dan pasti
seringkali menghancurkan struktur sosial yang menciptakan pengetahuan dan
praktek indigenous tersebut (Sunaryo dan Joshi 2003).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran
Sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian hidup merupakan bagian
dari unsur pokok kebudayaan universal. Koentjaraningrat (2002) menjelaskan
tujuh unsur pokok kebudayaan universal diantaranya: bahasa, sistem pengetahuan,
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
hidup, sistem religi dan kesenian. Unsur pokok kebudayaan universal tersebut
diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat), sistem sosial (aktivitas sosial) dan
benda kebudayaan (alat-alat). Selanjutnya masing-masing pemerincian tersebut
dapat diuraikan pada beberapa rincian berikut ini:
1.

Dari sistem budaya (adat istiadat) dapat diperinci kedalam beberapa kompleks
budaya. Lalu kompleks budaya tersebut dapat diperinci lebih lanjut kedalam
beberapa tema budaya, sehingga pada perincian terakhir yaitu gagasan.

2.

Dari sistem sosial (aktivitas sosial) dapat diperinci kedalam beberapa
kompleks sosial. Lalu kompleks sosial tersebut dapat diperinci lebih lanjut
kedalam beberapa pola sosial, sehingga pada perincian terakhir yaitu
tindakan.

3.

Dari ketujuh unsur kebudayaan universal itu masing-masing mempunyai
wujud fisik, walaupun tidak ada satu wujud fisik untuk keseluruhan dari satu
unsur kebudayaan universal. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu
diperinci menurut keempat tahap pemerincian seperti yang dilakukan pada
sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial (aktivitas sosial). Namun
semua unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari bendabenda kebudayaan (alat-alat).
Pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu komplek budaya dan

komplek sosial dari unsur kebudayaan universal tentang sistem pengetahuan dan
sistem mata pencaharian hidup. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 1
di bawah ini:

Kebudayaan Universal

Sistem Pengetahuan dan Sistem
Mata Pencaharian Hidup

Sistem Budaya (adat)

Komplek Budaya

Sistem Sosial (aktivitas)

Kebudayaan
Fisik (ala-alat)

Komplek Sosial
Kebudayaan
Fisik (ala-alat)

Tema Budaya

Pola Sosial
Kebudayaan Fisik
(ala-alat)

Gagasan

Tindakan

Gambar 1 Pemerincian kebudayaan kedalam unsur-unsurnya yang khusus
(Koentjaraningrat 2002).
3.2 Definisi Operasional
Dalam bidang kehutanan, salah satu unsur pokok yang ada pada
kebudayaan universal yaitu sistem pengetahuan dan sistem mata pencaharian
hidup yang merupakan dua sistem yang akan dikombinasikan. Kombinasi kedua
sistem ini dapat diperinci kedalam sistem budaya (adat istiadat) dan sistem sosial
(aktivitas sosial) yaitu sistem budaya (adat istiadat) yang turun-temurun dilakukan
oleh masyarakat di seluruh dunia dan didalamnya terdapat sistem sosial (aktivitas
sosial) berupa kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan berdasarkan fungsinya
berupa aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek sosial. Beberapa parameter
mengenai pengetahuan lokal tentang pengelolaan hutan rakyat diklasifikasikan
kedalam komplek budaya dan komplek sosial yang selanjutnya diperinci kedalam
tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta kebudayaan fisik (alatalat budaya). Untuk memudahkan dalam menggali dan mempelajari parameter-

parameter tersebut dalam penelitian ini, maka dibuat pemerincian subtema budaya
kedalam gagasan, tindakan dan alat yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat
Subtema budaya
Pengelolaan
Hutan rakyat
Persiapan lahan
 Tema budaya: perspektif petani mengenai
mengapa parameter ini ada dalam
melakukan persiapan lahan
 Pola sosial: bagaimana parameter ini
berjalan dalam kegiatan yang dilakukan
pada persiapan lahan
 Alat–alat:
bentuk
peralatan
yang
digunakan dalam persiapan lahan serta
alasan fungsi dan cirinya

Persiapan bibit
a. Tema budaya: perspektif petani mengenai
mengapa parameter ini ada dalam
melakukan persiapan bibit
b. Pola sosial: bagaimana parameter ini
berjalan dalam kegiatan yang dilakukan
pada persiapan bibit
c. Alat–alat:
bentuk
peralatan
yang
digunakan dalam persiapan bibit serta
alasan fungsi dan cirinya

Gagasan
Tindakan
Benda kebudayaan
Pembersihan lahan
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
pembersihan lahan
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada pembersihan lahan
serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pembersihan
lahan serta alasan fungsi dan
cirinya
Pengolahan tanah
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
pengolahan tanah
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada pengolahan tanah
serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pengolahan tanah
serta alasan fungsi dan cirinya
Pengadaan benih
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
pengadaan benih
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada pengadaan benih
serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pengadaan benih
serta alasan fungsi dan cirinya
Persemaian
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
persemaian
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada persemaian serta
alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam persemaian serta
alasan fungsi dan cirinya

Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat
(lanjutan)
Subtema budaya
Pengelolaan
Hutan rakyat
Penanaman
a. Tema budaya: perspektif petani
mengenai mengapa parameter ini ada
dalam melakukan penanaman
b. Pola sosial: bagaimana parameter ini
berjalan dalam kegiatan yang dilakukan
pada penanaman
c. Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam penanaman serta
alasan fungsi dan cirinya

Gagasan
Tindakan
Benda budaya
Pembuatan jarak tanam
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
pembuatan jarak tanam
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada pembuatan jarak
tanam serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pembuatan jarak
tanam serta alasan fungsi dan
cirinya
Pembuatan lubang tanam
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
pembuatan lubang tanam
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada pembuatan lubang
tanam serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan
dalam
pembuatan
lubang tanam serta alasan fungsi
dan cirinya
Memasukkan bibit ke dalam lubang
tanam
a. Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
memasukan bibit ke dalam lubang
tanam
b. Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada memasukan bibit
ke dalam lubang tanam serta
alasannya
c. Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam memasukan bibit
ke dalam lubang tanam serta alasan
fungsi dan cirinya
Pemeliharaan
Pemupukan
a. Tema budaya: perspektif petani
 Gagasan: alasan dari perspektif
mengenai mengapa parameter ini ada
petani,
mengapa
melakukan
dalam melakukan pemeliharaan
pemupukan
b. Pola sosial: bagaimana parameter ini
 Tindakan: proses kegiatan yang
berjalan dalam kegiatan yang dilakukan
dilakukan pada pemupukan serta
pada pemeliharaan
alasannya
c. Alat–alat: bentuk peralatan yang
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pemeliharaan serta
digunakan dalam pemupukan serta
alasan fungsi dan cirinya
alasan fungsi dan cirinya

Tabel 1 Pemerincian subtema budaya kedalam gagasan, tindakan dan alat
(lanjutan)
Subtema budaya
Pengelolaan
Hutan rakyat

Gagasan
Tindakan
Benda kebudayaan
Penanggulangan hama dan penyakit
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
penanggulangan
hama
dan
penyakit
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada penanggulangan
hama dan penyakit serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam penanggulangan
hama dan penyakit serta alasan
fungsi dan cirinya
Perlindungan lahan dan tanaman
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
perlindungan lahan dan tanaman
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada perlindungan lahan
dan tanaman serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam perlindungan
lahan dan tanaman serta alasan
fungsi dan cirinya
Pemanenan
Penebangan
a. Tema budaya: perspektif petani
 Gagasan: alasan dari perspektif
mengenai mengapa parameter ini ada
petani,
mengapa
melakukan
dalam melakukan pemanenan
penebangan
b. Pola sosial: bagaimana parameter ini
 Tindakan: proses kegiatan yang
berjalan dalam kegiatan yang dilakukan
dilakukan pada penebangan serta
pada pemanenan
alasannya
c. Alat–alat: bentuk peralatan yang
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam pemanenan serta
digunakan dalam penebangan serta
alasan fungsi dan cirinya
alasan fungsi dan cirinya
Penyaradan atau pengangkutan
 Gagasan: alasan dari perspektif
petani,
mengapa
melakukan
penyaradan dan pengangkutan
 Tindakan: proses kegiatan yang
dilakukan pada penyaradan dan
pengangkutan serta alasannya
 Alat–alat: bentuk peralatan yang
digunakan dalam penyaradan dan
pengangkutan serta alasan fungsi
dan cirinya

Selanjutnya, dari setiap parameter yang disajikan pada Tabel 1 diperinci
lagi kedalam beberapa pengklasifikasian gagasan atau tindakan menurut
perspektif petani. Pengklasifikasian terhadap gagasan atau tindakan menurut
perspektif petani dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sistem mata pencaharian hidup pada komplek budaya dan komplek sosial
tentang pengelolaan hutan rakyat meliputi perburuan, perladangan, pertanian,
peternakan, perdagangan, perkebunan, kerajinan. Dari setiap sub-unsur tersebut
diperinci lagi kedalam tema budaya dan pola sosial, gagasan dan tindakan serta
kebudayaan fisik (alat-alat budaya). Pemerincian mata pencaharian hidup dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pemerincian mata pencaharian petani
Tema budaya dan pola sosial
Perburuan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Perladangan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Pertanian
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Peternakan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Perdagangan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Perkebunan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian
Kerajinan
Jenis: pola yang digunakan petani
pada sistem mata pencaharian

Gagasan atau tindakan
Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Ide dan tujuan petani

Alat-alat
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut
Peralatan yang
digunakan petani
dalam pola tersebut

3.3 Waktu dan Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan dalam kurun waktu dua bulan yaitu bulan
Januari 2011 sampai Februari 2011 di Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung
Karung Kecamatan Maniis. Kedua desa tersebut dipilih secara sengaja (purposive)
karena petani hutan rakyat di kedua desa tersebut memiliki tingkat keaktifan
tinggi dalam pengelolaan hutan rakyat jika dibandingkan dengan desa lainnya.

3.4 Metode Pemilihan Responden
Pemilihan responden sebagai sampel (contoh) dilakukan secara acak
sederhana (random sampling), yaitu dengan cara pengundian (sistem kocok)
responden sehingga setiap responden memiliki kesempatan yang sama untuk
dipilih. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai, yaitu
suatu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi
1987). Responden yang dipilih adalah petani hutan rakyat (P-HR) yang
merupakan anggota kelompok tani Saluyu (Desa Pasir Jambu) dan Karang Mulya
(Desa Gunung Karung). Jumlah populasi anggota kelompok tani Saluyu dan
Karang Mulya sebanyak 60 P-HR, yaitu 30 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan
30 P-HR dari kelompok tani Karang Mulya. Adapun responden yang dipilih
sebanyak 30 P-HR, yaitu 15 P-HR dari kelompok tani Saluyu dan 15 P-HR dari
kelompok tani Karang Mulya.

3.5 Jenis Data
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Adapun data yang termasuk kedalam data primer dan sekunder sebagai
berikut:
1. Data primer yang diperlukan meliputi: akses informasi, keadaan umum
masyarakat di lokasi penelitian, data diri responden, luas lahan milik dan
lahan yang diusahakan serta pengetahuan tentang pengelolaan hutan
rakyat.
2. Data sekunder yang diperlukan meliputi: peta lokasi penelitian, keadaan
lingkungan biofisik tempat penelitian, daftar kelompok tani program hutan
rakyat, dokumen-dokumen pemerintah setempat dan hasil-hasil penelitian
sebelumnya.

3.6 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif dan data
kualitatif. Kombinasi data kuantitatif dan kualitatif adalah salah satu upaya untuk
memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Bahan data

kualitatif sebagai pendekatan kualitatif yang diucapkan langsung berupa kata-kata
yang dituliskan subyek penelitian dan informan tentang perilaku manusia yang
diamati (Sitorus 1998). Data-data tersebut diperoleh dengan menggunakan
beberapa metode sebagai berikut:
1. Teknik

survai,

yaitu

melakukan

wawancara

responden

dengan

menggunakan kuesioner terbuka dan tertutup, yaitu beberapa pertanyaan
yang mengenai sistem pengetahuan masyarakat lokal dan sistem mata
pencaharian masyarakat yang diterapkan dalam pengelolaan hutan rakyat.
2. Teknik observasi, yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek
penelitian seperti kebun/hutan rakyat, pekarangan dan lain-lain.
3. Studi pustaka, yaitu mencatat dan mempelajari dokumen-dokumen (datadata statistik) yang diperoleh dari Kantor Desa, Kantor Kecamatan dan
Kantor Kabupaten serta pihak lain yang terkait dengan penelitian ini.

3.7 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif
dengan menggunakan metode deskriptif melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengumpulan informasi dari hasil wawancara maupun observasi langsung
b. Pemilahan informasi sesuai dengan kategori-kategorinya
c. Penyajian dalam bentuk uraian penjelasan dan tabulasi
d. Penarikan kesimpulan

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Biofisik
4.1.1 Letak dan Aksesibilitas
Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Purwakarta (2010) Dinas Kehutanan Purwakarta merupakan instansi pemerintah
yang menaungi kelompok tani di delapan desa yang ada di Kabupaten Purwakarta
diantaranya Desa Cijati, Desa Gunung Karung, Desa Pasir Jambu, Desa
Citamiang, Desa Sinargalih, Desa Tegal Datar, Desa Cirama Hilir dan Desa
Sukamukti. Fokus lokasi penelitian ini adalah Desa Pasir Jambu (kelompok tani
„Saluyu‟) dan Desa Gunung Karung (kelompok tani „Karang Mulya‟). Desa Pasir
Jambu merupakan pemekaran dari Desa Cirama Hilir. Lokasi Desa Cirama Hilir
berada di sebelah timur Desa Pasir Jambu. Desa Pasir Jambu memiliki empat
kelompok tani yaitu kelompok tani „Sri Rahayu‟, kelompok tani „Srimahi‟,
kelompok tani „Jambualas‟ dan kelompok tani „Saluyu‟. Desa Gunung Karung
memiliki empat kelompok tani yaitu kelompok tani „Karang Mulya‟, kelompok
tani „Garapan tani‟, kelompok tani „Mandiri‟ dan kelompok tani „Mekar Jaya‟.
Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung merupakan dua desa yang
termasuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Maniis Kabupaten
Purwakarta. Jarak Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis 18 km sedangkan jarak
Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta 43 km. Jarak Desa Gunung Karung
ke Kecamatan Maniis 6 km sedangkan jarak Desa Gunung Karung ke Kabupaten
Purwakarta 26 km. Jarak Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta 45 km.
Batas-batas Desa Pasir Jambu adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis
2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kecamatan Cikalong Kulon
Kabupaten Cianjur
3. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Cirama Hilir Kecamatan Maniis
4. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Tegal Datar Kecamatan Maniis

Batas-batas Desa Gunung Karung adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan wilayah Desa Sukamukti Kecamatan Maniis
2. Sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tegal Datar Kecamatan
Maniis
3. Sebelah barat berbatasan dengan wilayah Desa Cirama Hilir Kecamatan Maniis
4. Sebelah timur berbatasan dengan wilayah Desa Cijati Kecamatan Maniis
Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Purwakarta (2010) Kondisi jalan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung
cukup baik. Akses jalan penghubung desa (Pasir Jambu dan Gunung Karung) ke
Kecamatan Maniis masih berupa bebatuan dan tanah sedangkan akses jalan
penghubung Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta sudah diaspal. Waktu
tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kecamatan Maniis ±30 menit sedangkan waktu
tempuh dari Desa Pasir Jambu ke Kabupaten Purwakarta ±150 menit. Waktu
tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis ±15 menit sedangkan
waktu tempuh dari Desa Gunung Karung ke Kabupaten Purwakarta ±120 menit.
Kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat dari Desa Pasir Jambu
maupun Desa Gunung Karung ke Kecamatan Maniis yaitu kendaraan ojeg. Waktu
tempuh dari Kecamatan Maniis ke Kabupaten Purwakarta ±90 menit dan
kendaraan umum yang biasa digunakan masyarakat yaitu kendaraan umum atau
angkot (angkutan kota). Kondisi jalan penghubung dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

(c)

Gambar 2 Kondisi jalan penghubung. Keterangan: (a) Kondisi jalan penghubung
antara Desa Pasir Jambu dan Kecamatan Maniis (b) Kondisi jalan

penghubung antara Desa Gunung Karung dan Kecamatan Maniis (c)
Kondisi jalan penghubung antara Kecamatan Maniis dengan
Kabupaten Purwakarta.

4.1.2 Topografi, Luas dan Pola Penggunaan Lahan
Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Purwakarta (2010) Desa Pasir Jambu terletak pada titik 107º28‟ BT dan 6º 69‟ LS,
ketinggian 800 mdpl, tingkat kemiringan tanah 20º, curah hujan 1.300 mm/tahun,
jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 30ºC, kelembaban udara 75%,
jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur
liat dan debu. Desa Gunung Karung terletak pada titik 107º30‟ BT dan 6º 68‟ LS,
ketinggian 600 mdpl, tingkat kemiringan tanah 85º, curah hujan 1.300 mm/tahun,
jumlah bulan hujan 7 bulan, suhu rata-rata harian 45ºC, kelembaban udara 65%,
jenis tanah berupa tanah latosol dan warna tanah merah kehitaman serta tekstur
liat dan debu.
Pola penggunaan lahan Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung berupa
sawah irigasi teknis, sawah irigasi ½ teknis dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi
teknis adalah sawah yang sumber airnya berasal dari saluran irigasi yang
permanen dan sudah ditata dengan baik. Sedangkan sawah irigasi ½ teknis adalah
sawah yang sumber airnya berasal dari irigasi yang tidak permanen/sederhana
yaitu menggunakan bahan material dari tumpukan batu yang tidak ditata dengan
baik. Hutan rakyat yang dikembangkan oleh masyarakat termasuk perkebunan
rakyat.
Penggunaan lahan untuk fasilitas umum berupa tanah bengkok desa (kas
desa), lapangan dan perkantoran pemerintah. Tanah bengkok desa (kas desa)
adalah tanah yang dimiliki oleh desa yang pembayaran pajaknya dibayar oleh
desa. Tanah bengkok desa (kas desa) yang diusahakan oleh masyarakat hasilnya
dibagi dua yaitu sebagian untuk desa dan sebagian lagi untuk warga yang
mengusahakan sesuai dengan kesepakatan. Pemukiman adalah lahan yang
dimanfaatkan untuk tempat tinggal masyarakat. Perkantoran pemerintah adalah

lahan yang dimanfaatkan untuk mendirikan gedung pemerintahan berupa
sekretariat desa ataupun instansi pemerintah lain yang ada di desa. Penggunaan
lahan oleh pihak kehutanan yaitu hutan lindung, hutan konsevasi dan hutan
produksi yang semuanya diatur dan dimanfaatkan oleh pihak kehutanan. Luas
wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut penggunaan
lahannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas wilayah Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung menurut
penggunaan lahannya
Desa Pasir Jambu
No

Penggunaan

Luas (ha)

Desa Gunung Karung

Persentase
(%)

Luas (ha)

Persentase
(%)

1

Lahan sawah

59,10

a. Sawah irigasi teknis
b. Sawah irigasi ½ teknis
c. Sawah tadah hujan

22,10

130,23

12,00

65,46

25,00

28,81

Lahan kering
2

a. Pemukiman
b. Pekarangan
c. Tanah PLN

Lahan basah
a. Pasang surut
b. Danau
Lahan perkebunan

3

4

a. Perkebunan rakyat
b. Perkebunan negara
c. Perkebunan swasta
Lahan fasilitas umum
a. Lahan milik desa
b. Lapangan olahraga
c. Perkantoran pemerintah
d. Tempat pemakaman
Lahan hutan
a.
b.
c.
d.

5

Hutan lindung
Hutan produksi
Hutan konservasi
Hutan rakyat

Jumlah

116,74

7,7

15,2

224,50

126,00

26,96

73,00

64,78

53,00

25,00

0

11,00

1,4

0

3,00

0

8,00

0

152,36

19,7

52,00

78,36

35,00

70,00

17,00

4,00

0

28,40
25,77

3,7

8,75
5,00

26,4

14,8

0

6,1

1,0

6

0,35

1,00

0,50

0,25

1,78

2,50

402,59

52,3

438,50

107,23

137,38

92,83

93,38

89,60

103,38

112,93

104,38

770,19

100,0

849,75

51,6

100,0

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 3, penggunaan lahan di Desa Pasir Jambu yang paling
luas adalah lahan hutan yaitu 402,59 ha (52,3%) yang tediri dari hutan lindung
107,23 ha, hutan produksi 92,83 ha, hutan konservasi 89,60 ha dan hutan rakyat
112,93 ha serta penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan basah yaitu
11,00 ha (1,4%). Hal ini terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak
hutan.
Penggunaan lahan di Desa Gunung Karung yang paling luas adalah lahan
hutan yaitu 438,50 ha (51,6%) yang tediri dari hutan lindung 137,38 ha, hutan
produksi 93,38 ha, hutan konservasi 103,38 ha dan hutan rakyat 104,38 ha. Hal ini
terlihat dari keadaan desa yang masih terdapat banyak hutan. Sedangkan
penggunaan lahan yang paling sempit adalah lahan yang dimanfaatkan untuk
fasilitas umum yaitu 8,75 ha (1,0%) yang terdiri dari lahan milik desa 5,00 ha,
lapangan olahraga 1,00 ha, perkantoran pemerintah 0,25 ha dan tempat
pemakaman 2,50 ha.
Selain itu, penggunaan lahan hutan di Desa Gunung Karung yaitu 438,50
ha (51,6%) lebih luas jika dibandingkan dengan luas penggunaan lahan hutan di
Desa Pasir Jambu yaitu 402,59 ha (52,3%). Hal ini disebabkan jumlah petani dan

buruh tani hutan rakyat Desa Gunung Karung lebih banyak daripada jumlah petani
dan buruh tani hutan rakyat Desa Pasir Jambu (lihat Tabel 6).

4.2 Keadaan Sosial dan Ekonomi
4.2.1 Administrasi Pemerintahan
Desa Pasir Jambu terbagi kedalam empat Rukun Warga (RW) dan delapan
Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cimanggu, Dusun Cijambu, Dusun Cimahi
dan Dusun Cikaret. Dalam struktur pemerintahan, Desa Pasir Jambu terdiri atas
kepala desa, sekretaris desa, urusan pemerintahan, urusan keamanan dan
ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian dan urusan pembangunan.
Desa Gunung Karung terbagi kedalam enam Rukun Warga (RW) dan
sepuluh Rukun Tetangga (RT) yaitu Dusun Cidahu, Dusun Ciwareng, Dusun
Gunung Karung, Dusun Maniis, Dusun Tegal Datar dan Dusun Pasir Karang.
Dalam struktur pemerintahan, Desa Gunung Karung terdiri atas kepala desa,
urusan pemerintahan, Keamanan dan Ketertiban (Kamtib), urusan perekonomian,
urusan pembangunan dan urusan sosial ekonomi.

4.2.2 Demografi
Berdasarkan buku Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Purwakarta (2010) jumlah penduduk Desa Pasir Jambu sebanyak 3.188 orang
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 1.620 orang (50,8%) dan perempuan sebanyak
1.568 orang (49,2%). Rasio penduduk perempuan adalah 97 orang perseratus
orang laki-laki. Luas wilayah Desa Pasir Jambu 770,19 ha atau 7,70 km2 dengan
jumlah penduduk 3.188 orang, maka kepadatan penduduk Desa Pasir Jambu
adalah 414,03 orang/km2.
Jumlah penduduk Desa Gunung Karung yang tercatat dalam buku Dinas
Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010) sebanyak
4.152 orang yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.078 orang (50,1%) dan
perempuan sebanyak 2.074 orang (49,9%). Rasio penduduk perempuan adalah 99

orang perseratus orang laki-laki. Luas wilayah Desa Gunung Karung 849,75 ha
atau 8,50 km2 dengan jumlah penduduk 4.152 orang, maka kepadatan penduduk
Desa Gunung Karung adalah 488,47 orang/km2.
Berdasarkan kelas umurnya, pembagian kelas umur masyarakat Desa Pasir
Jambu dan Desa Gunung karung terbagi kedalam beberapa kelas umur. Umur 0-5
tahun digolongkan kedalam kriteria umur bayi dan umur balita, yaitu anak-anak
yang masih kecil dan memerlukan perawatan dari orang tuanya; umur 6-14 tahun
digolongkan kedalam kriteria umur anak-anak dan masih sekolah; umur 15-55
tahun digolongkan kedalam kriteria umur produktif manusia yaitu kriteria umur
yang termasuk angkatan kerja; umur 56 keatas digolongkan kedalam kriteria umur
tidak produktif manusia dalam angkatan kerja yaitu kriteria umur para lanjut usia
(Lansia). Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung
berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung
berdasarkan kelompok umur
Desa Pasir Jambu

Desa Gunung Karung

No

Kelompok Umur
(tahun)

1

0-4

209

6,6

306

7,4

2

5-9

216

6,8

309

7,4

3

10-14

170

5,3

258

6,2

4

15-19

206

6,5

306

7,4

5

20-24

227

7,1

286

6,9

6

25-29

180

5,6

248

6,0

7

30-34

204

6,4

215

5,2

8

35-39

189

5,9

278

6,7

9

40-44

215

6,7

327

7,9

10

45-49

226

7,1

321

7,7

11

50-54

186

5,8

313

7,5

Jumlah
(orang)

Persentase Jumlah (orang)
(%)

Persentase
(%)

12

55-59

203

6,4

343

8,3

13

60-64

201

6,3

276

6,6

14

65-69

196

6,1

172

4,1

15

Lebih dari 70

360

11,3

194

4,7

3.188

100,0

4.152

100,0

Jumlah

Sumber : Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 4, Desa Pasir Jambu memiliki 1.663 orang penduduk
yang tergolong kelas umur produktif dan 930 orang penduduk yang tergolong
kelas umur tidak produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur
tidak produktif dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif
sebesar 56%, artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif
berjumlah 56 orang per 100 orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif.
Desa Gunung Karung memiliki 2.362 orang penduduk yang tergolong kelas
umur produktif dan 917 orang penduduk yang tergolong kelas umur tidak
produktif. Rasio jumlah penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif
dengan jumlah penduduk yang tergolong kelas umur produktif sebesar 39%,
artinya penduduk yang tergolong kelas umur tidak produktif berjumlah 39 orang
perseratus orang penduduk yang tergolong kelas umur produktif.

4.2.3 Agama dan Pendidikan
Penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung seluruhnya
menganut agama Islam. Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Pasir
Jambu dan Desa Gunung Karung memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu
sekitar 0,1%-0,3%, hal ini terlihat pada sedikitnya jumlah penduduk yang
menyandang gelar diploma dan sarjana. Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan
Desa Gunung Karung berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Pasir Jambu dan Desa Gunung Karung
berdasarkan tingkat pendidikan
Desa Pasir Jambu

Desa Gunung Karung

Jumlah

Jumlah

Persentase

Persentase

No. Tingkat Pendidikan

(orang)

(%)

(orang)

(%)

1

Belum sekolah

209

6,6

306

7,4

2

Tidak sekolah

495

15,5

269

6,5

3

Tamat SD/sederajat

1.341

42,1

1.229

29,6

4

Tidak tamat SD/sederajat

237

7,4

635

15,3

5

Tamat SLTP/sederajat

811

25,4

1.036

25,0

6

Tamat SLTA/sederajat

86

2,7

660

15,9

7

Diploma 1, 2 dan 3

7

0,2

11

0,3

Strata 1, 2 dan 3

2

0,1

6

0,1

3.188

100,0

4.152

100,0

Jumlah

Sumber: Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Purwakarta (2010)

Berdasarkan Tabel 5, jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir
Jambu yang paling banyak adalah tamat SD yaitu 1.341 orang (42,1%) dan jumlah
tingkat pendidikan penduduk Desa Pasir Jambu yang paling sedikit adalah Strata
1, 2 dan 3 yaitu 2 orang (0,1%). Disamping faktor perekonomian masyarakat yang
kurang memadai, faktor pola pikir masyarakat terhadap dunia pendidikan yang
kurang luas pun menjadi salah satu sebab, yaitu masyarakat menganggap bahwa
bekerja lebih mudah daripada belajar dan jika bersekolah di perguruan tinggi pun
maksimal hanya sampai jenjang Diploma saja, hal ini dapat dilihat dari jumlah
Strata 1, 2 dan 3 di Desa Pasir Jambu lebih sedikit dibandingkan Desa Gunung
Karung.
Jumlah tingkat pendidikan penduduk Desa Gunung Karung yang paling
banyak adalah tamat SD yaitu 1.229 orang (29,6%) dan jumlah tingkat pendidikan
penduduk Desa Gunung Karung yang paling sedikit adalah Strata 1, 2 dan 3 hanya
yaitu 6 orang (0,1%). Faktor perekonomian masyarakat yang kurang memadai
menjadi salah satu sebab untuk tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi.

Selain itu, jumlah penduduk Desa Gunung Karung yang menamatkan
sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak 1.036 orang (25,0%)
dan 660 orang (15,9%) lebih banyak daripada jumlah penduduk Desa Pasir Jambu
yang menamatkan sekolah ditingkat SLTP dan SLTA masing-masing sebanyak
811 orang (25,4%) dan 86 orang (2,7%). Hal ini disebabkan lokasi bangunan
SLTP berada di Kecamatan Maniis, dimana jarak Desa Gunung Karung lebih
dekat ke Kecamatan Maniis jika dibandingkan dengan jarak Desa Pasir Jambu ke
Kecamatan Maniis.
Bangunan-bangunan untuk pendidikan yang ada di Desa Pasir Jambu
diantaranya bangunan Sekolah Dasar (SD) sebanyak dua buah dan bangunan
lembaga pendidikan agama sebanyak dua buah. Sedangkan Bangunan-bangunan
untuk pendidikan yang ada Desa Gunung Karung diantaranya bangunan Taman
Kanak-kanak (TK) sebanyak dua buah, bangunan SD sebanyak tiga buah,
bangunan SLTP sebanyak satu buah dan bangunan pondok pesantren sebanyak
satu buah.

4.2.4 Mata Pencaharian dan Perekonomian Masyarakat
Pengelompokan jenis pekerjaan yang ada di Desa Pasir Jambu dan Desa
Gunung Karung meliputi petani, buruh tani, buruh swasta, wiraswasta, PNS,
TNI/polisi, pengrajin dan peternak. Jumlah tenaga kerja di Desa Pasir Jambu dan
Gunung Karung menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jumlah tenaga kerja di Desa