Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia

2 Crash pasar keuangan yang terjadi di Amerika Serikat tersebut terjadi setelah Lehman Brothers ditutup dan dengan cepat menyebar ke negara emerging, termasuk Indonesia. Risiko negara credit default swap Indonesia memburuk secara dramatis hingga mencapai sekitar 1200 bps sehingga praktis akses Indonesia kepada pasar keuangan internasional tertutup di paruh terakhir Kwartal III 2008. Krisis keuangan dunia menjadi semakin memburuk sejak Oktober 2008. Hal ini tercermin dari kerugian kredit yang melonjak sebagai akibat insolvabilitas dan penutupan operasi beberapa perusahaan keuangan raksasa, pengalihan risiko dan ketatnya likuiditas global. Selanjutnya kondisi ini memperburuk pertumbuhan ekonomi negara maju dan negara emerging market cenderung menurun, diikuti oleh harga-harga komoditas yang menurun. Menyikapi kondisi keuangan global yang memburuk tersebut, semua negara melakukan konsolidasi kebijakan untuk meminimalkan dampak ketidakstabilan di pasar keuangan dan menjaga stabilitas makro dengan cara menjaga kecukupan likuiditas di pasar keuangan, mengurangi risiko dan menjaga kepercayaan deposan. Beberapa kebijakan ekonomi yang ditempuh oleh negara-negara tersebut antara lain adalah dengan menurunkan suku bunga kebijakan, seperti yang dilakukan oleh AS, Inggris, ECB, Kanada dan Korea, guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang melambat; menambah obligasi dari sektor swasta secara langsung Commercial Paper Funding seperti yang dilakukan oleh AS, ECB, Kanada, Jepang, Australia, Chili; menurunkan Giro Wajib Minimum GWM guna menambah likuiditas perekonomian domestik seperti yang diterapkan di China, India, Brazil dan Chili; melakukan penjaminan deposito dan antar bank seperti yang diberlakukan di AS, Inggris, Yunani, Denmark, Irlandia dan penerapan blanket guarantee di Singapura dan Malaysia untuk menjaga kepercayaan publik terhadap perbankan; bail out terhadap sistem perbankan dengan melakukan rekapitalisasi seperti di Inggris; intervensi valuta asing yang dilakukan oleh Korea, Brazil dan Thailand; serta meminta bantuan dari IMF oleh Pakistan, Hungaria, Eslandia, Ukrania dan Belarusia.

5.2. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia

Dampak krisis keuangan memberikan dampak yang cenderung memburuk dan mencapai puncaknya pada bulan November 2008. Terlebih lagi disaat negara sekitar kawasan telah memberlakukan full blanket guarantee sedangkan Indonesia hanya meningkatkan batas penjaminan dana pihak ketiga. Pemburukan kondisi makro– ekonomi Indonesia ditandai dengan adanya tekanan terhadap pasar valas dan stabilitas nilai tukar, pasar modal, kondisi global bond, memburuknya likuiditas dan ketatnya pasar uang, melemahnya kinerja neraca pembayaran, dan pada akhirnya menyebabkan resiko- resiko perbankan cenderung meningkat secara drastis. Tekanan terhadap pasar valuta asing Indonesia pada kurun waktu tersebut diawali dengan adanya penarikan modal oleh investor asing capital outflow karena menganggap adanya peningkatan risiko pada negara-negara berkembang. Pada bulan 3 Agustus 2008 kepemilikan asing pada SBI dan SUN mulai menunjukkan penurunan dan mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2008. Penurunan modal asing secara drastis tersebut menimbulkan tekanan terhadap kestabilan nilai rupiah yang tercermin dari terdepresiasinya rupiah secara cepat dari sekitar Rp.9.000,00 an di bulan September 2008 menjadi sekitar Rp.12.000,00 dibulan November 2008. Pelemahan rupiah yang cukup drastis tersebut diiringi dengan menurunnya kepemilikan asing di SBI, SUN dan saham mulai dari September 2008 dan terus berlangsung sampai dengan Maret 2009. Berkurangnya kepemilikan asing yang sangat signifikan tersebut semakin menimbulkan tekanan volatility terhadap penurunan nilai rupiah secara signifikan. Menipisnya kepercayaan investor asing secara umum selanjutnya memperburuk kinerja pasar seperti tercermin pada penurunan IHSG Indeks Harga Saham Gabungan yang mencapai titik terendah 1111,39 dan bahkan pada tanggal 8 s.d. 10 Oktober 2009, Bursa Efek Indonesia ditutup untuk sementara. Pemburukan di Pasar Keuangan juga ditandai dengan kenaikan imbal hasil yang diminta oleh investor untuk instrument SUN Pemerintah RI. Kondisi pasar SUN yang mengalami pelemahan tersebut ditunjukkan dengan peningkatan rata-rata yield SUN hingga mencapai 16,10 dibulan September 2008 dan mencapai tingkat tertinggi pada bulan Oktober 2008 di tingkat 17,14. Sementara itu, terjadi peningkatan drastis atas premi risiko Indonesia sebagaimana tercermin pada data Credit Default SwapCDS yang melonjak dari kisaran 350 bps menjadi 1200 bps hanya dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, yaitu awal Oktober-akhir Oktober 2008. Sebagai perbandingan, saat ini CDS Indonesia adalah di bawah angka 200 bps, yang menunjukkan tingginya keyakinan investor kepada Indonesia. Peningkatan intensitas krisis keuangan global dan pelemahan nilai tukar dollar AS pada semester I-2008 mendorong beralihnya arus dana investasi ke pasar komoditi sehingga mendorong naiknya harga-harga komoditas yang mencapai puncaknya pada Juli 2008. Kondisi ini berdampak kepada peningkatan tekanan inflasi domestik hingga pada Juli 2008 mencapai level 12.56, tertinggi sejak September 2006. 5.3. Kondisi Sistem Perbankan Indonesia Sejak pertengahan tahun 2008, liquidity gap di industri perbankan mulai meningkat. Perbankan berupaya memenuhi kebutuhan likuiditasnya melalui Pasar Uang Antar Bank PUAB. Namun demikian situasi krisis mengakibatkan seluruh bank di dunia termasuk bank-bank di Indonesia mempertahankan likuiditas yang ada guna memenuhi kewajibannya kepada nasabah penyimpan dana. Dalam perkembangannya hal ini mengakibatkan segmentasi di PUAB. Kondisi ini dapat diindikasikan dari sangat Waktu CDS bps 1 Januari 2008 152,83 1 Oktober 2008 352,22 23 Oktober 2008 1243,84 24 Oktober 2008 1248,35 28 November 2008 setelah bail-out BC 708,89 4 menurunnya rata-rata transaksi PUAB dari periode Januari-September 2008 dan Oktober- Desember 2008, baik pada PUAB Rupiah maupun PUAB valuta asing. Pada saat ini, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya flight to quality dari bank-bank kecil dan menengah ke bank-bank besar. Ditengah risiko yang meningkat tersebut, kinerja industri perbankan secara umum sampai Tw III-2008 baik. Modal sebagian besar bank masih mencukupi, kredit macet masih rendah NPL Gross= 3.5 – 4 dan fungsi intermediasi berjalan baik. Namun pada saat itu ditengarai berbagai risiko risiko pasar, risiko kredit yang sudah mulai meningkat, khususnya menurunnya rasio alat likuid dibandingkan dengan non core deposits NCD yang mencapai titik terendah yaitu 84,9 pada November 2008 rasio alat likuid pada masa-masa normal adalah di atas 200.

6. Respons Kebijakan yang Ditempuh