349
mereka adalah alumni yang wajib hukumnya membesarkan pondok walaupun pimpinankyai tidak berada di pondok.
Keberhasilan yang diperoleh pondok pesantren As’ad sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi, yaitu dengan semakin mengefektifkan sistem
manajemen yang telah dilaksanakan selama ini, karena modal sumberdaya manusia yang loyal telah mereka miliki, tinggal bagaimana memberdayakan
mereka dan menjalin hubungan antara pesantren dan masyarakat secara lebih intens.
Pesantren, bagaimanapun, merupakan subkultur masyarakat yang sangat penting bagi perubahan sosial. Namun demikian, untuk dapat
memenuhi fungsi-fungsi tersebut, paling tidak pesantren harus pandai-pandai menyesuaikan diri dengan konteks sosial dan perkembangan zaman dengan
tetap berpengang pada nilai-nilai primordial agama Islam yang menjadi ciri khas pendidikan di pesantren. Sebuah pesantren yang berwawasan dan
responsif adalah pesantren masa depan yang memiliki tiga kekuatan berikut:
a. Aktualisasi Manajemen Berbasis Pesantren
Manajemen berbasis pesantren, sebagaimana diulas sebelumnya, merupakan pola manajemen yang lebih bersifat internal ke dalam pesantren.
Persoalan manejemen dalam diri pesantren merupakan fakfor yang amat krusial dan paling menentukan arah, tujuan dan masa depan pesantren.
Problematika Pesantren di Kota Jambi, sebagaimana yang
dikemukakan di atas, tercermin pada lemahnya elan kepemimpinan kyai dalam mengelola pesantren tersebut Di samping itu, pola pendidikannya
350
semestinya mendapat sentuhan tangan-tangan profesional untuk sekedar direkonstruksi dapat memenuhi dua kepentingan sekaligus, yakin kepentingan
duniawi dan kepentingan ukhrawi. Menghadapi arus globalisasi dan perubahan sosial, pesantren perlu
menerapkan manajemen yang profesional. Sebab profesionalisme merupakan landasan bagi pendidikan yang bermutu yang sesuai dengan tuntutan
globalisasi Ismail SM dkk., 2002: 115. Keperluan akan profesionalisme manajemen seperti itu karena lembaga pendidikan ini ibaratnya sebuah
industri di mana lembaga pendidikan berusaha mengolah para santri sebagai in-put untuk dididik menjadi manusia terdidik sesuai dengan tujuannya
sebagai out-put dan proses pendidikan. Namun perlu ditegaskan bahwa peranan pendidikan itu jauh lebih besar dari industri. Sebab pendidikan
merupakan sebagian dan kehidupan masyarakat dan juga sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya pendidikan pesantren harus
disesuaikan dengan tuntutan masyarakat supaya pesantren yang telah dipercaya oleh masyarakat bisa tetap eksis. Indikator ketidak-profesionalan
Pesantren di Kota Jambi dapat dilihat lemahnya pada posisi ini. Tawaran selanjutnya adalah pesantren harus bisa menyediakan sistem
pendidikan dan pengajaran yang bisa mengakomodasi materi pendidikan umum sesuai dengan perkembangan Iptek untuk memenuhi tuntutan
masyarakat tanpa harus meninggalkan materi pokok ke-Islamannya. Sebab materi pokok ke-Islaman inilah yang menjadi ciri pokok tradisi pendidikan di
pesantren. Integrasi ilmu-ilmu umum dan agama ini sekarang setelah
351
dipraktekkan tenyata cukup manjur. Ini dapat dilihat umpanya dan menjamurnya penggemar SD Islam, seperti SD Islam Al-Azhar, SD Islam
Nurul Ilmi, dan SD Islam Al-Falah Kota Jambi. Namun bila lebih serius menanganinya, sebenarnya pesantren akan lebih berkualitas mengingat sistem
pondokasrama memungkinkan para santri untuk lebih mengembangkan diri secara leluasa.
Pondok pesantren di Kota Jambi, sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya mengusahakan model pendidikan semacam itu, seperti di Pondok
Pesantren As’ad, yang telah membuka SD Islam. Namun terkesan bahwa integrasi pendidikan agama dan umum lebih bersifat “kawin paksa” sehingga
salah satunya terabaikan sementara yang lainnya tidak dikuasai. Berkenaan dengan ini, pola kepemimpinan agaknya perlu mendapat perhatian. Sebab
penyelenggaraan manajemen pendidikan pesantren memiliki nilai yang sama pentingnya dengan upaya menjaga estafet pergantian kepemimpinan. Untuk
itu, seorang kyai harus menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman, mengetahui tugas- tugas manajerial dan hal ihwal keduniawian yang menjadi tuntutan
perkembangan zaman, di samping sikap akuntabilitas yang juga tidak kalah pentingnya.
Program pendidikan Pondok Modern Gontor kiranya dapat dijadikan bahan pemikiran, yakni sebagaimana yang tercantum dalam “panca jiwa
pondok”: 1 Ikhlas, yaitu santri harus memandang semua perbuatannya sebagai ibadah kepada Tuhan; 2 Sederhana, yaitu santri harus dapat
memberikan penampilan yang sederhana dan wajar, baik lahiriyah maupun
352
batiniah; 3 Mandiri, yaitu minimal setiap individu dapat menolong dirinya sendiri, dan bahkan berusaha menolong orang lain yang membutuhkan; 4
Ukhuwwah Islamiah, yaitu persaudaraan sesama Muslim baik di dalam maupun di luar pesantren; dan 5 Bebas berfikir, yaitu mereka harus bebas
memikirkan masa depan dan memilih jalannya sendiri. Akan tetapi bebas berfikir di sini tetap pada norma-norma pondok Mastuhu, 1994: 131-132.
Sehingga filsofi yang tersebar di sini adalah integralisme pendidikan agama dan umum serta dengan semangat etis-Islami yang demokratis.
Pola kepemimpinan Pesantren yang bersifat alami harus segera dirombak minimal pada tingkat manajerial. Untuk ini pesantren harus
membentuk dewan pimpinan yang dipimpin oleh seorang direktur yang berfungsi sebagai “manajer” pesantren. Sementara dewan kyaiguru bertugas
mengurus pendidikan, pengajaran dan kehidupan keagamaan di pesantren. Pola kepemimpinan multi-leaders semacam ini mutlak diperlukan
mengingat tidak semua kyai mampu memimpin segala hal selain soal kepesantrenan. Langkah kepemimpinan semacam ini memerlukan pembagian
tugas sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh para pemimpin yang ditunjuk supaya bisa menjalankan fungsi yang sesungguhnya. Walaupun
Dawam Raharjo pernah berujar bahwa idealnya seorang kyai itu memiliki semua keahlian di bidang kepesantrenan. Artinya, selain menguasai bidang
pendidikan dan pengajaran, seorang kyai juga mampu memimpin sendiri usaha-usaha pengembangannya Mastuhu, 1994: 118. Namun dalam
kenyataannya kyai yang ideal seperti itu jarang. Kalaupun ada, biasanya tetap
353
memiliki waktu yang terbatas. Posisi pimpinan Pondok Pesantren di Kota Jambi sekarang ini sebenarnya tidak memungkinkannya untuk dapat
menghandel semua persoalan, dari pendidikan, tantangan, hubungan dengan masyarakat, hingga keadaan santri. Maka jalan keluarnya adalah pembagian
tugas kekyaian tersebut. Selain itu pula, seiring dengan perkembangan zaman, lembaga-
lembaga pendidikan agama semacam pesantren semakin dituntut untuk membuka di lebar-lebar mengenai lektur keagamaan yang diajarkannya, tidak
cukup hanya dengan mengajarkan materi keagamaan yang didasarkan pada aliran atau paham tertentu. Sebagai akibat semakin tajamnya ilmu
pengetahuan umum dan tekonologi dalam setiap aspek kehidupan, maka semakin terasa kebutuhan akan analisis keagamaan yang semakin tajam dan
berbagai sudut pandang atau aliran “filsafat agama”. Ini tentu membutuhkan modal-modal ilmu yang integralistik-holistik agar dapat menjadi problem
solver bagi krisis kemasyarakatan baik menyangkut masalah ekonomi, akhlak, politik, dan sebagainya.
b. Implementasi Manajemen Berbasis Masyarakat