Zat kimia batik Natrium Hidroksida Riwayat Atopik

Jenis-jenis obat sistemik antara lain : - Antihistamin Maksud pemberian antihistamin adalah memperoleh efek sedatifnya. Ada yang berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang berpendapat dengan adanya reaksi antigen –antibodi terdapat pembebasan histamin, serotonin, SRS –A, bradikinin dan asetilkolin Hedi, 2008. - Kortikosteroid Diberikan pada kasus yang sedang dan berat, secara peroral, intramuscular atau intravena. Pilihan terbaik adalah prednisone dan prednisolon. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkus peptikum, diabetes dan hipertensi. Efek sampingnya terutama pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan perubahan dari insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi limfosit, mengurangi molekul CD 1dan HLA-DR pada sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-2 dari Limfosit T dan menghambat sekresi IL-1,dan TNF- α Suharti, 2008. - Siklosporin Mekanisme kerja sikloporin adalah menghambat fungsi sel T penolong dan menghambat produksi sitokin terutama IL-2, IL- 1 dan IL-8, mengurangi aktivitas sel T , monosit, makrofaq, dan keratinosit Nafrialdi, 2008.

3. Zat kimia batik Natrium Hidroksida

Natrium hidroksida NaOH, juga dikenal sebagai soda kaustik atau sodium hidroksida, adala sejenis basa logam kausatik. Natrium Hidroksida terbentuk dari oksida basa. Natrium hidroksida dilarutkan dalam air dan membentuk larutan alkali yang kuat ketika dilarutkan dalam air. NaOH banyak digunakan di berbagai macam bidang industri, kebanyakan digunakan sebagai basa dalam proses produksi tekstil, air minum, sabun dan deterjen Heaton, 1996 Dalam industri batik NaOH di gunakan sebagai bahan pembantu pelarutan zat warna yang sifatnya dapat merusak serat kain. Penentuan konsentrasi penggunaan NaOH dalam pewarnaan batik dapat di bagi menjadi 3 level yaitu 1, 2, dan 3. Dimana pada konsentrasi lebih dari 2 dapat menyebabkan gangguan kesehatan. NaOH memiliki sifat iritan dan korosif yang dapat bereaksi dengan jaringan tubuh. Dimana dapat merusak jaringan tubuh yang hidup. Berbahaya bila kontak dengan kulit dan mata. Salah satu efek yang ditimbulkan dari NaOH adalah dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan saluran pernafasan jika terjadi penghirupan uap NaOH dalam jangka waktu yang lama Hudyono, 2002.

4. Riwayat Atopik

Atopik berasal dari bahasa Yunani ” Atopia ”yang berarti sesuatu yang tidak lazim berlebihan. Istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi yang tidak biasanya, berlebihan hipersensitivitas dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam lingkungan kehidupan manusia Harijono, 2006. K ata ”atopi ”pertama dikenal oleh Coca 1923 yaitu istilah yang dipakai oleh sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat keadaan kepekaan dalam keluarganya, misal dermatitis atopik, rhinitis alergi, asma bronkiale Djuanda, 2007. 4.a. Dermatitis Atopik 4.a.1. Definisi Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan eksaserbasi terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula pada dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat alergik dan atau asma dalam keluarga maupun penderita. 4.a.2. Etiologi dan Patogenesis Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat komplek serta multifakorial. Salah satu teori yang banyak dipakai adalah teori imunologik. Berdasarkan pada pengamatan 75 penderita dermatitis atopik mempunyai riwayat penyakit atopik lain pada keluarga atau pada dirinya. Pada penderita dermatitis atopik terjadi peningkatan kadar IgE dalam serum, adanya IgE spesifik terdapat bermacam aerolergen dan eosinofilia darah, serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel Langerhans epidermal. Pada dermatitis atopik didapatkan kelainan imunologik berupa meningkatkan infeksi kulit karena virus herpes simplek, vaccinia, veruka, moluskum kontangiosum dan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi jamur superfisial Harijono, 2006. Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh sel penyaji antigen antigen presenting cell = APC untuk kemudian diproses dan disajikan kepada limfosit T dengan bantuan MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui reseptor T Cell Reseptor = TCR. Setelah paparan, sel T akan berdiferensiasi menjadi subpopulasi sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktifitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE yang spesifik terhadap alergen. Begitu ada dalam sirkulasi IgE segera berkaitan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan reaksi segera mediator seperti leukotrien C4, prostaglandin D2 dan yang lain sebagainya. Sindroma atopik ditandai dengan respon imun Th2 lebih dominan, oleh karena itu disebut Th2 disease dan disertai produksi sitokin Th2 yang berlebihan Th2 excess Harijono, 2007. 4.a.3. Manifestasi klinis Manifestasi klinis dermatitis atopik terdiri dari 3 bentuk: Harahap, 2000. - Tipe Infant 2 tahun Lesi berupa eritema, papulo vesikel miliar yang sangat gatal, karena garukan terjadi erosi, ekskoriasi dan eksudasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Predileksi tipe ini pada kulit kepala, muka, daerah popok dan daerah ekstensor ekstremitas. - Tipe anak 3 – 11 tahun Dapat berupa kelainan bentuk infantil atau timbul sendiri de novo. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskroriasi memenjang dan krusta. Predileksi tope ini pada lipat siku, lipat lutut, leher, pergelangan tangan, kaki, jarang mengenai muka. - Tipe dewasa 12 – 24 tahun predileksi tipe ini pada muka dahi, kelopak mata, perioral, leher, dada bagian atas, lipat siku dan biasanya simetris. Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, ekskoriasi dan krusta. Umumnya berlangsung lama, tetapi intensitasnya cenderung menurun setelah usia 30 tahun. Sebagian kecil dapat terus berlangsung sampai tua, dada bagian atas, lipat siku dan biasanya simetris. 4.a.4. Diagnosis Diagnosis dermatitis atopik menurut Hanifin dan Rajka’s ditegakkan bila dijumpai lebih dari 3 kriteria mayor dan lebih dari 3 kriteria minor. Kriteria mayor dermatitis atopik adalah : 1. Pruritus 2. Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayianak dan di fleksura pada dewasa 3. Dermatitis kronis atau residif 4. Riwayat atopik pada penderita atau keluarganya. Kriteria minor dermatitis atopik adalah : 1. Xerosis 2. Infeksi kulit khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simplek 3. Dermatitis nonspesifik pada tangan atau kaki 4. Iktiosis hiperlinear palmaris keratosis pilaris 5. Ptiriasis alba 6. Dermatitis di papila mamae 7. Keilitis 8. Lipatan infra orbital Dennie - Morgan 9. Konjungtivitis berulang 10. Keratokonus 11. Katarak subkapsular anterior 12. Orbita menjadi gelap 13. Muka pucat atau eritem 14. Gatal bila berkeringat 15. Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak 16. Aksentuasi perifolikuler 17. Hipersensitif terhadap makanan 18. Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan atau emosi 19. Test kulit alergi tipe dadakan dan atau emosi 20. Kadar IgE didalam serum meningkat 21. Awitan pada usia dini 4.a.5. Penatalaksanaan Siregar, 2004 4.a.5.1. Menghindari kekambuhan cegah faktor pencetus 4.a.5.2. Pengobatan terhadap gejala : 4.a.5.2a. Pengobatan sistemik : - Antihistamin diberikan untuk mengatasi gatal misalnya Chlorpheniramine, prometazine, hidroxyzine. - Antibiotik digunakan bila mengalami infeksi sekunder, misalnya eritromisin. - Kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan, kecuali bila kelainannya luas, atau eksaserbasi akut, dapat diberikan dalam jangka waktu pendek 7 –10 hari misalnya Prednison, Deksametason, Triamsinolone, Methil prednisolon. 4.a.5.2b. Pengobatan topikal - Pada tipe infant diberi kortikosteroid ringan dengan efek samping sedikit, misalnya hidrokortison 1 –1,5 . - Pada tipe anak dan dewasa dengan likenifikasi dapat diberi kortikosteroid kuat seperti betametason dipropionat 0,05. 4.b. Asma bronkiale 4.b.1. Definisi Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronik jalan nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan nafas dan gejala pernafasan sesak nafas Mansur, 2001. 4.b.2. Manifestasi klinis Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya hiperaktifitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan. Gejala asma bronkiale antara lain : PDPI, 2004. - Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan. - Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak. - Gejala timbul memburuk terutama pada malam hari dini hari. - Respon terhadap pemberian bronkodilator. 4.b.3. Patogenesis Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema mukus infiltrasi seluler dan deskuamasi sel epitel dan sel radang. Berbagai rangsangan non spesifik, jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon bronkokonstriksi dan radang Mansur, 2001. 4.b.4. Diagnosis Menurut Sukamto 2006, diagnosis asma ditegakkan berdasarkan: 4.b.4.1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit ditemukan keluhan batuk, sesak, mengi atau rasa berat di dada. Faktor – faktor yang mempengaruhi asma adalah riwayat keluarga dan riwayat alergi lain seperti dermatitis atopik, rhinitis alergi, serta gejala klinis asma. Dari anamnesis juga dapat diketahui adanya faktor pencetus asma, yaitu : - Infeksi virus saluran nafas, influenza. - Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah atau bulu binatang. - Pemajanan terhadap iritan asap rokok atau minyak. - Kegiatan jasmani : lari - Ekspresi emosional : takut, marah, frustasi. - Obat- obatan golongan aspirin, penyekat beta, AINS - Lingkungan kerja : uap zat kimia - Polusi udara : asap rokok - Pengasiet makanan. - Lain – lain menstruasi, kehamilan, sinusitis 4.b.4.2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik tergantung derajat asma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflamasi dada dan pernafasan cepat hingga sianosis. 4.b.4.3. Pemeriksaan penunjang - Spirometri Dilihat dari respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkdilator hirupgolongan adrenergik beta. Peningkatan VEP atau KVP sebanyak 20 menunjukan diagnosis sma. - Uji Provokasi Bronkus Jika pemeriksaan spirometri normal, dilakukan uji provokasi bronkus dengan uji provokasi dengan histamin, kegiatan jasmani, udara dingin, laritan garam hipertonik. Penurunan VEP 20 dianggap bermakna. - Pemeriksaan Eosinofil total Pada asma terjadi peningkatan jumlah eosinofil. - Pemeriksaan sputum Asma karakteristik dengan eosinofil. - Foto thorak Digunakan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti obstruksi bronkus. - Analisa gas darah Dilakukan pada asma berat. Pada fase awal, terjadi hipokapnea dan hipoksemia PaCO 2 35 mmHg. Pada asma yang sangat berat terjadi hiperkapnea PaCO 2 45 mmHg. 4.c. Rhinitis Alergi 4.c.1. Definisi Menurut WHO ARIA Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE Irawati, 2007. 4.c.2. Manifestasi klinis Rhinitis alergi secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala kongestif atau sumbatan hidung, bersin, mata berair, gatal, dan post nasal drip Blumenthal, 1997. 4.c.3. Patofisiologi Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi reaksi alergi Irawati, 2007. Rhinitis alergi diduga melibatkan antibodi reagenik, sel basofil, sel mast, dan pelepasan zat mediator seperti histamin, prostaglandin, dan leukotrien, yang pada gilirannya bekerja pada saluran hidung dan menimbulkan manifestasi klinis Blumenthal, 1997. 4.c.4. Diagnosis Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan : 4.c.4.1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50 diagnosis ditegakkan dari anamnesis saja. 4.c.4.2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. 4.c.4.3. Pemeriksaan penunjang - In vitro Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan jumlah normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya asma bronkial. - In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri Skin End-point TitrationSET Irawati, 2007. 4.c.5. Terapi Inti dari terapi adalah menghindari pemaparan terhadap alergen dan iritan yang dicurigai. Terapi obat dengan menggunakan antihistamin yang mengendalikan hidung gatal, bersin dan rhinorea. Blumenthal, 1997. Bila penyumbatan hidung sangat mengganggu bisa diberika dekongestan seperti pseudoefedril atau fenilpropanolamin. Tetes atau semprot hidung yang mengandung obat – obat simptomimetik harus dihindari kecuali untuk penggunaan jangka pendek. Pengobatan paling efektif dengan kortikosteroid topikal. Blumenthal, 1997.

B. Kerangka Pemikiran