PENGEMBANGAN ALAT UKUR TES LITERASI SAINS SISWA SMP DALAM KONTEKS BUDAYA BALI.

(1)

i DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

PERNYATAAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

UCAPAN TERIMAKASIH ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 17

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Definisi Operasional ... 20

BAB II LITERASI SAINS UNTUK ANAK SMP DAN PENGUKURANNYA ………... 25

A. Dimensi dan Tujuan Pendidikan Sains ……….. 25

B. Asesmen, Evaluasi, Pengukuran, dan Tes ……….. 28

C. Implikasi Dimensi dan Tujuan Pendidikan Sains pada Proses Pembelajaran dan Asesmen ………. 32

D. Pengembangan Alat Ukur Literasi Sains dalam Konteks Budaya Bali ………... 33


(2)

ii

BAB III METODE PENELITIAN 71

A. Disain Penelitian ……… 71

B. Menentukan Populasi dan Sampel Penelitian ... 88

C. Instrumen Pengumpulan Data ……….. 90

D. Teknik Analisis Data ………. 92

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….. 103

A. Karakteristik Alat Ukur Tes Literasi Sains dalam Konteks Budaya Bali ……… 103

B. Validitas Perangkat Alat Ukur Tes Literasi Sains ……. 107

C. Reliabilitas Perangkat Alat Ukur Tes Literasi Sains ... 109

D. Keakuratan Alat Ukur Tes Literasi Sains yang Diimplementasikan ... 110

E. Kendala-Kendala yang Dihadapi dalam Pengembangan dan Implementasi Alat Ukur Literasi Sains ... 174

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI ... 178

A. Kesimpulan ... 178

B. Saran ... 180

C. Rekomendasi ... 181

DAFTAR PUSTAKA ... 182


(3)

iii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Perbandingan Literasi Sains NSES dengan PISA ………. 36 Tabel 2.2 Prosedur Pengembangan Instrumen dan Hasil Ujicoba …. 64 Tabel 3.1 Kisi-Kisi Butir Soal Pengembangan Alat Ukur Tes Literasi

Sains dalam Konteks Budaya Bali ………. 79 Tabel 3.2 Butir Soal yang Dikembangkan Berdasarkan Spesifikasi

Konteks Sains ……… 84

Tabel 3.3 Data Jumlah SMP Negeri pada dua Kabupaten dan Kota di

Propinsi Bali ………... 89

Tabel 3.4 Format Validasi Isi Soal Bentuk Pilihan Ganda ………… 91 Tabel 3.5 Kriteria Pengambilan Keputusan/Judgement dalam

Validasi Isi ………. 94

Tabel 3.6 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 96 Tabel 3.7 Interaksi Indek Kesukaran dengan Daya Pembeda ………. 97 Tabel 3.8 Klasifikasi dan Interpretasi Daya Pembeda ……… 98 Tabel 3.9 Kriteria Reliabilitas Naskah Soal ……… 100 Tabel 3.10 Kriteria Pengambilan Keputusan Butir Soal ……….. 101 Tabel 4.1 Karakteristik Butir Soal Literasi Sains dalam Konteks

Budaya Bali ………. 104

Tabel 4.2 Hasil Validitas Butir Soal Literasi Sains dengan Program

ANATES ... 108 Tabel 4.3 Butir Soal yang Dikembangkan Berdasarkan Konteks Sains

(untuk Expert Judgement) ………. 112 Tabel 4.4 Hasil Penskoran Validasi Isi Aspek yang Tidak Disetujui


(4)

iv Tabel 4.5 Sebaran Butir Soal Literasi Sains Setelah Melalui Validasi

Isi yang dilakukan oleh Expert ……….. 136 Tabel 4.6 Rekap Analisis Butir Soal Ujicoba Terbatas dan

Pengambilan Keputusan Setiap Butir Soal ... 138 Tabel 4.7 Sebaran Butir Soal Literasi Sains Setelah Melalui Ujicoba

Terbatas ………... 140

Tabel 4.8 Hasil Revisi Pengecoh Butir Soal Ujicoba Terbatas …….. 142 Tabel 4.9 Sebaran Butir Soal yang Diujikan Secara Luas …………. 148 Tabel 4.10 Rekap Analisis Butir Soal Ujicoba Luas dan Pengambilan

Keputusan Setiap Butir Soal ... 150 Tabel 4.11 Hasil Analisis Kualitas Pengecoh Data Ujicoba Luas

Menggunakan Program ANATES ………. 152 Tabel 4.12 Pengecoh yang harus Direvisi pada Butir Soal Ujicoba

Luas ……… 154

Tabel 4.13 Kesesuaian antara Temuan 19 Butir Soal Sains Lokal Budaya Bali dengan Sains Ilmiah dalam Pembelajaran


(5)

v DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian ………... 16

Gambar 2.1 Dinamika Diakronis Kebudayaan Bali dan Budaya Sains 40 Gambar 2.2 Butir Soal Terdiri dari Stem & Pilihan Jawaban ……….. 57

Gambar 2.3 Butir Soal Terdiri dari Stimulus, Stem & Pilihan Jawaban 57 Gambar 3.1 Desain Program Pengembangan Tes ... 72

Gambar 3.2 Alur Kegiatan Analisis Kebutuhan dan Merumuskan Tujuan ... 73

Gambar 3.3 Alur Kegiatan Merancang Soal Konteks Budaya Bali ….. 77

Gambar 3.4 Alur Kegiatan Pengembangan Tes ………... 80

Gambar 4.1 Tingkat Kesukaran Butir Soal ... 106

Gambar 4.2 Alur Kegiatan Analisis Keakuratan Alat Ukur Tes Literasi Sains ……… 111 Gambar 4.3 Orang Meniup “Semprong” ………. 136

Gambar 4.4 Sebaran Butir Soal berdasarkan Tingkat Kesukaran ... 149

Gambar 4.5 Permainan Cug Cug Plag ……… 159

Gambar 4.6 Permainan Adu Jangkrik ………. 159

Gambar 4.7 Keplugan ………. 162

Gambar 4.8 Orang Meniup “semprong” ………. 164

Gambar 4.9 Nyuun Yeh ……….. 165


(6)

vi DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 01. Surat Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Nomor 1847/H.40.7/PL/2008 tanggal 10 April 2008, kepada Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Perlundungan Masyarakat Daerah Propinsi Bali, perihal permohonan

ijin mengadakan studi lapangan/observasi …………. 189 Lampiran 02. Surat Gubernur Bali c/q Kepala Badan Kesatuan

Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Daerah Propinsi Bali Nomor 070/4971/KBPM tanggal 15 April 2008, kepada Walikota/Bupati Buleleng, Klungkung, dan Denpasar Up. Ka Badan Kantor Kesbang Pol, Linmas,

perihal ijin rekomendasi/ijin penelitian ……….. 190 Lampiran 03. Surat Walikota Denpasar c/q Kepala Badan Kesatuan

Bangsa dan Politik Kota Denpasar Nomor 070/389/SKP tanggal 17 April 2008, kepada Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Kota Denpasar, perihal

rekomendasi ijin penelitian ………. 191 Lampiran 04. Surat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota

Denpasar nomor 070/ - /Dikbud tanggal 21 April 2008, kepada Kepala Sekolah SMP Negeri Kota Denpasar,

perihal ijin penelitian ……… 192 Lampiran 05. Surat Bupati Buleleng c/q Kepala Kantor Kesbang dan

Linmas Kabupaten Buleleng ub. Kasi Kesatuan Bangsa Nomor 070/63/KBL/2008 tanggal 17 April 2008, kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng di Singaraja, perihal penelitian/survey/studi

banding/KKL/KKN. Kersos. PKL. ………. 193 Lampiran 06. Surat Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng

Nomor 070/715/Disdik tanggal 29 April 2008, kepada Kepala Sekolah SMP Negeri Kabupaten Buleleng, perihal rekomendasi ijin penelitian ………

194 Lampiran 07. Surat Kepala Kantor Perlindungan dan Ketertiban

Masyarakat Kabupaten Klungkung Nomor 070/161/PKM tanggal 17 April 2008, kepada Kepala Sekolah SMP Negeri seluruh Kabupaten Klungkung,

perihal ijin rekomendasi/penelitian ………. 195 Lampiran 08. Format Validasi Isi Soal Bentuk Pilihan Ganda .... 197 Lampiran 09. Hasil Validasi Isi dari Expert ……….. 199 Lampiran 10. Lembar Jawaban ... 202


(7)

vii Lampiran 11. Data & Hasil Analisis Ujicoba Terbatas Butir Soal

Literasi Sains dalam Konteks Budaya Bali untuk Siswa SMP menggunakan program ANATES Pilihan

Ganda Versi 4.1.0 (3 Maret 04) ……….. 204 Lampiran 12: Data & Hasil Analisis Ujicoba Terbatas Butir Soal

Literasi Sains dalam Konteks Budaya Bali untuk Siswa SMP menggunakan program ITEMAN versi

3.00 (MicroCAT (tm) Testing System, 1982) ………. 217 Lampiran 13. Data & Hasil Analisis Ujicoba Luas Butir Soal Literasi

Sains dalam Konteks Budaya Bali untuk Siswa SMP menggunakan program ANATES Pilihan Ganda Versi

4.1.0 (3 Maret 04) ………. 226 Lampiran 14. Data & Hasil Analisis Ujicoba Luas Butir Soal Literasi

Sains dalam Konteks Budaya Bali untuk Siswa SMP menggunakan program Iteman versi 3.00 (MicroCAT

(tm) Testing System, 1988) ……….. . 241 Lampiran 15. Sumber Gambar Butir Soal Literasi Sains dalam

Konteks Budaya Bali ……….. 250 Lampiran 16 Foto-Foto Aktivitas Pengumpulan Data ……… 251


(8)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Dasar merupakan pendidikan umum yang wajib diperoleh seluruh warga negara Indonesia dengan usia antara 7-15 tahun, yang diimplementasikan melalui wajib belajar sembilan tahun. Wajib belajar sembilan tahun telah dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 yang pelaksanaannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1990 (Sisdiknas, 1992). Wajib belajar sembilan tahun meliputi jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) enam tahun (usia 7-12 tahun), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tiga tahun (usia 12-15 tahun) yang melibatkan seluruh lapisan dan golongan dalam masyarakat. Wajib belajar sembilan tahun memberi arah bahwa semua peserta didik usia 7-15 tahun harus dapat menyelesaikan pendidikan tanpa terputus di tengah jalan. Dengan demikian setiap warga negara Indonesia diharapkan memiliki pendidikan minimal jenjang SMP. Setelah anak mengikuti wajib belajar sembilan tahun diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau dapat membekali kehidupannya secara pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara, karena tidak semua lulusan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, sekolah sebagai wahana pendidikan formal bagi masyarakat, selain berfungsi membekali siswa untuk menguasai berbagai ilmu pengetahuan, juga diharapkan dapat membekali mereka berbagai keterampilan sehingga dapat hidup secara layak di masyarakat.


(9)

2 Pendidikan sains seperti pendidikan pada umumnya, memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan intelektual anak. Pendidikan sains (Rohandi, 1998) dalam pembelajarannya merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui aktivitas berpikir anak, dan dalam keadaan ini anak diberi kesempatan untuk mengembangkan pengetahuannya secara mandiri melalui proses komunikasi dan menghubungkan pengetahuan awal yang dimiliki dengan pengetahuan yang akan/harus mereka temukan. Pada kondisi seperti ini anak menjadi lebih berdaya, dan mampu berperan penting dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Rutherford dan Ahlgren (1990) bahwa pendidikan sains merupakan salah satu bidang pendidikan yang dapat membantu siswa mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir yang diperlukan untuk menjadi seorang manusia bertanggung jawab, dan untuk menghadapi kehidupan. Karhami (2000) juga menjelaskan bahwa pendidikan sains dapat membentuk sikap ilmiah antara lain: sikap jujur, terbuka, luwes, tekun, logis, kritis, kreatif, rasa ingin tahu (curiosity), senantiasa mendahulukan bukti (respect for evidence), luwes terhadap gagasan baru (flexibility), sikap merenung secara kritis (critical reflection), sikap peka/peduli terhadap makhluk hidup dan lingkungan (sensitivity to living things and environment).

Jadi pendidikan sains sangat penting diberikan agar menjadi orang yang melek sains (scientific literacy). Sebaliknya orang yang buta sains bukan berarti tidak tahu sains, mereka tahu sains (sebatas pemahaman konsep sains) akan tetapi belum tentu memiliki kemampuan (ability) untuk memahami bagaimana prosesnya dan bagaimana cara mengatasi masalah-masalah sains. Seperti misalnya


(10)

3 kalau mendung berpeluang turun hujan yang diikuti kilat/petir dan badai guntur. Dalam hal ini anak belum tentu tahu bagaimana proses terjadinya hujan maupun kilat dan badai guntur. Oleh karena itu, untuk menjadi orang yang melek sains maka anak didik perlu dibekali kemampuan (ability) literasi sains karena literasi sains (scientific literacy) berhubungan dengan kemampuan berpikir ilmiah, dan menggunakan pengetahuan dan proses ilmiah untuk memahami dunia sekitarnya dan berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhinya. Literasi sains dipertimbangkan menjadi hasil-hasil pendidikan bagi semua siswa setelah mereka tamat (end of schooling) sesuai dengan level sekolahnya.

Siswa setelah menyelesaikan pendidikan SMP diharapkan memiliki kemampuan (ability) literasi sains yang didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang memerlukan dan meyakini sebuah pendidikan dasar dalam sains, yang mempersiapkan mereka hidup secara layak dan produktif dalam kehidupannya (Rutherford & Ahlgren, 1990). Literasi sains penting dikembangkan karena: (1) pemahaman terhadap sains menawarkan kepuasan dan kesenangan pribadi yang muncul setelah memahami dan mempelajari alam; (2) dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang membutuhkan informasi dan berfikir ilmiah untuk pengambilan keputusan; (3) setiap orang perlu melibatkan kemampuan mereka dalam wacana publik dan debat mengenai isu-isu penting yang melibatkan sains dan teknologi; (4) dan literasi sains penting dalam dunia kerja, karena makin banyak pekerjaan yang membutuhkan keterampilan-keterampilan yang tinggi, sehingga mengharuskan orang-orang belajar sains, bernalar, berpikir secara


(11)

4 kreatif, membuat keputusan, dan memecahkan masalah (National Research Council, 1996).

Kenyataannya siswa masih lemah dalam sains, padahal dengan perkembangan zaman landasan sains sangat diperlukan untuk berkomunikasi dan pengembangan teknologi. Terbukti dari hasil penelitian tentang asesmen hasil belajar sains pada level Internasional yang diselenggarakan oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) tentang Trend International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) dan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang Programme for International Student Assessmen (PISA). Penelitian kemampuan peserta didik SMP tentang TIMSS diselenggarakan setiap empat tahun oleh IEA, meliputi bidang matematika dan sains. Penelitian tentang PISA diselenggarakan setiap tiga tahun oleh OECD meliputi bidang matematika, sains dan kemampuan membaca (reading) yang ditekankan pada kemampuan literasi sains.

Penelitian tentang TIMSS, Indonesia tiga kali berpartisipasi dalam penelitian tersebut. Pertama, pada tahun 1998/1999 dengan peserta 38 negara, Indonesia berada pada urutan ke-34 pada bidang matematika, dan urutan ke-32 pada bidang sains (Martin, et al., 1999). Kedua, pada tahun 2003, Indonesia berada pada urutan ke-36 dari 45 negara peserta baik pada bidang matematika maupun bidang sains (Martin, et al., 2003). Ketiga, pada tahun 2007 dengan peserta 48 negara, Indonesia berada pada urutan ke-36 pada bidang matematika, dan urutan ke-35 pada bidang sains (Gonzales, 2009).


(12)

5 Penelitian yang dilakukan oleh OECD yaitu tentang PISA untuk anak usia 15 tahun, yang telah diselenggarakan tiga periode, Indonesia ikut berpartisipasi dalam tiga periode penelitian tersebut. Pertama, tahun 2000 diikuti oleh 41 negara, Indonesia berada pada urutan ke-38 pada kemampuan sains (OECD, 2003), urutan ke-39 pada bidang matematika (OECD, 2003) maupun kemampuan membaca (reading) (OECD, 2003). Kedua, tahun 2003 diikuti oleh 40 negara, Indonesia berada pada urutan ke-38 pada kemampuan sains (OECD, 2004 dan matematika (OECD, 2004), urutan ke-39 pada bidang kemampuan membaca (OECD, 2004). Ketiga, tahun 2006 diikuti oleh 57 negara, Indonesia berada pada urutan ke-53 pada kemampuan sains (OECD, 2007), urutan ke-50 pada bidang matematika (OECD, 2007), urutan ke-48 pada bidang kemampuan membaca (OECD, 2007).

Data seperti yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia berada pada level yang sangat rendah dalam sains. Jika siswa tidak paham akan sains, apalagi bagi siswa yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, dipastikan akan semakin sulit memasuki dunia kerja karena dunia semakin “scientific”, peralatan berteknologi tinggi. Persentase siswa lulusan yang tidak dapat melanjutkan pendidikan pada tahun 1999/2000 (Mendiknas, 2001) adalah: 19,45% dari lulusan SMP dan 53,12% dari lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU); sedangkan tahun 2002/2003 (Mendiknas, 2003) adalah: 34% dari lulusan SMP, dan 88,4% dari lulusan SMU. Jika diperhatikan laporan Mendiknas tersebut, siswa lulusan yang tidak melanjutkan pendidikan mengalami peningkatan yaitu pada jenjang SMP 14,55% (hampir dua kali lipat


(13)

6 dari sebelumnya), dan pada jenjang SMU 35,28%. Suderajat (2003) menegaskan bahwa dari lulusan tahun 2002/2003 setelah lulus SMP siswa masih belum mampu membekali diri untuk dapat hidup secara layak di masyarakat, apalagi untuk memasuki dunia kerja. Bukti yang diungkapkan Suderajat dan Mendiknas seperti diuraikan di atas mengindikasikan bahwa harapan pemerintah yang menginginkan agar siswa setelah mengenyam pendidikan selama sembilan tahun, dapat membekali diri dalam kehidupannya, baik secara pribadi maupun di masyarakat belum tercapai. Hal ini diduga disebabkan karena bekal kemampuan yang diperoleh dari pendidikan formal tidak memadai. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan yang diintegrasikan dengan budaya setempat, seperti yang telah digariskan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang disingkat KTSP (BSNP, 2006).

Pelaksanaan pendidikan yang diintegrasikan dengan budaya setempat, sesuai dengan yang diungkapkan Bodner (1986) bahwa pengetahuan ini harus cocok dengan pengalaman. Pengetahuan harus cocok dengan pengalaman salah satunya adalah pengintegrasian melalui budaya setempat. Pembelajaran dengan mengintegrasikan budaya setempat sangat tepat dilaksanakan karena selama enam tahun pertama sebelum siswa masuk Sekolah Dasar, mereka telah menghabiskan waktunya di tengah-tengah lingkungan yang secara total telah dibentuk atau dipengaruhi oleh budaya masyarakatnya daripada oleh teori-teori pendidikan formal (Eyford, 1993). Proses pembelajaran sains di kelas menjadi penghambat ketika materi pelajaran sains tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada diri siswa (Wahyudi, 2003). Oleh karena itu, aspek budaya


(14)

7 sangat penting diintegrasikan pada pembelajaran di sekolah, karena latar belakang budaya siswa mempunyai pengaruh pada proses pembelajaran siswa di sekolah. Untuk mengetahui berhasil tidaknya proses pembelajaran dilakukan asesmen.

Proses pembelajaran dan asesmen merupakan dua sisi koin yang sama, berarti proses pembelajaran sangat erat kaitannya dengan asesmen hasil belajar siswa, karena hasil asesmen tidak terpisahkan dari proses pembelajaran (National Research Council, 1996). Namun dalam pelaksanaannya, tidak jarang ditemui bahwa pembelajaran dan asesmen merupakan dua sisi yang bertentangan, karena asesmen yang dilakukan hanya mengukur hasil belajar (kognitif), sedangkan proses dan konteks dalam pembelajaran kurang terukur.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap guru dan siswa kelas IX di empat SMP Negeri di Propinsi Bali, khususnya Denpasar dan Singaraja, menunjukkan bahwa dalam penyusunan tes, guru tidak memulai dengan pembuatan kisi-kisi butir tes, bahkan memiliki kecenderungan dengan cara menggunakan tes yang sudah tersedia. Tes-tes demikian, jelas memiliki kekurangan sebagai alat ukur yang sesuai dengan kondisi dan konteks sains terhadap pembelajaran yang dilakukan.

Konteks terhadap asesmen hasil belajar sains, khususnya hasil telaah terhadap butir tes memiliki kecenderungan dalam menilai hasil belajar siswa, baik untuk ulangan harian maupun ulangan akhir semester, sebagian besar hanya menilai pemahaman siswa yang lebih menekankan perhitungan matematika daripada penguasaan konsep. Asesmen hasil belajar sains meskipun ada perhitungan-perhitungan matematika tetapi makna dari angka-angka tersebut


(15)

8 kurang diperhatikan, apalagi pada proses asesmennya. Gambaran analisis tes demikian, memperlihatkan bahwa tes yang digunakan hanya menilai hasil belajar siswa yang menekankan pada konsep dari segi aspek kemampuan kognitif saja, sedangkan asesmen terhadap proses dan konteksnya luput dari asesmen guru.

Hasil wawancara dengan guru, salah seorang guru menyatakan bahwa asesmen hasil belajar yang dilakukan terhadap siswa sudah menilai proses di samping menilai pengetahuan (knowledge), dengan menjelaskan bahwa penyelesaian soal tersebut telah mengikuti tahapan-tahapan dalam penyelesaian soal. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut tentang proses yang dinilai dengan mengkaji lembar soal, ternyata yang dimaksudkan oleh guru bukan pengukuran proses, akan tetapi tes tersebut menuntut penguasaan konsep pada tahap aplikasi (C3). Sebagai contoh: diketahui tiga hambatan sama besar yang dirangkai paralel, kemudian ketiga hambatan tersebut dirangkai seri dengan dua hambatan lain yang sama besar pula. Tentukan hambatan penggantinya! Guru yang diwawancarai menyatakan, pertama yang harus dikerjakan adalah menghitung hambatan pengganti ketiga hambatan paralel, selanjutnya baru dapat menghitung hambatan pengganti total kelima hambatan tersebut. Selain itu, ada salah seorang guru menjelaskan bahwa ia telah melakukan asesmen hasil belajar siswa tidak hanya dari segi konsep berupa pengetahuan (knowledge) saja, tetapi juga terhadap kinerja siswa dengan menilai keterampilan siswa melalui portofolio. Mengingat proses asesmen yang dilakukan cukup menyita waktu yang lama, sementara materi yang akan diajarkan masih banyak yang belum diberikan, akhirnya guru


(16)

9 tersebut memutuskan tidak lagi melakukan bentuk asesmen yang demikian karena harus menyelesaikan target materi yang mesti diajarkan.

Hasil observasi menunjukkan bahwa guru belum pernah melakukan analisis butir tes, baik analisis distraktor, daya pembeda maupun tingkat kemudahan, kecuali jika tes itu akan digunakan dalam penelitian. Beberapa guru juga menyatakan jika menyusun tes dalam bentuk pilihan ganda, khususnya dalam membuat option-nya, salah satu dibuat benar dan option lain sebagai pengecoh asal diisi saja dan tidak berdasarkan hubungan antar konsep yang ada. Disamping itu tes fisika yang disusun lebih banyak dalam bentuk hitungan-hitungan, dengan alasan menurut mereka fisika merupakan materi pelajaran yang banyak menggunakan rumus-rumus.

Wawancara juga dilakukan terhadap enam orang siswa di setiap sekolah tersebut. Siswa yang diwawancara adalah siswa yang berkemampuan tinggi, sedang, dan kurang, dan masing-masing diwakili oleh dua orang siswa. Hasilnya menunjukkan bahwa sebenarnya siswa menyenangi fisika, tetapi ketika berhadapan dengan tes sebagian siswa menyatakan merasa kesulitan untuk menyelesaikannya. Ketika siswa dihadapkan pada aplikasi konsep fisika dalam kehidupan sehari-hari, siswa mengetahui konsepnya, tetapi tidak dapat memberikan alasan. Sebagai contoh, siswa menyatakan kompor dengan nyala api biru mempunyai energi kalor yang lebih besar dibandingkan dengan nyala api merah, dan memberikan alasan karena nyala api merah mengeluarkan jelaga. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam konteksnya dengan proses pembelajaran, siswa


(17)

10 belum sepenuhnya dapat menggunakan konsep-konsep dasar sains dan mengaplikasikannya ke dalam situasi yang akan diterapkan.

Temuan ini didukung pula oleh temuan hasil penelitian Schecker dan Gerdes (1999) yang melaporkan bahwa konteks juga mempengaruhi respon siswa, yaitu pertanyaan yang serupa dengan konteks yang berbeda memberikan respon yang berbeda pula pada siswa. Sebagai contoh respon siswa adalah: bola golf yang dipukul gayanya searah gerakan (jawaban ini diberikan oleh 42 orang siswa dari 87 orang peserta). Dari 42 orang siswa tersebut, 23 orang diantaranya memberikan respon bahwa bola yang ditendang arah gayanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan hambatan udara. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum sepenuhnya dapat menerapkan pengetahuan ilmiahnya dengan cara menalar situasi yang sama dengan situasi yang akan diterapkan.

Temuan-temuan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran fisika yang dilakukan guru, lebih berorientasi pada mengejar target penyampaian materi, sedangkan tes hasil belajar yang dilaksanakan lebih menekankan pada aspek pengetahuan (knowledge), yang bertujuan untuk menyiapkan siswa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil temuan penelitian Rustaman, et al., (1992) yang mengemukakan bahwa pengujian yang dilakukan selama ini baru mengukur penguasaan materi saja, dan itupun baru mengukur ranah kognitif tingkat rendah. Keadaan semacam ini menunjukkan fungsi asesmen tidak terlaksana sebagaimana mestinya.

Fungsi asesmen dalam pembelajaran antara lain untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional secara komprehensif yang meliputi aspek


(18)

11 pengetahuan, sikap dan tingkah laku. Bagi pendidik, asesmen berfungsi untuk mengukur keberhasilan proses belajar mengajar, memberikan umpan balik sebagai dasar untuk perbaikan proses belajar mengajar dan mengadakan program remedial bagi peserta didik, serta menentukan angka kemajuan atau hasil belajar. Selain itu asesmen juga menempatkan siswa dalam situasi belajar yang tepat untuk mengenal latar belakang siswa yang mengalami kesulitan (Rusyan, 1993). Menurut OECD tentang PISA, dalam laporan tentang ”Measuring Student Knowledge and Skills” (2000) fungsi asesmen adalah untuk membantu meningkatkan pendidikan dan menyiapkan generasi muda menjadi lebih baik ketika mereka memasuki kehidupan dewasa sehingga menjadi orang yang literate.

Mengases sejauh mana kemampuan literasi sains siswa, perlu dilakukan pengukuran tentang pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan literasi sains. Literasi sains yang dimaksud adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami dan membuat keputusan tentang alam dan perubahannya melalui aktivitas manusia. Aktivitas manusia mencakup: (a) aktivitas menggunakan pengetahuan atau konsep sains (scientific knowledge or concepts) yang relevan dengan kebutuhan siswa; (b) proses sains (scientific processes) yang harus dilakukan siswa; (c) konteks (context) yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata disesuaikan dengan level perkembangan anak.


(19)

12 Jika dicermati, fungsi asesmen menurut OECD dapat mengukur secara komprehensif hasil belajar siswa meliputi aspek pemahaman maupun penerapan terhadap pengetahuan yang diperoleh siswa baik aspek konsep sains, konteks maupun prosesnya. Disamping itu asesmen literasi sains tersebut menyiratkan adanya asesmen untuk menyiapkan siswa melanjutkan studi dan atau dapat hidup secara layak di masyarakat.

Melihat kondisi pelaksanaan asesmen selama ini yang didasarkan atas hasil temuan terdahulu, hasil studi pendahuluan yang telah dilaksanakan di beberapa SMP di Propinsi Bali, dan juga melihat harapan pemerintah dalam melaksanakan wajar sembilan tahun, maka pelaksanaan asesmen perlu dibenahi. Asesmen yang dilaksanakan seharusnya mendukung proses pembelajaran. Jika proses pembelejaran diintegrasikan dengan budaya, maka asesmen juga harus bermuatan budaya. PISA yang dilaksanakan oleh OECD sangat tepat dipergunakan sebagai benchmark agar siswa menjadi melek sains tanpa harus meninggalkan budaya yang telah mengakar pada diri siswa sejak sebelum masuk Sekolah Dasar.

Terdapat beberapa alasan mengapa penelitian dilaksanakan di SMP yang ada di Propinsi Bali dan menggunakan PISA sebagai benchmark. Masing-masing alasan dibahas tersendiri untuk memperkuat mengapa penelitian di laksanakan di SMP yang ada di Propinsi Bali dan menggunakan PISA sebagai benchmark.

Alasan pertama, seperti yang digariskan KTSP, pelaksanaan pendidikan diharapkan diintegrasikan dengan budaya setempat dan Bali memilki budaya yang


(20)

13 khas. Karakteristik yang menonjol dari kebudayaan Bali adalah bercorak religius (Dharmayuda, 1995). Kebudayaan Bali yang diciptakan tidak semata-mata untuk mencapai kebaikan hidup di dunia (jagadhita), melainkan terus menembus dinding kehidupan rohani sampai manunggal dengan Yang Maha Esa (awor ring Acintya). Hal ini dibuktikan dari aktivitas budaya dengan dasar pijak agama yang kuat. Sebagai contoh ketika membangun rumah, setiap tahapan didahului dengan kegiatan upacara keagamaan. Tahap I menggali tanah untuk fondasi, tahap II pasang fondasi hingga selesai sampai berdirinya tembok/dinding rumah, tahap terakhir menaikkan atap genting hingga bangunan selesai dibangun/siap huni, kesemuanya itu didahului upacara keagamaan. Selanjutnya, sebelum rumah siap ditempati dilakukan upacara keagamaan lagi yang disebut dengan melaspas rumah. Contoh lain, sebelum mulai usaha seperti berjualan, semua kelengkapan untuk berjualan dibersihkan dengan melakukan upacara keagamaan, dan masih banyak contoh kegiatan-kegiatan yang didahului dengan ritual keagamaan yang intinya memohon berkah dan keselamatan. Kebudayaan Bali bercorak religius inilah yang menjadi salah satu keunikan pariwisata budaya Bali yang telah dikenal secara internasional.

Bali sebagai salah satu daerah pariwisata bertaraf internasional mengalami laju perkembangan pesat sejak tahun 1969, turut ditandai dengan dibukanya bandar udara internasional Ngurah Rai di Tuban tanggal 1 Agustus 1969 dan Bali dijadikan pusat pengembangan pariwisata Indonesia bagian Tengah. Oleh karena itu, Bali benar-benar dibuka lebar untuk wisatawan domestik (nasional) maupun internasional yang datang dari berbagai negara


(21)

14 (Purwita,1981). Mengingat Bali dijadikan daerah pariwisata yang bertaraf internasional dan banyak dikunjungi wisatawan dari berbagai negara, maka siswa perlu tahu persoalan sains pada level internasional dan mampu memecahkan persoalan-persoalan sains tersebut sehingga dapat hidup secara layak tanpa harus meninggalkan ciri khas budaya Bali yang bersifat religius.

Alasan kedua, PISA diujikan pada anak usia 15 tahun. Usia ini merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dan pada masa ini siswa mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang tidak tergantung pada orang tuanya (Agustiani, 2006). Ini berarti siswa pada usia 15 tahun merupakan awal penentuan arah kemana mereka nantinya, sebab pada usia 15 tahun, anak sudah mulai berusaha mengembangkan sifat kemandiriannya. Jika dikaitkan dengan wajib belajar sembilan tahun, pendidikan minimal yang harus ditempuh anak adalah hingga jenjang SMP dan pada jenjang ini anak berada pada usia sekitar 15 tahun. Sesuai harapan Pemerintah, setelah siswa mengikuti wajib belajar sembilan tahun diharapkan anak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau dapat membekali kehidupannya secara pribadi, bermasyarakat, maupun bernegara. Jadi setelah tamat SMP siswa diharapkan sudah punya kemampuan minimal untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup dan bertanggung jawab dalam hidupnya.

Alasan ketiga, PISA mengujikan penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dianggap penting untuk kehidupan orang dewasa, sehingga dapat memenuhi tantangan-tantangan kehidupan nyata baik untuk kehidupan


(22)

15 pribadi, masyarakat maupun secara global (OECD, 2000). Begitu pula dengan harapan pemerintah melalui wajib belajar sembilan tahun, setelah tamat sekolah baik yang akan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi maupun yang tidak dapat melanjutkan, telah mendapatkan berbagai keterampilan untuk bekal kehidupannya secara pribadi maupun bermasyarakat. NRC (1996) juga menjelaskan belajar sains diharapkan siswa menjadi masyarakat literasi sains setelah usia 13 tahun.

Atas dasar pemikiran tersebut, untuk mengases tingkat literasi sains

sebagai hasil belajar siswa SMP perlu dikembangkan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali dengan menggunakan scientific literacy PISA sebagai benchmark. Scientific literacy PISA sebagai benchmark dimaksudkan proses sains yang dikembangkan oleh OECD melalui PISA tersebut diadopsi dengan memodifikasi penyusunan alat ukur literasi sains agar lebih relevan dengan pembelajaran di SMP yang terintegrasi dengan konteks budaya Bali. Alasan scientific literacy PISA adalah bahwa asesmen hasil belajar pendidikan di SMP sebagai gambaran akhir hasil belajar diharapkan dapat mengases baik aspek konsep sains, konteks maupun proses, sehingga hasil belajar siswa terukur sesuai dengan tuntutan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah. Tuntutan wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah bertujuan selain untuk mempersiapkan siswa dapat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan lebih tinggi, juga mempersiapkan mereka hidup secara layak di masyarakat dengan bekal pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan formal. Hal ini


(23)

16 dilakukan sebagai salah satu upaya yang dapat memberikan alternatif solusi terhadap kesenjangan asesmen hasil belajar yang diterapkan selama ini.

Kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Wajar sembilan tahun

UU No.2 th 1989 pelaksanaan PP No.28 th 1990

Siswa SMP

Transisi masa kanak-kanak ke remaja Ł pribadi mandiri • Perubahan fisik

• Perubahan emosional • Perubahan kognitif

TIMSS

Membekali kehidupan/ melanjutkan sekolah

Warga produktif

Pengetahuan & ke-terampilan harus co-cok dengan penga-laman siswa (Bodner, 1986) Pembelajaran Sains Perkembangan intelektual Sikap ilmiah

Kemampuan literasi sains Memahami:

• Hakikat sains • Pengetahuan ilmiah

Asesmen literasi sains dalam konteks Budaya Bali

PISA

Pengetahuan & keterampilan kehidupan orang dewasa

menguji Tantangan kehidupan

pribadi & masyarakat global

Pengukuran Literasi Sains Konteks Budaya Bali

Konten Sains Proses Sains

Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian Benchmark

Alat Ukur Tes Literasi Sains Konteks Budaya Bali

Kebudayaan KTSP (BSNP, 2006)


(24)

17 B. Rumusan Masalah

Secara umum masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah ”Bagaimanakah memperoleh alat ukur tes literasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali yang valid dan reliabel”? Dari permasalahan umum di atas, ada dua kategori masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan proses pengembangan dan proses validasi. Berkaitan dengan proses pengembangan termasuk di dalamnya adalah proses pengembangan alat ukur yang valid dan reliabel. Berkaitan dengan proses validasi yaitu proses implementasi hasil pengembangan instrumen untuk suatu populasi tertentu yang dalam penelitian ini adalah untuk mengukur kemampuan literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali. Secara eksplisit terdapat lima masalah yang akan diupayakan pemecahannya dalam penelitian ini. Kelima masalah tersebut masing-masing dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah karakteristik alat ukur tes literasi sains yang diimplemen-tasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?

2. Bagaimanakah validitas dari perangkat alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali? 3. Bagaimanakah reliabilitas dari perangkat alat ukur tes literasi sains yang

diimplementasikan kepada siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali? 4. Sejauh mana keakuratan alat ukur tes literasi sains yang diimplementasikan


(25)

18 5. Apakah kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan dan implementasi alat ukur tes literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali?

C. Tujuan Penelitian

Pendidikan diarahkan untuk kepentingan masyarakat terutama untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Untuk itu pendidikan harus mampu menjawab tantangan sumber daya yang tersedia di daerah. Dalam upaya mengoptimalkan potensi daerah tersebut, Depdiknas mengembangkan KTSP yang di dalamnya memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan sendiri kurikulum pendidikan yang bertumpu pada potensi daerah termasuk sains dalam konteks budaya Bali. Sains dalam konteks budaya Bali sifatnya aplikatif yaitu mengutamakan kegunaan. Hal ini terlihat dari segala aktivitas yang dilakukan masyarakat Bali yang berhubungan dengan budaya tidak terlepas dari pemanfaatan konsep-konsep sains dalam konteks budaya Bali. Untuk itu, pengintegrasian sains dalam konteks budaya Bali sudah semestinya dilakukan melalui usaha-usaha eksplisit. Pengembangan alat ukur literasi sains dalam konteks budaya Bali diharapkan menjadi salah satu solusi dari permasalahan tersebut. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh “panduan pengembangan dan penggunaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks Budaya Bali” dan “seperangkat alat ukur literasi sains siswa kelas IX SMP dalam konteks Budaya Bali yang valid dan reliabel.

Panduan pengembangan dan penggunaaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali memberi peluang kepada guru dan calon guru dalam


(26)

19 berlatih mengembangkan alat ukur tes literasi sains budaya Bali yang belum terungkap dalam penelitian. Panduan pengembangan dan penggunaaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali juga memberi peluang kepada guru dan calon guru yang ingin mengembangkan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya yang berbeda.

Alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali akan menyediakan kesempatan yang cukup luas bagi siswa berlatih menerapkan kemampuan literasi sains yang meliputi aspek konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks sains yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan secara teoretis maupun praktis.

1. Manfaat Teoretis Hasil Penelitian

a. Mengembangkan khasanah keilmuan di bidang pengembangan alat ukur tes literasi sains, meliputi konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik. b. Memberikan masukan berupa pengetahuan dan pengalaman bagi Lembaga


(27)

20 penerapan alat ukur tes literasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali.

2. Manfaat Praktis Hasil Penelitian

a. Bagi lembaga pendidikan, diperoleh seperangkat alat ukur tes literasi sains yang valid dan reliable, yang telah teruji sebagai alat ukur untuk melakukan asesmen dan perbaikan kualitas asesmen.

b. Bagi siswa, terlatihnya pengetahuan dan keterampilan siswa tentang literasi sains, meliputi aspek: konsep sains yang relevan dengan kebutuhan siswa; proses-proses sains yang harus dilakukan siswa; dan konteks yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik. c. Bagi guru, memperoleh pengalaman dalam merancang alat ukur tes literasi

sains dan melaksanakan asesmen literasi sains dalam pembelajaran sains. d. Bagi evaluator/pengambil kebijakan, sebagai bahan pertimbangan dalam

meninjau kesenjangan asesmen hasil belajar yang diterapkan selama ini. e. Bagi peneliti, memperoleh pengalaman langsung dalam pengembangan

alat ukur tes litrerasi sains siswa SMP dalam konteks budaya Bali E. Definisi Operasional

Agar diperoleh kesamaan pandangan dan menghindari perbedaan persepsi terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini, serta untuk memudahkan dalam pengukurannya, maka berikut ini dikemukakan beberapa batasan istilah/definisi operasional sebagai berikut.


(28)

21 1. Alat Ukur

Alat ukur yang dimaksud adalah alat/instrumen untuk melakukan pengukuran hasil belajar siswa. Alat ukur hasil belajar yang digunakan untuk melakukan pengukuran tersebut adalah berupa tes literasi sains. Tes yang dirancang adalah tes untuk mengases pengetahuan dan keterampilan tentang literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali.

2. Literasi Sains

Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi permasalahan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami dan membuat keputusan tentang alam dan perubahannya melalui aktivitas manusia yang mencakup konsep sains, proses sains, dan konteks sains (meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang nyata) disesuaikan dengan level perkembangan anak. Literasi sains dalam penelitian ini hanya melibatkan kemampuan (ability) literasi sains yang meliputi pengetahuan sains dan pemahaman konseptual yang dibutuhkan dalam penggunaan proses mental yang dihadirkan dalam kondisi atau lingkungan yang realistik bagi siswa yang disesuaikan dengan level perkembangan anak usia SMP. Kemampuan (ability) yang melibatkan pengetahuan dan keterampilan literasi sains antara lain. a. Pengetahuan atau Konsep Sains (Scientific Knowledge or Concepts)

Mengases konsep sains berkaitan dengan fenomena yang berhubungan dengan sains, ditinjau dari kedalaman materi yang disesuaikan dengan tuntutan kurikulum tingkat satuan pendidikan pada jenjang SMP. Sebagai contoh tentang


(29)

22 benda atau zat. Pada tingkat Sekolah Dasar, siswa dapat: a) mengidentifikasi benda yang ada di lingkungan sekitar berdasarkan ciri-ciri benda melalui pengamatan; b) mengenal benda yang dapat berubah bentuk dari padat ke cair, dari cair ke gas, dari gas ke padat dan sebaliknya; c) mengidentifikasi kegunaan benda yang ada di lingkungan sekitarnya. Pada tingkat SMP disamping kemampuan tentang zat yang harus diketahui siswa SD, juga dituntut mengenal zat sampai kepada: a) mengenal zat ditinjau dari massa jenisnya; b) mengenal zat padat, cair dan gas dilihat dari volume dan bentuknya c) mengenal pengaruh kalor terhadap perubahan wujud zat. Pada tingkat SMA, tuntutan kemampuan siswa dalam mengenal zat ditinjau dari ikatan antar atom-atomnya, tidak hanya struktur air tetapi juga stuktur zat yang lain.

b. Proses Sains (Scientific Processes)

Proses Sains: mengases proses mental yang melibatkan kemampuan mengumpulkan, mengevaluasi dan mengkomunikasikan bukti sains yang valid. Untuk membatasi sejauh mana tingkat literasi sains yang harus dimiliki siswa SMP dari segi proses dapat dijelaskan sebagai berikut. Tingkat Literasi Sains yang harus dimiliki siswa SMP dari segi proses adalah tidak hanya mengobservasi dan mendeskripsikan saja, tetapi mengobservasi dan mendeskripsikan untuk mengamati hubungannya, juga harus bisa menyimpulkan dan menguji penjelasan yang mungkin ada, karena mengobservasi dan mendeskripsikan saja sesuai untuk tingkatan SD. Pada tingkat SMP siswa tidak dituntut sampai ke pengajuan pertanyaan kausal, merumuskan hipotesis-hipotesis sebagai alternatif jawaban atas pertanyaan tersebut, karena hal tersebut sesuai untuk tingkat SMA ke atas. Pada


(30)

23 proses ini siswa dituntut mempunyai kemampuan kognitif lebih tinggi untuk mengembangkan pertanyaan-pertanyaan kausal untuk menguji dan menghaluskan ide-ide yang di pra-konsepsikan (Ramsey, 1993).

c. Konteks Sains (Scientific Context)

Konteks Sains mengases aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses-proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan yang realistik/nyata.

Berdasarkan uraian definisi operasional di atas maka alat ukur tes literasi sains yang akan dikembangkan untuk mengases tingkat literasi sains siswa dalam pembelajaran sains siswa kelas IX SMP terdiri dari lima proses sains yaitu: a) mengenali masalah yang dapat diselidiki secara ilmiah; b) mengidentifikasi bukti yang dibutuhkan dalam penyelidikan ilmiah; c) Menarik atau mengevaluasi kesimpulan; d) mengkomunikasikan kesimpulan valid; e) mendemontrasikan pemahaman konsep sains. Proses sains nomor a) sampai dengan d) tujuan utamanya adalah mengases proses mental yang melibatkan kemampuan mengumpulkan, mengevaluasi, dan mengkomunikasikan bukti sains yang valid. Proses sains nomor e) mengases pemahaman terhadap konsep-konsep sains. 3. Budaya Bali

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhi (idep) yang artinya pikiran dan daya atau kemampuan (Dharmayuda,1995). Lebih lanjut Koentjaraningrat (2008) menyatakan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Dalam bahasa Inggris, budaya berasal


(31)

24 dari kata latin colore yang berarti mengolah atau mengerjakan. Arti ini berkembang menjadi culture sebagai daya dan usaha manusia untuk mengubah alam. Dalam kajian ini, budaya yang dimaksud adalah perwujudan kemampuan manusia menggunakan budi dan akal dalam menghasilkan gagasan dan karya manusia yang diperoleh dengan belajar.

Budaya Bali pada hakikatnya tidak terlepas dari adat istiadat yang dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu. Karakteristik yang menonjol dari kebudayaan Bali adalah bercorak religius (Dharmayudha, 1995). Wujud fisik Kebudayaan Bali yang lebih konkrit harus tetap berorientasi pada tingkah laku yang baik, tidak merugikan orang lain atau makhluk lain, dan semua hasil kerja dipersembahkan kembali kepada Tuhan (yadnya yang diwujudkan melalui upakara), sebagai balasan atas rahmat yang telah diberikan demi kebaikan dan kebahagiaan individu serta masyarakat.


(32)

178 BAB V

KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Pengembangan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggali kemampuan literasi sains sesuai dengan budaya lokal yang mereka temui/lakukan dalam kehidupan sehari-hari, serta memberi contoh kepada guru dan calon guru dalam menyusun soal literasi sains konteks budaya lokal dengan bentuk pilihan ganda. Berdasarkan temuan penelitian dan Pembahasan, dapat disimpulkan bahwa telah dihasilkan panduan pengembangan dan penggunaan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali dan seperangkat alat ukur tes literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali dalam konteks budaya Bali yang valid dan reliabel. Secara rinci dapat diungkap sebagai berikut.

1. Semua butir soal literasi sains dalam konteks budaya Bali yang dikembangkan memiliki karakteristik mampu mendiskriminasi sangat baik antara kelompok siswa yang berkemapuan tinggi dengan kelompok siswa yang berkemampuan rendah dan memiliki tingkat kesukaran: (a) sukar, satu butir soal; (b) sedang, 30 butir soal; (c) mudah, empat butir soal.

2. Masing-masing butir soal dari 35 butir soal yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengases tingkat literasi sains siswa kelas IX SMP Negeri di Propinsi Bali yang meliputi aplikasi pengetahuan sains dan penggunaan proses sains dalam situasi yang mencerminkan kondisi atau lingkungan nyata.


(33)

179 3. Naskah soal/tes literasi sains dalam konteks budaya Bali memiliki reliabilitas yang tinggi karena setelah diujikan kepada kelompok yang sama pada waktu dan situasi yang berbeda tetap memberikan hasil yang relatif sama.

4. Semua pengecoh butir soal literasi sains dalam konteks budaya Bali memiliki kualitas yang baik karena mampu mengecoh siswa kelompok bawah (kelompok siswa berkemampuan rendah).

5. Alat ukur tes sains lokal Bali terkait dengan arsitektur tradisional Bali, permainan tradisional, upacara agama Hindu, kehidupan sehari-hari, pengobatan tradisional, dan musik tradisional masyarakat Bali. Konsep sains lokal budaya Bali mengandung konsep sains ilmiah yang berlaku secara universal sehingga sains lokal Bali dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sains, setidak-tidaknya di wilayah kebudayaan Bali.

6. Alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya Bali memiliki keakuratan/ketepatan untuk mengidentifikasi aspek-aspek sains budaya Bali yang diukur, baik sains lokal, sains nasional dan sains global. Untuk itu, alat ukur tes literasi sains budaya Bali yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bagian asesmen hasil belajar dan proses pembela-jaran di kelas, setidak-tidaknya di wilayah kebudayaan Bali.

7. Tidak ada kendala berarti dalam implementasi alat ukur tes literasi sains. Kendala utamanya adalah hanya kendala teknis penyelenggaraan tes yang implementasinya dilakukan sebelum ulangan umum satu sekolah dan sesudah ulangan umum sembilan sekolah.


(34)

180 B. Saran

Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian ini dapat disarankan kepada calon guru, guru dan peneliti yang ingin menggali dan mengembangkan alat ukur literasi sains sebagai berikut.

Berdasarkan hasil yang dicapai pada penelitian ini dapat disarankan kepada calon guru, guru dan peneliti sebagai berikut.

1. Guru-guru yang ingin menggali kemampuan literasi sains siswa, dapat mengimplementasikan butir soal literasi sains yang telah dikembangkan.

2. Guru-guru diharapkan mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran sains mengingat pengetahuan harus cocok dengan pengalaman, dan pengalaman sudah dibentuk/dipengaruhi oleh budaya masyarakat siswa sejak sebelum masuk Sekolah Dasar.

3. Peneliti lain yang ingin mengembangkan alat ukur tes literasi sains, disarankan untuk mengembangkan alat ukur tes literasi sains dalam konteks budaya yang berbeda, mengingat Indonesia kaya akan budaya. Selain itu dapat juga dilakukan penelitian aspek budaya Bali yang belum terungkap dalam penelitian ini, dan penelitian serupa untuk sains Biologi dan Kimia pada jenjang SMP, atau bahkan soal sains terpadu.


(35)

181 C. Rekomendasi

Sehubungan dengan hasil analisis data dan hasil kajian teoretik sains lokal dalam kaitannya dengan pendidikan sains di sekolah, direkomendasikan hal sebagai berikut.

1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dikembangkan masing-masing daerah hendaknya mengintegrasikan budaya lokal kedalam proses pembelajaran di sekolah yang dituangkan melalui penyusunan silabus dan bahan ajar agar proses pembelajaran siswa menjadi lebih bermakna karena mendapat sentuhan sains lokal.

2. Unsur budaya lokal mengandung aspek ilmiah yang telah teruji. Untuk itu jika ingin tetap mempertahankan budaya lokal sesuai daerah masing-masing, maka dalam proses pembelajaran di sekolah seharusnya terintegrasi dengan budaya lokal. Di masa yang akan datang, kekhasan budaya lokal akan sirna jika tidak diadakan kegiatan ilmiah yang melibatkan budaya lokal.


(36)

182 DAFTAR PUSTAKA

Adams, R. & Wu, M. (2000). PISA 2000 Technical Report Edited. Unesco: OECD PISA. [Online]. Tersedia: http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/

tenderICT_Knowledge_Skills_Life.pdf.

Agenda 21 Indonesia. (1997). Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kantor Menteri Lingkungan Hidup.

Agustiani, H. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja.

Analisis Butir Soal, Sumber: http://lussysf.multiply.com/journal/item/114

Ardika, I.W. (t.t). Adat & Budaya: Kebudayaan Lokal, Multikultural, dan Politik

Ident. [Online]. Tersedia: http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?

ID=1289

Ardana, I.G.G. (2008). “Kontribusi Budaya Tionghoa pada Budaya Bali (Perspektif Sejarah)”, dalam Sebuah Bunga Rampai. (2008). Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya Bali. Denpasar: Universitas Udayana.

Arifin, M. (2008). Menganalisis Hasil Test. [Online]. Tersedia:

http://exalute.wordpress.com/2008/06/20/menganalisis-hasil-test/ Arikunto, S. (1992). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Assessment Systems Corporation. (1988). Item and Test Analysis Program ITEMAN

(tm) Version 3.00.

Beichner, R. J. (1994). ”Journal Testing Student Interpretation of Kinematics Graphs”. American Journal of Physics. 62(8) 750-762. [Online]. Tersedia:

http://scitation.aip.org/getabs/servlet/GetabsServlet?prog=normal&id=AJPI

AS000062000008000750000001&idtype=cvips&gifs=yes. [20 Oktober

2002]

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Bodner, G. M., (1986). Constructivism : A Theory of Knowledge. Journal of chemical Education. 63(10), 873-877.


(37)

183 Brown, J. D. (2001). Statistics Corner: Questions and Answer about Language Testing Statistics: Point-Biserial Correlation Coefficients. Shiken: JALT Testing & Evaluation SIG Newletter, 5(3), 12-15. [Online]. Tersedia:

http://www.jalt.org/test/bro_12.htm. [11 Juni 2006].

Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to Classical and Modern Test Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Dharmayuda, I. M. S. (1995). Kebudayaan Bali: Pra Hindu, Masa Hindu, dan Pasca Hindu. Denpasar: CV Kayumas Agung.

Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Depdiknas. (2007). Panduan Penulisan Soal Pilihan Ganda. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan-Balitbang. Depdiknas.

Doran, R. L. et al. (1994). ”Research on Assessment in Science”, dalam Gabel , D.L. (1994). Handbook of Research on Science Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company.

Eyford, H., (1993). “Relevant Education: The Cultural Dimensions”. Papua New Guinea Journal of Education, 29(1). 9-19.

Garson, D. (2006). Correlation. [Online]. Tersedia: http://www2.chass.ncsu.edu/

garson/PA765/correl.htm

Geriya, I. W. (2000). Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Geriya, I. W. (2000). “Konsep Dasar, Dimensi Filosofi dan Strategi Konservasi Warisan Budaya Bali”. Makalah disampaikan pada semlok TOT dan DOT Konservasi.

Glass,G.V. & Wiley, D.V. (1964). ”Formula Scoring and Test Reliability”. Journal of Educational Measurement. 1(1) (Jun., 1964), 43-49. [Online]. Tersedia:

http://links.jstor.org/sici?sici=00220655(196406)1%3A

1%3C43%3AFSATR%3E2.0.CO%3B2-B. [19 Maret 2008]

Gonzales, P. (2009). Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourthand Eighth-Grade Students in an International Context. Washington: National Center for Education Statistics . [Online]. Tersedia: http://nces.ed.gov/pubs2009/2009001.pdf. [ 5 Februari 2100].


(38)

184 Guilford, J. P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and

Education. Singapore: McGraw-Hill. [Online]. Tersedia:

http://www.watpon.com/table/pearson.pdf.

Gronlund, N. E. & Linn, R. L. (1990). Measuring and Evaluation in Teaching. 6th Edition. New York: Mackmillan Publishing Company.

Haladyna, T. M. (1997). Writing Test Items to Evaluate Higher Order Thinking. USA: Allyn Bacon

Hartoto, (2009). Tujuan Pendidikan. [Online]. Tersedia

http://fatamorghana.wordpress.com/2009/04/12/tujuan-pendidikan/. [22 Juni

2009].

Hasan, S. H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Hasyim, M. (t.t.) Perwujudan Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia. [Online]. Tersedia: http://hasheem.wordpress.com/

2009/08/15/perwujudan-akulturasi-kebudayaan-hindu-budha-dengan-kebudayaan-indonesia-lanjutan/

Herman, J. L., Aschbacher, P.R., & Winters, L. (1992). A Practical Guide to Alternative Assessment. California: Association for Supervision and Curriculum Development.

Hinduan, A. (2003). “Meningkatkan Kualitas SDM melalui Pendidikan IPA”. Makalah pada Seminar Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia tanggal 1-2 Agustus 2003. Bandung.

Hogg, R. V. & Craig, A. T. (1995). Introduction to Mathematical Statistics. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Hungerford, H. R., Volk, T. L., & Ramsey, J. M., (1990), Science-Technology-Society: Investigating and Evaluating STS Issues and Solution. Illinois: STIPES Publishing Co.

Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. New York: McGraw-Hill Inc. Hyllegard, R., Mood, D. P., & Morrow, J. R., (1996). Interpreting Research in Sport


(39)

185 ISAT Science. (2007). Illinois Standards Achievement Test: Science Sample. [Online]. Tersedia: http://www.isbe.net/assessment/pdfs/2007_ISAT_ Sample_Book_Gr_4_s.pdf

Jakarta Post. (2000). “RI Outclassed in Math and Science”. Jakarta Post (7 Desember 2000).

Karhami, S. K. A. (2000). ”Sikap Ilmiah Sebagai Wahana Pengembangan Unsur Budi Pekerti (kajian melalui sudut pandang pengajaran IPA)”. Jurnal Pendidikan

dan Kebudayaan. 027. November 2000. [Online]. Tersedia: http:

//www.depdiknas.go.id/jurnal/27/sikap_ilmiah_sebagai_wahana_peng.htm

Karno, To. (2003). Mengenal Analisis Tes (Pengantar ke Program Komputer ANATES). Bandung: FIP IKIP Bandung.

Karno, To. & Wibisono, Y. (2003). Program Anates Versi 4.

Khemani, H. (2009). Methods of Measurement. [Online]. Tersedia:

http://www.brighthub.com/engineering/mechanical/articles/40280.aspx.

[15Agustus 2009].

Kjaemsli, M. (2003). Achievement in Scientific Literacy in PISA: Content Knowledge

and Process Skills. [Online]. Tersedia: http://wwwl.phys.uu.ni/esera2003/

programme/pdf/260S.pdf

Krishna, A. (2008). ”Tri Hita Karana”. [Online]. Tersedia:

http://www.akcjoglosemar.org/resensi-buku-guruji/mutiara-pulau-dewata/

Lababa, J. (2008). “Analisis Butir Soal”. [online] Tersedia:

http://evaluasipendidikan.blogspot.com/2008/06/analisis-butir-soal.html.

Tanggal 7 Juni 2008.

Lerner, R. M. & Hultsch, D. F. (1983). Human Development a Life-Span Perspective. New York: McGraw-Hill Inc.

Martin, O. et al. (1999). International Mathematics Report: Finding from IEA’s Repeat of the Third International Mathematics and Science Study at the Eight Grade (TIMSS). Boston: ISC.

Martin, O. et al. (2003). International Mathematics Report: Finding from IEA’s Repeat of the Third International Mathematics and Science Study at the Eight Grade (TIMSS). Boston: ISC.


(40)

186 Menteri Pendidikan Nasional. (2001). Laporan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri, Tanggal 19 September 2001.

Mussen, et al. (1969). Child Development and Personality. New York: Holt, Rinehart & Winston.

National Research Council. (1996). National Science Education Standards: Observe Interact Change Learn. Washington, DC: National Academy Press.

Nazir, M. (1998). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (1999). Measuring Student Knowledge and Skills: A New Framework for

Assessment. [online]. Tersedia http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/

tenderICT_Knowledge_Skills_Life.pdf.

OECD. (2000). Measuring Student Knowledge and Skills: the PISA Assessment of Reading, Mathematical, and Scientific Literacy. [online]. Tersedia

http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/PISAsampleitemsEng.pdf

OECD. (2003). Literacy Skills for the World of Tomorrow: Further Results from

PISA 2000. [online]. Tersedia http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/

PISAplus_eng01.pdf.

OECD. (2004). Learning for Tomorrows Word-First Results from PISA 2003. [Online]. Tersedia: http://www.pisa.oecd.org/dataoecd/1/60/34002216.pdf

OECD. (2007). Executive Summary PISA 2006: Science Competencies for

Tomorrow’s World. [Online]. Tersedia:

http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/00 00019b/80/43/23/b9.pdf

Parkes, J. (t.t). Multiple Choice Test. [Online]. Tersedia: http://www.umd.umich.edu/ casl/natsci/faculty/zitzewitz/curie/TeacherPrep/188.pdf

Pikunas, L. (1976). Human Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Purwita, I.B.P. (1981). ”Agama Hindu dan Perkembangan Pariwisata di Bali”.

Majalah Widya Dharma. No.3/Tahun I/Desember 1981.

Ramsey, J., (1993). Developing Conceptual Storylines with the Learning Sycle. Journal of Elementary Science Education. Virginia, 5(2), p. 1-20.


(41)

187 Redfield, R. Linton, R., & Herskovits, M. J. (1936). Memorandum for the study of

acculturation. Journal of American Anthropologist, 38, p. 149 - 152.

Rohandi, R. (1998). “Memberdayakan Anak Melalui Pendidikan Sains”, dalam Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius.

Ruseffendi, E. T. (2001). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non-Eksata lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rustaman, N. et al. (1992). Pengembangan dan Validasi Alat Ukur Keterampilan Proses Sains Pada Pendidikan Dasar sembilan tahun Sebagai Persiapan Pelaksanaan Kurikulum 1994. Laporan Penelitian Dikti. Bandung: FPMIPA-IKIP.

Rusyan, A. T. (1993). Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bina Budhaya.

Rutherford, F. J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York: Oxford University Press.

Safari, (2008). Analisis Butir Soal: Manual, Kalkulator, Komputer. Jakarta: Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesoia (APSI) Departemen Pendidikan Nasional. Santrock, J. W. (1995). Life-Span Development. Medison: Wm. C. Brown &

Benchmark, Inc.

Santrock, J. W. (1995). (1998). Child Development. Boston: McGraw Hill Companies, Inc.

Schecker, H. & Gerdes, J. (1999). ”Messung von Konzeptualisierungsfähigkeit in der Mechanik-Zur Aussagekraft des Force Concept Inventory”. Zeitschrift für Didaktik der Naturwissenschaften. 5(1). 75–89. [Online]. Tersedia:.

http://physics.uwstouth.edu/staff.

Simanek, D. E. (2005). ”What is science? What is Pseudoscience?” [Online]. Tersedia: http://www.lhup.edu/~dsimanek/pseudo/scipseud.htm [23 Maret 2008].

Sisdiknas. (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989. Semarang: CV. Aneka Buku.


(42)

188 Suderajat, H. (2003). Pendidikan Berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada

Kecakapan Hidup (Life Skills). Bandung: Cipta Cekas Grafika.

Suja, I. W. (2006). Sains Veda (Sinergisme Logika Barat dan Kebijakan Timur). Percetakan Bali: Denpasar.

Suja, I. W. Sudria, I.B.N. & Muderawan, I.W., (2007). Integrasi Sains Asli (Indigenius Science) ke dalam Kurikulum Sains Sekolah Sebagai Upaya Pengembangan Pendidikan Berbasis Content dan Context Budaya Bali. Laporan hasil P2M tidak dipublikasikan. Singaraja: Undiksha.

Sumber Data: Kantor Statistik Propinsi Bali tahun 2002/2003

Toothaker, L. E. (1986). Introductory Statistics for the Behavioral Sciences. New York: McGraw-Hill, Inc.

Trowbridge, L. W. & Bybee, R. W., (1990), Becoming A Secondary School Science Teacher. Columbus: Merrill Publishing Co., A Bell & Howell Information Co.

Wahyudi, (2003). “Tinjauan Aspek Budaya Pada Pembelajaran IPA: Pentingnya Kurikulum IPA Berbasis Kebudayaan Lokal”. Jurnal Depdiknas. 040, Januari 2003. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id\jurnal\40\ editorial40.html [30 April 2004].

Walter & Robert, B. (1988). New Dimension of Science. Ohio: State University. Winick, C. (1956). Dictionary of Anthropology USA. USA: Littlefield, Adams &

Co.

Yu, A. (t.t). Using SAS for Item Analysis and Test Construction. [Online]. Tersedia: http://seamonkey.ed.asu.edu~alex/teaching/assessment/alpha.html.

Zainul, A. (1997). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Pusat antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zainul, A. & Nasution, N. (2001). Pekerti: Mengajar di perguruan Tinggi, tentang Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Tinggi.


(1)

183 Brown, J. D. (2001). Statistics Corner: Questions and Answer about Language Testing Statistics: Point-Biserial Correlation Coefficients. Shiken: JALT Testing & Evaluation SIG Newletter, 5(3), 12-15. [Online]. Tersedia: http://www.jalt.org/test/bro_12.htm. [11 Juni 2006].

Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to Classical and Modern Test Theory. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Dharmayuda, I. M. S. (1995). Kebudayaan Bali: Pra Hindu, Masa Hindu, dan Pasca Hindu. Denpasar: CV Kayumas Agung.

Desmita. (2005). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Depdiknas. (2007). Panduan Penulisan Soal Pilihan Ganda. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan-Balitbang. Depdiknas.

Doran, R. L. et al. (1994). ”Research on Assessment in Science”, dalam Gabel , D.L. (1994). Handbook of Research on Science Teaching and Learning. New York: Macmillan Publishing Company.

Eyford, H., (1993). “Relevant Education: The Cultural Dimensions”. Papua New Guinea Journal of Education, 29(1). 9-19.

Garson, D. (2006). Correlation. [Online]. Tersedia: http://www2.chass.ncsu.edu/ garson/PA765/correl.htm

Geriya, I. W. (2000). Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.

Geriya, I. W. (2000). “Konsep Dasar, Dimensi Filosofi dan Strategi Konservasi Warisan Budaya Bali”. Makalah disampaikan pada semlok TOT dan DOT Konservasi.

Glass,G.V. & Wiley, D.V. (1964). ”Formula Scoring and Test Reliability”. Journal of Educational Measurement. 1(1) (Jun., 1964), 43-49. [Online]. Tersedia: http://links.jstor.org/sici?sici=00220655(196406)1%3A

1%3C43%3AFSATR%3E2.0.CO%3B2-B. [19 Maret 2008]

Gonzales, P. (2009). Highlights From TIMSS 2007: Mathematics and Science Achievement of U.S. Fourthand Eighth-Grade Students in an International Context. Washington: National Center for Education Statistics . [Online]. Tersedia: http://nces.ed.gov/pubs2009/2009001.pdf. [ 5 Februari 2100].


(2)

184 Guilford, J. P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education. Singapore: McGraw-Hill. [Online]. Tersedia: http://www.watpon.com/table/pearson.pdf.

Gronlund, N. E. & Linn, R. L. (1990). Measuring and Evaluation in Teaching. 6th Edition. New York: Mackmillan Publishing Company.

Haladyna, T. M. (1997). Writing Test Items to Evaluate Higher Order Thinking. USA: Allyn Bacon

Hartoto, (2009). Tujuan Pendidikan. [Online]. Tersedia http://fatamorghana.wordpress.com/2009/04/12/tujuan-pendidikan/. [22 Juni 2009].

Hasan, S. H. (1988). Evaluasi Kurikulum. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Hasyim, M. (t.t.) Perwujudan Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha dengan Kebudayaan Indonesia. [Online]. Tersedia: http://hasheem.wordpress.com/

2009/08/15/perwujudan-akulturasi-kebudayaan-hindu-budha-dengan-kebudayaan-indonesia-lanjutan/

Herman, J. L., Aschbacher, P.R., & Winters, L. (1992). A Practical Guide to Alternative Assessment. California: Association for Supervision and Curriculum Development.

Hinduan, A. (2003). “Meningkatkan Kualitas SDM melalui Pendidikan IPA”. Makalah pada Seminar Himpunan Sarjana Pendidikan IPA Indonesia tanggal 1-2 Agustus 2003. Bandung.

Hogg, R. V. & Craig, A. T. (1995). Introduction to Mathematical Statistics. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Hungerford, H. R., Volk, T. L., & Ramsey, J. M., (1990), Science-Technology-Society: Investigating and Evaluating STS Issues and Solution. Illinois: STIPES Publishing Co.

Hurlock, E. B. (1973). Adolescent Development. New York: McGraw-Hill Inc. Hyllegard, R., Mood, D. P., & Morrow, J. R., (1996). Interpreting Research in Sport


(3)

185 ISAT Science. (2007). Illinois Standards Achievement Test: Science Sample. [Online]. Tersedia: http://www.isbe.net/assessment/pdfs/2007_ISAT_ Sample_Book_Gr_4_s.pdf

Jakarta Post. (2000). “RI Outclassed in Math and Science”. Jakarta Post (7 Desember 2000).

Karhami, S. K. A. (2000). ”Sikap Ilmiah Sebagai Wahana Pengembangan Unsur Budi Pekerti (kajian melalui sudut pandang pengajaran IPA)”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 027. November 2000. [Online]. Tersedia: http: //www.depdiknas.go.id/jurnal/27/sikap_ilmiah_sebagai_wahana_peng.htm Karno, To. (2003). Mengenal Analisis Tes (Pengantar ke Program Komputer

ANATES). Bandung: FIP IKIP Bandung.

Karno, To. & Wibisono, Y. (2003). Program Anates Versi 4.

Khemani, H. (2009). Methods of Measurement. [Online]. Tersedia: http://www.brighthub.com/engineering/mechanical/articles/40280.aspx. [15Agustus 2009].

Kjaemsli, M. (2003). Achievement in Scientific Literacy in PISA: Content Knowledge and Process Skills. [Online]. Tersedia: http://wwwl.phys.uu.ni/esera2003/ programme/pdf/260S.pdf

Krishna, A. (2008). ”Tri Hita Karana”. [Online]. Tersedia: http://www.akcjoglosemar.org/resensi-buku-guruji/mutiara-pulau-dewata/ Lababa, J. (2008). “Analisis Butir Soal”. [online] Tersedia:

http://evaluasipendidikan.blogspot.com/2008/06/analisis-butir-soal.html. Tanggal 7 Juni 2008.

Lerner, R. M. & Hultsch, D. F. (1983). Human Development a Life-Span Perspective. New York: McGraw-Hill Inc.

Martin, O. et al. (1999). International Mathematics Report: Finding from IEA’s Repeat of the Third International Mathematics and Science Study at the Eight Grade (TIMSS). Boston: ISC.

Martin, O. et al. (2003). International Mathematics Report: Finding from IEA’s Repeat of the Third International Mathematics and Science Study at the Eight Grade (TIMSS). Boston: ISC.


(4)

186 Menteri Pendidikan Nasional. (2001). Laporan Menteri Pendidikan Nasional pada Rapat Koordinasi Bidang Kesra Tingkat Menteri, Tanggal 19 September 2001.

Mussen, et al. (1969). Child Development and Personality. New York: Holt, Rinehart & Winston.

National Research Council. (1996). National Science Education Standards: Observe Interact Change Learn. Washington, DC: National Academy Press.

Nazir, M. (1998). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia

Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). (1999). Measuring Student Knowledge and Skills: A New Framework for Assessment. [online]. Tersedia http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/ tenderICT_Knowledge_Skills_Life.pdf.

OECD. (2000). Measuring Student Knowledge and Skills: the PISA Assessment of Reading, Mathematical, and Scientific Literacy. [online]. Tersedia http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/PISAsampleitemsEng.pdf

OECD. (2003). Literacy Skills for the World of Tomorrow: Further Results from PISA 2000. [online]. Tersedia http://www.pisa.oecd.org/Docs/Download/ PISAplus_eng01.pdf.

OECD. (2004). Learning for Tomorrows Word-First Results from PISA 2003. [Online]. Tersedia: http://www.pisa.oecd.org/dataoecd/1/60/34002216.pdf OECD. (2007). Executive Summary PISA 2006: Science Competencies for

Tomorrow’s World. [Online]. Tersedia:

http://www.eric.ed.gov/ERICDocs/data/ericdocs2sql/content_storage_01/00 00019b/80/43/23/b9.pdf

Parkes, J. (t.t). Multiple Choice Test. [Online]. Tersedia: http://www.umd.umich.edu/ casl/natsci/faculty/zitzewitz/curie/TeacherPrep/188.pdf

Pikunas, L. (1976). Human Development. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. Purwita, I.B.P. (1981). ”Agama Hindu dan Perkembangan Pariwisata di Bali”.

Majalah Widya Dharma. No.3/Tahun I/Desember 1981.

Ramsey, J., (1993). Developing Conceptual Storylines with the Learning Sycle. Journal of Elementary Science Education. Virginia, 5(2), p. 1-20.


(5)

187 Redfield, R. Linton, R., & Herskovits, M. J. (1936). Memorandum for the study of

acculturation. Journal of American Anthropologist, 38, p. 149 - 152.

Rohandi, R. (1998). “Memberdayakan Anak Melalui Pendidikan Sains”, dalam Pendidikan Sains yang Humanistis. Yogyakarta: Kanisius.

Ruseffendi, E. T. (2001). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan Dan Bidang Non-Eksata lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Rustaman, N. et al. (1992). Pengembangan dan Validasi Alat Ukur Keterampilan Proses Sains Pada Pendidikan Dasar sembilan tahun Sebagai Persiapan Pelaksanaan Kurikulum 1994. Laporan Penelitian Dikti. Bandung: FPMIPA-IKIP.

Rusyan, A. T. (1993). Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bina Budhaya.

Rutherford, F. J. & Ahlgren, A. (1990). Science for All Americans. New York: Oxford University Press.

Safari, (2008). Analisis Butir Soal: Manual, Kalkulator, Komputer. Jakarta: Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesoia (APSI) Departemen Pendidikan Nasional. Santrock, J. W. (1995). Life-Span Development. Medison: Wm. C. Brown &

Benchmark, Inc.

Santrock, J. W. (1995). (1998). Child Development. Boston: McGraw Hill Companies, Inc.

Schecker, H. & Gerdes, J. (1999). ”Messung von Konzeptualisierungsfähigkeit in der Mechanik-Zur Aussagekraft des Force Concept Inventory”. Zeitschrift für Didaktik der Naturwissenschaften. 5(1). 75–89. [Online]. Tersedia:. http://physics.uwstouth.edu/staff.

Simanek, D. E. (2005). ”What is science? What is Pseudoscience?” [Online]. Tersedia: http://www.lhup.edu/~dsimanek/pseudo/scipseud.htm [23 Maret 2008].

Sisdiknas. (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989. Semarang: CV. Aneka Buku.


(6)

188 Suderajat, H. (2003). Pendidikan Berbasis Luas (BBE) yang Berorientasi pada

Kecakapan Hidup (Life Skills). Bandung: Cipta Cekas Grafika.

Suja, I. W. (2006). Sains Veda (Sinergisme Logika Barat dan Kebijakan Timur). Percetakan Bali: Denpasar.

Suja, I. W. Sudria, I.B.N. & Muderawan, I.W., (2007). Integrasi Sains Asli (Indigenius Science) ke dalam Kurikulum Sains Sekolah Sebagai Upaya Pengembangan Pendidikan Berbasis Content dan Context Budaya Bali. Laporan hasil P2M tidak dipublikasikan. Singaraja: Undiksha.

Sumber Data: Kantor Statistik Propinsi Bali tahun 2002/2003

Toothaker, L. E. (1986). Introductory Statistics for the Behavioral Sciences. New York: McGraw-Hill, Inc.

Trowbridge, L. W. & Bybee, R. W., (1990), Becoming A Secondary School Science Teacher. Columbus: Merrill Publishing Co., A Bell & Howell Information Co.

Wahyudi, (2003). “Tinjauan Aspek Budaya Pada Pembelajaran IPA: Pentingnya Kurikulum IPA Berbasis Kebudayaan Lokal”. Jurnal Depdiknas. 040, Januari 2003. [Online]. Tersedia: http://www.depdiknas.go.id\jurnal\40\ editorial40.html [30 April 2004].

Walter & Robert, B. (1988). New Dimension of Science. Ohio: State University. Winick, C. (1956). Dictionary of Anthropology USA. USA: Littlefield, Adams &

Co.

Yu, A. (t.t). Using SAS for Item Analysis and Test Construction. [Online]. Tersedia: http://seamonkey.ed.asu.edu~alex/teaching/assessment/alpha.html.

Zainul, A. (1997). Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Pusat antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Zainul, A. & Nasution, N. (2001). Pekerti: Mengajar di perguruan Tinggi, tentang Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Tinggi.