Fokus Masalah MEREKONSTRUKSI SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH :Studi Etnosains pada Masyarakat Penglipuran Bali.

10 dengan kompetensi lintas kurikulum yang diharapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi untuk pelajaran sains fisika SLTP, tertuang antara lain bahwa 1 siswa memahami konteks budaya, geografi, dan sejarah serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan, serta berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat dan budaya global dan 2 siswa memahamai dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya untuk saling menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab Depdiknas, 2002. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penelusuran “sains asli” merupakan suatu keharusan dalam rangka mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah. Di samping siswa mempelajari sains Barat yang mempunyai sifat objektif, universal, dan proses bebas nilai value-free proces sebagai budaya yang datang dari Barat Guba Lincoln dalam Cobern Loving, 2001; Stanley Brickhouse: 2001, mereka juga mempelajari sains asli mereka sendiri yang bersifat kontekstual, memiliki etika ethics atau moral dan kearifan wisdom yang merupakan budaya mereka dari masyarakat Timur Irzik, 2001; Snively Corsiglia, 2001.

B. Fokus Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah khususnya di Bali, yang didasarkan atas berbagai alasan. Pertama, masalah rendahnya mutu pendidikan sains, sebagai salah satu indikatornya adalah masih rendahnya prestasi belajar sains siswa jika dibandingkan dengan prestasi 11 belajar sains di berbagai negara. Diduga ada tiga penyebab utama rendahnya prestasi belajar sains siswa adalah : 1 kurang sesuainya kurikulum sains dengan lingkungan sosial-budaya siswa, 2 ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar sains, dan 3 kurangnya fasilitas pendukung proses belajar mengajar. Salah satu hal yang kurang mendapat perhatian dalam reformasi pendidikan sains di Indonesia khususnya dalam pengembangan kurikulum sains adalah kurang diakomodasinya budaya lokal, seperti sains asli indigenous science,cara mengetahui, dan cara belajar-mengajar. Seperti yang telah dilaporkan Snively Corsiglia2001:21 bahwa sains asli tidak saja “berguna”, tetapi sebenarnya adalah “sains nyata” yang dituntun dengan kearifan tradisional yang patut dikembangkan oleh pendidik sains di sekolah. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sains asli masyarakat Bali dan kemungkinan untuk menerapkannya dalam belajar sains di sekolah. Alasan kedua, sebagai orang Bali dan sebagai seorang pendidik sains, peneliti menyadari pentingnya mengintegrasikan atau mengharmoniskan aspek budaya orang Bali untuk proses belajar mengajar sains dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sains di masa depan. Semenjak reformasi pendidikan sains menggunakan landasan pandangan Barat, budaya lokal sangat terabaikan. Peneliti memiliki argumen bahwa latar belakang budaya memainkan peranan penting dalam pendidikan sains. Hal senada juga diungkapkan Subagia 1998:20 bahwa banyak siswa Bali mengalami kesulitan dalam belajar sains karena adanya ketidakcocokan pendidikan sains yang berdasarkan pandangan filosofis Barat dengan pandangan tradisional orang Bali, terutama cara belajar mereka di luar sekolah dengan komunitas di lingkungannya. Maka dari itu, pertimbangan untuk menggali sains lokal untuk 12 mengembangkan pendidikan sains semestinya tidak dipandang sebagai langkah mundur, melainkan hal ini seharusnya dilihat sebagai pemicu untuk bergerak maju. Dalam rangka mengembangkan prestasi sains siswa, pendidikan sains di sekolah dan di rumah lingkungannya seharusnya dipadukan. Sampai saat ini, hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pendidikan sains di sekolah di Bali sangat sedikit mengaitkan pembelajaran sains dengan aktivitas keseharian siswa. Peneliti menduga, jika pendidikan sains di sekolah mengakomodasi sains sosial-budaya siswa, maka di masa depan prestasi belajar sains siswa akan dapat ditingkatkan. Penelitian ini dilaksanakan di desa Penglipuran yang berlokasi di Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Desa ini dipilih sebagai latar setting penelitian ini dengan alasan : Pertama, desa Penglipuran termasuk desa asli Bali Bali Aga. Desa Baliage memiliki ciri-ciri 1 pemerintahan desa dipimpin oleh tetua yang disebut Kubayan, Kebau, atau Sungukan, 2 tidak mengenal kasta, 3 tanah-tanah adalah milik desa duwe desa, 4 punya bentuk kata-kata yang berbeda dengan orang Bali umumnya Dharmayuda, 1995; Depdikbud, 1977. Kedua, artifaks yang berupa rumah dan pintu gerbang rumah penduduk desa Penglipuran terbuat dari tanah dan bambu dan bentuknya dari satu rumah ke rumah lainnya sama. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan desa tradisional lainnya yang ada di Bali, dimana sudah terjadi perubahan- perubahan bentuk ke rumah modern dan pada umumnya tidak seragam lagi. Ketiga, penataan lingkungan desa adat Penglipuran sangat teratur dan menggunakan konsep tradisional keharmonisan Tri Mandala, yaitu utama mandala komplek Pura, madya mandala perumahan penduduk, dan nista mandala tempat binatang, sawahkebun, dan kuburan Dharmayuda Cantika, 1991; Depdikbud, 1977; Manuaba, 1994. Tampaknya penduduk desa Penglipuran relatif lebih kuat mempertahankan tradisi 13 kehidupan nenek moyangnya, dari jaman dulu sampai sekarang ini Pitana, 1994. Zen 1993 mengatakan bahwa masyarakat tradisional adalah masyarakat yang dengan keterbatasan teknologinya, berupaya menjaga keseimbangan dan memanfaatkan serta memelihara lingkungan alam sekitarnya sebagai mata rantai kehidupan mereka. Alam sekitar merupakan bagian kehidupan manusia, maka kerusakan alam sekitarnya, adalah bencana bagi kelangsungan hidup generasinya. Tatanan pantang larang yang terdapat dalam masyarakat tradisional tidak saja sebagai tuntunan dalam memelihara lingkungan sosial-budayanya, tetapi mengatur pula hubungan individu dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, dapat diduga bahwa dalam konteks pekerjaan-pekerjaan atau kebiasaan-kebiasaan hidup sehari- hari serta artifaks yang ada biasanya terselubung konsep-konsep sains asli Snively Corsiglia, 2001; Cobern Aikenhead, 1996; Kawagley et al: 1998. Berdasarkan kerangka pemikiran dan latarbelakang masalah di atas, ditarik beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini antara lain : 1. Bagaimana pandangan masyarakat Penglipuran terhadap alam semesta dan gejala alam ? 2. Bagaimana sains asli indigenous science masyarakat Penglipuran yang masih diyakini dan digunakan dalam hidupnya ? 3. Apakah sains asli yang ada di Penglipuran memiliki kesepadanan dengan konsep-konsep sains fisika ? 4. Bagaimana mengintegrasikan sains asli dalam kurikulum sains berbasis budaya lokal di sekolah? 5. Bagaimana model pembelajaran sains berbasis budaya lokal di sekolah ? 14

C. Tujuan Penelitian