Latar Belakang Masalah IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 DAN ALTERNATIF MODEL HUBUNGAN KELEMBAGAAN TERKAIT PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG | Nurbaningsih | Mimbar Hukum 15906 30208 1 PB

2 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 1, Februari 2015, Halaman 1-13 1 Pilihan sistem parlemen ini tidak terkait dengan bentuk negara dan sistem pemerintahan, tetapi karena kebutuhan untuk membangun pemerintahan yang lebih demokratik konstitusional. Lihat Miriam Budiardjo, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 180, dan Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Fakultas Hukum UII Press, Yogyakarta, hlm. 34. 2 Pasal 22D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 RUU bidang terkait otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 4 Pasal 22D ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa DPD ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Aktualisasinya kata “dapat” dan “ikut” tidak membuat DPD mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi dalam proses legislasi. Lihat Saldi Isra, 2009, Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Disertasi, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 403. Lihat juga Bivitri Susanti, “Penguatan Kewenangan DPD dan Pasal-Pasal Lain yang Terkait di Bidang Legislasi, Anggaran dan Pengawasan”, Makalah, disampaikan dalam Pertemuan Ahli Hukum Tata Negara, Universitas 45 Makassar, Makassar, 30 Juni 2007. 5 Dalam praktik bicameral, keberadaan DPD dengan kewenangan yang amat terbatas tetapi legitimasi tinggi represents the odd combination of limited powers and high legitimacy, sangat tidak lazim. 6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 27 Maret 2013.

A. Latar Belakang Masalah

Hasil revisi UUD 1945 telah mengubah sistem dan struktur parlemen Indonesia dari yang semula menganut unicameral menjadi bicameral soft yang ditandai dengan adanya kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat DPR yang mewakili aspirasi partai politik, dan Dewan Perwakilan Daerah DPD yang mewakili kepentingan daerah. 1 Harapannya agar aspirasi konstituen lewat partai politik dan yang berkembang di daerah memiliki pintu penyaluran yang komprehensif di parlemen. Dalam kenyataannya aspirasi daerah sulit disalurkan oleh DPD karena Pasal 22D UUD1945 terkait dengan kewenangan DPD dirumuskan tidak menggunakan diksi yang mengandung norma obligatori, sehingga oleh pembentuk Undang- Undang DPR dan Presiden, DPD ditafsirkan sebagai “lembaga bantu”, bukan organ utama negara main state organ dengan kejelasan fungsinya. Munculnya tafsir ini karena sejak awal revisi UUD ada ketidakjelasan sistem pemerintahan yang dianut, semangat pengubah UUD memegang teguh sistem presidensial, tetapi muatan revisi mengarah pada unsur parlementer karena keterlibatan Presiden eksekutif dan DPR dalam pengambilan keputusan untuk undang-undang UU, sedangkan DPD yang mewakili suara rakyat di daerah tidak memiliki hak untuk itu. Persoalan ini bermuara pada rumusan UUD 1945 dengan frase DPD “dapat mengajukan” 2 rancangan undang-undang RUU bidang tertentu kepada DPR 3 dan dikaitkan dengan frase “ikut membahas”, yang menyebabkan DPD disfungsional. 4 Kedua frase ini diintepretasikan sebagai tugas lembaga bantu. Penjabaran ini diperkuat oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD UU MD3. Akibat dari ketentuan ini DPD tidak mendapatkan kesempatan terlibat dalam proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak, khususnya hajat daerah dalam pembentukan UU. Selain UU-MD3 yang menutup peluang DPD melaksanakan fungsi legislasi, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan UU P3 juga ikut memposisikan DPD sebagai sub-ordinat DPR dengan kedudukan setara alat-alat kelengkapan DPR. 5 Ketentuan pasal-pasal dalam kedua UU ini yang kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi MK. MK mengabulkan permohonan pengujian dengan memberikan tafsir atas Pasal 22D UUD 1945 agar tidak lagi menimbulkan kesalahan tafsir atas ketentuan yang dianggap selama ini tidak obligatori, menjadi sebagai berikut: 6 3 Nurbaningsih, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 dan Alternatif Model 7 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2002, Kedudukan dan Materi Muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara di Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 80. Pemaknaan oleh MK ini merupakan bentuk perubahan konstitusi tanpa mengubah teks, namun implementasinya yang berubah. Hakim tidak melakukan perubahan secara tekstual pada original intent suatu konstitusi, melainkan hanya menafsirkan pasal-pasal textual meaning dari konstitusi supaya tidak dipahami keliru oleh pengambil kebijakan, khususnya DPR dan Presiden dalam merumuskan UU. Penafsiran ini merupakan wilayah otoritatif MK dalam kedudukannya sebagai “the guardian and the interpreter of the constitution ”. Jika diklasiikasikan Putusan MK tersebut mencakup: 1. menyatakan tidak berlaku dan tidak memiliki kekuatan mengikat terhadap beberapa pasal dalam UU MD3 dan UU P3 yang diujikan. 2. menyatakan berlaku dengan syarat conditional constitutional, beberapa pasal dari UU MD3 dan UU P3. Sebagai implikasi Putusan MK ini, menuntut adanya proses yang berbeda, karena akan muncul posisi 3 tiga lembaga negara dalam pembentukan UU a triparty system in the law making process”. Terkait dengan kekuasaan legislatif, Presiden bersama-sama DPR memegang legislative power dalam negara, karena setiap RUU harus disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam sistem presidensial ikut mengambil keputusan untuk menghasilkan undang-undang bersama DPR. Sementara itu DPD sekalipun dimaknai oleh MK mempunyai “hak” untuk kewenangan yang sudah ditentukan dalam Pasal 22D UUD 1945, tetapi hak tersebut tidak mudah direalisasikan jika konstruksi hubungan interkameral dalam sistem parlemen belum dibangun. Jika disain tripartit dimunculkan tanpa kejelasan konsep legislasi justru akan memunculkan persepsi publik bahwa membentuk UU di Indonesia menjadi lebih sulit daripada mengubah konstitusi yang merupakan staatgrundgesetz. 7 Persoalannya adalah sejak saat Putusan MK diucapkan, lahir beberapa UU yang terkait dengan Ketentuan UUD Tafsir MK Implikasi ke UU Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang [….] Pasal 22D ayat 1. Ketentuan Pasal 22D ayat 1 merupakan pilihan subjektif DPD “untuk mengajukan” atau “tidak mengajukan” RUU yang berkaitan dengan fungsi DPD. Kata “dapat” bermakna juga sebagai sebuah hak danatau kewenangan, sehingga analog dengan hak danatau kewenangan konstitusional Presiden dalam Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Seluruh produk UU terkait dengan kedudukan dan kewenangan DPD dalam pelaksanaan fungsi legislasi harus disesuaikan dengan makna “hak” DPD mengajukan RUU sebagaimana Pasal 5 ayat 1 UUD 1945. Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang [….] Pasal 22D ayat 2. DPD sebagai lembaga negara mempunyai hak danatau kewenangan yang sama dengan DPR dan Presiden dalam membahas RUU yang berkaitan dengan fungsinya. Seluruh muatan UU terkait dengan kedudukan dan kewenangan DPD harus menempatkan DPD setara dengan DPR dan Presiden dalam proses pembentukan UU mulai dari penyiapan Prolegnas, pengusulan, dan pembahasan UU, kecuali mengambil persetujuan. 4 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 1, Februari 2015, Halaman 1-13 kewenangan legislasi tertentu DPD, tetapi tidak melibatkan DPD. Selama ini pemahaman umum atas kewenangan DPD disempitkan hanya ter- kait dengan muatan UU otonomi daerah alias UU Pemerintahan Daerah Pemda. Padahal jika dicer- mati kewenangan DPD di bidang otonomi daerah sangat luas berkaitan dengan seluruh urusan yang telah diserahkan ke daerah. 8 Urusan tersebut berkai- tan dengan berbagai sektor. Artinya bukan hanya muatan UU Pemda yang harus melibatkan DPD tetapi semua UU dengan muatan terkait urusan pili- han dan urusan wajib. Namun, pada kenyataannya terdapat beberapa rancangan UU yang diajukan pasca Putusan MK tanpa melibatkan DPD, misal UU Desa. Dalam hal proses pembentukan UU ini- lah perlu dikaji lebih jauh apakah mengalami ca- cat prosedural yang berpeluang untuk diuji ke MK karena tidak sejalan dengan putusan MK akibat ketidakjelasan hubungan interkameral. Berdasarkan hal tersebut, fokus penelitian meliputi: Pertama, implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 terhadap kewenangan pemben- tukan UU; dan Kedua, alternatif model hubungan kelembagaan seperti apa dalam proses pembentu- kan UU ke depan pasca Putusan MK.

B. Metode Penelitian

Dokumen yang terkait

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Implikasi putusan mahkamah konstitusi terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan: studi kasus putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana

0 20 0

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 028/PUU-XI/2013 TENTANG PEMBATALAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PERKOPERASIAN TERHADAP AKTA PENDIRIAN KOPERASI

2 20 71

Implikasi Hukum Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Konstitusi (Putusan Perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 Perihal Pengujian UU Mahkamah Konstitusi).

0 0 19

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 92/PUU-X/2012 TERKAIT FUNGSI LEGISLASI DPR DAN DPD PERSPEKTIF MAṢLAḤAH MURSALAH.

0 1 113

ASAS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG UNDANG-UNDANG MIGAS DAN KETENAGALISTRIKAN | Suastama | Mimbar Hukum 16137 30685 1 PB

0 1 13

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi: Studi Terhadap Putusan Nomor 92/PUU-X/2012

0 0 21

Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012)

0 0 34