PERSPEKTIF PENJATUHAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA MENURUT RANCANGAN UNDANGUNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012

(1)

ABSTRAK

PERSPEKTIF PENJATUHAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA MENURUT RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012

Oleh

Ayu Hervi Maharani

Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia nilai pidana denda sudah tidak sesuai dengan nilai mata uang saat ini. KUHP sudah dianggap ketinggalan zaman dan tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai dan ideologi bangsa Indonesia karena merupakan warisan kolonial. Permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut KUHP, dan bagaimanakah perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012.

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, prosedur pengumpulan data adalah data sekunder melalui penelusuran studi kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian. Sedangkan analisis data yang dilakukan secara deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa sistem penjatuhan pidana denda terhadap harta benda menurut KUHP adalah pidana denda dijatuhkan secara alternatif bersama dengan pidana lainnya. Dalam tindak pidana pencurian ringan, pada KUHP dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah. Apabila terpidana tidak dapat membayar pidana denda maka dapat dibayarkan oleh pihak ketiga atau dengan pidana penjara pengganti denda. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak


(2)

pidana pokok. Akan tetapi dalam pengaturannya pidana denda menggunakan sistem pengkategorian mulai dari Kategori I sampai dengan kategori VI. Selain itu pada RUU-KUHP ini dikenal sistem minimum khusus. Sistem minimum khusus dikonsepkan dalam RUU-KUHP guna menghindari disparitas pidana. Pada Pasal 594 yang mengatur mengenai pencurian Pidana denda yang diancamkan adalah pidana denda Kategori IV. Apabila terpidana tidak dapat membayarkan pidana denda yang dijatuhkan maka pidana denda dapat digantikan dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana penjara, atau dengan mengambil dari penghasilan terpidana. Adapun saran yang dapat penulis berikan yaitu pada sistem penjatuhan denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut KUHP hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 02 tahun 2002 dalam hal penjatuhan sanksi. Sedangkan Perspektif Penjatuhan Pidana Denda dalam Tindak Pidana Terhadap Harta Kekayaan Menurut RUU-KUHP Tahun 2012 penjatuhan pidana denda juga perlu melihat kepada kemampuan terpidana dalam membayarkan denda dan juga kerugian yang ditanggung oleh korban.


(3)

PERSPEKTIF PENJATUHAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA MENURUT RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012

Oleh

AYU HERVI MAHARANI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PERSPEKTIF PENJATUHAN PIDANA DENDA DALAM TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA MENURUT RANCANGAN UNDANG-UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG-UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012

(Skripsi)

Oleh

AYU HERVI MAHARANI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Kegunaan Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana dan Pemidanaan ... 13

B. Pidana Denda dan Pengaturannya di Indonesia ... 20

C. Tindak Pidana Terhadap Harta Benda ... 33

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Jenis dan Sumber Data ... 41

C. Penentuan Narasumber ... 43

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 43

E. Analisis Data ... 44

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 45

B. Sistem Penjatuhan Pidana Denda Dalam Tindak Pidana Terhadap Harta benda Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ... 46


(6)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 59 B. Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA


(7)

UNDANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Ayu Hervi Maharani No. Pokok Mahasiswa : 0912011011

Bagian : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Sunarto Dm, S.H., M.H. NIP.195411121986031003

Maya Shafira, S.H, M.H NIP. 19770601200512002

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Sunarto , S.H, M.H. ………..

Sekretaris/Anggota : Maya Shafira, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Firganefi, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(9)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan Hidayah

-Nya serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Papa dan Mama, sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik,

membesarkan, dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu

memberikan kasih dan sayangnya yang tulus dan memberikan do’a yang tak pernah

putus untuk setiap langkah yang penulis lewati serta yang tidak pernah

meninggalkan penulis dalam keadaan terburuk sekalipun.

Adik-adik ku Anggun Hervi Rahmania, Ajeng Hervi Puspita Sari, dan Arsya

Poetra Lasmono yang selalu menjadi motivasi penulis untuk selalu berpikir maju

dan sehat untuk masa depan yang jauh lebih baik dari sekarang.

Oma, Opa, mbah kakung dan mbah putri yang selalu mendukung serta mendoakan

penulis, dan yang selalu menasihati penulis.

Serta kepada seluruh keluarga besar penulis yang tidak dapat disebutkan satu

persatu untuk selalu mendo’akan dan mendukung keberhasilan penulis.

Ibu suwarni Prayogi dan Ibu Endang Soedarto yang telah membantu dan

mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

Almamaterku Tercinta Universitas Lampung


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 14 April 1992, merupakan putri sulung dari empat bersaudara pasangan Bapak Heru Lasmono, S.T dan Ibu Ovi Hendry Yette.

Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) Kartika II-25 pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) Kartika Jaya Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 10 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006, Sekolah Menengah Atas (SMA) Yayasan Pembina Universitas Lampung diselesaikan pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pidana denda merupakan salah satu jenis pidana yang telah lama diterima dan diterapkan dalam sistem hukum di berbagai negara dan bangsa di dunia. Akan tetapi, pengaturan dan tata cara penerapan pidana denda pada satu negara dengan negara lainnya memiliki perbedaan sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat di masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum Islam dan Hukum Adat yang dijalankan atau diterapkan di dalam kehidupan masyarakatnya sebagai pedoman. Di dalam Hukum Islam dan Hukum Adat, pidana denda yang dalam hal ini bersifat sebagai pengganti kerugian yang diakibatkan oleh suatu peristiwa pelanggaran hukum.1

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada Pasal 10, pidana dibagi menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana yang

1


(12)

berupa pembatasan gerak yang dilakukan dengan menutup pelaku tindak pidana dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku dalam Lembaga Pemasyarakatan yang dikaitkan dengan tindakan tata tertib bagi pelaku tindak pidana yang melanggar peraturan tersebut.2 Adapun proses peradilan pidana merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah Lembaga, seperti Lembaga Kepolisian, Lembaga Kejaksaan, Lembaga Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan yang berkenaan dengan penanganan pelaku tindak pidana.

Pada KUHP yang menganut Single Track System, yaitu penjatuhan sanksi hanya meliputi pidana yang bersifat penderitaan saja sebagai bentuk penghukumannya. Sedangkan Double Track System pada RUU-KUHP adalah penjatuhan sanksi tidak hanya mengatur mengenai sanksi pidana saja tetapi juga mengatur mengenai sanksi tindakan. Sanksi pidana dan sanksi tindakan merupakan dua jenis sanksi yang berbeda.3 Sanksi pidana lebih menekankan kepada unsur pembalasan sedangkan sanksi tindakan lebih berorientasi kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan. Penjatuhan pidana yang memiliki tujuan sebagai aspek pembalasan dan sebagai aspek perbaikan atau rehabilitasi. Akan tetapi pada prakteknya penjatuhan pidana lebih cenderung kepada pembalasan saja. Penjatuhan pidana penjara merupakan salah satu jenis pemidanaan yang digunakan kepada terpidana sebagai pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukannya. Dalam beberapa kasus pidana, ada yang

2

Andi Hamzah.1993.Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia.Jakarta.Pradnya Paramita.Hlm.27 3Ibid,


(13)

sebenarnya tidak perlu dijatuhkan nestapa berupa pidana penjara. Contohnya dalam kasus kejahatan terhadap kekayaan yang nilai kerugiannya dibawah dua juta lima ratus ribu rupiah.

Kejahatan terhadap harta benda sebagai contohnya adalah pencurian ringan, penipuan, dan penggelapan yang nilai kerugiannya kecil apabila dijatuhkan hukuman berupa pemidanaan yang dampaknya akan sangat luas. Seperti kasus pencurian 3 buah kakao yang dilakukan oleh seorang nenek bernama minah untuk ditanam di kebun kecil miliknya karena tidak memiliki uang untuk membeli bibit. Yang kemudian dilaporkan dan diproses secara hukum. Nenek minah dijatuhi hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari oleh hakim.4 Dan kasus-kasus lainnya yang sejenis dengan kasus tersebut. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu alternatif penjatuhan pidana selain dari pidana perampasan kemerdekaan. Seperti pidana denda yang dapat diefektifkan agar memiliki manfaat yang tidak kalah dengan pidana penjara.

Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP), pidana denda sudah dioptimalkan penggunaannya. Besaran nilai mata uang yang digunakan juga sudah disesuaikan dengan nilai mata uang saat ini, sehingga dalam penjatuhannya hakim tidak perlu ragu karena nilai mata uang yang sudah berbeda jauh dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pada Rancangan-Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pidana denda sudah dikategorikan sesuai dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan.

4


(14)

Berdasarkan pada uraian diatas makan penulis tertarik untuk mengambil judul skripsi “Perspektif Penjatuhan Pidana Denda Dalam Tindak Pidana Terhadap Harta benda Menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2012.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa permasalahan yang dapat dibahas lebih lanjut. Adapun beberapa permasalahan yang dapat diangkat dalam skripsi ini, yaitu:

a. Bagaimanakah sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)?

b. Bagaimanakah perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012?

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup penulisan skripsi ini dibatasi pada bidang Hukum Pidana Materiil khususnya meliputi subtansi penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2012 dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).


(15)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Untuk mengetahui bagaimana perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012.

1. Kegunaan Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memperkaya konsep dan teori yang terdapat membantu perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya dalam hal perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda.


(16)

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik dan benar, dan juga diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi akademisi serta kalangan praktisi hukum dalam bidang hukum pidana.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.5

Kerangka teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah teori absolut dan teori pembaharuan pidana. Teori absolut berorientasi ke belakang, maksudnya adalah pembalasan harus yang setimpal dengan perbuatan. Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana dalam hal ini merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.6 Teori ini adalah teori yang digunakan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

5

Soekanto, Soerjono.1986.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta.UI.Press.Hlm.124 6

Dewi, Erna.2011.Sistem Minimum Khusus Dalam Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Pustaka Magister.Semarang. Hlm.11


(17)

Teori Pembaharuan pidana menurut Barda Nawawi Arief adalah pembaharuan pidana pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral politik, sosio-filosifik, dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegak hukum.7 Pada pelaksanaannya penggalian ini bersumber kepada Hukum Adat, Hukum Pidana Positif, Hukum Agama, Hukum Pidana negara lain, serta kesepakatan Internasional mengenai materi Hukum Pidana. Pembaharuan pidana dapat dilandaskan pada tiga alasan yaitu alasan politik, alasan sosiologis dan alasan praktis. Dipandang dari sudut politik, Indonesia sudah seharusnya memiliki Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sesuai dengan Ideologi dan keadaan masyarakatnya. Sedangkan alasan sosiologisnya adalah pengaturan dalam hukum pidana merupakan cermin dari ideoligi politik suatu negara dalam hal ini Indonesia. Sedangkan alasan secara praktis adalah kenyataan bahwa teks resmi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih dalam bahasa Belanda, sehingga harus segera dilakukan pembaharuan pidana.

Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pidana denda diatur dalam Pasal 10 Jo Pasal 30. Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur mengenai pidana pokok dan pidana tambahan, pidana denda dalam hal ini masuk ke dalam pidana pokok. Sedangkan Pasal 30 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa:

7

Barda Nawawi Arief.1992.Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana.Jakarta.Pasca Sarjana Universitas Indonesia.Hlm.27


(18)

a Ayat (1), Pidana Denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen;

b Ayat (2), jika pidana denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan; c Ayat (3), lamanya pidana kurungan pengganti sedikitnya satu hari dan paling

lama enam bulan;

d Ayat (4), dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian: jika pidana denda tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen;

e Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena penggabungan atau pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52 dan 52a, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.

f Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. Pada delik pencurian pada Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pencurian diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda sebanyak Rp.900,00 (sembilan ratus rupiah).

Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) dikenal sistem minimum khusus. Dalam sistem minimum khusus ini delik-delik yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun sajalah yang dapat diberikan ancaman minimum khusus, karena delik tersebut dapat digolongkan sebagai delik yang sangat serius.8

8Opcit,


(19)

Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana juga menggunakan sistem pengkategorian pidana denda. Pengkategorian ini bertujuan untuk memudahkan penjatuhan pidana denda bila terjadi perubahan nilai mata uang.

Berikut ini merupakan nilai pidana denda dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) berdasarkan pengkategorian:

a Kategori I, pidana denda sejumlah Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);

b Kategori II, pidana denda sejumlah Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);

c Kategori III, pidana denda sejumlah Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); d Kategori IV, pidana denda sejumlah Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta

rupiah);

e Kategori V, pidana denda sejumlah Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); f Kategori VI, pidana denda sejumlah Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Delik pencurian dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) diatur dalam Pasal 594 sampai dengan pasal 600. Pada Pasal 594 Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) delik pencurian diancamkan dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda Kategori IV. Denda kategori IV berjumlah Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).


(20)

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti.9 Adapun istilah-istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perspektif adalah paradigma atau pandangan.10 Pola berpikir yang akan mensyarati kepahaman interpretatif seseorang secara individual atau sekelompok orang secara kolektif pada seluruh pengetahuan berikut teori-teori yang dikuasai dengan keyakinan sebagai teori yang sebenar-benarnya.

2. Pidana Denda adalah pidana berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan keputusan pengadilan.11

3. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai dengan ancaman berupa pidana tertentu bagi yang melanggarnya.12 4. Harta benda adalah barang atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang.13

E. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk membahas permasalahan yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan

9

Soekanto, Soerjono.1983.Sosiologi Suatu Pengantar.UI.Press.Jakarta 10

Kamus Besar Bahasa Indonesia.2002.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka. 11Ibid

, Kamus Besar Bahasa Indonesia. 12Ibid,

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 13Ibid


(21)

isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematika secara garis besar sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang tentang perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012, tersebut dapat ditarik suatu pokok permasalahan mengenai penjatuhan pidana denda menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) dan ruang lingkup, tujuan, dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis, dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman terhadap dasar hukum, pengertian-pengertian hukum mengenai pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis mengenai pidana denda. Yang membahas mengenai pidana dan pemidanaan, pidana denda dan pengaturannya di Indonesia.


(22)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang jenis dan tipe penelitian, pendekatan masalah secara yuridis normatif, data dan sumber data, pengumpulan dan pengolahan data, serta penganalisisan data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat tentang sistematika hasil penelitian mengenai sistem penjatuhan pidana denda menurut Kitab undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-undang- Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan pembahasan mengenai perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan, mengenai kesimpulan dan saran yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan dengan permasalahan yang telah dibahas.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan

Hukum pidana adalah aturan hukum, yang mengikatkan kepada suatu perbuatan pidana yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Pengertian Hukum pidana menurut Mezger tersebut memiliki dua hal pokok yaitu aturan hukum yang mengatur tentang perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan pidana.7 Yang dimaksud dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu adalah perbuatan tertentu tersebut harus merupakan perbuatan yang dilarang, dan perbuatan tertentu tersebut harus dilakukan oleh orang. Sedangkan yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.8 Hukum pidana dapat pula diartikan sebagai keseluruhan peraturan yang mengatur tentang tindak pidana, pertanggung jawaban pidana dan pidana.

Pengaturan pidana atau stelsel pidana menurut hukum positif Indonesia ditentukan dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambaha. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana

7

Tri Andrisman,S.H.M.H.2009.Hukum Pidana.Bandar Lampung.Universitas Lampung.Hlm.7 8Ibid,


(24)

kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Hukum pidana dapat dibagi menjadi Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil. Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturanyang menetapkan dan perumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, dan aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana, serta ketentuan mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum pidana yang mengatur kewenangan Negara melalui aparat penegak hukum melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana.9

Selain itu hukum pidana dapat pula dibedakan menjadi Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus. Hukum pidana umum memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang, sedangkan hukum pidana khusus memuat mengenai aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum yang menyangkut golongan atau orang tertentu dan berkaitan dengan jenis-jenis perbuatan tertentu.

Hukum pidana memiliki fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana adalah untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata kehidupan masyarakat, dan fungsi khusus dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang hendak mencederainya, dengan

9Ibid, Hlm.14


(25)

sanksi pidana yang sifatnya lebih tajam dari sanksi cabang hukum lainnya. Fungsi khusus dari hukum pidana dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fungsi, yakni10:

1. Fungsi Primer, yaitu sebagai sarana dalam penanggulangan kejahatan atau sarana untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat;

2. Fungsi Sekunder, yaitu untuk menjaga agar penguasa dalam menanggulangi kejahatan itu melaksanakan tugasnya sesuai dengan aturan yang digariskan dalam hukum pidana;

3. Fungsi Subsider, yaitu usaha untuk melindungi masyarakat dari kejahatan hendaknya menggunakan sarana atau upaya lain terlebih dahulu. Apabila dipandang sarana atau upaya lain ini kurang memadai barulah digunakan hukum pidana.

Dalam mempelajari hukum pidana perlu diketahui mengenai teori-teori tentang tujuan hukum pidana. Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai tujuan hukum pidana yaitu teori klasik, teori modern, dan teori neo-klasik. Teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut11:

1. Menurut teori klasik tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi individu atau warga masyarakat dari kekuasaan Negara atau penguasa.

2. Menurut aliran modern hukum pidana bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan atau memberantas kejahatan. Aliran ini disebut juga sebagai aliran positif karena mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan

10Ibid

, Hlm.23 11Ibid,


(26)

bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh masih dapat diperbaiki. Aliran modern ini berpendapat bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya selalu dipengaruhi oleh berbagai factor dari luar diri manusia tersebut seperti factor biologis dan lingkungan. Sehingga manusia tersebut tidak bebas dalam menentukan kehendaknya.

3. Menurut aliran Neo-Klasik yang berkembang pada awal abad ke-19 memiliki basis yang sama dengan aliran klasik, yaitu kepercayaan pada kebebasan kehendak manusia dalam melakukan perbuatannya (paham Indeterminisme). Dalam penjatuhan hukuman tidak semata-mata bersifat pidana, tapi bias pula berupa pembinaan atau tindakan yang bermanfaat bagi penjahat.

Pada hukum pidana dikenal pula teori-teori yang berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan tujuannya, yaitu12:

1. Teori Absolut

Menurut teori ini dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan kejahatan harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu. Teori ini dikenal juga dengan nama Teori Pembalasan.

2. Teori Relatif

Menurut teori ini tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Oleh karena itu teori ini dikenal pula dengan nama teori tujuan. Selanjutnya dijelaskan pula oleh teori ini tujuan dari pidana adalah untuk perlindungan

12Ibid


(27)

masyarakat atau memberantas kejahatan. Jadi menurut teori ini, pidana mempunyai tujuan tertentu tidak semata untuk pembalasan saja. Teori ini dibagi lagi menjadi teori prevensi umum dan teori prevensi khusus.

a. Teori Prevensi umum

Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk pencegahan yang ditujukan pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan, yaitu dengan ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang. Oleh karena tujan dari pidana ini adalah untuk menakuti masyarakat maka dibuat undang-undang yang mengaturnya dan pelaksanaan pidananya dilakukan dimuka umum.

b. Teori Prevensi Khusus

Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatannya. Menurut teori ini pidana yang harus dimodifikasi dan diorientasikan kepada penjatuhan tindakan-tindakan yang dapat merubah dan mendidik penjahat menjadi baik.

3. Teori Gabungan

Menurut teori ini pidana hendaknya merupakan gabungan dari tujuan pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

4. Teori Integratif

Teori integrative ini diperkenalkan oleh Prof.Dr.Muladi. Tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individu dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang harus


(28)

dipenuhi dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuitis. Perangkat tujuan yang dimaksud adalah pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakata, memelihara solidaritas masyarakat, dan pengimbalan atau pengimbangan.

Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana dijelaskan pula mengenai tujuan pemidanaan pada Pasal 54 sebagai berikut:

1. Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Anselm Von Feuerbach berpendapat bahwa asas yang penting bagi pemberian ancaman pidana yakni setiap penjatuhan pidana oleh hakim haruslah merupakan suatu akibat hukum dari suatu ketentuan menurut Undang-undang dengan maksud menjamin hak-hak yang ada pada setiap orang. Undang- undang harus memberikan suatu ancaman pidana berupa suatu penderitaan kepada setiap orang yang melakukan


(29)

pelanggaran hukum.13 Berdasarkan ketentuan tersebut maka ada tiga hal penting yang dikaitkan dengan pemidanaan14:

a. Nulla Poena Sine Lege (Setiap penjatuhan pidana harus didasarkan Undang-undang);

b. Nulla Poena Sine Crimine (Suatu penjatuhan pidana hanya dapat dilakukan jika perbuatan yang bersangkutan telah diancam dengan suatu pidana oleh Undang-undang);

c. Nullum Crimen Siena Poena Legali (Perbuatan yang telah diancam dengan pidana oleh Undang-undang dan jika dilanggar daoat berakibat dijatuhkannya pidana seperti yang diancamkan oleh Undang-undang terhadap pelanggarnya).

Pada hakikatnya pidana bertujuan selain melakukan perlindungan terhadap masyarakat juga bertujuan melakukan pembalasan atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Disamping itu pidana diharapkan sebagai suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat. Herbert L. Packer merinci teori yang berusaha memberikan pembenaran pemidanaan yakni Retribution, Utilitarian Prevention, Special Deterrence, Behavioral Prevention Incapacitation, Behavioral Prevention Rehabilitation.15

Pidana penyekapan (Behavioral Prevention: Incapacitation) sebagai sesuatu yang harus dilakukan agar yang bersangkutan tidak dapat lagi melakukan atau meneruskan

13

Jan Rammelink.2003.Hukum Pidana-Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Pidananya dalam KUHP Indonesia.Jakarta.PT.Gramedia Pustaka Utama.Hlm.605

14

DR.Suhariyono.2012.Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia.Jakarta.Papas Sinar Sinanti.Hlm.59 15Ibid


(30)

anti sosialnya, artinya dengan dijatuhi pidana maka yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan. Hukuman ini juga dikenal sebagai isolasi. Prinsip isolasi ini adalah daya besar dibelakang metode penyekapan dan pengasingan dari Lembaga Pemasyarakatan yang diwujudkan dalam susunan benteng dan tindakan keamanan yang ketat.

Pada Behavioral Prevention Rehabilitation, pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan. Pembinaan itu sendiri ditujukan untuk merehabilitasi terpidana sehingga ia dapat mengubah kepribadiannya agar menjadi orang baik yang taat pada hukum dikemudian hari. Teori rehabilitasi ini lebih berorientasi kepada pelanggar daripada pelanggarannya sendiri.

B. Pidana Denda dan Pengaturannya di Indonesia

Pidana denda adalah pidana berupa pembayaran sejumlah uang oleh terpidana berdasarkan keputusan pengadilan. Pidana denda di Indonesia pada dasarnya tidak hanya diawali dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebelumnya pidana denda berlaku dalam masyarakat adat di beberapa wilayah di Indonesia. Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana denda terdapat pada setiap masyarakat, termasuk masyarakat primitif, walaupun bersifat primitif pula. Slametmuljana menyatakan bahwa: “Pada Kerajaan Majapahit, pidana denda yang dijatuhkan kepada orang yang bersalah adalah sebagai berikut:


(31)

a. Pidana pokok yaitu, Pidana mati, pidana potong anggota badan orang yang bersalah, denda ganti kerugian atau pangligawa atau putukucawa.

b. Pidana tambahan yaitu, Tebusan, Penyitaan, Petibajampi (uang pembeli obat).”16

Pidana denda telah lama berkembang sejak abad ke 12. Pidana denda dikenal dan diterima dalam sistem hukum masyarakat bangsa-bangsa di dunia. Dalam perkembanganya, pidana denda ini seluruh pembayaranya dijatuhkan oleh hakim dan kemudian masuk kedalam kas Negara. Pada umumnya, pidana denda dianggap bersumber kepada hukum pidana Jerman Kuno. Stelsel Jerman mengenai pidana denda dimana dua pertiga bagian diberikan kepada korban atau ahli waris korban sebagai uang damai atau ‘faitha’ dan sepertiga bagian kepada kepala suku sebagai uang damai atau ‘freida’.17

Pidana denda di Indonesia masih berada pada kedudukan yang sekunder apabila dibandingkan dengan pidana hilang kemerdekaan. J.E.Lakollo menyatakan bahwa: “Dengan melihat pada sistem ancaman dalam pidana KUHP atau Undang-undang diluar KUHP, dimana pidana denda selalu berada di tempat kedua.” Kenyataan yang demikian ini menggambarkan bahwa adanya anggapan yang mengatakan bahwa pidana denda memiliki efektivitas yang terbatas bila dibandingkan dengan pidana hilang kemerdekaan sebagai pidana yang berat (Strenge Straffen). Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada abad ke-20 pada tanggal 1 Mei Tahun 1983 berlaku Wet Vermogenssanctie atau daftar tarid yang ditetapkan dengan cermat

16

Slametmuljana.1967.Perundang-undangan Madjapahit.Jakarta.Bhatara.Hlm.28 17Opcit


(32)

kedalam undang-undang tertulis, Pemerintah Belanda memperluas dan melengkapi wewenang jaksa untuk menyelesaikan transaksi jenis-jenis kejahatan yang diancam dengan pidana denda atau dengan pidana penjara yang tidak lebih dari enam tahun.18

Wilayah berlakunya pidana denda sejak semula sangat luas pada bangsa-bangsa tertentu bahkan bersifat umum. Pada zaman pemerintahan absolut raja sebelum Revolusi Prancis, pidana denda merupakan sanksi pidana yang penting terhadap sebagian besar kejahatan sedang dan kecil disamping pidana mati, pidana badan, dan perampasan harta milik Negara dan tetap merupakan tindakan represif yang umum dipakai. Pidana denda merupakan perkembangan generasi ketiga setelah generasi pertama dengan perampasan kemerdekaan sebagai pidana utama untuk menggantikan pidana mati, dan generasi kedua yang ditandai dengan perkembangan pidana kemerdekaan itu sendiri yang di berbagai Negara ada beberapa alternatif dalam sistem yang berbeda, misalnya pidana hilang kemerdekaan yang terdiri dari pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana tutupan serta variasi pidana hilang kemerdekaan yang ditentukan secara maksimum dan minimumnya.19

Perkembangan berikutnya adalah dengan adanya pelaksanaan pidana hilang kemerdekaan yang beragam, misalnya adanya pidana bersyarat dan pidana percobaan.20 Pidana denda sebagaimana ditentukan dalam Buku I KUHP belum memberikan pedoman yang jelas berapa maksimum yang diterapkan pada setiap ancaman pada tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Belum adanya pedoman

18Ibid

, DR.Suhariyono.S.H.,M.H.Hlm.169 19

J.E.Lakollo.1988.Perkembangan Denda di Indonesia.Surabaya.Universitas Airlangga.Hlm.216 20


(33)

yang jelas mengenai ancaman maksimum pidana denda yang ditetapkan oleh KUHP telah menimbulkan perkembangan tersendiri bagi pembentukan Undang-undang diluar KUHP dalam menentukan ancaman pidana.21

Pidana denda dalam sistem pemidanaan di Indonesia termasuk kedalam jenis pidana pokok sesuai dengan Pasal 10 KUHP yang menyatakan bahwa Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan pidana tambahan adalah pencabutan hak-hak tertentu, dan perampasan barang-barang tertentu. Penetapan pidana denda dalam KUHP merupakan jenis pidana yang berbeda jumlah presentase dan ancaman jenis pidananya apabila dibandingkan dengan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) baik pidana yang diancamkan secara tunggal maupun secara alternatif. Mulai dari Pasal 104 KUHP sampai dengan Pasal 488 KUHP utuk kejahatan yang diatur pada Buku II KUHP, dan mulai dari Pasal 489 KUHP sampai dengan Pasal 569 KUHP untuk pelanggaran yang diatur dalam Bukum III KUHP. Perumusannya adalah pidana penjara tunggal, pidana penjara dengan alternatif denda, pidana kurungan tunggal, pidana kurungan dengan alternatif denda, dan pidana denda yang diancamkan secara tunggal.22

Perbedaan antara kurungan dan denda yang ditentukan baik sebagai kejahatan maupun pelanggaran dapat diuraikan sebagai berikut23:

21Ibid

, Hlm.20 22Opcit

, DR.Suhariyono.S.H.M.H.Hlm.173 23Ibid


(34)

a. Pidana Kurungan

Pada tindak kejahatan, maksimum ancaman pidana kurungannya yang paling rendah adalah satu bulan dan yang paling tinggi satu tahun empat bulan. Sedangkan untuk pelanggaran, maksimum paling rendah adalah tiga hari dan yang paling tinggi adalah satu bulan. Untuk kejahatan, ancaman pidana kurungan yang paling banyak diancamkan secara berturut-turut adalah maksimum satu tahun (37,15%), enam bulan (22,86%) dan tiga bulan (17,14%). Sedangkan untuk pelanggaran yang paling banyak diancamkan adalah maksimum tiga bulan kebawah. Hamper semua pelanggaran menurut KUHP hanya diancam kurungan maksimum tiga bulan kebawah, yakni berkisar antara tiga hari sampai dengan tiga bulan. Hanya ada dua tindakan tindak pidana pelanggaran yang masing-masing diancamkan dengan tindak pidana kurungan maksimum enam bulan dan satu tahun.

b. Pidana Denda

Denda untuk tindak pidana kejahatan, maksimum berkisar antara Rp.900,-(Sembilan ratus rupiah) dan Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Sedangkan untuk pelanggaran berkisar antara maksimum Rp.225,- (dua ratus dua puluh lima rupiah) dan Rp.375,- (tiga ratus tujuh puluh lima rupiah). Dalam hal pidana denda diancamkan secara tunggal untuk tindak pidana kejahatan maksimum mencapai Rp.150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Sedangkan untuk pelanggaran maksimum hanya Rp.75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah).


(35)

Pembedaan ancaman pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana penjara dan pidana kurungan diatas menurut KUHP hanya untuk menunjukan adanya perbedaan kualitatif dan kuantitatif antara kejahatan dan pelanggaran termasuk pembedaan tempat dan fasilitas pelaksanaan pidananya sebagaimana ditentukan dalam Buku I KUHP dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pelaksanaanya.

Pengaturan pidana denda dalam KUHP ditentukan pada Pasal 10 Jo Pasal 30 yang mengatur mengenai pola pidana denda. Ditentukan bahwa banyaknya pidana denda sekurang-kurangnya Rp.3,75 sebagaimana ketentuan minimum umum. Jika dijatuhkan pidana denda dan pidana denda tersebut tidak dapat dibayarkan, maka diganti dengan pidana kurungan. Lamanya pidana kurungan pengganti tersebut sekurang kurangnya satu hari dan paling lama enam bulan. Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan sebagai berikut24:

a. Jika pidana dendanya Rp.7,50 atau kurang, dihitung satu hari;

b. Jika lebih dari Rp.7,50 tiap-tiap dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya tidak cukup Rp.7,50.

Pidana denda dalam KUHP ditentukan minimum umum, namun tidak ditentukan maksimumnya. Pidana kurungan pengganti dilaksanakan pada waktu dijatuhkan pidana denda yang oleh hakim diputus sekaligus pula beberapa hari pidana kurungan yang harus dijalani sebagai pengganti pidana denda apabila pidana denda tidak

24

DR.Suhariyono.S.H.,M.H.2012.Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia.Jakarta.Papas Sinanti.Hlm.178


(36)

dibayar. Terkait dengan penggunaan pidana denda menggunakan rupiah, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 18 Tahun 1960 menentukan bahwa mulai 14 April Tahun 1960 setiap jumlah pidana denda yang diancamkan dengan baik dalam KUHP maupun dalam ketentuan lainnya yang akan dikeluarkan sebelum Tanggal 17 Agustus Tahun 1945, harus dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatgandakan 15 kali. Ketentuan dalam Perpu tersebut tidak berlaku terhadap jumlah pidana denda dalam ketentuan tindak pidana yang dimasukan dalam tindak pidana ekonomi. Dalam penjelasan Perpu tersebut dinyatakan bahwa: “Sebagai ukuran pertimbangan bahwa semua harga barang sejak tanggal 17 Agustus Tahun 1945 rata telah meningkat sampai 15 kali dalam mata uang rupiah.25”

Pada rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) Tahun 2012 dalam pembaharuan hukum pidana materiilnya tidak lagi membedakan antara tindak pidana (strafbaarfeit) berupa kejahatan (misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran nantinya hanya terdiri dari dua Buku, yaitu Buku Kesatu memuat tentang Ketentuan Umum dan Buku Kedua memuat tentang Tindak Pidana. Adapun Buku Ketiga KUHP yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pelanggaran dihapuskan dan materinya secara selektif dimuat kedalam Buku Kedua dengan Kualifikasi Tindak Pidana.26

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini mengatur mengenai jenis pidana berupa pidana pokok, pidana mati, dan pidana tambahan. Jenis

25Ibid

, Hlm.194 26

Rancangan Penjelasan Atas Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Buku Kesatu.Hlm.190


(37)

pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda dan pidana kerja sosial. Di dalam pidana pokok diatur jenis pidana baru berupa pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Kedua pidana tersebut dan pidana denda perlu dikembangkan sebagai alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek (Short Prison Sentence).27 RUU- KUHP ini mengatur pula mengenai ancaman minimum khusus yang sebelumnya sudah dikenal dalam Peraturan Perundang-undangan diluar KUHP. Pada prinsipnya pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan dan untuk tindak pidana yang dikualifikasikan atau diperberat oleh akibatnya.

Ancaman pidana denda di dlam RUU-KUHP dirumuskan dengan menggunakan sistem kategori. Sistem ini dimaksudkan agar dalam perumusan tindak pidana tidak perlu disebutkan suatu jumlah tertentu tapi dengan menyebutkan ketegorinya saja, penggunaan kategori dalam pidana denda karena perubahan mata uang yang sering terjadi sehingga akan lebih mudah melakukan penyesuaian bila terjadi perubahan nilai mata uang.28

Pidana denda dalam RUU-KUHP merupakan pembaharuan dari ketentuan KUHP yakni:

1. Pidana denda ditentukan melalui pengkategorian;

27Ibid

, Hlm.192 28Opcit


(38)

2. Jika terdapat perubahan mata uang rupiah, dapat diubah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah;

3. Adanya pengaturan mengenai pertimbangan tentang kemampuan terpidana; 4. Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil;

5. Pidana denda dapat diganti dengan pidana kerja sosial, pengawasan, atau pidana penjara;

6. Pidana denda dapat dijatuhkan terhadap korporasi;

7. Untuk korporasi yang tidak dapat membayar denda seccara penuh, diganti dengan pidana berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.29

Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. Kategori I, Rp.1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. Kategori II, Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); c. Kategori III, Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

d. Kategori IV, Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. Kategori V, Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); f. Kategori VI, Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pidana denda untuk korporasi yang melakukan tindak pidana diancam dengan:

a. Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Ketegori V;

29 Ibid


(39)

b. Pidana mati, pidana seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.

c. Penentuan kategori dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) bertujuan untuk memperoleh pola yang jelas mengenai maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana dan untuk mudah dilakukan perubahan apabila terjadi perubahan keadaan ekonomi dan moneter di Indonesia. Sebagai satuan terkecil dendam digunakan denda yang teringan mempunyai kelipatan seratus kali denda harian, sedangkan maksimum kategori yang terberat adalah kelipatan seratus ribu kali denda harian. Kategori-kategori lain, yaitu Kategori II, Kategori III, Kategori IV, Kategori V adalah berturut-turut kelipatan 500, 2000, 5000, dan 20.000 kali denda harian.30

Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa dalam menetapkan jumlah atau lamanya ancaman pidana ada dua alternatif, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif.31 Pendekatan absolut adalah setiap tindak pidana ditetapkan bobot atau kualitasnya yakni dengan menetapkan ancaman pidana maksimum atau dapat juga pidana minimumnya untuk setiap tindak pidana. Sedangkan pendekatan relatif adalah setiap tindak pidana tidak ditetapkan bobot atau kualitas maksimum pidananya sendiri-sendiri, tetapi bobot direlatifkan yaitu dengan melakukan penggolongan tindak pidana

30Ibid

, Hlm.265 31

Barda Nawawi Arief.2002.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Bandung.Citra Aditya Bakti.Hlm.118-119


(40)

dalam beberapa tingkatan dan sekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap kelompok tindak pidana tersebut.32

Rancangan Undang-undang KUHP dalam aturan umumnya menggunakan konsep pendekatan maksimum dan minimum pidana yang ditentukan sebagai berikut33: 1. Pidana Penjara, pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu

tertentu. Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat minimal 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus. Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hiduo atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi p[idana penjara 15 (lima belas) tahun, maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatukan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut. Dalam hal bagaimanapun, pidana penjara tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

2. Pidana Denda, jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit adalah Rp.15.000,00 (lima belas ribu rupiah). Pidana denda paling banyak dikategorikan menjadi Kategori I sampai dengan Kategori VI. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah Kategori lebih tinggi berikutnya. Pidana denda paling sedikit untuk korporasi adalah pidana denda Kategori IV.

Perumusan norma dan ancaman pidana maksimum dan minimum dalam Rancangan Undang-undang KUHP dalam Buku II digunakan pola sebagai berikut34:

32Ibid,

Hlm.166 33Opcit


(41)

1. Jika suatu tindak pidana yang menurut penilaian dianggap tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau bobotnya dinilai kurang dari 1 tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana sangat ringan. Golongan ini hanya diancam dengan pidana denda menurut Kategori I sampai dengan Kategori II.

2. Jika suatu tindak pidana yang semula atau selama ini diancam dengan pidana penjara atau kurang dari 1 tahun, tetap dinilai patut untuk diancam dengan pidana penjara maka akan diancam dengan ancaman maksimum pidana penjara rendah 1 tahun.

3. Semua tindak pidana yang menurut penilaian patut diancam pidana penjara maksimum 1 tahun sampai dengan 7 tahun, selalu akan dialternatifkan dengan piana denda dengan penggolongan sebagai berikut:

4. Untuk penggolongan ringan (maksimum penjara 1 sampai 2 tahun) diancam dengan maksimum denda Kategori III, yakni maksimum Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);

5. Untuk golongan sedang (maksimum penjara 2 sampai 4 tahun) dan golongan berat (maksimum penjara 4 sampai 7 tahun) diancam dengan maksimum denda Kategori IV, yakni Rp.75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);

6. Semua tindak pidana yang tergolong sangat serius (diatas 7 tahun penjara) tidak dialternatifkan dengan pidana denda kecuali bila dilakukan oleh korporasi, dapat dikenakan maksimum denda menurut Kategori V dan Kategori VI.

34Ibid


(42)

Pada Undang-undang diluar KUHP hanya melengkapi perbuatan atau tindak pidana yang di dalam KUHP belum diatur secara lengkap. Pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan Perundang-undangan yang lain diancam dengan pidana, kecuali bila oleh Undang-undang ditentukan lain.35 Pembentuk Undang-undang diluar KUHP dalam menentukan ancaman pidana denda berdasarkan Pasal 103 KUHP, pada dasarnya diberikan kebebasan untuk menetapkan jumlah ancaman pidana denda. Selain jumlah ancaman,pembentukan Undang-undang diluar KUHP juga bebas menentukan apakah pidana denda sebagai alternatif dan atau kumulatif untuk memberikan lebih kebebasan kepada hakim dalam menjatuhkan pidana, walaupun hal ini menyimpang dari KUHP itu sendiri yang mengatur paham penentuan pidana alternatif untuk penjara atau denda atau kurungan atau denda. Terkait dengan Undang-undang diluar KUHP, Sudarto menyebutnya sebagai hukum pidana khusus (bijzondere Strafrecht) dan Undang-undang Pidana Khusus (bijzondere Wetten).36 Yang dimaksud dengan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang diterapkan untuk golongan khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan khusus. Termasuk kedalam golongan ini adalah hukum pidana militer (orang khusus), dan hukum pidana fiskal atau pidana ekonomi (perbuatan khusus).

Kualifikasi untuk tindak pidana dalam Undang-undang diluar KUHP, perlu dilakukan pembedaan, dengan terlebih dahulu mengamati apakah Undang-undang tersebut

35Ibid,

Hlm292 36


(43)

dikategorikan sebagai Undang-undang yang mengatur hukum administrasi, keperdataan, atau Undang-undang arahan atau pedoman.37 Untuk tindak pidana khusus, bobot dan polanya mengikuti pidana penjara tunggal tanpa pidana denda atau polanya mengikuti pidana penjara dan pidana denda sebagai pidana kumulatif. Sedangkan untuk Undang-undang administrasi atau keperdataan pola yang digunakan adalah pidana denda tunggal.

C. Tindak Pidana Terhadap Harta benda

Kejahatan terhadap harta benda dapat digolongkan atau dilihat pada Buku Kedua KUHP tentang Kejahatan. Kejahatan terhadap harta benda dapat dikatakan sebagai penyerangan terhadap kepentingan hukum orang lain atas benda milik orang lain secara melawan hukum. Jenis-jenis kejahatan terhadap harta benda adalah Pencurian yang diatur pada:

a. Buku II,Titel XXII tentang Pencurian (Pasal 362-367);

b. Buku II, Titel XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman (Pasal 268-371); c. Buku II, Titel XXIV tentang Penggelapan Barang (Pasal 372-377);

d. Buku II, Titel XXV tentang Penipuan (Pasal 378-395);

e. Buku II, Titel XXVI tentang Merugikan Orang Berpihutang dan Berhak (Pasal 396-405);

f. Buku II, Titel XXVII tentang Penghancuran atau perusakan Barang (Pasal 406- 412);

37Opcit


(44)

g. Buku II, Titel XXX tentang Penadahan (Pasal 480-485);

h. Buku VII, Titel VII tentang Pelanggaran Tanah, Tanaman, dan Pekarngan (Pasal 548-551).

Unsur-unsur penting dari tindak pidana terhadap harta benda adalah38:

1. Pencurian atau diefstal adalah mengambil barang orang lain untuk memilikinya. 2. Pemerasan atau afpersing adalah memaksa orang lain dengan kekerasan untuk

memberikan sesuatu.

3. Pengancaman atau afdreiging adalah memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu.

4. Penggelapan atau verduistering adalah memiliki barang yang sudah ada ditanggannya.

5. Penipuan atau oplichting adalah membujuk orang lain dengan tipu muslihat untuk member sesuatu.

6. Merugikan orang berpiutang adalah sebagai orangyang berpiutang berbuat sesuatu terhadap kekayaan sendiri, dengan merugikan si berpiutang (creditur) 7. Pengahancuran atau perusakan barang adalah perbuatan terhadap barang orang

lain secara merugikan tanpa mengambil barang tersebut.

8. Penadahan adalah menerima atau memperlakukan barang yang diperoleh dari orang lain secara tindak pidana.

9. Pelanggaran tentang tanah, tanaman, dan pekarangan adalah adanya tanah yang dirusak dengan melaluinya.

38


(45)

1. Pasal 362 tentang Pencurian Biasa

Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai berikut: “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.” Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut maka unsur dari pencurian adalah adanya perbuatan mengambil, ada barang yang diambil baik seluruh atau sebagian milik orang lain, dan dengan maksud memiliki barangnya dengan melawan hukum39.

2. Pencurian Dengan Kualifikasi

Diatur dalam Pasal 363 dan 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, penccurian yang diatur dalam Pasal 362 dakam masyarakat dikenal dengan pencurian dengan pemberatan sedangkan pada Pasal 365 dikenal dengan nama pencurian dengan kekerasan.

Pasal 363 tentang Pencurian dengan Pemberatan

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: Ke-1 pencurian ternak;

Ke-2 pencurian pada waktu kebakaranm letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;

39Ibid,


(46)

Ke-3 pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnyua, yang dilakukan oleh orangg yang adanhya disitu tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh orang yang berhak;

Ke-4 pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; Ke-5 pencurian yang untuk masuk ketempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong, atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan ke-5, maka dikenakan pidana paling lama Sembilan tahun. Pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur mengenai pencurian khusus atau disebut juga dengan pencuriaan dengan kekerasan. Unsur khusus yang ditambahkan pada pencurian biasa adalah mempergunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dengan dua macam maksud. Maksud yang pertama adalah untuk mempersiapkan pencurian, yaitu perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang mendahului pengambilan barang. Yang kedua adalah maksud untuk mempermudah pencurian yaitu pengambilan barang dipermudah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.40

40Ibid


(47)

3. Pemerasan

Pemerasan diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tindak pidana pemerasan ini sangat mirip dengan Pencurian dengan Kekerasan, perbedaannya adalah pada Pasal 365 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur mengenai pencurian dengan kekerasan, dalam hal pencurian ini si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri. Sedangkan pada Pasal 368 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang Pemerasan, si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.41

4. Pengancaman

Pengancaman diatur dalam Pasal 369 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam pengancaman yang dituju untuk dicapai si pelakiu adalah sama dengan pemerasan hanya perbedaannya adalah cara yang digunakan oleh si pelaku untuk mencapai tujuannya itu. Cara ini melalui ancaman akan tetapi bukan ancaman dengan kekerasan melainkan dengan cara akan mencemarkan nama baik atau membuka rahasia kepada khalayak ramai.42

5. Penggelapan

Penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Unsur pokok dari penggelapa adalah barang yang digelapkan harus ada dibawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain daripada dengan melakukan kejahatan. Jadi barang

41Ibid

,Hlm.168 42Ibid


(48)

tersebut oleh yang punya, dipercayakan atau dapat dianggap dipercayakan kepada si pelaku. Pada pokoknya dengan perbuatan penggelapan si pelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya oleh orang yang berhak atas suatu barang.43

6. Penipuan

Penipuan diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Penipuan adalah suatu bentuk dari obral janji. Sifat umum dari obral janji adalah orang dibuat keliru dan oleh karena itu ia rela menyerahkan uang atau barang berharganya. Unsur dari penipuan adalah adanya sesorang yang dibujuk atau digerakan untuk memberikan suatu barang atau membuat hutang atau menghapuskan piutang, penipuan tersebut harus bermaksud menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain tanpa hak, yang menjadi korban penipuan itu harus digerakan untuk menyerahkan barangnya dengan jalan tipu daya.44

7. Penadahan atau Pemudahan

Diatur dalam Pasal 480, Pasal 481, dan Pasal 483 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Barang yang dicuri atau digelapkan akan ditampung oleh seorang penadah. Barang yang diperoleh dengan kejaahatan ada dua jenis yaitu barang sebagai hasil kejahatan terhadap kekayaan yaitu pencurian, penipuan, pemerasan, dan pengancaman. Barang sebagai hasil kejahatan pemalsuan seperti surat palsu, cap

43Ibid

,Hlm.171 44


(49)

palsu, atau uang palsu. Barang yang diperoleh dari kejahatan maksudnya adalah barang tersebut harus benar-benar merupakan hasil dari suatu kejahatan tertentu. Ada dua macam perbuatan si penadah yaitu yang menerima dalam tangannya, yaitu menerima gadai, menerima hadiah, membeli, ,menyewa atau menukar. Yang melepaskan barang dari tangannya, yaitu menjualm menukar, menyewakan, menggadaikan, member hadiah, menyimpan, menyembunyikan, dan mengangkut.45

45Ibid,


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulis menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dalam membahas permasalahan skripsi ini. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sumber data sekunder atau penelitian hukum kepustakaan.36 Pendekatan ini dilakukan dengan cara menelaah dan menelusuri Peraturan Perundang-undangan, teori, dan konsep yang ada dan berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah bersifat yuridis normatif, yaitu data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder ditelaah secara yuridis dengan tidak menghilangkan unsur non yuridis lainnya. Pendekatan ini mengarah kepada Peraturan Perundang-undangan sebagai kajian utamanya. Pendekatan secara yuridis normatif, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahs dalam skripsi ini.

36


(51)

B. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang akan diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.37 Adapun dalam memperoleh data atau jawaban yang tepat dalam pembahasan sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan, yaitu data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan dengan mempelajari berbagai literature dan Perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian. Jenis data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, terdiri dari:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana;

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti:

1. Peraturan Pelaksana, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun 2012;

37


(52)

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 18 Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 16 Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun2002 tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang fungsinya melengkapi bahan hukum primer, seperti teori-teori, dan pendapat-pendapat dari para sarjana atau ahli hukum, literature, kamus, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan pokok permbahasan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini adalah seseorang yang memiliki data atau informasi mengenai objek yang diteliti. Narasumber dalam penelitian ini adalah dengan wawancara langsung dengan narasumber. Narasumber dipilih secara purposif (purposive sampling) berdasarkan aktifitas mereka secara sadar. Narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim : 1 orang

b. Dosen : 1 orang +


(53)

D. Metode dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah studi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai sumber seperti buku, Peraturan Perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diproses melalui pengolahan data dengan cara:

a. Editing, yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk mengetahui apakah data tersebut relevan dan sesuai dengan pembahasan. Apabila terdapat data yang salah, maka akan dilakukan perbaikan.

b. Klasifikasi Data, yaitu data yang telah selesai diseleksi kemudian dilkasifikasikan sesuai dengan jenis dan hubungannya dengan masalah penelitian.

c. Sistematika Data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang pembahasan yang dilakukan secara sistematis.


(54)

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka tahapan selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan tujuan menyederhanakan data kedalam bentuk penjelasan atau uraian secara terperinci yang akan menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta yang diperoleh dari penelitian secara sistematis untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan secara deduktif, yaitu cara berpikir dari hal yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(55)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku adalah Pengaturan Pidana denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pidana denda dijatuhkan secara alternatif bersama dengan pidana lainnya. Dalam tindak pidana pencurian ringan, terpidana bila berdasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah. Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bila terpidana tidak dapat membayar pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim maka pidana denda dapat dibayarkan oleh pihak ketiga atau dengan pidana penjara pengganti denda.

2. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) pidana denda masih merupakan pidana pokok. Akan tetapi dalam pengaturannya pidana denda menggunakan sistem pengkategorian mulai dari


(56)

Kategori I sampai dengan kategori VI. Selain itu pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini dikenal sistem minimum khusus. Sistem minimum khusus dikonsepkan dalam Rancangan undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) guna menghindari disparitas pidana. Pada Pasal 594 yang mengatur mengenai pencurian Pidana denda yang diancamkan adalah pidana denda Kategori IV. Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) bila terpidana tidak dapat membayarkan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim maka pidana denda dapat digantikan dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana penjara, atau dengan mengambil dari penghasilan terpidana.

B. Saran

Penulis memberikan beberapa saran atau masukan yang diharapkan dapat bermanfaat yaitu:

1. Sistem penjatuhan Pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 dalam hal penjatuhanya karena sanksi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terlalu berat bila dijatuhkan pada delik pencurian ringan.

2. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum pidana (RUU-KUHP) adalah berdasarkan kategori. Penjatuhan pidana denda dalam


(57)

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) juga perlu melihat kepada kemampuan terpidana dalam membayarkan denda dan juga kerugian yang ditanggung oleh korban.


(1)

42

2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 18 Tahun 1960 Tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan dalam Ketentuan Pidana Lainnya yang Dikeluarkan Sebelum Tanggal 17 Agustus 1945;

3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 16 Tahun 1960 Tentang Beberapa Perubahan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 4. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun2002 tentang Penyesuaian

Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang fungsinya melengkapi bahan hukum primer, seperti teori-teori, dan pendapat-pendapat dari para sarjana atau ahli hukum, literature, kamus, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan pokok permbahasan dalam penelitian ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber penelitian ini adalah seseorang yang memiliki data atau informasi mengenai objek yang diteliti. Narasumber dalam penelitian ini adalah dengan wawancara langsung dengan narasumber. Narasumber dipilih secara purposif (purposive sampling) berdasarkan aktifitas mereka secara sadar. Narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Hakim : 1 orang

b. Dosen : 1 orang +


(2)

D. Metode dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah studi yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat hal-hal penting dari berbagai sumber seperti buku, Peraturan Perundang-undangan, artikel dan informasi lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, kemudian diproses melalui pengolahan data dengan cara:

a. Editing, yaitu memeriksa data yang telah diperoleh untuk mengetahui apakah data tersebut relevan dan sesuai dengan pembahasan. Apabila terdapat data yang salah, maka akan dilakukan perbaikan.

b. Klasifikasi Data, yaitu data yang telah selesai diseleksi kemudian dilkasifikasikan sesuai dengan jenis dan hubungannya dengan masalah penelitian.

c. Sistematika Data, yaitu menempatkan data pada masing-masing bidang pembahasan yang dilakukan secara sistematis.


(3)

44

E. Analisis Data

Setelah data diperoleh, maka tahapan selanjutnya adalah menganalisis data tersebut dengan tujuan menyederhanakan data kedalam bentuk penjelasan atau uraian secara terperinci yang akan menggambarkan dan memaparkan fakta-fakta yang diperoleh dari penelitian secara sistematis untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan secara deduktif, yaitu cara berpikir dari hal yang bersifat umum ke arah yang lebih khusus dan dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(4)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Sistem penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku adalah Pengaturan Pidana denda dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pidana denda dijatuhkan secara alternatif bersama dengan pidana lainnya. Dalam tindak pidana pencurian ringan, terpidana bila berdasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda sebanyak sembilan ratus rupiah. Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) bila terpidana tidak dapat membayar pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim maka pidana denda dapat dibayarkan oleh pihak ketiga atau dengan pidana penjara pengganti denda.

2. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) pidana denda masih merupakan pidana pokok. Akan tetapi dalam pengaturannya pidana denda menggunakan sistem pengkategorian mulai dari


(5)

60

Kategori I sampai dengan kategori VI. Selain itu pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini dikenal sistem minimum khusus. Sistem minimum khusus dikonsepkan dalam Rancangan undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) guna menghindari disparitas pidana. Pada Pasal 594 yang mengatur mengenai pencurian Pidana denda yang diancamkan adalah pidana denda Kategori IV. Pada Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) bila terpidana tidak dapat membayarkan pidana denda yang dijatuhkan oleh hakim maka pidana denda dapat digantikan dengan pidana kerja sosial, pidana pengawasan, pidana penjara, atau dengan mengambil dari penghasilan terpidana.

B. Saran

Penulis memberikan beberapa saran atau masukan yang diharapkan dapat bermanfaat yaitu:

1. Sistem penjatuhan Pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) hendaknya memperhatikan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 dalam hal penjatuhanya karena sanksi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terlalu berat bila dijatuhkan pada delik pencurian ringan.

2. Perspektif penjatuhan pidana denda dalam tindak pidana terhadap harta benda menurut Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum pidana (RUU-KUHP) adalah berdasarkan kategori. Penjatuhan pidana denda dalam


(6)

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP) juga perlu melihat kepada kemampuan terpidana dalam membayarkan denda dan juga kerugian yang ditanggung oleh korban.