8 tanggal 25. Dengan demikian, CAR posisi bulan Oktober 2008 baru dapat diperoleh
pengawas bank pada tanggal 25 November 2008.
b. Sementara itu, mengingat BC mengalami permasalahan likuiditas yang parah, maka
Bank Indonesia mengupayakan untuk memperoleh neraca posisi 31 Oktober 2008 guna menghitung CAR posisi tersebut. Untuk itu, pada tanggal 11 November 2008
pengawas yang ditempatkan di BC telah mendesak bank agar menyampaikan neraca dan perhitungan CAR posisi 31 Oktober 2008, namun ternyata bank tidak mampu
memenuhinya. Bank baru dapat menyediakan neraca posisi 31 Oktober 2008 pada tanggal 19 November 2008 sore hari dan selanjutnya pada tanggal 20 November 2008
BI melakukan perhitungan CAR yang ternyata CAR bank posisi 31 Oktober 2008 sebesar negatif 3,53. Dengan demikian, pada saat pemberian FPJP tanggal 14
November 2008, data CAR yang ada hanyalah posisi September 2008 yaitu positif 2,35.
7.2 Tanggapan BI terhadap Temuan BPK Terkait Nilai Agunan Berada di Bawah 150 dari Plafon Kredit
a. Sesuai dengan PBI FPJP, ketentuan bahwa nilai agunan FPJP paling kurang sebesar
150 dari plafon FPJP adalah mengacu pada agunan FPJP berupa Aset Kredit dan tidak mengacu untuk seluruh jenis agunan vide Pasal 5 PBI FPJP.
b. Sesuai dengan PBI FPJP, agunan FPJP adalah berupa surat berharga SBI, SUN, surat
berharga yang diterbitkan oleh badan hukum lainnya obligasi korporasi dan piutanghak tagih yang dimiliki oleh bank kepada debitur aset kredit
c. Persyaratan aset kredit sebagai agunan FPJP adalah:
• Kolektibilitas Lancar selama minimal 3 tiga bulan terakhir;
• Bukan merupakan kredit konsumsi kecuali kredit pemilikan rumah KPR;
• Bukan merupakan kredit pada pihak terkait;
• Aset kredit memiliki agunan;
• Baki debet outstanding kredit tidak melebihi plafon kredit dan BMPK pada saat
kredit diberikan; •
memiliki perjanjian kredit dan pengikatan agunan yang mempunyai kekuatan hukum.
d. Besarnya aset kredit nilai hak tagih adalah sebesar outstanding kredit dan tidak
digantungkan pada nilai agunan dari kredit dimaksud. Apabila pada saat bank gagal bayar maka yang dilakukan oleh BI adalah melakukan eksekusi atas aset kredit yang
menjadi agunan FPJP dimaksud sesuai dengan UU Jaminan Fidusia yakni pelaksanaan titel eksekutorial, penjualan melalui secara langsung atau lelang, danatau penjualan di
bawah tangan. Dalam hal hasil eksekusi agunan FPJP nilainya tidak mencukupi untuk melunasi FPJP, BI selaku kreditur tetap mempunyai hak untuk menagih kepada Bank
atas FPJP yang belum dilunasi.
BI menilai bahwa BPK RI tidak konsisten dalam menilai jaminan asset kredit. BPK lebih mendasarkan kepada nilai agunan dari hak tagih kepada debitur yang diagunkan
kepada BI. Cara penilaian jaminan FPJP oleh BPK RI tersebut tidak sesuai dengan PBI No.1026PBI2008 tanggal 30 Oktober 2008 sebagaimana telah diubah dengan PBI
No.1030PBI2008 tanggal 14 November 2008 tentang FPJP bagi Bank Umum yang
9 mengatur bahwa “aset kredit yang dapat dijadikan jaminan FPJP wajib memiliki
agunan dan nilai jaminan FPJP berupa aset kredit dihitung berdasarkan baki debet aset kredit”. Dengan demikian sesuai PBI tersebut aset kredit yang memiliki agunan
berapapun nilainya dan apapun jenisnya baik deposito atau selain deposito semuanya dapat digunakan sebagai jaminan FPJP dan dinilai berdasarkan baki debet aset kredit.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka nilai jaminan FPJP berupa aset kredit dengan agunan deposito dari beberapa debitur yang disebutkan dalam laporan BPK
seharusnya dihitung berdasarkan baki debet debitur-debitur tersebut. Berdasarkan perhitungan tersebut maka agunan yang berupa hak tagih kepada debitur adalah
150 dari nilai FPJP.
8. Tanggapan BI terhadap Temuan BPK Terkait Analisis Dampak Sistemik