STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL : Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogo

ABSTRAK
MONA LUSIA BR MANIHURUK. STRATEGI BERTAHAN PELAKU
SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di
Sekitar Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.
Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil
dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke daerah Bogor
terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan perkembangan sektor
informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran pedagang kaki
lima biasanya memulai usaha dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka
miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama.
Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan
dengan usaha mereka, seperti pemasok bahan baku. Para migran pedagang kaki
lima bergantung pada modal sosial yang mereka miliki untuk mempertahankan
usaha mereka. Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara
mendalam terhadap 40 pedagang kaki lima di sekitar Kebun Raya Bogor.
Kata kunci: sektor informal, pedagang kaki lima (PKL), migrasi desa-kota, modal
sosial, strategi bertahan.

ABSTRACT
MONA LUSIA BR MANIHURUK. SURVIVAL STRATEGY OF INFORMAL
SECTOR PROPRIETORS: The Roles of Social Capital of Migrant Street

Vendors Around Bogor Botanical Gardens. Supervised by EKAWATI SRI
WAHYUNI.
The informal sector is able to absorb a relatively large number of unskilled
migrant-labor. The number of in-migrant into Bogor area is continued to increase
from time to time and to cause the development of informal sector, particularly
the street vendor or PKL (Pedagang Kaki Lima). The migrant street vendors
usually start a business by utilizing the social capital they had, for example,their
relatives or friends of the same origin villages. Later on, their networking will
expand to other groups that related to their business, such as raw material
suppliers. The migrant street vendors rely on the social capital they owned to
survive their business. This study was based on a survey and in-depth interview to
40 street vendors around Bogor Botanical Gardens
Keywords: informal sector, street vendor (PKL), rural-urban migration, social
capital, survival strategy.

1

PENDAHULUAN
Sektor informal adalah salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja
dengan jumlah relatif besar. Ketika sektor formal sudah tidak mampu lagi

menyerap tenaga kerja yang tersedia maka sektor informal menjadi pilihan para
pencari kerja. Sektor informal cenderung dilakukan oleh para migran, khususnya
migran desa. Hal ini disebabkan karena mobilisasi yang diilakukan migran dari
desa ke kota pada dasarnya dengan tujuan untuk menyambung kehidupan,
mencari nafkah untuk kelanjutan kehidupan keluarga tanpa diikuti dengan
keterampilan dan pendidikan yang cukup. Salah satu sektor informal yang cukup
berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL), khususnya penjual makanan dan
minuman. PKL sangat rentan dengan pasang surut usaha karena berbagai faktor,
misalnya modal usaha dan perijinan sering sekali menyebabkan para PKL
kesulitan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi bertahan
para PKL khususnya di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) dan hubungannya
dengan modal sosial. Berikut dipaparkan secara lengkap mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini.

 
Latar Belakang
Sektor informal merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan tidak terlalu menuntut
karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal pertama kali
dilontarkan oleh

Hart (1971) dalam Wirosardjono (1985) dengan
menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada
di luar pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal menjadi pilihan masyarakat
ketika sektor formal sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia lagi.
Berdasarkan Laporan Pembahasan Pola Pembinaan Sektor Informal Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
(1928/1983), sektor informal dibagi ke dalam lima golongan yaitu : kegiatan pada
sektor perdagangan, angkutan, industri, konstruksi dan jasa (Suwartika 2003).
Salah satu sektor informal yang banyak dimasuki oleh masyarakat adalah menjadi
pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah orang dengan modal yang relatif sedikit
berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk
memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut
dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana
lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono 1989). Peraturan Daerah
Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan
usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki
tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas
untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
PKL sering dianggap sebagai pekerjaan lapisan bawah yang mengganggu

ketentraman pejalan kaki dan pengguna jalan raya. PKL hampir selalu menjadi
sorotan masyarakat apabila terjadi kemacetan di sekitar pedagang kaki lima yang
membuka usaha. PKL juga merupakan pihak yang selalu menjadi obyek dari
petugas ketertiban pemerintah karena melanggar tata ruang perkotaan. PKL

2

dipermasalahkan karena menggangu para pengendara kendaraan bermotor. Selain
itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang
sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada
dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi1. Akan tetapi PKL kerap
menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat
murah daripada membeli di toko. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari
PKL dan membuat keberadaan PKL tetap berlangsung dalam masyarakat. Modal
dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil
atau orang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang biasanya mendirikan
bisnisnya di sekitar rumah mereka.
PKL menjadi sosok yang unik. Mereka menjadi unik karena di tengah
tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat maupun pemerintah namun tidak

membuat PKL mengalami pengurangan jumlah pelaku. Berdasarkan data Asosiasi
Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11
juta orang (Kementrian Koperasi dan UKM 2005). PKL tidak pernah menerima
permodalan dari pemerintah ataupun perbankan namun bisa survive dalam
menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelompok PKL
justru mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak memberatkan pelakunya
dan penyumbang bagi retribusi pemerintah Kota/Kabupaten. Menjadi PKL sering
dianggap pekerjaan yang mudah untuk dimasuki dan mudah untuk dilaksanakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memasuki dunia
sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima namun tidak dapat bertahan
dan melanjutkan usahanya, bahkan sering sekali tidak mampu mengembalikan
modal awal.
PKL dapat kita temui mulai dari desa sampai kota besar. Semarak PKL
sangat terasa di kota-kota besar. Salah satu kota yang mempunyai jumlah PKL
yang cukup besar adalah Kota Bogor, Jawa Barat. “Kepala Satpol PP Kota Bogor
Bambang Budianto menyebutkan, jumlah PKL di Kota Bogor saat ini sudah
menembus angka 10 ribu” (Prima 2012). PKL dapat kita temui di hampir setiap
sudut kota Bogor. Larangan secara kasar maupun halus yang telah dilakukan tidak
membuat para PKL mundur dan berkurang secara pasti. Wilayah yang sangat
sarat akan PKL di kota Bogor adalah daerah di sekitar trotoar Kebun Raya Bogor

(KRB). PKL yang ada disekitar KRB sangat sering dikeluhkan keberadaanya
oleh pengunjung dan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya
macet dan bau pesing Akan tetapi juga tetap tidak membuat para PKL tersebut
menghentikan usahanya (Dika 2011).
Strategi menjadi hal yang sangat penting bagi PKL untuk dapat
mempertahankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja sektor
informal juga membutuhkan modal sebagai salah satu strategi untuk
mempertahankan hidupnya. Farrington (1999) dalam Suwartika (2003)
menyebutkan beberapa modal/aset masyarakat untuk melakukan transformasi
struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu modal
finansial merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam bentuk uang, modal
ekologikal adalah modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam yang ada di
lingkungan masyarakat tersebut, modal sumberdaya manusia dapat didefenisikan
1

Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke
dalam ekosistem air.

3


sebagai modal masyarakat berupa sumberdaya manusia, modal fisik merupakan
modal masyarakat yang berupa sarana dan prasarana fisik. Selama ini, hanya
keempat modal tersebut yang lebih menjadi perhatian dalam upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan modal sosial belum banyak
dilirik sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam upaya-upaya
pengembangan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal
sosial merupakan modal yang lebih menekankan pada modal yang dimiliki
masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin diantara
semua anggota. PKL merupakan salah satu kegiatan kewirausahaan yang sangat
potensial untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah
mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor
tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang
juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya
dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi
tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat
hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Berdasarkan hal tersebut
maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku
sektor informal dan kaitannya dengan modal sosial.
Perumusan Masalah

Seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia dan ketersediaan
lapangan pekerjaan yang kurang mendukung, angkatan kerja tersebut harus
menjadi tenaga kerja yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan
satu sama lain. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan pekerjaan dalam sektor
informal. Salah satu kegiatan sektor informal yang cukup berkembang dan mudah
dimasuki oleh siapa saja adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan suatu
aktivitas ekonomi yang menjanjikan apabila dapat mengembangkan dengan
strategi yang baik dan tepat. Tidak jarang seorang yang memulai usaha sebagai
PKL kecil-kecilan hingga menjadi suatu usaha besar. Selain itu, juga dapat
ditemui seseorang menjadi PKL hanya sebagai pengisi waktu luang saja. Akan
tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa aktivitas PKL adalah sumber ekonomi
utama bagi suatu keluarga. PKL dapat ditemui mulai dari modal sangat kecil
hingga PKL yang sudah membutuhkan modal yang cukup besar. Penghasilan
yang didapatkan dari aktivitas PKL sangat bersifat fluktuatif, mulai dari sangat
kecil hingga cukup besar. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian mengenai
bagaimana suatu usaha kaki lima dikatakan kegiatan sektor informal yang
sah.
PKL dalam menjalankan usahanya harus memiliki strategi bertahan agar
dapat melanjutkan usahanya. Strategi bertahan sangat dibutuhkan mengingat
karakteristik usaha kaki lima yang sarat akan ketidakpastian, mulai dari jumlah

penghasilan yang didapatkan, aturan pemerintah mengenai ketertiban dan
ketentraman lingkungan, ketersedian modal dan barang dagangan. Salah satu hal
penting dalam strategi bertahan adalah modal. Modal dalam hal ini bukan hanya
sekedar uang akan tetapi juga modal fisik, dan modal sosial. Salah satu modal
yang sangat penting dalam strategi bertahan PKL adalah modal sosial, dimana
PKL cenderung melakukan usahanya secara kekeluargaan baik dalam hal modal

4

usaha maupun tempat berjualan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan kajian
lebih lanjut mengenai peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku
sektor informal.
PKL sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan merupakan aktivitas
ekonomi dalam pemenuhan individu maupun rumah tangga membutuhkan suatu
kinerja yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan individu maupun
rumah tangga. PKL dalam prosesnya mengalami pasang surut yang sangat tidak
stabil, baik PKL yang sudah maju maupun PKL yang masih merintis. Berdasarkan
hal tersebut maka dilakukan kajian mengenai bagaimana keberlanjutan
pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku
sektor informal.


 
Tujuan Penelitian

1.
2.
3.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
Menjelaskan usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan sektor informal
yang sah
Menganalisis peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor
informal
Menganalisis keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya
dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

Manfaat Penelitian
. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai
pengenalan lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal:
peranan modal sosial migran pedagang kaki lima (PKL). Melalui penelitian ini,

terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak,
yaitu:
1.
Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti
yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor
informal.
2.
Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi
masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena sektor informal di
lingkungan masyarakat.
3.
Pemerintah, penelitian ini dihaparkan dapat memberikan masukan atau
dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah)
dalam perencanaan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan terkait
keberadaan sektor informal.

STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL:
Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar
Kebun Raya Bogor

MONA LUSIA BR MANIHURUK

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul STRATEGI
BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran
Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013

Mona Lusia br Manihuruk
NIM I34090021

 

ABSTRAK
MONA LUSIA BR MANIHURUK. STRATEGI BERTAHAN PELAKU
SEKTOR INFORMAL: Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di
Sekitar Kebun Raya Bogor. Dibimbing oleh EKAWATI SRI WAHYUNI.
Sektor informal mampu menyerap tenaga kerja migran yang tidak terampil
dengan jumlah yang relatif besar. Jumlah migran yang masuk ke daerah Bogor
terus meningkat dari waktu ke waktu dan menyebabkan perkembangan sektor
informal, khususnya PKL (Pedagang Kaki Lima). Para migran pedagang kaki
lima biasanya memulai usaha dengan memanfaatkan modal sosial yang mereka
miliki, misalnya, kerabat atau teman mereka dari daerah asal yang sama.
Kemudian, mereka akan memperluas jaringan ke kelompok lain yang berkaitan
dengan usaha mereka, seperti pemasok bahan baku. Para migran pedagang kaki
lima bergantung pada modal sosial yang mereka miliki untuk mempertahankan
usaha mereka. Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara
mendalam terhadap 40 pedagang kaki lima di sekitar Kebun Raya Bogor.
Kata kunci: sektor informal, pedagang kaki lima (PKL), migrasi desa-kota, modal
sosial, strategi bertahan.

ABSTRACT
MONA LUSIA BR MANIHURUK. SURVIVAL STRATEGY OF INFORMAL
SECTOR PROPRIETORS: The Roles of Social Capital of Migrant Street
Vendors Around Bogor Botanical Gardens. Supervised by EKAWATI SRI
WAHYUNI.
The informal sector is able to absorb a relatively large number of unskilled
migrant-labor. The number of in-migrant into Bogor area is continued to increase
from time to time and to cause the development of informal sector, particularly
the street vendor or PKL (Pedagang Kaki Lima). The migrant street vendors
usually start a business by utilizing the social capital they had, for example,their
relatives or friends of the same origin villages. Later on, their networking will
expand to other groups that related to their business, such as raw material
suppliers. The migrant street vendors rely on the social capital they owned to
survive their business. This study was based on a survey and in-depth interview to
40 street vendors around Bogor Botanical Gardens
Keywords: informal sector, street vendor (PKL), rural-urban migration, social
capital, survival strategy.

 

STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL:
Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar
Kebun Raya Bogor

MONA LUSIA BR MANIHURUK

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

 

Judul Skripsi : STRATEGI BERTAHAN PELAKU SEKTOR INFORMAL :
Peranan Modal Sosial Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar
Kebun Raya Bogor
Nama
: Mona Lusia br Manihuruk
NIM
: I34090021

Disetujui oleh

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _____________________

 

PRAKATA
Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih
dan karunia yang telah Dia limpahkan kepada penulis sehingga skripsi yang
berjudul ”Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal: Peranan Modal Sosial
Migran Pedagang Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor” dapat diselesaikan
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat memperoleh gelar sarjana sains
komunikasi dan pengembangan masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi
dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian
Bogor. Selain itu, skripsi ini juga disusun untuk mengembangkan wawasan
penulis mengenai strategi bertahan sektor informal dan modal sosial.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Ekawati Sri
Wahyuni MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, masukan,
dan bimbingan selama proses penyusunan skripsi mulai dari awal sampai
penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih
kepada ayah tercinta, Biner Manihuruk, serta kakak adik tersayang Eva
Manihuruk, Devy Manihuruk, Riris Manihuruk, Adi Manihuruk dan Santa
Manihuruk yang selalu mendoakan, selalu mengingatkan, memberi semangat,
dukungan dan kasih sayang yang tak terhingga. Juga untuk mama tercinta Alm.
Ermatio Sinabariba yang selalu mendoakan putra-putrinya. Penulis juga tidak lupa
berterimakasih kepada semua teman-teman yang tidak tersebutkan namanya satu
persatu, teman-teman terkasih Vinsensia, Wiwik, Tamada, Ari, Dito, Regina,
Patris, Nita, Basa teman-teman kemaki, puella domini, teman satu bimbingan
Jajang Somantri, teman-teman KPM Bonita, Yanti, Vici, Sondang, Melisa,
Lourenza, teman-teman akselerasi 46 dan semua KPM’ers 46 yang selalu
memberi semangat dan dukungan. Terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013

Mona Lusia br Manihuruk

 

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Sektor Informal
Definisi Sektor Informal
Pelaku Sektor Informal
Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan
Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL)
Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL)
Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal
Modal Sosial Sebagai Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Konseptual
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis Data dan Pengumpulan Data
Teknik Pengambilan Sampel
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK
RESPONDEN
Profil Kota Bogor
Karakteristik Responden
USAHA KAKI LIMA SEBAGAI KEGIATAN SEKTOR INFORMAL
YANG SAH
Gambaran Usaha Kaki Lima di Sekitar Kebun Raya Bogor (KRB)
Tingkat Pendapatan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Sekitar Kebun
Raya Bogor (KRB)
Sumber Modal Usaha Pedagang Kaki Lama (PKL)
PERANAN MODAL SOSIAL DALAM STRATEGI BERTAHAN
PELAKU SEKTOR INFORMAL
Jaringan
Keragaman Tipe
Lama Usaha
Kepercayaan
Kepercayaan Terhadap sesama Migran
Kepercayaan Terhadap Migran Se-daerah Asal
Hubungan Lama Usaha dengan Tingkat Kepercayaan yang

vi
xi
xi
1
1
3
4
4
5
5
5
6
7
8
8
8
10
11
12
13
13
15
15
15
16
16
17
17
19
21
21
22
24
27
27
28
29
29
30
30
31

viii

dimiliki Oleh Para Migran Pedagang Kaki Lima (PKL)
Norma
Aturan Sesama Pedagang Kaki Lima (PKL)
Hubungan Antara Sesama PKL dengan Jenis Usaha PKL
HUBUNGAN ANTARA STRATEGI BERTAHAN PELAKU
SEKTOR INFORMAL DENGAN KEBERLANJUTAN USAHA
PEDAGANG KAKI LIMA (PKL)
Strategi Bertahan Pelaku Sektor Informal (PKL)
Hubungan antara Modal Sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di
Sekitar KRB dengan Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima (PKL)
Hubungan antara Modal Sosial dengan Keberlanjutan Usaha
Pedagang Kaki Lima (PKL)
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

31
32
32
33

34
35
35
40
40
40
41
43
56

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik dua sektor ekonomi
2 Jumlah penduduk migran dan non migran di kota Bogor 2010.
3 Karakteristik responden Pedagang Kaki Lima (PKL) di sekitar
Kebun Raya Bogor (KRB)
4 Jumlah dan persentase responden penjual makanan dan minuman di
sekitar Kebun Raya Bogor (KRB)
5 Lama usaha PKL di sekitar KRB
6 Jenis pekerjaan PKL responden sebelum melakukan migrasi
7 Jumlah dan persentase tingkat pendapatan migran PKL sebelum dan
sesudah melakukan migrasi
8 Jumlah dan persentase PKL yang masih memiliki pendapatan dari
desa
9 Jumlah dan persentase tingkat jaringan responden migran PKL
10 Jumlah dan persentase tingkat kepercayaan responden migran PKL
11 Jumlah dan persentase tingkat norma responden migran PKL
12 Tingkat modal sosial responden migran PKL
13 Tingkat strategi bertahan responden migran PKL
14 Hubungan antara modal sosial dengan strategi bertahan pelaku
sektor informal
15 Jadwal pelaksanaan penelitian

6
19
20
21
22
22
23
24
31
33
35
37
38
38
44

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran
2 Grafik pendapatan migran PKL sebelum dan sesudah melakukan
migrasi

12
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta Lokasi Penelitian
2 Data Responden
3 Kuesioner
4 Foto Penelitian

43
44
46
53

1

PENDAHULUAN
Sektor informal adalah salah satu sektor yang dapat menyerap tenaga kerja
dengan jumlah relatif besar. Ketika sektor formal sudah tidak mampu lagi
menyerap tenaga kerja yang tersedia maka sektor informal menjadi pilihan para
pencari kerja. Sektor informal cenderung dilakukan oleh para migran, khususnya
migran desa. Hal ini disebabkan karena mobilisasi yang diilakukan migran dari
desa ke kota pada dasarnya dengan tujuan untuk menyambung kehidupan,
mencari nafkah untuk kelanjutan kehidupan keluarga tanpa diikuti dengan
keterampilan dan pendidikan yang cukup. Salah satu sektor informal yang cukup
berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL), khususnya penjual makanan dan
minuman. PKL sangat rentan dengan pasang surut usaha karena berbagai faktor,
misalnya modal usaha dan perijinan sering sekali menyebabkan para PKL
kesulitan. Untuk itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi bertahan
para PKL khususnya di sekitar Kebun Raya Bogor (KRB) dan hubungannya
dengan modal sosial. Berikut dipaparkan secara lengkap mengenai latar belakang,
rumusan masalah, tujuan, dan manfaat dari penelitian ini.

 
Latar Belakang
Sektor informal merupakan salah satu sektor lapangan kerja yang mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar dan tidak terlalu menuntut
karakteristik tertentu dari pelakunya. Istilah sektor informal pertama kali
dilontarkan oleh
Hart (1971) dalam Wirosardjono (1985) dengan
menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada
di luar pasar tenaga terorganisasi. Sektor informal menjadi pilihan masyarakat
ketika sektor formal sudah tidak mampu menyerap tenaga kerja yang tersedia lagi.
Berdasarkan Laporan Pembahasan Pola Pembinaan Sektor Informal Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan
(1928/1983), sektor informal dibagi ke dalam lima golongan yaitu : kegiatan pada
sektor perdagangan, angkutan, industri, konstruksi dan jasa (Suwartika 2003).
Salah satu sektor informal yang banyak dimasuki oleh masyarakat adalah menjadi
pedagang kaki lima (PKL). PKL adalah orang dengan modal yang relatif sedikit
berusaha di bidang produksi dan penjualan barang-barang (jasa-jasa) untuk
memenuhi kebutuhan kelompok tertentu di dalam masyarakat, usaha tersebut
dilaksanakan pada tempat-tempat yang dianggap strategis dalam suasana
lingkungan yang informal (Winardi dalam Haryono 1989). Peraturan Daerah
Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang yang di dalam kegiatan
usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu yang tidak memiliki
tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai tempat-tempat/fasilitas
untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan miliknya.
PKL sering dianggap sebagai pekerjaan lapisan bawah yang mengganggu
ketentraman pejalan kaki dan pengguna jalan raya. PKL hampir selalu menjadi
sorotan masyarakat apabila terjadi kemacetan di sekitar pedagang kaki lima yang
membuka usaha. PKL juga merupakan pihak yang selalu menjadi obyek dari
petugas ketertiban pemerintah karena melanggar tata ruang perkotaan. PKL

2

dipermasalahkan karena menggangu para pengendara kendaraan bermotor. Selain
itu ada PKL yang menggunakan sungai dan saluran air terdekat untuk membuang
sampah dan air cuci. Sampah dan air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada
dengan mematikan ikan dan menyebabkan eutrofikasi1. Akan tetapi PKL kerap
menyediakan makanan atau barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat
murah daripada membeli di toko. Hal ini merupakan salah satu kelebihan dari
PKL dan membuat keberadaan PKL tetap berlangsung dalam masyarakat. Modal
dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha relatif kecil sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang kecil
atau orang kalangan ekonomi menengah ke bawah yang biasanya mendirikan
bisnisnya di sekitar rumah mereka.
PKL menjadi sosok yang unik. Mereka menjadi unik karena di tengah
tekanan yang mereka dapatkan dari masyarakat maupun pemerintah namun tidak
membuat PKL mengalami pengurangan jumlah pelaku. Berdasarkan data Asosiasi
Pedagang Pasar se-Indonesia (ASPPSI) jumlah pedagang mikro ini mencapai 11
juta orang (Kementrian Koperasi dan UKM 2005). PKL tidak pernah menerima
permodalan dari pemerintah ataupun perbankan namun bisa survive dalam
menjalankan usahanya dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Kelompok PKL
justru mampu menciptakan lapangan kerja yang tidak memberatkan pelakunya
dan penyumbang bagi retribusi pemerintah Kota/Kabupaten. Menjadi PKL sering
dianggap pekerjaan yang mudah untuk dimasuki dan mudah untuk dilaksanakan.
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa banyak orang yang memasuki dunia
sektor informal dengan menjadi pedagang kaki lima namun tidak dapat bertahan
dan melanjutkan usahanya, bahkan sering sekali tidak mampu mengembalikan
modal awal.
PKL dapat kita temui mulai dari desa sampai kota besar. Semarak PKL
sangat terasa di kota-kota besar. Salah satu kota yang mempunyai jumlah PKL
yang cukup besar adalah Kota Bogor, Jawa Barat. “Kepala Satpol PP Kota Bogor
Bambang Budianto menyebutkan, jumlah PKL di Kota Bogor saat ini sudah
menembus angka 10 ribu” (Prima 2012). PKL dapat kita temui di hampir setiap
sudut kota Bogor. Larangan secara kasar maupun halus yang telah dilakukan tidak
membuat para PKL mundur dan berkurang secara pasti. Wilayah yang sangat
sarat akan PKL di kota Bogor adalah daerah di sekitar trotoar Kebun Raya Bogor
(KRB). PKL yang ada disekitar KRB sangat sering dikeluhkan keberadaanya
oleh pengunjung dan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, misalnya
macet dan bau pesing Akan tetapi juga tetap tidak membuat para PKL tersebut
menghentikan usahanya (Dika 2011).
Strategi menjadi hal yang sangat penting bagi PKL untuk dapat
mempertahankan usahanya dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerja sektor
informal juga membutuhkan modal sebagai salah satu strategi untuk
mempertahankan hidupnya. Farrington (1999) dalam Suwartika (2003)
menyebutkan beberapa modal/aset masyarakat untuk melakukan transformasi
struktur dan proses sosial ke arah kehidupan yang lebih baik, yaitu modal
finansial merupakan modal yang dimiliki masyarakat dalam bentuk uang, modal
ekologikal adalah modal masyarakat dalam bentuk sumberdaya alam yang ada di
lingkungan masyarakat tersebut, modal sumberdaya manusia dapat didefenisikan
1

Eutrofikasi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke
dalam ekosistem air.

3

sebagai modal masyarakat berupa sumberdaya manusia, modal fisik merupakan
modal masyarakat yang berupa sarana dan prasarana fisik. Selama ini, hanya
keempat modal tersebut yang lebih menjadi perhatian dalam upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat, sedangkan modal sosial belum banyak
dilirik sebagai modal yang dimiliki masyarakat dalam upaya-upaya
pengembangan masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modal
sosial merupakan modal yang lebih menekankan pada modal yang dimiliki
masyarakat sebagai hasil dari hubungan-hubungan sosial yang terjalin diantara
semua anggota. PKL merupakan salah satu kegiatan kewirausahaan yang sangat
potensial untuk dikembangkan. Penelitian yang dilakukan Tawardi (1999) adalah
mengenai nilai-nilai kewirausahaan dan beberapa faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi perkembangan usaha seseorang. Berdasarkan faktor-faktor
tersebut, modal sosial tidak dimasukkan sebagai salah satu variabel penting yang
juga berperan, padahal pengembangan nilai kewirausahaan sangat erat kaitannya
dengan modal sosial. Pasalnya modal sosial memberikan landasan konstruksi
tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi yang erat
hubungannya dengan nilai atau jiwa kewirausahaan. Berdasarkan hal tersebut
maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku
sektor informal dan kaitannya dengan modal sosial.
Perumusan Masalah
Seiring dengan pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia dan ketersediaan
lapangan pekerjaan yang kurang mendukung, angkatan kerja tersebut harus
menjadi tenaga kerja yang mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan
satu sama lain. Hal ini dapat kita lihat dari perkembangan pekerjaan dalam sektor
informal. Salah satu kegiatan sektor informal yang cukup berkembang dan mudah
dimasuki oleh siapa saja adalah pedagang kaki lima (PKL). PKL merupakan suatu
aktivitas ekonomi yang menjanjikan apabila dapat mengembangkan dengan
strategi yang baik dan tepat. Tidak jarang seorang yang memulai usaha sebagai
PKL kecil-kecilan hingga menjadi suatu usaha besar. Selain itu, juga dapat
ditemui seseorang menjadi PKL hanya sebagai pengisi waktu luang saja. Akan
tetapi tidak jarang juga ditemui bahwa aktivitas PKL adalah sumber ekonomi
utama bagi suatu keluarga. PKL dapat ditemui mulai dari modal sangat kecil
hingga PKL yang sudah membutuhkan modal yang cukup besar. Penghasilan
yang didapatkan dari aktivitas PKL sangat bersifat fluktuatif, mulai dari sangat
kecil hingga cukup besar. Untuk itu dibutuhkan suatu kajian mengenai
bagaimana suatu usaha kaki lima dikatakan kegiatan sektor informal yang
sah.
PKL dalam menjalankan usahanya harus memiliki strategi bertahan agar
dapat melanjutkan usahanya. Strategi bertahan sangat dibutuhkan mengingat
karakteristik usaha kaki lima yang sarat akan ketidakpastian, mulai dari jumlah
penghasilan yang didapatkan, aturan pemerintah mengenai ketertiban dan
ketentraman lingkungan, ketersedian modal dan barang dagangan. Salah satu hal
penting dalam strategi bertahan adalah modal. Modal dalam hal ini bukan hanya
sekedar uang akan tetapi juga modal fisik, dan modal sosial. Salah satu modal
yang sangat penting dalam strategi bertahan PKL adalah modal sosial, dimana
PKL cenderung melakukan usahanya secara kekeluargaan baik dalam hal modal

4

usaha maupun tempat berjualan. Berdasarkan hal tersebut maka dibutuhkan kajian
lebih lanjut mengenai peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku
sektor informal.
PKL sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan merupakan aktivitas
ekonomi dalam pemenuhan individu maupun rumah tangga membutuhkan suatu
kinerja yang berkelanjutan agar dapat memenuhi kebutuhan individu maupun
rumah tangga. PKL dalam prosesnya mengalami pasang surut yang sangat tidak
stabil, baik PKL yang sudah maju maupun PKL yang masih merintis. Berdasarkan
hal tersebut maka dilakukan kajian mengenai bagaimana keberlanjutan
pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya dengan strategi bertahan pelaku
sektor informal.

 
Tujuan Penelitian

1.
2.
3.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
Menjelaskan usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan sektor informal
yang sah
Menganalisis peranan modal sosial sebagai strategi bertahan pelaku sektor
informal
Menganalisis keberlanjutan pedagang kaki lima (PKL) dan kaitannya
dengan strategi bertahan pelaku sektor informal.

Manfaat Penelitian
. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengantar atau sebagai
pengenalan lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor informal:
peranan modal sosial migran pedagang kaki lima (PKL). Melalui penelitian ini,
terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada berbagai pihak,
yaitu:
1.
Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti
yang ingin mengkaji lebih lanjut mengenai strategi bertahan pelaku sektor
informal.
2.
Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi
masyarakat, khususnya untuk memahami fenomena sektor informal di
lingkungan masyarakat.
3.
Pemerintah, penelitian ini dihaparkan dapat memberikan masukan atau
dijadikan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (pemerintah)
dalam perencanaan, mengambil keputusan dan membuat kebijakan terkait
keberadaan sektor informal.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam karya ilmiah ini adalah karya
ilmiah yang sudah ada sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian.
Tinjauan pustaka berupa hasil referensi dari hasil penelitian dalam bentuk buku,
skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan karya ilmiah lainnya. Referensi di kutip dengan
merujuk pada penulis. Tinjauan pustaka ini membahas mengenai konsep-konsep
dalam topik penelitian ini. Secara ringkas misalnya konsep sektor informal,
konsep pedagang kaki lima (PKL), konsep strategi bertahan pelaku sektor
informal dan konsep migrasi.
Konsep Sektor Informal
Definisi Sektor Informal
Sektor informal merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja
dalam jumlah yang relatif besar, terutama masyarakat kelas bawah dan
berpendidikan rendah. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Hart
(1971) dalam Wirosardjono ( 1985) dengan menggambarkan sektor informal
sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi.
Selain itu bisa dikatakan dengan istilah lain bahwa sektor informal merupakan
jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit dicacah, dan sering
dilupakan dalam sensus resmi, serta merupakan kesempatan kerja yang
persyaratan kerjanya jarang dijangkau oleh aturan-aturan hukum (Digdoyo dan
Priyono 2011). Sektor informal dikategorikan sebagai sektor yang harus
dikembangkan sebagai lapangan pekerjaan yang yang sesuai untuk masyarakat
Indonesia. Sektor informal diperkotaan tidak terlepas dari migrasi sirkuler dan
pemukiman kumuh diperkotaan. Sektor informal merupakan sektor yang sangat
potensial untuk dikembangkan dalam meningkatkan perekonomian dan
pertumbuhan ekonomi daerah.
Salah satu ciri sektor informal menurut Wirosardjono (1985) bahwa sektor
informal umumnya mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dan dari lingkungan
hubungan keluarga, kenalan atau daerah yang sama. Selaras dengan
penggambaran sektor informal menurut ILO, sektor informal tidak menuntut
ketrampilan yang berasal dari pendidikan formal. Di sisi lain, dengan usaha di
sektor informal yang digeluti oleh para migran, dapat menghasilkan pendapatan
jauh lebih besar dibandingkan mereka bekerja di sektor formal yang sesuai
dengan pendidikan mereka (Seftiani 2007). Mengutip dari Gerry (1987)
karakteristik sektor informal adalah mudah dimasuki, ketergantungan pada
sumberdaya lokal sangat tinggi, kepemilikan oleh keluarga, skala usaha/skala
ekonomi kecil, metode produksi: padat karya dan menggunakan teknologi yang
telah disesuaikan dengan kondisi lokal, keterampilan yang dibutuhkan tidak harus
didapatkan dari sekolah formal dan pasar relatif cukup bersaing dan tidak diatur
oleh pemerintah.

6

Tabel 1 Karakteristik dari dua sektor ekonomi
Karakteristik

Sektor Formal

Sektor Informal

1. Teknologi

Capital Intensive

Labour Intensive

2. Organisasi

Birokratis

Hubungan

3. Modal

Berlebih

kekeluargaan

4. Jam kerja

Teratur

Sedikit

5. Upah

Normal:teratur

Tidak teratur

6. Kesediaan

Berkualitas

Tidak teratur

7. Harga

Harga pas

Tidak berkualitas

8. Kredit

Dari Bank atau Institusi yang

Cenderung bisa dinegoisasikan

sama dengan Bank

Pribadi, dan bukan bank

9. Keuntungan

Tinggi

10. Hubungan dengan Klien

Secara formal

Secara pribadi

12. Pemberitaan/Advertising

Besar

Kecil (dapat diabaikan)

13. Pemanfaatan barang-

Penting

Kurang penting

14. Modal tambahan

Tidak berguna

Berguna

15. Perangkat pemerintahan

Indispensible

Dispensible

16. Ketergantungan terhadap

Besar

Hampir tidak ada

dunia luar

Besar: Khususnya

Rendah

11. Biaya tetap

barang bekas

Hampir tidak ada atau kecil

untuk orientasi ekspor
Sumber: Santos (1979) dalam Gerry (1987)

Berdasarkan definisi sektor informal yang diberikan oleh beberapa ahli,
maka dapat disimpulkan bahwa sektor informal adalah salah satu aktivitas
ekonomi yang membutuhkan modal relatif kecil, tenaga kerja berasal dari
keluarga, mudah dimasuki, dan merupakan pasar yang tidak terorganisasi. Sektor
informal harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat dalam
meningkatkan perekonomian Indonesia. Selain itu, sektor informal wajib
dipertimbangkan dalam perencanaan pembangunan agar dapat merancang
pembangunan yang sesuai dengan keadaan masyarakat. Pembangunan yang sesuai
dengan kondisi masyarakat akan mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat
dan akan menjadi pembangunan yang berpihak pada rakyat. Sektor formal jelas
berbeda dengan sektor informal (lihat tabel 1). Sektor formal memiliki aturanaturan yang jelas dan teratur sehingga terlihat lebih rapi dan mendukung
perekonomian.

7

Pelaku Sektor Informal
Sektor informal sebagai salah satu alternatif lapangan kerja yang mampu
menyerap tenaga kerja relatif besar menyebabkan sektor informal menjadi daya
tarik bagi manusia usia produktif. Luasnya kesempatan kerja di sektor informal di
kota merupakan faktor utama daya tarik migran ke kota. Segmen ekonomi yang
dapat memberikan peluang untuk tetap eksis diperkotaan yang cukup tinggi,
merupakan faktor dominan yang mempengaruhi sikap migran untuk tetap
bertahan di kota. Digdoyo dan Priyono (2011) mengatakan bahwa pesatnya
pertumbuhan penduduk di Jakarta umumnya disebabkan oleh migrasi, dan hal itu
akan melahirkan suatu masyarakat kota yang sangat kompleks menurut ukuran
suku, budaya, pekerjaan serta kelompok-kelompok sosial. Oleh karena itu arus
migrasi penduduk ke kota menyebabkan terjadinya dinamika perkembangan
masyarakat. Salah satu fenomena dari perkembangan kota besar seperti Jakarta
adalah tingkat perkembangan penduduk yang cukup ketat, terjadinya ketimpangan
ekonomi, munculnya kelompok organisasi massa dengan berbagai kepentingan.
Prilaku masyarakat yang terbuka menerima orang baru/pendatang kemungkinan
besar menjadi salah satu penyebabnya. Migran dengan mudah mendapatkan
tempat tinggal di suatu wilayah karena tersedia rumah-rumah penduduk asli yang
disewakan. Dengan kata lain, migran yang telah lebih dulu datang memiliki
peranan penting dalam mendatangkan migran-migran baru.
Sejak zaman Ravenstein telah muncul teori-teori dan tipologi gerak
penduduk sebagai hasil usaha para ahli yang memberi perhatian terhadap bidang
ini. Teori yang paling populer diantaranya adalah teori dorong-tarik (push-pull
theory), sekalipun teori ini tidak bebas juga dari kritikan. Menurut teori dorongtarik alasan meninggalkan daerah asal dapat dipandang sebagai faktor-faktor
pendorong, sementara alasan-alasan memilih daerah tujuan dipandang sebagai
faktor penarik. Suatu kerangka teori yang lebih luas mengenai migrasi dapat
dilihat dalam karya Lee yang mengembangkan sejumlah hipotesa berkenaan
dengan volume migrasi, stream dan counterstream, serta karakteristik para
migran. Lee berpendapat bahwa dalam tiap tindakan migrasi baik yang jarak
dekat maupun jarak yang jauh senantiasa terlibat faktor-faktor yang berhubungan
dengan daerah asal, daerah tujuan, pribadi dan rintangan-rintangan antara. Di tiap
daerah ada tiga set faktor-faktor yaitu:
1. Faktor-faktor yang bertindak untuk mengikat orang dalam suatu daerah atau
memikat orang terhadap daerah itu, yang disebut sebagai faktor minus (-)
2. Faktor-faktor yang cenderung untuk menolak mereka, merupakan faktor plus
(+)
3. Faktor-faktor yang pada dasarnya indefferen, tak punya pengaruh menolak atau
mengikat (Rusli 1995).
Kegiatan Sektor Informal yang Sah sebagai Sumber Penghasilan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hart (1971) di Ghana,
kegiatan sektor informal yang sah sebagai sumber penghasilan dapat
dikategorikan sebagai berikut:
a.
Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder-pertanian, perkebunan yang
berorientasi pasar, kontraktor bangunan dan kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengannya, pengrajin usaha sendiri, pembuat sepatu, penjahit,
pengusaha bir dan alkohol.

8

b.

c.

d.

e.

Usaha tersier dengan modal yang relatif besar-perumahan, transportasi,
usaha-usaha untuk kepentingan umum, spekulasi barang-barang dagangan,
kegiatan sewa-menyewa.
Distribusi kecil-kecilan-pedagang pasar, pedagang kelontong, pedagang
kaki lima, pengusaha makanan jadi, pelayan bar, pengangkut barang, agen
atas komisi, dan penyalur.
Jasa yang lain-pemusik (ngamen), pengusaha binatu, penyemir sepatu,
tukang cukur, pembuang sampah, juru potret, pekerja reparasi kendaraan
maupun reparasi lainnya, makelar dan perantara (sistem maigida di pasar,
pengadilan dan sebagainya)2
Transaksi pribadi-arus uang dan barang pemberian maupun semacamnya:
pinjam-meminjam: pengemis (Wirosardjono 1985).

Kegiatan sektor informal tersebut adalah kegiatan sektor informal yang
umumnya terjadi di Ghana. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan sektor informal
yang ada di Indonesia, misalnya pedagang kelontong, pedagang kaki lima,
pemulung, pengrajin, supir angkot dan lain-lain. Salah satu kegiatan sektor
informal yang relatif besar dan berkembang adalah pedagang kaki lima (PKL).
Konsep Pedagang Kaki Lima (PKL)
Definisi Pedagang Kaki Lima (PKL)
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah salah satu kegiatan dari sektor
informal yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai cara untuk
pemenuhan kebutuhan individu maupun keluarga. Pedagang Kaki Lima (PKL)
merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai jiwa kewirausahaan yang
tinggi dan mampu bersaing di tengah persaingan perekonomian kota. PKL
bukanlah sektor yang membebani pemerintah sehingga PKL seharusnya tidak
dimarjinalkan oleh peraturan-peraturan yang berlaku (Rahayu 2010). PKL adalah
salah satu bentuk kewirausahaan yang mandiri sehingga diperlukan ruang untuk
para PKL agar bisa melangsungkan kehidupannya. Salah satu masalah yang
paling sering muncul adalah kegiatan informal di bidang perdagangan, yaitu
kegiatan pedagang kaki lima (PKL) adalah PKL sering sekali dikonotasikan
sebagai penyebab dari masalah ketidaktertiban di perkotaan.
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta tahun 2002 menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan pedagang kaki lima adalah perorangan atau pedagang
yang di dalam kegiatan usahanya melakukan penjualan barang-barang tertentu
yang tidak memiliki tempat dan bangunan sendiri yang umumnya memakai
tempat-tempat/fasilitas untuk kepentingan umum serta tempat lain yang bukan
miliknya. Menurut BPS (2003), usaha kaki lima adalah bagian dari usaha sektor
informal (mencakup seluruh sektor ekonomi yang ada seperti sektor perdagangan,
jasa dan industri) yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen
dengan prasarana yang terbatas dan pengoperasian usahanya menggunakan bagian
jalan, trotoar, taman, jalur hijau yang merupakan fasilitas umum dan

2

Lihat Polli Hill, “Landlords and Brokers”, dalam Markets and Marketing in Africa (Edinburgh
1996). Hal 1-14 dalam Manning dan Effendi ( 1985)

9

peruntukkannya bukan sebagai tempat usaha atau tempat lain yang bukan
miliknya, kecuali pada lokasi resmi (BPS 2003 dan Perda 5/1978 Bab I pasal 1).3
Pedagang kaki lima juga diungkapkan sebagai pedagang eceran yang
menjual langsung ke konsumen akhir sehingga jaringan usahanya terpusat pada
upaya memperoleh barang dagangannya. Sebagai pedagang yang menjual
langsung dagangannya ke konsumen akhir, jaringan usaha pedagang kaki lima
terpusat pada upaya memperoleh barang dagangannya. Barang-barang yang
didapatkan oleh pedagang kaki lima ada yang langsung dari produsen, dari
pemasok, dari toko pengecer, dan dari pedagang kaki lima lainnya. Ikatan yang
dimiliki pedagang kaki lima dengan pemberi barang ada yang bersifat bebas dan
ada pula yang terikat berupa hubungan kerja (Chandrakirana dan Sadoko 1994
dalam Anggraini 2007). PKL di Indonesia dapat dikatakan sudah sangat banyak
dan hampir tersebar di seluruh sudut kota. Hampir di setiap jalur hijau dapat
ditemukan pedagang kaki lima. Pedagang Kaki Lima bukannya ingin membuat
jalanan kota atau menentang pemerintah akan tetapi kota merupakan pusat
keramaian dimana mereka bisa menghasilkan penjualan yang tinggi sehingga
menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga maupun individu.
Penggunaan Tata Ruang Pedagang Kaki Lima (PKL)
Sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh sering dianggap
mengganggu ketertiban umum, akan tetapi sektor ini memiliki peranan penting
dalam menunjang kehidupan ekonomi masyarakat kota. Penyerapan tenaga kerja
sektor informal pada masyarakat pemukiman kumuh lebih tinggi dibandingkan
sektor informal secara umum, yakni 94 persen berbanding 72.5 persen (Apsari
2005). Penggunaan tata ruang yang tidak tertib oleh PKL menyebabkan mereka
selalu menjadi sasaran aparat dalam ketertiban jalan raya atau fasilitas umum
lainnya. Penggusuran menjadi hal biasa yang dialami oleh para PKL. Penggusuran
yang sering dialami oleh para PKL tidak membuat mereka jera dan bahkan selalu
bertambah. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bertahannya para PKL di
suatu kawasan karena mereka mempunyai alasan-alasan tersendiri yaitu 1)
tempatnya ramai sehingga banyak pembeli; 2) kondisinya lebih menguntungkan;
3) banyak teman yang berjualan ditempat ini; 4) pernah berjualan ditempat lain
tapi sering ditangkap juga; 5) ada tempat untuk mengumpet; 6) belum ada tempat
yang lebih strategis atau seramai dibanding tempat yang sekarang ini; dan 7) dekat
dengan tempat tinggal (Rahayu 2010).
Lokasi merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dalam memasuki sektor informal, misalnya berdagang.
Banyak penelitian mengenai sektor informal menyebutkan bahwa sektor ini
biasanya berlokasi di tempat-tempat strategis (Nilakusmawati 2009). Lokasi
berdagang PKL sering terkait dengan sektor formal yang ada di sekitarnya.
Beberapa jenis usaha yang termasuk sektor informal kota Jakarta di isi oleh
pedagang kaki lima. Hampir setiap ruas jalan di Jakarta dihiasi oleh para
pedagang kaki lima. Kebanyakan dari para pedagang berasal dari luar Jakarta dan
mayoritas tidak memiliki tempat tinggal tetap di Jakarta (kontrak). Para pelaku
sektor informal tersebut banyak yang sudah tergabung di sepanjang ruas jalan
3

Badan Pusat Statistik. 2003. http://www.bps.co.id
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perpasaran swasta di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
http://www.dprin.go.id/otda/regulasi/DKI2.htm

10

selama bertahun-tahun. Setiap pedagang seperti telah memiliki lahan yang paten.
Di sisi lain, para pelaku sektor informal seperti PKL terkadang diperlakukan
semena-mena oleh aparat yang berwenang karena mereka dipihak yang lemah dan
tidak mempunyai ijin resmi. Seringkali mereka dikenakan pungutan-pungutan liar
dari oknum aparat yang bertugas (Seftiani 2007). Untuk itu, perlu adanya
ketegasan di mana tempat pedagang kaki lima boleh berdagang. Selama ini, PKL
berada dimana-mana terutama memenuhi jalur pedestrian yang seolah-olah
dibebaskan padahal hal tersebut melanggar hak para pejalan kaki. Hal tersebut
sebagai akibat kurangnya kontrol dari pemerintah daerah terhadap penggunaan
dan batas yang jelas mengenai lokasi yang dapat dimanfaatkan oleh para PKL.
Penggunaan ruang oleh PKL sering sekali dirasakan merugikan
masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50 persen PKL
menggunakan badan jalan dan trotoar sebagai area untuk melaksanakan aktivitas
berjualan. Hal ini memudahkan pengunjung untuk mendapatkan barang dagangan
kebutuhan sehari-hari tanpa meninggalkan kendaraan jauh. Sekitar 30 persen PKL
menggunakan area hijau sebagai area untuk melaksanakan akti