III. TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Definisi
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu peradangan tulang vertebra yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosa.
11
III.2. Sejarah
Tuberkulosa dapat muncul dalam berbagai bentuk, termasuk yang menyerang tulang dan menyebabkan deformitas skeletal. Jaringan keras seperti tulang dapat dipertahankan selama
beribu tahun, memungkinkan identifikasi individu dengan tuberkulosa tulang yang meninggal lebih dari 4.000 tahun lalu. Dijumpainya tulang yang terkubur yang disertai deformitas pada
mesir kuno menunjukkan bahwa penyakit ini sering dijumpai pada populasi tersebut. Penemuan tulang dengan deformitas yang serupa pada berbagai daerah di Italia, Denmark dan negara-negara
di timur tengah juga menunjukkan bahwa tuberkulosis dijumpai di seluruh dunia sejak 4000 tahun yang lalu.
12
Penyakit ini pertama kali diuraikan oleh Percival Pott pada tahun 1779 yang menemukan adanya hubungan antara kelemahan ekstremitas bawah dengan kurvatura tulang belakang, tetapi
hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882, sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
13
III.3. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di
negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan
kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama.
13
Berdasarkan data surveilans dan survei, WHO memperkirakan terdapat 9.27 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2007 139 per 100.000 populasi. Dari 9.27 kasus baru ini,
diperkirakan 44 atau 4.1 juta 61 per 100.000 populasi adalah kasus baru dengan smear-positif. India, China, Indonesia, Nigeria dan Afrika Selatan menduduki peringkat pertama hingga kelima
dalam hal jumlah total insiden kasus. Menurut laporan WHO tahun 2009, insidensi tuberkulosa di Indonesia pada tahun 2007 adalah 528.000 kasus atau 228 per 100.000 populasi per tahun. Dari
jumlah ini, 236.000 merupakan kasus dengan smear positif atau 102 per 100.000. Prevalensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2007adalah 566.000 atau 244 per 100.000 populasi per
tahun.
14
Universitas Sumatera Utara
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10 kasus
13
, dan lebih kurang 50 kasus tuberkulosa tulang adalah spondilitis tuberkulosa.
10
Lebih kurang 45 pasien dengan keterlibatan spinal mengalami defisit neurologis.
6
Tulang belakang adalah daerah yang paling sering terlibat, yaitu 50 dari seluruh kasus tuberkulosa tulang, 15 dari kasus tuberkulosa ekstrapulmonal dan 3-5 dari seluruh
kasus tuberkulosa.
15
Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, namun tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban weight bearing dan mempunyai pergerakan cukup besar mobile lebih
sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang, diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-
tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena.
13
Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah umumnya T10 dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat
9,13
karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu diikuti dengan area servikal dan sakral.
13
Insidensi keterlibatan daerah servikal adalah 2-3.
9
Pada penelitian oleh Androniku, et al 2002, terhadap 42 pasien spondilitis tuberkulosa, destruksi korpus vertebra paling sering melibatkan
vertebra torakalis 83, diikuti vertebra lumbal 23 dan vertebra servikal 13.
8
III.4. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil. Bakteri yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis Mt, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab, seperti Mycobacterium africanum
penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat, bovine tubercle baccilus,ataupun non- tuberculous mycobacteria
banyak ditemukan pada penderita HIV.
13
Mycobacteria adalah bakteri aerob, berbentuk batang yang tidak membentuk spora.
Dalam jaringan, basil tuberkel merupakan batang ramping lurus berukuran kira-kira 0.4 X 3 m.
Walaupun tidak mudah diwarnai, jika telah diwarnai bakteri ini tahan terhadap penghilangan warna oleh asam atau alkohol dan karena itu dinamakan basil ”tahan asam”. Teknik pewarnaan
Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri ini. Terdapat tiga formulasi umum yang
dapat dipergunakan untuk perbenihan, yaitu agar semi sintetik misalnya middlebrook, perbenihan telur tebal misalnya Lowenstein-Jensen, dan perbenihan kaldu. Biakan positif dapat
dideteksi dalam waktu 3-6 minggu.
16,17
Dinding Mt sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi. Penyusun utama dinding sel Mt adalah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang disebut cord factor
Universitas Sumatera Utara
dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Unsur lain adalah polisakarida seperi arabinogalaktan dan arabinomanan. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan
sitoplasma yaitu komponen lipid,polisakarida dan protein.
12,18
III.5. Patogenesa
Tuberkulosis biasanya memiliki pola seperti yang diuraikan oleh Wallgreen, yang membagi perkembangan dan resolusi penyakit menjadi 4 tahap. Tahap pertama, yang
berlangsung dari 3 hingga 8 minggu setelah Mt yang terhirup tertahan di alveoli, bakteri tersebar melalui sirkulasi limfatik ke kelenjar limfe regional di paru, membentuk apa yang disebut sebagai
kompleks Ghon atau kompleks primer. Pada saat ini, terdapat konversi reaktivitas tuberkulin.
12
Individu dengan tuberkulosa paru aktif mengeluarkan droplet yang mengandung basil tuberkul yang dapat dihirup oleh individu lain gambar 1. Jika droplet ini memasuki ruang
alveolar, sel dendritik paru dan makrofag akan menangkap mikroorganisme. Beberapa makrofag yang terinfeksi akan tetap pada jaringan paru, sedangkan beberapa sel dendritik yang terinfeksi
akan bermigrasi ke kel limfe. Sel T di kelenjar limfe akan teraktivasi dan bermigrasi untuk mengenali fokus mycobacteria di paru. Lesi granulomatosa terbentuk dan mengandung bakteri,
mencegah perkembangan penyakit. Pada pasien dengan imunokompeten, infeksi berhenti pada tahap ini. Walapun begitu, kontrol infeksi tidak lengkap dan patogen tidak dimusnahkan,
sehingga terdapat risiko reaktivasi, bahkan bertahun-tahun setelah infeksi.
19
Gambar 1. Infeksi, perjalanan penyakit dan mekanisme imun pada tuberkulosis
Dikutip dari : Kaufmann S H. New Issue in tuberculosis. Ann Rheum Dis. 2004 ;63Suppl II : ii50-ii56
Universitas Sumatera Utara
Tahap kedua, berlangsung selama 3 bulan, ditandai oleh penyebaran bakteri secara hematogen ke berbagai organ; pada saat ini pada beberapa individu, dapat terjadi penyakit akut
dan kadang-kadang fatal, dalam bentuk meningitis tuberkulosa atau tuberkulosa milier. Inflamasi pada pleura dapat terjadi pada tahap ketiga, yang berlangsung 3 hingga 7 bulan dan menyebabkan
nyeri dada berat, namun tahap ini dapat berlangsung hingga 2 tahun. Tahap akhir atau resolusi kompleks primer, dimana penyakit ini tidak berkembang, dapat berlangsung hingga 3 tahun. Pada
tahap ini, lesi ekstrapulmonal yang lebih perlahan berkembang, misalnya pada tulang dan sendi, yang sering muncul sebagai nyeri punggung kronik dapat terjadi pada beberapa individu.
12,20
Spondilitis tuberkulosa biasanya terjadi akibat penyebaran hematogen atau penyebaran langsung dari nodus limfatikus paraorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus infeksi
tuberkulosa ekstraspinal.
13,21
Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
13
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri interkostalis atau lumbal yang memberikan suplai darah ke dua vertebra yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra di atasnya
dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena.
13,22
Lesi mendasar pada spondilitis tuberkulosa adalah kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang biasanya melibatkan lebih dari satu vertebra. Aspek anterior dari corpus vertebra
yang berdekatan dengan subchondral plate biasanya terkena. Tuberkulosa dapat menyebar dari daerah tersebut ke diskus intervertebralis di dekatnya. Pada orang dewasa, penyakit pada diskus
terjadi sekunder akibat penyebaran infeksi dari korpus vertebra. Pada anak-anak, karena vaskularisasinya, diskus dapat merupakan tempat infeksi primer.
21
Seperti yang diuraikan sebelumnya, penyebaran basil tuberkulosa secara hematogen merupakan hal utama dalam patogenesis spondilitis tuberkulosa. Keterlibatan langsung dari
suatu tempat paraspinal yang berdekatan jarang dijumpai. Penyebaran vena retrograde melalui pleksus Batson’s, yang berjalan secara subchondral pada korpus vertebra dan mengalirkan darah
pada vena basivertebral di tengah korpus vertebra, telah diusulkan, namun tampaknya kurang diterima. Hal yang lebih umum diterima adalah bahwa penyebaran hematogen terjadi melalui
jalur arteri. Pada orang dewasa, korpus vertebra memiliki suplai arteri anterior dan posterior. Di anterior, arteri lumbal, interkostal atau vertebra yang berdekatan bercabang menjadi sepasang
arteri segmental yang menembus ke korteks vertebra tanpa arteriol anostomose. Di posterior, arteri spinal bercabang pada tiap foramen intervertebral dan membentuk jaringan anastomotik
kraniokaudal dengan level yang berdekatan. gambar 2a. Arteri nutrien, yang mensuplai vertebra, bercabang menjadi end arterioles yang berakhir ke aspek anterior dari vertebral end
Universitas Sumatera Utara
plates . Mycobacteria dapat terperangkap tertahan di arteriol ini. gambar 2b. Perluasan lebih
lanjut dari infeksi akan mengganggu korteks dan menyebar ke celah diskus yang berdekatan gambar 2c. Ini menyebabkan sedikit penyempitan celah diskus, namun sangat minimal jika
dibandingkan dengan penyempitan diskus pada spondilitis piogenik. Seiring dengan perkembangan infeksi, bagian lateral dan anterior dari korpus vertebra dapat hancur dan
menyebabkan kolaps angular. Penyebaran subligamentosa lebih lanjut di bawah ligamen longitudinalis anterior menyebabkan perluasan kraniokaudal dari infeksi ke multipel korpus
vertebra yang berdekatan, dengan ciri destruksi tulang anterior.
5
Gambar 2. Patogenesis Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.
Universitas Sumatera Utara
Terjadinya nekrosis perkijauan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avaskular sehingga menimbulkan tuberculous
sequestra , terutama di regio torakal. Diskus intervertebralis yang avaskular relatif lebih resisten
terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan
timbulnya end arteritis yang menyebabkan tulang menjadi nekrosis.
13
Bersamaan dengan perubahan pada tulang, terdapat infeksi jaringan lunak dengan pembentukan abses ’dingin’ paravertebral danatau keterlibatan epidural. Abses paraspinal dapat
menjadi sangat besar sehingga menekan struktur sekitarnya.
5
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi
tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinalis anterior.
13
Pada kasus infeksi servikalis atas, abses paravertebral dapat terlihat sebagai abses retrofaring.
5
Gambar 3. Penyebaran basil tuberkel pada vertebra
McLain RF, Isada C. Spinal Tuberculosis Deserves A Place On The Radar Screen. Cleveland Clinic Journal of Medicine.2004; 71:537-49.
Universitas Sumatera Utara
Infeksi Bakteri dan Patologi Tulang
Sejumlah bakteri, termasuk Mt, tampaknya terlibat dalam patologi tulang. Terdapat tiga kemungkinan bagaimana bakteri menyebabkan hilangnya tulang yang patologis yaitu : 1 bakteri
secara langsung menghancurkan komponen nonseluler tulang dengan membebaskan asam dan protease; 2 bakteri menyebabkan proses seluler yang menstimulasi degradasi tulang, atau 3
bakteri menghambat sintesis matriks tulang gambar 4.
23
Gambar 4. Komponen Bakteri dan Patologi Tulang
Nair S P, Meghi S, Wilson M, et al. Bacterially induced bone destruction : mechanisms and misconceptions. Infection and Immunity. 1997 ; 64 7 : 2371-2380.
Tidak diketahui secara pasti bagaimana infeksi Mt pada tulang menyebabkan penghancuran tulang. Tulang yang sehat dipertahankan oleh keseimbangan dinamis antara sel
osteoblast yang membentuk matriks tulang dan sel osteoclast yang meresoprsi tulang. Infeksi Mt
pada tulang belakang tampaknya mengubah keseimbangan dinamis ini, menyebabkan hilangnya matriks ekstraseluler dari tulang vertebra dan kolaps vertebra.
24
Sekarang telah diketahui bahwa bakteri yang terlibat dalam penyakit tulang mengandung atau memproduksi molekul dengan efek poten terhadap sel tulang. Salah satu dari molekul ini
adalah chaperonin, yang merupakan subgrup chaperones.
24
Chaperones atau protein stres atau
heat-shock protein adalah protein yang disintesis sebagai respon terhadap stres. Chaperone
terlibat dalam berbagai fungsi seluler esensial, seperti metabolisme, pertumbuhan, diferensiasi dan kematian sel terprogram, dan mempengaruhi aktivasi enzim dan reseptor. Salah satu subgrup
Universitas Sumatera Utara
chaperone , yaitu chaperonin , kini banyak menjadi fokus perhatian. Chaperonin terdiri dari dua
kelompok protein, yaitu chaperonin 60 cpn60 dan chaperonin 10 cpn10.
25
Bukti menunjukkan bahwa molekul chaperone memiliki aksi biologis selain aktivitas untuk protein-folding intraseluler.
24
Aktivitas yang sangat poten dari cpn60 adalah resorpsi tulang. Hilangnya tulang adalah faktor kunci pada penyakit spondilitis tuberkulosa.
25
Chaperonin60 adalah faktor osteolitik yang aktif. Telah dilaporkan bahwa cpn60 tertentu juga
dapat menstimulasi sintesis sitokin. Penelitian terkini menunjukkan bahwa kerja dari cpn60 pada tulang mungkin disebabkan oleh aktivasi langsung osteoklas dan perekrutan osteoklas.
23
Dalam suatu studi ditemukan bahwa aktivitas resorpsi tulang dari Mt disebabkan oleh cpn10 yang sama aktifnya dengan sitokin osteolitik yang paling poten, interleukin-1. Chaperonin
10 dari Mt juga menghambat proliferasi dari osteoblas yang dikultur.
24
Selain menstimulasi penghancuran tulang secara in vitro dan pada kultur sel, cpn10 Mt juga menginduksi monosit
secara invitro untuk mensintesa dan mensekresi sitokin pro-inflamasi.
25
Cpn10 dipostulasikan sebagai komponen utama yang bertanggung jawab terhadap resorpsi tulang pada spondilitis
tuberkulosa.
26
III.6. Patofisiologi
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian
akan terjadi kolaps vertebra dan timbul deformitas berbentuk kifosis angulasi posterior yang progresifitasnya tergantung dari derajat kerusakan,level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat.
Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.
13
Deformitas kifosis disebabkan kolaps pada vertebra anterior. Suatu abses dingin dapat terbentuk jika infeksi meluas ke ligamen dan jaringan lunak di dekatnya.
21
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal; di area lumbal hanya tampak
sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan akan ditransmisikan ke posterior sehingga terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps
hanya bersifat minimal.
13,21
Sejumlah mekanisme yang menimbulkan defisit neurologis dapat timbul pada pasien dengan spondilitis tuberkulosa.Kompresi syaraf sendiri dapat terjadi karena kelainan pada tulang
kifosis atau pada kanalis spinalis karena perluasan langsung dari infeksi granulomatosa tanpa keterlibatan tulang. Kanalis spinalis dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi atau invasi
dura secara langsung, menyebabkan kompresi medula spinalis dan defisit neurologis.
13,27,28
Universitas Sumatera Utara
Fakta bahwa defisit neurologis sering dijumpai pada daerah servikal dapat dijelaskan oleh diameter melintang kanalis spinalis yang relatif kecil terhadap diameter medula spinalis
servikalis. Gejala neurologis dapat disebabkan oleh satu atau lebih penjelasan berikut : subluksasi vertebra, penekanan medula spinalis oleh tulang, diskus atau abses, respon inflamasi lokal dan
vaskulitis tuberkulosa.
9
III.7. Gambaran Klinis
Gambaran klinis dari spondilitis tuberkulosa sangat bervariasi. Tipe dan intensitas gejala bergantung pada level keterlibatan spinal, keparahan penyakit dan durasi infeksi.
6
Pasien biasanya muncul dengan kombinasi dari manifestasi sistemik seperti penurunan berat badan,
demam, fatigue dan malaise dan nyeri punggung.
1,6
Rasa nyeri bervariasi dari ringan dan menetap hingga berat dan berhubungan dengan aktivitas. Nyeri biasanya terlokalisir pada tempat yang
terlibat dan paling sering dijumpai pada vertebra torakalis. Nyeri dapat bersifat konstan dan ringan, menggambarkan destruksi progresif dari celah diskus dan elemen vertebra yang terlibat,
atau dapat juga berat dan secara langsung berhubungan dengan pergerakan spinal dan weight- bearing
, yang disebabkan oleh disrupsi diskus lebih lanjut dan instabilitas spinal, kompresi akar saraf atau fraktur patologis.
6
Abses dalam kanalis spinalis dapat menekan medula spinalis, dan gejala neurologis dapat muncul dengan cepat. Bergantung pada level keterlibatan,abses spinal dapat menyebabkan gejala
penekanan akar saraf, menyerupai herniasi diskus atau dapat menyebabkan kompresi medula spinalis yang progresif menyebabkan paraplegia atau tetraplegia jika tidak ditangani.
6
Gejala neurologis dari keterlibatan spinal tampak tidak jelas pada awalnya, namun akan berkembang seiring waktu. Level keterlibatan medula spinalis menentukan level gangguan. Jika
tuberkulosis servikal berkembang dan menyebabkan kompresi medula spinalis atau akar saraf, tanda-tanda awal adalah kelemahan, nyeri, dan kebas pada ekstremitas atas dan bawah.
Deformitas atau abses pregresif kemudian akan meningkatkan tekanan pada medula spinalis, dan gejala akhirnya berkembang menjadi tetraplegi.
6
Spondilitis tuberkulosa servikalis merupakan gambaran yang jarang dijumpai, namun lebih serius karena komplikasi neurologis yang serius lebih cenderung terjadi. Kondisi ini
dicirikan dengan nyeri dan kaku pada leher. Pasien dengan lesi yang melibatkan vertebra servikal bawah dapat mengalami disfagi atau stridor. Gejala dapat mencakup tortikolis, suara parau dan
defisit neurologis.
21
Hampir semua pasien dengan spondilitis tuberkulosa menunjukkan berbagai derajat deformitas vertebra kifosis. Defisit neurologis dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit, yang
Universitas Sumatera Utara
bergantung pada level kompresi medula spinalis. Spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis atas dapat menyebabkan gejala yang berkembang cepat. Abses retrofaring
dijumpai pada hampir semua kasus. Manifestasi neurologis terjadi pada awal penyakit dan bervariasi dari kelumpuhan saraf tunggal hingga hemiparese atau tetraparese.
21
Banyak penderita spondilitis tuberkulosa 62-90 pasien pada suatu studi tidak menunjukkan bukti adanya
tuberkulosis ekstraspinal, yang menyulitkan diagnosis yang segera.
21
III.8. Prosedur Diagnostik
Diagnosis spondilitis tuberkulosa harus dijajaki jika terdapat kecurigaan klinis, bahkan jika tidak dijumpai gambaran radiologi paru yang mendukung. Spondilitis tuberkulosa juga harus
selalu diduga jika gambaran radiologis menunjukkan proses destruksi vertebra.
21
Algoritma diagnostik untuk infeksi tulang belakang dapat dilihat pada gambar 5. Terlepas dari agen penyebabnya, gejala klinis yang paling sering adalah nyeri punggung dan spasme otot
para vertebral.
29
Gambar 5. Algoritma Diagnostik Infeksi Tulang Belakang
Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 4 : 471-479.
III.8.1. Anamnese
Bukti-bukti infeksi tuberkulosa primer harus dijajaki. Demam berulang, menggigil, keringat malam atau penurunan berat badan menunjukkan adanya penyakit sistemik yang bersifat
granulomatosa atau piogenik misalnya akibat stafilokokus, streptokokus, haemophilus atau
Universitas Sumatera Utara
Escherichia coli . Perjalanan penyakit yang lebih bersifat perlahan mendukung diagnosis
penyakit granulomatosa. Pasien dengan immunocompromised, akibat obat-obatan atau infeksi
HIV, memiliki risiko tinggi untuk menderita tuberkulosa aktif.
6
Gambaran adanya penyakit sistemik, berupa kehilangan berat badan,keringat malam,demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia
mendukung adanya infeksi tuberkulosa. Begitu pula jika dijumpai riwayat batuk lama lebih dari tiga minggu berdahak atau berdarah disertai nyeri dada.
13
Pasien biasanya mengeluhkan nyeri punggung,baik berupa nyeri yang terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar. Infeksi yang mengenai tulang
servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke lengan. Lesi di torakal atas akan menyebabkan nyeri yang terasa di dada atau interkostal. Pada lesi di bagian
torakal bawah maka nyeri dapat berupa menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya
menjadi kaku. Pola berjalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
13,20
Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu
tangannya,sementara tangan lainnya di oksipital. Kekakuan pada leher pada bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis tortikolis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakea sehingga akan menyebabkan
kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medula spinalis pada orang dewasa akan menyebabkan tetraparesis.
13
III.8.2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tulang belakang dapat menunjukkan adanya nyeri tekan pada prosesus spinosus
6
dan spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
13
Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit di atasnya terasa sedikit hangat disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas. Dapat
dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retrofaring, atau di sisi leher di belakang otot sternokleidomastoideus, tergantung dari level lesi.
13
Tes range-of-motion ROM menyebabkan nyeri yang sangat hebat, dan pasien dapat terlihat bertahan secara agresif terhadap gerakan memutar, membungkuk atau meluruskan. Pasien
biasanya merasa lebih nyaman berbaring dan mengalami gejala yang lebih berat jika berdiri tegak
Universitas Sumatera Utara
dan berjalan.
6
Pada penyakit tahap lanjut, kifosis fokal dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, biasanya pada tulang belakang midthoracic hingga thoracolumbar. Angulasi tajam menyebabkan
penonjolan prosesus spinosus pada level kolaps vertebra, menyebabkan pasien harus membungkuk ke depan.
6
III.8.3. Pemeriksaan Penunjang III.8.3.1. Laboratorium Darah
Dapat dijumpai peningkatan laju endap darah tidak spesifik, dari 20 sampai lebih dari 100mmjam. Pemeriksaan apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang
bersifat relatif.
13
III.8.3.2. Radiologis III.8.3.2.1. Foto Polos Vertebra
Foto polos anterior-posterior dan lateral merupakan pemeriksaan imejing awal yang dilakukan pada tiap pasien dengan nyeri punggung kronis dan progresif. Pada pasien dengan
spondilitis tuberkulosa, gambaran radiologis bergantung pada luas dan durasi infeksi. Gambaran radiologis awal dapat terlihat normal pada penyakit tuberkulosis, namun seiring perjalanan
waktu, penyempitan celah diskus dan reaksi end-plate dapat menjadi gambaran yang menonjol.
6
Foto polos harus dievaluasi untuk destruksi tulang, sklerosis tulang, disrupsi end- plate
,destruksi pedikel, diskus intervertebralis dan jaringan lunak paravertebral.
28
Gambaran radiologis yang mendukung diagnosis tuberkulosis mencakup keterlibatan banyak level, relatif
tidak terkenanya diskus intervertebralis, abses paravertebral yang besar, dan penyebaran subligamentosa.
2
Gambar 6. Foto Polos Vertebra pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Harisinghani M G, McLoud T C, Shepard J, et al. Tuberculosis from Head to Toe. Radiographics. 2000 ; 20 : 449-470
Universitas Sumatera Utara
Destruksi endplate dan destruksi korpus vertebra adalah dua tanda yang paling bermanfaat pada foto polos untuk mendiagnosa spondilitis tuberkulosa dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi 79. Adanya jaringan lunak paravertertebral dan destruksi pedikel memiliki spesifisitas yang tinggi namun sensitifitas yang rendah, sedangkan penyempitan diskus
memiliki sensitifitas yang tinggi namun spesifisitas yang rendah. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas dari foto polos adalah 82.8 dan 83.9 secara berurutan. tabel 1
28
Tabel 1.
Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran Foto Polos Vertebra Pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 908 : 1581- 1589
Pada foto polos, temuan dini yang paling sering adalah penyempitan diskus dan osteolisis vertebra. Kemudian diikuti dengan bayangan paravertebra, kolaps vertebra dan angulasi vertebra
pada kasus lanjut. Abnormalitas ini mungkin tidak dijumpai pada foto polos hingga 8 minggu.
28,30
III.8.3.2.2. Computed Tomography Scan CT Scan
Kalsifikasi di sekitar paraspinal paling baik terlihat dengan CT Scan, yang juga paling baik untuk menunjukkan sejumlah fragmen tulang kecil yang mungkin masih berada di daerah
tulang yang rusak. CT scan juga paling baik menunjukkan perluasan anatomis dari destruksi tulang, terutama elemen posterior dan juga membantu untuk mengklarifikasi apakah gangguan
pada kanalis spinalis disebabkan oleh keterlibatan jaringan lunak atau tulang.
30
III.8.3.2.3. Magnetic Resonance Imaging MRI
Magnetic resonance imaging MRI adalah modalitas pilihan untuk evaluasi adanya
infeksi tulang belakang.
31
Magnetic resonance imaging adalah metode investigasi pilihan untuk
diagnosis spondilitis karena berbagai keuntungannya, mencakup sensitifitas yang tinggi pada tahap awal, gambaran epidural dan paravertebral yang lebih jelas, keterlibatan medula spinalis
dan kemungkinan untuk membedakan infeksi tuberkulosa dari yang lain.
28
Mycobacterium tuberculosis membentuk tuberkel dengan nekrosis central caseating yang
menunjukkan intensitas sinyal intermediat pada gambaran T2-weighted. Spondilitis tuberkulosa menunjukkan derajat edema marrow yang kurang luas dibandingkan spondilitis piogenik.
32
Universitas Sumatera Utara
Pada MRI, berbagai gambaran yang perlu dievaluasi adalah intensitas sinyal dari vertebra dan diskus intervertebralis yang terlibat pada T1W, T2W dan gambaran contrast-enhanced,
destruksi korpus vertebra dan vertebral end plate, luasnya keterlibatan korpus vertebra, massa jaringan lunak paraspinal atau pembentukan abses, derajat gangguan kanalis spinalis dengan atau
tanpa kompresi akar saraf atau medula spinalis dan alignment vertebra.
28
Penelitian oleh Kotze dkk 2006 terhadap gambaran MRI 23 pasien spondilitis tuberkulosa yang telah dikonfirmasi secara histologis dan menemukan gambaran sebagai berikut :
pembentukan abses paravertebral yang melibatkan banyak level, penyebaran subligamentosa ke berbagai level, hiperintensitas pada vertebra yang terkena pada gambaran T2 dan hipointensitas
vertebra yang terkena pada gambaran T1.
27
Perubahan radiologis tipikal adalah perubahan pada dua korpus vertebra yang berdekatan dengan destruksi diskus intervertebralis dan adanya abses paravertebral. Gambaran MRI dengan
sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi 80 adalah disrupsi endplate 100,81.4, jaringan lunak paravertebral 96.8, 85.3 dan intensitas sinyal tinggi pada diskus intervertebralis pada
T2W 80.6, 82.4. Tanda pada MRI dengan sensitifitas tinggi namun spesifisitas rendah adalah edema bone marrow 90.3, 76.5, bone marrow enhancement 100, 42.5,
keterlibatan elemen posterior 93.5, 76.5, stenosis kanalis 87.1, 26.5 dan kompresi medula spinalis atau akar saraf 980.6, 38.2. Gambaran MRI dengan sensitifitas yang rendah
namun spesifisitas tinggi adalah enhancement diskus intervertebralis 63.3, 84.2, kolaps vertebra 58.1, 85.3, dan deformitas kifosis 67.7, 82.4. Detail sensitifitas dan
spesifisitas tiap gambaran MRI terlihat pada tabel 2. Secara keseluruhan, sensitifitas dan spesifisitas MRI untuk spondilitis tuberkulosa adalah 100 dan 88.2 secara berturut-turut.
28
Tabel 2. Sensitifitas dan Spesifisitas Gambaran MRI pada Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Danchaivijitr N, Temram S, Thepmongkhol K, et al. Diagnostic accuracy of MR imaging in tuberculous spondylitis. J Med Assoc Thai. 2007 ; 908 : 1581- 1589
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7. Gambaran MRI Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari :Vuyst D, Vanhoenacker F, Gielen J, et al. Imaging features of musculoskeletal tuberculosis. Eur Radiol. 2003 ; 13 : 1809-1819.
III.8.2.4. Biopsi Jarum
Jika terdapat kecurigaan klinis terhadap adanya suatu spondilitis tuberkulosa dan gambaran radiologis menunjukkan lesi destruktif yang membutuhkan terapi bedah, maka
debridement lesi akan menyediakan materi yang cukup banyak untuk kultur dan diagnosis.
Namun, jika ditemukan pada awal perjalanan penyakit, mungkin tidak ada indikasi untuk intervensi bedah. Untuk kasus ini, biopsi jarum yang diarahkan dengan CT atau MRI dapat
memberikan material diagnostik. Dengan arahan imejing, jarum halus dapat ditujukan ke rongga abses melalui dinding otot posterior. Jika didapatkan cairan abses, cairan ini dapat ditarik melalui
jarum halus tanpa kesulitan. Jika dijumpai jaringan granulasi, mungkin diperlukan suatu trocar untuk memperoleh spesimen jaringan.
6
III.8.2.5. Konfirmasi Diagnostik
Jika muncul kecurigaan adanya spondilitis tuberkulosa, maka diperlukan pemeriksaan primer untuk infeksi sistemik.
6
III.8.2.5.1. Foto Toraks
Foto toraks dapat menunjukkan lesi apikal atau kompleks Ghon karakteristik dari adanya tuberkulosis paru.
6
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi tuberkulosis aktif adalah : bayangan berawannodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior
Universitas Sumatera Utara
lobus bawah; kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral.
18
III.8.2.5.2. Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin purified protein derivativePPD merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk adanya paparan penyakit namun tidak menunjukkan penyakit aktif atau menunjukkan
derajat infeksi. Tes ini juga dapat sedikit positif jika pasien pernah menerima vaksin BCG.
6
Di Indonesia, dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi,uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa.
18
Tes tuberkulin didasarkan pada fakta bahwa infeksi Mt menghasilkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat terhadap komponen antigenik tertentu dari organisme yang
terkandung dalam ekstrak filtrat kultur yang disebut ‘tuberkulin”. Sebagian besar konstituen PPD adalah protein kecil dengan massa molekuler lebih kurang 10.000 Da, namun juga dijumpai
polisakarida dan lipid. Ukuran konstituen pada PPD yang relatif kecil adalah alasan mengapa PPD tidak mensensitisasi individu yang tidak pernah terpapar terhadap mycobacteria.
1
III.8.2.5.3. Pemeriksaan Bakteriologis dan Kultur
Deteksi basil tahan asam secara mikroskopis pada sediaan yang telah diwarnai adalah bukti bakteriologis pertama dari adanya mycobacteria di spesimen klinis. Teknik ini merupakan
prosedur yang paling mudah dan paling cepat yang dapat dilakukan. Prosedur pewarnaan yang umum digunakan adalah metode carbolfuchsin, yang mencakup metode Ziehl-Neelsen dan
Kinyoun , dan prosedur fluorochrome menggunakan auramin-0 atau auramine-rhodamin.
Sejumlah studi kuantitatif menunjukkan bahwa harus terdapat 5.000 hingga 10.000 basil per mililiter spesimen untuk memungkinkan deteksi bakteri pada pewarnaan. Sebaliknya, 10-100
organisme dibutuhkan untuk kultur positif.
1
Diagnosis pasti dibuat jika dijumpai basil tuberkulosis tahan asam pada kultur sputum, urin atau bahan biopsi. Basil tuberkulosis tumbuh lambat pada kultur, sekitar 6-8 minggu.
6
Seluruh spesimen klinis yang dicurigai mengandung mycobacteria harus diinokulasi ke media kultur untuk empat alasan : 1. Kultur lebih sensitif dibanding mikroskopis, mampu mendeteksi
sampai sesedikit 10 bakteriaml material; 2 pertumbuhan organisme diperlukan untuk identifikasi spesies dengan tepat; 3 uji sensitifitas obat membutuhkan kultur organisme ; 4
genotyping organisme yang dikultur dapat bermanfaat untuk identifikasi hubungan epidemiologi
antara pasien atau untuk mendeteksi kontaminasi antar laboratorium. Secara umum sensitifitas kultur adalah 80-85, dengan spesifisitas lebih kurang 98.
1
Universitas Sumatera Utara
III.8.2.5.4. Metode Amplifikasi Asam Nukelat
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
18
Kemajuan dramatis dalam deteksi dan identifikasi Mt diperoleh dengan metode menggunakan teknik amplifikasi asam nukleat.
1
Beberapa tekniknya mencakup polymerase chain reaction PCR, transcription mediated amplification, strand dispalcement amplification, ligase chain rection
.
33,34
Tes PCR sangat spesifik untuk basil tuberkulosis dan memberikan konfirmasi cepat dari kultur yang positif.
6
Bahan pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ektraparu sesuai dengan organ yang terlibat.
18
Sensitifitas PCR untuk deteksi langusng Mt mencapai 80 sedangkan spesifisitasnya 97.
33
III.9. Diagnosa Banding
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosa cukup luas. Selain spondilitis piogenik, infeksi yang memiliki gambaran radiologis yang mirip adalah Salmonella typhi, brucella, jamur
actinomycosis, blastomycosis dan syphilis.Baik tumor jinak hemangioma, giant cell tumor, kista maupun tumor ganas Ewing’s sarcoma, osteosarcoma,multiple myeloma, metastase juga
termasuk dalam diagnosis banding.
2
Membedakan spondilitis tuberkulosa dari spondilitis piogenik biasanya cukup sulit. Secara klinis, infeksi tuberkulosis secara umum mengenai orang dewasa pada dekade keempat
dan kelima sedangkan insidensi puncak spondilitis piogenik adalah pada dekade keenam atau ketujuh. Batas halus dari abses dingin, yang memiliki penyebaran subligamentosa, berkebalikan
dengan batas irreguler dari abses piogenik, dimana enzim proteolitik dapat menghancurkan ligamen paraspinal. Keterlibatan korpus vertebra multipel lebih jarang dijumpai pada spondilitis
piogenik. Ukuran massa paraspinal biasanya lebih besar pada infeksi tuberkulosis dibanding infeksi piogenik. Kolaps korpus vertebra jarang dijumpai pada infeksi spinal piogenik namun
sering dijumpai pada spondilitis tuberkulosa. Pada tahap kronik, spondilitis tuberkulosa menunjukkan sinyal hiperintense korpus vertebra pada gambaran T1-weighted, sedangkan
spondilitis non-tuberkulosa menunjukkan intensitas sinyal rendah.
28
Gambaran klinis, laboratorium dan radiologis yang membedakan infeksi vertebra akibat infeksi baktetri,
tuberkulosis atau brucella terlihat pada tabel 4.
29
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinis, Laboratorium dan Radiologis pada Infeksi Vertebra
Dikutip dari : Kourbeti IS, Tsiodras S, Boumpas DT. Spinal infections : evolving concepts. Curr Opin Rheumatol. 2008 ; 20 4 : 471-479.
Lesi metastatik akibat malignansi sistemik merupakan kelainan yang harus dibedakan dari spondilitis tuberkulosa. Metastatik memiliki ciri tidak mengenai diskus, seperti halnya spondilitis
tuberkulosa. Bahkan karena spondilitis tuberkulosa juga tidak mengenai celah diskus dan dapat mengenai vertebra multipel, gambarannya dapat disalahartikan sebagai metastatik malignansi.
Faktor yang menunjukkan dan membedakan spondilitis tuberkulosa dari neoplastik adalah adanya abses paravertebral dan penyebaran subligamentosa. Walapun jarang, spondilitis fungal sulit
dibedakan dengan spondilitis tuberkulosa berdasarkan gambaran imejing dan gambaran klinis. Gambaran klinisnya mirip dan mencakup relatif tidak terkenanya diskus dan lesi paravertebral.
Tidak mungkin menegakkan diagnosis tanpa melakukan prosedur biosi dengan panduan CT scan untuk evaluasi histopatologis.
30
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Perbedaan Radiologis Spondilitis Tuberkulosa dan Piogenik
Dikutip dari : Manelfe C. Infections of the spine imaging.
Gambaran yang paling jelas membedakan spondilitis tuberkulosa dari piogenik adalah relatif tidak terkenanya diskus intervertebralis. Mycobacteria tidak memiliki enzim proteolitik
yang diumpai pada bakteri yang umumnya menyebabkan osteomielitis piogenik. Spondilitis tuberkulosa juga dapat dibedakan dari ciri abses paravertebral. Beberapa penulis meyakini bahwa
semakin besar abses yang terbentuk, semakin besar kecenderungan bahwa tuberkulosa adalah penyebabnya. Dinding abses tebal dan tampak enhancing secara ireguler pada gambaran MRI,
dan gambaran ini dianggap diagnostik untuk spondilitis tuberkulosa.
30
Tabel 5. Gambaran Radiologis Sugestif Tuberkulosa
Dikutip dari : Joseffer SS, Cooper PR. Modern imaging of spinal tuberculosis. J Neurosurg Spine. 2005 ; 2: 145-150.
III.10. Penatalaksanaan
Pada pasien dengan infeksi spinal, tujuan terapi adalah untuk menghilangkan penyakit dan untuk mencegah atau memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal.
6
Penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa masih kontroversi; beberapa penulis menganjurkan pemberian obat-
obatan saja sedangkan yang lain merekomendasikan pemberian obat-obatan dengan intervensi bedah. Penatalaksanaan optimal spondilitis tuberkulosa bersifat individual pada tiap kasus.
Universitas Sumatera Utara
Strategi manajemen optimal bergantung pada luas dan lokasi destruksi tulang, adanya deformitas spinal dan instabilitas, dan keparahan gangguan neurologis.
9
Dekompresi agresif, pemberian obat antituberkulosa selama 9-12 bulan dan stabilisasi spinal dapat memaksimalkan terjaganya fungsi
neurologis.
9
III.10.1. Penatalaksanaan MedisKonservatif 1.
Pemberian Nutrisi yang Bergizi
13
2. Istirahat dan Immobilisasi
Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakang dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan
untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sampai dicapai keadaan yang tenang dengan melihat
tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium.
13
Immobilisasi leher dapat dilakukan dengan menggunakan cervical brace selama 6-18 bulan.
20
3. Pemberian Obat Anti Tuberkulosa
Pemberian obat-obatan tetap menjadi prinsip utama penatalaksanaan pada individu dengan tuberkulosis. Awalnya dianggap bahwa tuberkulosa skeletal memerlukan penatalaksanaan
selama 12-18 bulan akibat penetrasi yang buruk dari obat antituberkulosis ke struktur tulang; walaupun begitu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa tuberkulosa skeletal dapat diterapi
dengan pemberian obat yang lebih singkat. Untuk infeksi spondilitis tuberkulosa tanpa komplikasi, British and American Thoracic Societies merekomendasikan pengobatan selama 6
bulan. Respon pengobatan dapat dinilai dengan radiologis, perbaikan nyeri punggung, dan kembalinya defisit neurologis,jika ada. Jika pasien tidak menunjukkan respon terhadap terapi,
pengobatan harus diperpanjang hingga 9-12 bulan. Terapi untuk individu yang sensitif terhadap obat terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial atau intensif selama 2 bulan dengan 4 jenis obat, yaitu
isoniazid H 5mgkgBBhari 10 mgkgBBhari hingga 300 mghari , rifampicin R 10 mgkgBBhari hingga 600 mghari, pyrazinamide Z 15-30 mgkgBBhari dan etambutol E
15-25 mgkgBBhari , diikuti dengan fase lanjutan 4-7 bulan, dengan isoniazid dan rifampicin.
13,15,21
Menurut The Medical Research Council, terapi pilihan untuk spondilitis tuberkulosa di negara yang sedang berkembang adalah isoniazid dan rifampicin selama 6-9 bulan.
13
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, lama pengobatan untuk tuberkulosa tulang
adalah 9-12 bulan, dengan panduan OAT yang diberikan adalah 2 RHZE 7-10 RH.
18
Universitas Sumatera Utara
III.10.2. Penatalaksanaan Bedah
Intervensi bedah diperlukan pada kasus lanjut dengan destruksi tulang ekstensif, pembentukan abses atau gangguan neurologis. Tujuan pembedahan adalah untuk mencegah atau
memperbaiki defisit neurologis dan deformitas spinal. Pembedahan juga memfasilitasi kemoterapi yang sukses, karena kavitas abses menimbulkan lingkungan yang melindungi basil
dari antibiotik sistemik. Ketika diperlukan pembedahan, hasilnya paling baik jika dilakukan pada awal proses penyakit, sebelum terbentuk fibrosis dan jaringan parut. Selanjutnya,pembentukan
jaringan parut yang padat menyebabkan perlekatan ke pembuluh darah besar atau struktur vital, menyebabkan diseksi dan paparan pembedahan menjadi berbahaya. Respon klinis terhadap
pembedahan juga lebih cepat dan lebih lengkap pada pasien dengan penyakit aktif jika dibandingkan dengan pasien dengan penyakit kronis dan deformitas.
6,36
Indikasi untuk pembedahan pada spondilitis tuberkulosa secara umum mencakup defisit neurologis perburukan neurologis akut, paraparesis, deformitas spinal dengan instabilitas atau
nyeri, tidak menunjukkan respon terhadap terapi medis kifosis atau instabilitas yang terus berlanjut, abses paraspinal yang besar, biopsi diagnsotik.
9,15,21
Indikasi pembedahan mencakup faktor klinis keterlibatan saraf, paraplegia, dan abses retrofaring besar yang menyebabkan gangguan ventilasi atau menelan, faktor pengobatan defisit
persisten atau progresif saat pemberian terapu konservatif yang sesuai, faktor imejing yaitu keterlibatan panvertebral skoliosis atau kifosis berat pada foto polos,destruksi global pada CT
atau MRI atau kompresi ekstradural kompresi medula spinalis akibat jaringan granulasi pada MRI dan faktor pasien spasme yang menyakitkan atau kompresi akar saraf.
2
Keterlibatan vertebra servikalis cukup jarang dan pasien biasanya menunjukkan gejala nyeri, kaku dan tortikolis. Abses yang besar dapat menyebabkan suara serak, stridor dan disfagia.
Indikasi untuk pembedahan adalah jika abses menyebabkan disfagia, stridor, atau kesulitan bernafas.
2
Pada spondilitis tuberkulosa yang melibatkan vertebra servikalis, faktor yang membenarkan intervensi bedah dini adalah defisit neurologis dengan frekuensi dan keparahan
yang berat, kompresi abses yang berat yang menyebabkan disfagi atau asfiksia, instabilitas vertebra servikalis.
21
Dengan indikasi yang tepat, tindakan bedah lebih unggul dalam mencegah perburukan neurologis, mempertahankan stabilitas, pemulihan dan mobilisasi segera. Oguz et al 2008
menerapkan suatu sistem klasifikasi untuk panduan terapi dan membagi spondilitis tuberkulosa menjadi tiga tipe. table 6
37
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Klasifikasi Spondilitis Tuberkulosa
Dikutip dari : Oguz E, Sehirlioglu A, Altinmakas M,et al. A new classification and guide for surgical treatment of spinal tuberculosis. International Orthopaedics. 2008 ; 32 : 127-133.
III.11. Prognosis
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.
13
Secara umum, prognosis untuk pemulihan cukup baik jika disfungsi neurologis berkembang secara bertahap dan memiliki durasi singkat. Prognosis buruk jika pasien menunjukkan
paraplegia komplit, perkembangan cepat, durasi gejala yang lama dan onset penyakit yang lambat.
2
IV. DISKUSI KASUS