meskipun tidak nyata diancam dengan pidana di dalam Undang-Undang, dalam hal perbuatan tersebut bertentangan dengan ukuran lain yang hidup dalam
msyarakat. Jika ini yang diambil artinya mengambil fungsi yang positif yang justru akan bertentangan dengan asas legalitas.
57
C. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Diakui Oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia
Dengan demikian, sifat melawan hukum materiil ini menghendaki suatu perbuatan hanya dapat dipidana apabila perbuatannya tersebut bertentangan
dengan hukum tertulis atau hukum tidak tertulis, sedangkan alasan-alasan pengecualiannya harus dicari dalam hukum tertulis atau hukum tidak tertulis. Sifat
melawan hukum materiil ini berpedoman kepada hukum tidak tertulis, kepatutan dan rasa keadilan atau norma-norma moral yang hidup dalam masyarakat.
Mahkamah Agung RI sebagai lembaga yang berwenang dalam bidang yudikatif dalam beberapa Yurisprudensinya telah mengakui adanya sifat melawan
hukum baik dalam arti formil maupun materiil. Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif dimana
perbuatan melawan hukum formal formele wederrechtelijkheid menjadi perbuatan melawan hukum materiil materiele wederrechtelijkheid dalam artian
setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Pergeseran perbuatan
melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan
57
Ibid, hal. 37
hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.
Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum fomal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui
Yurisprudensi putusan hakim. Konkritnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang
melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat. Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran
pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan
melawan hukum secara luas dari hukum perdata.
58
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung telah melakukan pergeseran dan juga
telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari
pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui Yurisprudensinya
melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kretaria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak
58
Lilik Mulyadi, Dimensi Dan Implementasi “Perbuatan Melawan Hukum Materiil” Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada Putusan Mahkamah Agung Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusim, Op.Cit., hal 4
memenuhi rumusan delik dipandang dari segikepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi
masyarakatnegara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan
menghilangkan alasan penghapus pidana yang tidak tertulis adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 KKr1966 tanggal 8 Januari 1966 atas
nama terdakwa Machroes Effendi kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 71K1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung RI
Nomor: 81KKr1973 tanggal 30 Mei 1977.
59
Yurisprudensi ini mengenai kasus yang dinamakan kasus Penyalahgunaan D.O Gula, Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966, Nomor: 42
KKr1965 yang menyatakan bahwa suatu perbuatan pada umumnya dapat hilang sifat melawan hukumnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undang, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.Dalam
perkara ini misalnya faktor-faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
60
59
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis dan Praktis, Op.Cit., hal 191
60
Komariah Emong Sapardjaja, Op.Cit., hal. 137
Kaidah tersebut diatas ditarik dari putusan Mahkamah Agung RI tanggal 8 Januari 1966 Nomor 42 KKr1965, dalam perkara Machroes Effendi yang
dituduh oleh Pengadilan Negeri Singkawang, dan terbukti melakukan tindak pidana: “sebagai pegawai negeri memakai kekuasaan yang diperoleh dari
jabatanya melakukan penggelapan berulang kali”. Seperti dirumuskan dalam pasal 372 jo pasal 52 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 372 berbunyi: “barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena pengelapan, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
Sedangkan pasal 52 berbunyi: “bilamana seorang pegawai negeri karena melakukan delik melanggar suatu
kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan delik memakai kekuasaan; kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya,
pidananya dapat ditambah sepertiga.”
duduk perkaranya adalahTerdakwa sebagai Patih pada Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sambas, pada kira-kira bulan Juni 1962, telah
mengeluarkan D.O gula insentif padi yang menyimpang dari tujuannya. Sesungguhnya gula insentif tadi hanya boleh dikeluarkan dalam rangka pembelian
padi untuk pemerintah dari para petani dan menjual gula kepada mereka yang menjual padi kepada pemerintah. Ternyata Terdakwa telah mengeluarkan D.O
gula intensif padi tersebut kepada seorang pemborong, P.K.P.N. Singkawang, keperluan Hari Natal, para pegawai kabupaten, untuk Front Nasional, KODIM,
dan untuk keperluan-keperluan lain, seperti untuk ongkos pengangkutan, giling,
buruh, dan jasa-jasa lain. Kelebihan harga penjualannya oleh Terdakwa digunkan untuk pembangunan-pembangunan daerah diantaranya untuk menyelesaikan
rumah milik Pemerintah Daerah.
61
1. Pembelian padi untuk pemerintah tidak menjadi kurang oleh tindakan
Terdakwa tersebut; Pengadilan Negeri Singkawang, dalam putusannya tanggal 24 September
1964 nomor 61964Tolakan, menghukum Terdakwa dengan hukuman 1 tahun 6 bulan, tetapi Pengadilan Negeri Jakarta dalam putusannya tanggal 27 Januari 1965
nomor 1461964 Pengadilan Tinggi pidana melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum, dan Mahkamah Agung menyetujui pertimbangan Pengadilan
Tinggi. Dalam pertimbangannya Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa:
“pengeluaran-pengeluaran D.O. di atas sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan Terdakwa yang menyimpang dari tujuan yang ditentukan yang
berwajib. Akan tetapi perbuatan-perbuatan Terdakwa tersebut, jika ditinjau dari sudut kemasyarakatan, yang dengan perbuatan Terdakwa tersebut mendapat
pelayanan, menurut Pengadilan Tinggi merupakan perbuatan yang menguntungkan masyarakat daerah itu dan karenanya melayani kepentingaan
umum, meskipun yang mendapat pelayanan bukan kepentingan yang dimaksud”
Kebijakan semacam itu, mengingat akan keadaan di sementara daerah yang dihadapi oleh aparatur pemerintah daerah, kadang-kadang terpaksa ditempuh
demi kelancaran pembangunan daerah atau demi kepentingan masyarakat daerah, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa kebijaksanaan tersebut tidak
menguntungkan Pemerintah Daerah. Tidak terbukti bahwa Terdakwa mengambil atau mendapatkan keuntungan dari perbuatannya itu. Tidak pula terbukti bahwa
negara mendapat kerugian dari perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut, yang dapat dibuktikan dari fakta:
2. Gula yang oleh Terdakwa diberikan kepada orang-orang yang tidak
haknya, tidak dijual dengan melanggar harga resmi.” Faktor-faktor kepentingan umum yang terlayani serta faktor-faktor tidak
adanya keuntungan yang masuk ke dalam saku Terdakwa dan akhirnya faktor tidak dideritanya kerugian oleh negara, merupakan faktor-faktor yang mempunyai
61
Ibid, hal. 137-38
nilai lebih dari cukup guna menghapuskan sifat bertentangan dengan hukum pada perbuatan-perbuatan Terdakwa, yang terbukti formil masuk dalam rumusan tindak
pidana.
62
Berhubung dengan itu dengan tepat Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya menyatakan perbuatan-perbuatan yang terbukti dilakukan oleh
Terdakwa bukanlah merupakan suatu tindak pidana”. Dalam putusan Mahkamah Agung yang menyetujui pertimbangan
Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut ditegaskan bahwa: “bukanlah Pengadilan Tinggi dalam putusannya menganggap 3 faktor
tersebut sebagai unsur-unsur, melainkan adanya 3 faktor tadi dianggap, menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakan Terdakwa.
Mahkamah Agung pada dasarnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang
sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana misalnya 3
faktor tersebut diatas yang oleh Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh Terdakwa itu
63
62
Ibid, hal. 138-139
63
Ibid, hal. 139
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasusMachroes Effendi inilah timbul suatu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor: 42 KKr1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas “perbuatan melawan hukum materiil” materiele wederrechtelijkheid dalam
fungsi negatif. Sedangkan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirianperbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat
dalam perkara Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 275 KPid1982 tanggal 15 Desember 1983 atas nama terdakwa R.S. Natalegawa kemudian diikuti pula
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 2477 KPid1988 tanggal 23 Juli 1993, PutusanMahkamah Agung RI Nomor: 1571 KPid1993 tanggal 18 Januari 1995
Perkara ini mengenai korupsi di Bank Bumi Daya. Duduk perkaranya adalah Terdakwa, selaku Direktur Bank Bumi Daya, telah berulang kali
memberikan prioritas kredit kepada PT. Jawa Building Indah, yang berusaha dibidang real estate, padahal ia mengetahui bahwa ada larangan pemberian kredit
untuk proyek real estate, menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: SE 622UPK, tanggal 30 Juli 1973.
Dalam perkara ini, Mahkamah Agung secara jelas memberikan arti sifat melawan hukum materil yaitu:
“menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang
berlebihan serta keuntungan lainya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu mengunakan kekuasaanya atau wewenangnya yang melekat pada
jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang
tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati msyarakat banyak”.
64
Pendapat di atas timbul karena Mahkamah Agung menganggap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan tanggal 10 Februari 1982 Nomor:
331981pidana biasa, telah salah menafsirkan sebutan melawan hukum
65
Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
66
64
Ibid, hal. 162
65
Ibid, hal. 163
66
Ibid, hal. 163-164
“penafsiran terhadap sebutan melawan hukum tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan
Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi Pidananya, akan tetapi sesuai dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharus hal
itu diukur berdasarkan asas-asas hukum yang tidak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri selaku judex facti dalam perkara perkaranya Terdakwa Endang Widjaja alias Yap Eng Kui alias A
Tjai perkara no. 32subv1978PidVOR, fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya yang diterima dari saksi Endang Widjaja alias Yap Eng Kui
alias A Tjai sendiri oleh Mahkamah Agung dengan putusannya tanggal 19 November 1983 Nomor: 203 KPid1983 telah dinyatakan bersalah melanggar
pasal 1 ayat 1 huruf d Undang-Undang Nomor: 3 tahun 1971, yakni memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
Pengunaan kekuasaan serta wewenang secara menyimpang oleh Terdakwa, menurut pertimbangan Pengadilan Negeri selaku judex facti dalam
perkara ini pun dianggap overdraf, adanya perpanjangan kredit dan sebagainya, yang merupakan tanggung jawab Terdakwa Raden Sonson Natalegawa selaku
Direktur Bank Bumi Daya yang membidangimembatahi perkreditan dengan tugas menganalisis atau memeriksa permohonan kredit yang diajukan oleh urusan atau
bagian kredit kepada Terdakwa, perbuatan mana merupakan penyimpangan dari kebijakan tertulis dari Bank Indonesia yang menurut Mahkamah Agung dianggap
sebagai suatu perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan yang melekat padanya ataupun tanda dia berhak melakukan demikian, dan perbuatan yang demikian itu
dapat juga merupakan perbuatan melawan hukum.”
Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan
keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi
positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas.
67
Berdasarkan uraian di atas maka Putusan Mahkamah Agung RI dapat dikatakan telah memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannyaperbuatan
melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif selain perbuatan melawan hukum formil, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
67
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis dan Praktis, Op.Cit., hal 192
Yurisprudensi tersebut dapat dikatakan bertitik tolak kepada Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 1971.Dalam perkembangan berikutnya dalam ketentuan Pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ajaran perbuatan
melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan. Selanjutnya Yurisprudensi-Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI mengenai tindak pidana korupsi inilah yang menimbulkan permasalahan dalam penegakan dan penerapan sifat melawan hukum pasca
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006 tanggal 25 Juli 2006 yang telah meniadakan sifat melawan hukum dalam arti materiil yang
terdapat dalam penjelesan kalimat pertama Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana ternyata dalam prakteknya Mahkamah Agung RI dalam beberapa Putusanya tetap mengakui eksistensi sifat
melawan hukum dalam arti materiil. Hal inilah yang menimbulkan suatu permasalahan mengenai eksistensi sifat melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU- IV2006 tanggal 25 Juli 2006 dengan Yurisprudensi tetap yang diakui oleh
Mahkamah Agung RI mengenai sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi.
BAB III ANALISA EKSISTENSI SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI PASCA KELUARNYA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR: 003PUU-IV2006
A. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003PUU-IV2006
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor: 003PUU-IV2006 telah membatalkan penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999
jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap bertentang dengan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuaran hukum mengikat yaitu bagian kalimat pertama sepanjang frasa:
“Yang dimaksud dengan secara ‘melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni
meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan
rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, makaperbuatan tersebut dapat dipidana”
Alasan mengapa Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20
Tahun 2001 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi bisa dilihat dalam pertimbangannya pada bagian
“Tentang Unsur Melawan Hukum wederrechtelijkheid”, Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan sebagai
berikut:
68
1. Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan
dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama Penjelasan
68
Putusan Mahkamh Konstitusi Nomor 003PUU-IV2006, hal. 73-76