Implikasi putusan mahkamah konstitusi terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan: studi kasus putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana

(1)

(Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

NOVITA AKRIA PUTRI

NIM : 1111048000024

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata

I

pada Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah I akarta

Semua sumber data yang saya gunakan dalam penelitian

ini

telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan Slcripsi Fakultas

Syariah

dan

Hukum

Universitas

Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya saya ini merupkan hasil dari tindakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain, maka saya

bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta

mber 2015 1.

2.

J.

utat,04 cip

(

\

\

\

Iw

188475


(3)

.'Akiri"Putri-(Studi Kasus: Putusan MK Nomor 2|/PUU-X lZ2[l4tentang Pengujian PasalTT huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenrlhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh:

NOVITA AKRIA PUTRI NIM: 1111048000024

'1P!,:B aw.a._h, .B iinbin g[n

W:,U----;i/.ab'|r

,DR. Diawahir Heiaziev. SH. MA.

.. 4...

: r:'"::: ..

NIP: 195510151979031002

.

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

PROGRAM

STUDI

ILMU

HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN IIUKUM

UIN

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(4)

Nomor 21iPUU-XIA}0d{ tentang Pengujian Pasal 77

huruf

a Undang-Undang No"8 Tahun 1981_ te4tang Hukum Acara Pidana) telah diujikan dalam sidang Munaqasah

Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif hidayatullah Jakxta,23

September 2015. Skiripsi

ini

telah

di

terima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan

Negara.

Jakarta- 23 Seotember 2015 M

10 Dhul-hijjah 1436 H

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

f--,-NrP. 196912161 99603 1001

1.

I(etua

2.

Seketaris 3. 'Pembimbing

4.

Penguji

I

Panitia Ujian Munaqasah

: Drs.Asep Syarifudin Hidayat.SH.MH

NIP. 19691 1211994031001 : Drs.Abu Tamrin. SH.M.Hum

NrP. 1 96s0908 I 99503001

: Dr.Dj awahir Hej azziey. SH..MA..MH

NIP. 19500306197603 1001

: Prof.Dr.H.A. Salman Maggalatung.SH."MH

NIP. 1 9540303t97 611 1 001 :Eitria.SH..MR

NrF. 1 9790 82220t I 01 2007


(5)

ii

Nama : Novita Akria Putri

Program Studi : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Judul : “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan (Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian Pasal 77 Huruf A Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana)”

Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan implikasinya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu pasal dalam suatu undang-undang yang diujikan. Penulis meneliti pada pokok permasalahan yakni bahwa pada putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya membatalkan suatu norma atau pasal, melainkan pula menambahkan suatu norma. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan menggabungkan teori pengujian undang-undang, pembatasan kekuasaan dan dikaitkan dengan prinsip checks and balances. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pada Pasal 77 huruf a UU No.8 tahun 1981 adalah salah satu cerminan bahwa putusan Mahkamah, adalah putusan yang memasuki ranah legislative dengan menambahkan norma penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan.

Kata kunci:

Putusan Mahkamah Konstitusi, Penambahan Norma, Implikasi, dan Prinsip check and balances.


(6)

iii

Name : Novita Akria Putri

Study Program : Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Title : “Implications of Constitutional Court’s Role to

Additional Norm Determination of The Suspect as Pretrial Object (Case Study: Constitutional Court Judgement No.21/PUU-XII/2014 regarding Judicial Review Article 77 point A on Law No. 8 tahun 1981 regarding

Criminal Procedure Law)”

The purpose of this thesis is to investigate and analyse the authority of the Constitutional Court in testing the law against the 1945 Constitution and its implications for the Constitutional Court's decision to cancel a clause in a statute tested. The author examines the main issues that the decision of the Constitutional Court not only cancel a norm or article, but also adds a norm. Writer using normative juridical research method by combining the theory of judicial review, the limitation of power and associated with the principle of checks and balances. Constitutional Court Decision No. 21 / PUU-XII / 2014 concerning the test in Article 77 letter a of Law No. 8 of 1981 is a reflection that the Court's decision, is the decision to enter the realm of legislative norm-setting by adding the suspect as one of the objects pretrial.

Key words:

Judgement of Constitutional Court, Additional Norm, Implication, and Check and balances principle.


(7)

iv

Alhamdulillah, adalah kalimat pembuka dari barisan kata pengantar yang hendak penulis uraikan. Segala puji, syukur, dan sujud kehadirat Allah SWT, yang selalu melimpahkan rahmat, ampunan, serta keberkahan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selawat serta salam, hendaknya selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi bingkai uswatun hasanah bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Skripsi yang berjudul: “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terkait Dengan Penambahan Norma Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan (Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana)” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) pada jurusan Ilmu Hukum Konsentrasi Kelembagaan Negara Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Bahwa dibalik sebuah proses, tentu tidak hanya penulis yang tunggal dalam memotivasi diri, suksesnya penulisan skripsi ini adalah karena dorongan, nasihat, serta motivasi dari berbagai pihak. Maka penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih kepada:

1. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibu Asih Asmanah dan Bpk H.Sukri adalah kedua orang tua yang selalu menguatkan, menasihati, dan tak bosan berdoa


(8)

v

2. Dr.H.Asep Saepudin Jahar.,MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs.H.Asep Syarifuddin Hidayat,SH.MH dan Abu Tamrin,SH.,M.Hum, Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr.H.Djawahir Hejaziey,SH.,MA, Dosen Pembimbing yang memberikan nasihat, motivasi, serta perbaikan-perbaikan yang konstruktif selama penyusunan skripsi ini.

5. Dr.JM.Muslimin,MA, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu menguatkan semangat dan motivasi dari segi tantangan studi.

6. Fitria S.H.MR, Nurohim Yunus, LLM, Nur Habibi Ihya,SH.I.MH, Indra Rahmatullah,SHI.,MH, Hidayatulloh,SHI.,MH, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang senantiasa selalu mendampingi penulis dan tim ketika menjadi delegasi perwakilan universitas dalam setiap kompetisi.

7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa mencurahkan ilmunya untuk penulis.

8. Segenap Pengelola Perpustakaan, Kepala dan Staff Bagian Umum, Bagian Keuangan, Bagian Akademik serta seluruh civitas akademika di Fakultas


(9)

vi

Selatan yang nasihatnya selalu menjadi penyemangat dalam setiap tindakan penulis menyelesaikan studi.

10. Azhar Arief, S.E yang memberikan semangat, doa, waktu, kata-kata, dan mendampingi penulis selama penyusunan skripsi ini.

11. Senior Ilmu Hukum, Hilda Hilmiah Dimyati, S.H, Arief Hanani, S.H, Endah Sulastri,S.H, Sri Hayati,S.H, Rizky Haryo Wibowo,S.H adalah senior yang sangat membantu penulis dalam proses belajar selama dalam organisasi Moot Court Community.

12. Keluarga Besar Moot Court Community, Ryan Chandra Ardhyanto, Afrita Nurul Afthi, Siti Nur Avivah, Bustomi, Ummu Salamah, Iwan Kurniawan, M.Raziv Barokah dan Teguh Triesna Dewa (My Team), Aisyah Yusriyyah Akhdal, Syah ul Haqq, Alfida Husna, Hamalatul Qurani, Abdulatif Zainal, Reinaldo Rianto, dan seluruh pengurus serta anggota Moot Court Community yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga tetap menjadi basis organisasi penggenggam prestasi, Harumkan nama Almamater kita!

13. Rekan-rekan Ilmu Hukum, Pengurus Angkatan Muda Peduli Hukum 2013-2014, Pengurus PSHK 2014-2015, Rekan kelas Hukum Kelembagaan Negara angkatan 2011, Rekan kelas Hukum Bisnis angkatan 2011, kalian adalah rekan yang sangat akademis dalam diskusi dan organisasi.


(10)

vii

Ciputat, 7 September 2015 M 23 Dzulkaidah 1436 H


(11)

viii

ABSTRAK...……… ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI……….. viii

BAB I PENDAHULUAN ... . 1

A. Latar Belakang Masalah ... . 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... . 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... . 8

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 10

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual ... 12

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II KERANGKA TEORITIS...………25

A. Realisasi Negara Hukum dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945 ... 25

B. Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi ... 30

C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan ... 33

BAB III PROFIL LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ... 39

A. Sejarah Dibentuknya Mahkamah Kostitusi dalam Rangka Reformasi Yudikatif ... 39


(12)

ix

BAB IV ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 ... 52

A. Dasar Pertimbangan Mahkamah atas Putusan Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan ... 60 B. Implikasi Putusan MK No.21/PUU-XII/2014 terhadap Penambahan

Norma Penetapan Tersangka pada Objek Praperadilan... 66 C. Faktor Yang Mempengaruhi Putusan MK Nomor 21/PUU-XII

/2014 ... 75

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 81 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 85 LAMPIRAN


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan perundang-undangan akan selalu tertinggal dengan perkembangan masyarakat yang berjalan lebih cepat. Karena itu ada sebuah pameo menyatakan, het recht hinkt achter de feiten aan, artinya hukum dengan terpontang panting mengikuti peristiwanya dari belakang.1

Jika memandang Indonesia yang merupakan negara hukum, sudah sepantasnya menjadikan hukum sebagai landasan utama berjalannya penyelenggaraan negara. Negara hukum Indonesia dapat direalisasikan dengan pilar-pilar utama penyangganya2 yakni beberapa di antaranya adalah pembatasan kekuasaan, peradilan bebas dan tidak memihak, perlindungan hak asasi manusia, serta didirikannya suatu lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk pelaksanaan hukum agar tidak lagi terpontang-panting mengikuti peristiwa di belakangnya.3

1

Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), h.V.

2

Uraian masing-masing prinsip negara hukum dari Prof, Jimly Ashiddiqie mencangkup 12 pilar utama penyangga, yakni. Supremasi hukum, Persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ penunjang yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha negara, Mahkamah Konstitusi, Perlindungan Hak Asasi Manusia. Bersifat demokratis, berfungsi sebagain sarana mewujudkan tujuan bernegara, transparansi dan control sosial. Perkembangan prinsip-prinsip negara hukum tersebut dipengaruhi oleh semakin kuatna penerimaan paham kedaulatan rakyat dan demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-model negara tradisional.

3

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.132.


(14)

Sejalan dengan pandangan dari Cicero yaitu “Ubi Societas Ibi Lius” bahwa dimana ada masyarakat disana ada hukum. Dengan kata lain hukum berfungsi sebagai sarana pengendali social (social control).4 Ketika dimanisasi problematika yang terjadi di tengah masyarakat mulai meningkat, setidaknya hukum haruslah menjadi alat kontrol agar masyarakat tetap terlindungi haknya, dan terciptanya ketertiban serta perdamaian.

Mewujudkan negara yang memberikan perlindungan atas hak warga negaranya adalah salah satunya dengan dibentuknya MK yakni sebagai hasil Amandemen ke III UUD 1945. Melalui gagasan mereformasi yudikatif, MK dibentuk setingkat dengan Mahkamah Agung (MA) dan memiliki kewenangan untuk mengadili di tingkat pertama dan terakir‟ dan

…putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan kelembagaan negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum5.

Penelitian ini lebih mengkerucutkan pada pembahasan kewenangan MK sebagai lembaga yang berwenang menguji konstitusional undang-undang. Pada umumnya, pengujian undang-undang yang dilakukan dalam

4

Lihat Pengertian Hukum dan Seluruh Aspek Hukum, http://indrakusumaw.blogspot. co.id/2012/08/pengertian-hukum-dan-seluruh-aspek-hukum.html diunduh pada 8 Oktober 2015 pukul 12.04 wib.

5

Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran ,(Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h.278-279.


(15)

suatu peradilan lazim disebut dengan judicial review6,yang diawali dengan sebuah permohonan, dan akan berakhir dalam satu putusan, yang merupakan pendapat tertulis hakim konstitusi tentang perselisihan penafsiran satu norma atau prinsip yang ada dalam UUD yang dikokretisir dalam ketentuan undang-undang, sebagai pelaksanaan tujuan bernegara yang diperintahkan konstitusi.

Tentu ini merupakan hal yang cukup membanggakan, dikarenakan selama pemerintahan Orde Baru tidak muncul politik hukum untuk pengujian undang-undang. Di masa itu undang-undang benar-benar tidak tersentuh pengujian oleh hukum. Adapun MA hanya dapat melakukan pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang sehingga kalau ada produk hukum yang represif dan bersebrangan dengan demokrasi maupun HAM tidak dapat disentuh oleh hukum untuk diuji substansinya. 7

6

Mohammad Fajrul Falaakh merumuskan bahwa judicial review (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk legislative dan eksekutif di hadapan konstitusi yang berlaku.[Lihat: Himawan Estu Bagijo,

Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi Perwujudan Negara Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang,LaksBang Grafika:Yogyakarta,2014,h.54.]. Permasalahan Judicial Review pun mula-mula muncul dan berkembang di Amerika Serikat dalam kasus yang terkenal yaitu Madison versus Marbury tahun 1803. Dimana Mahkamah Agung Amerika Serikat pada saat itu ditantang untuk dapt melakukan pengujian (review atau toesting) atas konstitusionalitas undang-undang yang ditetapkan oleh kongres. Awalnya, konstitusi Amerika Serikat tidaklah memberikan kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung, namun atas keberanian John Marshall, Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji undang-undang sebagai produk legislative. Hak untuk menguji inilah yang biasa disebut dengan Judicial Review atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan toetsingrecht.

7Ni‟matul Huda

, Perdebatan Hukum Tata Negara Peredebatan dan Gagasan Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1.


(16)

Kewenangan MK sebagai penguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan sebagai penafsir atas norma hukum inilah yang berujung pada istilah MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) dan the sole of the interpreteur of the constitution dimana dua dimensi tersebut melekat pada kewenangan MK. Dengan karakter inipun, putusan peradilan konstitusi menjadi salah satu sumber hukum penting di samping peraturan tertulis, tidak hanya dalam amar putusannya, tetapi juga tafsir konstitusionalnya.8

Menguji konstitusionalitas dari undang-undang menekankan bahwa MK adalah negatif legislatif yaitu sebagaimana menurut Maruarar Siahaan merupakan tindakan dari MK dengan menyatakan bahwa undang-undang yang dihasilkan oleh organ legislatif tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.9

Namun, di beberapa putusannya, MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang telah diujikan kepada UUD 1945 dan menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional, namun MK menambahkan suatu norma hukum baru dalam putusannya tersebut. Seperti dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai pengujian Pasal

8

Janedjri M.Gaffar, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi,h.VI. 9

Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.359.


(17)

77 huruf a KUHAP10 tentang objek dari Praperadilan. Dalam amar putusannya, MK memutus bahwa Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.11 Ketika Pasal 77 (a) telah dibatalkan melalui putusannya, MK seakan menambahkan suatu norma mengenai objek baru dalam praperadilan yakni „penetapan tersangka‟.

Hal itulah yang menjadikan MK tidak hanya membatalkan suatu undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945, namun MK telah memasuki ranah positif legislatif yang seharusnya ditindak lanjuti oleh organ legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam menambah, memuat, dan menghapus suatu norma pada suatu undang-undang12.

Jika putusan tersebut dijadikan pembenar dalam melakukan suatu penemuan hukum dan sejalan dengan keadaan masyarakat kekinian sebagaimana pendapat Soejono Koesoemo Sisworo: “Bahwa hakikat

10

Pasal 77 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menegaskan bahwa objek praperadilan yakni: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.

11

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014.

12

Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi, “Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sbagaimana dimaksud ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.”


(18)

penemuan hukum, yaitu selalu berkaitan dengan situasi dan kondisi masyarakat dan tetap dalam lingkungan sistem hukumnya.”13

Hal tersebut dapatlah penulis kategorikan sebuah upaya progresif14 dari MK, namun faktor keberpengaruhan dari aspek yuridis-filosofis dan sosiologis dari permohonan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan nampaknya berpengaruh atas pertimbangan putusan MK. Sehingga pasca putusannya diberlakukan, terdapat implikasi yang berpengaruh di tengah masyarakat dan tidak sepenuhnya mengakomodir suatu keadilan substantif.15

Oleh karena itu, penulis melihat terdapat kesenjangan yang terjadi antara yang seharusnya dengan kenyataan yang terjadi. MK diamanahkan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 yang pada dasarnya kewenangan tersebut adalah bentuk pengawasan terhadap produk legislatif. Namun, pada kenyataannya MK dalam putusannya justru

13

Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, (Bandung:PT Refika Aditama, 2012), h. 61.

14

Penulis mengartikan upaya progresif tersebut merupakan terobosan dari MK untuk menghindari adanya kekosongan hukum namun definisi dari upaya Progresif itu sendiri yaitu bahwa hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika manusia. Karena itu, menurut Prof.Satjipto Rahardjo hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.

15

Keadilan dalam hal ini bukan hanya keadilan hukum positif, tetapi juga meliputi nilai keadilan hukum positif, dan meliputi nilai keadilan yang diyakini dan berkembang dalam masyarakat. Dalam keadilan yang disebut sebagai keadilan substantif itu, ketika memutus perkara, hakim tidak hanya menjalankan preskripsi yang terdapat dalam undang-undang. Di sini, hakim mewujudkan keadilan yang hendak dicapai oleh aturan hukum dengan mempertimbangnkan rasa keadilan yang berbeda-beda untuk setiap kasus, waktu, dan masyarakat tertentu.


(19)

menambahkan norma baru yaitu dengan mengabulkan permohonan pemohon dengan menambahkan norma „penetapan tersangka‟ sebagai salah satu objek praperadilan.

Atas uraian yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui implikasi pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, dan pembahasan topik tersebut diuraikan dalam sebuah penelitian yang berjudul “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN (Studi Kasus: Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Pasal 7 huruf a Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

).

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luas dan banyaknya penelitian terkait dengan topik ini, maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Fokus penelitian yakni menyoroti esensial Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang menguji dan membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan UUD.


(20)

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan ulasan yang penulis paparkan dalam latar belakang dan permasalahan yang telah dibatasi oleh penulis, rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam putusan Mahkamah Konstitusi ?

b. Apa pertimbangan hakim dalam melakukan putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 ?

c. Faktor-Faktor apa saja yang mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setelah dirumuskannya beberapa permasalahan dalam penelitian ini, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui implikasi atas putusan Mahkamah Konstitusi No 21/PUU-XII/2014 yang menambahkan norma penetapan tersangka


(21)

terhadap pembatalan Pasal 77 (a) Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

b. Mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusannya terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.

c. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi putusan hakim Mahkamah Konstitusi.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rintisan pemikiran dalam segi keilmuan yang berkaitan dengan Ilmu Hukum, khususnya kajian Ilmu Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan kewenangan kelembagaan negara yaitu untuk pembaharuan sistem pemerintahan di Indonesia.

b. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan rujukan bagi para akademisi yang bergelut dalam keilmuan hukum. Baik mahasiswa maupun para civitas akademika yang mengambil kekhususan dalam keilmuan Hukum Tata Negara.


(22)

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Penelitian atau pembuatan skripsi, terkadang ada tema yang berkaitan dengan penetilian yang kita jalankan sekalipun arah tujuan yang diteliti berbeda. Dari penelitian ini, penulis menemukan beberapa sumber kajian lain yang terlebih dahulu membahas terkait dengan Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya adalah :

No. Nama Penulis/Judul skripsi, jurnal/ Tahun.

Substansi Perbedaan dengan Penulis

1. Agung Sudrajat / Implikasi Peran Mahkamah

Konstitusi sebagai Positive Legislator pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia (Studi Kasus: Putusan MK No.

10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarat Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum / Skripsi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universtitas Indonesia, Depok,

Skripsi penelitian ini menjelaskan tentang peran mahkamah konstitusi sebagai positif legislator dan implikasinya terhadap proses legislasi di Indonesia.

Penelitian ini berfokus pada studi kasus putusan No. 10/PUU-VI/2008 menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi di Indonesia telah berperan sebagai Positive Legislator (pemuat norma). Penulis meneliti tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi pasca penambahan norma mengenai penetapan tersangka dalam objek praperadilan. Penelitian penulis berfokus pada putusan No.21/PUU-XII/2014 yang mana putusan tersebut merupakan putusan yang kontroverisal, dimana Mahkamah Konstitusi yang berwenang untuk membatalkan saja pasal yang diujikan


(23)

2012. namun ternyata dalam putusannya, menambahkan norma dan akan diteliti pula atas keberpengaruhan kasus-kasus dan opini publik yang merupakan faktor penunjang terhadap putusan hakim Mahkamah Konstitusi. 2. Aditya Warman /

Penerapan Negative Legislation dalam Pengujian Undang-Undang pada Putusan Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 / Tesis Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, 2013.

Tesis ini menjelaskan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menghilangkan keberlakuan suatu norma undang-undang tersebut dimana Mahkamah Konstitusi disebut sebagai pembuat undang-undang dalam arti negative (Negative Legislator), berbeda dari fungsi parlemen sebagai pembuat undang-undnag dalam arti positif (Positive Legislator). Penulis meneliti kesenjangan kewenangan mahkota Mahkamah Konstitusi yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar, namun nyanya Mahkamah Konstitusi sendirilah yang telah menerobos prinsip checks and balances antar lembaga negara kususnya Mahkamah Kosntitusi dengan DPR dan Presiden sebagai pembuat norma undang-undang.


(24)

3. Anindtya Eka Bintari / Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dalam Penegakkan Hukum Tata Negara / Jurnal Universitas Negeri Semarang, 2013. Jurnal ini menjelaskan tentang kedudukan hukum Mahkamah Konstitusi sebagai pembatal undang-undang. Fokus penelitian jurnal adalah berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi yang telah dianggap membatasi wewenang Mahkamah Konstitusi dimana beberapa Pasal inti yang dirubah dan ditambahkannya. Penulis meneliti tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar dan mengkaitkannya dengan proses putusan yang ada, bahwa kewenangan tersebut telah diterobos oleh Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai pengawal konstitusi.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Teori Negara Hukum

Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep rechtstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan konsep nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan cratos. Yaitu yang berarti dari nomos adalah norma


(25)

sedangkan cratos adalah kekuasaan.16 Berikut adalah ciri dari negara hukum (rechtstaat) menurut Julius Stahl, mencakup empat elemen penting: Perlindungan hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan undang-undang, dan peradilan tata usaha negara.17

Teori Pengujian Undang-Undang

Pengertian undang-undang formal dan materil adalah hal penting kaitannya dengan pengujian formal (formele toesting) atau „procedural review‟ dan pengujian materiil atau „substantive review‟ (materiele toesting). Menurut A.W.Bradley dan K.D.Ewing, terdapat beberapa alasan subtantif yang biasa dipakai untuk melakukan pengujian atau „judicial review‟ atas norma umum peraturan (regeling) dan norma konkret (beschikkings), yaitu18:

1. The ultra vires rule (excess of power);

2. Abuse of discretionary power;

3. Failure to perform a statutory duty;

4. The concept of jurisdiction;

5. Mistake of fact;

16

Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.125.

17

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,h.130. 18

Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), h.102.


(26)

6. Acting incompatibly with convention rights.

Pengertian pengujian undang-undang (judicial review) yang berdasarkan alasan subtantif di atas dilakukan dengan implikasi adanya putusan hakim Konstitusi dengan memperhatikan hak konstitusional warga negara. Dan esensi dari putusan hakim yang dianggap adil adalah putusan yang dibuat secara imparsial atau tidak berpihak kecuali hanya kepada kebenaran.

Teori Putusan

Putusan hakim menurut Zairin Harahap, adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara diberikan wewenang atas itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.19 Dalam ranah MK, dikenal adanya putusan dengan istilah ultra petita, ulta vires, condionally constitutional, pembatalan undang-undang yang diberi batas waktu dan pencabutan hak dipilih peserta pemilu kepala daerah, serta menyebut secara tidak langsung subjek tertentu dalam putusan pengujian UU.20 Dan pengertian putusan-putusan MK tersebut akan diuraikan dalam bab selanjutnya dalam skripsi ini.

19

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,cetakan ketiga, 2002), h.138.

20

Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011),h.119.


(27)

Teori Prinsip Checks and Balances

Salah satu gagasan dalam gerakan reformasi yang berhasil menjebol sakralisasi UUD 1945, penawaran yang paling penting adalah usulan tentang sistem dan mekanisme checks and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan. Hal ini penting karena selama era dua periode sebelumnya dapat dikatakan checks and balances itu tidak ada.21 Prinsip check and balances merupakan prinsip yang diterapkan dalam upaya merealisasikan adanya distribution of power dalam suatu kerangka sistem ketatanegaraan, dimana kedudukan MPR,DPR, dan DPD (legislative) sama-sama mempunyai kedudukan sederajat dengan Presiden (eksekutif) dan pelaksana kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi (yudikatif) dan sama-sama saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

2. Kerangka Konseptual

Implikasi Putusan

Implikasi adalah suatu keterlibatan atau keadaan terlibat.22 Artinya, implikasi dalam bahasa Indonesia adalah efek yang ditimbulkan di masa depan atau dampak yang dirasakan ketika

21

Moh. Mahfudh MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h.67.

22


(28)

melakukan sesuatu. Maka implikasi putusan adalah suatu keterlibatan suatu faktor dengan faktor lainnya akibat dari pernyataan seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Penambahan Norma

Definisi norma yang artinya suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Maka penambahan norma dapat didefinisikan sebagai suatu penambahan ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes yakni mengikat semua pihak tidak hanya pihak pemohon saja.

Objek Praperadilan

Secara harfiah, definisi praperadilan yakni Pra artinya sebelum atau mendahului, berarti “praperadilan” dapat diartikan dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan.23 Adapun objek dari praperadilan ditegaskan dalam Pasal 77 (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu, tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ditegaskan kembali oleh Yahya Harahap24, bahwa Pasal tersebut tidaklah bersifat

23

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h.187.

24

Yahya Harahap, Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,(Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.8.


(29)

“limitatif”, ternyata dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d KUHAP memasukkan upaya paksa penyitaan ke dalam yuridiksi substantif Praperadilan.

Penetapan Tersangka

Dalam proses hukum acara pidana, dalam menetapkan tersangka tentu harus melalui tahap penyelidikan dan penyidikan barulah dapat ditemukan tersangka. Disamping itu, penyidikan bukanlah semata-mata tahap atau suatu proses pidana yang mengharuskan lahirnya tersangka pada proses akhirnya. Penyidikan pun secara tegas memberikan syarat bahwa penetapan tersangka

merupakan tahapan lanjutan yang syaratnya hanya dapat dilakukan setelah penyidik berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup berdasarkan hukum yang menunjuk seseorang atau beberapa orang sebagai pihak yang diduga pelaku tindak pidana.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian jenis ini dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku


(30)

manusia yang dianggap pantas.25 Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku dan terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Jenis dan Sifat Penelitian

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang kajiannya dilakukan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, buku-buku, perundang-undangan, dan sumber lainnya. adapun, Penelitian ini bersifat Deskriptif-Normatif, yaitu akan mendeskripsikan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian undang-undang pada undang-undang-undang-undang dasar yang berimplikasi pada pembatalan pasal dalam undang-undang tersebut. Dalam hal ini terkait dengan putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014.

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, dimana studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.26 Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas.

25

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,cet I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.

26

Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), h.123.


(31)

Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengelolaan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

4. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan ini, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu:

27

Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan sejarah (historical approach).

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.28 Pendekatan perundang-undangan (statute

27

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Cetakan 8, (Jakarta: Prenada Media Group, 2013), h. 133.

28

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang: Bayumedia Publishing, 2008) cet.ke-IV, h. 302.


(32)

approach) dilakukan dengan menelaah perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dan Undang-Undang lainnya yang terkait. Pendekatan selanjutnya yaitu pendekatan kasus (case approach) dengan melakukan analisis terhadap ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya29, yaitu dalam hal ini, penulis menganalogikan alasan hukum dari hakim yang dijadikan pertimbangan dalam putusan MK nomor 21/PUU-XII//2014.

5. Data dan Sumber Penelitian

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif. Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan undangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu UUD NRI 1945,

29


(33)

undang terkait sebagaimana telah disebutkan pada penjelasan pendekatan perundang-undangan (statue approach), serta putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer.30 Terdiri dari buku-buku, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Telaahan tersebut dimaksukan untuk pengumpulan data dan informasi guna menyusun konsep dan instrument penelitian, sedangkan telaahan dokumen dan literature pada saat pengumpulan data dan pada saat analisis serta penafsiran data dimaksudkan untuk menambah dan melengkapi data guna diperoleh hasil pengkajian yang berkualitas.

6. Pengolahan dan Analisis Data

Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis.Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah

30


(34)

bahan hukum itu diolah dan diuraikan kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

7. Teknis Penulisan Skripsi

Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”

H. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi kedalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang di teliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut :

BAB Pertama Tentang Pendahuluan

Terdiri dari pemaparan latar belakang yang menguraikan tentang bagaimana kesenjangan kewenangan MK dalam melakukan pengujian sementara dalam putusannya Nomor 21/PUU-XII/2014 MK sehingga melakukan penambahan norma, dan latar belakang ini yang nantinya akan dijadikan sebuah pertanyaan dalam sebuah rumusan masalah. Kemudian dipaparkan


(35)

juga mengenai tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review), metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB Kedua Kerangka Teoritis

Terdiri dari kerangka teori atau pemaparan teori filosofis adanya pengujian undang-undang (judicial review) di dalam sebuah negara hukum. Dalam bab inipun akan diuraikan definisi verbal dari pembahasan penelitian. Adapun definisi yang akan diuraikan adalah mengenai definisi penambahan norma, definisi tentang penetapan tersangka, pemaparan objek Pra Peradilan secara yuridis dan beberapa pendapat ahli serta uraian mengenai prinsip checks and balances dalam doktrin sistem ketatanegaraan di Indonesia.

BAB Ketiga Kelembagaan dan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Pengujian Undang-Undang terhadap UUD NRI 1945

Terdiri dari uraian profil tentang kelembagaan Mahkamah Konstitusi serta kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penguji undang-undang pada undang-undang dasar. Serta uraian tentang bagaimana seharusnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan suatu Pasal dalam undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional.


(36)

BAB Keempat Analisis Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014

Bab ini merupakan inti dari pembahasan masalah yang dibahas dan merupakan jawaban yang terdapat dalam perumusan dan pembatasan masalah, maka dalam bab ini menguraikan tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi dalam penambahan norma sebagai objek praperadilan yang dituangkan dalam putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014.

BAB Kelima Tentang Penutup

Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Kesimpulan tersebut didasarkan pada temuan-temuan data yang secara kualitatif dikaitkan dengan teori, doktrin, dan data tambahan yang ditemukan oleh penulis. Kemudian juga dengan saran-saran konstruktif yang dapat membantu dan memberikan masukan terhadap perbaikan sistem ketatanegaraan di Indonesia terlebih mengenai perbaikan-perbaikan pada putusan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi.


(37)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Realisasi Negara Hukum dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD 1945

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pendapat tentang kriteria suatu negara hukum memiliki banyak perspektif, namun terdapat keterangan pokok yang akhirnya dituangkan dalam UUD 1945, keterangan tersebut dihasilkan dari pembahasan yang diuraikan dalam perubahan UUD 1945 mengenai nomenklatur Negara Hukum, dimana ditegaskan oleh Agun Gunandjar Sudarsa, bahwa negara Indonesia dapat disebut sebagai negara hukum dengan 4 persyaratan yakni31 :

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum;

3. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, merdeka;

4. Adanya peradilan administrasi negara.

Jika ditinjau dari empat persyaratan tersebut maka dapat diketahui, elemen penting dan utama terciptanya negara hukum yakni

31

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Sendi-sendi/Fundamen Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.


(38)

adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Penjaminan tersebut dapat direalisasikan dari sistem yang dibentuk oleh negara, baik sistem kelembagaan negara maupun sistem sosial.

Salah satu usaha pencapaian suatu negara hukum yang menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia, ditilik dalam amandemen UUD 1945 terdapat usulan dan pembahasan tentang judicial review, maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang dilekatkan kewenangan untuk melakukan judicial review tersebut. Dimana pada awal pembahasan, hanya ada keinginan untuk memperkuat posisi dan peran MA. Salah satunya dengan memberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD kepada MA. Dalam usulannya, Hamdan Zoelva menyampaikan usulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir, serta memiliki kewenangan utama yaitu, memutuskan kewenangan mengajukan uji terhadap undang-undang, memutus perselisihan antar lembaga negara, kemudian kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.32

Dalam implementasi penegakkan ide negara hukum yang termaktub dengan jelas dalam UUD 1945 sebagai dasar berjalannya penyelenggaraan negara, adanya kewenangan dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mekanisme yang begitu

32

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.


(39)

membanggakan untuk dapat melindungi hak warga negara yang ditumpah ruahkan dalam norma-norma yang termaktub dalam undang-undang.

Reformasi kekuasaan kehakiman melalui didirikannya Mahkamah Konstitusi tentu menjadi hal gemilang untuk meninggalkan kemunduran bangsa dimana pada periode Pra Reformasi yang masih sangat jauh dari perlindungan hak asasi manusia.

Pengujian undang-undang (judicial review) adalah sebuah mekanisme yang hadir untuk dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia. Ditegaskan oleh Taufiqurrahman Syahuri bahwa hak uji konstitusionalitas adalah hal yang dapat dilaksanakan ketika masyarakat mempersoalkan produk undang-undang disebabkan adanya kerugian konstitusinal oleh segolongan masyarakat.33

Kewenangan tersebut dilekatkan kepada Mahkamah Konstitusi dan termaktub dengan jelas dalam UUD 1945, Pasal 24C yakni untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, dimana hak konstitusionalitas dari setiap warga negara akan terjamin dengan adanya mekanisme tersebut.

Adapun hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi34. Makna dari pernyataan tersebut adalah

33

Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h.112

34

Hans Kelsen menyebutkan bahwa UUD menduduki tempat tertinggi dalam hukum nasional, sebab itu merupakan landasan sistem hukum nasional. Undang-Undang Dasar merupakan fundamental law. Untuk itu Hans Kelsen menunjuk hak menguji sebagai mekanisme


(40)

bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif yang mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apalagi terjadi pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme politik35.

Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun mekanisme „judicial review‟ yang terus berkembang dalam praktek di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut sangat antusias, baik di dunia akademis maupun praktek, bahkan tidak kurang oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judiciary). Seperti dikemukakan oleh Lee Bridges, Georges Meszaros dan Maurice Sunkin36,

Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse executive power.”

Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi

guarantees of the constitution”. Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji merupakan konsekuensi

dari konstitusi tertulis, atau yang oleh Kelsen disebut konstitusi dalam arti formal, atau konstitusi dalam arti sempit.

35

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 486

36

Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,


(41)

(check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para jabatan pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.

Adapun nilai uji dari undang-undang tersebut adalah nilai uji konstitusionalitasnya, yakni undang-undang tersebut diujikan baik dari segi formiil ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.37

Dalam pengujian Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, pemohon mengungkapkan alasan bahwa idealnya suatu Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim38.

Pemohon menjadikan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 dengan adanya penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi manusia, Pasal 28 J ayat (2) UUD 194 telah menegaskan bahwa pembatasan tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.39 Maka, inilah yang menjadi bentuk realisasi

37

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,h.487.

38

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 h.3.

39


(42)

negara hukum dalam prosedur pengujian undang terhadap undang-undang dasar.

B. Penambahan Norma dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Pencapaian reformasi yudikatif yang telah dilakukan pada amandemen UUD 1945 ke tiga dengan memunculkan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang diharapkan akan mengemban amanah kewenangannya untuk dapat menegakkan hak konstitusional warga negara.

Terkait dengan hal tersebut, Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State (1973) mengemukakan bahwa kewenangan lembaga peradilan menyatakan suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Pemikiran Judicial Review terus berkembang setelah kasus John Marshall yang kemudian melahirkan istilah Judicial Review tersebut di atas. Sedangkan dalam pelembagaannya dikenal bahwa Hans Kelsen sebagai perintis lahirnya Mahkamah Konstitusi pertama. Dalam istilah kelsen, pada proses legislasi, “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation”. Lebih lanjut ditegaskan, bahwa lembaga peradilan konstitusi ini berwenang membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang-undang-undang tidak mengikat secara


(43)

hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, pemegang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.40

Artinya sifat dari kewenangan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang hanya menentukan undang-undang tersebut konstitusional atau inkonstitusional. Karena, jika diperhatikan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi tidaklah semua yang ditambahkan normanya. Melainkan hanya dilakukan pembatalan terhadap pasal atau undang-undang yang dianggap inkonstitusional.

Tidak hanya mengenai penambahan norma melainkan mengenai penghapusan norma, Mahkamah Konstitusi pun pada pertimbangan resminya pada putusan perkara Nomor 122/PUU-VII/2009 yakni mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dimana pemohon dirugikan oleh butir 37 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak berwenang menilai kerugian itu karena penghapusan ketentuan demikian merupakan hak pembentuk undang-undang.41

Inilah yang menjadi problematika dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 yang akan diteliti penulis, bahwa dalam putusan ini Mahkamah

40

Lihat www.saldiisraa.co.id tulisan berjudul, “Negative Legislator” diakses pada 13 Juli 2015 Pukul 15.57.

41

Muchamad Ali Safa‟at, Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, Februari 2010, h.2.


(44)

Konstitusi tidak memberikan pernyataan yang sama terkait dengan penghapusan norma yang memang menjadi kewenangan ranah legislatif.

Jika dikaitkan dengan definisi norma yang artinya suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.42 Disamping itu, hukum menurut Hans Kelsen adalah termasuk dalam sistem norma yang dinamik (nomodynamics), oleh karena itu hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk atau menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi isi norma tersebut, tetapi dilihat dari segi berlakunya atau pembentukannya.43 Maka penambahan norma dapat didefinisikan sebagai suatu penambahan ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat erga omnes yakni mengikat semua pihak tidak hanya pihak pemohon saja. Ketika sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat semua pihak sedangkan diputus dengan prosedur yang nyatanya tidak memperhatikan prinsip checks and balances.

Hal itulah, yang menjadi alasan mengapa sebenarnya dalam putusan MK telah memasuki wilayah positif legislatif, karena jika kembali pada pendapat Maria Farida Indrarti di atas, maka lembaga yang memiliki kewenangan untuk menghapus dan membentuk norma adalah lembaga

42

Maria Farida Indrarti, Ilmu Perundang-Undangan, Yogyakarta : Kanisius, 2007, h.18.

43


(45)

yang sama. Dalam perspektif kelembagaan negara di Indonesia, lembaga yang memiliki otoritas tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif (lembaga pembentuk undang-undang).

C. Penetapan Tersangka Sebagai Tambahan Objek Praperadilan

Dalam melaksanakan fungsi “penyelidikan” dan “penyidikan”, konstitusi memberi “hak istimewa” atau “hak previlese” kepada Polri untuk: memanggil – memeriksa – menangkap – menahan – menggeledah – menyita terhadap tersangka dan barang yang dianggap berkaitan dengan tindak pidana.

Akan tetapi, dalam melaksanakan “hak” dan “kewenangan istimewa” tersebut, harus taat dan tunduk kepada prinsip: the right of due process.44 Permasalahan ini perlu disinggung karena pada kenyataannya masih banyak keluhan dari masyarakat tentang adanya berbagai tata cara “penyelidikan” dan “penyidikan” yang menyimpang dari ketentuan hukum acara. Atau diskresi yang dilakukan penyidik sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan dalam tahap pemeriksaan, penyelidikan atau

44

Setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Konsep due process dikaitkan dengan landasan menjunjung tinggi “supremasi hukum”,

dalam menangani tindak pidana: tidak seorang pun berada dan menempatkan diri di atas hukum (no one is above the law), dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip

“perlakuan” dan dengan “cara yang jujur”.[Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95].


(46)

penyidikan. Oleh karena itu, hal ini patut diuraikan untuk meningkatkan ketaatan mematuhi penegakan the right of due process of law.45

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa secara ideal Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa, dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim. Dalam proses hukum, selain adanya kesetaraan antara warga negara dan penegak hukum, maka kesetaraan lain yang harus ada, adalah kesetaraan perlakuan antara yang kaya dan yang miskin, yang memiliki kekuasaan dan yang tidak memiliki kekuasaan. Inilah yang dianut oleh Hukum Acara Pidana Indonesia.

Adapun penetapan tersangka adalah suatu penetapan yang dilakukan setelah dilaksanakannya proses penyelidikan dan penyidikan. Dimana rangkaian kegiatan tersebut adalah hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Yahya Harahap menyebutnya dengan dua fase tindakan yang berwujud satu. Hampir tidak ada perbedaan makna antara dua kegiatan tersebut, namun hanya bersifat gradual saja46.

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

45

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta:Sinar Grafika, cet ke-14,2012, h.95.

46

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan,h.109.


(47)

menurut cara yang diatur oleh undang-undang47. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya48.

Dari dua pengertian variabel tersebut, tentu penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi setelah dilakukannya proses penyidikan yakni dengan adanya bukti terang guna menemukan tersangkanya. Maka proses penyidikan haruslah dilakukan sesuai dengan hukum due process of law dengan tetap memperhatikan dan melindungi hak-hak asasi manusia sehingga penetapan tersangka adalah hal yang dilakukan secara acak, karena penetapan tersangka secara acak niscaya akan sangat merugikan hak-hak setiap warga negara.

Penetapan tersangka49 mengakibatkan adanya upaya paksa lain yang akan diberlakukan kepada seseorang yang telah ditetapkan sebagai

47

Lihat Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

48

Lihat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

49

Penetapan seseorang sebagai tersangka, penangkapan dan penahanan kesemuanya merupakan pengurangan kebebasan individu, yang seharusnya dirumuskan secara clear and clean

dalam KUHAP. Perumusan parameter melakukan penetapan tersangka, mengeluarkan perintah penangkapan dan penahanan yang tidak jelas, karena tidak dirumuskannya pengertian yang

memadai tentan “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” dalam

KUHAP, akibatnya hanya menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil dalam implementasinya di lapangan.[lihat putusan MK No.21/PUU-XII/2014 halaman 28 sebagai legal standing dari pemohon].


(48)

tersangka seperti dilakukannya penyitaan, penggeledahan dan lain sebagainya. Ketika seseorang merasa haknya dilanggar atas upaya paksa tersebut maka seorang warga negara mempunyai jalur yang dinamakan praperadilan dalam suatu upaya Hukum Acara Pidana Indonesia guna mempertahankan haknya.

Praperadilan merupakan salah satu prinsip KUHAP yakni sebagai lembaga control. Adapun praperadilan sebagaimana Pasal 1 butir 10 KUHAP, adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus50:

1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Permintaan ganti kerugian yang diajukan ke praperadilan adalah akibat penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Pasal 95

50

Haka Astana M.Widya,“Praperadilan dan Hakim Komisaris”,Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional,(Jakarta:Komisi Hukum Nasional RI,2013),h.30-33.


(49)

dan penjelasan Pasal 95), sedangkan permintaan rehabilitasi yang diajukan ke praperadilan adalah akibat diputus bebas atau diputus lepas (Pasal 97).

Dengan kata lain, Praperadilan memiliki objek penting didalamnya yakni, Pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa yang meliputi penangkapan dan penahanan, Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat dilakukan karena empat hal yaitu nebis in idem atau karena ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili, dan putusannya sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, perkara yang disangkakan padanya merupakan perkara yang kadaluwarsa, dan abuse of authority. Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi, Keempat, memeriksa permintaan rahabilitasi, Kelima,

Praperadilan terhadap tindakan penyitaan.51

Berdasarkan uraian objek praperadilan yang berlaku sebelum dibatalkannya Pasal 77 huruf a Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penetapan tersangka tidak masuk dalam klasifikasi objek praperadilan. Namun, jika diperhatikan secara seksama, upaya penyidikan dapatlah dihentikan melalui jalur praperadilan dengan tiga syarat yang telah diuraikan diatas.

51

Yahya Harahap, Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,h.4-6.


(50)

Namun pengajuan pemohon untuk dijadikannya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan adalah agar Hukum Acara itu bukan untuk memanjakan orang yang diduga bersalah dan untuk menghindari adanya unfair prejudice atau penyitaan terhadap barang dengan cara melanggar hukum dalam proses penyelidikan dan penuntutan yang tidak berdasarkan atas hukum serta proses peradilan yang memihak (unlawful legal evidence). Dan demi memegang teguh keadilan dengan melindungi hak asasi warga negara meskipun ia bersalah.52

52


(51)

BAB III

PROFIL LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Rangka Reformasi Yudikatif

Penanaman paham konstitusi adalah salah satu cara untuk merealisasikan tujuan nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diuraikan sebelumnya. Paham konstitusi disebut dengan konstitusionalisme (constitutionalism) yakni yang berarti paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan (limited power). Dalam kaitan dengan negara atau pemerintah, konstitusionalime adalah paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan negara (limitation of state power) atau pembatasan kekuasaan pemerintahan (limitation of power of government atau limited government).53

Pembatasan kekuasaan tersebutlah yang dibagi dalam tiga pembagian utama dalam UUD 1945, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertical atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki

53

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi „makna dan aktualisasi‟, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada), 2014, h.146.


(52)

kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and

absolute power corrupts absolutely”.54

Dalam perspektif historis yuridis, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif mengalami perubahan yang signifikan pasca amandemen UUD 1945, dimana perubahan sistem ketatanegaraan dari parlementer ke presidensil yang cukup mempengaruhi kewenangan dua kekuasaan tersebut. Sedangkan kekuasaan kehakiman, pasca Amandemen UUD 1945 ke-tiga telah mengalami perubahan dari segi substansi dan kelembagaan55. Yakni, setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka pembentukan MK, MPR menetapkan MA menjalankan fungsi sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah pembahasan yang mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu

54

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006),h.5.

55

Perubahan tersebut mencangkup, Pertama, reformasi dalam hal indepedensi kehakiman yang dipertegas dan diformalkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kedua, pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru dibentuk setingkat dengan Mahkamah Agung yang hakimnya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Sedangkan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim-Hasssskim Konstitusi. Ketiga, pembentukan Komisi Yudisial, satu lembaga baru lainnya yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.


(53)

(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).56

Berdasarkan landasan konstitusional pula, sejarah berdirinya lembaga MK diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 194 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dna kenegaraan modern yang muncul di abad ke-2057.

Ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan58. Dimana kekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang tidak hanya terdiri dari Mahkamah Agung dan

56

Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 12.45 wib.

57

Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 13.00 wib.

58

Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id /index .php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 19.57.


(54)

Mahkamah Konstitusi, melainkan juga terdiri dari peradilan-peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Terbentuknya MK juga tidak lepas dari kacamata perspektif historis, gagasan untuk terdapatnya lembaga yang dapat menguji undang-undang terhadap UUD 1945 nyatanya telah ada sejak Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, tanggal 15 Juli 194, yakni ketika Yamin menyampaikan usulan perihal perbandingan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dibentuknya Mahkamah Agung pada saat itu, menurut Yamin agar melakukan kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang dengan Undang-Undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan kepada Presiden, yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan melakukan aturan pembatalan.59

Hadirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai tanda bahwa telah lahir lembaga yang mampu menguji sustansi undang-undang, yang sebelumnya tidak diakomodir pada masa orde baru. Semua produk undang-undang dapat ditinjau substansinya maupun prosedur pembuatannya. Sehingga hak-hak warga negara dan demokrasi dapat terlindungi dari kemungkinan potensi negatif pembentuk undang-undang yang ingin mereduksi bahkan

59Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku VI tentang

Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010,h.17-18.


(55)

menggerogoti prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia (warga negara) maupun substansi demokrasi.60

Khusus untuk memelihara kebersesuaian dan ketaatasasan UU terhadap UUD 1945, UUD 1945 memberi kewenangan dan tugas itu kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman dengan kewenangan khusus antara lain untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD bahkan membatalkan (sebagian) UU yang pembentukannya telah disepakati bersama oleh DPR dengan Presiden. Sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan yudikatif itu proses kerja Mahkamah Konstitusi adalah proses sebuah lembaga peradilan.61

Dengan menilik beberapa perspektif diatas, pada akhirnya MK merupakan lembaga negara baru buah reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia melalui perubahan (amandemen) UUD NRI 1945 diberikan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

60 Ni‟matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan,(Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1-2.

61

Jakob Tobing, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jakob Tobing tentang Perubahan UUD 1945), (Jakarta : Konstitusi Press, 2008), h. 251.


(56)

Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan

e. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jika diperhatikan secara seksama, seluruh kewenangan yang diberikan kepada MK oleh UUD 1945 tersebut berkaitan dengan upaya untuk mencapai kedua tujuan kembar yakni sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum.62

Agaknya dua istilah tersebut tidaklah berlebihan jika disandingkan satu sama lain, bahwa negara hukum dan demokrasi sangatlah berkesinambungan, karena sulit dibayangkan sebuah negara hukum tanpa demokrasi atau demokrasi tanpa hukum itu sendiri.

Mahkamah Konstitusi sebagai garda konstitusi adalah bentuk realisasi dari dua hal tersebut yakni dijalankannya demokrasi karena mengedepankan hak-hak konstitusional warga negara melalui kewenangan yang melekat yakni pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan menjunjung tinggi hukum karena dilaksanakan kewenangannya

62

Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008,h.9.


(57)

berdasarkan amanah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia. hal tersebutlah yang senada dengan apa yang ditekankan ole John Norton Moore:

Constitutions should embody the fundamental compact with the people – such constitutions should serve as the highest form of law to which all other laws and governmental actions must conform. As such, constitutions should embody the fundamental precepts of a democratic society rather than serving to incorporate ever-changing laws more appropriately dealt with by statute. Similarly, governmental structures and actions should seriously conform with constitutional norms, and constitutions should not be mere ceremonial or aspirational documents.

Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa “negara hukum” mempengaruhi adanya kelaziman sebuah konstitusi untuk memuat hak-hak dasar atau hak asasi (basic rights) setiap warga negara yang kemudian dinyatakan sebagai hak konstitusional. Fungsi utama Mahkamah Konstitusi inilah yang menjamin bahwa konstitusi benar-benar ditaati dan dilaksanakan dalam praktik.63

Maka, dapat dilihat bahwa terbentuknya Mahkamah Konstitusi adalah atas tiga reformasi utama, yakni reformasi konstitusi, reformasi

63Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa


(58)

yudikatif, yang menjadi hal gemilang bagi reformasi ketatanegaraan Indonesia.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD NRI 1945

Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting adalah bukan hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukum (Ius curia novit), tetapi mengetahui secara obyektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Pada dasarnya, putusan merupakan salah satu penemuan huum (judge made law/rechtvinding), dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjatuhkan putusan yang obyektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsur apapun kecuali sikap obyektifnya dan rasa keadilan itu semata.

Secara pengertian umum, putusan dapat diartikan suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidnagan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Soedikno Mertokoesoemo menambahkan bahwa bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yag dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur an dan Terjemahan, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2014.

Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

__________, Jimly, Konstitusi dan Konstitusinalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

__________, Jimly, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008. __________, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

__________, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Asikin, Zainal dan Amirudin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Astana M.Widya, Haka,“Praperadilan dan Hakim Komisaris”,Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2013.

Dillah, Philips dan Suratman, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2012.

Estu Bagijo, Himawan Negara Hukum & Mahkamah Konstitusi Perwujudan Negara Hukum yang Demokratis Melalui Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang,Yogyakarta: LaksBang Grafika, 2014.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Harahap, M.Yahya Pembahasan Permasaahan dan Penerapan KUHAP

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

________, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP penyidikan dan penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.


(2)

Harahap, Zairin, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

_________. Tranformasi Demokrasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2009.

Huda, Ni‟matul Perdebatan Hukum Tata Negara Peredebatan dan Gagasan Penyempurnaan, Yogyakarta: FH UII Press, 2014.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Indrayana, Denny, Amandemen UUD 1945 antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan Media Utama, 2007.

Israa, Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Sendi-sendi/Fundamen Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.

_________, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010. __________, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jakob Tobing

tentang Perubahan UUD 1945), Jakarta : Konstitusi Press, 2008.

__________, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

___________, Berjalan-Jalan di Ranah Hukum Pikiran-Pikiran Lepas Laica Marzuki, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006.

Manan, Bagir dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi „makna dan aktualisasi‟, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2014.


(3)

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum,Jakarta: Prenada Media Group, 2013. Mahfudh, MD, Moh, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, Rajawali Pers: Jakarta, 2011.

M.Gaffar, Janedjri, Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2013.

Salman, Otje, Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika Aditama, 2012.

Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi (Suatu studi tentang adjudikasi Konstitusional sebagai Penyelesaian Sengketa Normatif), Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006.

Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi berbagai Aspek Hukum, Jakarta: PT.Prenada Media Group,2011.

Wahidin, Samsul Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

Rahardjo, Satjipto, Penegakkan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Jurnal Hukum

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Ultra petita Konstitusional, Jurnal Konstitusi, No. 57 Oktober 2011.

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, Putusan Uji UU Perkebunan: Akhir Kriminalisasi Petani, Jurnal Konstitusi, No.56 September 2011.

Siahaan, Maruarar, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009.

Safa‟at Ali, Muchamad, Pengujian Ketentuan Penghapusan Norma dalam Undang-Undang, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 1, 2010.

Syahrizal, Ahmad, Problematika Implementasi Putusan MK,Journal Konstitusi Volume 4 Nomor 1, Maret 2007.


(4)

Skripsi

Sudrajat, Agung. Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator Pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia (Studi Kasus: Putusan MK No.10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarata Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum,Skripsi S 1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2012.

Peraturan Perundang-Undangan

Dewan Perwakilan Rakyat. Keputusan DPR, No.15/DPR-RI/I/2004-2005 tentang Peraturan Tata Tetib DPR. Pasal 42.

__________. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.24 Tahun 2003,LN. 98 Tahun 2003, TLN.No.4316.

__________. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, No. 11 Tahun 2011, LN No.82 Tahun 2012, TLN No. 5234.

__________.Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No.8 tahun 2011, LN No.70 Tahun 2011, TLN No. 5266.

Hamzah, Andi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.

Mahkamah Konstitusi RI, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2011. ___________. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pengujian Pasal 77 huruf a

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentan Hukum Acara Pidana.Putusan MK No.21/PUU-XII/2014.

Internet

Achmad, Fazli Zulfikar. Putusan MK Terkait Praperadilan Belum Dapat dijalankan, http://news.metrotvnews.com//, diakses pada tanggal 26 Agustus 2015.

Ihsanuddin, Artikel, MK Putuskan Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan,


(5)

http//nasional.kompas.com//Mk-Putuskan-Penetapan-Tersangka-sebagai-Objek-Praperadilan, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015.

Indriani, Tri Yuanita, Artikel, Akademisi: Kita Bisa Menarik Manfaat dari Putusan Praperadilan BG, http://www.hukumonline.com//, diakses pada tanggal 27 Agustus 2015.

Indonesia Hukum , http://www.bbc.com/indonesia/ berita_indonesia diakses pada tanggal 9 Oktober 2015 Pukul 14.36.

Israa, Saldi, Negative Legislator. www.saldiisraa.co.id. artikel diakses pada tanggal 13 Agustus 2015.

Mahkamah Konstitusi, Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n,http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page.website. Profil SejarahMK diunduh pada 1 September 2015

Mahkamah Konstitusi, Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id /index .php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 September 2015

Saksi Ahli Jaksa mendukung Dahlan Iskan, http://www.kaltimpost.co.id// Diakses pada tanggal 26 Agustus 2015 pada pukul 21.19.


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

0 54 88

Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/Puu-Vi/2008)

0 27 119

Tinjauan Hukum Tentang Praperadilan Atas Status Tersangka Dalam Perkara Pidana Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

0 4 73

ANALISIS HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI YANG MENOLAK PENGUJIAN MATERIL TErHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1992 TENTANG PERFILMAN.

0 0 6

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 7/PUU-XI/2013 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI (KAJ.

0 1 1

TESIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT DENGAN PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN

0 0 169

IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN TERSANGKA SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP SISTEM PERADILAN PIDANA Baktiar Ihsan Agung N 148040013 Hukum Pidana ABSTRAK - IMPLIKASI PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN

0 0 8