Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja penyuluh keluarga berencana dan dampaknya pada kinerja kader KB di tiga kabupaten/kota di provinsi Jawa Barat

(1)

PADA KINERJA KADER KB DI TIGA KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI JAWA BARAT

DYAH RETNA PUSPITA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Keluarga Berencana dan Dampaknya pada Kinerja Kader KB di Tiga Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pihak Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2011

Dyah Retna Puspita NIM. P061040071


(3)

iii

Good performance of family planning extension agents have an impact on performance improvement of volunteer’s performance in helping family to plan their future, especially planning in a number and space of children they better to have. This study were to analyse factors affecting the family planning extension agent’s performance and its impact to the volunteer’s performance in helping them. These data were taken from the extension workers’s perspective. Another purposed was to analyse factors influencing the volunteer’s performance which data were taken from theirselves. A number of 165 family planning extension agents and 165 volunteers from the Disrict of Bogor, District of Cianjur and Depok Residence of West Java Province were participated in this study. LISREL program with “SEM” was used in analyzing data. The results showed that the family planning extension agents’s performance was influenced significantly by competence and environment and nonsignificantly by their work motivation. The indicators of competence were their ability in leadership and professionalism, while the indicators of environtment were social environtment and the support of local government. The total impact of them was 64 percent. Their performance impacted directly to the volunteer’s performance with 70 percent. While from the volunteer’s perspective, their performance were influenced by their work motivation and the family planning extension agents. The indicators of their work motivation were the support of achievement and affiliation, while the indicators of the family planning extension agent were their support to the volunteer and the support from many stakeholders. The total impact of them was 17 percent and the remaining 83 percent reprecent other influences outside of this study. To increase the family planning extension agent’s performance can be done by providing special training to improve their capability in leadership and professionalism and increasing their social environment and local government’s support in family planning. This condition will increase the volunteer’s performance. Another factors of this was provide more real status, especially in term of recognition of their rights to have fair reward system.

Key words: family planning extension agents, family planning volunteers, performance


(4)

iv

RINGKASAN

DYAH RETNA PUSPITA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Keluarga Berencana dan Dampaknya pada Kinerja Kader KB di Tiga Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh AMRI JAHI, DJOKO SUSANTO, PANG S. ASNGARI, dan I GUSTI PUTU PURNABA

Program Keluarga Berencana (KB) bertujuan menciptakan keluarga berkualitas. Diberlakukannya desentralisasi program Keluarga Berencana mulai tahun 2001 pada awalnya disikapi dengan “setengah hati” oleh sebagian besar kabupaten/kota. Hal ini tampak dari kebijakan penggabungan lembaga KB dengan urusan lain yang sejenis serta pengurangan tenaga penyuluh, anggaran, sarana dan prasarana. Akibatnya, penyuluhan KB terbengkalai. Akibat selanjutnya adalah membengkaknya jumlah penduduk, terutama di kalangan keluarga miskin. Dampaknya adalah menurunnya kualitas hidup keluarga dan masyarakat.

Pelaksana penyuluhan dan pelayanan KB (non-medis) adalah para Penyuluh KB (PKB) yang dibantu para Kader KB sebagai tenaga sukarela. Keduanya menempati posisi strategis untuk mendorong perubahan perilaku ber-KB masyarakat, khususnya Pasangan Usia Subur (PUS). Untuk itulah, kinerja mereka perlu dijaga dan ditingkatkan. Karena kinerja ditentukan banyak faktor, maka perlu dikaji faktor-faktor yang memengaruhinya.

Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kota Depok adalah tiga wilayah di Provinsi Jawa Barat yang selama tahun 2000-2007 tingkat kesertaan ber-KBnya rendah (hampir selalu lebih rendah dari angka provinsi). Hal ini berdampak pada kecenderungan tingginya tingkat kelahiran di kalangan perempuan usia subur. Hal ini secara langsung dan tidak langsung memunculkan berbagai persoalan seperti gizi buruk dan Drop out sekolah anak, penelantaran anak hingga kekerasan dalam rumah tangga yang akan menurunkan kualitas keluarga dan masyarakat. Untuk itulah, penelitian ini bertujuan: (1) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB dalam melaksanakan tugas penyuluhan KB, (2) mengaji pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB, dan (3) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB.

Populasi penelitian ini adalah seluruh PKB di tiga wilayah tersebut yang berjumlah 408 orang. Dengan rumus Slovin dan tingkat kesalahan sebesar 6 persen, diperoleh contoh sebesar 165 orang yang diambil secara acak proporsional. Populasi pendukungnya adalah Kader KB yang diambil satu orang secara acak dari mereka yang memenuhi kriteria: (1) telah membantu responden PKB minimal tiga tahun terakhir dan (2) sudah menikah dan mempunyai anak minimal dua. Dengan demikian, jumlah contoh Kader juga sebanyak 165 orang.

Pengumpulan data dan informasi dilakukan pada bulan Agustus- Oktober 2009 melalui survei dengan menggunakan kuesioner. Validitas instrumen diuji melalui penilaian tiga orang pakar, sedangkan uji reliabilitasnya dilakukan terhadap 20 orang PKB dan 10 orang Kader KB di Kota Bogor. Analisis data menggunakan Structural Equation Model (SEM) dengan program Lisrel.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama, dari sudut pandang PKB, faktor-faktor yang memengaruhi kinerja mereka adalah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB. Kompetensi diwakili oleh indikator kemampuan kepemimpinan dan profesionalisme; motivasi diwakili oleh indikator dorongan


(5)

v

koefisien sebesar 0,30 dan 0,50, sedangkan pengaruh motivasi kerja bersifat tidak nyata dengan koefisien sebesar 0,10. Pengaruh bersama ketiga peubah tersebut adalah sebesar 64 persen. Artinya, pengaruh peubah lain yang tidak diteliti adalah sebesar 36 persen.

Kedua, dari sudut pandang PKB, kinerja Kader KB dipengaruhi secara nyata dan langsung oleh kinerja PKB dengan koefisien sebesar 0,70. Kinerja Kader juga dipengaruhi secara nyata dan tidak langsung oleh motivasi, kompetensi dan lingkungan PKB. Pengaruh bersama peubah-peubah tersebut adalah sebesar 49 persen.

Ketiga, dari sudut pandang Kader KB, faktor-faktor yang memengaruhi kinerja mereka adalah motivasi Kader dan kinerja PKB dengan koefisien sebesar 0,24 dan 0,29. Pengaruh keduanya bersifat nyata pada α = 0,05. Motivasi Kader diwakili oleh indikator dorongan berprestasi dan berafiliasi dan kinerja PKB diwakili oleh indikator pemotivasian kader dan penggalangan dukungan berbagai pihak. Pengaruh bersama kedua peubah ini adalah sebesar 17 persen.

Atas dasar temuan tersebut, maka upaya meningkatkan kinerja PKB adalah dengan: (1) meningkatkan pemahaman para pembuat kebijakan penyuluhan KB di Kabupaten/Kota baik eksekutif maupun legislatif tentang permasalahan, tantangan dan hambatan program KB di wilayah mereka agar mampu membuat kebijakan yang “pro KB”, (2) meningkatkan kompetensi PKB dalam hal kepemimpinan dan profesionalisme, dan 3) menggiatkan kembali peran para tokoh masyarakat untuk menyosialisasikan program KB dan menggerakkan masyarakat agar menerapkan perilaku ber-KB.

Untuk meningkatkan kinerja Kader KB, para pembuat kebijakan penyuluhan KB di Kabupaten/Kota baik eksekutif maupun legislatif perlu meningkatkan pemberikan pengakuan/recognition yang lebih memadai dan mendorong PKB agar lebih giat memotivasi mereka dan menggalang dukungan dari berbagai pihak.


(6)

vi

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

vii

PADA KINERJA KADER KB DI TIGA KABUPATEN/KOTA

DI PROVINSI JAWA BARAT

DYAH RETNA PUSPITA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar Doktor pada

Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

viii

Judul Disertasi : Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Keluarga Berencana dan Dampaknya pada Kinerja Kader KB di Tiga Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Nama : Dyah Retna Puspita

NIM : P061040071

Program Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc.

Ketua Anggota

Prof. (R). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM.

.

Prof. Dr. Pang S. Asngari,

Anggota Anggota

Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA.

Diketahui

Koordinator Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah


(9)

ix

sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul: “Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Keluarga Berencana dan Dampaknya pada Kinerja Kader KB di Tiga Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat” ini dipilih dengan harapan peneliti dapat berkontribusi meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat, khususnya keluarga miskin dalam upaya mewujudkan keluarga dan masyarakat berkualitas.

Atas terselesainya proses disertasi ini, peneliti mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

(1) Orangtua tercinta (Alm. Bapak H.B. Soesasi bin Sudir Suromihardjo dan Ibu Kustinah binti Sanar Reksodiwiryo) yang telah menanamkan bekal nilai-nilai luhur melalui prinsip peneladanan kepada peneliti dan semua putri/putra mereka beserta para cucu dan cicit disertai doa yang tak pernah terputus agar kami semua menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.

(2) Dua orang belahan hati peneliti yakni suami (Drs. Tri Bangun Laksono) dan anak (ananda Rizkyan Adi Pradana/Ian) yang selalu mendampingi, mendorong, menguatkan dan menegarkan hati peneliti terutama dalam menghadapi “episode hidup” yang terkadang “menegangkan.”

(3) Komisi Pembimbing yakni Bapak Dr. Ir. Amri Jahi, M.Sc selaku Ketua serta Bapak Prof. (R.) Ign. Djoko Susanto, SKM, Bapak Prof. Dr. Pang S. Asngari dan Bapak Dr. Ir. I Gusti Putu Purnaba, DEA selaku Anggota yang telah memberikan dedikasi yang tinggi selama proses pembimbingan.

(4) Bapak Dr. Ir. Basita G. Sugihen, MS dan Ibu Dr. Ir. Suprihatin Guhardja, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah memberikan pertanyaan dan masukan yang sangat berharga pada Ujian Tertutup hari Rabu, 24 November 2010. (5) Bapak Prof. Dr. H.R. Margono Slamet dan Bapak Prof. Dr. Haryono Suyono,

MA, Ph. D selaku Penguji Luar Komisi yang memberikan pertanyaan dan masukan sangat berharga pada Ujian Terbuka hari Rabu, 12 Januari 2011. (6) Para responden PKB dan Kader KB di wilayah penelitian yang telah

memberikan data dan informasi berharga yang menjadi “bahan dasar” penelitian serta para pejabat Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga


(10)

x

Berencana (BPPKB), Badan Diklat KB Wilayah Bogor, Dinas Kesehatan dan BPS yang telah memberikan data dan informasi pendukung.

(7) Para pakar uji kuesioner yang telah membantu “menggodog” kuesioner penelitian agar siap digunakan.

(8) Para dosen Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan – FEMA IPB yang telah mengantarkan peneliti menemukan topik penelitian yang sesuai dengan latar belakang pendidikan, minat dan harapan masa depan peneliti. (9) Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana

IPB, Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB dan Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan FEMA IPB beserta seluruh staf administrasi yang telah memberikan ijin sekolah dan memfasilitasi kebutuhan akademik selama peneliti kuliah di IPB.

(10) Rektor Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed dan Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Unsoed atas ijin sekolah yang diberikan. (11) Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) atas kesempatan mendapat beasiswa

empat semester dan mengikuti program Sandwich selama 3,5 bulan di Universiti Putra Malaysia (UPM) bulan November 2008 – Februari 2009. (12) Para sahabat satu angkatan dan “adik-adik” angkatan yang selalu

menyemangati dan memberikan bantuan teknis dan spiritual.

(13) Semua pihak yang telah ikut berjasa dalam proses penelitian disertasi ini. Semoga amal kebaikan semua pihak di atas dibalas Alloh Swt. Semoga pula disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan kemaslahatan umat manusia. Amin.

Bogor, April 2011 Dyah Retna Puspita


(11)

xi

Peneliti lahir di Banjarnegara - Jawa Tengah pada tanggal 26 Juli 1964 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara (dua orang meninggal) dari pasangan Alm. Bapak B. Soesasi bin Sudir Suromiharjo dan Ibu Kustinah binti Sanar Reksodiwiryo. Pada tahun 1989 saat peneliti berumur 24 tahun, peneliti menikah dengan Drs. Tri Bangun Laksono yang saat itu berumur 25 tahun. Alhamdulillah kami dikaruniai satu anak laki-laki yakni Rizkyan Adi Pradana (Ian) yang lahir dua tahun setelah perkawinan kami (tahun 1991).

Peneliti menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Kelas 1 sampai 2 di Banjarnegara. Tahun 1972 peneliti mengikuti kepindahan orangtua ke Purbalingga – Jawa Tengah dan melanjutkan studi jenjang SD hingga SLTA di kota ini. Tahun 1982 peneliti diterima kuliah di Jurusan Ilmu Administrasi Negara – FISIP Universitas Diponegoro (Undip). Setelah lulus, tahun 1988 peneliti mulai bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan profesi sebagai dosen di Jurusan Administrasi Negara FISIP Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto hingga sekarang.

Tahun 1996 peneliti melanjutkan studi S2 di Program Kajian Wanita – Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) hingga tahun 2000. Setelah lulus dan kembali aktif menjalankan tugas lagi di Unsoed, tahun 2001 peneliti diangkat menjadi Kepala Pusat Penelitian Wanita (Puslitwan) – Lembaga Penelitian Unsoed hingga tahun 2004. Setelah selesai masa tugas tersebut, pada tahun itu pula peneliti melanjutkan studi ke program Doktor Ilmu Penyuluhan Pembangunan IPB.

Dari disertasi ini dihasilkan dua buah artikel berjudul ”Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Penyuluh Keluarga Berencana dan Dampaknya pada Kinerja Kader KB” dan “Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader Keluarga Berencana di Tiga kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat” yang akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu Penyuluhan IPB dan Jurnal “Visi Publik” Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP Unsoed.


(12)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ...

xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

PENDAHULUAN …….………... 1

Latar Belakang ………... 1

Masalah Penelitian ... 6

Tujuan Penelitian ... 9

Manfaat Penelitian ... 9

Definisi Istilah ... 10

TINJAUAN PUSTAKA... 13

Konsep Kinerja... 13

Pengertian Kinerja ... 13

Penilaian Kinerja ... 14

Cara Menilai Kinerja ... 15

Ringkasan... 17

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja ... Kompetensi ... 17 19 Motivasi Kerja ... 22

Lingkungan ... 24

Keluarga sebagai Wahana Pengembangan Sumberdaya Manusia... Ringkasan ... Penyuluhan ... Pengertian Penyuluhan ... Falsafah Penyuluhan... Metode Penyuluhan ... Penyuluhan sebagai Bentuk Pendidikan Orang Dewasa (POD)... 28 31 32 32 33 34 35 Peran Penyuluh dalam Proses Penyuluhan ... 40

Ringkasan... 41

Program KB ... 42

Pengertian Keluarga Berencana ... 42

Program KB di Beberapa Negara ... 43

Program KB di Indonesia ... 46

Ringkasan ... 47

Penyuluhan Keluarga Berencana ... 48

Pengertian Penyuluhan KB ... 48

Pentingnya Penyuluhan KB ... 52

Ringkasan ... 61


(13)

xiii

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS... 70 Kerangka Berpikir ... 70 Hipotesis Penelitian ...

75

METODE PENELITIAN ... 76 Populasi dan Sampel ... 76 Populasi ... Sampel ... Disain Penelitian ...

76 76 77 Data dan Instrumentasi ... 82 Data ... Instrumentasi ... Validitas Instrumen ... Reliabilitas Instrumen ... Pengumpulan Data ...

82 83 83 84 84 Analisis Data... 85

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 86 Hasil Penelitian ... 86 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja PKB dan Dampak-

nya pada Kinerja Kader KB (Pandangan PKB)... 86 Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja dan Lingkungan

pada Kinerja PKB ... 89 Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja, Lingkungan dan

Kinerja PKB ada Kinerja Kader KB ... Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandang- an Kader KB) ... Pengaruh Motivasi Kerja Kader KB dan Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB ... Pembahasan ... Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja KB (Pandangan PKB) Pengaruh Kompetensi pada Kinerja PKB ... Pengaruh Motivasi Kerja pada Kinerja PKB ... Pengaruh Lingkungan pada Kinerja PKB ... Pengaruh Bersama Kompetensi, Motivasi Kerja dan Ling- kungan ada Kinerja PKB ... Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandang- an PKB) ... Pengaruh Kinerja PKB pada Kinerja Kader KB ... Pengaruh Kompetensi, Motivasi Kerja dan Lingkungan pada kinerja Kader KB ... Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja Kader KB (Pandang- an Kader KB) ... Pengaruh Motivasi Kerja pada Kinerja Kader KB ...

90 91 94 96 96 96 99 101 108 109 109 111 111 114


(14)

xiv

Pengaruh Kinerja KB pada Kinerja Kader KB ...

Strategi Peningkatan Kinerja PKB dan Kader KB ... Upaya Meningkatkan Kinerja PKB ... Upaya Meningkatkan Kinerja Kader KB ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ... 115

116 116 118

122 122 123

124


(15)

xv

Halaman

1. Persentase peserta KB aktif dibanding PUS (CU/PUS) di tiga

lokasi penelitian tahun 2000-2007 ...

2. Perkembangan TFR di tiga lokasi penelitian tahun 2002-2007... 3. Jumlah sampel PKB tiap kabupaten/kota ...

4. Jumlah sampel tiap kabupaten/kota untuk seluruh unit analisis ...

5. Rancangan pengujian model penelitian kinerja PKB dan Kader KB...

6. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural kinerja PKB ...

7. Peubah dan sub peubah model persamaan struktural kinerja Kader KB..

8. Koefisien dan t-hitung pengaruh peubah kompetensi, motivasi kerja dan lingkungan PKB pada kinerja PKB...

9. Koefisien dan t-hitung pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB... 10. Koefisien dan t-hitung pengaruh motivasi kerja kader KB dan kinerja PKB pada kinerja Kader KB ...

7

8

77

77

80

81

82

89

91


(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Bagan pengembangan perubahan perilaku ber-KB menurut model

logika ……….……..………... 71

2. Kerangka hubungan antar-peubah kinerja PKB ……..…………..….... 73

3. Kerangka hubungan antar-peubah kinerja Kader KB ……..………….. 74

4. Kerangka hubungan komprehensif antar-peubah penelitian …..……... 74

5. Estimasi parameter model struktural kinerja PKB dan dampaknya pada kinerja Kader KB ...

6. Estimasi parameter dan statistik t-hitung model struktural kinerja PKB yang dibakukan (Standardized) ... ... 7. Estimasi parameter model struktural kinerja Kader KB ...

87

88

92

8. Estimasi parameter dan statistik t-hitung model struktural kinerja Kader KB yang dibakukan (Standardized)

9. Strategi komprehensif peningkatan kinerja PKB dan Kader KB...

93


(17)

xvii

Halaman 1. Definisi operasional peubah-peubah penelitian dari sudut pandang

PKB ...

2. Definisi operasional peubah-peubah penelitian dari sudut pandang Kader KB ...

3. Output Lisrel parameter model struktural kinerja PKB ... 4. Kuesioner untuk responden PKB...

5. Output Lisrel parameter model struktural kinerja Kader KB ... 6. Kuesioner untuk responden Kader KB...

140

143

147

160

177


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan keluarga adalah upaya mewujudkan keluarga berkualitas dalam lingkungan yang sehat. Pembangunan ini perlu diprioritaskan karena keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang menjadi landasan dasar suatu masyarakat. Keluarga juga mempunyai sejumlah fungsi strategis yang tidak dapat digantikan oleh lembaga manapun. Terbentuknya keluarga berkualitas akan melahirkan masyarakat dan bangsa yang berkualitas.

Salah satu upaya mewujudkan keluarga berkualitas adalah melalui program keluarga berencana (KB). Undang-undang (UU) Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menyebutkan bahwa “keluarga berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas.”

Visi Program KB Nasional saat ini adalah terwujudnya “Keluarga Berkualitas 2015.” Adapun misinya sebagaimana tertuang dalam Renstra Program KB Nasional tahun 2005-2009 adalah: “Membangun setiap keluarga Indonesia untuk memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga,

serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB” (BKKBN, 2006a)

.

Sejumlah bukti menunjukkan manfaat pelaksanaan program KB. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), bila perempuan bisa mengatur kehamilannya, angka kematian ibu akan berkurang hingga sepertiganya. Ibu berkesempatan mengembangkan potensi dirinya dan anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena perhatian dan nutrisinya cukup (BKKBN online, 19 April 2009). Program KB berkontribusi meningkatkan gizi ibu dan anak, mutu tenaga kerja, produktivitas, partisipasi sekolah, tingkat pendidikan tinggi, tabungan pribadi dan umum. Program KB menurunkan konsumsi, biaya


(19)

kesehatan reproduksi dan pendidikan. Program KB juga berperan dalam mengatasi perangkap kemiskinan (proverty trap) (Sugiri Syarief, 19 Juni 2009). Wakil Presiden yakin, jika pelaksanaan program keluarga berencana (KB) gagal, akan mengakibatkan ledakan jumlah penduduk yang akhirnya dapat menimbulkan masalah sosial seperti keterbatasan lapangan kerja, kemiskinan, keterbatasan pangan dan meningkatnya pengangguran (BKKBN online, 27 Februari 2010).

Selain untuk kesehatan ibu, anak dan kesejahteraan keluarga, menurut Menko Ekuin, KB juga menciptakan kondisi positif bagi pembangunan nasional dan daerah. Pertumbuhan ekonomi tidak akan berjalan jika tidak didukung SDM yang memadai. Sebaliknya, pembangunan kualitas SDM tidak akan tercapai tanpa dukungan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dan pembangunan kualitas sumberdaya manusia akan sulit terlaksana jika jumlah penduduk tidak terkendali (Progresif Jaya, 11 Maret 2007).

Kajian Saleh di Jawa Timur (2005)

Perkembangan penduduk yang tidak terkendali juga dapat memunculkan permasalahan lingkungan hidup. Di satu sisi pertambahan penduduk dunia terus terjadi, di sisi lain adanya keterbatasan sumberdaya tanah, air, hutan dan perikanan (Population Matters, 2000). Pesatnya pertumbuhan penduduk juga meningkatkan “produksi”/timbunan sampah yang dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan benar. Kasus puluhan orang meninggal di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah Bandung adalah salah satu buktinya. Kondisi ini tidak saja dapat terjadi di kota-kota besar, melainkan juga kota-kota sedang dan bahkan

kota kecil seperti Kota Cimahi (Harian Pikiran Rakyat, 03 Agustus 2009).

menunjukkan bahwa program KB berperan dalam mengurangi kemiskinan. Kajian Ascobat Gani di DKI Jakarta menunjukkan bahwa selama tahun 1990-2000, program KB telah berhasil menyegah kelahiran penduduk sebanyak 1.818.270 jiwa. Dari hal ini, Pemerintah DKI dapat menghemat Rp2,59 triliun untuk biaya pendidikan dasar dan Rp3,3 triliun untuk biaya kesehatan dasar (Kesrepro.info, 30 September 2007).

Pada akhirnya, jika jumlah penduduk dapat dikendalikan akan berdampak positif bagi dunia sebagaimana yang diharapkan dari kesepakatan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/MDGs). Sekjen PBB Khofi Anan (2002) menyatakan, MDGs, terutama pengentasan kemiskinan dan


(20)

3

kelaparan, tidak dapat dicapai jika masalah kependudukan dan kesehatan reproduksi tidak ditangani dengan baik. Ini berarti diperlukan upaya yang lebih keras untuk meningkatkan hak azasi perempuan, investasi pendidikan dan KB. Dengan berbagai manfaat tersebut, sudah seharusnya program KB menjadi prioritas Pemerintah.

Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah, program KB mengalami perubahan paradigma. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, program KB tidak lagi dilaksanakan sentralistik di bawah koordinasi BKKBN, melainkan didesentralisasikan kepada daerah. Jadi, Kabupaten/Kota memiliki kemandirian dalam menangani masalah KB, termasuk urusan anggaran dan personilnya.

Pada awal pelaksanaan desentralisasi tahun 2004, sebagian besar kabupaten/kota menunjukkan komitmen rendah. Hal ini tampak dari bentuk kelembagaannya yang digabung dengan badan/dinas/kantor yang dianggap sejenis. Bentuk kelembagaan dari 331 kabupaten/kota yang sudah dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah) dan 81 kabupaten/kota dalam bentuk SK Bupati/Walikota adalah sebagai berikut: (1) Dinas utuh sebanyak 31 kabupaten/kota, (2) Dinas merger sebanyak 151 kabupaten/kota), (3) Dinas insert (yang diintegrasikan ke Dinas lain) sebanyak 8 kabupaten/kota, (4) Badan utuh sebanyak 52 kabupaten/kota, (5) Badan merger sebanyak 91 kabupaten/kota dan (6) Kantor utuh sebanyak 46 kabupaten/kota. Dalam hal ini, Provinsi jawa Barat termasuk ke dalam bentuk Dinas merger (BKKBN, 2006a).

Kondisi lain yang terjadi di era desentralisasi KB adalah berkurangnya banyak penyuluh KB, baik karena beralih tugas menjadi pejabat struktural di tingkat kabupaten/kota/kecamatan, menjadi tenaga administrasi maupun karena

pensiun. Menurut Kepala BKKBN, saat ini jumlah petugas lapangan KB sekitar

24.500 orang. Padahal idealnya, setiap desa mempunyai dua petugas lapangan KB (Antara News, 29 Januari 2010).

Berbagai kondisi di atas menyebabkan terbengkalainya aktivitas penyuluhan KB. Dampaknya adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk dengan pesat. Tahun 2006 laju pertambahan penduduk mencapai 1,6 persen per


(21)

tahun. Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan, karena berarti setiap tahun terdapat kelahiran 3-4 juta bayi. Untuk itulah Presiden sudah memberikan sinyal “lampu kuning” (Antara News, 10 November 2006). Kepala BKKBN memerkirakan tahun 2008-2014 akan terjadi ledakan kelahiran bayi (baby boom) tahap kedua, setelah yang pertama terjadi tahun 1970-an. Penyebabnya, saat ini kondisi keluarga Indonesia sedang mengalami masa produktif yang ditandai dengan proses kelahiran. Dengan meledaknya kaum usia muda (20-30 tahun), dapat diprediksi angka kelahiran juga akan meledak (BKKBN online, 29 Agustus 2008).

Menurut hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun (Wikipedia, 3 Desember 2010). Jumlah ini bertambah 32,5 jiwa sejak tahun 2000. Hal ini berarti setiap bulannya bertambah 270.833 jiwa, setiap harinya bertambah sebesar 9.027 jiwa, setiap jam bertambah 377 jiwa dan setiap detik bertambah 1,04 (1-2 jiwa) (Burton, 17 Agustus 2010).

Sebagian dari keluarga yang memiliki anak banyak tersebut adalah mereka yang kurang mampu dan tinggal di pedesaan. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dari seorang perempuan usia produktif (Total Fertility Rate/TFR)

turun menjadi 2,6, namun TFR di pedesaan masih lebih tinggi dibandingkan di

perkotaan yakni 2,8 berbanding 2,3 (BPS et al., 2008). Pemantauan Peserta KB

Aktif Melalui Mini Survei di Indonesia Tahun 2004 (BKKBN – Puslitbang KB dan Kesehatan Reproduksi, 2004) juga menunjukkan pemakaian alat/cara KB lebih banyak dijumpai pada wanita dengan tahapan keluarga KS 2 ke atas daripada wanita dari keluarga miskin (Pra KS dan KS 1).

Hasil SDKI tahun 2007 juga menyatakan bahwa 50,4 persen kalangan suami masih menginginkan mempunyai lebih dari dua anak. Adapun pada pasangan yang memiliki tiga anak hidup, hanya 78,9 persen laki-laki (suami) yang menyatakan tidak ingin menambah anak lagi (BKKBN online, 30 Maret 2009).

Berbagai kondisi di atas terjadi karena rendahnya tingkat pengetahuan PUS tentang KB dan Kesehatan Reproduksi (KR). Menurut Kepala BKKBN, 70 persen pasangan keluarga muda usia di atas 20 tahun tidak mengenal KB


(22)

5

(BKKBN online. 9 November 2010). Beberapa penelitian (antara lain Utsman,

2002; Triyono dan Uminastiti, 2002; Siti Amanah et al., 2009) memerkuat hal ini. Terbengkalainya penyuluhan KB ikut berdampak pada masih tingginya AKB dan AKI. Menurut Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, rata-rata AKB pada periode 2003-2007 relatif stagnan di kisaran 34 per 1.000 kelahiran, padahal target MDGs pada tahun 2015 adalah 19 per 1.000 kelahiran (Ibubayi.com. 21 April 2010). Untuk AKI, tahun 2007 angkanya masih 228/100.000 kelahiran hidup, padahal targetnya adalah 102 per 100.000 kelahiran hidup (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K, 26 Maret 2010).

Semakin banyak anak terutama di kalangan keluarga miskin akan menurunkan kualitas keluarga dan pada akhirnya menurunkan kualitas masyarakat dan bangsa. Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Index/HDI Report 2006), menurut Kepala BKKBN (2007), Indonesia hanya menempati urutan ke-108 dari 177 negara yang dikaji. Berbagai

kondisi ini dikhawatirkan akan melahirkan sebuahgenerasi yang hilang” (lost of

generations), yakni sebuah generasi yang tidak mampu berkontribusi dan hanya menjadi beban bagi bangsa dan negara.

Pelaksana penyuluhan dan pelayanan KB (non-medis) adalah para Penyuluh KB (PKB). Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berstatus tenaga fungsional yang bertugas membina satu atau lebih desa. Saat ini, tidak sedikit dari mereka yang bertambah jumlah desa binaannya disebabkan berkurangnya jumlah PKB akibat pindah ke jalur struktural maupun pensiun.

Dalam menjalankan tugas, mereka dibantu secara sukarela oleh para Kader KB yang merupakan penduduk setempat. Dengan kedekatan tempat tinggal ini, diharapkan Kader lebih mampu memotivasi dan menggerakkan PUS agar secara sadar mau dan mampu menerapkan perilaku ber-KB. Untuk lebih memercepat proses perubahan perilaku ini, para Kader diharapkan dapat memberikan contoh/teladan. Di sisi lain, dengan sifat pekerjaannya yang sukarela, mereka rentan drop out/DO. Untuk itulah, PKB dituntut mampu membina dan memotivasi mereka agar tidak DO dan tetap memiliki kinerja yang baik.


(23)

Tugas penyuluhan KB semakin berat seiring menurunnya dukungan media massa dalam menginformasikan KB. Jika tahun 2002/2003, terdapat 52,0 persen perempuan pernah kawin yang dalam waktu satu bulan sebelum wawancara pernah mendengar/melihat pesan KB dari radio/ TV/ koran/ majalah/ poster/ pamphlet, maka pada SDKI 2007 angkanya menurun menjadi hanya 33,3 persen

(BKKBN online, 30 Maret 2009). Tantangan lainnya adalah tingkat pengetahuan

para tokoh agama tentang KB yang masih belum mendalam (BKKBN online, 17

Februari 2008).

Berbagai kondisi di atas diduga akan memengaruhi kinerja PKB dan Kader KB. Untuk itulah, kinerja mereka perlu dikaji, terutama terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhinya. Hal ini disebabkan kinerja seorang pegawai sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya antara lain adalah karakteristik individu, motivasi internal dan kompetensi. Faktor eksternalnya adalah kondisi lingkungan di luar mereka yang dapat berupa lingkungan fisik, sosial (dukungan masyarakat), lembaga/organisasi tempat PKB bekerja serta dukungan Pemerintah kabupaten/kota.

Beberapa penelitian (antara lain Nurhayani, 2007; Iswari et al., 2009; Alfikri, 2009) telah mengaji faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB. Namun demikian, semua penelitian tersebut tidak melanjutkan kajiannya pada dampak kinerja PKB pada kinerja Kader KB. Padahal, adanya keterkaitan tersebut perlu dikaji dampaknya, agar dapat diketahui efektivitas model penyuluhannya.

Masalah Penelitian

Kinerja merupakan gambaran tingkat pencapaian pelaksanaan kegiatan pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Semakin tinggi kinerja pegawai, semakin tinggi pula tingkat pencapaian tujuan organisasinya. Bagi organisasi publik yang lebih berorientasi pada pelayanan masyarakat, kajian kinerja sangat diperlukan sebagai proses evaluasi agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

Seiring dengan diterapkannya paradigma pelayanan publik di bidang KB yang bersifat desentralistik, maka perlu dan penting untuk dikaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja penyuluh KB beserta dampaknya pada kinerja


(24)

7

Kader KB sebagai pihak yang membantu penyuluhan. Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, perlu dikaji pula faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB.

Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang menurut data Sensus Penduduk tahun 1971, 1980, 1990 dan 2000 serta Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995 memiliki laju pertumbuhan penduduk selalu lebih tinggi dari angka nasional (BPS, 2002). Meskipun Angka Fertilitas Totalnya tidak selalu lebih tinggi dari angka nasional, akan tetapi selalu lebih tinggi dibandingkan angka provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa (BPS, 2002).

Angka persentase peserta KB aktif dibanding PUS (Current User per PUS atau CU/PUS) rata-rata di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2000-2007 berkisar antara 72,30 – 74,67 persen. Di antara 26 kabupaten/kota yang ada di wilayah tersebut, tiga kabupaten yang selalu memiliki persentase di bawah angka tersebut adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kota Depok (kecuali Kota Depok pada tahun 2005), sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase peserta KB aktif dibanding PUS (CU/PUS) di tiga lokasi penelitian tahun 2000-2007

Kabupaten/Kota Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Kab. Bogor 68,76 66,48 68,88 68,83 71,42 68,20 72,92 70,90

2. Kab. Cianjur 68,81 70,73 69,63 67,11 70,79 68,30 70,46 68,28

3. Kota Depok *) 72,56 70,93 71,51 71,81 72,46 72,12 72,88

Prov. Jawa Barat 72,30 73,30 72,80 72,51 72,56 72,18 73,59 74,67

Sumber: Laporan Bulanan Pengendalian Lapangan (F/1/Kab/Dal) BKKBN Provinsi Jawa Barat, 2007

Keterangan: *) tidak ada data

Dampak langsung dari rendahnya kesertaan ber-KB dapat dilihat dari rata-rata laju kesuburan perempuan (total fertility rate/TFR). Di Provinsi Jawa Barat selama tahun 2001-2007, angkanya berkisar antara 2,15 hingga 2,52 dan sejak tahun 2005 selalu menurun. Untuk kabupaten Bogor, angkanya selalu sama atau lebih tinggi dari angka Provinsi. Untuk kabupaten Cianjur, pada awalnya angkanya selalu lebih tinggi, namun mulai tahun 2004 sudah mulai selalu di


(25)

bawah angka Provinsi. Sebaliknya, untuk Kota Depok, jika pada awalnya selalu di bawah angka Provinsi, namun sejak 2006 angkanya lebih tinggi dari Provinsi. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan TFR di tiga lokasi penelitian tahun 2001-2007

Kabupaten/Kota

Tahun

SUSENAS SUSEDA

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

1. Kab. Bogor 2,43 2,20 2,18 3,09 2,89 2,69 2,51

2. Kab. Cianjur 2,53 2,35 2,20 2,04 2,10 2,07 2,25

3. Kota Depok 2,04 2,00 1,88 2,30 2,45 2,42 2,35

Prov. Jawa Barat 2,21 2,20 2,15 2,52 2,53 2,39 2,30

Sumber: Data diolah (SUSEDA dan Hasil Pendataan Keluarga)

Kondisi tersebut secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada aspek-aspek lainnya seperti tingkat DO pada anak, kasus kekurangan gizi, kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. Pada gilirannya, hal ini dapat menurunkan kualitas keluarga dan masyarakat.

Rendahnya perilaku ber-KB dapat disebabkan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal/lingkungan. Faktor internalnya antara lain tingkat pendidikan (terutama perempuan), tingkat pengetahuan tentang KB, kondisi sosial ekonomi keluarga, relasi suami-istri serta pemahaman tentang agama dan sistem nilai sosial masyarakat. Adapun faktor eksternalnya antara lain ketersediaan alat/obat/metode kontrasepsi yang dapat diakses keluarga miskin, jarak antara rumah dengan fasilitas kesehatan dan ketersediaan tenaga medis.

Faktor eksternal lainnya yang ikut menentukan adalah efektivitas program penyuluhan KB. Dalam hal ini, pihak yang memiliki posisi penting dan strategis adalah para penyuluh KB beserta para Kader yang membantu mereka. Semakin baik kinerja mereka, semakin baik pula proses perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan para PUS (terutama dari keluarga miskin) tentang KB, sehingga dapat dicegah lahirnya keluarga yang tidak berkualitas. Dengan demikian, kinerja mereka harus terus dijaga dan ditingkatkan.


(26)

9

Kinerja juga dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Untuk itu, penelitian ini bermaksud mengaji faktor-faktor pengaruh tersebut, agar dapat diketahui upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kinerja mereka. Adapun rumusan pertanyaan penelitiannya adalah: (1) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kinerja PKB dalam melaksanakan

tugas penyuluhan KB?

(2) Bagaimana pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB?

(3) Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi kinerja Kader KB dalam membantu

tugas PKB?

Tujuan Penelitian

Kinerja PKB sangat berperan dalam menjaga dan meningkatkan kinerja Kader KB. Kinerja mereka yang tinggi diharapkan akan memeercepat terjadinya perubahan perilaku ber-KB PUS, terutama keluarga miskin. Mengingat kinerja ditentukan oleh banyak faktor, maka penelitian ini bertujuan untuk:

(1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja PKB dalam melaksanakan tugas penyuluhan KB.

(2) Mengaji pengaruh kinerja PKB pada kinerja Kader KB.

(3) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja Kader KB dalam membantu tugas PKB.

Manfaat Penelitian

(1) Manfaat dari aspek teoritis:

(1.1) Memerkuat bangunan teori kinerja dalam konteks penyuluhan KB.

(1.2) Memerkaya hasil penelitian tentang kinerja yang digali melalui teknik penilaian diri (self-assessment).

(2) Manfaat praktis :

(2.1) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan Pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan komitmen pelaksanaan program


(27)

KB melalui peningkatan kinerja PKB dan Kader KB guna memercepat terjadinya perubahan perilaku ber-KB masyarakat.

(2.2) Teknik ”self-assessment” (menilai diri sendiri) yang digunakan

diharapkan mampu menumbuhkan otokritik bagi responden untuk memerbaiki dan meningkatkan aspek-aspek kerja yang dianggap masih lemah agar dapat menjalankan tugas penyuluhan dengan baik. Dengan terbatasnya anggaran pelatihan dan pendidikan (diklat), teknik ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi evaluasi kinerja pegawai.

Definisi Istilah

Definisi istilah adalah penjelasan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk membatasi lingkup maknanya serta memudahkan pengukurannya. Penelitian ini menggunakan dua sudut pandang yakni dari sisi PKB dan Kader KB. Dilihat dari responden PKB, yang dimaksud PKB adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berstatus tenaga fungsional yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan kegiatan penyuluhan dan pelayanan KB. Berikut ini dijelaskan definisi istilah atas peubah-peubah yang digunakan dari sudut pandang PKB yakni:

X11

X

Kompetensi PKB adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki PKB

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yang mencakup 11 aspek yakni:

kemampuan aksi sosial, apresiasi keragaman budaya, penyusunan program penyuluhan, pemanfaatan sumberdaya lokal, pengelolaan informasi, relasi interpersonal, penyelenggaraan penyuluhan, kepemimpinan, pengelolaan organisasi, profesionalisme dan bidang keahlian selaku penyuluh KB. 12

X

Motivasi PKB adalah dorongan yang berasal dari diri PKB itu sendiri

dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya, yang mencakup empat aspek yakni: dorongan berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mendapatkan kekuasaan/pengaruh.

13 Lingkungan PKB adalah serangkaian kondisi di luar diri PKB yang dapat


(28)

11

lingkungan sosial, lingkungan organisasi PKB, lembaga diklat dan dukungan politik Pemerintah Kabupaten/Kota.

Y11

Y

Kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas

selaku penyuluh KB sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan yakni dalam hal: pelaksanaan aksi sosial, pengapresiasian keragaman budaya, penyusunan program penyuluhan, pemanfaatan sumberdaya lokal, pengelolaan informasi, relasi interpersonal, penyelenggaraan penyuluhan, kepemimpinan, pengelolaan organisasi, profesionalisme dan pelaksanaan di bidang keahlian.

12

Selanjutnya, yang dimaksud Kader KB dalam penelitian ini adalah warga setempat yang secara sukarela membantu pelaksanaan tugas responden PKB dengan kriteria aktif membantu responden PKB minimal tiga tahun hingga saat berlangsungnya penelitian, telah menikah dan mempunyai anak minimal dua orang. Berikut ini dijelaskan peubah-peubah yang digunakan untuk mengukur kinerja Kader KB dari pandangan Kader KB itu sendiri yaitu:

Kinerja Kader KB adalah tingkat keberhasilan anggota masyarakat yang secara sukarela membantu mereka menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB di tingkat Dusun/RW/RT menurut pandangan/penilaian PKB. Indikatornya adalah tingkat keberhasilan dalam: memberikan KIE/konseling KB, membentuk dan mengembangkan “3 Bina” (Bina Keluarga Balita/BKB, Bina Keluarga Remaja/BKR dan Bina Keluarga Lansia/BKL), melakukan pendataan dan memberikan peneladanan dalam menerapkan nilai-nilai KB.

X21

X

Kompetensi Kader KB adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki Kader KB dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, mencakup: konseling KB, upaya mendorong pembentukan dan pengembangan tiga kelompok binaan (“3 Bina” yang mencakup Bina Keluarga Balita/BKB, Bina Keluarga Remaja/BKR dan Bina Keluarga Lansia/BKL) dan pendataan Keluarga Sejahtera (KS).

22 Motivasi Kader KB adalah dorongan yang berasal dari diri Kader KB

dalam upaya melaksanakan tugas dan fungsinya, mencakup: dorongan untuk berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan


(29)

berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mendapatkan kekuasaan/pengaruh.

X23

X

Lingkungan Kader KB adalah serangkaian kondisi di luar diri Kader KB yang diduga ikut memengaruhi pelaksanaan kerja mereka, mencakup: lingkungan fisik, lingkungan sosial dan dukungan pemerintah kabupaten/kota.

24

Y

Kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan PKB dalam menjalankan tugas

mereka selaku penyuluh dan pembina Kader KB menurut

pandangan/penilaian Kader KB, mencakup: pemotivasian Kader KB, pemberian KIE terhadap calon akseptor dan penggalangan dukungan dari kalangan tokoh agama dan masyarakat.

21 Kinerja Kader KB adalah tingkat keberhasilan anggota masyarakat yang

secara sukarela membantu PKB menjalankan tugas penyuluhan dan pelayanan KB di tingkat Dusun/RW/RT, mencakup: pemberian KIE/konseling KB, pembentukan dan pengembangan “3 Bina,” pendataan dan peneladanan dalam menerapkan KB.


(30)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Kinerja Pengertian Kinerja

Kata kinerja merupakan terjemahan dari kata performance yang dalam

bahasa Indonesia seringkali juga diterjemahkan dengan unjuk kerja, hasil karya,

pelaksanaan kerja maupun hasil pelaksanaan kerja. Beach (Putti, 1990)

menyebutkan kinerja adalah: “a systematic evaluation on an individual employee regarding his/her performance on his/her job and his/her potentials for development.” Jadi, kinerja adalah penilaian sistematis atas diri pegawai terkait dengan prestasinya dan potensinya yang dapat dikembangkan. Belows (Putti, 1990) mengemukakan definisi senada, dengan menambahkan bahwa penilaian tersebut dilakukan oleh pihak atasan atau pihak lain yang diberi tugas melakukan penilaian. Dikemukakannya, kinerja adalah : “evaluation on the value of an individual employee for his/her organization conducted by his/her superior or by someone in position to evaluate his/her performance.”

Menurut Amstrong dan Baron (1998:15), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang berhubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Menurut Bernadin dan Russell (Sulistiyani dan Rosidah, 2003:223), kinerja merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Hasibuan (2001:34) menyatakan, kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.

Gibson, et al., (1996:70) menyebutkan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari

perilaku dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Dalam penelitian ini, kinerja PKB adalah tingkat keberhasilan mereka dalam menjalankan tugas penyuluh KB sesuai dengan kemampuan yang dibutuhkan.


(31)

Penilaian Kinerja

Blanchard dan Spencer (1982) menjelaskan bahwa, penilaian prestasi kerja atau kinerja merupakan proses organisasi yang mengevaluasi karyawan terhadap pekerjaannya. Esensinya, supervisor dan karyawan secara formal melakukan evaluasi terus menerus. Kebanyakan mereka mengacu pada prestasi kerja sebelumnya dan mengevaluasi untuk mengetahui apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ketika kinerja atau prestasi kerja tidak memenuhi syarat, maka manajer atau supervisor harus mengambil tindakan, demikian juga apabila prestasi kerjanya bagus maka perilakunya perlu dipertahankan.

Penilaian kinerja dilaksanakan dengan beberapa tujuan. Menurut Ruky (2006:20-21), tujuannya adalah: (1) meningkatkan prestasi kerja seseorang dengan memberikan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dalam kerangka pencapaian tujuan, (2) merangsang minat dalam pengembangan pribadi agar meningkatkan hasil karya dan prestasi serta potensi laten dengan cara memberikan umpan balik tentang prestasi yang bersangkutan, (3) membantu menyusun program pengembangan dan pelatihan yang lebih tepat guna, dan (4) sebagai pertimbangan obyektif dalam sistem penghargaan (reward -punishment).

Melakukan penilaian kinerja akan bemanfaat untuk memperoleh umpan balik atas kinerja, identifikasi kekuatan dan kelemahan individu, penghargaan, dan evaluasi pencapaian tujuan (Kreitner dan Kinicki, 2001:300), memberikan informasi sebagai pertimbangan untuk promosi dan penetapan gaji dan memberikan peluang bagi atasan dan bawahan untuk meninjau perilaku yang berhubungan dengan kerja bawahan (Dessler, 1997:2-3), dan membantu menilai perkembangan seorang dalam melaksanakan tugasnya (Mckirchy, 2004:10).

Penilaian kinerja juga bermanfaat untuk: (1) penyesuaian dalam kompensasi, (2) perbaikan kinerja, (3) kebutuhan latihan dan pengembangan, (4) pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian, dan perencanaan tenaga kerja, dan (5) membantu diagnosis terhadap kesalahan dalam disain pegawai (Sulistiyani dan Rosidah, 2003:225). Dalam konteks organisasi, penilaian kinerja juga sangat membantu pimpinan mengambil langkah perbaikan program-program kepegawaian yang telah dibuat maupun program-program organisasi secara menyeluruh (Ruky, 2006:22-23).


(32)

15

Dalam upaya pengembangan sumberdaya manusia, menurut Ruky (2006:22-23) beberapa manfaat penilaian kinerja terutama dalam: (1) penyusunan program pelatihan dan pengembangan karyawan; karena dengan penilaian kinerja akan teridentifikasi pelatihan tambahan yang masih diperlukan untuk membantu tercapai standar prestasi yang ditetapkan, (2) penyusunan program suksesi dan kaderisasi; karena dengan catatan (record) kinerja dapat mengetahui potensi untuk dikembangkan kariernya, dan (3) pembinaan karyawan; karena dengan penilaian kinerja dapat diketahui hambatan-hambatan untuk meningkatkan prestasinya. Dalam konteks perilaku, penilaian kinerja membantu mengidentifikasi faktor yang membentuk pola perilaku yang menjadi ciri individu, sehingga berguna untuk mengomunikasikan ikhwal mengapa individu berperilaku dan bertindak dengan cara-cara tertentu (Hersey dan Blanchard, 1982:10).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja sangat dibutuhkan tidak saja bagi pengembangan organisasi, melainkan juga bagi individu yang bersangkutan. Bagi organisasi publik, kinerja pegawai yang tinggi di samping meningkatkan kinerja organisasi, juga meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Jadi, penilaian terhadap kinerja Penyuluh KB dan Kader KB diharapkan akan mendorong peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat (khususnya pada pasangan usia subur/PUS) untuk berperilaku KB menuju terwujudnya keluarga berkualitas.

Cara Menilai Kinerja

Penilaian kinerja dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan atau kriteria. Putti (1990:41-59) memilah metode penilaian kinerja berdasarkan konsep Input–Process–Output. Metode penilaian berorientasi input disebut person centered approach. Metode ini bersifat individual yang menekankan pada penilaian ciri-ciri atau karakteristik kepribadian seperti; kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut bukanlah sebagai prestasi,

tetapi lebih tepat disebut persyaratan atau karakteristik yang harus dipenuhi oleh

seseorang agar mereka mampu atau akan melaksanakan tugas-tugasnya dengan tepat, benar, dan sempurna sehingga akhirnya mempunyai prestasi yang bagus.


(33)

Pada metode yang memfokuskan penilaiannya pada proses (disebut job centered approach), yang menjadi tolok ukurnya adalah tanggung jawab dan

persyaratan. Prestasi diukur dengan cara menilai sikap dan perilaku serta

tanggung jawabnya. Dengan kata lain, penilaian masih tetap difokuskan langsung pada kuantitas dan kualitas hasil yang dicapainya. Jadi cara ini merupakan

pergeseran fokus penilaian dari input ke proses. Adapun cara yang ketiga yaitu

yang berbasis pencapaian hasil individu (result oriented performance), yang memfokuskan pada hasil yang diperoleh atau dicapai (output).

Menurut Ainsworth et al., (2002:15) pengukuran kinerja menggunakan

skala dua faktor, yakni skala hasil dan skala usaha, di mana ukuran ini

memfokuskan pada: (1) produktivitas; yang mempertimbangkan ukuran seperti volume dan hasil kerja, (2) biaya; yang diperlukan bagi manusia, pemrosesan, dan bahan mentah, (3) mutu; yaitu hasil yang dapat diterima, kedekatan dengan spesifikasi, tingkat apkiran (produk yang tidak mendekati standar), dan standar yang terpenuhi, (4) kepuasan pelanggan, apakah ditemukan keluhan atau pujian, dan tingkat kepuasan, dan (5) tenggat waktu, mencapai tenggat waktu dan jadwal yang disepakati.

Menurut Klinger dan Nalbandian (1985:229), fokus penilaian kinerja dapat dikelompokkan menjadi tiga yakni: (1) penilaian berdasarkan hasil akhir (result-based performance), yakni penilaian yang didasarkan pada pencapaian tujuan atau hasil akhir (end result); (2) penilaian berdasarkan perilaku (behavior-based performance), yang memfokuskan pada sarana (means) dan sasaran (goals), bukan pada hasil akhir; dan (3) penilaian berdasarkan pendapat (judgment based performance), yang melakukan penilaian dengan menggunakan peringkat penilaian: sangat bagus – sangat tidak bagus (rating method) dan pengurutan: dari paling baik – paling buruk (ranking method).

Menurut K-State Cooperative Extension Service (Khalil et al., 2008),

ukuran kinerja bagi penyuluh dapat dicapai melalui dimensi: (1) kualitas kerja, (2) kuantitas kerja, (3) keterikatan pada jadwal kerja, (4) alokasi kerja, (5) sikap dan ketenangan, dan (6) kepuasan organisasi dan pelanggan. Terziovski dan Dean (Khalil et al,. 2008) menyatakan bahwa peningkatan/pengembangan kualitas kerja mengacu pada dimensi yang paling efektif dalam memengaruhi kinerja pegawai.


(34)

17

Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek input-proses-output ataupun dari aspek hasil dan usaha. Dalam penyuluhan publik, penilaiannya relatif lebih sulit, karena harus mencakup berbagai aspek, baik kualitas maupun kuantitas pelayanan.

Ringkasan

Kinerja adalah tingkat keberhasilan pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kinerja menjadi cermin tingkat mana hasil kerja pegawai sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Penilaian kinerja menjadi bahan pertimbangan bagi organisasi untuk memberikan penghargaan maupun sanksi (reward-punishment), pembinaan, serta menetapkan standar/patokan perilaku. Adapun bagi pegawai, akan memberikan umpan balik dalam upaya penyempurnaan tugas. Penilaian kinerja dapat dilakukan dari aspek sikap dan perilaku, input-proses-output, ataupun skala hasil dan usaha. Dalam penyuluhan publik, penilaiannya relatif lebih sulit, karena mencakup berbagai aspek, baik kualitas maupun kuantitas pelayanan.

Faktor-faktor yang Memengarui Kinerja

Keberhasilan pelaksanaan tugas pegawai sangat ditentukan oleh banyak

faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Menurut Ainswort et al.,

(2002:4), kinerja adalah fungsi dari kemampuan dan motivasi. Artinya, kinerja adalah hasil akhir dari kemampuan dan keinginan seseorang. Jadi, model kinerja adalah: P (performance) = f (A(ability), M(otivation)).

Menurut Robbins (1996), kinerja tidak saja ditentukan oleh kedua faktor tersebut, melainkan juga oleh kesempatan (opportunity). Jadi, kinerja adalah fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), atau kinerja = ƒ (A, M, O). Kesempatan merujuk pada tiadanya rintangan-rintangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menghambat. Untuk itu, kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok orang untuk melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.


(35)

Senada dengan pendapat di atas, Sulistiyani dan Rosidah (2003:223) menyebutkan bahwa kinerja adalah kombinasi kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Lorsch dan Laurence (Wibowo, 2007:75) menyatakan bahwa kinerja adalah fungsi dari atribut individu, organisasi dan lingkungan, sehingga dirumuskan sebagai: kinerja = f (atribut individu, organisasi, lingkungan).

Hersey dan Blanchard (1982:53) merumuskan tujuh faktor yang memengaruhi kinerja yang dirumuskan dengan akronim ”ACHIEVE”, yakni: pengetahuan dan keterampilan (Ability), pemahaman atau persepsi (Clarity), dukungan organisasi (Help), motivasi atau kemauan (Incentive), bimbingan dan umpan balik kinerja (Evaluation), validitas (legal personal practice), dan dukungan lingkungan (environment fit).

Atmosoeprapto (2001:65) merinci beberapa aspek yang berhubungan dengan kinerja, antara lain: kemampuan (competence) merupakan fungsi dari

pengetahuan dan keterampilan. Commitment adalah pengaruh atas confidence dan

motivation. Confidence ialah rasa keyakinan diri seseorang mampu melakukan tugas dengan baik tanpa banyak diawasi. Adapun motivation adalah minat atau antusias seseorang untuk melakukan suatu tugas dengan baik. Ainsworth et al., (2002:17) lebih jauh menguraikan bahwa kinerja ditentukan beberapa faktor

yakni: kejelasan peran (role clarity), kompetensi (competence), lingkungan

(environment), nilai-nilai (values), kecenderungan (preferences), dan penghargaan (reward), yang dirumuskan: P = (Rc, C, E, V, Pf, Rw).

Gibson et al., (1996:70) menyebutkan bahwa faktor pengaruh kinerja individu: (1) faktor individu: kemampuan, keterampilan, latar belakang keluarga, pengalaman kerja, tingkat sosial dan demografi, (2) faktor psikologis: persepsi, peran, sikap, kepribadian, motivasi, dan kepuasan kerja, dan (3) faktor organisasi: struktur organisasi, desain pekerjaan, kepemimpinan, dan sistem penghargaan.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dirangkum bahwa kinerja dipengaruhi oleh faktor inernal berupa kompetensi kerja dan motivasi kerja serta faktor luar berupa lingkungan. Berikut ini ditampilkan teori tersebut.


(36)

19

Kompetensi

Salah satu faktor yang dapat memengaruhi kinerja adalah kompetensi. Menurut Spencer dan Spencer (1993:9), kompetensi merupakan karakteristik/ sifat dasar seseorang yang berhubungan dengan kinerja yang efektif dan atau unggul dalam suatu pekerjaan atau situasi. Jadi, kompetensi adalah bagian dari kepribadian seseorang yang terletak di bagian dalam dan bersifat kekal serta dapat memprediksikan perilaku dalam berbagai situasi dan tugas pekerjaan. Kompetensi mengindikasikan cara berperilaku atau berpikir, menggeneralisasikan berbagai situasi serta berlaku untuk waktu yang lama. Karakteristik kompetensi ini terdiri dari lima tipe yakni: motive (motif), traits (bakat/bawaan), self-concept (konsep diri), knowledge (pengetahuan), dan skill (keterampilan).

Sumardjo (2006) menyebutkan bahwa kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai dengan unjuk kerja yang ditetapkan. Winconsin Cooperative Extension (Maddy, 2002) menyebutkan bahwa kompetensi adalah kuantitas pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang mencukupi untuk menyelesaikan tugas-tugas atau tujuan tertentu. Maddy (2002) yang mengadaptasi North Carolina Cooperative Extension

menyebutkan 11 kompetensi inti dasar yang perlu dimiliki penyuluh yakni: (1)

aksi sosial, (2) apresiasi keragaman budaya, (3) penyusunan program penyuluhan,

(4) pemanfaatan sumberdaya lokal, (5) pengelolaan informasi, (6) relasi

interpersonal, (7) pengetahuan tentang penyuluhan, (8) kepemimpinan, (9)

manajemen organisasi, (10) profesionalisme, dan (11) bidang keahlian.

Kompetensi aksi sosial adalah kemampuan mengidentifikasi dan memantau variabel-variabel dan isu-isu yang penting bagi kekuatan komunitas (misalnya: demografi, ekonomi, pelayanan masyarakat, lingkungan dll) serta kemampuan menggunakan dan menerapkan peubah-peubah ini untuk menentukan prioritas, perencanaan dan pengiriman program. Kompetensi keragaman budaya adalah adanya kesadaran, komitmen dan kemampuan untuk memadukan perbedaan persepsi budaya, asumsi, norma, kepercayaan dan nilai yang saling berbeda. Kompetensi penyusunan program penyuluhan adalah kemampuan


(37)

memertanggungjawabkan dan memasarkan program pendidikan penyuluhan yang signifikan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup kelayan/klien.

Kompetensi pemanfaatan sumberdaya lokal adalah kemampuan menge- nali, memahami dan memfasilitasi kesempatan-kesempatan dan menghubungkan sumberdaya-sumberdaya penting bagi kebutuhan-kebutuhan individu-individu dan komunitas. Kompetensi pengelolaan informasi dan pendidikan adalah penguasaan keterampilan komunikasi (tertulis dan lisan), penerapan teknologi dan pengiriman metode-metode yang mendorong program-program pendidikan dan mengantarkan perilaku.

Kompetensi relasi interpersonal adalah kemampuan berinteraksi dengan berbagai individu dan kelompok yang berbeda untuk menciptakan kemitraan, jejaring dan sistem kemanusiaan yang dinamis. Kompetensi pengetahuan tentang penyuluhan adalah pemahaman tentang sejarah, filosofi dan sifat dasar penyuluhan. Kompetensi kepemimpinan adalah kemampuan memengaruhi secara positif berbagai individu dan kelompok yang luas.

Kompetensi manajemen organisasi merujuk pada kemampuan membentuk/menentukan struktur dan proses organisasi, mengembangkan dan memantau sumberdaya serta memimpin perubahan untuk mencapai hasil-hasil pendidikan secara efektif dan efisien. Kompetensi profesional adalah demonstrasi perilaku yang merefleksikan tingkat kinerja yang tinggi, etika kerja yang kuat dan komitmen untuk meneruskan pendidikan serta mencapai misi, visi dan tujuan penyuluhan. Adapun kompetensi di bidang keahlian adalah kemampuan dalam disiplin ilmu, penelitian, kerangka ilmu, atau keahlian teknis yang mendorong efektivitas individu dan organisasi.

Penyuluhan adalah proses pengubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan menuju ke arah kehidupan yang lebih baik. Di bidang KB, perubahan perilakunya tampak dari keluarga yang memiliki anak ideal, sehat, berpendidikan, sejahtera, berketahanan dan terpenuhi hak-hak reproduksinya melalui pengembangan kebijakan, penyediaan layanan promosi, fasilitasi, perlindungan, informasi kependudukan dan keluarga, serta penguatan kelembagaan dan jejaring KB.


(38)

21

Sebagai pihak yang menjalankan tugas penyuluhan KB, seorang PKB harus memiliki sejumlah kompetensi yang harus terus disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat setempat. Agar memiliki sikap optimis dan percaya diri dalam menghadapi perubahan lingkungan strategis yang terjadi serta berhasil meningkatkan kinerja, baik program maupun organisasi, PLKB (Petugas Lapangan Keluarga Berencana) harus memiliki profil seperti yang tergambar dalam penguasaan dan kemampuan berbagai aspek yakni: (1) aspek wawasan program, (2) aspek manajerial, (3) aspek kemampuan operasional, (4) aspek motivasi kerja, dan (5) aspek kepemimpinan (BKKBN, 2002:7-8).

Kemampuan lainnya yang sangat diperlukan adalah berkomunikasi, yang dalam istilah BKKBN disebut Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE). Menurut Haryono Suyono (2009) yang mantan Kepala BKKBN, dalam menyukseskan program KB, selain pengembangan visi dan misi, perumusan strategi KIE menjadi sesuatu yang sangat urgen. Di bawah kepemimpinannya, pada era 1980 – 1990an, hampir semua penerbitan surat kabar, majalah, buku, dan lain-lain tidak pernah berhenti mewartakan KB. Demikian pula tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas lapangan KB dan kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) yang dibantu para juru penerang. Lambat laun masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal KB

(bahkan anti/menolak), kemudian berbalik mendukung dan ikut

menyukseskannya.

Sebagai salah satu jenis pelayanan publik, pernyuluhan KB harus memerhatikan kualitas pelayanan kepada masyarakat ini. Menurut Djoko Susanto (2004) kualitas pelayanan publik sangat tergantung dari sejauh mana petugas

bersangkutan memiliki dan menguasai ilmu/trick berkaitan dengan tugas

pelayanan yang menjadi tanggung jawabnya, atau dengan kata lain: sejauh mana ia menyadari dan memahami kompetensi yang seyogyanya ia memiliki dan kuasai saat ia melakukan pelayanan itu.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kompetensi dapat dibedakan menjadi kompetensi umum dan kompetensi inti. Kompetensi umum adalah jenis-jenis kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap penyuluh di bidang apapun, sedangkan kompetensi inti adalah jenis-jenis kemampuan yang


(39)

harus dimiliki oleh penyuluh di bidang tersebut. Dengan demikian, untuk kompetensi inti, tiap bidang penyuluhan berbeda.

Berdasarkan telusur teori di atas, maka jenis-jenis kemampuan yang perlu dimiliki Penyuluh KB dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Maddy (2002) yang terdiri dari 11 jenis yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua. Kompetensi ke-1 hingga ke-10 termasuk jenis kompetensi umum yakni: (1) aksi sosial, (2) apresiasi keragaman budaya, (3) penyusunan program penyuluhan, (4) pemanfaatan sumberdaya lokal, (5) pengelolaan informasi (6) relasi interpersonal,

(7) pengetahuan tentang penyuluhan, (8) kepemimpinan, (9) manajemen

organisasi, dan (10) profesionalisme. Kompetensi ke-11 yakni bidang keahlian

adalah kompetensi inti, yakni kompetensi selaku penyuluh KB.

Motivasi Kerja

Faktor lain yang memengaruhi kinerja adalah motivasi kerja. Motivasi berasal dari kata ”motif” atau kebutuhan, merupakan dorongan utama seseorang beraktivitas atau kekuatan dari dalam yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu (Hersey dan Blanchard, 1982). Motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan (Padmowihardjo, 1994:135). Menurut Callahan dan Clark (Mulyasa, 2003:112), motivasi juga berarti tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu.

Motivasi merupakan suatu dorongan yang timbul dari diri seseorang ke suatu arah perilaku yang diawali oleh adanya kebutuhan yang belum terpuaskan, sehingga menimbulkan dorongan untuk mewujudkan keinginannya. Motivasi bisa berasal dari dalam (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) (Robbin, 1996).

Motivasi ekstrinsik adalah rangsangan yang datang dari luar dirinya. Orang akan bekerja keras jika diberi hadiah atau insentif untuk bekerja baik. Di sini motivasi kerja tinggi karena mengharap suatu imbalan dari luar dirinya. Adapun motivasi intrinsik adalah motivasi yang datangnya dari dalam dirinya sendiri. Seseorang bekerja keras karena ia senang melakukan pekerjaan itu dan mengalami kepuasan kerja. Dalam hal ini, insentif terletak pada kepuasan melaksanakan pekerjaan itu sendiri. Orang mengalami kepuasan kerja bila memunyai kebebasan dalam menentukan pekerjaan yang ingin dilakukan dan


(40)

23

dengan cara yang diinginkannya. Demikian pula, peranserta dan pelibatan diri tanpa paksaan akan meningkatkan motivasi kerja.

Seorang pemimpin perlu menumbuhkan motivasi intrinsik dalam diri pekerja, sehingga mendorong pertumbuhan dan perwujudan diri pekerja. Dengan cara ini, pekerja maupun masyarakat pengikut berprestasi lebih baik, produktivitas kerja yang tinggi, kepuasan kerja lebih besar dan lebih berkesempatan mewujudkan diri, yang selanjutnya dapat berprestasi dalam semua peran kehidupan secara lebih efektif (Davis dan Neswtrom, 1985).

Setiap orang cenderung mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Menurut Davis dan Newstrom (1985:87), pola motivasi seseorang merupakan sikap yang memengaruhi cara orang-orang memandang pekerjaan dan menjalani kehidupan mereka. Menurut mereka, terdapat empat pola motivasi yang penting, yakni: pertama, prestasi (achievement motivation); yakni dorongan dalam diri seseorang untuk mengatasi segala tantangan dan hambatan dalam upaya mencapai tujuan. Pekerja yang berorientasi prestasi ditandai oleh bekerja keras dan memiliki kebanggaan pribadi atas prestasi yang dicapai. Bila seorang manajer, ia cenderung mempercayai bawahan, menerima gagasan secara terbuka, menetapkan tujuan yang tinggi, serta mendorong bawahan agar berprestasi. Kedua, afiliasi (affiliation motivation), adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang atas dasar sosial. Ciri pekerja ini adalah bekerja lebih baik bila mendapat pujian, memilih orang-orang

sekeliling mereka, serta membina hubungan baik dalam pekerjaan. Ketiga,

kompetensi (competence motivation), yakni dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan keterampilan pemecahan masalah, dan berusaha keras untuk

inovatif. Keempat, kekuasaan (power motivation), yakni dorongan untuk

memengaruhi orang dan mengubah situasi.

Motivasi kerja seseorang dapat didorong melalui tujuh strategi yakni: (1) membangkitkan harapan, (2) menegakkan disiplin dan sanksi, (3) menimbulkan rasa menyenangkan, (4) memenuhi kebutuhan pegawai, (5) menempatkan pegawai sesuai dengan tujuan, (6) memperbaiki suasana kerja, dan (7) memberi penghargaan berbasis kinerja.


(41)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan yang membuat seseorang mau melakukan sesuatu. Sumbernya dapat berasal dari diri orang tersebut (internal) maupun dari luar diri (eksternal). Dibandingkan dengan motivasi eksternal, motivasi internal lebih sulit ditumbuhkan, karena lebih mengandalkan dorongan yang semata-mata berasal dari dalam diri pekerja itu sendiri, tanpa tergantung faktor luar (insentif, penghargaan dan sebagainya). Oleh karenanya, motivasi inilah yang justru harus lebih ditumbuhkan oleh para pimpinan. Adapun aspek pendorong yang bersifat eksternal lebih dikaji sebagai bagian dari variabel lingkungan. Aspek motivasi yang dilihat adalah: dorongan untuk berprestasi, dorongan meningkatkan kompetensi, dorongan berafiliasi/hubungan sosial dan dorongan mengejar kekuasaan/pengaruh.

Lingkungan

Kemampuan seseorang tidak saja disebabkan oleh potensi yang ada dalam dirinya (faktor internal), tetapi juga oleh faktor di luar dirinya (faktor eksternal/lingkungan). Dalam artian ekologis, lingkungan adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi perikehidupan. Lingkungan juga sebuah sistem yang utuh, kolektivitas dari serangkaian subsistem yang saling berhubungan, saling bergantung dan fungsional satu sama lain, sehingga membentuk suatu kesatuan ekosistem yang utuh (Purba, 2002:13). Lingkungan dapat digolongkan dalam lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan organisasi (Ainsworth et al., 2002:92).

Lingkungan fisik adalah sumberdaya yang tersedia yang dapat memengaruhi kelancaran pekerjaan, seperti: alat, alat bantu teknologi, dan kondisi fisik (Robbins, 1996:86). Dalam kajian tentang kinerja PKB ini, yang dimaksud lingkungan fisik adalah ketersediaan dan kemudahan sarana dan prasarana yang dibutuhkan PKB untuk memerlancar pelaksanaan tugas-tugas mereka. Bentuknya dapat berupa ketersediaan bahan bacaan dan audiovisual dari berbagai media massa, program komputer dan internet serta dari hasil-hasil penelitian, sarana transportasi, sarana komunikasi, alat bantu peraga serta berbagai jenis alat kontrasepsi yang akan ”ditawarkan” kepada masyarakat.


(42)

25

Ketersediaan bahan bacaan dan audiovisual menunjukkan ketersediaan informasi. Menurut Lionberger dan Gwin (1982), informasi dapat berupa: (1) informasi tentang hasil-hasil temuan yang dihasilkan oleh para peneliti (melalui para penyuluh) kepada masyarakat penggunanya, dan (2) umpan balik (baik berupa laporan keberhasilan maupun masalah yang dihadapi) dari penerapan hasil penelitian yang disampaikan masyarakat pengguna (melalui penyuluh kepada peneliti). Semakin banyak informasi yang dapat dipelajari, semakin tinggi pula pengetahuan dan kreativitas yang dihasilkan dari proses belajar tersebut, yang pada gilirannya mampu meningkatkan kinerjanya.

Kinerja penyuluh juga sangat ditentukan oleh ketersediaan sarana transportasi (umum, pribadi maupun milik dinas) dan sarana komunikasi (telepon dan atau hand phone/HP). Terlebih lagi jika wilayah kerjanya luas dan terpencil. Sarana lainnya adalah alat bantu peraga penyuluhan. Semakin lengkap dan beraneka (meskipun sederhana), akan memercepat tingkat penerimaan kelompok sasaran atas materi yang disuluhkan yang pada akhirnya akan memercepat pula tingkat pengadopsiannya. Lingkungan fisik lainnya adalah ketersediaan alat dan obat kontrasepsi (alokon). Berbagai dukungan fisik ini, apabila tersedia secara memadai, akan ikut meningkatkan kinerja penyuluh KB dalam menjalankan tugasnya. Begitupun sebaliknya.

Di samping lingkungan fisik, lingkungan manusia (sosial) pun sangat menentukan kinerja penyuluh. Lingkungan sosial merupakan tempat terjadinya interaksi pada sekelompok orang atau individu yang secara sukarela menempati kawasan tertentu secara relatif permanen. Dalam penelitian ini, lingkungan sosial diartikan sebagai tingkat dukungan dari para tokoh agama, tokoh masyarakat dan para keluarga (khususnya Pasangan Usia Subur/PUS dan remaja yang menjadi sasaran program) terhadap keberadaan program KB dan khususnya para penyuluh KB. Pentingnya dukungan tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut disebabkan nilai-nilai program KB sangat terkait dengan keyakinan masyarakat tentang agama dan budaya yang dianut. Untuk itu, agar inovasi program KB yang ingin disampaikan cepat diterima masyarakat, diperlukan pendekatan terhadap para tokoh agama dan tokoh masyarakat, agar misinya dapat disampaikan melalui ”bahasa agama” dan ”bahasa budaya” sesuai dengan keyakinan mereka.


(43)

Jenis lingkungan lainnya yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh adalah lingkungan organisasi di mana penyuluh bekerja. Hal ini disebabkan keberhasilan tugas-tugas PKB juga sangat ditentukan oleh sejauh mana dukungan organisasi terhadap mereka yang tergambar dalam struktur organisasinya. Menurut Robbins (1996:46), struktur organisasi menetapkan bagaimana tugas akan dibagi, siapa melapor kepada siapa dan mekanisme koordinasi yang formal serta pola interaksi yang akan diikuti. Margono Slamet (2003) juga mengemukakan bahwa struktur organisasi menggambarkan bagaimana organisasi mengatur hubungan antar-orang dan antar-organisasi. Struktur organisasi merupakan keputusan yang diambil oleh organisasi itu sendiri berdasarkan situasi, kondisi dan kebutuhan organisasi. Dengan demikian, dalam penelitian ini peubah struktur organisasi yang dikaji adalah: (1) besaran organisasi, (2) pengawasan, (3) struktur wewenang, (4) struktur komunikasi, (5) pola kepemimpinan, dan (6) sistem “reward and punishment.”

Faktor ekternal lainnya yang dapat menentukan kinerja PKB adalah lembaga yang memberikan pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi PKB. Keberadaan lembaga ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman PKB tentang tugas pokok dan fungsinya, sehingga akan meningkatkan kompetensinya dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerjanya. Diklat bagi PKB dapat diberikan oleh lembaga diklat kabupaten/kota, Balai Diklat KB yang menaungi beberapa kabupaten/kota, maupun Balai Diklat KB tingkat Provinsi.

Simamora (1996:48-49) mengemukakan bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan adalah: (1) memerbaiki kinerja, (2) memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi, (3) mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya menjadi kompeten, (4) membantu memecahkan persoalan operasional, (5) memersiapkan karyawan untuk promosi, dan (6) memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi. Pelatihan dan pengembangan keduanya penting karena merupakan cara yang digunakan organisasi untuk memertahankan, menjaga, memelihara dan meningkatkan keahlian serta kompetensi para pegawai agar produktivitas kerjanya meningkat.


(44)

27

Program pendidikan dan pelatihan (diklat) menjadi semakin penting dan strategis seiring dengan perubahan lingkungan organisasi yang cepat dan semakin kompleks. Namun demikian, seringkali dijumpai sejumlah permasalahan berkaitan dengan pelatihan sebagaimana dikemukakan Rothwell (Departemen Pertanian, 1998) yakni: (1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang diberikan, (2) lemahnya dukungan manajemen, (3) pelatihan kadang tidak direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, dan (4) materi pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Aspek lingkungan lainnya yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh KB adalah dukungan politik/komitmen Pemerintah Kabupaten/Kota. Aspek ini semakin penting dikaji setelah program KB didesentralisasikan ke kabupaten/kota yang membuat lembaga eksekutif dan legislatif menjadi sangat berpengaruh dalam pembuatan kebijakan dan program di daerah. Peran mereka dalam menentukan bentuk kelembagaan, besarnya dana, sarana, fasilitas serta sumberdaya manusia beserta pengembangannya sangat menentukan eksistensi program KB yang akan berdampak pada kinerja PKB.

Fenomena pasca otonomi daerah dan desentralisasi KB menunjukkan bervariasinya tingkat dukungan politik tersebut yang ditunjukkan dari bervariasinya bentuk kelembagaan KB (ada yang berdiri sendiri, namun kebanyakan digabung dengan urusan lain yang dipandang relevan). BKKBN (2006a) menyebutkan adanya enam variasi bentuk kelembagaan yakni: (1) Dinas utuh, (2) Dinas merger, (3) Dinas insert (diintegrasikan ke dalam Dinas lain), (4) Badan utuh, (5) Badan merger, dan (6) Kantor utuh.

Dampak lainnya adalah terjadinya penurunan jumlah petugas lapangan yang menyebabkan banyak PKB yang bertambah wilayah binaannya. Hal ini berarti, bertambah pula beban tugas mereka. Untuk itulah, fenomena ini menarik dan perlu untuk dikaji.

Ringkasan

Kinerja penyuluh ditentukan oleh sejumlah faktor, baik internal berupa kompetensi dan motivasi, maupun aspek eksternal berupa kondisi lingkungan di mana mereka bekerja. Kesemua faktor ini diduga memengaruhi kinerja PKB


(1)

Hasil Notulen Video Conference (VICON) Layanan Informasi Program Pemberdayaan dan Pembelajaran Jarak Jauh bagi PKB/PLKB (VICON LIP4) tanggal 4 Februari 2010 (BKKBN, 2010) juga menekankan sejumlah kemampuan yang perlu dimiliki PLKB/PKB. Kemampuan tersebut adalah: pertama, kemampuan berkomunikasi, antara lain kemampuan: berkomunikasi dalam format wawan-muka (wawancara bertatap muka), kelompok, dan massa; menjelaskan anatomi fisiologi alat-alat reproduksi untuk KRR/PKBR dan alat/obat reproduksi, serta melakukan trik-trik komunikasi dan menerjemahkannya ke dalam program/kegiatan dengan bahasa yang akrab dengan khalayak setempat.

Kedua, kemampuan bekerja dengan data (servis), terdiri dari: kemampuan mengumpulkan, mengolah, menyajikan dan memanfaatkan data kependudukan/keluarga/demograsi dan kesertaan ber-KB, data wilayah dan potensi wilayah, data tokoh masyarakat dan kondisi sosial budaya. Ketiga, kemampuan membangun jaringan/koordinasi (pengendalian program), terdiri dari: kemampuan membangun jaringan dan koordinasi dengan berbagai pihak, mengembangkan jaringan dengan tomas, toga dan LSOM; mengembangkan berbagai institusi Poktan/Kelompok Kegiatan, serta menjadi event organizer (EO) di tingkat akar rumput.

Adanya pengaruh kompetensi pada kinerja penyuluh juga ditemukan dalam beberapa penelitian di bidang pertanian (Teddy Rachmat Muliady, 2009; Lukman Effendy, 2009; dan Supriyanto, 2006). Temuan ini juga sejalan dengan temuan Khalil et al., (2008) di Iran dan Tiraieyari (2009) di Malaysia.

Faktor lain yang dapat memengaruhi kinerja penyuluh adalah faktor eksternal/lingkungan. Penelitian Lukman Effendy (2009) yang mengaji penyuluh pertanian menunjukkan hal tersebut. Adapun ciri karakteristik lingkungan dalam penelitiannya tersebut adalah ketersediaan teknologi lokal dan adanya persepsi positif dari masyarakat atas peran petani pemandu (petandu).

Berbagai temuan tersebut semakin membuktikan bahwa untuk mencapai kinerja yang tinggi, perlu diperhatikan faktor-faktor lain, baik yang berasal dari internal diri penyuluh itu sendiri (seperti karakteristik individu, kompetensi dan motivasi), maupun faktor lingkungan seperti dukungan masyarakat dan dukungan program. Untuk itulah, penelitian ini memfokuskan pada kajian tentang


(2)

faktor-faktor pengaruh kinerja PKB di tiga wilayah di Provinsi Jawa Barat, agar dapat diketahui faktor-faktor yang dipastikan memengaruhi dan perlu ditingkatkan.

Kader KB

Kader KB dikenal juga dengan nama kelompok Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP). Mereka adalah anggota masyarakat yang secara sukarela membantu pelaksanaan program KB. Mereka yang menjalankan tugas di tingkat desa tergabung dalam Pembantu Pembina KB Desa (PPKBD), di tingkat RW dikenal dengan Sub PPKBD dan di tingkat RT dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.

Kader KB lahir beriringan dengan kelahiran program KB. Pada waktu itu – tahun 1970- pendekatan yang digunakan adalah community-basedservice delivery guna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat perdesaan. Pelayanan ulang alat kontrasepsi, mencakup pil dan kondom, dilakukan oleh masyarakat di bawah pengawasan PLKB dan Puskesmas. Tempat pelayanan ulangnya diberi nama Pos KB (Haryono Suyono et al., dalam Herartri, 2008).

Berawal dari pendekatan community-based tersebut, program KB kemudian menjadikan community participation atau peran serta masyarakat sebagai kebijakan utama. Kebijakan peranserta masyarakat ditegaskan dalam UU no. 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Dalam Grand Strategy program KB juga dicantumkan peran serta masyarakat sebagai strategi yang utama, dengan sasaran setiap desa/kelurahan memiliki PPKBD. Data bulan Januari 2008 menunjukkan di seluruh Indonesia terdapat 84.695 PPKBD, berarti sasaran tersebut telah tercapai karena di tiap desa/kelurahan rata-rata terdapat 1.5 PPKBD (Direktorat Pelaporan & Statistik, 2008, dalam Herartri, 2008).

Fungsi PPKBD kemudian dianggap sebagai perpanjangan tangan” PLKB di tingkat desa/ kelurahan. Dalam pedoman dicantumkan: ”PLKB/PKB memerlukan peran serta institusi masyarakat untuk membantu pelaksanaan berbagai kegiatan Gerakan Keluarga Berencana Nasional di tingkat desa/kelurahan ke bawah. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan, dibina dan dikembangkan PPKBD” (BKKBN, 1999:5). Karena fungsi PPKBD adalah


(3)

seba-gai ”perpanjangan tangan” PLKB, maka fungsi PPKBD mengalami perubahan seiring dengan peningkatan fungsi PLKB.

Dalam pedoman yang dikeluarkan pada tahun 2001, nampaknya fungsi PPKBD dikembalikan lagi sebagai organisasi pengelola program KB di desa, bukan sekadar ”pembantu” atau ”perpanjangan tangan” PLKB. Dalam pedoman tersebut dinyatakan PPKBD adalah ”organisasi pengelola dan pembina kegiatan program KB di desa yang berperan mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, menyelenggarakan kegiatan, membina, mengembangkan dan sebagainya.” Peran PPKBD juga mencakup membina poktan (kelompok kegiatan) yang merupakan “wadah sekaligus pelaksana kegiatan-kegiatan substantif program KB yang telah direncanakan [oleh PPKBD] tersebut” (BKKBN, 2001:17).

Walaupun mengalami perkembangan fungsi, pedoman mengenai peran yang harus dilaksanakan oleh PPKBD masih belum diubah, yaitu 6 peran yang terdiri dari: pertama, pengorganisasian: membentuk kepengurusan PPKBD, SubPKBD, dan Kelompok KB, serta membentuk Pokjanis KB tingkat desa. Kedua, pertemuan rutin: untuk melakukan up-dating data, membahas perencanaan dan evaluasi kegiatan, serta pembinaan. Pertemuan dilakukan antar-pengurus IMP maupun antara pengurus IMP dengan PLKB atau petugas sektor terkait. Ketiga, KIE dan konseling: mencakup substansi KB-KR dan KS-PK. Keempat, Pencatatan dan pendataan: memanfaatkan data untuk pelayanan dan pembinaan di wilayahnya. Kelima, Pelayanan kegiatan: mencakup pelayanan KB-KR dan KS-PK. Keenam, Upaya kemandirian dalam pelaksanaan kegiatan: mencakup kemandirian dalam aspek dana dan substansi kegiatan.

Namun demikian, kajian Herartri (2008) menyimpulkan bahwa belum seluruh PPKBD (Pos Pembantu KB Desa) mampu melaksanakan keenam peran tersebut. Faktor penghambat utamanya adalah minimnya fasilitasi dan dukungan operasional. Tidak ada program pelatihan yang terstruktur, sehingga mereka tidak mempunyai gambaran utuh mengenai peran IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan). Peran yang dilaksanakan hanya sebatas yang diperintahkan oleh PLKB.

Utomo et al., (2006) melalui kajiannya selama tahun 1997-1998 di Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta menemukan besarnya peran Kader KB. Mereka bertugas memromosikan KB, mengadakan pertemuan, menyediakan


(4)

informasi, mengorganisasi pengumpulan dana, membantu tabungan dan kredit, mengumpulkan data serta membantu aktivitas sosial lainnya.

Tantangan kerja para PKB dan kader KB semakin berat seiring dengan menurunnya dukungan media massa. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan menurunnya peranan berbagai media massa dalam menginformasikan KB. Tahun 2002/2003, terdapat 52,0 persen perempuan pernah kawin yang dalam waktu satu bulan sebelum wawancara pernah mendengar/melihat pesan KB dari radio/TV/koran/majalah/poster/pam- phlet. Adapun pada SDKI 2007, menurun menjadi 33,3 persen (BKKBN online, 30 Maret 2009). Di samping itu, juga karena tingkat pengetahuan para tokoh agama tentang KB masih belum mendalam (BKKBN online, 17 Februari 2008). Sebagai tenaga sukarela yang tidak digaji dan tidak tercantum dalam struktur formal lembaga, mereka sangat rentan DO (drop out/ berhenti). Kajian Yuwono (2000) di dua kecamatan di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah menunjukkan dua penyebab utama DO kader posyandu yakni: usia (terutama jika telah lebih dari 50 tahun) dan “masa kerja” (terutama jika lebih dari 10 tahun).

Widiastuti (2006) menemukan bahwa partisipasi kader tidak berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang posyandu, lama kerja menjadi kader, jam kerja kader, pemberian insentif, jumlah kader, ketersediaan alat dan bahan, seleksi, pembinaan, ketersediaan alat dan bahan serta frekuensi pertemuan kader.

Kajian Dyah Retna Puspita (2000) pada sepuluh kader Posyandu di Ciputat secara intensif menemukan bahwa sebagian besar dari mereka tetap bertahan menjadi kader pada saat terjadi krisis ekonomi yang menyebabkan ekonomi rumah tangga mereka juga terganggu dan beban tugas dari Puskesmas juga bertambah. Hal ini disebabkan adanya dorongan internal yang beraspek keyakinan agama (yakni untuk mendapatkan pahala dari Tuhan yang Maha Esa) serta mendapat “manfaat sosial” seperti dianggap sebagai tokoh masyarakat, bertambah lingkungan pergaulan dan wawasan pengetahuan. Namun demikian, rendahnya penghargaan materi dan sifat hubungan kerja yang cenderung menempatkan mereka sebagai “bawahan” petugas Puskesmas dan PLKB diakui seringkali menurunkan semangat kerja mereka.


(5)

Puspasari (2002) menyimpulkan bahwa kinerja kader Posyandu dipengaruhi sejumlah faktor seperti: rendahnya tingkat partisipasi pengguna posyandu, terbatasnya dana untuk makanan tambahan bagi balita yang ditimbang, terbatasnya sarana dan prasarana serta tidak adanya imbalan. Faktor lainnya adalah kurangnya supervisi dari petugas kelurahan dan kecamatan.

Beberapa kajian di atas menunjukkan besarnya peran kader dan sekaligus kendala yang menghambat kinerja mereka. Besarnya peran kader kesehatan juga diakui dan diterapkan oleh negara-negara di Afrika, terutama pada saat terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan negara tidak dapat menyediakan (bahkan mengurangi) tenaga-tenaga medis (Dovlo, 2004). Kader juga sangat berperan dalam program KB di China (Unescap, 2001).

Kader pedesaan juga berperan di Botswana (Fortmann, 1983). Kinerja mereka dipengaruhi oleh kualitas pesan dan program tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah: jumlah dan kontinuitas personal, perekrutan, training awal serta dukungan lapangan seperti rumah, transport, supervisi serta reward dan insentif, alokasi waktu, komunikasi dengan kader, kerjasama di antara kader serta tingkat keterlibatan masyarakat setempat.

Dalam penyuluhan pertanian, dikenal istilah petani pemandu (petandu). Kajian Lukman Effendy (2009) menunjukkan bahwa kinerja mereka juga dipengaruhi banyak faktor, yakni kompetensi dalam memberikan penanggulangan hama terpadu (PHT), karakteristik lingkungan dan dinamika belajar. Selanjutnya, kinerja mereka berpengaruh positif pada perilaku petani, meski hanya sebesar 6 persen.

Uraian di atas menunjukkan besarnya peran kader dalam proses penyuluhan KB dan kesehatan beserta kendala yang mereka hadapi. Untuk itulah, penelitian ini bermaksud mengkaji faktor-faktor yang memengaruhi kinerja kader KB, agar kinerja mereka tetap terjaga dan bahkan meningkat.

Ringkasan

Para penyuluh KB menempati posisi strategis dalam proses penyuluhan KB. Mereka adalah PKB yang merupakan Pegawai Negeri Sipil yang sebagian besar berstatus tenaga fungsional. Karena keterbatasan tenaga dan dana, pelaksanaan tugas mereka dibantu Kader KB, yakni masyarakat setempat yang


(6)

secara sukarela bersedia membantu. Karena bersifat sukarela, maka keberadaan mereka tidak masuk ke dalam struktur formal lembaga, sehingga tidak digaji dan tidak memiliki jenjang karir. Akibatnya, mereka rentan DO. Untuk itulah, para penyuluh formal (PKB/PLKB) perlu terus membina mereka agar tetap aktif membantu. Caranya dapat berupa pemberian pelatihan dan insentif, penyediaan sarana dan prasaranan kerja, serta hubungan kerja yang setara dan saling menghargai.