MEREKONSTRUKSI SAINS ASLI (INDIGENOUS SCIENCE) DALAM RANGKA MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN SAINS BERBASIS BUDAYA LOKAL DI SEKOLAH :Studi Etnosains pada Masyarakat Penglipuran Bali.

(1)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

ABSTRAK...iii

ABSTRACT...…iv

PERNYATAAN...…v

KATA PENGANTAR………vi

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL...xiii

DAFTAR GAMBAR...xiv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Fokus Masalah...10

C. Tujuan Penelitian...14

D. Manfaat Penelitian...14

BAB II KAJIAN TEORETIS...16

A. Aspek Kultural Belajar Sains...………...16

B. Sains Berdasarkan Perspektif Multisains...20

1. Pengetahuan Sains Intuitif...……....21

2. Sains Modern Keunggulan dan Keterbatasannya………...25

C. Pendidikan dan Sistem Belajar Asli Masyarakat Tradisional...30 ix


(2)

D. Teori Belajar Kolateral (Collateral Learning Theory)...36

E. Pandangan Alam Semesta dan Pendidikan Sains...40

1. Penelitian tentang Pandangan Alam Semesta...40

2. Sikap Hidup Orang Bali Terhadap Alam...46

a. Pengertian Orang Bali...46

b. Pandangan Tradisional Alam Semesta Orang Bali...49

c. Orientasi Ruang Kosmos...53

F. Sistem Sosial Budaya Masyarakat Bali...56

G. Mereformasi Kurikulum Sains...60

H. Hasil-hasil Penelitian Etnosains dan Pendidikan Sains……….62

BAB III METODE PENELITIAN...65

A. Rancangan Penelitian yang Digunakan...65

B. Prosedur Penelitian...66

C. Pemilihan Latar (Setting) Penelitian...67

D. Subjek Penelitian...67

E. Data yang Dikumpulkan...68

F. Metode Pengumpulan Data...68

G. Pemeriksaan Keabsahan Data...71

H. Teknik Analisis Data...72

I. Pengalaman Penelitian...73


(3)

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN...75

A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian...75

1. Lokasi Penelitian...75

2. Sejarah Desa Adat Penglipuran...76

3. Keadaan Geografis Komunitas Penglipuran...78

4. Kependudukan...82

5. Ekologi Komunitas Penglipuran...85

B. Tinjauan Umum Sains Asli pada Masyarakat Penglipuran...91

1. Pandangan Alam Semesta Masyarakat Penglipuran... 91

2. Sistem Satuan Tradisional (Sikut)...97

3. Sains Asli yang Dapat Dijelaskan Sains Barat...103

a. Konsep Mekanika pada Bangunan Tradisional...103

b. Konsep Resonansi Bunyi pada Kentongan dan Gamelan Tradisional...124

c. Konsep Medan Listrik pada Penangkal Petir Tradisional...132

d. Sistem Kalender Caka Bali...141

3. Sains Asli yang Belum Dapat Dijelaskan Sains Barat...143


(4)

BAB V SAINS ASLI DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN SAINS

BERBASIS BUDAYA DI SEKOLAH...146

A. Pandangan Alam semesta dalam Pendidikan Sains di Sekolah……..146

B. Sains Asli (Budaya Lokal) sebagai Sumber Belajar Sains di Sekolah...149

C. Manfaat Pengetahuan Pengalaman Konkret (Concrete Experience) Bagi Pengetahuan Sains Konseptual (Abstract & Conceptual)...156

D. Perlunya Kurikulum Sains yang Peduli Terhadap Budaya Lokal...159

E. Perlunya Mereformasi Kurikulum Sains Daerah...162

E. Model Pembelajaran Sains untuk Kurikulum Sains Berbasis Budaya Lokal di Sekolah...168

1. Perlu Penghubung antara Sains Asli dengan Sains Barat...168

2. Sikap Guru Sains dalam Mengimplementasikan Kurikulum Sains Berbasis Budaya di Sekolah...169

3. Langkah-langkah Pembelajaran Sains di Kelas...172

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI...176

A. Kesimpulan...176

B. Implikasi...179

C. Rekomendasi...180

DAFTAR PUSTAKA...183

LAMPIRAN-LAMPIRAN………...196

RIWAYAT HIDUP………..218 xii


(5)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Penggunaan Lahan di Wilayah Penglipuran………78

Tabel 4.2 Keadaan Penduduk Desa Penglipuran pada Tahun 2003...82

Tabel 4.3 Mata Pencaharian Penduduk Desa Penglipuran Tahun 2003...84

Tabel 4.4 Jenis-jenis Bambu yang ada di Penglipuran………89

Tabel 4.5 Konversi Satuan Tradisional ke Satuan Ilmiah...103

Tabel 4.6 Rangkuman Sains Asli untuk Bangunan Tradisional...122

Tabel 4.7 Frekuensi Nada Gamelan Tradisional Jublag dengan Sistem 5 Nada...128

Tabel 4.8 Rangkuman Sains Asli untuk Pembuatan Alat-alat Musik Tradisional...131

Tabel 4.9 Rangkuman Sains Asli untuk Penangkal Petir Tradisional...140

Tabel 5.1 Contoh Integrasi Sains Asli ke dalam Kurikulum Sains Berbasis Budaya di Sekolah...165


(6)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Ekologi Pengetahuan Tradisional ………..……….…25

Gambar 2.2 Proses Ilmiah………..………..27

Gambar 2.3 Proses Usaha Kelima Kelompok Siswa dalam Melintasi "Batas" Budaya……….36

Gambar 2.4 Penentuan Arah Kaja, Kelod, Kangin, dan Kauh di Bali………...………54

Gambar 2.5 Perilaku Manusia Bali Sebagai Mahluk Sosiobudaya……..…….………..57

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian……… ………..………...75

Gambar 4.2 Satuan Tradisional Konstruksi Khusus Tapak untuk Halaman…….…….99

Gambar 4.3 Satuan Tradisional untuk Halaman/Pekarangan Rumah………100

Gambar 4.4 Satuan Tradisional Untuk Konstruksi Bangunan Tradisional……….……101

Gambar 4.5 Bale Gong di Pura Penataran Penglipuran………..105

Gambar 4.6 Detail Hubungan Tiang, Lambang, dan Atap………..107

Gambar 4.7 Detail Sebuah Tiang dengan Sendi di Bagian Bawah dan Canggah Wang pada Bagian Atasnya……….……….108

Gambar 4.8 Umah/Bale Paon………...………109

Gambar 4.9 Bale Kulkul Banjar di Desa Penglipuran………...110

Gambar 4.10 Konsep Bah Bangun dalam Konstruksi Atap………..111

Gambar 4.11 Angkul-angkul di Penglipuran………...114


(7)

Gambar 4.12 Titik Pusat Massa pada Angkul-angkul Tanpa Tangga……….…………116 Gambar 4.13 Titik Pusat Massa pada Angkul-angkul dengan Tangga……..………….116 Gambar 4.14 Kentongan "Kulkul" di Jaba Pura Penataran Desa Penglipuran………..124 Gambar 4.15. Bilah Daun Gangsa……….……….….127 Gambar 4.16 Gamelan Tradisional Bali Penghasil Lima Nada Dasar "Jublag"……….128 Gambar 4.17 Letak Panca Dhatu dengan Dewanya di Dalam Arah Mata Angin...…...136 Gambar 4.18 Penempatan Panca Dhatu pada Bangunan Suci Padmasana….….……..137 Gambar 5.1 Diagram Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum Sains

Berbasis Budaya di Sekolah……...……….164 Gambar 5.2 Langkah-langkah Implementasi Pembelajaran Sains Berbasis

Budaya di Sekolah…...………...173


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A. Daftar Nama-nama Narasumber yang Diwawancarai...………....196

Lampiran B. Data Pengukuran Panjang Tradisional Masyarakat Desa Penglipuran...197

Lampiran C. Data Hasil Pengukuran Frekuensi Alat Musik Tradisonal...199

Lampiran D. Peta Lokasi Tempat Penelitian...201

Lampiran E. Tata Ruang Perumahan dan Pemukiman Serta Status Penghuni Dalam Desa Adat Penglipuran...202

Lampiran F. Tata Ruang Parahyanan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat Penglipuran...203

Lampiran G. Gambar Perspektif Rumah Contoh di Penglipuran...204

Lampiran H. Konstruksi Bangunan Bale Delod (Bertiang Enam/Sakenem)...205

Lampiran I. Konstruksi Bangunan Umah Paon (Rumah Dapur)...206

Lampiran J. Detail Saka (Tiang) Bale Delod (Sakenem)...207

Lampiran K. Penutup Atap Bangunan (Murda)...208

Lampiran L. Foto Batas Wilayah Desa dan Deretan Angkul-angkul Perumahan di Penglipuran...209

Lampiran M. Foto Aktivitas Keseharian Masyarakat dalam Menjaga Kebersihan Lingkungannya.dan Upacara Pelantikan Tetua Adat (Kubayan)...210

Lampiran N. Foto Pura Rambut Sedana yang Mertiwi dan Padmasana di Pura Penataran Penglipuran………...211


(9)

Lampiran O. Foto Bangunan Tempat Suci “Meru” yang Mirip Pagoda Sebagai

Hasil Inkulturasi Budaya...212 Lampiran P. Bahan Upacara “Banten” untuk Tumbuhan pada Tumpek Pengatag...213 Lampiran Q. Foto Peneliti Bersama Seorang Warga Penglipuran...214 Lampiran R. Foto Proses Pencetakan Melalui Pemanasan dan Pembentukan

Melalui Pemukulan dengan Palu Besi...215 Lampiran S. Foto Pande Gong Menyesuaikan Nada Gangsa dengan Bungbung

Resonatornya dan Gangsa dengan 10 Nada ...216 Lampiran T. Foto Peneliti Sedang Mengukur Frekuensi Bilah Gangsa dengan

Alat Tabung Resonansi...217


(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada awal dasawarsa terakhir abad kedua puluh di mana sains dan teknologi berkembang sangat pesat, dunia mengalami krisis global yang serius yaitu suatu krisis kompleks yang multidimensional yang segi-seginya menyentuh aspek kehidupan kesehatan dan matapencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, energi, teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kali dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini (Capra, 2002:1). Ancaman perang nuklir merupakan bahaya terbesar yang dihadapi oleh umat manusia saat ini, meskipun bukan satu-satunya. Bahkan tanpa mempertimbangkan ancaman malapetaka nuklir sekalipun, ekosistem global dan evolusi kehidupan selanjutnya di bumi berada dalam bahaya yang serius dan bisa berakhir dalam suatu bencana ekologis dalam skala besar. Kelebihan penduduk dan teknologi industri telah menjadi penyebab terjadinya degradasi hebat pada lingkungan alam yang sepenuhnya menjadi gantungan hidup manusia.

Konsep baru tentang fisika telah membawa perubahan yang sangat mendasar bagi pandangan dunia kita; dari konsep Descartes dan Newtonian yang mekanistis kepada pandangan holistik dan ekologis. Namun, pandangan baru tentang dunia


(11)

2 tersebut tidak begitu saja di terima oleh para ilmuwan pada permulaan abad ini. Perubahan dunia atom dan subatomik membawa mereka bertemu dengan realitas yang tampaknya tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang koheren. Dalam pergulatan untuk memahami realitas baru ini, para ilmuwan akhirnya menyadari bahwa konsep dasar, bahasa maupun keseluruhan cara berpikir yang mereka miliki belum memadai guna menjelaskan fenomena atomik, sehingga tidak salah ungkapan Einstein dalam metaforanya yang terkenal “Tuhan tidak bermain dadu”. Berdasarkan realitas ini, Capra (2002) menyatakan bahwa diperlukan sebuah “paradigma” baru— visi baru tentang realitas; perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi dan nilai yang kita miliki. Gejala awal dari perubahan ini, pergeseran dari persepsi mekanistis kepada konsepsi tentang realitas yang holistik, sudah dapat kita saksikan di segala bidang termasuk pendidikan sains, dan tampaknya mendominasi suasana dekade ini (Cobern & Aikenhead, 1996; Snively& Corsiglia, 2001; Ogawa, 2002; Jegede & Okebukola, 1989; Irsik, 2001).

Mutu pendidikan, khususnya pendidikan sains di Indonesia, masih menjadi isu

dalam berbagai pertemuan ilmiah. The Third International Mathematics and Science

Study Repeat melaporkan bahwa kemampuan sains siswa SLTP di Indonesia hanya berada pada urutan ke-32 dari 38 negara (TIMSS-R, 1999). Demikian juga rata-rata NEM IPA siswa SLTP di Bali sampai tahun 2003 masih di bawah 5,0. Masalah lainnya yang dialami bangsa Indonesia adalah rusaknya lingkungan alam yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, kebakaran hutan, polusi udara, polusi tanah/air yang kesemuanya hanya menghasilkan kesengsaraan rakyat banyak. Semua kegiatan masyarakat yang kurang bertangungjawab terhadap alam lingkungan ini diduga akibat kurangnya pemahaman


(12)

3 terhadap nilai-nilai kearifan terhadap lingkungan alamnya, yang semestinya diperoleh melalui pendidikan sains di sekolah. Namun, pembelajaran sains yang semestinya berisi nilai-nilai kearifan dan etis sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang dikenal luhur tersebut selama ini terabaikan. Adimasana (2000) mengatakan bahwa salah satu penyebabnya adalah akibat dari kegagalan sektor pendidikan dalam melaksanakan pendidikan nilai di sekolah. Hal ini didukung oleh hasil studi yang dilakukan Sadia,dkk (1999) dan Suastra,dkk (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar (90 %) tujuan pembelajaran sains di sekolah diarahkan pada pencapaian pengetahuan sains (produk sains) dan sisanya diarahkan pada pengembangan keterampilan proses dan sikap serta nilai. Oleh karena itu, perlu adanya usaha yang serius untuk memperbaiki sistem maupun proses pendidikan dalam rangka membenahi proses dan hasil belajar sains siswa.

Rendahnya kualitas pendidikan sains selama ini di Indonesia dapat diduga karena kurang diperhatikannya lingkungan sosial budaya siswa. Hal ini terbukti dari hasil evaluasi kurikulum 1994 SLTP pada mata pelajaran sains yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud yang menunjukkan bahwa 1) sebagian besar siswa tidak mampu mengaplikasikan konsep-konsep sains dalam kehidupan nyata dan 2) pengajaran tidak menitikberatkan pada prinsip bahwa sains mencakup pemahaman konsep, dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari (Depdikbud, 1999). Dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana "stratifikasi sosial" dan sistem persekolahan yang hanya mentransfer kepada

peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang


(13)

4 sumbernya dan aplikasinya (Zamroni, 2000:1). Dengan perkataan lain, pelajaran sains yang dipelajari di sekolah menjadi "kering" dan tidak bermakna bagi siswa.

Pembelajaran sains yang akan datang perlu diupayakan agar ada keseimbangan/ keharmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri dengan penanaman sikap-sikap ilmiah, serta nilai-nilai kearifan yang ada dalam sains itu sendiri. Oleh karena itu, lingkungan sosial-budaya siswa perlu mendapat perhatian serius dalam mengembangkan pendidikan sains di sekolah karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pendidikan sains akan betul-betul bermanfaat bagi siswa itu sendiri dan bagi masyarakat luas. Hal ini sesuai dengan pandangan reformasi pendidikan sains dewasa ini yang menekankan pentingnya pendidikan sains bagi upaya meningkatkan tanggung jawab sosial (Cross & Price, 1992). Berdasarkan usaha reformasi ini, tujuan pendidikan sains tidaklah hanya untuk meningkatkan pemahaman terhadap sains itu sendiri, tetapi yang lebih penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri (AAAS, 1989). Bagaimana manusia membuat pemahaman tentang dunia alamnya dan bagaimana mereka berinteraksi dengan keseluruhan tatanan makrokosmos sangat ditentukan oleh pandangan mereka tentang dunia dan nilai-nilai universal.

Lingkungan, baik fisik maupun sosial-budaya dapat memberikan kontribusi tertentu pada pengalaman belajar siswa. Pengalaman tersebut dapat berupa pola pikir (ranah kognitif), pola sikap (ranah afektif), maupun pola perilaku (ranah

psikomotorik). Solomon (dalam Baker, et al, 1995) menyatakan konsep-konsep sains

yang dikembangkan di sekolah tidak berjalan mulus karena dipengaruhi kuat oleh faktor-faktor sosial, khususnya pengetahuan intuitif tentang dunia lingkungannya


(14)

5 (life-world). Pengetahuan tersebut dibangun selama siswa masih kanak-kanak yang disosialisasikan dan dienkulturisasi oleh orang lain (seperti orang tua dan teman sebaya). Ogawa (2002) menyatakan salah satu sains intuitif adalah sains sosial atau

budaya (culture or social science) atau disebut juga dengan sains asli (indigenous

science). Snively & Corsiglia (2001:6) menyatakan bahwa sains asli berkaitan dengan pengetahuan sains yang diperolehnya melalui budaya oral di tempat yang sudah lama ditempatinya. Pengetahuan ini sudah merupakan bagian budaya mereka yang diperoleh dari pandangannya tentang alam semesta yang relatif diyakini oleh komunitas masyarakat tersebut. Namun, sampai saat ini sains asli yang merupakan subbudaya dari kelompok masyarakat, kurang disadari dan kurang mendapat perhatian dari para pakar pendidikan sains maupun guru-guru sains di Indonesia.

Baker, et al (1995) menyatakan, bahwa jika pembelajaran sains di sekolah

tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau menerima hanya sebagian konsep-konsep sains yang dikembangkan dalam pembelajaran. Stanley & Brickhouse (2001) menyarankan agar pembelajaran sains di sekolah menyeimbangkan antara sains Barat (sains normal) dengan sains asli (sains

tradisional) dengan menggunakan pendekatan lintas budaya (cross-culture). Pendapat

senada juga dikemukakan oleh Cobern dan Aikenhead (1996: 4), yang menyatakan jika subkultur sains modern yang diajarkan di sekolah harmonis dengan subkultur kehidupan sehari-hari siswa, pengajaran sains akan berkecenderungan memperkuat

pandangan siswa tentang alam semesta, dan hasilnya adalah enculturation. Jika

enculturation terjadi, maka berpikir ilmiah siswa tentang kehidupan sehari-hari akan meningkat.


(15)

6 Sebaliknya, jika subkultur sains yang diajarkan di sekolah berbeda atau bahkan bertentangan dengan subkultur keseharian siswa tentang alam semesta, seperti yang terjadi pada kebanyakan siswa (Costa, 1995; Ogawa, 2002), maka pengajaran sains akan berkecenderungan menghancurkan atau memisahkan pandangan siswa tentang alam semesta, sehingga mereka meninggalkan atau meminggirkan cara asli mereka untuk mengetahui dan rekonstruksi terjadi menuju cara mengetahui menurut

ilmuwan (scientific). Hasilnya adalah asimilasi (Cobern & Aikenhead, 1996;

MacIvor, 1995). Hal ini konotasinya sangat negatif, dan dianggap sebagai “hegemoni pendidikan” atau “imperialisme budaya”. Pada umumnya siswa meghambat asimilasi, misalnya dengan cara kurang memperhatikan pelajaran. Jika hal ini terjadi, tentu hasil belajar sains tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Khusus pendidikan sains di Bali, pandangan orang Bali tentang alam semesta tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat Bali, termasuk guru dan siswa dalam mengembangkan pemahamannya tentang pengetahuan sains Barat, seperti yang diajarkan di seluruh sekolah di Indonesia. Hal ini disebabkan masyarakat Bali cenderung memandang diri dan lingkungannya sebagai suatu sistem yang dikendalikan dengan nilai keseimbangan, dan diwujudkan dalam bentuk prilaku: (1) selalu ingin mengadaptasi diri dengan lingkungannya, sehingga timbul kesan bahwa orang Bali kuat mempertahankan tradisi (pola), tetapi mudah menerima adaptasi; (2) selalu ingin menciptakan kedamaian di dalam dirinya dan keseimbangan dengan lingkungannya (Dharmayuda & Cantika, 1991:6). Dengan demikian, keseimbangan/ keharmonisan dengan lingkungannya merupakan nilai budaya masyarakat Bali yang

sesuai bagi upaya pengembangan tanggungjawab sosial. Dewasa ini, pandangan


(16)

7 ini perlu diperhatikan dan dipertimbangkan untuk memperjelas makna tentang dunia.

Pandangan alam semesta (worldview) didefinisikan sebagai filosofi atau konsepsi

menyeluruh, khususnya pribadi tentang dunia atau kehidupan manusia (Neufeld & Guralnik,eds, 1991). Berdasarkan definisi ini, diduga , orang Bali mungkin memiliki pandangan-pandangan dan pemahaman-pemahaman yang berbeda tentang dunia dan pengalaman hidup mereka dibandingkan dengan orang-orang dari negara lain, khususnya ilmuwan Barat. Sebagai contoh, orang-orang Bali sampai saat ini masih tetap menggunakan ukuran panjang tradisional yang merupakan bagian dari budaya masyarakatnya yang diyakini kebenarannya dalam pembuatan ukuran pekarangan rumah dan konstruksi bangunan tradisional Bali, seperti “depa”, “lengkat”, “ahasta”,

dan sebagainya yang disebutkan dalam lontar/buku Asta Kosala-Kosali (Bidja, 2000;

Tonjaya, 1982), meskipun mereka telah mempelajari alat ukur standar panjang yaitu meter dalam pelajaran fisika (sains) di sekolah. Demikian juga dalam menentukan hari-hari baik untuk melakukan suatu pekerjaan, seperti mulai membangun rumah, menanam pala wija, menanam padi, menebang kayu/bambu dan menentukan kapan Bulan penuh (Bulan Purnama), Bulan mati (Bulan Tilem), gerhana Matahari/Bulan masih menggunakan perhitungan atau pedoman yang disebut dengan Wariga (Bidja & Wijaya, 2002; Rawi, 2002; Kebek, 2002). Jadi, sains asli diduga masih ada dan masih digunakan di kalangan masyarakat Bali yang sampai saat ini kurang mendapat perhatian pengembang kurikulum pendidikan sains.

Lucas (1998) berpendapat bahwa salah satu tujuan utama pendidikan sains di

masyarakat timur (non-Western) seharusnya membandingkan pandangan tradisional

dan pandangan ilmiah tentang manusia dan hakekatnya, serta bagaimana cara berpikirnya, dan juga mengklarifikasi kesesuaian dan perbedaan antara kedua


(17)

8 pandangan tersebut. Lebih lanjut, Jegede & Okebukola (1989) menyatakan, bahwa memadukan sains asli siswa (sains sosial-budaya) dengan pelajaran sains di sekolah ternyata dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Hal ini diakuinya, jika dalam proses belajar mengajar sains, keyakinan atau pandangan tradisional tentang alam semesta tidak dimasukkan, maka konflik yang ada pada diri siswa tentang perbedaan pandangan tradisional dan pandangan ilmiah akan terus dibawa oleh siswa dan akan berakibat pada pemahaman siswa terhadap konsep ilmiah menjadi kurang bermakna. Jegede & Aikenhead (2000: 1) menyarankan agar pembelajaran sains modern menggunakan pedagogi sosial konstruktivis. Karakteristik konstruktivis sosial tentang pengetahuan, meliputi : 1) pengetahuan bukanlah komoditi pasif yang ditransfer dari guru ke siswa, 2) siswa tidak dapat dan seharusnya tidak membuat penyerapan seperti halnya “sepon”, 3) pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari yang mengetahui (knower), 4) belajar adalah proses sosial dimana terjadi interaksi antara siswa dengan

lingkungan, dan 5) pengetahuan awal dan pengetahuan tradisional (indigenous)

pelajar adalah signifikan dalam membantu konstruksi makna dalam situasi yang baru. Semua aktivitas belajar diperantarai oleh budaya dan terjadi dalam konteks sosial. Peran konteks sosial adalah untuk tangga-tangga bagi pelajar, dan menyediakan isyarat dan membantu dimana memelihara ko-konstruksi pengetahuan selama interaksi dengan anggota masyarakat lainnya.

Pembelajaran sains yang mampu menjembatani perpaduan antara budaya siswa dengan budaya ilmiah di sekolah akan dapat mengefektifkan proses belajar siswa. Siswa akan belajar secara formal untuk memahami lingkungannya dengan berbagai permasalahan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, akan terjadi


(18)

9 dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam fisika, para siswa perlu bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual, yaitu masalah-masalah dalam dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari masalah-masalah yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah yang nyata (Johnson, 2002). Prinsip belajar ini juga sesuai dengan prinsip utama belajar dalam

Quantum Teaching yang menyatakan, “Bawalah dunia mereka ke dunia kita. Antarkan dunia kita ke dunia mereka” (DePorter & Nourie, 2000). Di samping itu, pengajaran sains yang berbasis budaya akan sangat relevan dengan konsep pengajaran sains yang direncanakan dalam kurikulum berbasis kompetensi dasar, juga menekankan pada pengembangan nilai/kebijaksanaan. Dengan demikian, pelajaran sains tidak lagi menjadi pelajaran yang asing bagi siswa, berupa hafalan, rumit, tidak ada manfaatnya dan terkesan membosankan, tetapi menjadi pelajaran sains yang bermakna, bermanfaat, dan ramah dengan siswa, karena apa yang mereka pelajari memang benar-benar ada di lingkungan mereka.

Kebijakan politik pendidikan di tanah air kita juga mengalami pergeseran pola pikir, yaitu dari pemerintahan terpusat (sentralisasi) kepada pemerintah berdasar pada otonomi daerah. Perubahan politik ini menyebabkan perubahan kebijakan pendidikan, sehingga daerah memiliki porsi lebih besar dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Dalam pola pikir otonomi daerah ini, daerah dan sekolah diberi kewenangan untuk menentukan sistem yang akan digunakan dalam melaksanakan proses pembelajaran ini, menyangkut kurikulum, silabus, pendekatan, metode pembelajaran, dan strategi pembelajaran (Depdiknas, 2001). Kebijakan dalam bidang pendidikan ini merupakan peluang bagi daerah untuk mengembangkan potensinya termasuk potensi budaya dalam kaitannya dengan pembelajaran sains. Hal ini sejalan


(19)

10 dengan kompetensi lintas kurikulum yang diharapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi untuk pelajaran sains (fisika) SLTP, tertuang antara lain bahwa 1) siswa memahami konteks budaya, geografi, dan sejarah serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan, serta berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat dan budaya global dan 2) siswa memahamai dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya untuk saling menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab (Depdiknas, 2002).

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penelusuran “sains asli” merupakan suatu keharusan dalam rangka mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah. Di samping siswa mempelajari sains Barat yang

mempunyai sifat objektif, universal, dan proses bebas nilai (value-free proces)

sebagai budaya yang datang dari Barat (Guba & Lincoln dalam Cobern & Loving, 2001; Stanley & Brickhouse: 2001), mereka juga mempelajari sains asli mereka

sendiri yang bersifat kontekstual, memiliki etika (ethics) atau moral dan kearifan

(wisdom) yang merupakan budaya mereka dari masyarakat Timur (Irzik, 2001; Snively & Corsiglia, 2001).

B.

Fokus Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah khususnya di Bali, yang didasarkan atas berbagai alasan. Pertama, masalah rendahnya mutu pendidikan sains, sebagai salah satu indikatornya adalah masih rendahnya prestasi belajar sains siswa jika dibandingkan dengan prestasi


(20)

11 belajar sains di berbagai negara. Diduga ada tiga penyebab utama rendahnya prestasi belajar sains siswa adalah : 1) kurang sesuainya kurikulum sains dengan lingkungan sosial-budaya siswa, 2) ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar sains, dan 3) kurangnya fasilitas pendukung proses belajar mengajar. Salah satu hal yang kurang mendapat perhatian dalam reformasi pendidikan sains di Indonesia khususnya dalam pengembangan kurikulum sains adalah kurang

diakomodasinya budaya lokal, seperti sains asli (indigenous science),cara

mengetahui, dan cara belajar-mengajar. Seperti yang telah dilaporkan Snively & Corsiglia(2001:21) bahwa sains asli tidak saja “berguna”, tetapi sebenarnya adalah “sains nyata” yang dituntun dengan kearifan tradisional yang patut dikembangkan oleh pendidik sains di sekolah. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sains asli masyarakat Bali dan kemungkinan untuk menerapkannya dalam belajar sains di sekolah.

Alasan kedua, sebagai orang Bali dan sebagai seorang pendidik sains, peneliti menyadari pentingnya mengintegrasikan atau mengharmoniskan aspek budaya orang Bali untuk proses belajar mengajar sains dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sains di masa depan. Semenjak reformasi pendidikan sains menggunakan landasan pandangan Barat, budaya lokal sangat terabaikan. Peneliti memiliki argumen bahwa latar belakang budaya memainkan peranan penting dalam pendidikan sains. Hal senada juga diungkapkan Subagia (1998:20) bahwa banyak siswa Bali mengalami kesulitan dalam belajar sains karena adanya ketidakcocokan pendidikan sains yang berdasarkan pandangan filosofis Barat dengan pandangan tradisional orang Bali, terutama cara belajar mereka di luar sekolah dengan komunitas di lingkungannya. Maka dari itu, pertimbangan untuk menggali sains lokal untuk


(21)

12 mengembangkan pendidikan sains semestinya tidak dipandang sebagai langkah mundur, melainkan hal ini seharusnya dilihat sebagai pemicu untuk bergerak maju. Dalam rangka mengembangkan prestasi sains siswa, pendidikan sains di sekolah dan di rumah (lingkungannya) seharusnya dipadukan. Sampai saat ini, hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pendidikan sains di sekolah di Bali sangat sedikit mengaitkan pembelajaran sains dengan aktivitas keseharian siswa. Peneliti menduga, jika pendidikan sains di sekolah mengakomodasi sains sosial-budaya siswa, maka di masa depan prestasi belajar sains siswa akan dapat ditingkatkan.

Penelitian ini dilaksanakan di desa Penglipuran yang berlokasi di Kabupaten

Bangli Propinsi Bali. Desa ini dipilih sebagai latar (setting) penelitian ini dengan

alasan : Pertama, desa Penglipuran termasuk desa asli Bali (Bali Aga). Desa Baliage

memiliki ciri-ciri (1) pemerintahan desa dipimpin oleh tetua yang disebut Kubayan, Kebau, atau Sungukan, (2) tidak mengenal kasta, (3) tanah-tanah adalah milik desa (duwe desa), (4) punya bentuk kata-kata yang berbeda dengan orang Bali umumnya

(Dharmayuda, 1995; Depdikbud, 1977). Kedua, artifaks yang berupa rumah dan

pintu gerbang rumah penduduk desa Penglipuran terbuat dari tanah dan bambu dan bentuknya dari satu rumah ke rumah lainnya sama. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan desa tradisional lainnya yang ada di Bali, dimana sudah terjadi

perubahan-perubahan bentuk ke rumah modern dan pada umumnya tidak seragam lagi. Ketiga,

penataan lingkungan desa adat Penglipuran sangat teratur dan menggunakan konsep

tradisional keharmonisan Tri Mandala, yaitu utama mandala (komplek Pura), madya

mandala (perumahan penduduk), dan nista mandala (tempat binatang, sawah/kebun, dan kuburan) (Dharmayuda & Cantika, 1991; Depdikbud, 1977; Manuaba, 1994). Tampaknya penduduk desa Penglipuran relatif lebih kuat mempertahankan tradisi


(22)

13 kehidupan nenek moyangnya, dari jaman dulu sampai sekarang ini (Pitana, 1994). Zen (1993) mengatakan bahwa masyarakat tradisional adalah masyarakat yang

dengan keterbatasan teknologinya, berupaya menjaga keseimbangan dan

memanfaatkan serta memelihara lingkungan alam sekitarnya sebagai mata rantai kehidupan mereka. Alam sekitar merupakan bagian kehidupan manusia, maka kerusakan alam sekitarnya, adalah bencana bagi kelangsungan hidup generasinya.

Tatanan pantang larang yang terdapat dalam masyarakat tradisional tidak saja

sebagai tuntunan dalam memelihara lingkungan sosial-budayanya, tetapi mengatur pula hubungan individu dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, dapat diduga bahwa dalam konteks pekerjaan-pekerjaan atau kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari serta artifaks yang ada biasanya terselubung konsep-konsep sains asli (Snively &

Corsiglia, 2001; Cobern & Aikenhead, 1996; Kawagley et al: 1998).

Berdasarkan kerangka pemikiran dan latarbelakang masalah di atas, ditarik beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana pandangan masyarakat Penglipuran terhadap alam semesta dan

gejala alam ?

2. Bagaimana sains asli (indigenous science) masyarakat Penglipuran yang

masih diyakini dan digunakan dalam hidupnya ?

3. Apakah sains asli yang ada di Penglipuran memiliki kesepadanan dengan

konsep-konsep sains (fisika) ?

4. Bagaimana mengintegrasikan sains asli dalam kurikulum sains berbasis

budaya lokal di sekolah?


(23)

14

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan dan menjelaskan pola-pola “sains asli” atau “sains tradisional” yang hidup di masyarakat serta cara mereka memperoleh pengetahuan tersebut yang merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pandangan masyarakat Penglipuran

terhadap alam semesta dan gejala alam.

2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan sains asli (indigenous science) yang

digunakan secara rutin serta diyakini kebenaranya oleh masyarakat Penglipuran.

3. Mengidentifikasi konsep-konsep sains yang terkandung/terkait pada sains asli

yang ada di Penglipuran.

4. Mengintegrasikan sains asli ke dalam kurikulum berbasis budaya lokal di

sekolah.

5. Menghasilkan model pembelajaran sains berbasis budaya lokal di sekolah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan secara praktis maupun teoretis sebagai berikut.

1. Sebagai upaya mengembangkan pendidikan di daerah sesuai dengan semangat

otonomi daerah dalam bidang pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik di Bali, untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sains berlandaskan lingkungan


(24)

15 sosial-budaya masyarakat. Hal ini semakin mendekatkan pendidikan sains di sekolah dengan kebutuhan dan proses perubahan sosial-budaya masyarakat. Harapan ini relevan dengan rencana kebijakan pendidikan nasional untuk

menerapkan pendidikan Broad-based Education dan pengembangan substansi

pendidikan berorientasi Life-skill, yang keduanya berbasis pada dukungan

lingkungan sosial-budaya masyarakat (Suryadi, 2002; Depdiknas, 2001).

2. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan

wawasan baru dalam mengembangkan pendidikan sains sesuai dengan arah reformasi pendidikan sains dewasa ini. Tujuan pendidikan sains tidak hanya untuk

meningkatkan pemahaman terhadap dunia sains itu sendiri (science for science),

tetapi yang lebih penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri (AAAS, 1989), dan peningkatan tanggung jawab sosial (Cross & Price, 1992).

3. Dijelaskannya sains asli secara ilmiah diharapkan dapat mengubah persepsi

masyarakat pada umumnya yang memandang sains asli sebagai mitos, tahyul, mistis, dan persepsi negatif lainnya. Di samping itu, penjelasan ilmiah ini akan dapat menjembatani penerimaan masyarakat tradisional terhadap masuknya sains modern yang merupakan sub budaya Barat melalui persekolahan yang selama ini sangat sulit diterima masyarakat tradisional karena perbedaan kultural yang sangat tajam. Hal ini sesuai dengan sarannya Whitelegg & Parry (1999), belajar

materi subyek sains (fisika) hendaknya mulai dari konteks kehidupan nyata (real


(1)

10 dengan kompetensi lintas kurikulum yang diharapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi untuk pelajaran sains (fisika) SLTP, tertuang antara lain bahwa 1) siswa memahami konteks budaya, geografi, dan sejarah serta memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan, serta berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat dan budaya global dan 2) siswa memahamai dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungannya untuk saling menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab (Depdiknas, 2002).

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka penelusuran “sains asli” merupakan suatu keharusan dalam rangka mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah. Di samping siswa mempelajari sains Barat yang mempunyai sifat objektif, universal, dan proses bebas nilai (value-free proces) sebagai budaya yang datang dari Barat (Guba & Lincoln dalam Cobern & Loving, 2001; Stanley & Brickhouse: 2001), mereka juga mempelajari sains asli mereka sendiri yang bersifat kontekstual, memiliki etika (ethics) atau moral dan kearifan (wisdom) yang merupakan budaya mereka dari masyarakat Timur (Irzik, 2001; Snively & Corsiglia, 2001).

B.

Fokus Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan pendidikan sains berbasis budaya di sekolah khususnya di Bali, yang didasarkan atas berbagai alasan. Pertama, masalah rendahnya mutu pendidikan sains, sebagai salah satu indikatornya adalah masih rendahnya prestasi belajar sains siswa jika dibandingkan dengan prestasi


(2)

11 belajar sains di berbagai negara. Diduga ada tiga penyebab utama rendahnya prestasi belajar sains siswa adalah : 1) kurang sesuainya kurikulum sains dengan lingkungan sosial-budaya siswa, 2) ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam proses belajar mengajar sains, dan 3) kurangnya fasilitas pendukung proses belajar mengajar. Salah satu hal yang kurang mendapat perhatian dalam reformasi pendidikan sains di Indonesia khususnya dalam pengembangan kurikulum sains adalah kurang diakomodasinya budaya lokal, seperti sains asli (indigenous science),cara mengetahui, dan cara belajar-mengajar. Seperti yang telah dilaporkan Snively & Corsiglia(2001:21) bahwa sains asli tidak saja “berguna”, tetapi sebenarnya adalah “sains nyata” yang dituntun dengan kearifan tradisional yang patut dikembangkan oleh pendidik sains di sekolah. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi sains asli masyarakat Bali dan kemungkinan untuk menerapkannya dalam belajar sains di sekolah.

Alasan kedua, sebagai orang Bali dan sebagai seorang pendidik sains, peneliti menyadari pentingnya mengintegrasikan atau mengharmoniskan aspek budaya orang Bali untuk proses belajar mengajar sains dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan sains di masa depan. Semenjak reformasi pendidikan sains menggunakan landasan pandangan Barat, budaya lokal sangat terabaikan. Peneliti memiliki argumen bahwa latar belakang budaya memainkan peranan penting dalam pendidikan sains. Hal senada juga diungkapkan Subagia (1998:20) bahwa banyak siswa Bali mengalami kesulitan dalam belajar sains karena adanya ketidakcocokan pendidikan sains yang berdasarkan pandangan filosofis Barat dengan pandangan tradisional orang Bali, terutama cara belajar mereka di luar sekolah dengan komunitas di lingkungannya. Maka dari itu, pertimbangan untuk menggali sains lokal untuk


(3)

12 mengembangkan pendidikan sains semestinya tidak dipandang sebagai langkah mundur, melainkan hal ini seharusnya dilihat sebagai pemicu untuk bergerak maju. Dalam rangka mengembangkan prestasi sains siswa, pendidikan sains di sekolah dan di rumah (lingkungannya) seharusnya dipadukan. Sampai saat ini, hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pendidikan sains di sekolah di Bali sangat sedikit mengaitkan pembelajaran sains dengan aktivitas keseharian siswa. Peneliti menduga, jika pendidikan sains di sekolah mengakomodasi sains sosial-budaya siswa, maka di masa depan prestasi belajar sains siswa akan dapat ditingkatkan.

Penelitian ini dilaksanakan di desa Penglipuran yang berlokasi di Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Desa ini dipilih sebagai latar (setting) penelitian ini dengan alasan : Pertama, desa Penglipuran termasuk desa asli Bali (Bali Aga). Desa Baliage memiliki ciri-ciri (1) pemerintahan desa dipimpin oleh tetua yang disebut Kubayan, Kebau, atau Sungukan, (2) tidak mengenal kasta, (3) tanah-tanah adalah milik desa (duwe desa), (4) punya bentuk kata-kata yang berbeda dengan orang Bali umumnya (Dharmayuda, 1995; Depdikbud, 1977). Kedua, artifaks yang berupa rumah dan pintu gerbang rumah penduduk desa Penglipuran terbuat dari tanah dan bambu dan bentuknya dari satu rumah ke rumah lainnya sama. Berbeda halnya bila dibandingkan dengan desa tradisional lainnya yang ada di Bali, dimana sudah terjadi perubahan-perubahan bentuk ke rumah modern dan pada umumnya tidak seragam lagi. Ketiga, penataan lingkungan desa adat Penglipuran sangat teratur dan menggunakan konsep tradisional keharmonisan Tri Mandala, yaitu utama mandala (komplek Pura), madya mandala (perumahan penduduk), dan nista mandala (tempat binatang, sawah/kebun, dan kuburan) (Dharmayuda & Cantika, 1991; Depdikbud, 1977; Manuaba, 1994). Tampaknya penduduk desa Penglipuran relatif lebih kuat mempertahankan tradisi


(4)

13 kehidupan nenek moyangnya, dari jaman dulu sampai sekarang ini (Pitana, 1994). Zen (1993) mengatakan bahwa masyarakat tradisional adalah masyarakat yang dengan keterbatasan teknologinya, berupaya menjaga keseimbangan dan memanfaatkan serta memelihara lingkungan alam sekitarnya sebagai mata rantai kehidupan mereka. Alam sekitar merupakan bagian kehidupan manusia, maka kerusakan alam sekitarnya, adalah bencana bagi kelangsungan hidup generasinya. Tatanan pantang larang yang terdapat dalam masyarakat tradisional tidak saja sebagai tuntunan dalam memelihara lingkungan sosial-budayanya, tetapi mengatur pula hubungan individu dengan alam sekitarnya. Dengan demikian, dapat diduga bahwa dalam konteks pekerjaan-pekerjaan atau kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari serta artifaks yang ada biasanya terselubung konsep-konsep sains asli (Snively & Corsiglia, 2001; Cobern & Aikenhead, 1996; Kawagley et al: 1998).

Berdasarkan kerangka pemikiran dan latarbelakang masalah di atas, ditarik beberapa permasalahan penting yang perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana pandangan masyarakat Penglipuran terhadap alam semesta dan gejala alam ?

2. Bagaimana sains asli (indigenous science) masyarakat Penglipuran yang masih diyakini dan digunakan dalam hidupnya ?

3. Apakah sains asli yang ada di Penglipuran memiliki kesepadanan dengan konsep-konsep sains (fisika) ?

4. Bagaimana mengintegrasikan sains asli dalam kurikulum sains berbasis budaya lokal di sekolah?


(5)

14

C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan dan menjelaskan pola-pola “sains asli” atau “sains tradisional” yang hidup di masyarakat serta cara mereka memperoleh pengetahuan tersebut yang merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan pandangan masyarakat Penglipuran terhadap alam semesta dan gejala alam.

2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan sains asli (indigenous science) yang digunakan secara rutin serta diyakini kebenaranya oleh masyarakat Penglipuran.

3. Mengidentifikasi konsep-konsep sains yang terkandung/terkait pada sains asli yang ada di Penglipuran.

4. Mengintegrasikan sains asli ke dalam kurikulum berbasis budaya lokal di sekolah.

5. Menghasilkan model pembelajaran sains berbasis budaya lokal di sekolah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan secara praktis maupun teoretis sebagai berikut.

1. Sebagai upaya mengembangkan pendidikan di daerah sesuai dengan semangat otonomi daerah dalam bidang pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil kebijakan dan para pendidik di Bali, untuk mengembangkan kurikulum dan pembelajaran sains berlandaskan lingkungan


(6)

15 sosial-budaya masyarakat. Hal ini semakin mendekatkan pendidikan sains di sekolah dengan kebutuhan dan proses perubahan sosial-budaya masyarakat. Harapan ini relevan dengan rencana kebijakan pendidikan nasional untuk menerapkan pendidikan Broad-based Education dan pengembangan substansi pendidikan berorientasi Life-skill, yang keduanya berbasis pada dukungan lingkungan sosial-budaya masyarakat (Suryadi, 2002; Depdiknas, 2001).

2. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan baru dalam mengembangkan pendidikan sains sesuai dengan arah reformasi pendidikan sains dewasa ini. Tujuan pendidikan sains tidak hanya untuk meningkatkan pemahaman terhadap dunia sains itu sendiri (science for science), tetapi yang lebih penting juga adalah bagaimana memahami kehidupan manusia itu sendiri (AAAS, 1989), dan peningkatan tanggung jawab sosial (Cross & Price, 1992).

3. Dijelaskannya sains asli secara ilmiah diharapkan dapat mengubah persepsi masyarakat pada umumnya yang memandang sains asli sebagai mitos, tahyul, mistis, dan persepsi negatif lainnya. Di samping itu, penjelasan ilmiah ini akan dapat menjembatani penerimaan masyarakat tradisional terhadap masuknya sains modern yang merupakan sub budaya Barat melalui persekolahan yang selama ini sangat sulit diterima masyarakat tradisional karena perbedaan kultural yang sangat tajam. Hal ini sesuai dengan sarannya Whitelegg & Parry (1999), belajar materi subyek sains (fisika) hendaknya mulai dari konteks kehidupan nyata (real life contexts).