Kajian Perlakuan Uap Panas Dan Suhu Penyimpanan Untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L )

KAJIAN PERLAKUAN UAP PANAS DAN SUHU PENYIMPANAN
UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.)

RIMBA LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Perlakuan Uap
Panas dan Suhu Penyimpanan untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga
Arumanis (Mangifera indica L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Rimba Lestari
NRP F152130121

RINGKASAN
RIMBA LESTARI. Kajian Perlakuan Uap Panas dan Suhu Penyimpanan untuk
Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.).
Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan IDHAM SAKTI HARAHAP.
Mangga merupakan salah satu buah tropis yang berpotensi sebagai
komoditas ekspor. Adanya lalat buah jenis Bactrocera papayae pada mangga
merupakan kendala utama dalam permasalahan ekspor mangga. Untuk memenuhi
persyaratan ekspor atau regulasi karantina, telur lalat buah perlu didisinfestasikan
dari buah mangga dan vapor heat treatment (VHT) merupakan salah satu metode
disinfestasinya. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengkaji mortalitas lalat
buah Bactrocera papayae secara in-vitro dan secara in-vivo, dan (2) untuk
mengkaji pengaruh VHT dan suhu penyimpanan terhadap mutu buah mangga
Arumanis.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 di
Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) IPB dan

Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar Peramalan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Jawa Barat. Kajian mortalitas telur
lalat buah secara in-vitro dilakukan dengan merendam telur ke dalam air panas
pada suhu 46 oC selama 5, 10, 15, 20, 25 menit dan kontrol. Kajian mortalitas
telur lalat buah secara in-vivo dilakukan dengan buah mangga yang terinfestasi B.
papaye lalu diberi perlakuan VHT pada suhu 47 oC selama 10, 20, 30, 40 menit
dan kontrol. Pengamatan mutu buah dilakukan dengan memberi perlakuan VHT
pada suhu 47 oC selama 25, 30, 35 menit dan kontrol, dan kemudian disimpan
pada suhu 13±2 oC dan suhu 28±2 oC. Pengamatan perubahan mutu selama
penyimpanan dilakukan setiap 3 hari.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 100% mortalitas lalat buah B.
papayae secara in-vitro pada suhu 46 oC adalah selama 10 menit. Sedangkan
100% mortalitas secara in-vivo pada suhu 47 oC adalah selama 20 menit. Lama
VHT dan suhu penyimpanan serta interaksinya tidak berpengaruh signifikan
terhadap susut bobot, total padatan terlarut, dan kekerasan, tetapi berpengaruh
signifikan terhadap vitamin C. Perlakuan panas tidak menyebabkan kerusakan
fisiologis dimana buah masih mengalami proses respirasi secara normal. Buah
pada penyimpanan suhu 13±2 oC buah dapat bertahan selama 18 hari dan pada
suhu 28±2 oC hanya bertahan selama 9 hari. VHT pada suhu 47 oC selama 25-30
menit efektif untuk membunuh lalat buah yang terinfestasi dalam mangga

Arumanis dan VHT yang diikuti oleh penyimpanan suhu rendah (13±2 oC) dapat
mempertahankan mutu buah selama penyimpanan.
Kata kunci: mangga, perlakuan uap panas, lalat buah, disinfestasi

SUMMARY
RIMBA LESTARI Study of Vapor Heat Treatment and Storage Temperature for
Maintaining Quality of Arumanis Mango (Mangifera indica L.). Supervised by
ROKHANI HASBULLAH and IDHAM SAKTI HARAHAP.
Mango is one of tropical fruit which potential as export commodity.
However, the presence of fruit fly Bactrocera papayae in mango becomes the
main obstacle in mango export problems. To meet the export requirements or
quarantine regulations, fruit fly eggs need to the disinfected from mango fruit and
vapor heat treatment (VHT) is one of the disinfestation method. The objectives of
this research were (1) to analyze the mortality of B. papayae fruit flies by in-vitro
and by in-vivo, and (2) to analyze the effect of VHT and storage temperature on
quality of Arumanis Mango.
This research was conducted from June to December 2015 in the Laboratory
of Food Processing and Agricultural Products (TPPHP) of IPB and Laboratory of
Vapor Heat Treatment of the Center for Plant Pest Forecasting Organisms
(BBPOPT) Jatisari, West Java. Mortality test in-vitro was performed by soaking

the eggs in hot water at temperature of 46 °C for 5, 10, 15, 20, 25 minutes and
control. Mortality test in-vivo was performed by VHT at temperature of 47 °C for
10, 20, 30, 40 minutes and control. Testing on fruit quality was performed by
VHT treatment at temperature of 47 °C for 25, 30, 35 minutes and control, and
then stored at temperatures of 13±2 °C and room temperature of 28±2 °C. The
observation of fruit quality during storage is every 3 days.
The results showed that the 100% mortality in-vitro of fruit fly B. papayae
at temperature 46 oC was 10 minutes. While 100% mortality in-vivo at
temperature 47 oC was 20 minutes. Exposure time of VHT, storage temperature,
and their interaction didn‟t significantly afffect weight loss, total soluble solid,
hardness, but significantly affected vitamin C. VHT didn‟t cause physiological
damage which the fruit is still undergoing a process of normal respiration. The
fruits on storage temperature of 13±2 oC can last for 18 and 28±2 °C just can last
for 9 days. VHT at temperature of 47 °C for 25-30 minutes was effective to
disinfestation of fruit flies infested inside the Arumanis mango and VHT followed
by low temperature storage (13±2 oC) was able to maintain mango quality during
storage.
Keywords: mango, vapor heat treatment, fruit flies, disinfestation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PERLAKUAN UAP PANAS DAN SUHU PENYIMPANAN
UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.)

RIMBA LESTARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Pascapanen


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Y. Aris Purwanto, MSc

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah
perlakuan uap panas, dengan judul Kajian Perlakuan Uap Panas dan Suhu
Penyimpanan untuk Mempertahankan Mutu Buah Mangga Arumanis (Mangifera
indica L.). Keberhasilan penulisan tesis ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan,
dan petunjuk dari berbagai pihak.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, M.Si
dan Bapak Dr Ir Idham Sakti Harahap selaku pembimbing, atas kesediaan dan
kesabaran untuk membimbing dan membagi ilmunya kepada penulis dalam
penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh Dosen
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB yang telah mengasuh dan mendidik

penulis selama di bangku kuliah hingga menyelesaikan studi, serta seluruh staf
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem atas bantuan, pelayanan, dan
kerjasamanya selama ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah,
ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2016
Rimba Lestari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN


xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Identifikasi Masalah
Tujuan Penelitian
Hipotesis Penelitian

1
1
3
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Mangga
Karakteristik Buah Mangga Arumanis
Penanganan Pascapanen Mangga
Lalat Buah
Perlakuan Karantina


4
4
5
6
9
11

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Rancangan Percobaan

14
14
14
14
18


4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas telur B. papayae secara in-vitro
Mortalitas telur B. papayae secara in-vivo
Pengaruh VHT terhadap mutu buah

20
20
21
22

5 SIMPULAN DAN SARAN

29

DAFTAR PUSTAKA

30

LAMPIRAN


34

RIWAYAT HIDUP

36

DAFTAR TABEL
1 Kandungan nutrisi mangga Arumanis per 100 gram
2 Pematangan buah mangga menggunakan bahan kimia
3 Mortalitas telur lalat buah B. papaye pada suhu 46 oC dengan lama
perendaman yang berbeda
4 Mortalitas telur lalat buah B. papayae pada suhu 47 oC dengan lama
perlakuan VHT yang berbeda

5
9
20
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Tanaman mangga
Penampakan luar dan dalam buah mangga Arumanis
Metamorfosis sempurna pada lalat buah dari telur, larva, pupa, imago
Dampak serangan lalat buah
Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro
Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vivo
Pelaksanaan perlakuan uap panas terhadap telur B. papayae pada
mangga Arumanis
Bagan alir proses pengujian mutu buah
Grafik perubahan laju respirasi pada mangga Arumanis
Grafik susut bobot mangga Arumanis selama penyimpanan
Grafik TPT mangga Arumanis pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC
Grafik kekerasan kulit mangga pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC
Grafik kekerasan daging mangga pada suhu 28±2 oC dan suhu 13±2 oC
Grafik vitamin C mangga Arumanis pada suhu 28±2oC dan 13±2 oC

4
5
10
11
15
16
16
18
23
24
24
25
26
27

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Analisis ragam tingkat mortalitas B. papayae pada suhu 46 oC dengan
lama perendaman yang berbeda
Analisis ragam tingkat mortalitas B. papayae dengan suhu pusat 47 oC
dengan perlakuan VHT yang berbeda
Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan
terhadap laju respirasi buah mangga Arumanis
Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan
terhadap susut bobot buah mangga Arumanis
Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan
terhadap nilai total padatan terlarut buah mangga Arumanis
Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan
terhadap nilai kekerasan buah mangga Arumanis
Analisis ragam pengaruh perlakuan VHT 47 oC dan suhu penyimpanan
terhadap kadar vitamin C buah mangga Arumanis

34
34
34
34
34
35
35

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki beragam komoditas hortikultura yang berpotensi besar
untuk diekspor, salah satunya adalah mangga (Mangifera indica L.). Mangga
merupakan buah tropika Indonesia yang sangat prospektif untuk dikembangkan
secara komersial mengingat jumlah produksinya yang cukup tinggi dan kualitas
kandungan nutrisinya yang tidak kalah dengan kualitas buah impor lainnya. Tahun
2014, produksi mangga Indonesia mengalami peningkatan sebesar 2.4 juta ton
dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 2.1 juta ton (BPS 2015).
Salah satu varietas mangga yang menjadi komoditas ekspor adalah mangga
Arumanis. Varietas ini dapat diterima dengan baik karena memiliki karakteristik
yang khas seperti berdaging tebal, tidak berserat, berbiji kecil, dan beraroma
harum. Namun, meskipun demikian, ada pula beberapa masalah yang seringkali
menyebabkan para eksportir mangga mengeluh diantaranya produk ditolak
(dikembalikan) atau rusak sebelum waktunya. Kendala ekspor mangga umumnya
dikarenakan penanganan pascapanen yang kurang tepat, teknologi untuk
mempertahankan kualitas belum memadai, dan strategi pemasaran yang kurang
optimal. Selain itu, ketatnya aturan karantina tiap-tiap negara juga menjadi
masalah ekspor mangga.
Keberadaan lalat buah pada mangga merupakan kendala utama dalam
permasalahan ekspor. Menurut Departemen Pertanian (2003), kerugian yang
ditimbulkan oleh lalat buah mencapai 10-30% bahkan pada populasi tertinggi
kerusakan yang ditimbulkannya mencapai 100%. Marlisa (2007) dalam studinya
juga mengatakan bahwa pada pasar domestik, buah yang terinfestasi lalat buah
selain mendatangkan kerugian karena menurunnya mutu, juga memberi andil
yang cukup besar dalam penyebaran hama dan penyakit buah-buahan di tanah air
sehingga sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu buah-buahan yang akan
diekspor harus di karantina terlebih dahulu di negara asalnya untuk menjamin
tidak terjadinya penyebaran hama penyakit di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan survei ACIAR tahun 2004-2009, terdapat 63 spesies lalat buah
dari seluruh wilayah Indonesia, dimana 18 spesies diantaranya termasuk
kelompok Bactrocera dorsalis complex (ACIAR 2009). Menurut JFTA (1996),
Negara Jepang merupakan salah satu negara yang memberlakukan aturan ketat
mengenai pemasukan buah segar dari negara lain, terutama daerah yang
terinfestasi lalat buah berbahaya seperti kelompok Bactrocera dorsalis complex.
Aturan tersebut tidak berlaku apabila : 1) Telah dilakukan pemusnahan lalat buah
secara total dari negara atau daerah yang terinfestasi, 2) Status aman dari serangan
lalat buah tersebut telah dikonfirmasi oleh pihak Jepang, 3) Daerah atau negara
tersebut telah ditetapkan sebagai pest free area, dan 4) Negara pengekspor telah
mengembangkan untuk disinfestasi lalat buah target.
Indonesia sebagai negara penghasil buah tropika seperti mangga haruslah
melakukan pengembangan teknologi karantina untuk mengatasi ancaman lalat
buah tersebut agar dapat menembus pasar global. Beberapa teknologi karantina
yang umum digunakan yaitu fumigasi, iradiasi, gelombang mikro, dan perlakuan
panas. Teknik fumigasi efektif untuk mengatasi serangan lalat buah namun
aplikasinya meninggalkan residu yang sangat tidak aman bagi kesehatan manusia.

Selain itu, penggunaan bahan fumigasi seperti metil bromida juga diketahui dapat
merusak lapisan ozon sehingga teknik ini mulai ditinggalkan. Keefektifan teknik
iradiasi dalam mengatasi serangan lalat buah hingga saat ini belum dapat diterima
konsumen dengan baik secara luas karena faktor keamanannya yang masih
diragukan. Ada negara yang mensyaratkan batas-batas produk iradiasi pada dosis
tertentu dan sebagian ada juga yang melakukan penolakan terhadap produk
iradiasi. Penggunaan teknik gelombang mikro juga dikenal dapat mengatasi daur
hidup lalat buah. Mortalitas serangga dewasa, pupae dan larva dewasa mencapai
100 % mati dan mortalitas larva muda dan telur mencapai > 99% . Kekurangan
teknik ini adalah investasi penggunaan teknik gelombang mikro cukup mahal
kecuali dilakukan industri dalam skala besar.
Teknik perlakuan panas pada produk hortikultura mulai diterapkan secara
luas beberapa tahun terakhir ini. Dengan alasan keamanan, efektif, dan ekonomis,
teknik ini dapat digunakan sebagai alternatif dalam disinfestasi lalat buah,
terutama dalam fase telur dan larva. Salah satu metode perlakuan panas yang
efektif adalah perlakuan uap panas atau vapor heat treatment (VHT).
Beberapa negara yang mulai menggunakan teknik perlakuan uap panas
secara komersial yaitu Jepang, Amerika Serikat, Australia, Filipina, dan Thailand
(Monck dan Pearce 2007; Hansen et al. 1992). Menurut Dyck dan Ito (2010),
Filipina telah mengekspor mangga Manila Super ke negara Jepang dengan
mengaplikasikan perlakuan uap panas pada suhu 46 oC selama 10 menit.
Sedangkan Australia telah mengekspor mangga Kensington ke Jepang dengan
perlakuan uap panas 47 oC selama 15 menit. Selain itu, mangga Irwin (Taiwan),
Nang Klarngwan (Thailand), serta Keitt dan Haden dari kepulauan Hawaii
(Amerika Serikat) merupakan jenis mangga lainnya yang telah masuk pasar
Jepang melalui pengembangan teknik perlakuan uap panas.
Metode VHT sangat potensial untuk diterapkan dan dikembangkan di
Indonesia. Hasbullah (2013) mengemukakan bahwa perlakuan uap panas pada
suhu 46.5 oC selama 20-30 menit efektif untuk mendisinfestasikan lalat buah pada
buah Belimbing dan perlakuan VHT yang diikuti dengan penyimpanan dingin
pada suhu 5-15 oC mampu mempertahankan mutu buah selama penyimpanan.
Sedangkan Marlisa (2007) dalam studinya8 menyatakan bahwa perlakuan uap
panas selama 20-30 menit pada suhu 46.5 oC cukup efektif dalam
mendisinfestasikan telur lalat buah kelompok B. dorsalis complex yang
terinfestasi di dalam mangga Gedong Gincu dan mampu mempertahankan mutu
buah hingga 28 hari apabila diikuti dengan pelilinan. Nusantara (2012) juga
menyatakan bahwa mortalitas larva B. carambolae mencapai 100% setelah
perendaman selama 20 menit pada suhu 44-48 oC, dan perendaman pada suhu 48
o
C selama 5 menit dapat menyebabkan semua larva mati.
Batrocera papayae merupakan lalat buah yang menyerang buah mangga
Arumanis. Metode perlakuan uap panas untuk disinfestasi lalat buah B. papayae
pada buah Arumanis memerlukan kajian tersendiri agar dengan perlakuan tersebut
tidak menyebabkan kerusakan dan dapat mempertahankan kandungan mutu pada
buah selama penyimpanan. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mortalitas lalat buah Bactrocera
papayae secara in-vitro dengan perlakuan panas, mempelajari mortalitas lalat
buah Bactrocera papayae yang terinfestasi secara in-vivo pada buah Arumanis
dengan perlakuan uap panas (VHT), dan menganalisa pengaruh lama perlakuan

VHT dan suhu penyimpanan serta interaksi keduanya terhadap perubahan mutu
buah Arumanis.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan, yaitu sebagai berikut :
1. Berapakah waktu yang efektif untuk mendisinfestasikan telur lalat buah?
2. Bagaimana pengaruh perlakuan uap panas dan suhu penyimpanan terhadap
mutu buah mangga Arumanis?

1.
2.
3.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
Mengkaji mortalitas lalat buah Bactrocera papayae secara in-vitro dengan
perlakuan panas.
Mempelajari mortalitas lalat buah Bactrocera papayae yang terinfestasi
secara in-vivo pada buah Arumanis dengan perlakuan uap panas (VHT).
Menganalisa pengaruh perlakuan uap panas dan suhu penyimpanan terhadap
mutu buah mangga Arumanis.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini yaitu :
1. Mortalitas lalat buah Bactrocera papayae mencapai 100% pada suhu
pemanasan 47 oC selama waktu tertentu.
2. Perlakuan uap panas pada suhu 47 oC dan suhu penyimpanan 13±2 oC mampu
mempertahankan mutu buah mangga Arumanis.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Mangga
Tanaman mangga berasal dari negara India dan menyebar ke wilayah Asia
Tenggara pada abad ke-4 dan ke-5 sebelum Masehi. Pada tahun 1600-an,
penanaman mangga dimulai di Filipina dan Indonesia (sekitar Maluku) kemudian
bangsa Portugis menyebarkan tanaman mangga ke Barat pada abad ke-18 dan ke
Afrika pada abad ke-19. Pada tahun 1779 dilaporkan adanya mangga di daerah
Meksiko, lalu mulai ditanam di Florida, Amerika Serikat (1833), Queensland,
Australia (1870), dan Italia bagian selatan pada tahun 1905 (Pracaya 2011).
Taksonomi mangga Arumanis termasuk Kingdom Plantae, Divisi
Spermatophyta, Sub-divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo
Sapindales, Famili Anacardiaceae, Genus Mangifera, dan Spesies Mangifera
indica L. Famili Anacardiaceae ini terdiri dari 64 genus. Genus Mangifera terdiri
62 species, sedangkan yang buahnya enak dimakan kira-kira hanya ada 16 species
saja. Tinggi tanaman mangga dapat mencapai 40 m atau lebih, meski kebanyakan
mangga peliharaan hanya sekitar 10 m atau kurang. Batang mangga tegak,
bercabang agak kuat dan banyak, serta memiliki daun-daun lebat membentuk
tajuk yang indah berbentuk kubah, oval atau memanjang dan hijau sepanjang
tahun. Kulit batangnya tebal dan kasar dan warna kulit batang yang sudah tua
biasanya coklat keabuan, kelabu tua sampai mendekati hitam (Pracaya 2011).

Gambar 1 Tanaman mangga
Setiap varietas mangga memiliki karakteristik yang berbeda. Contohnya
perbandingan buah dan mangga Gedong Gincu dan Arumanis. Bobot buah
mangga Arumanis biasanya lebih besar dibandingkan manga Gedong Gincu.
Namun demikian, aroma mangga Gedong Gincu lebih harum menyengat
dibandingkan dengan mangga Arumanis. Pangkal buah mangga Arumanis
berwarna hijau kekuningan pada saat matang, sedangkan mangga Gedong Gincu
berwarna merah keunguan. Perbedaan lain yang terlihat adalah bentuk buah
mangga Arumanis berbentuk jorong dengan pucuk meruncing sedangkan mangga
Gedong Gincu berbentuk bulat.
Produksi mangga tergantung varietas, umur, tempat tumbuh, dan kondisi
iklim umumnya berkisar antara 25-1000 buah per pohon dan dapat dipanen pada
bulan September sampai Desember. Di Indonesia, musim mangga untuk kultivar

Arumanis, Golek dan Manalagi dipanen pada bulan Agustus sampai Desember,
sedangkan untuk mangga Gedong Gincu umumnya dipanen pada bulan Juni dan
Juli (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura 2004).
Karakteristik Buah Mangga Arumanis
Arumanis adalah salah satu varietas unggul yang telah dilepas oleh Menteri
Pertanian. Mangga kultivar ini dinamai Arumanis karena aromanya yang harum
dan rasanya yang manis. Setiap varietas buah mangga memiliki karakteristik
fisikokimia dan kandungan nutrisi yang berbeda-beda. Informasi mengenai
kandungan nutrisi mangga dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan nutrisi mangga Arumanis per 100 gram
Komposisi nutrisi
Energi
Protein
Lemak
Karbohidrat
Kalsium
Fosfor
Vitamin A
Vitamin C
Vitamin B1
Air

Jumlah
46 kal
0.4 g
0.2 g
11.9 g
15 g
9g
185 mg
6 mg
0.08 mg
86.6 g

Sumber : Satuhu (2004)

Tanaman mangga Arumanis berdaun rindang dan hijau. Daun berbentuk
lonjong dan ujung runcing dengan panjang bisa mencapai 45 cm. Tanaman ini
akan berbunga pada bulan Juli hingga Agustus dan umumnya dipanen pada bulan
September hingga November. Penampakan bagian luar dan dalam buah mangga
Arumanis dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Penampakan luar dan dalam buah mangga Arumanis
Buahnya berbentuk jorong, berparuh sedikit, dan ujungnya meruncing. Buah
yang telah tua berkulit hijau tua tertutup lapisan lilin sehingga warnanya seperti
hijau kelabu. Pada buah yang sudah masak, pangkalnya berwarna hijau
kekuningan, berbobot sekitar 300-450 gram, berkulit tipis, berdaging tebal, berbiji
kecil, tidak berserat, dan beraroma harum.

Penanganan Pascapanen Mangga
Kerusakan pascapanen buah mangga umumnya disebabkan oleh perlakuan
pascapanen yang tidak tepat misalnya: teknik pemanenan yang kurang tepat,
sortasi yang tidak baik, pengemasan dan pengepakan, pengangkutan dan
penyimpanan yang kurang diperhatikan serta adanya serangan hama dan penyakit.
Produk hortikultura seperti mangga lebih mudah rusak dibanding biji-bijian pada
kondisi penanganan dan penyimpanan yang sama. Hal ini dikarenakan kadar air
yanadddtuuuierng tinggi pada produk hortikultura sehingga jika tidak ditangani
dengan baik selama panen, penanganan di lahan, pengangkutan, dan
penyimpanan, maka komoditas ini akan mudah sekali mengalami penurunan
kualitas dan pada kondisi yang ekstrim bahkan tidak layak lagi untuk dikonsumsi
manusia, apalagi dijual (Ahmad 2013).
Susut penanganan pascapanen untuk produk hortikultura di negara
berkembang sulit diperkirakan karena belum pernah dilakukan kajian yang
komprehensif, tetapi dari berbagai laporan pihak yang kompeten, susut
penanganan produk hortikultura ini bervariasi tergantung pada jenis produk dan
teknologi penanganan pascapanen yang digunakan. Penurunan susut penanganan
pascapanen ini sangat penting untuk dilakukan, dan bila dapat dilakukan terutama
dari sisi ekonomi melalui penerapan teknologi penanganan pascapanen yang tepat
guna, akan sangat membantu petani dan konsumen produk hortikultura secara
bersamaan.
Panen
Pemanenan merupakan kegiatan pemisahan produk dari media tumbuhnya.
Pemanenan dilakukan dengan mengumpulkan buah secepat mungkin dari lahan
pertanaman pada tingkat kematangan yang tepat. Untuk menghasilkan mangga
dengan mutu yang baik, pemanenan buah mangga harus dilakukan pada saat yang
tepat dan dengan cara yang baik. Mangga yang siap panen dapat dilihat tingkat
kematangannya meliputi umur buah, bentuk buah, tangkai buah, warna, ukuran,
lapisan lilin dan lentisel pada permukaan kulit buah. Umur petik buah umumnya
ditentukan dan dihitung mulai bunga mekar. Umur petik optimal pada mangga
varietas Arumanis adalah 90-107 hari setelah bunga mekar (Satuhu 2004).
Cara pemanenan juga harus diperhatikan agar kualitas buah tetap terjaga,
misalnya alat panen yang digunakan. Alat panen yang kurang tepat dapat melukai
buah dan membuat buah menjadi semakin cepat rusak. Penanganan pascapanen
mangga perlu dipertimbangkan misalnya setelah di panen mangga segera dicuci
lalu dikeringanginkan atau didirikan (posisi tangkai ada di bawah) agar getahnya
tidak menodai kulit mangga. Umumnya konsumen membeli mangga berdasarkan
pengamatan visual sehingga jika buah tidak mulus (banyak bercak getah) dan
masih berwarna hijau serta keras (berkaitan dengan kematangan buah) maka
jarang dipilih.
Sortasi dan Pencucian
Sortasi buah mangga biasanya dilakukan untuk memisahkan buah mangga
yang bagus dengan yang rusak atau busuk. Selain itu, sortasi juga memisahkan
kotoran seperti ranting atau daun yang terikut dalam wadah pengangkutan. Sortasi
dan pencucian juga dapat dilakukan secara bersamaan. Pencucian dilakukan untuk
membersihkan kotoran atau getah yang menempel pada permukaan kulit buah.

Pada packing house, pencucian biasanya dilakukan dengan meletakkan
mangga pada konveyor berjalan yang melewati semprotan air selama ±20 menit.
Pencucian dilakukan dengan hati-hati agar getah terbuang dan tidak mengalir pada
kulit buah, bahkan pada mangga Kensington pekerja harus menggunakan sarung
tangan agar getah tidak merusak kulit. Selain untuk membersihkan permukaan
kulit buah, pencucian mangga bertujuan untuk mengurangi atau menurun panas
lapang. Hal ini berguna untuk menghambat proses metabolisme yang masih tetap
berlangsung walapun buah sudah dipanen (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura 2004)
Pemutuan
Pemutuan merupakan proses memisahkan produk berdasarkan mutu yaitu,
warna, bentuk, berat, tekstur, dan kebebasan buah dari kotoran atau bahan asing.
Menurut standar mutu yang berlaku secara nasional adalah menurut Standar
Nasional Indonesia 01-3164-1992.
Ada beberapa syarat mutu mangga yang harus dipenuhi untuk tujuan ekspor,
diantaranya yaitu: permukaan kulit buah mulus (tidak ada noda atau berlubang),
bebas dari luka (luka mekanis ataupun mikrobiologis), bebas dari penyakit
pascapanen dan bentuk normal. Selain itu, syarat mutu tambahan untuk mangga
yang akan diekspor adalah matang fisiologis, warna kuning 30-50%, tingkat
kematangan merata, berat dan ukuran seragam sesuai varietasnya.
Pengemasan
Pengemasan memegang peranan yang besar dan penting dalam kehidupan
sehari-hari. Perkembangan kemasan pun sesuai dengan peradaban manusia.
Pengemasan yang tepat sangat diperlukan agar bahan pangan yang akan
dikonsumsi bisa sampai kepada yang membutuhkannya dengan baik dan menarik.
Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan awal pengemasan dalam hal ini adalah
untuk melindungi bahan pangan segar maupun bahan pangan olahan dari
penyebab kerusakan, baik fisik, kimia, maupun mekanis.
Peranan pengemasan diantaranya yaitu (1) mempertahankan bahan dalam
keadaan bersih dan higienis, (2) mengurangi terbuangnya bahan selama distribusi,
(3) mempertahankan gizi produk yang dikemas, (4) sebagai alat penakar, media
informasi dan sekaligus sebagai sarana promosi. Selain itu pengemasan juga
dilakukan untuk mempermudah pengangkutan transportasi. Menurut Marlisa
(2007), berdasarkan bahan yang digunakan, kemasan transportasi untuk mangga
umumnya terbuat dari keranjang bambu, keranjang plastik, peti kayu atau kotak
karton. Kemasan konsumen umumnya dilakukan di tingkat pedagang eceran.
Seperti halnya pada apel dan pear, buah mangga dilakukan pengemasan individual
menggunakan kemasan jala busa dan kertas tipis.
Penyimpanan
Penyimpanan diperlukan karena berkaitan dengan tujuan pemasaran, yaitu
menunggu hingga harga pasar baik untuk menjual hasil pertanian. Aktivitas
respirasi dan metabolisme, proses penuaan karena adanya proses pematangan,
pelunakan dan perubahan warna serta tekstur, kehilangan air dan pelayuan,
kerusakan karena aktivitas mikroba dapat dikurangi dengan penyimpanan dingin.

Namun, selama penyimpanan diperlukan suhu yang tepat karena ada
kemungkinan komoditi mengalami kerusakan akibat suhu rendah (chiling injury).
Suhu ruang penyimpanan harus dijaga dengan stabil agar mendapatkan hasil
yang baik. Pelayuan atau pengkeriputan akan terjadi jika kelembaban rendah,
namun jika terlalu tinggi akan merangsang proses pembusukan, terutama apabila
ada variasi suhu dalam ruangan. Pada beberapa jenis sayuran, diperlukan
kelembaban nisbi berkisar antara 85-90% untuk menghindari pelayuan dan
pelunakan. Beberapa produk bahkan memerlukan kelembaban sekitar 90-95%.
Kelembaban udara dalam ruangan pendinginan dapat dipertinggi antara lain
dengan cara menyemprot lantai dengan air. Kelembaban yang tepat akan
menjamin tingkat keamanan bahan yang disimpan terhadap kontaminasi mikroba.
Selain kelembaban udara, ruang penyimpanan juga memerlukan sirkulasi udara
yang baik. Ruang penyimpanan yang tidak dilengkapi dengan sirkulasi udara yang
memadai akan memicu kerusakan yang lebih cepat pada bahan. Meskipun telah
dipanen, mangga akan tetap melakukan respirasi dan agar kondisi buah tetap
stabil pada suhu penyimpanan yang aman maka diperlukan aerasi yang baik untuk
menghindari hot spot dan mengundang kontaminan. Buah mangga yang akan
disimpan harus bebas dari lecet kulit, memar, busuk dan kerusakan lainnya. Hal
ini berkaitan dengan pentingnya tahap sortasi dan pencucian serta pelilinan buah.
Memar dan kerusakan mekanis bukan hanya menyebabkan bentuk dan rupa
produk menjadi kurang menarik, tetapi juga memberikan kesempatan bagi
organisme pembusuk untuk masuk dan merusak bahan. Sehingga produk tersebut
akan mengalami lebih banyak dan lebih cepat busuk/rusak.
Mangga Arumanis dapat simpan selama 10 hari pada suhu kamar dan
selama 14 hari pada suhu 15 oC (Sahirman et al. 1994). Dan menurut Ratule
(1999), suhu 10 oC adalah suhu optimum penyimpanan mangga Arumanis yang
terolah minimal berlapis edibel dengan penyimpanan atmosfer terkontrol.
Pematangan Buatan
Permintaan pasar akan buah yang masak optimum pada suatu periode yang
terjadwal dapat dipenuhi dengan melakukan pematangan buatan, baik dalam
mempercepat atau memperlambat proses pematangan buah tersebut. Berbagai
keuntungan yang dapat diperoleh dari proses pematangan buatan ini diantaranya
yaitu warna yang seragam dan maksimal, memperkecil terjadinya pengeriputan
karena jangka waktu buah menjadi matang dan siap dipasarkan lebih singkat,
sehingga presentase kehilangan airnya lebih kecil. Dampak lainnya adalah modal
kembali lebih cepat karena pada saat yang ditentukan petani atau pedagang bisa
menjual buah matang dari pada buah dibiarkan matang secara alami, memberikan
keleluasaan pedagang besar atau pengencer dalam menjual buah matang yang
diinginkan pembeli, dan mendapatkan keuntungan dari harga yang lebih tinggi
pada awal, akhir atau luar musim mangga (Broto, 2003).
Secara teoritik, pada suatu tingkat tertentu pengontrolan pematangan buatan
dapat dilakukan dengan perlakuan suhu ruang penyimpanan tanpa menimbulkan
kerusakan pada buah-buahan tersebut. Suhu ruangan pematangan yang tinggi
dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Buah yang diperam pada suhu
tinggi akan berwarna kusam dan daging buah rusak. Sedang pada suhu rendah,
pematangan akan berlangsung lama. Broto (2003) menyarankan suhu terbaik
untuk proses pematangan adalah 21-25 oC.

Pemberian bahan kimia tertentu juga dapat dilakukan untuk mengontrol
pematangan buah-buahan (Tabel 2). Bahan-bahan kimia seperti karbit, gas etilen,
gas asetilen dan daun-daun yang banyak memproduksi etilen, misalnya daun
gamal dapat mempercepat proses pematangan buah. Etilen merupakan senyawa
hidrokarbon tak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas, tidak berwarna dan
sedikit berbau manis. Etilen dapat diproduksi secara alami sebagai hormon
pematangan pada beberapa buah seperti mangga, pisang, pepaya dan sebagainya.
Tabel 2 Pematangan buah mangga menggunakan bahan kimia
Varietas
Bahan pemicu Takaran dan cara
Hasil
Arumanis Karbit
0.6 g/kg buah
Matang 3 hari lebih awal
Cengkir
Asetilen
500 ppm, 24 jam
Matang 3 hari lebih awal
Asetaldehida
5%, direndam 10 dtk
Matang 3 hari lebih awal
Asetilen
500 ppm, degreening
Matang 2 hari lebih awal
Gedong
Etanol
10, direndam 10 dtk
Matang 3 hari lebih awal
Etilen
50 ppm, degreening
Matang 4 hari lebih awal
Sumber : Bruto (2003)

Buah mangga yang telah tua dapat masak pada suhu 21 - 24 oC dan
kelembaban 85 - 90%. Pada proses masaknya buah khlorofil (warna hijau)
berkurang dan terjadi pembentukan antosianin dan karotenoid dalam kulit dan
daging. Keberadaan etilen dalam buah secara alami juga dipicu oleh aktivitas
respirasi buah. Semakin cepat respirasinya maka etilen yang dihasilkan juga
semakin banyak.
Lalat Buah
Biologi dan Morfologi
Secara taksonomi, lalat buah termasuk Filum Arthropoda, Klas Insekta,
Ordo Diptera, Sub-ordo Brachycera, dan Famili Tephritidae. Lalat buah
merupakan contoh hama serangga yang mengalami metamorfosis sempurna
dengan melalui fase telur, larva, pupa, dan imago (Borror 1992).
Telur dan larva adalah fase hidup lalat buah yang berpotensi menetap dalam
buah mangga. Umumnya telur lalat buah berwarna putih atau krem kekuningan
dan semakin tua umur telur maka warnanya akan semakin gelap. Menurut White
dan Elson-Harris (1994), perbedaan spesies menyebabkan berbedanya ukuran dan
bentuk telur. Contohnya Ceratitis capitata dan B. tryoni mempunyai bentuk telur
yang memanjang dan menyempit secara bertahap, sementara itu Urophora
solsitialis memiliki telur dengan ujung membulat dan meruncing pada ujung
lainnya. Satu ekor B. dorsalis mampu menghasilkan 1200 – 1500 butir telur.
Telur-telur ini akan diletakkan secara berkelompok dan dalam waktu 2-3 hari akan
menetas.
White dan Elson-Harris (1994) menyatakan bahwa bentuk dan ukuran larva
berbeda-beda sesuai dengan jenis spesies dan nutrisi dalam makanannya.
Sebagian larva cenderung berbentuk silindris dan membulat ataupun menyerupai
bentuk terpotong pada kedua ujung tubuhnya. Warna larva berwarna lebih gelap
ataupun krem keputihan sesuai dengan jenis makanannya. Larva bernafas
menggunakan spirakel yang terdapat di bagian anterior dan posterior. Lama fase
larva yaitu 6 – 9 hari. Setelah itu larva akan berkembang menjadi pupa berbentuk
oval dan berwarna coklat. Daur hidup lalat buah dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Metamorfosis sempurna pada lalat buah
dari telur, larva, pupa, imago
Umumnya pupa berukuran 5 mm dan berlangsung sekitar 10 hari. Setelah
itu fase dewasa mudah dikenali karena memiliki sayap dengan pola unik dan
bervariasi (Vijaysegaran dan Drew 2006).
Larva lalat buah mengalami tiga tahap perkembangan instar. Khusus larva
instar pertama, anterior spirakel belum menunjukkan perkembangan. Larva instar
pertama berukuran sangat kecil dan mulut kait berwarna kuning atau lebih gelap.
Mulut kait mempunyai 1 atau lebih preapical teeth berukuran besar. Anterior
spirakel tampak seperti pori yang hanya dapat dilihat di bawah mikroskop
elektron. Pada posterior spirakel hanya terdapat 2 spiracular slit. Larva instar
kedua mempunyai karakteristik hampir sama dengan larva instar ketiga namun
berukuran lebih kecil. Anterior dan posterior spirakel telah berkembang dengan
baik. Posterior spirakel terdiri dari tiga buah spiracular slit dan dikelilingi oleh
rimae yang tersklerotisasi. Terdapat 4 rumpun spiracular hair namun jumlah
rambut lebih sedikit dibanding larva instar ketiga. Sedangkan pada larva instar
ketiga, merupakan instar dengan periode hidup paling lama dalam inang. Pada
instar tersebut, larva memiliki sepasang anterior spirakel pada bagian prothoraks
dan sepasang posterior spirakel di caudal segment. Posterior spirakel dikelilingi
oleh banyak spiracular tubules. Pada sisi ventral caudal segment terdapat anus.
Larva instar ketiga mempunyai kemampuan melenting. Umumnya hal ini
dilakukan saat larva akan mengalami pupasi (JFTA 1996).
Bactrocera papayae
Bactrocera papayae merupakan spesies yang banyak ditemukan di sentra
produksi buah di Indonesia (Sukarmin, 2010). Spesies B. papayae berkembang
luas di kawasan Asia Tenggara, terutama Thailand, Malaysia, Singapura, dan
Indonesia, serta dikenal juga sebagai B. conformis (Siwi et al. 2006). Beberapa
tanaman inang bagi B. papayae yaitu pisang, mangga, pepaya, dan rambutan. Ciri
morfologi B. papayae dapat dilihat dari thoraks yang berwarna hitam dominan
pasa skutum dan mempunyai rambut supra alar di sisi anterior. Skutum ditandai
dengan pita berwarna kuning di sisi lateral (lateral post sutural vittae). B. papayae
memiliki sayap dengan pita hitam pada garis costa dan garis anal, serta sel bc
tampak jelas. Sedangkan abdomen terbagi dalam ruas-ruas yang jelas dimana
terdapat pekten pada tergit ketiga. Selain itu, tergit ketiga juga dicirikan dengan
garis melintang. Lalat betina dewasa tidak mempunyai spot hitam pada femur
tungkai depan (Siwi et al. 2006).
Dampak Serangan Lalat Buah terhadap Produk Pascapanen
Lalat buah merupakan salah satu hama berbahaya yang menyerang produk
pascapanen hortikultura. Keberadaan lalat buah dalam suatu produk yang akan

diekspor seringkali menimbulkan masalah yang fatal. Menurut Vayssieres et al.
(2005), serangan lalat buah menimbulkan kehilangan hasil yang bervariasi. Lalat
buah dilaporkan menimbulkan kerusakan mangga hingga kisaran 10-50% di
Benin. Jepang waspada terhadap penyebaran lalat buah melalui komoditas
pertanian impor yang masuk ke pasar Jepang. Vueti dan Leblanc (2002)
melaporkan bahwa lalat buah jenis B. philippinensis telah menyebar ke wilayah
Palau, sementara itu Sauers-Mullers (2005) mengatakan bahwa B. carambolae
menyebar ke Suriname, B. tryoni juga menyebar ke Papua New Guinea (Purea et
al. 1997), dan Vayssieres et al. (2008) menyebutkan bahwa B. cucurbitae
menyebar ke beberapa negara kepulauan di Samudera Hindia.
Otoritas karantina Jepang berhasil mengintersepsi beberapa spesies lalat
buah pada komoditas pertanian impor, seperti B. dorsalis, B. carambolae, B.
papayae, B. occipitalis, dan B. philippinensis (Ebina dan Otho 2006). Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika Jepang menerapkan aturan karantina yang ketat bagi
produk impor yang akan masuk ke dalam negaranya. Gambar 4 memperlihatkan
dampak serangan lalat buah pada buah mangga.

Gambar 4 Dampak serangan lalat buah
Perlakuan Karantina
Perlakuan karantina sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya
penyebaran suatu organisme pengganggu tumbuhan dari suatu daerah ke daerah
lainnya melalui komoditas pertanian yang akan dikirim. Berbagai perlakuan
karantina dikembangkan dengan harapan mampu mengakibatkan mortalitas yang
tinggi pada serangga target. Menurut Mangan dan Hallman (1998), umumnya
yang disyaratkan adalah probit 9 atau tingkat mortalitas mencapai 99.9968 %.
Kerusakan dimulai sejak lalat buah betina meletakkan telur di dalam
jaringan inang. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mengendalikan
perkembangan lalat buah ini seperti fumigasi, iradiasi, gelombang mikro,
perlakuan suhu, dan lain-lain. Berbagai metode tersebut efektif dalam proses
disinfestasi berbagai jenis spesies hama tanaman jika diaplikasikan sesuai aturan.
Namun setiap negara mempunyai standar dan aturan mengenai batasan-batasan
dosis atau lama perlakuan yang boleh digunakan.
Teknologi fumigasi telah dikenal sejak lama dan telah diaplikasikan secara
luas diberbagai negara di seluruh dunia. Salah satu keunggulan teknologi fumigasi
yaitu dapat diaplikasikan pada komoditas dalam jumlah besar secara bersamaan
sehingga menghemat waktu. Metil bromida adalah salah satu fumigan yang paling
umum digunakan karena daya kerja cepat dan berspektrum luas (Fields dan White
2002). Namun sesuai Protokol Montreal tahun 1997, penggunaan metil bromida
mulai dilarang karena menyebabkan kerusakan lapisan ozon dan residu yang

ditinggalkan pada komoditas yang difumigasi disinyalir berbahaya bagi kesehatan
manusia. Loaharanu (1999) menyatakan bahwa negara-negara maju telah
menghentikan penggunaan metil bromida sejak 2005, sedangkan negara
berkembang dijadwalkan tahun 2015. Penggunaan metil bromida untuk
selanjutnya hanya diperbolehkan untuk keperluan karantina (dengan aturan ketat)
dan tindakan darurat tertentu.
Perlakuan karantina juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan efek
gelombang frekuensi tinggi seperti teknik iradiasi dan gelombang mikro. Prinsip
kerja teknik iradiasi adalah pemaparan komoditas (baik yang dikemas/curah)
dengan energi radiasi ionisasi dalam jumlah dan waktu yang terkontrol untuk
mencapai tujuan yang diinginkan. Teknik iradiasi cukup efektif dalam mengontrol
serangan lalat buah. Pada tahun 1986, Food and Drug Administration (FDA)
mengizinkan penerapan radiasi hingga 1 kGy (100 krad) pada buah dan sayuran
dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan dan memperlambat proses
pembusukan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis 0.75 kGy dapat
mensterilkan serangga dan dosis yang lebih besar dari 1 kGy dapat mengontrol
pembusukan. Pada tahun 1996, United States Departement of Agriculture
(USDA) dan Animal and Plan Health Inspection Service (APHIS) menyatakan
iradiasi legal sebagai salah satu perlakuan karantina untuk mengontrol lalat buah.
Di sisi lain, penggunaan teknik iradiasi cukup mengkhawatirkan. Jika dosis
yang digunakan melebihi aturan yang seharusnya maka produk akan mengalami
perubahan kualitas bahkan bisa menyebabkan mutagen pada produk sehingga
membahayakan kesehatan ketika dikonsumsi. Oleh karena itu, penggunaan
iradiasi hanya diijinkan di beberapa negara tertentu dan dengan aturan yang sangat
ketat.
Gelombang mikro juga sudah diaplikasikan. Microwave merupakan contoh
penggunaan gelombang mikro yang mulai banyak digunakan di perkotaan negaranegara maju. Prinsip kerja gelombang mikro yaitu suatu insulator dielektrik akan
menyerap energi ketika ditempatkan dalam suatu medan listrik berfrekuensi
tinggi. Pengendalian hama menggunakan gelombang mikro didasarkan pada
perubahan energi medan elektromagnetik menjadi energi panas yang diakibatkan
oleh pergerakan atau polarisasi molekul bahan. Semua bahan terdiri atas molekulmolekul dan atom-atom yang memiliki dua polar yaitu proton yang bermuatan
positif dan elektron bermuatan negatif. Bila satu medan listrik mengenai bahan
maka molekul-molekul tersebut akan menimbulkan pergerakan dan menghasilkan
pergerakan pada muatan listrik bahan. Saat adanya penetrasi gelombang mikro
maka muatan listrik pada bahan akan menyesuaikan diri dan bergerak, dan
pergerakan ini akan menghasilkan panas. Kelemahan teknik gelombang mikro
salah satunya adalah mahalnya investasi awal jika tidak dilakukan dalam jumlah
besar serta kurangnya kesadaran akan manfaat penggunaan gelombang mikro di
masyarakat.
Vapor Heat Treatment/VHT
Perlakuan uap panas merupakan salah satu metode perlakuan karantina
menggunakan temperatur tinggi sekitar 43 – 50 oC. Proses disinfestasi pada buah
dilakukan dengan cara memanaskan buah dengan uap pada suhu tertentu selama
periode waktu tertentu yang bertujuan untuk membunuh lalat buah atau

mengendalikan penyakit seperti antraknosa dan stem end rot tanpa menyebabkan
kerusakan pada buah itu sendiri (Nusantara 2012).
Menurut JFTA (1996), penggunaan panas pada mangga dengan metode
VHT dilakukan pada suhu pusat buah (dekat biji) 46.5 oC selama 10-30 menit dan
terbukti efektif untuk membunuh lalat buah jenis Oriental fruit fly dan Melon fruit
fly dari mangga Nang Klangwan (Thailand) dan mangga Irwin (Taiwan dan
Okinawa) serta mampu mengendalikan penyakit stem end rot dari mangga
Kensington. Rohaeti (2010) menambahkan bahwa pada pemanasan menggunakan
uap panas selama 30 menit, mortalitas lalat buah B. carambolae mencapai 100%
pada suhu di atas 43ºC, sedangkan pada suhu 46ºC tercapai pemanasan minimal
15 menit. Selain itu, proses VHT berpengaruh terhadap penurunan laju respirasi,
menekan perkembangan cendawan Colletotrichum gloeosporioides, mampu
mengurangi kerusakan akibat chiling injury, mampu mempertahankan nilai TPT,
tidak mempengaruhi kadar air buah, susut bobot, kekerasan buah belimbing dari
awal sampai akhir penyimpanan. Perlakuan VHT selama 20-30 menit dapat
menekan kerusakan chiling injury pada penyimpanan 5 ºC dan menekan serangan
penyakit antraknosa serta dapat mendisinfestasikan lalat buah dan tidak
menyebabkan penurunan mutu buah belimbing selama penyimpanan
Monck dan Pearce (2007) menyebutkan bahwa beberapa negara seperti
Jepang, Thailand, Filipina, Australia, dan Amerika Serikat sudah mengaplikasikan
perlakuan uap panas secara komersial. Bahkan mereka menerapkan aturan
perlakuan untuk komoditas hortikultura yang berasal dari kawasan yang tidak
bebas B. dorsalis, B. cucurbitae, dan C. capitata dengan mensyaratkan perlakuan
uap panas. Menurut Marlisa (2007), temperatur kritis yang menyebabkan
kematian pada serangga tergantung pada spesiesnya, lama perlakuan, dan faktor
lain seperti kelembaban (RH) dan konsentrasi O2. Kematian serangga pada suhu
tinggi dapat disebabkan oleh inaktifasi enzim, pengumpalan protein,
ketidakseimbangan metabolisme, produksi toksin, perubahan tingkat lemak pada
dinding sel dan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Pada suhu tinggi, konsumsi
O2 serangga meningkat, serangga akan sulit bergerak yang dikenal dengan istilah
“heat stupor” kemudian diikuti dengan kematian. Selain itu karena serangga hidup
di dalam daging buah kematian juga dapat disebabkan karena suhu tinggi
menyebabkan peningkatan respirasi buah, sehingga konsentrasi O2 di dalam sel
menurun dan konsentrasi CO2 meningkat. Evaporasi pada telur dan imago
meningkat pada suhu tinggi (pada perlakuan HWT dan VHT) menyebabkan
mencairnya wax pada lapisan chorion pada telur dan kutikula pada imago.

3 METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni hingga Desember 2015 di
Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Vapor Heat
Treatment Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT)
Jatisari, Jawa Barat.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah buah mangga varietas Arumanis, telur lalat
buah Bactrocera papayae, dan bahan-bahan pengujian. Buah mangga Arumanis
yang digunakan berukuran 350-450 gram dengan umur panen ±90 hari setelah
bunga mekar (HSBM) dan tingkat kematangan sekitar 75-85 % atau mengkal
(berdasarkan subjektifitas Petani), yang diperoleh dari perkebunan mangga milik
Petani, di Cirebon, Jawa Barat. Lalat buah stadia telur diperoleh dari pembiakan
massal yang dilakukan di Laboratorium Vapor Heat Treatment Balai Besar
Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT) Jatisari, Jawa Barat.
Peralatan yang digunakan adalah biotron chamber (Sanshu model STH-19P,
Jepang), continuous gas analyzer (Shimadzu, IRA-107, Jepang), mesin perlakuan
uap panas (Sanshu EHK-1000D, Jepang), inkubator (Sanyo MIR-254, Jepang),
refraktometer (Atago, Jepang), refrigerator suhu 13±2 oC (Mitsubishi, Jepang),
rheometer (Sun Scientific, CR-300, Jepang), timbangan analitik (AE Adam, PW
184), water bath (Advantec, Jepang), dan berbagai alat bantu lainnya
Prosedur Penelitian
Pengujian mortalitas B. papayae secara in-vitro
Telur merupakan stadia yang paling toleran terhadap panas pada lalat buah
B. papayae dibanding larva (instar 1 hingga 3), dan pupa (Nusantara 2012). Untuk
mengetahui tingkat toleransi telur lalat buah spesies B. papayae terhadap lama
pemanasan pada suhu tertentu perlu dilakukan pengujian mortalitas secara in-vitro
dengan menggunakan air panas. Sebelum melakukan pengujian ini terlebih dahulu
dilakukan pembiakan lalat buah (rearing) dengan menggunakan pakan buatan.
Pada minggu ke lima, lalat buah dewasa dapat digunakan sebagai stadia yang
paling optimum untuk melakukan peneluran. Peneluran bertujuan untuk
mengoleksi telur yang akan digunakan dalam penelitian ini. Telur dikoleksi
dengan menggunakan alat peneluran (gelas plastik) dengan diameter 8 cm dan
tinggi 13 cm. Pada sisi gelas plastik dibuat sebanyak 240 lubang dengan jarak
antar lubang 1 cm. Gelas plastik bagian dalam dioles dengan jus mangga.
Kemudian gelas peneluran dimasukkan ke dalam kurungan lalat buah dewasa
untuk proses peneluran. Lama peneluran untuk pengujian adalah 1 jam. Gelas
peneluran yang sudah berisi telur dikeluarkan dari kurungan lalat buah dewasa
untuk dikoleksi telurnya dan dipindahkan ke pakan buatan sebelum diinkubasi
pada suhu 27 oC hingga jam ke-28 setelah peneluran. Alasan penggunaan telur
berumur 28 jam dikarenakan telur akan siap menetas dalam waktu minimal jam
ke-28 setelah diinkubasi.

Telur yang berumur 28 jam dipindahkan ke tabung kaca sebanyak 20 butir
setiap perlakuan. Pengujian dilakukan dengan merendam telur ke dalam air panas
pada suhu 46 oC dengan variasi waktu 5, 10, 15, 20, 25 menit dan kontrol. Telur
kemudian dipindahkan ke pakan buatan dan diinkubasi pada suhu 27±2 oC setelah
dikondisikan sama dengan suhu ruang. Pengamatan dilakukan dua hari setelah
perlakuan perendaman untuk memastikan bahwa telur masih menetas atau tidak.
Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro diperlihatkan pada Gambar
5.

Gambar 5 Bagan alir proses pengujian mortalitas secara in-vitro
Pengujian mortalitas telur B. papayae secara in-vivo
Suhu pada buah diperoleh setelah melakukan penelitian pendahuluan yang
dilakukan dengan mengacu pada buku pedoman JFTA (1996) sehingga diperoleh
hasil bahwa pada suhu 47 oC perlakuan uap panas sudah mencapai hingga ke
pusat buah. Lama waktu pemanasan yang optimum untuk mendisinfestasi lalat
buah agar mencapai mortalitas 100% dapat diketahui dengan melakukan
pengujian mortalitas telur B. papayae secara in-vivo dengan teknik perlakuan
VHT. Pengujian ini dilakukan dengan menginfestasikan telur sebanyak 150
butir/perlakuan ke dalam buah mangga Arumanis. Setelah diinokulasi, sampel
diberi perlakuan uap panas s