THE LEADERSHIP OF KYAI IN ISLAMIC BOARDING SCHOOL (Study on Islamic Boarding School in the City of Jambi).

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang sejarah, pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan maupun lembaga keagamaan memang cukup menarik untuk dicermati dan diperbincangkan dari berbagai sisi. Terlebih pada saat munculnya istilah-istilah era tinggal landas, modernitas, globalisasi, pasar bebas, dan lain sebagainya. Adapun yang menjadi fokus perbincangan atau pertanyaan dari berbagai pihak adalah bagaimana peran atau posisi pesantren sebagai sebuah institusi pendidikan di tengah-tengah arus modernisasi atau globalisasi, apakah pesantren akan tetap teguh mempertahankan posisinya sebagai lembaga “tafaqquh fiddiin” an-sich (yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam saja) secara mandiri yang bercorak tradisional atau pesantren diharuskan untuk “ikut-ikutan” melakukan proses “pemodernisasian” sistem; mulai dari perombakan kurikulum sampai pada perubahan manajemen pengelolaan.

Hal ini tentunya tergantung dengan model manajemen dan kepemimpinan seorang kyai yang diterapkan di sebuah pondok pesantren dalam merespon perubahan tersebut. Sebab secara umum, dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola secara sentralistik dan hirarkis, terpusat pada seorang kyai. Kyai sebagai salah satu unsur dominan dalam kehidupan sebuah pesantren, ia mengatur irama pekembangan dan keberlangsungan kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,


(2)

karismatik, dan keterampilannya. Sehingga tidak jarang sebuah pesantren tanpa memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kyai. (Hasbullah, 2001: 49).

Seorang kyai dalam budaya pesantren memiliki berbagai macam peran, termasuk sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin, dan pengelola pesantren. Peran yang begitu kompleks tersebut menuntut kyai untuk bisa memposisikan dirinya dalam berbagai situasi yang dijalaninya. Sehingga dibutuhkan sosok kyai yang mempunyai kemampuan, dedikasi dan komitmen yang tinggi untuk bisa menjalankan peran-peran tersebut.

Berdasarkan beberapa peran tersebut, peran yang paling vital adalah dalam hal kepemimpinan. Hal ini tak lepas dari pentingnya kepemimpinan kyai itu sendiri dalam mengelola pesantren, karena di dalam pesantren kyai merupakan tokoh kunci yang sangat menentukan berhasil tidaknya pendidikan yang ada di pesantren. Selain itu, ia juga merupakan uswatun hasanah, representasi serta idola masyarakat sekitarnya.

Posisi kyai yang serba menentukan itu akhir justru cenderung menyebabkan terbangunnya otoritas mutlak. Zamakhsyari mensinyalir bahwa kebanyak kyai di Jawa beranggapan bahwa suatu pesantren dapat diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan pesantren. (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 56). Sehingga seluruh kebijakan pesantren baik tujuan, pelaksanaan, maupun evaluasinya menjadi


(3)

3

otoritas kyai. Kyai menguasai dan mengendalikan seluruh sektor kehidupan pesantren. Ustadz, apalagi santri, baru berani melakukan sesuatu tindakan di luar kebiasaan setelah mendapat restu dari kyai.

Namun, dengan adanya tuntutan perubahan manjemen kepemimpinan pada pesantren sepertinya peran kyai di dunia pesantren, khususnya pesantren-pesantren di luar wilayah Jawa telah mengalami pergeseran. Studi pendahuluan menunjukkan bahwa peran ‘klasik’ kyai sebagai ulama atau sumber ilmu pengetahuan serta pendidik dan pengasuh tampak ada indikasi mengalami distorsi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari peran-peran yang dimainkan oleh kyai yang juga sekaligus ketua yayasan telah beralih dari peran-peran keilmuan lebih ke pada peran sosial kemasyarakatan dan peran politik. Kyai memiliki jam terbang keluar lebih padat ketimbang memainkan peran sebagai pengajar. Kesibukan kyai dalam kegiatan sosial dan politik tersebut meskipun sesungguhnya secara husnu dzan adalah dalam upaya membesarkan pesantren, namun tabiat ini memiliki implikasi negatif terhadap tradisi keilmuan dan pengelolaan pesantren. Pengajian kitab kuning (klasik) yang menjadi keunikan pesantren tidak lagi diajarkan oleh kyai, tetapi sudah dipercayakan kepada seorang asisten. Demikian juga pengelolaan pesantren diserahkan kepada kepala sekolah yang kharismanya tentu tidak sama dengan Kyai.

Fenomena tersebut di atas banyak sekali terjadi di dunia pesantren, begitu juga di Kota Jambi terdapat tiga buah pesantren yang berbeda dalam menyikapi arus modernitas. Pertama, Pondok Pesantren Nurul Iman dengan


(4)

sikapnya menolak modernisme secara total. Sikap ini dibuktikan dengan menutup diri secara total terhadap modernisme, baik pola pikir maupun sistem pendidikan dengan cara menjaga otentisitas tradisi dan nilai pesantren secara ketat, baik dalam bentuk simbol maupun substansi.

Kedua, Pondok Pesantren As’ad dengan sikapnya menerima modernisme secara selektif. Pada pola ini ada proses kreatif dari kalangan pesantren dalam menerima modernisme, yaitu menerima sebagian modernisme kemudian dipadu dengan tradisi pesantren. Pada pola ini pesantren menerapkan metode modern dalam sistem pengajaran, memasukkan referensi-referensi pengetahuan umum dalam pendidikan, namun kitab-kitab klasik dengan pola pengajaran ala pesantren tetap diterapkan.

Ketiga, Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah dengan sikapnya menerima modernisme secara total, baik pemikiran, model maupun referensinya. Pola ini mengajarkan nilai-nilai agama dengan referensi-referensi kitab klasik, tetapi juga diajarkan pengetahuan umum. Kurikulum yang digunakan juga kurikulum umum, tidak lagi kurikulum pesantren yang menggunakan kitab mu’tabar.

Hal yang menarik untuk dikaji pada ketiga pondok pesantren ini adalah realita yang terjadi bahwa Pondok Pesantren Nurul Iman yang tetap mempertahankan budaya pesantren eksistensinya mulai menurun, hal ini dapat dilihat dari keadaan santri dari tahun ke tahun terus mengalami kemunduran. Padahal pimpinan pesantren ini adalah seorang kyai yang memiliki


(5)

5

kedalaman ilmu keislaman, karismatik dan wibawa, dan hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi santri untuk memilih pesantren.

Berbeda dengan kedua pesantren lainnya yang terus mengalami perkembangan yang positif, padahal pimpinannya bukanlah seorang kyai yang mempunyai kedalaman ilmu keislaman, bukan pula seseorang yang bisa membaca kitab kuning, dan bukan pula seorang da’i. Pada Pondok Pesantren As’ad contohnya, pimpinan pesantren dipilih berdasarkan keturunan (nasab) dari pendiri pondok pesantren, dan tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, malahan setelah menjadi pimpinan pesantren kegiatannya banyak dilakukan di luar pondok sebagai anggota DPRD Provinsi Jambi. Begitu pula dengan pimpinan Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah adalah seorang birokrat yang ditunjuk langsung oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jambi.

Menyikapi fanomena ini maka menarik untuk dilakukan kajian yang lebih luas dan dalam menyangkut manajemen kepemimpinan kyai di Pondok Pesantren Kota Jambi. Sebab, di satu sisi seorang kyai dituntut peran akademisnya sebagai pengajar primer atas kitab-kitab klasik dan peran-peran keulamaan di masyarakat, sementara di sisi lain kyai juga dituntut untuk keluar mengejar bola, mencari sumber-sumber dana guna mengembangkan pesantren, bahkan terkadang keluar masuk dalam gelanggang politik (praktis).

B. Fokus Penelitian

Berpijak dari latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan terdahulu, maka penulis tertarik dan bermaksud untuk mengkaji serta meneliti masalah-masalah kepemimpinan dengan fokus utama penelitian ini adalah


(6)

“Bagaimana kepemimpinan kyai yang efektif pada pondok pesantren di Kota Jambi?” dengan menitikberatkan pada sistem pemilihan pimpinan, gaya kepemimpinan, dan peran kepemimpinan kyai.

Adapun secara lebih rinci pertanyaan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota Jambi? 2. Bagaimana gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi

3. Bagaimana efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren Kota Jambi dalam:

a. Penentuan visi dan misi pesantren b. Pengorganisasian

c. Pengambilan keputusan

4. Bagaimana peran kepemimpinan kyai pondok pesantren Kota Jambi di tengah masyarakat?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian disertasi ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota Jambi.

2. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi 3. Untuk mengetahui efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren

Kota Jambi dalam:

a. Penentuan visi dan misi pesantren b. Pengorganisasian


(7)

7

c. Pengambilan keputusan

4. Untuk mengetahui peran kepemimpinan kyai pondok pesantren Kota Jambi di tengah masyarakat

D. Pembatasan Penelitian

Penelitian ini tentunya harus diberikan batasan-batasan, karena banyak sekali fakta-fakta yang ingin diungkap, keingintahuan yang ingin dibuktikan, temuan-temuan lapangan yang memberikan kepenasaran untuk digali lebih dalam. Namun demikian peneliti perlu membatasi kajian penelitian dengan menetapkan fokus studi sebagai batas penelitian sehingga tidak menimbulkan kebingungan dalam memverifikasi, mereduksi dan menganalisis data. (Satori dan Komariah, 2009: 30)

Adapun batasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada permasalahan efektivitas kepemimpinan kyai di pondok pesantren Kota Jambi pada aspek kepemimpinan, manajemen, budaya pesantren, dan peran pesantren di masyarakat. Sedangkan pondok pesantren yang menjadi subjek penelitian adalah 1) Pondok Pesantren Nurul Iman Kota Jambi, 2) Pondok Pesantren As’ad Kota Jambi, dan 3) Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah Kota Jambi.

E. Paradigma Penelitian

Secara rinci paradigma penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Kepemimpinan menjadikan suatu organisasi dapat bergerak secara terarah dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.


(8)

2. Pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab dan membimbing, mengarahkan kinerja serta aktivitas para pengikutnya.

3. Proses kepemimpinan merupakan proses yang interaktif dan dinamis dalam mempengaruhi orang lain, dalam proses tersebut seorang pemimpin harus memiliki dasar kemampuan serta keterampilan dalam menggerakkan bawahannya agar dapat bekerja secara maksimal.

4. Efektivitas kepemimpinan setidaknya dapat dilihat dari perilaku pemimpin dalam merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi kepada bawahan.

5. Kyai sebagai pimpinan pondok pesantren harus menjalankan perannya sebagai ulama, pendidik dan pengasuh, penghubung masyarakat, pemimpin jamaah, dan sebagai pengelola pesantren.

F. Kerangka Berpikir Penelitian

Sebagai kerangka berpikir penelitian dari pengungkapan kepemimpinan kyai pada pondok pesantren, penulis menggunakan sebuah model empirik mengenai efektivitas kepemimpinan kyai di pondok pesantren. Model empirikal tersebut selanjutnya dijadikan dasar pengajuan model konseptual untuk mengefektifkan kepemimpinan. Apabila diperluas dengan bingkai-bingkai teori dan masalah penelitian, kerangka konseptual dalam penelitian dapat diilustrasikan pada gambar 1.1.


(9)

Kerangka kepemimpinan ky dalam menjalanka idealnya sistem pe oleh pimpinan menentukan tipe dipilih oleh seluru benturan konflik yang baik akan m untuk berpartisipa

Gambar 1.1.

Kerangka Pemikiran Penelitian

a konseptual pada gambar 1.1 tersebut menu kyai pondok pesantren di Kota Jambi masih nkan fungsi manajemennya, hal ini disebabk

pemilihan pemimpin dan tipe kepemimpinan pesantren, karena sistem pemilihan pi e kepemimpinan dalam sebuah organisasi. P uruh komponen organisasi tentunya akan dapa ik di dalam tubuh organisasi. Sedangkan gaya mampu memupuk rasa kebersamaan dan per ipasi secara aktif dan optimal untuk memajukan

9

nunjukkan bahwa sih terlihat lemah bkan oleh kurang n yang diterapkan pimpinan sangat i. Pemimpin yang pat meminimalisir ya kepemimpinan eran semua pihak an organisasi.


(10)

Kenyataannya di lapangan, suksesi kepemimpinan yang ada sering tidak mampu mengimbangi kemajuan dan perkembangan pesantren yang dikelolanya, sehingga sering terjadi penyusutan kewibawaan, baik karena tidak mampu memahami tuntutan yang timbul dan perkembangan keadaan yang baru maupun karena faktor-faktor lainnya. Seperti terhentinya kaderisasi kepemimpinan pada waktu pesantren yang dipimpin mengalami perkembangan pesat, kesenjangan semacam itu bisa berakibat fatal bagi kehidupan pesantren yang bersangkutan, paling tidak akan menimbulkan situasi kritis yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan pesantren. Dari segi tipe kepemimpinan, banyak hal yang bisa ditunjuk sebagai sebab mengapa belum mantapnya tipe kepemimpinan di pesantren selama ini. Sebab yang paling menonjol adalah watak karismatik yang dimilikinya. Selain itu, dengan adanya tuntutan perubahan manajemen kepemimpinan pada pesantren sepertinya peran kyai di dunia pesantren, khususnya pesantren-pesantren di Kota Jambi telah mengalami pergeseran. Peran ‘klasik’ Kyai sebagai ulama atau sumber ilmu pengetahuan serta pendidik dan pengasuh tampak ada indikasi mengalami distorsi.

Sehubungan dengan hal tersebut, pondok pesantren perlu merubah sistem pemilihan pimpinan ke arah sistem yang lebih ideal yang disertai dengan kaderisasi yang memadai. Selain itu, seorang kyai sebagai pemimpin di pondok pesantren jelas memerlukan suatu respon yang tepat untuk dapat menumbuhkan dan membangun pesantren menjadi lembaga pendidikan yang dapat memberikan keuntungan bagi santri untuk meningkatkan hasil belajar


(11)

11

dan kesalehan perilaku mereka, serta memberi kepuasan kepada masyarakat melalui lulusannya yang dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat.

Menyikapi hal ini perlu kiranya mengoptimalisasi perilaku kepemimpinan, karena efektivitas kepemimpinan setidaknya harus dapat menjalankan fungsinya dalam hal merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi. Oleh karena itu, kemajuan suatu pesantren tidak akan terlepas dari pengelolaan manajemen pondok pesantren itu sendiri dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Untuk itu, pondok pesantren perlu konsisten untuk menerapkan model kepemimpinan kolektif, dalam artian peran kyai yang terlihat begitu ekslusif perlu dikurangi. Karena model kepemimpinan kolektif pada dasarnya adalah kepemimpinan bersama di mana antara satu dengan yang lain saling melengkapi. Selain itu, pondok pesantren juga perlu merekonstruksi terhadap manajemen yang selama ini dianut guna mencapai efektivitas. Sebuah pesantren yang berwawasan dan responsif adalah pesantren masa depan yang secara internal mampu mengaktualisasi manajemen yang berbasis pesantren dengan memperkuat tiga hal, yaitu:

1. Tamaddun, yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.

2. Tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.


(12)

Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.

3. Hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.

Sedangkan secara eksternal mampu mengaktualisasikan peran kepemimpinan kyai sebagai penghubung masyarakat, karena pesantren di samping sebagai lembaga pendidikan juga berfungsi sebagai lembaga dakwah dan sosial. Fungsi dakwah ini telah menjadikan kyai sebagai figur publik senantiasa berhubungan dengan fihak luar yang menghubungkan antara pesantren dengan masyarakat. Pesantren sebagai lembaga pendidikan melayani santri yang jumlahnya relatif tetap dan menetap bertahun-tahun menuntut ilmu. Pesantren sebagai lembaga dakwah, biasanya menyelenggarakan kegiatan keagamaan yang ditujukan untuk memberikan siraman rohani secara rutin bagi masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dapat berbentuk majlis taklim, pengajian bulanan, peringatan hari besar keagamaan, upacara khataman, haul maupun istiqhosah. Kegiatan dakwah ini lebih bersifat membina hubungan antara kyai, pesantren, dan masyarakat untuk menarik sebanyak mungkin orang. Pada setiap kegiatan biasanya kyai menyampaikan berbagai informasi tentang kegiatan pesantren yang dibinanya. Penyampaian


(13)

13

informasi tersebut dimaksudkan agar masyarakat mengetahui secara langsung dari kyai pimpinan pesantren. Pesantren dapat berkembang menjadi sebuah pesantren antara lain karena dapat menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar dari kalangan manapun.

Melalui perbaikan sistem kepemimpinan dan rekonstruksi manajemen pengelolaan pondok pesantren, diharapkan akan dapat tercipta efektivitas kepemimpinan kyai yang mampu menjawab tantangan zaman, bahkan telah siap untuk menyongsong masa depan yang tentunya akan lebih menantang. Untuk semakin mengefektivitaskan kepemimpinan kyai di pondok pesantren, dibutuhkan perilaku kepemimpinan pengembang yang memiliki karakteristik sebagai berikut: pertama, pemimpin sangat mahir menciptakan, mengembangkan dan membina kerjasama untuk mencapai tujuan bersama; kedua, pemimpin bekerja secara teratur dan bertanggung jawab; ketiga, pemimpin mau dan mampu mempercayai orang lain dalam melaksanakan pekerjaan, dengan memberikan pelimpahan wewenang dan tanggung jawab yang jelas; keempat, pemimpin selalu berusaha meningkatkan kemampuan kerja bawahan; kelima, pemimpin memiliki kemauan dan kemampuan yang positif dalam menghargai, mengormati dan memberdayakan bawahan sebagai subjek atau individu yang berbeda antara yang satu dengan yang lain; keenam, pemimpin memiliki kemauan dan memampuan membina hubungan manusiawi yang efektif di dalam dan di luar jam kerja; ketujuh, pemimpin meyakini bahwa bawahan merupakan individu yang mampu bertanggung jawab apabila diberi kesempatan sesuai dengan batas-batas potensi yang


(14)

dimilikinya.

Akhirnya, dengan mengadopsi perilaku kepemimpinan pengembang diharapkan akan mampu memperbaiki tipe kepemimpinan yang selama ini telah melekat dalam budaya pesantren. Sehingga efektivitas kepemimpinan kyai di pondok pesantren akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan pondok pesantren, melalui penciptaan output yang siap pakai dan berdaya guna di semua level masyarakat.

G. Premis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka beberapa premis penelitian dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Kyai bukan lagi satu-satunya sumber belajar. Dengan demikian beraneka ragam sumber-sumber belajar baru dan semakin tingginya dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dengan sistem yang lain, maka santri dapat belajar dari banyak sumber. (Mastuhu, 1994: 66).

2. Pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekautan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral. Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai


(15)

15

tuntatan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern. (Dawam & Ta’arifin, 2004: 18)

3. Keefektivan pemimpin tergantung dari bagaimana gaya kepemimpinan terealisasi dengan situasi di mana kepemimpinan dioperasikan. (Hersey & Blanchard, 1977)

4. Keberhasilan pemimpin dalam mengembangkan organisasinya ke arah yang lebih baik, ditandai oleh kemampuannya dalam: a) meningkatkan hubungan kerjasama dengan pihak internal organisasi sebagai landasan kendali mutu, b) melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain sebagai suatu kebutuhan untuk meningkatkan wacara organisasi, c) melakukan hubungan yang baik dengan lingkungan sekitarnya. (Waddle, 2005)

5. Kecakapan-kecakapan yang dimiliki oleh seorang pemimpin menuju mutu kepemimpinannya, yaitu tidak kenal lelah, memiliki intuisi yang tajam, memiliki visi yang jelas dan mantap, dan memiliki kecakapan yang sangat menarik (Wahjoetomo, 1997).

6. Mukti Ali mendefinisikan beberapa karakterisitk yang menjadi ciri khas pesantren sebagai berikut: 1) adanya hubungan yang akrab antara santri dengan Kyai, hal ini karena mereka tinggal di dalam pondok, 2) tunduknya santri kepada Kyai, 3) hidup hemat dan sederhana benar-benar di lakukan di pesantren, 4) semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di kalangan santri pesantren, 5) jiwa tolong menolong dalam suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pondok pesantren, 6)


(16)

kehidupan berdisiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pesantren, 7) berani menderita untuk mencapai tujuan adalah salah satu pendidikan yang diperoleh santri di pesantren, 8) kehidupan agama yang baik diperoleh santri di pesantren (Ali, 1987: 17-18).

7. Kepemimpinan pendidikan yang efektif adalah kemimpinan yang mempunyai kemampuan memformulasikan dan mengimplementasikan fungsi-fungsi manejemen dengan baik dan tepat sebagai suatu strategi dalam merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, dan melakukan pengawasan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan secara bersama. (Saiful Sagala, 2004: 64).

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan disertasi ini, penulis menggunakan enam bab yang terdiri dari pendahuluan, kajian pustaka, metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, dan yang terakhir penutup. Lebih detilnya pembahasan disertasi ini dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan yang memuat pembahasan tentang latar belakang masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, pembatasan penelitian, paradigma penelitian, kerangka berpikir penelitian, premis penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua tinjauan pustaka yang secara garis besar dibagi menjadi 4 tinjauan pokok, yakni: 1) Kepemimpinan dalam kajian administrasi pendidikan, pembahasan ini membicarakan tentang konsep administrasi pendidikan dan konsep kepemimpinan; 2) Kepemimpinan dalam Islam,


(17)

17

pembahasan ini berbicara tentang term kepemimpinan Islam dan kepemimpinan menurut tokoh-tokoh Islam; 3) Keefektivan kepemimpinan; 4) Efektivitas Kepemimpinan; 5) Tinjauan tentang pesantren, pembahasan ini dimulai dari pengertian pesantren, karakteristik pesantren, sistem pendidikan pondok pesantren, kepemimpinan pendidikan di pondok pesantren, budaya organisasi pondok pesantren, dan kultur manajemen pesantren; 6) Mutu layanan pendidikan pondok pesantren, pembahasan ini dimulai dari konsep mutu layanan pendidikan, manajemen peningkatan mutu berbasis pondok pesantren, dan format pesantren masa depan; 7) Peran dan kepemimpinan kyai, membahas tentang peran kyai dalam pesantren, perilaku dan sifat kepemimpinan kyai, dan model kepemimpinan kyai; 8) Kajian terhadap hasil penelitian terdahulu.

Bab ketiga metode penelitian, terdiri dari pendekatan penelitian, setting dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan pemeriksaan keabsahan data.

Bab keempat sejarah dan keadaan pondok pesantren Kota Jambi, membahas tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Jambi dan gambar umum pondok pesantren di Kota Jambi.

Bab kelima hasil penelitian dan pembahasan, hasil penelitian membahas tentang sistem pemilihan pimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, efektivitas kepemimpinan kyai pada Pondok Pesantren Kota Jambi, dan peran kepemimpinan kyai pondok pesantren Kota Jambi di tengah masyarakat serta


(18)

bagaimana rekontruksi pola manajemen pondok pesantren di Kota Jambi. Pada pembahasan penelitian, membahas tentang sistem pemilihan pimpinan ideal di pondok pesantren Kota Jambi, gaya kepemimpinan di pondok pesantren Kota Jambi, efektivitas kepemimpinan kyai pada pondok pesantren Kota Jambi, dan model kepemimpinan efektif pada pondok pesantren.

Bab keenam kesimpulan, implikasi dan rekomendasi, merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan hasil penelitian, implikasi dari hasil penelitian, dan rekomendasi terhadap pihak-pihak yang terkait dalam penelitian.


(19)

161 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Disebut kualitatif karena sifat data yang dikumpulkan bercorak kualitatif, bukan kuantitatif yang menggunakan alat-alat pengukur. Melalui pendekatan kualitatif ini, diharapkan terangkat gambaran mengenai kualitas, realitas sosial dan persepsi sasaran penelitian tanpa tercemar oleh pengukuran formal. Penelitian didasarkan pada persepsi emik yang bertujuan untuk mengungkapkan dan mengurangi sistem dan perilaku bersama satuan strukturnya dan kelompok struktur satuan-satuan itu (Moelong, 2000: 53).

Pendekatan kualitatif atau disebut juga pendekatan naturalistik adalah pendekatan penelitian yang menjawab permasalahan penelitiannya memerlukan pemahaman secara mendalam dan menyeluruh mengenai objek yang diteliti, untuk menghasilkan kesimpulan-kesimpulan penelitian dalam konteks waktu dan situasi yang bersangkutan. Pendekatan kualitatif/naturalistic memandang suatu kenyataan sebagai suatu yang berdimensi jamak, oleh karena tidak mungkin disusun rancangan penelitian yang terinci sebelumnya, melainkan rancangan penelitian berkembang selama penelitian berlangsung. (Satori dan Komariah, 2009: 199).


(20)

B. Setting dan Subjek Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan pada pondok pesantren Kota Jambi, yaitu pada Pondok Pesantren As’ad, Pondok Pesantren Nurul Iman, dan PKP Al-Hidayah. Pemilihan setting penelitian ini didasari dengan beberapa pertimb angan pokok yaitu; pertama, pesantren-pesantren ini termasuk pesantren tertua di provinsi Jambi yang masih tetap survive sampai saat ini. Kedua, pesantren ini sangat terbuka dalam menerima gagasan baru (modern) dan dapat dikategorikan sebagai pesantren khalaf. Ketiga, para pimpinan pesantren merupakan ulama, tokoh masyarakat dan tokoh politik di provinsi Jambi.

Secara keseluruhan subjek dalam penelitian ini meliputi aspek-aspek yang berkaitan dengan kepemimpinan pondok pesantren. Ada empat faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan besarnya jumlah sampel informan yaitu; derajat keseragaman, presisi yang dikehendaki dalam penelitian, rencana analisa, dan tenaga, waktu, dan biaya. (Singarimbun, 1989: 149-150). Sejalan dengan itu, sesuai dengan kebutuhan data dan tujuan penelitian subjek dalam penelitian ini akan ditentukan secara purposive pada pesantren, yaitu terdiri dari 3 orang kyai sebagai informan kunci (key informan), 30 orang tenaga pengajar (ustadz), 15 orang santri, dan 9 orang tokoh masyarakat.

C. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri atas : tahap orientasi lapangan, pemeriksaan kerangka konseptual, serta Teknik


(21)

163

pengumpulan data dalam tulisan ini menggunakan; tehnik observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.

Jenis observasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi pasif, yaitu terlibat dalam situasi sosial Pesantren dengan tidak menjadi bagian dari Pesantren.

Metode ini dapat digunakan untuk memahami berbagai aspek prilaku kepemimpinan kyai di pesantren secara kualitatitf. Untuk memperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang kepemimpinan kyai, peneliti akan melakukan observasi dengan melibatkan diri dalam komunitas pesantren meskipun tidak secara aktif, sehingga dapat mengamati secara langsung aktivitas kepemimpinan kyai dan pengaruhnya terhadap kehidupan pesantren.

Melalui teknik pengamatan ini diharapkan data mengenai; 1) keadaan pesantren secara umum, 2) aktivitas manajerial pesantren, 3) proses belajar mengajar, khususnya kitab klasik, 4) posisi kyai dalam pengelolaan pesantren, 6) pola kepemimpinan kyai 7) dukungan warga pesantren terhadap kyai, dan 8) hubungan masyarakat sekitar dengan kyai sebagai pimpinan pesantren.

Wawancara dilakukan untuk memahami informasi secara detail dan mendalam dari informan sehubungan dengan fokus masalah yang diteliti. Dari wawancara ini diharapkan diperoleh respon dan opini subyek penelitian yang berkaitan dengan kepemimpinan kyai di Pesantren. Untuk membantu peneliti dalam memfokuskan masalah yang diteliti dibuat pedoman wawancara dan pengamatan.


(22)

Melalui teknik wawancara diharapkan terkumpulnya data mengenai; 1) peran kyai dalam mengelola pesantren, 2) pola kepemimpinan kyai di pesantren, 3) respon warga pesantren terhadap kepemimpinan Kyai.

Metode dokumentasi adalah merupakan sumber non manusia, sumber ini adalah sumber yang cukup bermanfaat sebab telah tersedia sehingga akan relatif murah pengeluaran biaya untuk memperolehnya, merupakan sumber yang stabil dan akurat sebagai cerminan situasi/kondisi yang sebenarnya serta dapat dianalisis secara berulang-ulang dengan tidak mengalami perubahan.

Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang sudah tersedia dalam catatan dokumen. Fungsinya sebagai pendukung dan pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam. Dokumen yang dianggap relevan yang akan diperoleh antara lain; struktur organisasi, tata tertib, data pengurus, program kerja, dan sejarah berdirinya pondok pesantren serta data lainnya yang dianggap perlu.

D. Teknik Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian adalah berdasarkan analisis interaktif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984). Analisis tersebut terdiri dari tiga kegiatan yang saling berinteraksi, yaitu; 1) reduksi data (data reduction), 2) penyajian data (data display), 3) penarikan kesimpulan (conclution) berdasarkan teori-teori yang ada. (Miles & Huberman, 1984: 18-21)


(23)

165

E. Pemeriksaan Keabsahan Data.

Dalam rangka mencapai keterpercayaan data (trustworthiness), peneliti dilakukan teknik perpanjangan keikutsertaan peneliti, kecermatan pengamatan, dan trianggulasi. (Moleong, 1998: 175-197)

1. Perpanjangan keikutsertaan peneliti, memungkinkan peningkatan derajat keterpercayaan data yang dikumpulkan. Peneliti melalui teknik ini, berusaha untuk meningkatkan frekuensi kehadiran di lokasi penelitian dengan senantiasa hadir di lokasi guna menyelami budaya setting dan lokasi penelitian.

2. Teknik ketekunan penelitian/pengamatan, peneliti bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan dengan cermat terhadap persoalan yang menonjol dalam penelitian, khususnya menyangkut persoalan kepemimpinan kyai di Pesantren Kota Jambi.

3. Teknik trianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik trianggulasi yang digunakan meliputi trianggulasi dengan sumber, metode, dan teori. Cara akan yang ditempuh antara lain adalah melakukan pengecekan (cek, recek, dan crosscheck) kepada dua atau lebih sumber informasi, antara lain mengecek ulang dengan wawancara secara berulang


(24)

dengan mengajukan pertanyaan yang sama kepada informan yang sama pada waktu yang berlainan dan mengecek silang dengan mewawancarai kyai, kepala sekolah (mudir), staf, ustadz, santri dan masyarakat.

Trianggulasi dengan sumber yaitu pengujian keshahihan data dengan membandingkan informasi yang sama pada waktu dan alat yang berbeda. Hal ini akan peneliti terapkan dalam bentuk; pertama, membandingkan data hasil pengamatan yang peneliti peroleh dalam observasi dengan data hasil wawancara. Kedua, membandingkan apa yang dikatakan informan dalam wawancara di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. Ketiga, membandingkan perspektif manajemen dengan pendapat pakar yang disajikan dalam kerangka teori. Keempat, membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi.

Teknik trianggulasi dengan metode dilakukan dengan dua strategi, yaitu pertama, pengecekan derajat keterpercayaan penemuan hasil penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data, kedua, pengecekan derajat keterpercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.

Trianggulasi dengan teori yaitu mencari dan mempelajari teori-teori yang diperlukan untuk mendukung dan menginterpretasikan data. Melalui teknik ini, peneliti membenturkan data hasil temuan dengan teori-teori yang dituangkan.


(25)

281 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Sistem Pemilihan Pimpinan di Pondok Pesantren Kota Jambi a. Pondok Pesantren Nurul Iman

Sejak berdirinya Pondok Pesantren Nurul Iman hingga sekarang sistem pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman dilakukan dengan cara musyawarah mufakat oleh para guru, pengurus yayasan, dan koordinator wilayah Pecinan, yang terdiri dari koordinator Kel. Ulu Gedong, koordinator Kel. Olak Kemang, koordinator Kel. Tengah, koordinator Kel. Jelmu, koordinator Kel. Tahtul Yaman, Koordinator Kel. Mudung Laut, dan Koordinator Kel. Arab Melayu. Dulu koordinator ini terdiri dari Kepala Kampung, namun sejak tahun 80an para koordinator ini ditunjuk oleh pihak Yayasan Pondok Pesantren Nurul Iman.

Keterlibatan koordinator dalam pemilihan pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman merupakan salah satu bentuk kontribusi masyarakat terhadap pesantren. Karena memang Pondok Pesantren Nurul Iman didirikan atas kerjasama para ulama dan masyarakat sekitar khususnya masyarakat daerah Pecinan yang terdiri dari Kelurahan Ulu Gedong, Kelurahan Olak Kemang, Kelurahan Tengah, Kelurahan Jelmu, Kelurahan Tahtul Yaman, Kelurahan Mudung Laut, dan Kelurahan Arab Melayu.


(26)

tergantung pada kesepakatan bersama antara yayasan, koordinator wilayah, dan guru-guru, selagi kepemimpinan orang yang dipilih masih dianggap layak dan mampu membangun dan mengembangkan pondok pesantren ke depan. Namun, pada 20 tahun terakhir ini, pemilihan pimpinan pondok pesantren mempunyai batas waktu masa kepemimpinan yaitu 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua apabila kepemimpinannya dianggap berhasil. Artinya waktu pemilihan pimpinan pondok pesantren Nurul Iman dilakukan setiap 5 tahun sekali.

Adapun mengenai syarat-syarat untuk menjadi pimpinan pondok, salah seorang guru senior mengatakan bahwa:

“Syarat-syarat untuk menjadi seorang pemimpin di pesantren ini dari dulu sampai sekarang sebetulnya tidak jauh berbeda, hanya saja sekarang harus disesuaikan dengan keadaan zaman. Syarat pertama orang tersebut haruslah ‘Allamah, capable dan acceptable, ikhlas dalam memimpin. Selain itu orang tersebut juga harus berwawasan luas dan moderat, dan yang terpenting adalah harus dapat diterima oleh semua pihak”. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009). Berdasarkan apa yang diungkapkan di atas, dapat diketahui bahwa syarat-syarat untuk menjadi pemimpin di Pondok Pesantren Nurul Iman adalah:

1) ‘Allamah

Maksudnya: orang yang berhak menjadi seorang pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman adalah orang mempunyai kemampuan yang mendalam terhadap ilmu-ilmu agama dan memahaminya secara luas. Prof. Dr. H. Sulaiman Abdullah sebagai pimpinan Pondok Pesantren Nurul


(27)

283

Iman merupakan seorang ulama yang sekarang menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jambi. Selain itu, beliau juga mendapatkan titel profesor di bidang ilmu Ushul Fiqh. Dengan demikian, keluasan ilmu dan wawasan beliau terutama dalam hal agama sudah diakui oleh masyarakat pesantren dan sudah diuji secara akademik.

2) Capable

Maksudnya: orang tersebut mempunyai kemampuan dalam memimpin. Karena meskipun ia seorang yang ‘allamah, namun tidak memiliki kemampuan dalam hal kepemimpinan, maka bagaimana ia akan memimpin dan memajukan pesantren.

3) Acceptable,

Maksudnya: orang tersebut harus terbuka dan siap menerima setiap masukan dari luar, dan tidak menutup diri terhadap kemajuan zaman, sebab setiap output yang dihasilkan pesantren akan kembali ke masyarakat, dan para santri nantinya akan siap terhadap setiap perkembangan zaman.

4) Ikhlas dalam memimpin,

Maksudnya: seorang pemimpin harus memiliki sifat keikhlasan dalam kepemimpinannya, karena tanpa keikhlasan, maka berkah dari kepemimpinannya itu nantinya tidak akan dirasakan oleh orang-orang yang dipimpinnya, terlebih lagi di Pondok Pesantren Nurul Iman yang notabene adalah pesantren yang sangat mengedepankan sikap ketaatan terhadap guru apalagi pimpinan.


(28)

5) Arif dan Bijaksana

Maksudnya: pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman haruslah orang mempunyai sifat arif dan bijaksana. Sebagai contoh pimpinan yang sekarang, Prof. Dr. H. Sulaiman Abdullah adalah sosok pimpinan yang arif, santun dan bijaksana, rumahnya tidak pernah ditutup selama 24 jam, artinya ia selalu siap menerima tamu dan juga siap menerima keluhan dari para santrinya, gurunya, masyarakat sekitar Pondok Pesantren Nurul Iman pada khususnya dan mana saja pada umumnya. Dia selalu menerima sendiri tamunya apabila memenga ingin bertemu walaupun beliau sedang kurang sehat, lebih-lebih apabila yang datang dari kalangann kaum miskin. 6) Diterima oleh semua pihak

Maksudnya: seorang calon pimpinan selain memiliki persyaratan-persyaratan di atas, ia juga harus dapat diterima oleh semua pihak. Sehingga di belakang hari tidak terjadi konflik yang disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang tidak setuju atas kepemimpinannya.

Dengan demikian, apabila seseorang dianggap telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, maka orang tersebut dianggap layak untuk dipilih sebagai seorang pimpinan pondok. Walaupun Pondok Pesantren Nurul Iman tergolong dalam pesantren salafi (tradisional), namun persyaratan untuk menjadi pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman tidaklah di dasarkan atas garis keturunan sebagaimana berlaku dibanyak pesantren tradisional lainnya di Indonesia.


(29)

285

Adapun pihak-pihak yang berhak memilih pimpinan pondok pesantren Nurul Iman, berdasarkan hasil wawancara dengan Guru H. Ismail Yusuf, bahwa:

“Yang berhak memilih pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman ini terdiri dari beberapa komponen, seperti para Pengurus Yayasan Nurul Iman, guru-guru Pondok Pesantren Nurul Iman, dan Shohibul Wilayah (Koordinator Wilayah) yang sudah ditunjuk oleh Pondok Pesantren Nurul Iman, yang terdiri dari Koordinator Kelurahan Ulu Gedong, Kelurahan Olak Kemang, Kelurahan Tengah, Kelurahan Jelmu, Kelurahan Mudung Laut, Kelurahan Arab Melayu, dan Kelurahan Tahtul Yaman. Di mana wilayah ini merupakan bagian dari daerah Pecinan”. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009).

Berdasarkan wawancara di atas, yang berhak untuk memilih pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman terdiri dari Pengurus Yayasan, guru-guru, dan Shohibul Wilayah (Koordinator Wilayah). Masih menurut Guru H. Ismail Yusuf, di masa awal berdirinya Nurul Iman, shohibul wilayah itu terdiri dari para Kepala Kampung, namun sekarang para Kepala Kampung (Lurah) sudah tidak memenuhi persyaratan lagi untuk dapat menjadi shohibul wilayah sebagaimana zaman dulu, karena mereka menjadi Lurah bukan ditunjuk oleh masyarakat, tetapi ditunjuk oleh pimpinan di atas mereka. Oleh karena itu, sekarang pihak Pondok Pesantren Nurul Iman menunjuk orang-orang yang memenuhi persyaratan menjadi shohibul wilayah sebagai perwakilan dari daerah-daerah Pecinan. Adapun syarat untuk menjadi shohibul wilayah adalah orang tersebut haruslah ‘alim dan mempunyai kharisma di masyarakat.

Sedangkan mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman dilakukan melalui beberapa tahapan, hal ini kembali dijelaskan oleh


(30)

Guru H. Ismail Yusuf bahwa mekanisme pemilihan dimulai dari penentuan dan penetapan tanggal pemilihan, dan kemudian membuat undangan kepada pihak-pihak yang berhak memilih, pada hari yang telah ditentukan pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat, dan pemimpin baru dipilih secara aklamasi, setelah proses tersebut dilalui, tahap selanjutnya adalah meng-SK-kan pimpinan yang baru oleh yayasan. (Wawancara, Guru H. Ismail Yusuf, 21 Juli 2009).

Jika diperhatikan, mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman tahapan-tahapannya masih sangat sederhana dan tidak memakan waktu yang lama. Hal ini menurut salah seorang guru senior disebabkan oleh eratnya rasa kekerabatan yang terjalin di antara para pengurus yayasan, guru-guru, dan para shohibul wilayah, sehingga segala sesuatu yang dimusyawarahkan dapat dengan segera diputuskan. Begitu juga dalam hal pemilihan pimpinan, di mana figur seorang pemimpin yang akan dipilih biasanya telah diketahui bagaimana kelebihan dan kekurangannya, sehingga ketika diadakan musyawarah pemilihan pimpinan, terkadang pilihan tertuju pada sosok yang sama. Oleh karena itu, setelah diusulkan nama salah seorang figur, maka secara aklamasi biasanya mereka langsung menyetujuinya. (Wawancara, Guru H. Abdullah A. Roni, 21 Juli 2009).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman hanyalah merupakan formalitas untuk mendapatkan legalitas formal dari sebuah pemilihan pimpinan. Karena pada dasarnya mereka telah mengetahui siapa orang yang akan mereka tunjuk


(31)

287

sebagai pimpinan baru. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari faktor kedekatan di antara mereka baik secara formal maupun emosional.

b. Pondok Pesantren As’ad

Estafet pergantian kepemimpinan yang ada di pesantren biasanya turun-temurun dari pendiri ke anak ke menantu ke cucu atau ke santri senior. Begitu juga dengan estafet kepemimpinan di Pondok Pesantren As’ad mulai dari berdirinya hingga sekarang telah beberapa kali mengalami pergantian kepemimpinan mulai dari K.H.A. Qodir Ibrahim (1951–1970), K.H.M. Yusuf Ibrahim (1970–1979), Drs. M. Hasan K.H.A. Qodir (1979–1985), dan K.H.M. Nadjmi K.H.A. Qodir (1985–sekarang). Dari semua Kyai yang pernah memimpin Pondok Pesantren As’ad kelihatannya belum ada yang tidak memiliki hubungan keluarga, sebagaimana diungkapkan oleh Guru H.M. Saleh Saman, bahwa:

”Pimpinan Pondok Pesantren As’ad setelah K.H.A. Qodir Ibrahim meninggal digantikan oleh kakak kandung beliau K.H.M. Yusuf Ibrahim, setelah itu posisi kepemimpinan pondok dilanjutkan oleh Drs. M. Hasan K.H.A. Qodir yang merupakan anak dari K.H.A. Qodir Ibrahim, dan sekarang pimpinan Pondok Pesantren As’ad digantikan oleh adik beliau K.H.M. Nadjmi K.H.A. Qodir, jadi kepemimpinan Pondok Pesantren As’ad sampai sekarang masih dipegang oleh keturunan K.H.A. Qodir Ibrahim selaku pendiri Pondok Pesantren As’ad”. (Wawancara, Guru H.M. Saleh Saman, 10 Agustus 2009). Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa Pondok Pesantren As’ad sebagaimana pesantren pada umumnya masih menganut menganut teori kekerabatan (kinship). Namun berdasarkan keterangan dari


(32)

salah seorang guru, bahwa:

”Memang benar bahwa Kyai yang memegang pucuk pimpinan di Pondok Pesantren As’ad ini masih satu keturunan, tapi yang perlu digarisbawahi bahwa penunjukkan mereka sebagai pimpinan di pondok pesantren ini bukan hanya disebabkan mereka adalah keturunan pendiri pondok, tapi memang mereka adalah orang-orang yang layak untuk menjadi pimpinan karena kedalaman ilmu agama mereka, selain itu mereka juga memiliki kharisma di masyarakat, sehingga merekalah yang pantas untuk melanjutkan estafet kepemimpinan di pesantren ini”. (Wawancara, Guru H. A. Latif, 10 Agustus 2009)

Wawancara di atas, sebetulnya kembali menegaskan bahwa syarat utama menjadi seorang pimpinan di Pondok Pesantren As’ad adalah orang yang memiliki garis keturunan dengan pendiri pondok pesantren. Namun sebagaimana diungkapkan lagi bahwa terpilihnya mereka menjadi pimpinan di Pondok Pesantren As'ad sudah berdasarkan kualifikasi sebagai seorang Kyai, yaitu mempunyai kedalaman ilmu agama dan kharismatik.

Sedangkan mekanisme pemilihan pimpinan di Pondok Pesantren As’ad diungkapkan oleh guru yang lain, bahwa:

”Pemilihan pimpinan Pondok Pesantren As’ad dilakukan dengan cara musyawarah di antara keluarga besar yang masih memiliki garis keturunan langsung dengan pendiri Pondok Pesantren As’ad atau yang masih memiliki hubungan keluarga dengan mereka. Dalam musyawarah tersebut, mereka menunjuk siapa yang akan menjadi pimpinan yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan pondok”. (Wawancara, Guru Fathur Rahman, 10 Agustus 2009).

Mekanisme pemilihan pimpinan sebagaimana yang diungkapkan di atas, terlihat bahwa sistem pemilihannya masih bersifat tertutup, dalam artian orang-orang yang berhak memilih dan memutuskan siapa yang menjadi


(33)

289

pimpinan di pesantren ini hanyalah orang-orang yang masih memiliki garis keturunan langsung dari pendiri pondok pesantren atau orang-orang yang masih memiliki hubungan keluarga, sedangkan pihak yayasan dan para guru yang ada di Pondok Pesantren As’ad tidak mempunyai hak untuk memilih dan dipilih sebagai pimpinan di pesantren ini.

Pola kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren As'ad seperti lazimnya tradisi yang terjadi pada sebuah pesantren pada umumnya, Kyai menempati posisi sentral sehingga tidak jarang malah menjadi sangat sentralistik. Hal ini terlihat dari corak kepemimpinan dan struktur organisasi yang sentralis. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan posisi pimpinan atau Mudir Pesantren As’ad, KH.M. Nadjmi Qodir, yang ternyata juga merangkap sebagai Ketua Yayasannya.

c. Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah

Kepemimpinan Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah dipegang oleh seorang Direktur yang memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Hal ini berbeda dengan dua pesantren sebelumnya yang menggunakan istilah “Mudir” untuk pimpinan pondok pesantren. Hal lain yang juga berbeda dengan pondok pesantren otonom pada umumnya, Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah merupakan pondok yang dimiliki dan didanai oleh Pemda Provinsi Jambi. Oleh karena itu, keterlibatan Pemda juga dirasakan cukup besar dalam mekanisme kepemimpinan Pondok. Hal ini sebagaimana hasil wawancara penulis dengan salah seorang guru,


(34)

diterangkan bahwa:

“Mekanisme penentuan Direktur pondok dilakukan oleh Pemda, melalui rancangan/usulan yang diajukan oleh pihak pondok terhadap siapa saja yang layak menjadi Direktur pondok. Pemda sendiri dalam hal penentuan tersebut berkoordinasi dengan pihak Departemen Agama Provinsi Jambi”. (Wawancara, Ust. Jauhar Mukhlas, MA, 31 Agustus 2009).

Sistem di atas menunjukkan bahwa mekanisme pemilihan Direktur di PKP al-Hidayah dilakukan berdasarkan pada hubungan koordinasi tiga lembaga tersebut, dimulai dari usulan pihak PKP al-Hidayah sendiri kepada Pemda Provinsi Jambi (Biro Kessos Setda Provinsi Jambi) yang selanjutnya berkoordinasi dengan Kantor Kementerian Agama sebagai lembaga yang menangani masalah kependidikan agama. Dalam hal ini keterlibatan Kantor Kementerian Agama Kota Jambi tampaknya tidak hanya sebatas persetujuan penugasan terhadap PNS yang berada dalam lingkungan Kementerian Agama, namun juga karena wewenang yang dimiliki terhadap pendidikan agama Islam di Kota Jambi.

Namun berdasarkan keterangan dari Direktur tentang proses pemilihannya, bahwa:

“Proses pemilihan saya sendiri sebagai Direktur merupakan penunjukkan langsung dari Pemda Provinsi Jambi yang diputuskan sesuai dengan kebutuhan pondok pesantren dan skill yang dimiliki oleh calon direktur yang ditetapkan oleh Pemda Provinsi Jambi. Walaupun sebenarnya saya telah memasuki masa pensiun dari Pegawai Negeri Sipil, namun menurut penilaian pihak Pemda Provinsi saya mampu untuk memimpin pesantren ini”. (Wawancara, KH. Hasan Kasim, 1 September 2009).


(35)

291

Apa yang diungkapkan oleh Direktur PKP al-Hidayah di atas, menunjukkan bahwa begitu kentalnya peran Pemda Provinsi dalam pemilihan pimpinan pondok pesantren. Terbukti dari mekanisme pemilihan Direktur sekarang yang tidak mengikuti mekanisme yang selama ini dilakukan. Begitu juga dengan para pimpinan yang berada di bawah Direktur, seperti Kepala Madrasah Ibtidaiyah hingga Aliyah, semuanya berada di bawah wewenang Pemda Provinsi.

Peran Pemda dalam penentuan Direktur Pondok dirasakan cukup beralasan, karena Pondok Karya Pembangunan al-Hidayah merupakan milik Pemda Provinsi Jambi, dan menurut keterangan Direktur, kenyataan tersebut pada satu sisi justru membanggakan karena hanya Pemda Provinsi Jambi satu-satunya Pemda di Indonesia yang memiliki pondok pesantren. Walaupun pada sisi lain sebenarnya agak membatasi otonomi kepemimpinan pondok.

2. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren Kota Jambi a. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren Nurul Iman

Kepemimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman identik dengan kepemimpinan kharismatik (charismatic leader), karena kyai-lah yang memimpin dan mengelola pesantren. Sebagai figur kharismatik, kyai adalah pimpinan informal yang dipilih, diakui, dihormati, disegani dan ditaati serta dicintai para santri dan komunitas pesantren serta masyarakat secara luas. Kiai mempunyai wibawa luar biasa dan mempunyai pengaruh luas yang tidak dibatasi aturan-aturan formal. Kyai mempunyai kemampuan untuk


(36)

mengetahui untuk mempengaruhi dan meyakinkan masyarakat, maka segala ajaran, perintah maupun larangan dipatuhi oleh masyarakat dan jamaahnya. Seorang pemimpin yang mempunyai kharisma dan beriman, selalu menyadari dan mensyukuri kelebihan dalam kepribadiannya sebagai pemberian Allah SWT. Oleh karena itu, kelebihan tersebut akan digunakan untuk mendorong dan mengajak orang-orang yang dipimpinnya berbuat sesuai sesuai dengan tuntutan dan ketentuan Allah SWT.

Pendapat-pendapat kyai selalu dibenarkan dan hargai. Muhammad Tholhah Hasan mengutip pendapat Jhon K. Clement dan Steve Albrecht menjelaskan bahwa kharisma bukan sesuatu yang dapat dipesan lewa pos, tidak dapat dipinjam, tetapi ada dalam diri sendiri yang harus bekerja keras mendapatkannya. Karisma bukan sifat flamboyan orang yang suka pamer dan diperagakan, melainkan kekuatan batin dan keseimbangan kepribadian (Tholhah Hasan, 2005: 41). Untuk menjadi seorang kyai kharismatik bukan hal yang mudah tetapi melalui proses panjang dan perjuangan berat. Berbeda dengan pemimpin formal yang standarnya jelas. Seorang menjadi pemimpin formal dengan modal surat keputusan dari pihak yang berwenang dia sudah sah, tanpa harus diakui, dihormati dan ditaati atau tidak.

Untuk menjadi seorang kyai kharismatik disamping memiliki ilmu agama yang mumpuni, dia juga mempunyai berbagai kelebihan lain di banding masyarakat pada umumnya. Tingkat keikhlasan, semangat berkorban harta, tenaga bahkan jiwa raga demi kepentingan umum menjadi karakteristiknya (Abdurrahman Mas’ud, 1999: 273). Kyai bukan sekedar


(37)

293

memberi arahan, melaikan mengambil rasa sakit bagi santri dan masyarakat. memberi perlindungan, dan bahkan merekatkan butir-butiran pasir yang lepas-lepas, menjadi problem solver di tengah masyarakat. Kyai adalah pimpinan kharismatik yang memiliki ciri-ciri sifat rendah hati, terbuka untuk dikritik, jujur dan memegang amah, berlaku adil, komitmen dalam perjuangan, ikhlas dalam berbakti dan mengabdi kepada Allah.

Di lingkungan pesantren, kyai adalah pendiri pesantren dengan berbagai pengorbanan yang dilakukannya. Tanah, asrama dan fasilitas-fasilitas lain pada umumnya adalah harta milik kyai. Di samping itu, kyai adalah sumber ilmu, tempat santri dan masyarakat mengadu dan pemilik keberkahan yang diyakini oleh seluruh komunitas pesantren dan masyarakat sebagai jamaahnya. Akan tetapi tidak dapat dinafikan bahwa kharismatik di pesantren mengantarkan pada pola kepemimpinan sentralistik (Syarief Romas, 2003: 10). Keputusan dan kebijakan pesantren baik yang berhubungan dengan sarana dan prasarana, kepengurusan, keuangan, kurikulum, materi pembelajaran dan kebijakan-kebijakan lain ditentukan oleh kyai.

Tipe kepemimpinan ini berimplikasi pada penerapan manajemen pengelolaan pesantren serta evaluasi program yang matang dan terukur dengan jelas. Kondisi ini semakin memperkuat asumsi-asumsi negatif yang melekat pada pesantren bahwa pesantren cenderung terisolasi, ekslusif dan konservatif sulit terbantahkan (Marzuki Wahid, 1999: 214-215). Kondisi seperti ini terutama terdapat pada pesantren salafiyah.


(38)

Tipe kepemimpinan kharismatik dan manajemen tradisional sebagaimana dimaksud di atas, juga tergambar pada pola kepemimpinan dan manajemen Pondok Pesantren Nurul Iman. Walaupun secara prosedural dan mekanisme terdapat susunan pengurus dengan pendelegasian kewenangan, akan tetapi dalam mekanismenya terdapat keganggalan dan kerancuan. Contoh konkrit adalah adanya pengurus yang sama sekali tidak kompeten di bidangnya, sehingga tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya diambil alih oleh kyai atau pengurus lainnya yang lebih berpengalaman. Namun hal ini bagi Pondok Pesantren Nurul Iman memang sudah lazim terjadi, dan ini bagi mereka bukanlah suatu masalah, karena kentalnya suasana kekeluargaan di dalam manajemen pesantren.

Latar belakang pondok pesantren yang bersifat kompleks akan menghasilkan format kepemimpinan pesantren yang bersifat fleksibel pula. Artinya kepemimpinan yang diterapkan dalam sebuah pondok pesantren tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya (Sulthon dan Khusnuridlo, 2003: 25). Kapasitas dan kapabilitas tersebut tidak terlepas dari pengaruh pribadi (bakat), latar belakang pendidikan, lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk menilai kepemimpinan seorang kyai perlu juga dilihat kultur keluarga, latar belakang pendidikan, situasi dan kondisi masyarakat sekitar dan lingkungan sosio-kultural (Sulthon dan Khusnuridlo, 2003: 25).

Begitu juga dengan KH. Sulaiman Abdullah, dalam konteksnya sebagai pimpinan atau mudir Pondok Pesantren Nurul Iman. Pola pendidikan


(39)

295

dan penggemblengan yang diberikan oleh keluarganya serta kultur pesantren yang melingkupinya sangat berperan dalam membentuk kepribadian dan kepemimpinan yang diterapkan. (Wawancara, KH. Sulaiman Abdullah, 23 Juli 2009). KH. Sulaiman Abdullah dalam menerapkan pola kepemimpinannya lebih menekankan pada aspek pemeliharaan kelompok atau sosial masyarakat. artinya kondisi dan kesejahteraan masyarakat menjadi prioritas utama, baik yang berkaitan dengan bidang pendidikan (agama dan umum), ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain:

1) Perhatian dan kepedulian KH. Sulaiman Abdullah terhadap pendidikan masyarakat sangat tinggi.

2) Sikap dan perilaku beliau yang senantiasa menghargai dan tidak membedakan masyarakat umum.

3) Kepedulian KH. Sulaiman Abdullah yang tinggi terhadap nasib dan kondisi masyarakat, terutama yang berkaitan dengan masalah ekonomi dan sosial masyarakat (Wawancara, Guru Muhid H. A. Qohar, 11 Juli 2009).

Di samping itu, KH. Sulaiman Abdullah merupakan sosok panutan bagi masyarakat sekitar, baik yang berkaitan dengan kepribadian beliau maupun yang berkaitan dengan urusan dunia dan akhirat. KH. Sulaiman Abdullah merupakan figur yang dikagumi, disegani, dihormati dan disanjung oleh masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun masyarakat umum yang mengetahui kiprah beliau, terutama dalam aktivitas dakwah (Wawancara, Muhid H. A. Qohar, 11 Juli 2009).


(40)

Kondisi ini tidak terlepas dari konteks KH. Sulaiman Abdullah sebagai figur kharismatik. Sehingga beliau juga dapat dikatakan menerapkan model kepemimpinan yang bersifat kharismatik. Kepemimpinan kharismatik dapat diartikan sebagai kemampuan menggunakan keistemewaan dan kelebihan, terutama yang bersifat kepribadian untuk mempengaruhi pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain, sehingga orang yang dipengaruhi tersebut bersedia untuk berbuat sesuatu yang dikehendaki oleh pimpinan.

b. Gaya Kepemimpinan di Pondok Pesantren As’ad

Kyai dalam masyarakat Islam merupakan salah satu elit yang mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar pada perkembangan masyarakat. Kyai menjadi salah satu elit strategis dalam masyarakat karena ketokohannya sebagai figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu, secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya). Tidak mengherankan jika Kyai kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai keagaman, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat melihat peran-peran strategis Kyai, khususnya dalam aspek kehidupan sosial politik di masyarakat.

Tipe kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren As'ad seperti lazimnya tradisi yang terjadi pada sebuah pesantren umumnya, Kyai menempati posisi sentral sehingga tidak jarang malah menjadi sangat sentralistik. Hal ini terlihat dari corak kepemimpinan dan struktur organisasi yang sentralis. Hal ini lebih


(41)

297

diperkuat lagi dengan posisi pimpinan atau mudir Pesantren As’ad, KH.M. Nadjmi Qodir, yang ternyata juga merangkap sebagai Ketua Yayasannya.

Tipe kepemimpinan semacam ini mengindikasikan bahwa masih adanya nuansa feodalis yang digenggam kuat oleh pesantren hingga peran dan inisiatif para bawahan menjadi sangat minim. Di mana ketokohan dan kharisma Kyai terlihat masih sangat kental terutama dalam hubungan antara Kyai dengan para guru, santri, pengurus, dan masyarakat, hal ini karena didasari oleh rasa hormat yang sangat mendalam; pola cium tangan, tidak dapat dibantah dan sebagainya.

Pola hubungan semacam ini memang sangat baik, namun di sisi lain ada juga kelemahannya, karena segala sesuatunya selalu diselesaikan dengan cara kekeluargaan, tidak melalui cara yang prosedural. Hal tersebut terlihat jelas pada sistem pelimpahan wewenang. Hal ini sebagaimana terungkap dari hasil wawancara dengan salah salah seorang pengurus Pesantren As’ad yang mengatakan bahwa:

“Pelimpahan wewenang selalu dilakukan secara langsung kepada orang terdekat tanpa bekal berupa Surat Mandat. Begitu juga dalarn urusan-urusan lainnya, seperti proses penempatan pengurus. Bahkan dalam soal transparansi keuangan, semuanya diselesaikan dengan cara kekeluargaan”. (Wawancara, Guru Abdullah Rozali, 12 Agustus 2009) Pandangan tersebut dipertegas lagi oleh para pengurus dan guru Pesantren As’ad yang mengatakan bahwa pola manajemen Pesantren As’ad masih tertutup, dan hal itu sudah berlangsung sudah sejak lama sekali. Kemungkinan besar karena hal ini disebabkan oleh status Pesantren As’ad


(42)

yang dikelola oleh Yayasan (pribadi). (Wawancara, Guru M. Hasan Ulfie, 6 Agustus 2009). Kendati demikian, menurut salah seorang guru, dalam hal pengambilan keputusan Kyai tetap mengikutsertakan unsur pimpinan lainnya. Namun untuk masalah santri, urusannya diserahkan kepada para guru. (Wawancara, Guru A. Dumyati Ishaq, 6 Agustus 2009).

Berdasarkan atas, tipe kepemimpinan Pesantren As’ad tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pola kepemimpinan yang dianut oleh Pondok Pesantren As'ad masih menganut prinsip manajemen tertutup dan belum belum menjalankan fungsi-fungsi manajemen secara optimal yang mengharuskan pengaturan dan mekanisme kinerja yang baik, perencanaan strategis, akuntabilitas, dan transfaransi.

Lemahnya tipe kepemimpinan pada sebuah lembaga tidak jarang rnenyebabkan sekolah atau institusi tersebut mengalami kehancuran dan akhirnya terpaksa harus ditutup. Sebab, yang namanya keterbukaan sangat diperlukan bila tidak ingin digusur oleh waktu.

c. Gaya Kepemimpinan di Pondok Karya Pembangunan Al-Hidayah Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pimpinan PKP Al-Hidayah dalam menjalankan fungsinya sebagai pimpinan terlihat masih mengandalkan kekuasaan jabatan yang juga dilegitimasi melalui Undang-undang berupa SK pengangkatan yang dikeluarkan oleh Pemda Provinsi Jambi. Kenyataan ini memang tidak mungkin dapat dipungkiri dan merupakan gejala umum dalam kepemimpinan birokratik termasuk dalam dunia


(43)

299

pendidikan yang dinaungi oleh pemerintah. Sehingga menurut hemat penulis, pimpinan PKP Al-Hidayah lebih tepat dikatakan sebagai seorang birokrat dari pada seorang kyai, karena legitimasi kyai bukan berdasarkan SK pengangkatan melalui sebuah instansi, namun seorang kyai dilegitimasi oleh masyarakat dan komunitas pesantren.

Proses pengaruh yang dilakukan oleh pimpinan pesantren terhadap bawahannya kelihatannya diterapkan melalui kekuasaan legitimit lewat pemberlakuan peraturan kelembagaan yang sifatnya mengikat prilaku komponen pendidikan. Proses pengaruh ini terlihat cukup efektif diterapkan pada tenaga kependidikan yang kesemuanya merupakan tenaga honorer, karena tanpa tekanan akan sulit diharapkan terciptanya suatu kedisiplinan. Hanya saja cara terbaik dalam penegakan disiplin seharusnya dapat ditumbuhkan melalui proses pengaruh secara pribadi yang lebih banyak dibangun melalui proses komunikasi yang baik antara atasan dan bawahan. Dalam penerapan tentu saja menumbuhkan waktu bertahap.

Selain itu, penerapan kekuasaan kompetensi melalui kegiatan monitoring terhadap kegiatan pembelajaran di lapangan, tampaknya memang efektif untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa hal itu hanya dapat dilakukan bagi para tenaga pendidik yang kiranya masih memerlukan bimbingan.

Pada pembagian tugas, wewenang, dan kekuasaan di PKP Al-Hidayah, memperlihatkan tidak adanya otonomi bagi bawahan, seperti bagi para kepala madrasah untuk menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan seperti kepala


(44)

madrasah di tempat lain, terutama dalam menunjuk pejabat pembantu kepala madrasah. Hak untuk membagi tugas, wewenang dan kekuasaan merupakan kewenangan Direktur yang ditentukan berdasarkan rapat direksi (Wawancara, Ust. H. Satria Bachman, 14 September 2009)

Tentang proses pemotivasian, sulit mengharapkan adanya motivasi dan perbaikan dari segi gaji/upah dari pondok pesantren, mengingat alokasi dana yang terbatas. Namun melihat profil para guru/ustadz di PKP Al-Hidayah, yang sebagaian besar memiliki penghasilan tetap di luar pondok, maka penulis yakin bahwa upah/gaji/honor bukan merupakan satu-satunya motivasi dalam meningkatkan kinerja para guru. Karena itu, pemenuhan rasa aman, sosial, penghargaan, dan juga aktualisasi diri patut diperhitungkan sebagai faktor yang dapat memotivasi para guru. Hal ini dapat dilihat meskipun kesejahteraan guru yang semuanya honorer kurang mendapat perhatian, namun mereka tetap loyal terhadap pondok pesantren.

Jika disoroti secara keseluruhan, walaupun ada keberatan dari beberapa pihak terhadap pengangkatan pejabat yang notabene-nya PNS pada lingkungan PKP al-Hidayah, namun rencana makro yang dibangun oleh pejabat teras PKP al-Hidayah cukup menjanjikan, terutama rencana untuk mewujudkan kemandirian pondok dengan mengaktifkan sumber daya yang dimiliki pondok seperti perkebunan, perikanan, pertanian, koperasi, dan dapur pondok yang diharapkan dapat berjalan dengan lancar.

Selain itu, pada sisi manajemen, kemandirian tersebut juga akan menjadikan PKP al-Hidayah memiliki manajemen yang bebas tanpa campur


(45)

301

tangan pihak-pihak tertentu. Dengan demikian, diharapakan efektivitas kepemimpinan pada PKP al-Hidayah juga akan terus membaik, yang akhirnya akan membawa perubahan pada kualitas pendidikan secara menyeluruh.

3. Efektivitas Kepemimpinan Kyai pada Pondok Pesantren Kota Jambi a. Pondok Pesantren Nurul Iman

1) Proses Penentuan dan Sosialisasi Visi dan Misi Pesantren

Visi dan misi dalam sebuah organisasi atau suatu lembaga merupakan sebuah kunci utama untuk menjalankan segala kegiatan dalam organisasi/lembaga tersebut (Doherty, 2003: 121). Visi dan misi berada dalam urutan paling atas sebelum perencanaan dalam organisasi (Tony Bush & Les Bell, 2002: 87). Menurut Peter M. Senge dalam Per Dalin (2005: 51), visi menggambarkan tujuan dan kondisi di masa depan yang ingin dicapai oleh organisasi. Burt Nanus dalam Visionary Leadership mengatakan bahwa visi adalah gambaran masa depan organisasi yang realistis, kredibel dan atraktif (Hernon & Rossiter, 2007: 182). Visi yang baik mampu mengantisipasi, menantang dan sangat berarti sehingga setiap anggota organisasi bisa menghubungkan tugas yang dilakukannya dengan visi. Yang paling penting visi harus terukur sehingga setiap organisasi bisa mengetahui apakah tindakan yang dilakukannya dalam rangka mencapai visi organisasi atau tidak (Kaufman, dkk., 2003: 242).

Misi merupakan kegiatan utama yang harus dilakukan atau fungsi yang diemban oleh suatu organisasi untuk mencapai visi yang sudah


(46)

dirancang (Daft, 2001: 21). Pernyataan misi organisasi harus cukup luas mengakomodasikan perkembangan organisasi di masa mendatang. Misi organisasi harus bisa menunjukkan gambaran yang akan dicapai di masa depan dengan jelas. Misi organisasi harus mudah dimengerti, sehingga akan memudahkan mengkomunikasikan misi tersebut kepada anggota organisasi. Falsafah, tata nilai dan kultur organisasi juga tercermin dari misi organisasi tersebut (Ashkanasy, dkk, 2004: 152).

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa visi Pondok Pesantren Nurul Iman adalah “Memposisikan pondok pesantren sebagai pusat keunggulan yang menyiapkan dan mengembangkan sumber daya insani yang berkualitas di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan iman dan takwa (IMTAQ)”. Sedangkan misi Pondok Pesantren Nurul Iman adalah: “Menyelenggarakan pendidikan yang berorientasi pada mutu, baik secara keilmuan maupun secara moral dan sosial, sehingga mampu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya insani yang mempunyai kualitas di bidang IPTEK dan IMTAQ”.

Visi dan misi ini merupakan hasil rumusan dan pemikiran dari pimpinan pondok pesantren telah dimusyawarahkan dan dimodifikasi berdasarkan hasil masukan dari para majelis guru. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang guru senior, bahwa:

“Visi dan misi Pondok Pesantren yang ada sekarang ini merupakan hasil pemikiran dari pimpinan pondok, karena beliau menganggap bahwa visi dan misi yang lama sudah kurang relevan dengan kondisi zaman. Visi Pondok Pesantren yang lama adalah


(47)

303

membentuk insan yang beriman dan takwa kepada Allah SWT dan berakhlakul karimah. Menurut beliau, visi tersebut lebih bersifat normatif, sedangkan zaman sekarang tidak hanya memerlukan hal itu, namun perlu para ulama yang unggul dalam ilmu dan unggul dalam teknologi (Wawancara, Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, 2 Nopember 2009)

Berdasarkan apa yang diutarakan oleh salah seorang guru senior di atas menunjukkan bahwa Pondok Pesantren Nurul Iman sudah mulai berusaha untuk merubah orientasinya selama ini yang tertutup dengan perkembangan zaman. Selama ini dapat dilihat dari sejarah perkembangan Pondok Pesantren Nurul Iman yang lebih berorientasi pada kepentingan ukhrawi dan kemuliaan akhlak para santri. Dan untuk mewujudkannya, Pondok Pesantren Nurul Iman sejak dulu sangat protektif terhadap para santri, bahkan hingga sekarang Pondok Pesantren Nurul Iman tidak menerima santri perempuan. Peraturan ini bertujuan agar para santri bisa menjaga hal-hal negatif yang disebabkan adanya santri-santri perempuan, seperti dapat menjaga penglihatan terhadap lawan jenis, menjaga kebersihan hati, dan dapat mengendalikan hawa nafsu.

Keteguhan Pondok Pesantren Nurul Iman memegang orientasinya pada waktu itu mendapat respon positif dari masyarakat, dan menjadikan Pondok Pesantren Nurul Iman sebagai pusat menimba ilmu keislaman di daerah Jambi. Bahkan tercatat bahwa santri-santri Pondok Pesantren Nurul Iman bukan hanya santri yang berasal dari daerah Jambi saja, namun juga dari propinsi-propinsi tetangga, bahkan ada yang berasal dari negara jiran Malaysia. Pondok Pesantren Nurul Iman pada masa itu banyak melahirkan


(48)

pada ulama, di Jambi sendiri sejumlah pejabat dan rektor perguruan tinggi terkemuka merupakan alumni Pondok Pesantren Nurul Iman, sedangkan di Malaysia alumninya pernah menjadi Mufti dan imam besar di era tahun 1955.

Menyadari hal itulah, sebagaimana yang dijelaskan oleh salah seorang guru senior di atas, maka pimpinan Pondok Pesantren Nurul Iman ingin merubah orientasi yang dipegang teguh selama ini, guna menjawab tantangan zaman.

Selain itu, masih menurut Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, untuk mencapai semua tujuan itu, rencananya Pondok Pesantren Nurul Iman akan mengundang seluruh alumni yang ada di Provinsi Jambi dan daerah lainnya guna mengadakan musyawarah akbar untuk dapat bersama-sama memikirkan bagaimana strategi Pondok Pesantren Nurul Iman ke depan. Kegiatan ini akan dilaksanakan bertepatan dengan acara memperingati 100 tahun lahirnya Pondok Pesantren Nurul Iman. (Wawancara, Guru H. A. Tarmizi Ibrahim, 2 Nopember 2009).

Sedangkan dalam usaha pensosialisasian visi dan misi Pondok Pesantren Nurul Iman, pimpinan pesantren dibantu oleh majelis guru terus berusaha mensosialisasikannya kepada seluruh elemen pesantren, wali santri, dan masyakarat sekitar. Agar kesan “kolot” yang sudah terlanjur melekat pada pesantren ini bisa berubah menjadi sebuah kepercayaan terhadap pesantren sebagaimana yang pernah dicapai oleh pesantren di masa-masa kejayaannya dulu.


(49)

305

2) Pengorganisasian

Dubrin dalam Wursanto mengatakan bahwa organizing atau pengorganisasian adalah suatu proses pengorganisasian terhadap semua sumber daya manusia dan sumber daya fisik sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan organisasi. Termasuk di dalamnya pembagian tugas, pembagian kerja sesuai dengan job dan tugas serta menentukan otoritas yang berhubungan. Dan dapat juga dirumuskan sebagai suatu kegiatan mengadakan pembagian tugas/pekerjaan dan wewenang (G. Wursanto, 1986: 100).

Pondok Pesantren Nurul Iman sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berada di bawah Yayasan Nurul Iman terdiri atas struktur kepengurusan yayasan dan struktur kepengurusan pondok pesantren.

Pembentukan struktur kepengurusan ini semuanya dilakukan secara musyawarah mufakat. Dalam musyawarah tersebut, para pengurus yang terpilih ditunjuk berdasarkan usulan dari Mudir yang kemudian disetujui oleh para peserta rapat secara aklamasi. Proses ini juga tidak berlangsung alot, karena memang para peserta rapat rata-rata telah mengetahui kemampuan masing-masing dari pengurus yang ditunjuk.

Setelah struktur kepengurusan yayasan dan kepengurusan pondok pesantren terbentuk, para pengurus telah mengetahui job description mereka masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya, kepengurusan ini bukanlah kepengurusan yang berdiri sendiri, namun segala sesuatu yang berhubungan dengan pondok pesantren biasanya dikerjakan secara


(50)

bersama-sama.

Kerjasama ini terbentuk karena dilandasi oleh kuatnya rasa kebersamaan dan persaudaraan yang mengikat di antara mereka. Bentuk kerjasama ini tidak lepas dari peranan Mudir yang selalu dekat dengan para pengurus, sehingga hubungan di antara mereka lebih terkesan sebagai hubungan informal, ketimbang hubungan antara atasan dan bawahan. 3) Pengambilan Keputusan

Pondok Pesantren Nurul Iman merupakan sebuah pesantren yang sangat menjunjung tinggi musyawarah, hal ini tergambar dari sikap Kyai sebagai pimpinan pesantren, meskipun secara otoritas pesantren beliau mempunyai wewenang penuh dalam pengambilan sebuah keputusan, namun beliau tetap menganggap bahwa majelis guru yang memiliki wewenang tertinggi dalam pengambilan keputusan. Hasil keputusan majelis diambil berdasarkan musyawarah yang wajib dipatuhi, baik oleh guru, santri maupun orang tua santri. Pengambilan keputusan oleh Majelis Guru harus terlebih dahulu disampaikan kepada Kyai. Dengan persetujuan Kyai, suatu pengambilan keputusan oleh Majelis Guru dapat disahkan.

Kyai juga seringkali menggunakan forum Majelis Guru untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi. Permasalahan yang dikemukakan oleh Mudir tidak jarang bersifat rutin, padahal dia sendiri sebenarnya mempunyai kewenangan mengambil keputusan tanpa harus meminta pendapat Majelis Guru. Dengan bermusyawarah sambil bersilaturrahmi, hampir semua permasalahan dipecahkan bersama dalam


(51)

307

majelis ini.

Begitu juga pada saat-saat tertentu, bila guru mendapat masalah, maka permasalahan langsung dikemukakan kepada Kyai. Pertemuan itu bersifat informal, permasalahan yang dikemukakan pada pertemuan itu biasanya mengenai proses pembelajaran dan menyangkut keadaan Pondok Pesantren Nurul Iman. Bila terdapat masalah di luar tugas rutin, Kyai memberitahukan kepada anggota Majelis Guru untuk hadir pada waktu yang telah ditentukan tanpa undangan tertulis. Guru yang kebetulan hadir diharapkan memberitahu guru yang tidak hadir. Pertemuan seperti ini dilakukan dalam suatu majelis yang dipimpin langsung oleh Kyai. Suasana silaturrahmi di surau atau masjid, “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”, nampaknya merupakan kesan pergaulan sehari-hari dalam Majelis Guru. Kyai pun lebih menunjukkan sebagai sesama guru yang merumuskan pandangan Majelis Guru, ketimbang sebagai seseorang yang memiliki kewenangan melebihi dari yang lain.

b. Pondok Pesantren As’ad

1) Proses Penentuan dan Sosialisasi Visi dan Misi Pesantren

Secara sederhana, visi dapat diartikan sebagai pandangan, keinginan, cita-cita, harapan, dan impian-impian tentang masa depan. Sementara itu misi merupakan perwujudan lebih jauh dari visi. Visi dan misi merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam proses kepemimpinan. Perencanaan yang baik misalnya, harus mengandung


(1)

Al-Nahlawi, Abdurrahman, (1995), Pendidikan di Rumah, Sekolah dan Masyarakat Jakarta: Gema Insani Press.

Amin Hadari dan M. Ishom El Saha, (2004), Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Diva Pustaka.

Aqib Suminto, (1985), Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES.

Ashkanasy, Neal M., dkk., (2004), Handbook of Organizational Curture and Climate, Thousand Oaks: Sage.

Azyumardi Azra, (1999), Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Bush, Tony & Les Bell, (2002), The Principles and Practice of Educational Management, Thousand Oaks: Sage.

Chumaidi Syarief Romas, (2003), Kekerasan di Kerajaan Surgawi: Gagasan Kekuasaan Kyai, dari Mitor Wali Hingga Broker Budaya, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Conger, JA. (1989), The Charismatic Leader: Behind the Mystique of Exception Leadership, San Fransisco: Jooseey-Bass.

Dalin, Per, (2005), School Develompment: Theories and Strategies: An International Handbook, London: Continuum International Publishing Group.

Djam’an Satori dan Aan Komariah, (2009), Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta.

Doherty, Geoffrey D. (2003), Developing Quality Systems in Education, London: Routledge.

Engkoswara, (1990). Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud RI.

Faisal Ismail, (1997), Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Fattah, Nanang, (1999), Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Fiedler, Fred E, (1967). A Theory of Leadership Effective, New York: Mc.Gwar-Hill Book Company

Gibson, James L. et.al. (1997), Organizational Behavior Structure and Process, New York: Richard D. Irwin, Inc.


(2)

G. Wursanto, (1986), Manajemen Umum, Jakarta: Pustaka Dian.

Gustave, Le Bon, La Civilazation Des Arab, diterjemahkan Adil Zaeter kedalam Bahasa Arab.

Hadari Nawawi, (1997). Administrasi Pendidikan, Jakarta: CV. Haji Masagung. Hasan Darojat, Al-Baqillani (Salah Satu Referensi Politik Umat Islam), Jurnal,

vol. V No. 2, 2009/www.hidayatullah.com

Hasbullah, (2001), Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hasyim, Al-Muhandis Zakaria, (1965), Al-Mustasyriqin Al-Islam, Cairo: Maktabah Darul Ma’arif.

Hernon, Peter & Nancy Rossiter, (2007), Making A Difference: Leadership and Academic Libraries, Westport CT and London: Libraries Unlimiter.

Hersey, Paul & Kenneth H. Blanchard, (1996), Management of Organizational Behavior, NJ: Prentice-Hall Inc.

Hoy, W. K. dan Miskel, C, G. (1987), Educational Administration: Theory, Research and Practice (Second Edition), New York: Random House.

Ibrahim Tin Yang Ma, (1979), Perkembangan Islam di Tiongkok, Jakarta: PT. Bulan Bintang.

Imam Bawani, (1993), Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam: Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional, Surabaya: Al-Ikhlas.

Imron Arifin, (1993), Kepemimpinan Kiai; Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, Malang: Kalimasada Press.

John Salindeho, (1989), Peranan Tindak Lanjut dalam Manajemen. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal Kementerian Penerangan RI, Nomor 11 Tentang Sumatera Tengah, Jakarta, 1954, hal. 70-74.

Khaldun, Abd ar-Rahman, Ibn (t.t.), Muqaddimat, Kairo: Dar al-Kutub.

Lexy J. Moelong, (2000), Meodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Depdikbud RI. Luthan, F., (1995), Organizational Behavior, Singapore: McGraw Hill Book


(3)

Makmun, Abin Syamsudin. (2000). Teknik perkiraan Kebutuhan Pendidikan Makalah Pelatihan Bagi Tenaga Perencanaan Pendidikan Pusat dan Daerah. M. Dawam Raharjo (ed), (1985), Pergumulan Dunia Pesantren Membangun dari

Bawah, Jakarta: P3M.

M. Fakry Gaffar. (1994). Performance Based Teacher Educational: Suatu Alternatif dalam Pembaharuan Guru. Bandung : IKIP Bandung.

M. Karjadi, (1981), Kepemimpinan (Leadership). Bogor: Politia.

Marwan Sarijo, (1996), Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, Jakarta: CV Amissco.

Marzuki Wahid, (1999), Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah.

Marzuki Wahid, “Reduksi Pesantren dalam Sisdiknas, Quo Vadis Pesantren?” dalam Majalah Pesantren, LAKPESDAM NU, Edisi: X/Th.2/2003.

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (ed), (1989), Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Mastuhu, (1994), Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.

Max Weber, (1996), The Theory of Social and Economic Organization, terj. Henderson and Talcott Parsons, New York: The Free Press.

McLaughlin, Gregory, C. (1995), Total Quality in Research and Development. Florida: St. Lucie Press.

M.D. Mansur, (1976), Sejarah Minangkabau, Jakarta.

Miftah Thoha, (1996), Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajawali.

Miles, Mattwey B and A. Michael Huberman, (1984), Qualitative Data Analysis. London: Buverly Hills.

Moekijat, (1980), Prinsip-prinsip Administrasi, Manajemen dan Kepemimpinan, Bandung: Alumni.

MO Bafadhal, Makalah: Pengungkapan Sejarah Islam di Indonesia, disampaikan pada Pra Seminar Nasional Masuk dan Berkembangnya Islam di Jambi, 5 s/d 8 Maret 1981, Jambi.


(4)

Muhammad Syafii Antonio, (2008), Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager, Jakarta: Tazkia Publishing & ProLM Centre.

Muhammad Maftuh Basyuni, (2007), Revitalisasi Spirit Ma’had; Gagasan, Kiprah, dan Refleksi, Jakarta: Ditpekapontren Depag RI.

Muhammad Tholhah Hasan, (2005), Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta: Lantabora Press.

Mujamil Qomar, (2004), Pesantren. Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga.

Mukti Ali, (1987), Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Press.

Mursi, Muhammad Munir, (1986), Al-tarbiyatal-Islamiyvat Ushuluha wa Tatawwuraha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, Qahirah: Dar al-Maarif.

Muzaiyyin Arifin, (1988), Pendidikan Islam Dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta: IAIN.

O. Gajahnata, (1996), Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, Jakarta: UI Press.

Osborne, David & Peter Plastrik, (2000), Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha (Terjemahan Ramelan Abdul Rosyid), Jakarta: PPM.

Oteng Sutisna, (1983), Administrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa.

Owens, Robert, (1987), Organizational Behavior in Education, New York: Random House, Inc.

Quraish Shihab, (2002). Membumikan al-Qur’an, Bandung : Mizan.

Quthub, Muhammad, (1993), Minhadju al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Syuruq.

Rachmat Ramadhana Al-Banjari, (2008), Prophetic Leadership, Yogyakarta: Diva Press.

Raven, BH. (1987), Social Influence and Power, New York: Holt.

Razik, Taher A, (1995), Fundamental Concepts of Educational Leadership and Management, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.


(5)

Richard L. Daft, (2001), Essentials of Organization Theory & Design, (New York: South-Western College Pub.

Robbins, Stephen P. and Nancy Langton, (2001), Organization Behavior, 2nd ed., Canada: Pearson Education.

Rofiq dkk., (2005), Pemberdayaan Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Roger A. Kaufman, dkk., (2003), Strategic Planning For Success: Aligning

People, Performance, and Payoffs, San Francisco: John Wiley and Sons. Saiful Sagala, (2004), Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat; Strategi

Memenangkan Persaingan Mutu, Jakarta: Nimas Multima.

Sallis, E. (1993), Total Quality Management in Education. Kogan Page Educational Management Series. Philadelphia, London: Kogan Page. Samsuddin, (2007), Khilafah dan Pemberlakuan Syari’at Islam di Banten, Serang:

IAIN Sulthan Maulana Hasanudin.

Schein, Edgar, (1992), Organizational Culture and Leadership, Second Edition, San Francisco: Jossey-Bass, Inc.

Shonhaji Sholeh, (1997), Pesantren dan Perubahan, Santri. No. 06 Juni.

Sidi Ibrahim Boechrari, (1971), Sejarah Masuknya Islam di Indonesia, Jakarta: Pubcita.

Sondang P. Siagian, (1991), Teori-teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Steenbrink, Karel A., (1985). Pesantren Madrasah dan Sekolah: Pendidikan dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Stogdill, Ralph M., (1974), Handbook of Leadership, London: Collier Macmillan Publisher.

Sulthon Masyhud dkk., (2003), Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka.

Sweeney, Paul D., & Dean B. McFarlin, (2002), Organizational Behavior: Solution for Management, International Edition, Boston: McGraw-Hill Higher Education.

Terry, George R, (1960). Principle of Management, New York, 3rd edt. Homewood, Illinois, record D. Iwin.


(6)

Wahjoetomo, (1997), Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta: Gema Insani Press. White, Randal P.; Philip Hodgson & Stuart Crainer, (1997), The Future of

Leadership, (Terjemahan Hari Suminto), Batam Centre: Interaksara.

Yukl, Gary A., (1998), Leadership in Organizations, (4thed.) Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Zamakhsari Dhofier, (1985), Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES.


Dokumen yang terkait

Contrastive analysis on syntactic errors in english writing skill by students of Ruhul Islam anak bangsa islamic boarding school

0 6 83

Korelasi kultur sekolah terhadap pembentukan akhlak siswa di SMP al-Manar Azhari Islamic Boarding School

1 17 0

THE IMPLEMENTATION OF “SBI” PROGRAM IN ISLAMIC BOARDING SCHOOL ASSALAAM SURAKARTA

0 6 119

BOARDING SCHOOL MANAGEMENT IN THE ISLAMIC INTEGRATED JUNIOR HIGH SCHOOL (SMPIT) Boarding School Management In The Islamic Integrated Junior High School (SMPIT) Nurul Islam Tengaran Semarang Regency.

0 2 14

BOARDING SCHOOL MANAGEMENT IN THE ISLAMIC INTEGRATED JUNIOR HIGH SCHOOL (SMPIT) Boarding School Management In The Islamic Integrated Junior High School (SMPIT) Nurul Islam Tengaran Semarang Regency.

0 2 23

THE LEADERSHIP OF KYAI IN THE SPECIAL SERVICE EDUCATION The Leadership of Kyai In The Special Service Education (A Site Study at PLK Bima Sakti, Nurrusalam Islamic Boarding School, Sayung, Demak).

0 0 10

DATA DESCRIPTION AND FINDING The Leadership of Kyai In The Special Service Education (A Site Study at PLK Bima Sakti, Nurrusalam Islamic Boarding School, Sayung, Demak).

0 0 11

THE LEADERSHIP OF KYAI IN THE SPECIAL SERVICE EDUCATION The Leadership of Kyai In The Special Service Education (A Site Study at PLK Bima Sakti, Nurrusalam Islamic Boarding School, Sayung, Demak).

0 1 16

Development of Islamic Boarding School D

0 0 10

The Role of Islamic Boarding School as Socialization Agent of Ecological Values (A Case Study in Salaf-Modern Islamic Boarding School)

0 1 9