Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”
SOLIDARITAS MIGRAN DESA “KAKI LIMA MODERN
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Solidaritas Migran
Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Septiana Nurhanifah
NIM I34090057
ABSTRAK
SEPTIANA NURHANIFAH. Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor”. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING.
Solidaritas migran desa adalah rasa persatuan di kalangan anggota
perkumpulan pedagang kaki lima. Metode sensus digunakan dalam penelitian ini
untuk mengetahui karakteristik individu migran desa yang menjadi pedagang kaki
lima di Stasiun Bogor, menganalisis solidaritas pedagang dari desa, dan
menganalisis hubungan antara keduanya. Hasil penelitian menemukan bahwa
hubungan hanya terjadi antara etnis dan kerjasama, umur dan formalitas, jenis
kelamin dan solidaritas, status perkawinan dan formalitas, serta status perkawinan
dan solidaritas. Selain mereka semua, tidak terdapat hubungan. Solidaritas sosial
yang terbentuk di kalangan pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor adalah
solidaritas organik.
Kata kunci : Solidaritas, karakterisik individu, migran desa, pedagang kaki lima
ABSTRACT
SEPTIANA NURHANIFAH. Rural Migrant Solidarity “Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor”. Supervised by LALA M. KOLOPAKING.
Rural migrant solidarity is a sense of unity among association members of
street vendors. Census method was used in this study to determine the individual‟s
characteristics of rural migrants who become street vendors in Bogor Station, to
analyze the solidarity of the vendors from villages, and to analyze the relationship
between the two. The results found out that the relationship only happened on
ethnicity and cooperation, age and formality, sex and solidarity, marital status and
formality, as well as marital status and solidarity. Besides those all, there was no
relationship. Social solidarity formed among street vendors Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor was organic solidarity.
Keywords: Solidarity, individual‟s characteristics, rural migrants, street vendors
SOLIDARITAS MIGRAN DESA “KAKI LIMA MODERN
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”
Nama
: Septiana Nurhanifah
NIM
: I34090057
Disetujui oleh
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”. Penulisan skripsi
ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran
dalam proses penyusunan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada para pedagang anggota paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada
Bapak Ir Hadiyanto, MSi sebagai dosen penguji petik, Dr Ir Saharuddin, MS
sebagai penguji utama, dan Ir Sutisna Riyanto, MS sebagai dosen penguji
akademik, yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk
memperbaiki laporan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah Jumar, ibu Kholiyah dan adik, Bagus Irvanudin, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Turasih
SKPm yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Cindy Paloma, Lutfi Afifah, Niki
Nurhayati, Tuti Purwaningsih, Raysa, Vini Virdiana Mulideas, Listia Hesti
Yuana, Hilda Nurul Hidayati, Tri Nuryanti, M. Rangga Husein, Sondang Fitriani
Pakpahan, teman-teman SKPM 46 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan
semua pihak yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Septiana Nurhanifah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
5
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal
5
Konsep Pedagang Kaki Lima
6
Paguyuban Pedagang Kaki Lima
7
Konsep Solidaritas
8
Konsep Migran Desa
11
Konsep Etnis
13
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
15
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN
19
Metode Penelitian
19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data
19
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21
GAMBARAN UMUM KAKI LIMA MODERN STASIUN BOGOR
23
Sejarah Paguyuban Pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
23
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
24
Etnis
24
Tingkat Umur
28
Jenis Kelamin
29
Status Perkawinan
31
SOLIDARITAS MIGRAN DESA SEBAGAI PEDAGANG KAKI LIMA
MODERN STASIUN BOGOR
33
Derajat Formalitas Hubungan
35
Derajat Ketergantungan Anggota
38
Derajat Kerjasama
40
HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN DERAJAT SOLIDARITAS
MIGRAN DESA
43
Hubungan Etnis dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat Ketergantungan
Anggota dan Derajat Kerjasama
43
Hubungan Tingkat Umur dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
45
Hubungan Jenis Kelamin dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
46
Hubungan Status Perkawinan dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
47
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
53
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Metode pengumpulan data
Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan
Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan
Jumlah dan presentase sebaran derajat solidaritas pedagang kaki lima
modern Stasiun Bogor, 2013
Jumlah dan presentase derajat formalitas hubungan migran desa PKL
modern Stasiun Bogor
Jumlah dan presentase derajat ketergantungan anggota migran desa
PKL modern Stasiun Bogor
Jumlah dan presentase derajat kerjasama migran desa PKL modern
Stasiun Bogor
Hasil uji korelasi Rank Spearman etnis dengan derajat solidaritas dan
variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman tingkat umur dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman jenis kelamin dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman status perkawinan dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
9
20
27
30
34
36
39
40
43
45
47
48
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Bagan kerangka pemikiran
Alur pengambilan responden
Jumlah dan presentase responden berdasarkan etnis
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat umur
Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin
Jumlah dan presentase responden berdasarkan status perkawinan
15
20
26
28
29
31
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Stasiun Bogor, Kota Bogor
2. Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan
3. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan
4. Data pengukuran derajat solidaritas migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor
5. Data pengukuran derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
6. Data pengukuran derajat kerjasama migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor
7. Data pengukuran derajat formalitas hubungan migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
53
53
54
55
56
57
59
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Hubungan etnis dan derajat solidarias migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat formalitas hubungan migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat kerjasama migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat formalitas hubungan migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat ketergantungan anggota
migran desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Data sensus migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
berdasarkan karakteritik individu
Kuesioner
60
60
60
61
61
61
62
62
62
63
63
63
64
64
64
65
66
67
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor informal merupakan salah satu sektor ekonomi yang bertahan dalam
dinamika perekonomian Indonesia. Yusuf (2006), menyatakan bahwa jika
memperhatikan struktur ketenagakerjaan, penduduk yang bekerja di sektor
informal cukup besar, dari analisis data sekunder jumlah tenaga kerja di sektor
informal hampir seimbang dengan tenaga kerja di sektor industri. Departemen
Transmigrasi dalam Pelawi (2004), menyebutkan bahwa sektor informal
mempunyai lima sub sektor, yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi,
industri, konstruksi, dan Jasa. Sub sektor yang memiliki banyak peminat adalah
perdagangan, dan salah satu contoh sub sektor ini adalah pedagang kaki lima
(PKL). Kesempatan kerja untuk menjadi pedagang kaki lima dibawa oleh pekerja
migran yang berusaha memperoleh penghasilan di perkotaan. Para migran
berharap dengan bekerja di kota, maka perekonomian mereka akan meningkat dan
hidup mereka akan sejahtera. Hal ini dapat ditelusuri dari pandangan Alisjahbana
dalam Lamba (2011), yang menyebutkan bahwa sektor informal sebagai akibat
dari daya dorong pedesaan dan daya tarik perkotaan. Banyaknya sektor informal
diberbagai kota besar di dunia, termasuk di Indonesia tidak lepas dari adanya
urbanisasi dan daya dorong sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta tingkat upah
yang rendah di desa.
Setiono dalam Lamba (2011), juga mengungkapkan bahwa kota dengan
berbagai kemajuan dan fasilitasnya merupakan daya tarik, sementara desa dengan
berbagai keterbatasan dan keterbelakangannya merupakan daya dorong.
Akibatnya, kehidupan di kota menjadi alternatif utama bagi sebagian mereka yang
ingin menyelamatkan diri dari tekanan kemiskinan di desa.
Pedagang kaki lima umumnya berbekal modal rendah untuk menjalankan
usahanya. Menurut Anggraini (2007), walaupun oleh sebagian pihak pedagang
kaki lima dipadang sebelah mata, akan tetapi pada kenyataannya keberadaan sub
sektor ini mampu mengurangi jumlah pengangguran. Disamping itu, pedagang
kaki lima merupakan penyumbang besar terhadap perekonomian disaat sektor
usaha-usaha besar sedang terpuruk. Namun, kerapkali usaha pedagang kaki lima
ini tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah bahkan dipandang
sebagai beban sosial (menganggu ketertiban umum dan kelancaran lalu lintas,
memanfaatkan fasilitas umum sebagai lokasi untuk aktivitas usaha). Tindakan
yang dipilih selanjutnya, oleh pemerintah dan beberapa pihak terkait dalam
menanggapi permasalahan tersebut adalah dengan penertiban pedagang kaki lima,
dari cara halus sampai penggusuran paksa.
Seperti sektor informal lainnya, bekerja sebagai pedagang kaki lima
didapatkan oleh para migran baik dari kerabat maupun atas usahanya sendiri atau
memanfaatkan hubungan sosial yang pengusaha miliki. Mekanisme perekrutan
tenaga kerja tersebut mengindikasikan adanya peranan solidaritas sosial dalam
menjalankan usaha sebagai pedagang kaki lima. Solidaritas muncul karena
pedagang kaki lima juga merupakan individu yang memerlukan orang lain untuk
bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih, bagi migran yang berada
2
jauh dari asal daerah mereka dan datang untuk menjalankan aktivitas usahanya.
Mereka tentunya membutuhkan bantuan dan bantuan tersebut salah satunya
datang dari perasaan moral dan kepercayaan migran lainnya. Akhirnya,
pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mereka capai dalam kelompok seperti
paguyuban pedagang kaki lima.
Anggota Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor umumnya sama
seperti pedagang kaki lima di kota-kota besar lainnya. Mereka berasal dari daerah
yang berbeda-beda dan sebagian besar adalah migran dari desa. Namun, para
pedagang kaki lima tersebut menyatu dalam sebuah naungan yang mereka
namakan paguyuban. Meskipun dalam satu wadah sosial, interaksi sosial yang
terbentuk tidak menutup kemungkinan masih membawa karakteristik etnis yang
mereka miliki. Hal ini selanjutnya dapat mempengaruhi solidaritas dalam
paguyuban tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka
mengetahui karakteristik individu dan solidaritas pedagang kaki lima. Hal
menarik untuk diteliti, karena bagaimanapun pedagang kaki lima termasuk pelaku
ekonomi yang memiliki pilihan rasional untuk menghasilkan keuntungan dan
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perumusan Masalah
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang
ada pada sektor informal. PKL yang ada di kota-kota besar biasanya berasal dari
daerah lain, dan merupakan migran dari desa. Mereka pergi meninggalkan desa
dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan
yang mereka jalani di desa. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak
sedikit juga dari PKL yang mengirimkan uang hasil usaha berdagang mereka ke
keluarga dan sanak saudara di desa tempat mereka berasal.
Pada satu sisi, bagi pedagang kaki lima, berdagang adalah pekerjaan utama
dan sumber nafkah utama mereka. Pendapatan yang mereka peroleh, dijadikan
sebagai penyambung hidup. Akan tetapi, bagi beberapa pihak keberadaan para
pedagang kaki lima dianggap sebagai beban sosial dan mengganggu ketertiban
umum. Karena itu, sering terjadi penggusuran lapak pedagang kaki lima oleh
aparat yang berwajib. Seperti penggusuran yang dilakukan kepada para PKL yang
ada di sekitar stasiun, baik dari Stasiun Jakarta Kota sampai Stasiun Bogor,
maupun stasiun di jalur lainnya. Namun, PKL yang berada di Stasiun Bogor
mempunyai nasib yang lebih beruntung, tidak mengalami penggusuran seperti di
stasiun lainnya. Para PKL yang tergabung dalam paguyuban Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor tersebut, justru dapat menempati bangunan yang bersih dan tertata
rapi sebagai tempat mereka berjualan. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor juga mempunyai PKL yang merupakan migran yang berasal dari desa. Para
migran tersebut mampu bertahan sebagai PKL dan tergabung dalam paguyuban
yang anggotanya berbeda asal daerah. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini
ingin mengetahui bagaimana karakteristik individu pada migran desa Kaki
Lima Modern Stasiun Bogor?.
PKL yang berada di Stasiun Bogor juga pernah mengalami penggusuran.
Namun, para PKL yang tergabung dalam paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor mampu bernegosiasi dengan pihak PT KAI untuk mempertahankan tempat
3
mereka di Stasiun Bogor. Akhirnya, para PKL memperoleh izin dari PT KAI
untuk menyewa lahan dan mendirikan bangunan. Keberhasilan mendapatkan izin
tersebut tidak terlepas dari adanya solidaritas yang dimiliki antar pedagang
anggota paguyuban. Setelah memperoleh tempat yang nyaman untuk berdagang,
kemungkinan solidaritas yang dimiliki PKL anggota paguyuban Kaki Lima
Modern Stasiun Bogor masih ada. Oleh sebab itu, dari penelitian ini akan
diketahui bagaimana solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor?.
Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor mempunyai anggota yang
berasal dari migran desa yang berbeda-beda daerah. Para migran tersebut
membawa karakteristik individu mereka dalam menjalani hubungan sosial dengan
pedagang lain yang juga berbeda daerah dengan mereka. Namun, mereka mampu
bertahan sebagai anggota paguyuban. Karena itu, dalam penelitian ini terdapat
rumusan masalah bagaimana hubungan karakteristik individu dan solidaritas
migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor?.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik individu pada migran desa Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor
2. Mengetahui solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan solidaritas migran desa
Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi peneliti dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses
pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu,
diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan
terutama yang terkait dengan bidang sosial dan ketenagakerjaan.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan
menambah pengetahuan terkait dengan kondisi sosial di pedagang kaki lima.
3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran
informasi dan data untuk pembuatan kebijakan terkait dengan bidang sosial
dan ketenagakerjaan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal
Berdasarkan penggolongan penduduk yang bekerja, Rusli (1995) membagi
kesempatan kerja dalam dua kategori, yaitu jenis pekerjaan dan status pekerjaan.
Jenis pekerjaan terdiri dari tenaga profesional, teknisi dan sejenis, tenaga
kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tatausaha dan tenaga yang sejenis,
tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa, tenaga usaha pertanian, kehutanan,
perburuan, perikanan, tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerjaaan kasar
dan lainnya. Berikutnya, penggolongan status pekerjaan terdiri dari berusaha
sendiri tanpa bantuan orang lain, berusaha dengan dibantu anggota rumah
tangga/buruh tidak tetap, berusaha dengan buruh tetap, buruh/karyawan dan
pekerja keluarga. Penggolongan status pekerjaan tersebut dalam Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), diperinci menjadi sektor formal (kegiatan
ekonomi formal) dan sektor informal (kegiatan ekonomi informal).
Sektor informal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sektor yang
lain. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), mengungkapkan bahwa
sektor formal mempunyai konsep berusaha dengan buruh tetap dan sebagian dari
pekerja/buruh/karyawan sedangkan berusaha sendiri tanpa bantuan, berusaha
dengan dibantu buruh tidak tetap pekerja bebas di sektor pertanian, pekerja bebas
di sektor nonpertanian, pekerja tak dibayar dan sebagian dari pekerja/buruh/
karyawan merupakan bagian dari sektor informal.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (1991) dalam
Seftiani (2006), menemukan bahwa ada tiga jenis lapangan usaha yang termasuk
ke dalam sektor informal, yang memberikan kesempatan berusaha bagi migran
yaitu perdagangan, buruh, dan jasa angkutan. Departemen Transmigrasi dalam
Pelawi (2004) menyebutkan bahwa sektor informal mempunyai lima sub sektor,
yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi, industri, konstruksi, dan jasa. Sub
sektor yang memiliki banyak peminat adalah perdagangan, dan salah satu contoh
sub sektor ini adalah pedagang kaki lima. Bekerja sebagai pedagang kaki lima
didapatkan oleh para tenaga kerja baik dari kerabat maupun atas usahanya sendiri.
Walaupun oleh sebagian pihak pedagang kaki lima dipadang sebelah mata, akan
tetapi pada kenyataannya keberadaan sub sektor ini mampu mengurangi jumlah
pengangguran (Anggraini 2007).
Mochtar (2003), meneliti tentang karakteristik usaha pedagang kaki lima
yang membuat usaha ini berkembang pesat, yaitu walaupun modal terbatas dan
adanya berbagai kendala dalam kegiatan usaha, tetapi ada keyakinan bahwa usaha
kaki lima dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dinamika pedagang kaki lima
dapat terlihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang kaki
lima yaitu terdiri dari faktor personal, faktor modal, dan faktor lingkungan yang
terdiri dari keluarga, tetangga, komunitas serta kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah (Anggraini 2007).
Berdasarkan beberapa rujukan di atas, dapat diketahui bahwa pedagang kaki
lima merupakan pekerjaan yang berada pada sektor informal. Baik secara modal,
kegiatan usaha, tenaga kerja, maupun karakteristik dari pedagang kaki lima.
6
Konsep Pedagang Kaki Lima
Danisworo (2000) dalam Ginting (2004), menjelaskan bahwa istilah
pedagang kaki lima pertama kali dikenalkan pada masa Hindia Belanda, ketika
Gubernur Jenderal Stanford Rafless berkuasa. Pada saat itu, dikeluarkan peraturan
yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar
1.2 meter dari bangunan formal di pusat kota. Tempat pedagang tersebut
kemudian dikenal dengan “Kaki Lima”, dan pedagang yang berjualan di tempat
tersebut dinamakan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Namun, saat ini istilah PKL
tidak lagi ditunjukkan kepada pedagang informal yang berada 5 kaki dari
bangunan formal, tetapi telah meluas menjadi seluruh pedagang yang berjualan
secara informal (Ginting 2004).
Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor
informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan,
jasa-jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen
dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian
jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan
peruntukannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya,
kecuali pada lokasi resmi. Disamping itu, menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 20021, pedagang kaki lima merupakan perorangan atau pedagang
yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu
yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai
tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan
miliknya.
Mochtar (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya pedagang kaki lima
dalam melakukan aktivitasnya tidak menghiraukan peruntukan lahan yang
digunakan asal daerah tersebut ramai dilewati orang maka pedagang kaki lima ada
di tempat tersebut. Anggraini (2007), menyebutkan pemakaian lahan
mengharuskan mereka membayar penyewaan lahan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh penguasa informal lokal. Pungutan atau retribusi yang
dilakukan oleh pemerintah biasanya bila pedagang menggunakan lahan di
halaman pasar resmi dan lokasi-lokasi resmi, sedangkan retribusi yang dilakukan
oleh penguasa informal bila pedagang menempati halaman pasar liar, disekitar
pasar resmi, dan non-pasar.
Chandrakirana dan Sadoko dalam Anggraini (2007), mengungkapkan
pedagang kaki lima memenuhi kebutuhan penjualannya dengan membeli barang
secara kontan terutama yang bermodal kecil, sedangkan yang bermodal besar
membeli barang dengan sistem kredit. Bagi yang membayar secara kontan merasa
lebih untung karena dapat membeli dengan harga yang lebih rendah daripada
dengan kredit. Umumnya usaha kaki lima bermodal kecil. Peraturan Daerah DKI
Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan pedagang kaki lima memiliki modal
sebesar Rp5 000 000 diluar modal tanah dan bangunan tempat usaha. Modal yang
sedikit tersebut menyebabkan pedagang kaki lima tidak membutuhkan karyawan
dan biasanya ditemukan pada pedagang makanan. Kebutuhan karyawan biasanya
dicukupi dari keluarga sendiri dan mereka yang jarang diupah.
1
Peraturan Daerah DKI Jakarta. 2002. Perpasaran swasta di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta [internet]. [diunduh 2013 Jun 16]. Tersedia pada: http://www.beritajakarta.com/
Download/SK/Detail/PERDA.NO.2.TAHUN.2002.%20PERPASARAN%20SWASTA.pdf.
7
Paguyuban Pedagang Kaki Lima
Hubungan-hubungan positif antara manusia oleh Ferdinand Tonnies
dianggap selalu bersifat gemeinschaftlich atau gesellscaftlich dan mengemukakan
teori tentang paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) (Soekanto
1982). Paguyuban diartikan sebagai bentuk kehidupan bersama dimana anggotaanggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta
bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin
yang memang telah dikodratkan. Bentuk paguyuban terutama akan dijumpai
didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga, dan lain sebagainya
(Soekanto, 1982).
Disamping itu, Tonnies dalam Soekanto (1982) juga menjelaskan konsep
patembayan (gesellschaft) sebagai ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka
waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka
(imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan
dengan sebuah mesin. Bentuk patembayan terdapat dalam hubungan perjanjian
yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi
dalam suatu pabrik atau industri, dan lain sebagainya.
Tonnies dalam Johnson (1986) mengungkapkan masyarakat gemeinschaft
mencerminkan satu kemauan yang bersifat alamiah dan memperlihatkan satu
struktur sosial yang ditandai oleh kesatuan organik, tradisi yang kuat, hubungan
yang menyeluruh dan memperhatikan spontanitas dalam perilaku. Sebaliknya,
gesellschaft ditandai oleh kemauan yang lebih bersifat rasional, yang lebih
direncanakan, serta mengutamakan hubungan sosial yang didasarkan pada
spesialisasi tertentu.
Soekanto (1982) menjelaskan bahwa ajaran Tonnies mengenai paguyuban
dan patembanan dapat dibandingkan dengan pandangan Emile Durkheim tentang
dasar pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan pembagian kerja,
masyarakat secara keseluruhan mempunyai kedudukan yang lebih penting dari
pada individu, yang selanjutnya disebut struktur mekanik. Sebaliknya, dalam
masyarakat kompleks yang sudah terdapat spesialisasi bagi anggotanya masingmasing, maka akan timbul keahlian dan setiap golongan tidak akan hidup secara
sendiri, yang selanjutnya disebut sebagai struktur organik.
Menurut Tonnies dalam Soekanto (1982), suatu paguyuban mempunyai ciri
pokok, yaitu (1) intimate, merupakan hubungan menyeluruh yang mesra, (2)
private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja,
(3) exclusive, yaitu hubungan tersebut hanya untuk “kita” saja dan tidak untuk
orang-orang lain di luar “kita”. Selain itu, terdapat tiga tipe paguyuban, yaitu:
1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu paguyuban yang
merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh:
keluarga, kelompok kekerabatan.
2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang
terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling
tolong menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan.
3. Paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu
gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai
hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mereka
mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban
8
semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau
keturunan.
Diantara bentuk gemeinschaft dan gesellschaft terdapat bentuk-bentuk
campuran yang disebut burgerlichegesellschaft, seperti perseroan terbatas, firma,
serta badan-badan hukum lainnya. Berdasarkan sejarah, paguyuban muncul lebih
dahulu daripada patembayan, walaupun dalam perkembangan lanjut didalam
patemabayan mungkin saja muncul lagi persamaan pemikiran dan persamaan
batin yang menimbulkan paguyuban.
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri kelompok sosial di atas, pedagang kaki
lima dapat dikategorikan sebagai paguyuban (gemeinschaft). Disisi lain,
paguyuban juga termasuk kelompok sosial dalam masyarakat. Menurut Soedijanto
(1980), kelompok dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu kelompok
berdasarkan tugas, kelompok berdasarkan interaksinya, dan kelompok
berdasarkan strukturnya (kelompok formal dan kelompok informal). Tuyuwale
(1990) menyebutkan bahwa suatu kelompok dapat mempunyai formalitas tinggi
apabila memenuhi ciri-ciri pembentukan organisasi atau kelompok formal.
Adapun kriteria formalitas tersebut disebutkan oleh Bierstedt dalam Kolopaking
(2003) sebagai: 1) mempunyai fungsi dan tujuan yang khas; 2) mempunyai
kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; 3) mempunyai dan mengembangkan
susunan hierarki status; 4) mempunyai wewenang; 5) mengenakan prasyarat; 6)
mempunyai property; 7) mempunyai nama atau lambang-lambang.
Konsep Solidaritas
Johnson (1986) menyebutkan bahwa solidaritas merupakan kesatuan,
persahabatan, saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan
kepentingan bersama diantara para anggotanya. Soekanto (2003) menyebutkan
solidaritas sebagai kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas
sosial atau kasta, diantara berbagai pribadi, kelompok, maupun kelas-kelas
membentuk masyarakat atau bagian-bagiannya.
Durkheim yang dikutip Johnson (1986), menyebutkan solidaritas menunjuk
pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut oleh pengalaman emosional bersama.
Solidaritas terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung dan
mempengaruhi derajat tinggi rendahnnya solidaritas dalam suatu kelompok.
Menurut Soekanto (1982), faktor-faktor yang mempengaruhi solidaritas
adalah taraf proses dan kuatnya pengaruh dari: (1) lingkungan; 2. Okupasi; 3
bentuk-bentuk asosiasi; (4) mobilitas, taraf perubahan sosial; (5) komposisi etnis;
(6) latar belakang budaya populasi. Soedijanto (1980) mengemukakan faktorfaktor yang mempengaruhi solidaritas adalah kepemimpinan kelompok,
keanggotaan kelompok, homogenitas kelompok, tujuan kelompok, keterpaduan
atau integrasi, kerjasama atau kegiatan kooperatif dan besarnya kelompok.
Solidaritas juga menghasilkan persamaan, kesalingtergantungan, dan pengalaman
yang sama merupakan unsur pengikat bagi unit kolektif seperti keluarga,
kelompok, dan komunitas.
Soekanto (1982) menyebutkan solidaritas antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial
9
masyarakat seperti: (1) pola-pola interaksi-interaksi (struktur klik, kenggotaan
organisasi, perkawinan, dan sebagainya), (2) kesamaan atau ketidaksamaan sistem
kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai, (3) kesadaran akan kedudukan masing-masing,
(4) aktivitas sebagai organ kolektif.
Wahyuni (2003) merumuskan faktor yang mempengaruhi kohesi atau
solidaritas antara lain: karakteristik sosial anggota kelompok, ukuran kelompok,
mobilitas fisik anggota, efektifitas komunikasi. Karakteristik sosial anggota
kelompok merupakan kesamaan anggota kelompok yang meliputi kesamaan ciri
anggota kelompok, kesamaan latar belakang budaya, dan norma. Ukuran
kelompok adalah besar kecilnya jumlah anggota kelompok yang mempengaruhi
keintiman hubungan antar anggota. Mobilitas fisik anggota adalah gerak anggota
kelompok kesuatu wilayah lain yang terpisah jauh dari keberadaan kelompok.
Efektivitas komunikasi kelompok menjadi sangat penting dalam kelompok karena
dapat memperlancar penyesuaian para anggota kelompok pada norma-norma
perilaku kelompok. Selain itu, efektivitas komunikasi juga dapat mempengaruhi
sikap anggota sehingga mereka merasa satu jalur dalam mencapai tujuan
kelompok.
Durkheim dalam Johnson (1986) menganalisa ada dua bentuk solidaritas
yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada kepercayaan-kepercayaan dan
sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.
Solidaritas mekanik terbentuk karena adanya individu-individu yang memiliki
sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama pula.
Faktor penting dalam solidaritas mekanik adalah homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan, sentimen, dan sebagainya.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar.
Faktor pembentuknya adalah tingkat kesalingtergantungan yang sangat tinggi.
Rasa saling tergantung tersebut bertambah besar seiring dengan spesialisasi dalam
pembagian kerja, yang memungkinkan perbedaan tingkat individu. Lebih rinci,
perbedaan solidaritas mekanik dan organik menurut Johnson (1986) adalah
sebagai berikut:
Tabel 1 Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
Pembagian kerja rendah
Kesadaran kolektif kuat
Hukum represif dominan
Individualitas rendah
Konsensus terhadap pola-pola
normatif itu pentingan
Keterlibatan komunitas dalam
menghukum orang yang menyimpang
Secara relatif saling ketergantungan
itu rendah
Bersifat primitif atau pedesaan
ᵃ Sumber : Johnson (1986).
Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif lemah
Hukum restitutif dominan
Individualitas tinggi
Konsensus pada nilai-nilai abstrak
dan umum itu penting
Badan-badan kontrol sosial yang
menghukum orang yang
menyimpang
Saling ketergantungan yang tinggi
Bersifat industrial-perkotaan
10
Faktor lain yang mempengaruhi solidaritas adalah kerjasama dan konflik.
Kerjasama berarti bekerja bersama dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama.
Cooley yang dikutip Kolip dan Setiadi (2011) dalam Rohayati (2012)
menyebutkan bahwa kerjasama timbul jika orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan yang sama. Sebaliknya, konflik adalah suatu proses
sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau
kekerasan (Soekanto 1982).
Solidaritas dalam beberapa masyarakat dicontohkan oleh James Scott
(1976) dalam Damsar (2009), bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan
dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang
menekankan tolong menolong, pemilikan bersama sumberdaya dan keamanan
subsistensi. Namun, tidak dengan pedagang, yang cederung tertangkap di tengah
masyarakat petani dan pihak-pihak lain di luar desa. Mereka dapat disebut sebagai
tengkulak karena tidak hanya meanggung resiko kerugian secara ekonomi, tetapi
juaga resiko terhadap diskriminasi dan kemarahan petani.
Perkembangan teori solidaritas oleh Durkheim dalam Johnson (1986)
menunjukkan bahwa interaksi yang semakin bertambah, akan meningkatkan
kerjasama yang semakin tinggi dan merangsang munculnya gagasan-gagasan baru.
Hal ini menjadi sebab pembagian kerja yang meningkat. Namun, faktor utamanya
adalah perubahan-perubahan demografik dan akibatnnya pada frekuensi interaksi
antara manusia serta pada perjuangan kopetitif untuk mempertahankan hidup.
Disamping itu, Durkheim dalam Johnson (1986) juga menambahkan:
“Tetapi karena penduduk bertambah, perjuangan untuk hidup juga
bertambah. Akibatnya individu secara bertahap meningkatkan
spesialisasinya karena mereka mencari suatu jalan untuk tetap hidup dimana
kompetisi atau konflik dengan orang lain kurang parah. Selanjutnnya, karena
individu berspesialisasi, mereka menjadi lebih efisien, yang memungkinkan
penduduk yang lebih besar dapat bertahan. Selain itu, spesialisasi juga
menggairahkan peningkatan saling ketergantungan dan pertukaran
kontraktual karena individu membatasi dirinya pada spesialisasi dan
mengandalkan pada orang lain akan barang-barang lain atau jasa yang
dibutuhkan”.
Durkheim dalam Johnson (1986) menyatakan peralihan dari solidaritas
mekanik ke organik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh
keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Hal ini dikarenakan ikatan sosial
primodial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak
oleh meningkatnnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya
yang tidak berhasil menggantikannya. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah
dimana individu terputus ikatan-ikatan sosialnya dan kelompok-kelompok yang
menjadi perantara individu dan masyarakat luas tidak berkembang dengan baik,
sehingga memunculkan ancaman terhadap solidaritas.
Rohayati (2012) menyebutkan bahwa faktor lain yang mempengaruhi
solidaritas adalah kerjasama dan konflik. Namun, akan lebih banyak membahas
tentang kerjasama. Kerjasama merupakan upaya bekerja bersama dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Soekanto (1982) menyebutkan terdapat empat jenis
kerjasama, yaitu kerjasama spontan (serta merta), langsung (hasil dari perintah
atasan atau penguasa), kontrak (atas dasar tertentu), dan tradisional (bentuk
kerjasama sebagai bagian dari sistem sosial). Disamping itu, disebutkan pula
11
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama, yaitu 1) motivasi atau
kepentingan pribadi, misalnya tolong menolong); 2) kepentingan umum misalnya
gotong royong; 3) motivasi altruistik, misalnya semangat pengabdian, menolong
tanpa pamrih; dan 4) tuntutan situasi, misalnya karena bencana alam. Selanjutnya
bentuk-bentuk kerjasama dalam suatu kelompok dapat diketahui dapat berupa
tolong menolong, gotong royong, dan musyawarah.
Namun, Pranadji (2003) mengungkapkan beberapa jenis solidaritas dan
bentuk perwujudan dari solidaritas dalam masyarakat, yaitu:
1. Solidaritas ketetanggaan, yang perwujudannya seperti: a) selametan,
kesripahan, dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian
(nyatus, nyewu, dan ngekoli); b) peringatan yang berkaitan dengan upacara
atau tradisi pernikahan; c) solidaritas ini juga sedikit banyak mendasari
kegiatan pertanian antar tonggo teparo (untuk luku, nggaru, maul, matun,
dan panen); d) tolong menolong untuk membuat rumah. Gotong royong
merupakan kekayaan kehidupan ketetanggaan, yang dalam praktek
semacam kewajiban sosial atau norma (hukum) tidak tertulis.
2. Solidaritas sosial budaya, perwujudannya masih diwarnai kebersamaan yang
didasarkan atas norma kekeluargaan dan ketetanggaan. Tjondronegoro
(1997) dalam Pranadji (2003) menyebutkan istilah sodalitas sebagai
demokrasi sederhana (“primitif”) yang menunjung tinggi asas musyawarah
yang masih tampak hidup pada kehidupan solidaritas di tingkat pedukuhan.
Selain itu terdapat pula bentuk solidaritas pada kategori ini, yaitu arisan
rumah dan lumbung padukuhan.
3. Solidaritas birokratik, penerapan dari solidaritas ini tidak lepas dari hukumhukum pengaturan formal.
4. Solidaritas rasional, didasarkan atas imbalan, atau pertukaran yang
individualistik atau rasional. Sistem imbalan berlaku secara kelembagaan
yang ditunjukkan oleh upah dan jasa peminjaman.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bentuk kerjasama sangat
beragam. Hal ini tergantung jenis dan konsep yang dihadapi. Namun, dapat ditarik
kesamaan dari bentuk kerjasama tersebut, yaitu tolong menolong, gotong royong,
musyawarah, arisan, dan imbalan.
Konsep Migran Desa
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), migrasi merupakan aliran sumberdaya
terpenting sebagai penentu pembangunan wilayah. Namun BPS (2013),
mengartikan migrasi desa kota sebagai gejala berpindahnya penduduk yang
berasal dari suatu daerah yang bersifat perdesaan menuju daerah lain yang bersifat
perkotaan. Rusli (1995) menjelaskan migrasi sebagai suatu bentuk gerak
penduduk geografis, spasial, atau teritorial antara unit-unit geografis yang
melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan.
Adapun yang dimaksud migran adalah orang yang melakukan migrasi. Sebagai
migran, mempunyai kemungkinan telah melakukan migrasi lebih dari satu kali.
Migran desa dengan demikian dapat diartikan sebagai orang yang melakukan
migrasi dari daerah asal yang bersifat pedesaan menuju daerah lain yang bersifat
perkotaan.
12
Secara umum, Rusli (1995) membagi migrasi dalam dua jenis, yaitu migrasi
internal dan migrasi internasional. Migrasi internal terjadi antar negara. Sementara
emigrasi (pelakunya disebut emigran) adalah migrasi internasional dipandang dari
negara asal atau negara pengirim, sedangkan imigrasi (pelakunya disebut imigran)
adalah migrasi yang dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Namun,
terdapat jenis migrasi lainnya, yaitu migrasi musiman. Pada migrasi ini, umumnya
para migran pergi ketika tidak sedang ada kerja, terutama setelah mengolah
tanahnya, untuk mencari tambahan penghasilan ke daerah lain, dan kemudian
kembali ke desa saat panen tiba.
Teori mengenai migrasi sudah lama terbentuk, baik dari Ravenstein yang
muncul dengan “hukum-hukum migrasi”, teori dorong-tarik ( push-pull theory),
teori dari karya Lee, dan teori kesempatan antara. Hukum-hukum migrasi yang
dibawa oleh Ravenstein berkaitan dengan migrasi dan jarak, migrasi berlangsung
menurut tahap-tahap, stream, dan counterstream, perbedaan antara desa dan kota
dalam kecenderungan bermigrasi, lebih dominannya perempuan kalangan migrasi
jarak dekat, teknologi dan migrasi, dan dominannya motivasi ekonomi.
Teori dorong-tarik mengungkapkan pendapat bahwa alasan meninggalkan
daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor pendorong, sedangkan alasan
untuk memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor-faktor penarik (Rusli 1995).
Mengutip pendapat Anitawati (1986), faktor pendorong tersebut seperti sempitnya
pemilikan tanah, kegagalan panen, kurangnya lapangan pekerjaan di luar sektor
pertanian di desa dan faktor-faktor lain yang terdapat di desa yang mendorong
para migran keluar dari desa mereka. Disamping itu, faktor-faktor penarik migrasi
seperti fasilitas pendidikan yang lebih baik, adanya perbedaan upah di desa
dengan daerah tujuan, sehingga penduduk desa tertarik untuk meninggalkan
desanya. Menurut Rhoda (1980) dalam Anitawati (1986), faktor-faktor pendorong
dan penarik mempunyai hubungan yang dekat, orang yang terdorong untuk
melakukan migrasi secara bersamaan juga akan tertarik oleh harapan untuk
menemukan sesuatu yang lebih baik di tempat tujuan.
Menurut Rusli (1995), teori kesempatan antara menyebutkan bahwa jumlah
orang yang pergi kesuatu jarak tertentu berbanding langsung dengan jumlah
kesempatan pada jarak tersebut dan berbanding terbalik dengan jumlah
kesempatan antara. Sementara teori yang dibawa Lee yang dikutip Rusli (1995),
menunjuk pada sejumlah hipotesa yang berkaitan dengan volume migrasi, stream,
dan counterstream, serta karakteristik para migran. Selanjutnya, teori tersebut
menjelaskan bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun
jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal,
daerah tujuan, pribadi, dan rintangan-rintangan antara. Disetiap daerah terdapat
tiga set faktor-faktor (Rusli 1995), yaitu :
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau
mengikat orang dalam daerah itu, yang disebut sebagai faktor-faktor minus
(-).
2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka (faktor-faktor plus).
3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferen, tak punya pengaruh menolak
atau mengikat.
Pengaruh ketiga faktor di atas tidak sama untuk semua orang, akan tetapi
dapat terlihat pada kelompok-kelompok orang yang reaksinya hampir sama
terhadap sejumlah faktor sejenis yang terdapat di tempat asal dan di tempat tujuan.
13
Biasanya, pada sebuah daerah terdapat perintis yang memulai adanya proses
migrasi. Kemudian diikuti oleh keluarga, teman, tetangga, yang mengandalkan
pendahulunya untuk memperoleh pekerjaan, dan segala jenis bantuan yang dapat
digunakan untuk menekan biaya relokasi di tempat migrasi yang baru. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi para migran dapat berupa faktor pendorong
seperti tuntutan ekonomi, maupun faktor penghambat seperti budaya (Seftiawati
2009).
Namun menurut Suharso (1978) yang dikutip Anitawati (1986), faktor yang
mempengaruhi migran berpindah ke kota adalah adanya kenalan atau teman di
kota. Sedangkan untuk kepemilikan tanah pertanian memiliki pengaruh yang kecil,
karena sama-sama mempunyai keinginan untuk bermigrasi. Bagi yang
mempunyai tanah pertanian, pindah ke kota untuk mendapatkan pendidikan dan
membuka usaha dagang serta usaha lainnya di kota. Akan tetapi, bagi yang tidak
memiliki tanah pertanian, pindah ke kota dimaksudkan untuk memperoleh
pekerjaan.
Para migran yang datang ke kota-kota, khususnya kota besar seperti DKI
Jakarta dan Jawa Barat, akan menimbulkan berbagai implikasi baik dalam bidang
sosial maupun ekonomi. Pada bidang sosial, para migran akan menambah jumlah
kepadatan penduduk di kota-kota yang tidak menambah diferensiasi sistem sosial
dan indepensi kecuali menambah orang dalam proses pekerjaan yang sama.
Meskipun saat ini sektor informal masih dapat diharapkan untuk menampung para
migran, akan tetapi masalah pengangguran belum dapat teratasi sepenuhnya.
Keadaan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya
jumlah kejahatan. Sementara itu, banyaknya penduduk yang bermigrasi
menyebabkan desa mengalami kekurangan tenaga kerja yang dinamis, dan
sumberdaya manusia yang dapat membangun serta mengembangkan desa.
Konsep Etnis
Smith (1983)2 mengartikan kelompok etnik atau suku bangsa sebagai suatu
golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas
suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok
tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, atau ciri-ciri
biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam
mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor
fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung
dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.
Disamping itu, Fredrik Barth (1969) dan Eric Wolf (1982) 3, menganggap etnisitas
sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Prosesproses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenetis.
Menghadapi dilema perdagangan, Evers (1992) mengemukakan solusi yang
dapat dilakukan, yaitu imigrasi pedagang komunitas, pembentukan kelompokkelompok etnis atau religius, akumulasi status kehormatan (modal budaya),
2
3
Wikipedia. 2013. Kelompok etnik [internet]. [diunduh 2013 Jun 16]. Tersedia pada:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik#cite_ref-Smith_1-0.
Loc. cit., catatan kaki nomor 2.
14
munculnya perdagangan kecil dengan ciri “ada uang ada barang”, dan
depersonalisasi (ketidaklekatan) hubungan-hubungan ekonomi. Kelima solusi
tersebut memperlihatkan bahwa perdagangan mensyaratkan adanya solidaritas
diantara pedagang dan juga mensyaratkan adanya jarak sosial dan budaya
terhadap pelanggan.
Evers (1992) mengungkapkan kelompok minoritas baru dapat diciptakan
melalui migrasi atau etnogenetis, yaitu munculnya identitas etnis baru. Contohnya
adalah “pedagang kredit” yang sebagian berasal dari suku Batak dan beragama
Kristen yang melakukan aktivitas dagangannya di Sumatera Barat. Mereka
melakukan aktivitas dagang kepada orang-orang desa dengan pembayaran tidak
kontan. “Pedangan kredit” sendiri membeli barang dagangannya kepada pedagang
grosir, umumnya adalah orang Minangkabau.
Munculnya dua komunitas moral atau lebih dalam satu naungan pekerjaan
yang menekankan kerja sama, tetapi tidak keluar dari batas-batas moral dapat
berlangsung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerima suatu agama baru
atau menganut agama sebagaimana yang digariskan oleh aturan-aturan yang telah
ditetukan dengan memperlihatkan kegairahan dalam menjalankan aturan-aturan
tersebut. Disamping itu, kemungkinan lainnya adalah menekankan nilai-nilai
budaya hingga batas menentukan identitas etnis milik sendiri. Selain itu, Evers
(1992) juga mengungkapkan peningkatan akumulasi modal budaya berarti
peningkatan derajat kepercayaan masyarakat, sehingga memudahkan pedagang
melakukan aktivitasnya.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berfokus pada solidaritas sosial para migran pedagang kaki
lima modern di Stasiun Bogor. Keberadaan solidaritas dalam kelompok sangat
penting untuk dapat mempertahankan fungsi kelompok yaitu untuk menyelesaikan
masalah, mencegah kesepian, dan keregangan masyarakat.
Solidaritas migran desa akan diamati berdasarkan derajat formalitas
hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Derajat
formalitas hubungan diukur dengan menggunakan tujuh kriteria menurut Bierstedt
dalam Kolopaking (2003), yaitu (1) mempunyai fungsi dan tujuan khusus; (2)
mempunyai kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; (3) mempunyai dan
mengembangkan susunan hierarki status; (4) mempunyai wewenang; (5)
mengenakan syarat; (6) mempunyai property; (7) mempunyai nama atau lambanglambang. Semakin formal kelompok paguyuban pedagang kaki lima, diduga
semakin rendah solidaritasnya.
Menurut Soekanto (2003), kerjasama merupakan bekerja bersama dalam
rangka mencapai suatu tujuan bersama. Penelitian ini menduga semakin tinggi
kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin tinggi. Sebaliknya,
semakin rendah derajat kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin
rendah.
Sementara itu, kesaligtergantungan diambil berdasar
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Solidaritas Migran
Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Septiana Nurhanifah
NIM I34090057
ABSTRAK
SEPTIANA NURHANIFAH. Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor”. Dibimbing oleh LALA M. KOLOPAKING.
Solidaritas migran desa adalah rasa persatuan di kalangan anggota
perkumpulan pedagang kaki lima. Metode sensus digunakan dalam penelitian ini
untuk mengetahui karakteristik individu migran desa yang menjadi pedagang kaki
lima di Stasiun Bogor, menganalisis solidaritas pedagang dari desa, dan
menganalisis hubungan antara keduanya. Hasil penelitian menemukan bahwa
hubungan hanya terjadi antara etnis dan kerjasama, umur dan formalitas, jenis
kelamin dan solidaritas, status perkawinan dan formalitas, serta status perkawinan
dan solidaritas. Selain mereka semua, tidak terdapat hubungan. Solidaritas sosial
yang terbentuk di kalangan pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor adalah
solidaritas organik.
Kata kunci : Solidaritas, karakterisik individu, migran desa, pedagang kaki lima
ABSTRACT
SEPTIANA NURHANIFAH. Rural Migrant Solidarity “Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor”. Supervised by LALA M. KOLOPAKING.
Rural migrant solidarity is a sense of unity among association members of
street vendors. Census method was used in this study to determine the individual‟s
characteristics of rural migrants who become street vendors in Bogor Station, to
analyze the solidarity of the vendors from villages, and to analyze the relationship
between the two. The results found out that the relationship only happened on
ethnicity and cooperation, age and formality, sex and solidarity, marital status and
formality, as well as marital status and solidarity. Besides those all, there was no
relationship. Social solidarity formed among street vendors Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor was organic solidarity.
Keywords: Solidarity, individual‟s characteristics, rural migrants, street vendors
SOLIDARITAS MIGRAN DESA “KAKI LIMA MODERN
STASIUN BOGOR”
SEPTIANA NURHANIFAH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”
Nama
: Septiana Nurhanifah
NIM
: I34090057
Disetujui oleh
Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta‟ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah
Solidaritas Migran Desa “Kaki Lima Modern Stasiun Bogor”. Penulisan skripsi
ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lala M. Kolopaking, MS
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan saran
dalam proses penyusunan skripsi ini. Disamping itu, penghargaan penulis
sampaikan kepada para pedagang anggota paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada
Bapak Ir Hadiyanto, MSi sebagai dosen penguji petik, Dr Ir Saharuddin, MS
sebagai penguji utama, dan Ir Sutisna Riyanto, MS sebagai dosen penguji
akademik, yang telah memberikan kritik dan saran yang bermanfaat untuk
memperbaiki laporan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah Jumar, ibu Kholiyah dan adik, Bagus Irvanudin, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada Turasih
SKPm yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Cindy Paloma, Lutfi Afifah, Niki
Nurhayati, Tuti Purwaningsih, Raysa, Vini Virdiana Mulideas, Listia Hesti
Yuana, Hilda Nurul Hidayati, Tri Nuryanti, M. Rangga Husein, Sondang Fitriani
Pakpahan, teman-teman SKPM 46 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dan
semua pihak yang telah mendukung, memotivasi, serta membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Septiana Nurhanifah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
TINJAUAN PUSTAKA
5
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal
5
Konsep Pedagang Kaki Lima
6
Paguyuban Pedagang Kaki Lima
7
Konsep Solidaritas
8
Konsep Migran Desa
11
Konsep Etnis
13
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
15
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN
19
Metode Penelitian
19
Lokasi dan Waktu
19
Teknik Pengambilan Sampel dan Pengumpulan Data
19
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21
GAMBARAN UMUM KAKI LIMA MODERN STASIUN BOGOR
23
Sejarah Paguyuban Pedagang Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
23
Karakteristik Pedagang Kaki Lima
24
Etnis
24
Tingkat Umur
28
Jenis Kelamin
29
Status Perkawinan
31
SOLIDARITAS MIGRAN DESA SEBAGAI PEDAGANG KAKI LIMA
MODERN STASIUN BOGOR
33
Derajat Formalitas Hubungan
35
Derajat Ketergantungan Anggota
38
Derajat Kerjasama
40
HUBUNGAN KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN DERAJAT SOLIDARITAS
MIGRAN DESA
43
Hubungan Etnis dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat Ketergantungan
Anggota dan Derajat Kerjasama
43
Hubungan Tingkat Umur dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
45
Hubungan Jenis Kelamin dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
46
Hubungan Status Perkawinan dengan Derajat Formalitas Hubungan, Derajat
Ketergantungan Anggota dan Derajat Kerjasama
47
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
53
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Metode pengumpulan data
Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan
Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan
Jumlah dan presentase sebaran derajat solidaritas pedagang kaki lima
modern Stasiun Bogor, 2013
Jumlah dan presentase derajat formalitas hubungan migran desa PKL
modern Stasiun Bogor
Jumlah dan presentase derajat ketergantungan anggota migran desa
PKL modern Stasiun Bogor
Jumlah dan presentase derajat kerjasama migran desa PKL modern
Stasiun Bogor
Hasil uji korelasi Rank Spearman etnis dengan derajat solidaritas dan
variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman tingkat umur dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman jenis kelamin dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
Hasil uji korelasi Rank Spearman status perkawinan dengan derajat
solidaritas dan variabel-variabelnya
9
20
27
30
34
36
39
40
43
45
47
48
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
Bagan kerangka pemikiran
Alur pengambilan responden
Jumlah dan presentase responden berdasarkan etnis
Jumlah dan presentase responden berdasarkan tingkat umur
Jumlah dan presentase responden berdasarkan jenis kelamin
Jumlah dan presentase responden berdasarkan status perkawinan
15
20
26
28
29
31
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Stasiun Bogor, Kota Bogor
2. Jumlah responden berdasarkan etnis dan jenis barang dagangan
3. Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan jenis barang dagangan
4. Data pengukuran derajat solidaritas migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor
5. Data pengukuran derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
6. Data pengukuran derajat kerjasama migran desa PKL Modern Stasiun
Bogor
7. Data pengukuran derajat formalitas hubungan migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
53
53
54
55
56
57
59
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Hubungan etnis dan derajat solidarias migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat formalitas hubungan migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat ketergantungan anggota migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan etnis dan derajat kerjasama migran desa PKL Modern
Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan tingkat umur dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat formalitas hubungan migran desa
PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat ketergantungan anggota migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan jenis kelamin dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat solidarias migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat formalitas hubungan migran
desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat ketergantungan anggota
migran desa PKL Modern Stasiun Bogor
Hubungan status perkawinan dan derajat kerjasama migran desa PKL
Modern Stasiun Bogor
Data sensus migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
berdasarkan karakteritik individu
Kuesioner
60
60
60
61
61
61
62
62
62
63
63
63
64
64
64
65
66
67
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor informal merupakan salah satu sektor ekonomi yang bertahan dalam
dinamika perekonomian Indonesia. Yusuf (2006), menyatakan bahwa jika
memperhatikan struktur ketenagakerjaan, penduduk yang bekerja di sektor
informal cukup besar, dari analisis data sekunder jumlah tenaga kerja di sektor
informal hampir seimbang dengan tenaga kerja di sektor industri. Departemen
Transmigrasi dalam Pelawi (2004), menyebutkan bahwa sektor informal
mempunyai lima sub sektor, yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi,
industri, konstruksi, dan Jasa. Sub sektor yang memiliki banyak peminat adalah
perdagangan, dan salah satu contoh sub sektor ini adalah pedagang kaki lima
(PKL). Kesempatan kerja untuk menjadi pedagang kaki lima dibawa oleh pekerja
migran yang berusaha memperoleh penghasilan di perkotaan. Para migran
berharap dengan bekerja di kota, maka perekonomian mereka akan meningkat dan
hidup mereka akan sejahtera. Hal ini dapat ditelusuri dari pandangan Alisjahbana
dalam Lamba (2011), yang menyebutkan bahwa sektor informal sebagai akibat
dari daya dorong pedesaan dan daya tarik perkotaan. Banyaknya sektor informal
diberbagai kota besar di dunia, termasuk di Indonesia tidak lepas dari adanya
urbanisasi dan daya dorong sulitnya mendapatkan pekerjaan, serta tingkat upah
yang rendah di desa.
Setiono dalam Lamba (2011), juga mengungkapkan bahwa kota dengan
berbagai kemajuan dan fasilitasnya merupakan daya tarik, sementara desa dengan
berbagai keterbatasan dan keterbelakangannya merupakan daya dorong.
Akibatnya, kehidupan di kota menjadi alternatif utama bagi sebagian mereka yang
ingin menyelamatkan diri dari tekanan kemiskinan di desa.
Pedagang kaki lima umumnya berbekal modal rendah untuk menjalankan
usahanya. Menurut Anggraini (2007), walaupun oleh sebagian pihak pedagang
kaki lima dipadang sebelah mata, akan tetapi pada kenyataannya keberadaan sub
sektor ini mampu mengurangi jumlah pengangguran. Disamping itu, pedagang
kaki lima merupakan penyumbang besar terhadap perekonomian disaat sektor
usaha-usaha besar sedang terpuruk. Namun, kerapkali usaha pedagang kaki lima
ini tidak mendapatkan perhatian dari Pemerintah Daerah bahkan dipandang
sebagai beban sosial (menganggu ketertiban umum dan kelancaran lalu lintas,
memanfaatkan fasilitas umum sebagai lokasi untuk aktivitas usaha). Tindakan
yang dipilih selanjutnya, oleh pemerintah dan beberapa pihak terkait dalam
menanggapi permasalahan tersebut adalah dengan penertiban pedagang kaki lima,
dari cara halus sampai penggusuran paksa.
Seperti sektor informal lainnya, bekerja sebagai pedagang kaki lima
didapatkan oleh para migran baik dari kerabat maupun atas usahanya sendiri atau
memanfaatkan hubungan sosial yang pengusaha miliki. Mekanisme perekrutan
tenaga kerja tersebut mengindikasikan adanya peranan solidaritas sosial dalam
menjalankan usaha sebagai pedagang kaki lima. Solidaritas muncul karena
pedagang kaki lima juga merupakan individu yang memerlukan orang lain untuk
bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlebih, bagi migran yang berada
2
jauh dari asal daerah mereka dan datang untuk menjalankan aktivitas usahanya.
Mereka tentunya membutuhkan bantuan dan bantuan tersebut salah satunya
datang dari perasaan moral dan kepercayaan migran lainnya. Akhirnya,
pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mereka capai dalam kelompok seperti
paguyuban pedagang kaki lima.
Anggota Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor umumnya sama
seperti pedagang kaki lima di kota-kota besar lainnya. Mereka berasal dari daerah
yang berbeda-beda dan sebagian besar adalah migran dari desa. Namun, para
pedagang kaki lima tersebut menyatu dalam sebuah naungan yang mereka
namakan paguyuban. Meskipun dalam satu wadah sosial, interaksi sosial yang
terbentuk tidak menutup kemungkinan masih membawa karakteristik etnis yang
mereka miliki. Hal ini selanjutnya dapat mempengaruhi solidaritas dalam
paguyuban tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dalam rangka
mengetahui karakteristik individu dan solidaritas pedagang kaki lima. Hal
menarik untuk diteliti, karena bagaimanapun pedagang kaki lima termasuk pelaku
ekonomi yang memiliki pilihan rasional untuk menghasilkan keuntungan dan
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perumusan Masalah
Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu bentuk pekerjaan yang
ada pada sektor informal. PKL yang ada di kota-kota besar biasanya berasal dari
daerah lain, dan merupakan migran dari desa. Mereka pergi meninggalkan desa
dengan harapan dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik dari kehidupan
yang mereka jalani di desa. Selain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tidak
sedikit juga dari PKL yang mengirimkan uang hasil usaha berdagang mereka ke
keluarga dan sanak saudara di desa tempat mereka berasal.
Pada satu sisi, bagi pedagang kaki lima, berdagang adalah pekerjaan utama
dan sumber nafkah utama mereka. Pendapatan yang mereka peroleh, dijadikan
sebagai penyambung hidup. Akan tetapi, bagi beberapa pihak keberadaan para
pedagang kaki lima dianggap sebagai beban sosial dan mengganggu ketertiban
umum. Karena itu, sering terjadi penggusuran lapak pedagang kaki lima oleh
aparat yang berwajib. Seperti penggusuran yang dilakukan kepada para PKL yang
ada di sekitar stasiun, baik dari Stasiun Jakarta Kota sampai Stasiun Bogor,
maupun stasiun di jalur lainnya. Namun, PKL yang berada di Stasiun Bogor
mempunyai nasib yang lebih beruntung, tidak mengalami penggusuran seperti di
stasiun lainnya. Para PKL yang tergabung dalam paguyuban Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor tersebut, justru dapat menempati bangunan yang bersih dan tertata
rapi sebagai tempat mereka berjualan. Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor juga mempunyai PKL yang merupakan migran yang berasal dari desa. Para
migran tersebut mampu bertahan sebagai PKL dan tergabung dalam paguyuban
yang anggotanya berbeda asal daerah. Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini
ingin mengetahui bagaimana karakteristik individu pada migran desa Kaki
Lima Modern Stasiun Bogor?.
PKL yang berada di Stasiun Bogor juga pernah mengalami penggusuran.
Namun, para PKL yang tergabung dalam paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor mampu bernegosiasi dengan pihak PT KAI untuk mempertahankan tempat
3
mereka di Stasiun Bogor. Akhirnya, para PKL memperoleh izin dari PT KAI
untuk menyewa lahan dan mendirikan bangunan. Keberhasilan mendapatkan izin
tersebut tidak terlepas dari adanya solidaritas yang dimiliki antar pedagang
anggota paguyuban. Setelah memperoleh tempat yang nyaman untuk berdagang,
kemungkinan solidaritas yang dimiliki PKL anggota paguyuban Kaki Lima
Modern Stasiun Bogor masih ada. Oleh sebab itu, dari penelitian ini akan
diketahui bagaimana solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun
Bogor?.
Paguyuban Kaki Lima Modern Stasiun Bogor mempunyai anggota yang
berasal dari migran desa yang berbeda-beda daerah. Para migran tersebut
membawa karakteristik individu mereka dalam menjalani hubungan sosial dengan
pedagang lain yang juga berbeda daerah dengan mereka. Namun, mereka mampu
bertahan sebagai anggota paguyuban. Karena itu, dalam penelitian ini terdapat
rumusan masalah bagaimana hubungan karakteristik individu dan solidaritas
migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor?.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengetahui karakteristik individu pada migran desa Kaki Lima Modern
Stasiun Bogor
2. Mengetahui solidaritas migran desa Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
3. Menganalisis hubungan karakteristik individu dan solidaritas migran desa
Kaki Lima Modern Stasiun Bogor
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Bagi peneliti dan akademisi, penelitian ini diharapkan menjadi proses
pembelajaran dalam memahami fenomena sosial di lapangan. Selain itu,
diharapkan penelitian ini bisa menambah literatur di bidang pendidikan
terutama yang terkait dengan bidang sosial dan ketenagakerjaan.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana dan
menambah pengetahuan terkait dengan kondisi sosial di pedagang kaki lima.
3. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu saran
informasi dan data untuk pembuatan kebijakan terkait dengan bidang sosial
dan ketenagakerjaan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Pedagang Kaki Lima Bagian dari Sektor Informal
Berdasarkan penggolongan penduduk yang bekerja, Rusli (1995) membagi
kesempatan kerja dalam dua kategori, yaitu jenis pekerjaan dan status pekerjaan.
Jenis pekerjaan terdiri dari tenaga profesional, teknisi dan sejenis, tenaga
kepemimpinan dan ketatalaksanaan, tenaga tatausaha dan tenaga yang sejenis,
tenaga usaha penjualan, tenaga usaha jasa, tenaga usaha pertanian, kehutanan,
perburuan, perikanan, tenaga produksi, operator alat angkutan, pekerjaaan kasar
dan lainnya. Berikutnya, penggolongan status pekerjaan terdiri dari berusaha
sendiri tanpa bantuan orang lain, berusaha dengan dibantu anggota rumah
tangga/buruh tidak tetap, berusaha dengan buruh tetap, buruh/karyawan dan
pekerja keluarga. Penggolongan status pekerjaan tersebut dalam Kementrian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), diperinci menjadi sektor formal (kegiatan
ekonomi formal) dan sektor informal (kegiatan ekonomi informal).
Sektor informal mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sektor yang
lain. Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2012), mengungkapkan bahwa
sektor formal mempunyai konsep berusaha dengan buruh tetap dan sebagian dari
pekerja/buruh/karyawan sedangkan berusaha sendiri tanpa bantuan, berusaha
dengan dibantu buruh tidak tetap pekerja bebas di sektor pertanian, pekerja bebas
di sektor nonpertanian, pekerja tak dibayar dan sebagian dari pekerja/buruh/
karyawan merupakan bagian dari sektor informal.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (1991) dalam
Seftiani (2006), menemukan bahwa ada tiga jenis lapangan usaha yang termasuk
ke dalam sektor informal, yang memberikan kesempatan berusaha bagi migran
yaitu perdagangan, buruh, dan jasa angkutan. Departemen Transmigrasi dalam
Pelawi (2004) menyebutkan bahwa sektor informal mempunyai lima sub sektor,
yaitu: perdagangan, angkutan dan transportasi, industri, konstruksi, dan jasa. Sub
sektor yang memiliki banyak peminat adalah perdagangan, dan salah satu contoh
sub sektor ini adalah pedagang kaki lima. Bekerja sebagai pedagang kaki lima
didapatkan oleh para tenaga kerja baik dari kerabat maupun atas usahanya sendiri.
Walaupun oleh sebagian pihak pedagang kaki lima dipadang sebelah mata, akan
tetapi pada kenyataannya keberadaan sub sektor ini mampu mengurangi jumlah
pengangguran (Anggraini 2007).
Mochtar (2003), meneliti tentang karakteristik usaha pedagang kaki lima
yang membuat usaha ini berkembang pesat, yaitu walaupun modal terbatas dan
adanya berbagai kendala dalam kegiatan usaha, tetapi ada keyakinan bahwa usaha
kaki lima dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dinamika pedagang kaki lima
dapat terlihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pedagang kaki
lima yaitu terdiri dari faktor personal, faktor modal, dan faktor lingkungan yang
terdiri dari keluarga, tetangga, komunitas serta kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah (Anggraini 2007).
Berdasarkan beberapa rujukan di atas, dapat diketahui bahwa pedagang kaki
lima merupakan pekerjaan yang berada pada sektor informal. Baik secara modal,
kegiatan usaha, tenaga kerja, maupun karakteristik dari pedagang kaki lima.
6
Konsep Pedagang Kaki Lima
Danisworo (2000) dalam Ginting (2004), menjelaskan bahwa istilah
pedagang kaki lima pertama kali dikenalkan pada masa Hindia Belanda, ketika
Gubernur Jenderal Stanford Rafless berkuasa. Pada saat itu, dikeluarkan peraturan
yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar
1.2 meter dari bangunan formal di pusat kota. Tempat pedagang tersebut
kemudian dikenal dengan “Kaki Lima”, dan pedagang yang berjualan di tempat
tersebut dinamakan “Pedagang Kaki Lima” atau PKL. Namun, saat ini istilah PKL
tidak lagi ditunjukkan kepada pedagang informal yang berada 5 kaki dari
bangunan formal, tetapi telah meluas menjadi seluruh pedagang yang berjualan
secara informal (Ginting 2004).
Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor
informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan,
jasa-jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen
dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian
jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan
peruntukannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan miliknya,
kecuali pada lokasi resmi. Disamping itu, menurut Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Tahun 20021, pedagang kaki lima merupakan perorangan atau pedagang
yang didalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu
yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai
tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan
miliknya.
Mochtar (2003) menjelaskan bahwa pada umumnya pedagang kaki lima
dalam melakukan aktivitasnya tidak menghiraukan peruntukan lahan yang
digunakan asal daerah tersebut ramai dilewati orang maka pedagang kaki lima ada
di tempat tersebut. Anggraini (2007), menyebutkan pemakaian lahan
mengharuskan mereka membayar penyewaan lahan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh penguasa informal lokal. Pungutan atau retribusi yang
dilakukan oleh pemerintah biasanya bila pedagang menggunakan lahan di
halaman pasar resmi dan lokasi-lokasi resmi, sedangkan retribusi yang dilakukan
oleh penguasa informal bila pedagang menempati halaman pasar liar, disekitar
pasar resmi, dan non-pasar.
Chandrakirana dan Sadoko dalam Anggraini (2007), mengungkapkan
pedagang kaki lima memenuhi kebutuhan penjualannya dengan membeli barang
secara kontan terutama yang bermodal kecil, sedangkan yang bermodal besar
membeli barang dengan sistem kredit. Bagi yang membayar secara kontan merasa
lebih untung karena dapat membeli dengan harga yang lebih rendah daripada
dengan kredit. Umumnya usaha kaki lima bermodal kecil. Peraturan Daerah DKI
Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 menyebutkan pedagang kaki lima memiliki modal
sebesar Rp5 000 000 diluar modal tanah dan bangunan tempat usaha. Modal yang
sedikit tersebut menyebabkan pedagang kaki lima tidak membutuhkan karyawan
dan biasanya ditemukan pada pedagang makanan. Kebutuhan karyawan biasanya
dicukupi dari keluarga sendiri dan mereka yang jarang diupah.
1
Peraturan Daerah DKI Jakarta. 2002. Perpasaran swasta di Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta [internet]. [diunduh 2013 Jun 16]. Tersedia pada: http://www.beritajakarta.com/
Download/SK/Detail/PERDA.NO.2.TAHUN.2002.%20PERPASARAN%20SWASTA.pdf.
7
Paguyuban Pedagang Kaki Lima
Hubungan-hubungan positif antara manusia oleh Ferdinand Tonnies
dianggap selalu bersifat gemeinschaftlich atau gesellscaftlich dan mengemukakan
teori tentang paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gesellschaft) (Soekanto
1982). Paguyuban diartikan sebagai bentuk kehidupan bersama dimana anggotaanggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta
bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin
yang memang telah dikodratkan. Bentuk paguyuban terutama akan dijumpai
didalam keluarga, kelompok kerabatan, rukun tetangga, dan lain sebagainya
(Soekanto, 1982).
Disamping itu, Tonnies dalam Soekanto (1982) juga menjelaskan konsep
patembayan (gesellschaft) sebagai ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka
waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka
(imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan
dengan sebuah mesin. Bentuk patembayan terdapat dalam hubungan perjanjian
yang berdasarkan ikatan timbal balik, misalnya ikatan antara pedagang, organisasi
dalam suatu pabrik atau industri, dan lain sebagainya.
Tonnies dalam Johnson (1986) mengungkapkan masyarakat gemeinschaft
mencerminkan satu kemauan yang bersifat alamiah dan memperlihatkan satu
struktur sosial yang ditandai oleh kesatuan organik, tradisi yang kuat, hubungan
yang menyeluruh dan memperhatikan spontanitas dalam perilaku. Sebaliknya,
gesellschaft ditandai oleh kemauan yang lebih bersifat rasional, yang lebih
direncanakan, serta mengutamakan hubungan sosial yang didasarkan pada
spesialisasi tertentu.
Soekanto (1982) menjelaskan bahwa ajaran Tonnies mengenai paguyuban
dan patembanan dapat dibandingkan dengan pandangan Emile Durkheim tentang
dasar pembagian kerja dalam masyarakat. Berdasarkan pembagian kerja,
masyarakat secara keseluruhan mempunyai kedudukan yang lebih penting dari
pada individu, yang selanjutnya disebut struktur mekanik. Sebaliknya, dalam
masyarakat kompleks yang sudah terdapat spesialisasi bagi anggotanya masingmasing, maka akan timbul keahlian dan setiap golongan tidak akan hidup secara
sendiri, yang selanjutnya disebut sebagai struktur organik.
Menurut Tonnies dalam Soekanto (1982), suatu paguyuban mempunyai ciri
pokok, yaitu (1) intimate, merupakan hubungan menyeluruh yang mesra, (2)
private, yaitu hubungan yang bersifat pribadi, khusus untuk beberapa orang saja,
(3) exclusive, yaitu hubungan tersebut hanya untuk “kita” saja dan tidak untuk
orang-orang lain di luar “kita”. Selain itu, terdapat tiga tipe paguyuban, yaitu:
1. Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu paguyuban yang
merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh:
keluarga, kelompok kekerabatan.
2. Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang
terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling
tolong menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan.
3. Paguyuban karena jiwa pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu
gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai
hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mereka
mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban
8
semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau
keturunan.
Diantara bentuk gemeinschaft dan gesellschaft terdapat bentuk-bentuk
campuran yang disebut burgerlichegesellschaft, seperti perseroan terbatas, firma,
serta badan-badan hukum lainnya. Berdasarkan sejarah, paguyuban muncul lebih
dahulu daripada patembayan, walaupun dalam perkembangan lanjut didalam
patemabayan mungkin saja muncul lagi persamaan pemikiran dan persamaan
batin yang menimbulkan paguyuban.
Berdasarkan pengertian dan ciri-ciri kelompok sosial di atas, pedagang kaki
lima dapat dikategorikan sebagai paguyuban (gemeinschaft). Disisi lain,
paguyuban juga termasuk kelompok sosial dalam masyarakat. Menurut Soedijanto
(1980), kelompok dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu kelompok
berdasarkan tugas, kelompok berdasarkan interaksinya, dan kelompok
berdasarkan strukturnya (kelompok formal dan kelompok informal). Tuyuwale
(1990) menyebutkan bahwa suatu kelompok dapat mempunyai formalitas tinggi
apabila memenuhi ciri-ciri pembentukan organisasi atau kelompok formal.
Adapun kriteria formalitas tersebut disebutkan oleh Bierstedt dalam Kolopaking
(2003) sebagai: 1) mempunyai fungsi dan tujuan yang khas; 2) mempunyai
kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; 3) mempunyai dan mengembangkan
susunan hierarki status; 4) mempunyai wewenang; 5) mengenakan prasyarat; 6)
mempunyai property; 7) mempunyai nama atau lambang-lambang.
Konsep Solidaritas
Johnson (1986) menyebutkan bahwa solidaritas merupakan kesatuan,
persahabatan, saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama dan
kepentingan bersama diantara para anggotanya. Soekanto (2003) menyebutkan
solidaritas sebagai kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas
sosial atau kasta, diantara berbagai pribadi, kelompok, maupun kelas-kelas
membentuk masyarakat atau bagian-bagiannya.
Durkheim yang dikutip Johnson (1986), menyebutkan solidaritas menunjuk
pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok berdasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut oleh pengalaman emosional bersama.
Solidaritas terjadi karena adanya faktor-faktor yang mendukung dan
mempengaruhi derajat tinggi rendahnnya solidaritas dalam suatu kelompok.
Menurut Soekanto (1982), faktor-faktor yang mempengaruhi solidaritas
adalah taraf proses dan kuatnya pengaruh dari: (1) lingkungan; 2. Okupasi; 3
bentuk-bentuk asosiasi; (4) mobilitas, taraf perubahan sosial; (5) komposisi etnis;
(6) latar belakang budaya populasi. Soedijanto (1980) mengemukakan faktorfaktor yang mempengaruhi solidaritas adalah kepemimpinan kelompok,
keanggotaan kelompok, homogenitas kelompok, tujuan kelompok, keterpaduan
atau integrasi, kerjasama atau kegiatan kooperatif dan besarnya kelompok.
Solidaritas juga menghasilkan persamaan, kesalingtergantungan, dan pengalaman
yang sama merupakan unsur pengikat bagi unit kolektif seperti keluarga,
kelompok, dan komunitas.
Soekanto (1982) menyebutkan solidaritas antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial
9
masyarakat seperti: (1) pola-pola interaksi-interaksi (struktur klik, kenggotaan
organisasi, perkawinan, dan sebagainya), (2) kesamaan atau ketidaksamaan sistem
kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai, (3) kesadaran akan kedudukan masing-masing,
(4) aktivitas sebagai organ kolektif.
Wahyuni (2003) merumuskan faktor yang mempengaruhi kohesi atau
solidaritas antara lain: karakteristik sosial anggota kelompok, ukuran kelompok,
mobilitas fisik anggota, efektifitas komunikasi. Karakteristik sosial anggota
kelompok merupakan kesamaan anggota kelompok yang meliputi kesamaan ciri
anggota kelompok, kesamaan latar belakang budaya, dan norma. Ukuran
kelompok adalah besar kecilnya jumlah anggota kelompok yang mempengaruhi
keintiman hubungan antar anggota. Mobilitas fisik anggota adalah gerak anggota
kelompok kesuatu wilayah lain yang terpisah jauh dari keberadaan kelompok.
Efektivitas komunikasi kelompok menjadi sangat penting dalam kelompok karena
dapat memperlancar penyesuaian para anggota kelompok pada norma-norma
perilaku kelompok. Selain itu, efektivitas komunikasi juga dapat mempengaruhi
sikap anggota sehingga mereka merasa satu jalur dalam mencapai tujuan
kelompok.
Durkheim dalam Johnson (1986) menganalisa ada dua bentuk solidaritas
yaitu solidaritas mekanik dan organik. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu
kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada kepercayaan-kepercayaan dan
sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama.
Solidaritas mekanik terbentuk karena adanya individu-individu yang memiliki
sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama pula.
Faktor penting dalam solidaritas mekanik adalah homogenitas yang tinggi dalam
kepercayaan, sentimen, dan sebagainya.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja yang bertambah besar.
Faktor pembentuknya adalah tingkat kesalingtergantungan yang sangat tinggi.
Rasa saling tergantung tersebut bertambah besar seiring dengan spesialisasi dalam
pembagian kerja, yang memungkinkan perbedaan tingkat individu. Lebih rinci,
perbedaan solidaritas mekanik dan organik menurut Johnson (1986) adalah
sebagai berikut:
Tabel 1 Perbedaan solidaritas mekanik dan solidaritas organik
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
Pembagian kerja rendah
Kesadaran kolektif kuat
Hukum represif dominan
Individualitas rendah
Konsensus terhadap pola-pola
normatif itu pentingan
Keterlibatan komunitas dalam
menghukum orang yang menyimpang
Secara relatif saling ketergantungan
itu rendah
Bersifat primitif atau pedesaan
ᵃ Sumber : Johnson (1986).
Pembagian kerja tinggi
Kesadaran kolektif lemah
Hukum restitutif dominan
Individualitas tinggi
Konsensus pada nilai-nilai abstrak
dan umum itu penting
Badan-badan kontrol sosial yang
menghukum orang yang
menyimpang
Saling ketergantungan yang tinggi
Bersifat industrial-perkotaan
10
Faktor lain yang mempengaruhi solidaritas adalah kerjasama dan konflik.
Kerjasama berarti bekerja bersama dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama.
Cooley yang dikutip Kolip dan Setiadi (2011) dalam Rohayati (2012)
menyebutkan bahwa kerjasama timbul jika orang menyadari bahwa mereka
mempunyai kepentingan yang sama. Sebaliknya, konflik adalah suatu proses
sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau
kekerasan (Soekanto 1982).
Solidaritas dalam beberapa masyarakat dicontohkan oleh James Scott
(1976) dalam Damsar (2009), bahwa masyarakat petani umumnya dicirikan
dengan tingkat solidaritas yang tinggi dan dengan suatu sistem nilai yang
menekankan tolong menolong, pemilikan bersama sumberdaya dan keamanan
subsistensi. Namun, tidak dengan pedagang, yang cederung tertangkap di tengah
masyarakat petani dan pihak-pihak lain di luar desa. Mereka dapat disebut sebagai
tengkulak karena tidak hanya meanggung resiko kerugian secara ekonomi, tetapi
juaga resiko terhadap diskriminasi dan kemarahan petani.
Perkembangan teori solidaritas oleh Durkheim dalam Johnson (1986)
menunjukkan bahwa interaksi yang semakin bertambah, akan meningkatkan
kerjasama yang semakin tinggi dan merangsang munculnya gagasan-gagasan baru.
Hal ini menjadi sebab pembagian kerja yang meningkat. Namun, faktor utamanya
adalah perubahan-perubahan demografik dan akibatnnya pada frekuensi interaksi
antara manusia serta pada perjuangan kopetitif untuk mempertahankan hidup.
Disamping itu, Durkheim dalam Johnson (1986) juga menambahkan:
“Tetapi karena penduduk bertambah, perjuangan untuk hidup juga
bertambah. Akibatnya individu secara bertahap meningkatkan
spesialisasinya karena mereka mencari suatu jalan untuk tetap hidup dimana
kompetisi atau konflik dengan orang lain kurang parah. Selanjutnnya, karena
individu berspesialisasi, mereka menjadi lebih efisien, yang memungkinkan
penduduk yang lebih besar dapat bertahan. Selain itu, spesialisasi juga
menggairahkan peningkatan saling ketergantungan dan pertukaran
kontraktual karena individu membatasi dirinya pada spesialisasi dan
mengandalkan pada orang lain akan barang-barang lain atau jasa yang
dibutuhkan”.
Durkheim dalam Johnson (1986) menyatakan peralihan dari solidaritas
mekanik ke organik tidak selalu merupakan proses yang lancar dan penuh
keseimbangan tanpa ketegangan-ketegangan. Hal ini dikarenakan ikatan sosial
primodial yang lama dalam bidang agama, kekerabatan, dan komunitas dirusak
oleh meningkatnnya pembagian kerja, mungkin ada ikatan-ikatan sosial lainnya
yang tidak berhasil menggantikannya. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah
dimana individu terputus ikatan-ikatan sosialnya dan kelompok-kelompok yang
menjadi perantara individu dan masyarakat luas tidak berkembang dengan baik,
sehingga memunculkan ancaman terhadap solidaritas.
Rohayati (2012) menyebutkan bahwa faktor lain yang mempengaruhi
solidaritas adalah kerjasama dan konflik. Namun, akan lebih banyak membahas
tentang kerjasama. Kerjasama merupakan upaya bekerja bersama dalam rangka
mencapai tujuan bersama. Soekanto (1982) menyebutkan terdapat empat jenis
kerjasama, yaitu kerjasama spontan (serta merta), langsung (hasil dari perintah
atasan atau penguasa), kontrak (atas dasar tertentu), dan tradisional (bentuk
kerjasama sebagai bagian dari sistem sosial). Disamping itu, disebutkan pula
11
terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kerjasama, yaitu 1) motivasi atau
kepentingan pribadi, misalnya tolong menolong); 2) kepentingan umum misalnya
gotong royong; 3) motivasi altruistik, misalnya semangat pengabdian, menolong
tanpa pamrih; dan 4) tuntutan situasi, misalnya karena bencana alam. Selanjutnya
bentuk-bentuk kerjasama dalam suatu kelompok dapat diketahui dapat berupa
tolong menolong, gotong royong, dan musyawarah.
Namun, Pranadji (2003) mengungkapkan beberapa jenis solidaritas dan
bentuk perwujudan dari solidaritas dalam masyarakat, yaitu:
1. Solidaritas ketetanggaan, yang perwujudannya seperti: a) selametan,
kesripahan, dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian
(nyatus, nyewu, dan ngekoli); b) peringatan yang berkaitan dengan upacara
atau tradisi pernikahan; c) solidaritas ini juga sedikit banyak mendasari
kegiatan pertanian antar tonggo teparo (untuk luku, nggaru, maul, matun,
dan panen); d) tolong menolong untuk membuat rumah. Gotong royong
merupakan kekayaan kehidupan ketetanggaan, yang dalam praktek
semacam kewajiban sosial atau norma (hukum) tidak tertulis.
2. Solidaritas sosial budaya, perwujudannya masih diwarnai kebersamaan yang
didasarkan atas norma kekeluargaan dan ketetanggaan. Tjondronegoro
(1997) dalam Pranadji (2003) menyebutkan istilah sodalitas sebagai
demokrasi sederhana (“primitif”) yang menunjung tinggi asas musyawarah
yang masih tampak hidup pada kehidupan solidaritas di tingkat pedukuhan.
Selain itu terdapat pula bentuk solidaritas pada kategori ini, yaitu arisan
rumah dan lumbung padukuhan.
3. Solidaritas birokratik, penerapan dari solidaritas ini tidak lepas dari hukumhukum pengaturan formal.
4. Solidaritas rasional, didasarkan atas imbalan, atau pertukaran yang
individualistik atau rasional. Sistem imbalan berlaku secara kelembagaan
yang ditunjukkan oleh upah dan jasa peminjaman.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bentuk kerjasama sangat
beragam. Hal ini tergantung jenis dan konsep yang dihadapi. Namun, dapat ditarik
kesamaan dari bentuk kerjasama tersebut, yaitu tolong menolong, gotong royong,
musyawarah, arisan, dan imbalan.
Konsep Migran Desa
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), migrasi merupakan aliran sumberdaya
terpenting sebagai penentu pembangunan wilayah. Namun BPS (2013),
mengartikan migrasi desa kota sebagai gejala berpindahnya penduduk yang
berasal dari suatu daerah yang bersifat perdesaan menuju daerah lain yang bersifat
perkotaan. Rusli (1995) menjelaskan migrasi sebagai suatu bentuk gerak
penduduk geografis, spasial, atau teritorial antara unit-unit geografis yang
melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan.
Adapun yang dimaksud migran adalah orang yang melakukan migrasi. Sebagai
migran, mempunyai kemungkinan telah melakukan migrasi lebih dari satu kali.
Migran desa dengan demikian dapat diartikan sebagai orang yang melakukan
migrasi dari daerah asal yang bersifat pedesaan menuju daerah lain yang bersifat
perkotaan.
12
Secara umum, Rusli (1995) membagi migrasi dalam dua jenis, yaitu migrasi
internal dan migrasi internasional. Migrasi internal terjadi antar negara. Sementara
emigrasi (pelakunya disebut emigran) adalah migrasi internasional dipandang dari
negara asal atau negara pengirim, sedangkan imigrasi (pelakunya disebut imigran)
adalah migrasi yang dilihat dari negara penerima atau negara tujuan. Namun,
terdapat jenis migrasi lainnya, yaitu migrasi musiman. Pada migrasi ini, umumnya
para migran pergi ketika tidak sedang ada kerja, terutama setelah mengolah
tanahnya, untuk mencari tambahan penghasilan ke daerah lain, dan kemudian
kembali ke desa saat panen tiba.
Teori mengenai migrasi sudah lama terbentuk, baik dari Ravenstein yang
muncul dengan “hukum-hukum migrasi”, teori dorong-tarik ( push-pull theory),
teori dari karya Lee, dan teori kesempatan antara. Hukum-hukum migrasi yang
dibawa oleh Ravenstein berkaitan dengan migrasi dan jarak, migrasi berlangsung
menurut tahap-tahap, stream, dan counterstream, perbedaan antara desa dan kota
dalam kecenderungan bermigrasi, lebih dominannya perempuan kalangan migrasi
jarak dekat, teknologi dan migrasi, dan dominannya motivasi ekonomi.
Teori dorong-tarik mengungkapkan pendapat bahwa alasan meninggalkan
daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor pendorong, sedangkan alasan
untuk memilih daerah tujuan dipandang sebagai faktor-faktor penarik (Rusli 1995).
Mengutip pendapat Anitawati (1986), faktor pendorong tersebut seperti sempitnya
pemilikan tanah, kegagalan panen, kurangnya lapangan pekerjaan di luar sektor
pertanian di desa dan faktor-faktor lain yang terdapat di desa yang mendorong
para migran keluar dari desa mereka. Disamping itu, faktor-faktor penarik migrasi
seperti fasilitas pendidikan yang lebih baik, adanya perbedaan upah di desa
dengan daerah tujuan, sehingga penduduk desa tertarik untuk meninggalkan
desanya. Menurut Rhoda (1980) dalam Anitawati (1986), faktor-faktor pendorong
dan penarik mempunyai hubungan yang dekat, orang yang terdorong untuk
melakukan migrasi secara bersamaan juga akan tertarik oleh harapan untuk
menemukan sesuatu yang lebih baik di tempat tujuan.
Menurut Rusli (1995), teori kesempatan antara menyebutkan bahwa jumlah
orang yang pergi kesuatu jarak tertentu berbanding langsung dengan jumlah
kesempatan pada jarak tersebut dan berbanding terbalik dengan jumlah
kesempatan antara. Sementara teori yang dibawa Lee yang dikutip Rusli (1995),
menunjuk pada sejumlah hipotesa yang berkaitan dengan volume migrasi, stream,
dan counterstream, serta karakteristik para migran. Selanjutnya, teori tersebut
menjelaskan bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak dekat maupun
jarak jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan dengan daerah asal,
daerah tujuan, pribadi, dan rintangan-rintangan antara. Disetiap daerah terdapat
tiga set faktor-faktor (Rusli 1995), yaitu :
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau
mengikat orang dalam daerah itu, yang disebut sebagai faktor-faktor minus
(-).
2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka (faktor-faktor plus).
3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indifferen, tak punya pengaruh menolak
atau mengikat.
Pengaruh ketiga faktor di atas tidak sama untuk semua orang, akan tetapi
dapat terlihat pada kelompok-kelompok orang yang reaksinya hampir sama
terhadap sejumlah faktor sejenis yang terdapat di tempat asal dan di tempat tujuan.
13
Biasanya, pada sebuah daerah terdapat perintis yang memulai adanya proses
migrasi. Kemudian diikuti oleh keluarga, teman, tetangga, yang mengandalkan
pendahulunya untuk memperoleh pekerjaan, dan segala jenis bantuan yang dapat
digunakan untuk menekan biaya relokasi di tempat migrasi yang baru. Faktorfaktor lain yang mempengaruhi para migran dapat berupa faktor pendorong
seperti tuntutan ekonomi, maupun faktor penghambat seperti budaya (Seftiawati
2009).
Namun menurut Suharso (1978) yang dikutip Anitawati (1986), faktor yang
mempengaruhi migran berpindah ke kota adalah adanya kenalan atau teman di
kota. Sedangkan untuk kepemilikan tanah pertanian memiliki pengaruh yang kecil,
karena sama-sama mempunyai keinginan untuk bermigrasi. Bagi yang
mempunyai tanah pertanian, pindah ke kota untuk mendapatkan pendidikan dan
membuka usaha dagang serta usaha lainnya di kota. Akan tetapi, bagi yang tidak
memiliki tanah pertanian, pindah ke kota dimaksudkan untuk memperoleh
pekerjaan.
Para migran yang datang ke kota-kota, khususnya kota besar seperti DKI
Jakarta dan Jawa Barat, akan menimbulkan berbagai implikasi baik dalam bidang
sosial maupun ekonomi. Pada bidang sosial, para migran akan menambah jumlah
kepadatan penduduk di kota-kota yang tidak menambah diferensiasi sistem sosial
dan indepensi kecuali menambah orang dalam proses pekerjaan yang sama.
Meskipun saat ini sektor informal masih dapat diharapkan untuk menampung para
migran, akan tetapi masalah pengangguran belum dapat teratasi sepenuhnya.
Keadaan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, seperti meningkatnya
jumlah kejahatan. Sementara itu, banyaknya penduduk yang bermigrasi
menyebabkan desa mengalami kekurangan tenaga kerja yang dinamis, dan
sumberdaya manusia yang dapat membangun serta mengembangkan desa.
Konsep Etnis
Smith (1983)2 mengartikan kelompok etnik atau suku bangsa sebagai suatu
golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan
sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas
suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok
tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku, atau ciri-ciri
biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam
mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor
fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung
dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah.
Disamping itu, Fredrik Barth (1969) dan Eric Wolf (1982) 3, menganggap etnisitas
sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Prosesproses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenetis.
Menghadapi dilema perdagangan, Evers (1992) mengemukakan solusi yang
dapat dilakukan, yaitu imigrasi pedagang komunitas, pembentukan kelompokkelompok etnis atau religius, akumulasi status kehormatan (modal budaya),
2
3
Wikipedia. 2013. Kelompok etnik [internet]. [diunduh 2013 Jun 16]. Tersedia pada:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelompok_etnik#cite_ref-Smith_1-0.
Loc. cit., catatan kaki nomor 2.
14
munculnya perdagangan kecil dengan ciri “ada uang ada barang”, dan
depersonalisasi (ketidaklekatan) hubungan-hubungan ekonomi. Kelima solusi
tersebut memperlihatkan bahwa perdagangan mensyaratkan adanya solidaritas
diantara pedagang dan juga mensyaratkan adanya jarak sosial dan budaya
terhadap pelanggan.
Evers (1992) mengungkapkan kelompok minoritas baru dapat diciptakan
melalui migrasi atau etnogenetis, yaitu munculnya identitas etnis baru. Contohnya
adalah “pedagang kredit” yang sebagian berasal dari suku Batak dan beragama
Kristen yang melakukan aktivitas dagangannya di Sumatera Barat. Mereka
melakukan aktivitas dagang kepada orang-orang desa dengan pembayaran tidak
kontan. “Pedangan kredit” sendiri membeli barang dagangannya kepada pedagang
grosir, umumnya adalah orang Minangkabau.
Munculnya dua komunitas moral atau lebih dalam satu naungan pekerjaan
yang menekankan kerja sama, tetapi tidak keluar dari batas-batas moral dapat
berlangsung. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerima suatu agama baru
atau menganut agama sebagaimana yang digariskan oleh aturan-aturan yang telah
ditetukan dengan memperlihatkan kegairahan dalam menjalankan aturan-aturan
tersebut. Disamping itu, kemungkinan lainnya adalah menekankan nilai-nilai
budaya hingga batas menentukan identitas etnis milik sendiri. Selain itu, Evers
(1992) juga mengungkapkan peningkatan akumulasi modal budaya berarti
peningkatan derajat kepercayaan masyarakat, sehingga memudahkan pedagang
melakukan aktivitasnya.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berfokus pada solidaritas sosial para migran pedagang kaki
lima modern di Stasiun Bogor. Keberadaan solidaritas dalam kelompok sangat
penting untuk dapat mempertahankan fungsi kelompok yaitu untuk menyelesaikan
masalah, mencegah kesepian, dan keregangan masyarakat.
Solidaritas migran desa akan diamati berdasarkan derajat formalitas
hubungan, derajat ketergantungan anggota, dan derajat kerjasama. Derajat
formalitas hubungan diukur dengan menggunakan tujuh kriteria menurut Bierstedt
dalam Kolopaking (2003), yaitu (1) mempunyai fungsi dan tujuan khusus; (2)
mempunyai kebijakan umum dalam mencapai tujuannya; (3) mempunyai dan
mengembangkan susunan hierarki status; (4) mempunyai wewenang; (5)
mengenakan syarat; (6) mempunyai property; (7) mempunyai nama atau lambanglambang. Semakin formal kelompok paguyuban pedagang kaki lima, diduga
semakin rendah solidaritasnya.
Menurut Soekanto (2003), kerjasama merupakan bekerja bersama dalam
rangka mencapai suatu tujuan bersama. Penelitian ini menduga semakin tinggi
kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin tinggi. Sebaliknya,
semakin rendah derajat kerjasama maka solidaritas pedagang kaki lima semakin
rendah.
Sementara itu, kesaligtergantungan diambil berdasar