Sikap Mahkamah Agung Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor: 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 4150 sepanjang frasa yang berbunyi, ”Yang dimaksud dengan ’secara melawan hukum’ dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma- norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

B. Sikap Mahkamah Agung Pasca Keluarnya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006. Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan telah bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi dengan keluarnya putusan tersebut maka perbuatan melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi tidak ada pengaturannya atau tidak diakui eksistensinya. Tegasnya, dalam Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengenal lagi perbuatan melawan hukum materiil.Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 maka terdapat kekosongan norma hukum terhadap eksistensi pengaturan perbuatan melawan hukum materiil. Di satu sisi, perbuatan melawan hukum materiil tidak dikenal lagi dalam norma hukum yang mengatur tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya dalam ketentuan hukum positif Indonesia, akan tetapi di sisi lainnya ternyata perbuatan melawan hukum materiil eksistensinya tetap ada dan terjadi dalam praktik peradilan. Dikaji dari perspektif kebijakan aplikasi maka Hakim harus mempertimbangkan dimensi demikian. Apabila Hakim bertitik tolak pada polarisasi pemikiran yang bersifat formal legalistik maka akan bertentangan dengan norma-norma keadilan yang terdapat dalam suatu masyarakat. Akan tetapi, apabila Hakim lebih mengkedepankan dimensi keadilan maka Hakim akan dihadapkan kepada norma-norma formal legalistik dalam suatu Negara Hukum. Oleh karena dimensi yang demikian Hakim harus memilih suatu langkah yang tepat dalam menghadapi suatu kasus konkrit yang diajukan kepadanya, apakah akan lebih mengkedepankan asas formil legalistik di satu sisi dengan mengabaikan asas keadilan di sisi lainnya, ataukah adanya suatu peramuan antara dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan di lain pihak. Dalam ilmu hukum pada umumnya maka dalam memutus suatu perkara Hakim dapat melakukan suatu penafsiran hukum, sehingga suatu kasus konkrit dapat diputus oleh Hakim yang dapat bersifat peramuan antara dimensi yang bersifat formal legalistik dengan asas keadilan di lain pihak. Penafsiran yang dilakukan oleh Hakim merupakan penafsiran yang bersifat konkrit oleh karena Hakim dihadapkan dalam memutus suatu perkara yang konkrit pula. Padakebijakan legislasi hukum di Indonesia maka penafsiran hukum oleh Hakim diperkenankan dan malah merupakan suatu kewajiban dari Hakim Indonesia. 69 Oleh karenanya, dalam praktik peradilan khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi dalam beberapa putusan Mahkamah Agung RI hakikatnya ada yang tidak menerapkan perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi. Tetapi ada juga yang masih tetap menerapkan Ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kemudian penjelasan ketentuan Pasal 28 ayat 1Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakimandengan tegas menyebutkan bahwa, “ketentuan pasal ini dimaksudkan agar putusan Hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”Yang kemudian Ketentuan Undang- Undang Nomor: 4 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam pasal 5 ayat 1 menyatakan bahwa “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Kemudian penjelasan ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga dengan tegas menyebutkan bahwa, ”ketentuan pasal ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan Hakim Konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat” 69 Ninil Eva Yustina, Perbuatan Melawan Hukum Materiil Materiel Wederrechelijkheid dalam Tindak Pidana Korupsi pada Praktik Peradilan Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, http:www.google.co.id, diakses tanggal 20 Januari 2013, hal. 20-21 perbuatan melawan hukum materiil pasca putusan Mahkamah Konstitusi dengan melalui penafsiran dan penemuan hukum rechtsvinding baik bersifat progresif maupun konservatif. Pada dimensi ini maka Hakim melakukan pembentukan hukum dengan menetapkan peraturan secara konkrit law in concreto atau tegasnya merupakan suatu proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum law in abstracto dengan mengingat peristiwa konkrit. Apabila dikaji dari perspektif teoretis dan normatif ada beberapa implikasi tentang dimensi perbuatan melawan hukum materiil pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 khususnya terhadap eksistensi ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: 70 1. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang menentukan penjelasan Pasal 2ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakibatkan perbuatan melawan hukum materiil tidak diatur dan mempunyai landasan pijakan sebagai payung hukumnya. Konsekuensi dan implikasi demikian akan mengakibatkan secara normatif pengertian ketentuan Pasal 2ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak 70 Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah Konstitusim, Op.Cit.,hal 9-10 Pidana Korupsi menjadi tidak jelas secara normatif dan implementasinya. Tegasnya, di satu sisi perbuatan melawan hukum materiil dalam perkara tindak pidana korupsi ada dalam kenyataan di masyarakat akan tetapi di sisi lain secara normatif tidak diatur dalam perundang-undangan oleh karena payung hukum perbuatan melawan hukum materiil sebagaimana penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 sudah dibatalkan karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tida kmempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Dalam yurisprudensi tetap vaste jurisprudentie yang dianut sejak lama dalam praktik peradilan ternyata Mahkamah Agung RI telah menerapkan adanya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 KKr1965 tanggal 8 Januari 1966, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 71K1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 81KKr1973 tanggal 30 Mei 1977 maupun fungsi positif Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 KPid1982 tanggal 15 Desember 1983, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 KPid1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1571 KPid1993 tanggal 18 Januari 1995. Konsekuensi logis dimensi demikian membawa suatu polarisasi pemikiran bahwa Mahkamah Agung ingin menjatuhkan hukuman sesuai nuansa dan paradigma asas keadilan yang walaupun tidak diatur dalam Undang-Undang akan tetapi karena praktik di masyarakat dianggap sebagai sebuah perbuatan tercela, maka aspek demikian tidak dapat dibiarkan dan pelakunya harus dijatuhi hukuman sesuai norma yang hidup dalam masyarakat living law dengan tetap mempergunakan parameter asas keadilan. Dikaji dari perspektif kebijakan pidana maka hakim selaku pemegang kebijakan aplikatif harus menerapkan peraturan perundang-undangan. Oleh karena dimensi demikian maka hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung lidah atau corong Undang-Undang bousche de la loimouth of the laws akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit. Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Di satu sisi perbuatan korupsi secara formal perbuatan melawan hukum formal tidak ada, akan tetapi di sisi lainnya secara materiil perbuatan melawan hukum materiil ada maka hakim sebagai kebijakan aplikasi harus menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup living law. Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup dalam menara gading”. Adapun dampak yang timbul dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003 PUU-IV2006 ini yaitu 1. Dampak postif dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 ini antara lain: a. Bagi penyidik atau penegak hukum dalam rangka mencari dan menetapkan seseorang sebagai tersangka tindak pidana korupsi harus berdasarkan terlebih dahulu terjadinya pelanggaran yang terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga dalam penetapan seseorang sebagai tersangka harus berdasarkan ketentuan tertulis atau Undang-Undang Nomor: 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan asas legalitas yang terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP; b. Para penegak hukum dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 memberikan batasan terhadap para penegak hukum untuk menghindari perbuatan perilaku yang sewenang-wenang dalam menetapkan dan mengadili seseorang; c. Dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU- IV2006 telah Memberikan suatu perlindungan, jaminan dan pernghormatan terhadap hak warga negara dihadapan hukum agar memperoleh perlindangan dan jaminan kepastian hukum serta keadilan berdasarkan ketentuan yang tertulis. 2. Dampak negatif dengan diberlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 antara lain: a. Dalam menegakan hukum dalam tindak pidana korupsi akan semakin sulit untuk menjangkau terhadap modus operandi praktek korupsi yang semakin canggih dan rumit; b. Peran Hakim sebagai penegak hukum dalam memutuskan suatu perkara akan semakin sulit, karena disatu sisi Hakim dihadapi dengan Undang-Undang yang memberikan jaminan kepastian hukum namun di sisi lain Hakim juga di hadapi dengan persoalan rasa keadilan apakah putusan itu layak atau tidak menurut kepatutan dan rasa keadilan masyarakat; c. Praktek pengungkapan kasus-kasus korupsi akan bertambah sulit oleh karena para penyidik dihadang dengan sejumlah persoalan, terkait pembuktiannya ataupun pasal yang dikenakan terhadap seseorang yang berdasarkan hukum tidak tertulis atau norma-norma yang hidup di dalam masyarakan berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan perbuatan itu dianggap tercela, namun berdasarkan hukum tertulis itu bukan merupakan perbuatan yang bertentang dangan Undang-Undang atau peraturan tertulis sehingga hal ini sangat menyulitkan bagi penyidik.

C. Analisa Terhadap Penerapan Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak