Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Agama, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama, Jakarta, 1998/1999.

Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta. 2002

Isa, M. Arif, M. Hukum Waris Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986.

Lubis, K Suhrawardi, Hukum Waris Islam (lengkap dan praktis), Sinar Grafika, Jakarta. 1997

Nazir Moh, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. 1997

Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara, Penterjemah Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Bumi Restu, 1997

Perangin, Efendi, Hukum Warisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan 2003

Prodjodikoro, Wirdjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1991

Rasyid, Sulaiman Fiqh Islam, Java Murni, 1995

Subekti R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Keduapuluh Lima, 2000

______, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1998

Surat Edaran Mahkamah Agung, No. 3 Tahun 1963, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000

Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009


(2)

B. Media Elektronik


(3)

KHI PASAL 210 yang berbunyi: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki” Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan. 4. Hadis Nabi:

Artinya: diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang


(4)

parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari}

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris


(5)

BAB III

KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT

A. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW untuk non muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Meskipun di atur dalam BW dan KHI, ketentuan-ketentuan daerah masih diperhatikan dan dijadikan rujukan penentuan hukum.

Sumber hukum yang mengatur tentang wasiat tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S Al Baqarah : 180).


(6)

Dalam tafsir dijelaskan bahwa makna ma’ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

Adapun mengenai hukum wasiat para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:28

1. Pendapat pertama memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-zuhri dan Abu Mijlaz.

2. Pendapat kedua memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya. Ini menurut Masruq, lyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-zuhri.

3. Pendapat ketiga Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.

4. Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa ”Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan”.

Selain beberapa pendapat di atas, maka hukum wasiat juga diatur sebagai berikut:29

1. Wajib: berwasiat wajib hukumnya apabila wasiat itu untuk hak-hak Allah SWT yang dilalaikan oleh pewasiat, misalnya zakat yang belum dibayar,

karafat, nadzar, fidyah, puasa, haji, dan lain-lain sebagainya atau sebagai pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui oleh pewasiat itu sendiri. 2. Sunnah: untuk orang-orang yang tidak menerima pusaka atau untuk motif

sosial, seperti berwasiat kepada fakir miskin, anak yatim yang bertujuan untuk menambah amal kepada Allah SWT, memberi sumbangan pembangunan rumah-rumah Ibadah, sumbangan kepada kaum kerabat yang kekurangan.

3. Haram: berwasiat untuk keperluan maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian,pelacuran, dan sebagainya.

28

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1991, Hal. 88.


(7)

4. Makhruh: berwasiat kepada keperluan-keperluan lain, dengan wasiat itu mereka akan bertambah gila dan tambah melakukan maksiat, misalnya berwasiat kepada anak yang ketagihan narkotika untuk membeli ganja keperluan anak itu. Apabila dengan wasiat itu dia menjadi sembuh, maka menjadi sunnah wasiat tersebut.

5. Mubah: berwasiat kepada kaum kerabat atau tetangga yang penghidupan mereka dalam kekurangan.

Adapun yang menjadi dasar hukum wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Bab V Pasal 194 sampai dengan Pasal 214 yang isinya sebagai berikut:

1. Pasal 194 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. Harta yang diwasiatkan merupakan hak pewasiat, dan baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia”.

2. Pasal 195 KHI menjelaskan bahwa: “suatu wasiat dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan harta boleh di wasiatkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ahli waris menyetujui”.

3. Pasal 196 KHI menjelaskan bahwa: “dalam wasiat harus disebutkan dengan tegas dan jelas tentang siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima harta wasiat”.

4. Pasal 197 KHI menjelaskan bahwa: “penyebab batalnya wasiat apabila berdasarkan keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa calon penerima wasiat dihukum karena telah membunuh, menganiaya berat, menfitnah pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman


(8)

minimal 5 tahun penjara, melakukan kekerasan atau ancaman agar pewasiat merubah wasiat, menggelapkan atau memalsukan surat wasiat dari pewasiat, tidak mengetahui adanya wasiat, menolak menerima wasiat, tidak pernah menyatakan menolak atau menerima wasiat dan juga batal apabila barang yang diwasiatkan musnah”.

5. Pasal 198 KHI menjelaskan bahwa: “ wasiat yang berupa hasil atau pemanfaatan suatu benda diberikan jangka waktu tertentu.

6. Pasal 199 KHI menjelaskan bahwa: “pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan atau menarik kembali persetujuannya, pencabutan tersebut dapat dilakukan secara lisan atau tulisan dihadapan dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris”.

7. Pasal 200 KHI menjelaskan bahwa: “harta wasiat berupa barang tak bergerak yang sah mengalami penyusutan atau kerusakan terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa”.

8. Pasal 201 KHI menjelaskan bahwa: “jika wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan sedangkan ahli waris tidak ada yang setuju, maka wasiat hanya dilaksanakan sepertiga dari harta warisan saja”.

9. Pasal 202 KHI menjelaskan bahwa: “apabila wasiat ditujukan untuk berbagai kegiatan kebaikan, sedangkan harta tidak cukup maka ahli waris dapat menentukan kegiatan mana yang harus didahulukan”.


(9)

10. Pasal 203 KHI menjelaskan bahwa: “surat wasiat dalam keadaan tertutup disimpan ditempat notaris yang membuatnya, apabila surat wasiat tersebut dicabut maka diserahkan kembali kepada pewasiat”.

11. Pasal 204 KHI menjelaskan bahwa: “jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang tertutup dan disimpan pada notaris, dibuka olehnya di hadapan ahli waris, disaksikan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat”.

12. Pasal 205 KHI menjelaskan bahwa: “anggota tentara yang dalam keadaan perang diperbolehkan untuk membuat surat wasiat di hadapan komandannya dengan dihadiri oleh dua orang saksi”.

13. Pasal 206 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang berada dalam perjalanan laut diperbolehkan untuk membuat surat wasiat di hadapan nakhoda, mualim kapal atau pejabat penggantinya, dengan dihadiri dua orang saksi”.

14. Pasal 207 KHI menjelaskan bahwa: “wasiat tidak diperbolehkan untuk orang yang melakukan pelayanan atau orang yang melakukan tuntunan rohani sewaktu pewasiat mengalami sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa”.

15. Pasal 208 KHI menjelaskan bahwa: “bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akte, wasiat tidak berlaku”.

16. Pasal 209 KHI menjelaskan bahwa: “harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193, sedangkan terhadap orang tua angkat dan anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan”.


(10)

17. Pasal 210 KHI menjelaskan bahwa: “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi”.

18. Pasal 211 KHI menjelaskan bahwa: “hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.

19. Pasal 212 KHI menjelaskan bahwa: “hanya hibah orang tua kepada anaknya yang dapat ditarik kembali”.

20. Pasal 213 KHI menjelaskan bahwa: “hibah yang diberikan oleh penghibah yang dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya”.

21. Pasal 214 KHI menjelaskan bahwa: “warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat surat hibah di hadapan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat, yang isinya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan pasal ini”.

B. Syarat-syarat Wasiat

Menurut mayoritas ulama fiqih (jumhur al-fuqaha), bahwa ada empat rukun atau syarat wasiat, yaitu:30

a. Orang yang berwasiat (Al-mushi/ al-muwashshi), adalah setiap pemilik yang sah hak kepemilikannya terhadap orang lain, bersifat mukallaf, berhak berbuat kebaikan, orang yang tidak mempunyai hutang yang dapat menghabiskan seluruh hartanya, dan dengan kehendaknya sendiri. Pemberi wasiat harus berakal, merdeka, baliqh dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian.


(11)

b. Orang yang menerima wasiat (Al-Maushilah), adalah orang atau badan hukum yang dapat bertindak sebagai penerima wasiat dan secara hukum dipandang cakap untuk memiliki sesuatu hak atau benda.

Adapun syarat yang harus dipenuhi pihak penerima wasiat yaitu: 1) Pihak penerima wasiat sudah ada pada waktu perwasiatan terjadi. 2) Penerima wasiat adalah orang atau badan hukum.

3) Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat atau melakukan percobaan pembunuhan ketika pewasiat masih hidup.

4) Penerima wasiat bukan sesuatu badan yang mengelola kemaksiatan. 5) Penerima wasiat bukan ahli waris dari penerima wasiat.

c. Adanya sesuatu yang diwasiatkan (Maushilah Bih), disyaratkan dapat berupa harta milik pemberi wasiat atau manfaat tertentu milik pemberi wasiat, yang merupakan milik sah dari pemberi wasiat serta yang diwasiatkan tersebut dapat bermanfaat bagi penerima wasiat dan dapat berpindah milik dari seorang kepada orang lain.

d. Shigat, pada prinsipnya ijab kabul dilaksanakan berdasarkan atas kesepakatan bebas di antara para pihak dan tanpa di antara para pihak dan tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan, serta dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis dan disaksikan dua orang saksi.

Sementara menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 194 disebutkan bahwa yang berhak melakukan wasiat adalah orang yang sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tidak dalam tekanan pemaksaan, harta benda yang diwasiatkan pun harus hak milik pewasiat dan pelaksanaan wasiat saat pewasiatnya sudah meninggal. Dan disebutkan juga dalam Pasal 195 KHI bahwa suatu wasiat dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan harta boleh di wasiatkan


(12)

sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali ahli waris menyetujuinya.

C. Bentuk Dan Sifat Wasiat

Dalam Hukum Islam tidak ada ditentukan tentang bentuk suatu wasiat. Syariat Islam juga tidak menentukan bentuk yang tertulis, namun demi kesempurnaan dan guna membuktikan ada baiknya kalau wasiat tersebut diperbuat secara tertulis.

Untuk kebaikan dan keberesan terhadap penerima wasiat di kemudian hari, hendaklah sewaktu berwasiat dipersaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) saksi yang adil. Seperti yang tercantum dalam AI-Qur'an surat Al-Maidah ayat 106, yang ditafsirkan dalam bahasa Indonesia :


(13)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, panggillah saksi diantara kamu apabila seseorang kamu menghadapi kematian, di waktu berwasiat, di waktu saksi itu dua orang yang adil (bersifat lurus) diantara kamu atau 2 (dua) orang yang lain bukan dari kamu. Jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu : “Demi Allah kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang) walaupun dia karib kerabat, dan tidak pula kami menyembunyikan persaksian Allah sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.31

Bentuk wasiat ini juga mempunyai syarat “qabul” dan harus jelas disaksikan oleh dua saksi tersebut diatas yang kemudian dapat membenarkan pemberian wasiat itu. penerimaan atau penolakan suatu qabul itu dilakukan setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.32

Dari ketentuan diatas jelaslah bagi kita bahwa bentuk wasiat harus adanya

qabul yang jelas. Pemberian wasiat ini dapat dilaksanakan dengan cara tegas dan terang, boleh juga dengan cara diam-diam, tetapi dengan ketentuan setelah si pemberi wasiat meninggal dunia kelak.

Sama halnya dengan wasiat yang diatur dalam KUH Perdata bahwa sebelum meninggal dunia yang berwasiat berhak untuk menarik kembali wasiatnya. Penarikan tersebut dapat dilakukannya secara terang-terangan atau secara diam-diam dengan menjual benda yang diwariskannya.

Jika orang yang akan menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada pemberi wasiat, maka wasiat tetap jalan dengan pemberian kepada ahli waris dari yang akan menerima wasiat itu.

31

Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Op. Cit, hal. 114.

32


(14)

Andaikan si penerima wasiat terlebih dulu meninggal dari pada si pemberi wasiat, wasiat akan berjalan terus tanpa dapat dibatalkan oleh siapapun, karena wasiat tersebut dapat diterimakan kepada ahli warisnya.

Adapun bentuk wasiat menurut KHI terdapat dalam pasal 195 yaitu dapat dilakukan dengan cara:33

1. Lisan, bahwa suatu wasiat ataupun akta di bawah tangan harus dilakukan di hadapan dua orang saksi.

2. Tertulis, bahwa suatu wasiat yang dilakukan secara tertulis dapat berupa akta di bawah tangan dan akta otentik. Apabila wasiat ditujukan kepada ahli waris, maka persetujuan ahli waris atau para ahli waris lainnya itu dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan maupun tertulis yang bukan akta otentik harus dilakukan di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris

D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat

Kompilasi Hukum Islam tidak lagi menggunakan ukuran-ukuran yang tidak mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seorang itu cakap atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, melainkan mempergunakan batasan umur, yaitu sekurang-kurangnya 21 tahun. Angka ini pulalah yang dipergunakan oleh KUH Perdata untuk menentukan apakah seseorang sudah dewasa atau belum dewasa. Akan tetapi, sesungguhnya Pasal 194 ayat (1) yang menegaskan batasan umur tersebut harus diikutu perkecualian, yaitu: “kecuali orang-orang yang telah melangsungkan perkawinan. Walaupun perkecualian ini tidak dicantumkan secara tegas, tetapi tetap dianggap ada agar tidak terjadi pertentangan antara Pasal 194 ayat (1) dengan Pasal 15 ayat (1). Adapun bunyi Pasal 15 ayat (1): “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah-tangga, perkawinan


(15)

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya 16 tahun”.

Setelah seseorang melangsungkan perkawinan, meskipun belum berumur 21 tahun, harus dianggap telah dewasa, yang berarti cakap melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat wasiat. Supaya seseorang dapat menyatakan kehendaknya, maka ia harus berakal sehat. Syarat ini logis dan harus disertakan, sebab jika tidak akan sulit diketahui apakah seseorang benar-benar ingin mewasiatkan harta-bendanya atau tidak. Yang paling sulit sebenarnya adalah mencari ukuran yang dapat dikatakan berakal sehat.

Dan dalam Pasal 194-196 KHI, disebutkan juga bahwa setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagian hartanya untuk orang lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain. Pernyataan para ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat di hadapan notaris. Dalam surat baik dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan itu.

Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat


(16)

dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu. Terhadap yang terakhir ini, Imam Hanafi mengatakan bahwa menjual barang wasiat sepihak seperti itu, sipenerima wasiat berhak menerima harga barang wasiat yang telah dijual itu. Menyangkut hal ini Sayyid Sabiq mengatakan bahwa “wasiat itu termasuk dalam perjanjian yang dibolehkan oleh hukum, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali wasiatnya itu baik secara lisan maupun secara perbuatan”.34

1. Pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali;

Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa:

2. Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan dengan dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris;

3. Bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris;

4. Apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris, maka pencabutannya hanya dilakukan dengan akta notaris.


(17)

Pada Pasal 203 ayat (2) KHI disebutkan bahwa bilamana surat wasiat dicabut, sesuai dengan Pasal 199 KHI maka surat wasiat yang telah dicabut itu diserahkan kembali kepada pewasiat. Tampaknya dalam masalah pencabutan wasiat yang dikemukakan oleh Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak menyangkut persoalan administratifnya, bukan masalah substansinya.

Dalam rumusan fiqih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sehubungan dengan pembatalan wasiat itu, Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia. Jika orang yang menerima wasiat itu meninggal dunia sebelum orang yang memberi wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat itu. Sementara itu Peunoh Daly sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Rofiq memperinci hal-hal yang menjadikan wasiat batal, yaitu: 35 a. yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh penerima wasiat; b. yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat;

c. yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat;

d. barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat;


(18)

f. yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus-menerus sampai meninggal dunia.

Dalam Pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: (1) dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewaris; (2) dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara; (3) dipersalahkan dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; (4) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat-surat wasiat dari orang yang memberi wasiat. Kemudian dalam Pasal 197 ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat: (1) tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; (2) mengetahui adanya wasiat tersebut, tetapi ia menolak menerimanya; (3) mengetahui adanya wasiat, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. Wasiat bisa menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang perubahan dari Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ditetapkan bahwa “perselisihan tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah menjadi kewenangan peradilan agama untuk


(19)

menyelesaikannya”.36

Salah satu ciri yang membedakan Islam dan lainnya adalah penekanan yang difokuskan terhadap ilmu sedangkan Al- Qur’an dan hadits sering kali Oleh karena itu, permohonan pembatalan wasiat ini diajukan ke peradilan agama oleh pihak yang merasa dirugikan karena adanya wasiat tersebut dengan menyebut alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum tersebut dan memberikan putusan sebagaimana mestinya. Dalam praktik peradilan agama banyak ditemukan gugatan yang berhubungan dengan wasiat oleh pencari keadilan dengan alasan wasiat telah melebihi dari sepertiga harta si pewaris, atau si pewaris telah memberi wasiat semua harta kepada anak angkat sehingga ahli waris yang berhak tidak mendapat bagian, atau sebaliknya anak angkat menggugat ahli waris karena wasiat yang diberikan oleh bapak angkatnya saat ini dikuasai oleh ahli waris. Kebanyakan pelaksanaan wasiat itu dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang telah di

ratifikasi menjadi Undang-undang tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dengan oleh penggugat dianggap telah terbuka peluang untuk mengajukan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 gugatan tentang pembatalan wasiat ke pengadilan agama.

E. Pihak-Pihak Yang Dapat Menikmati Wasiat Dan Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat


(20)

mengajak dan memberikan informasi terhadap kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan kedamainan, ketenangan, dan kebahagiaan.

Kemiskinan merupakan salah satu problem yang selalu melilit dan menyaring umat manusia di segala waktu dan tempat yang akhirnya terciptalah suatu persoalan yang tidak dikehendaki oleh Al-Qur'an dan Al-Hadits yakni adanya rasa dendam dan dengki sekaligus bermusuhan, lebih-lebih yang terjadi dalam keluarga sendiri, inilah yang dalam Islam diistilahkan dengan mu’amalah

yang di mana di dalamnya termasuk persoalan wasiat yang sering dalam praktek dan pelaksanaannya tidak pernah dilakuan secara adil dan bijaksana

Yang menjadi perhatian secara serius dalam hukum fiqh ialah kajian mengenai wasiat, karena dalam ketentuan fiqh disebutkan “apabila seseorang wafat, maka seluruh hartanya akan berpindah milik kepada ahli waris yang ditinggalkannya, dengan catatan ongkos pemakaman pewaris, menutupi hutang pewaris dan sejumlah harta yang di waqafkan oleh pewaris juga menjadi kewajiban para ahli waris”.37

Persoalan wasiat penting untuk dikaji karena selama ini yang terjadi tidak sama rata hanya dalam pembagian dari suatu harta peninggalan, hal semacam ini mungkin timbul karena orang yang berwenang untuk melakukan wasiat tidak lagi memakai konsep yang tertera dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits dalam arti tidak menelaah apa yang terkandung dalam sumber Hukum Islam dan Undang-undang yang sudah diberlakukan yakni dalam KHI.


(21)

Dalam hal penerima wasiat ini haruslah subjek hukum, yaitu baik yang bersifat personal (perorangan) maupun rechtpersoon (badan hukum). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak penerima wasiat adalah sebagai berikut:38

1. pihak penerima wasiat sudah ada pada waktu pewasiatan terjadi

(dalam praktik dapat saja terjadi seseorang berwasiat untuk membuat sesuatu badan sosial dari hartanya itu);

2. penerima wasiat adalah orang atau badan hukum; 3. penerima wasiat bukan pembunuh si pewasiat;

4. penerima wasiat bukan suatu badan hukum yang mengelola kemaksiatan; 5. penerima wasiat bukan ahli waris dari pemberi wasiat;

Wasiat dapat juga ditujukan kepada orang tertentu, baik kepada ahli waris. Demikian juga, wasiat dapat pula ditujukan kepada yayasan atau lembaga sosial, kegiatan keagamaan, dan semua kegiatan yang tidak bertentangan dengan agama Islam. Demikin juga halnya, bila wasiat dilakukan kepada yang non muslim maka wasiat itu sah bila penerima wasiat (orang yang non muslim) itu berada di wilayah yang mayoritas penduduknya beragama islam.

Adapun yang dapat menikmati wasiat menurut KHI yaitu sesuai dalam Pasal 171 huruf (f) dapat diketahui bahwa penerima wasiat adalah orang atau lembaga. Di samping itu, dari Pasal 196 juga menegaskan bahwa dalam wasiat, baik secara tertulis maupun lisan harus dissebutkan dengan tegas yang ditunjuk akan mererima harta benda yang diwasiatkan.

Pada dasarnya setiap orang, kecuali pewasiat sendiri dapat menjadi subjek penerima wasiat, kecuali sebagaimana tercantum dalam Pasal 195 ayat (3), Pasal 207 dan Pasal 208 tentang orang-orang yang tidak dapat diberi wasiat, yaitu:


(22)

1. Ahli waris; kecuali wasiat tersebut disetujui oleh semua ahli waris lainnya. 2. Orang yang melakukan pelayanan atau orang yang melakukan tuntunan

rohani sewaktu pewasiat mengalami sakit hingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa.

3. Notaris dan saksi-saksi pembuat akta.

Pendapat para ulama’ mengenai Hibah yang lebih dari Sepertiga

1. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa para ahli hukum Islam sepakat pendapatnya, bahwa seseorang dapat menghibahkan semua hartanya kepada orang yang bukan ahli waris.

2. Tetapi Imam Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkiik mahdzab Hanafi mengemukakan bahwa tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun untuk keperluan kebaikan. Mereka menganggap orang yang bebuat demikian itu sebagai orang dungu yang wajib dibatasi tindakannya. Dalam hal ini dapat di bedakan dalam 2 hal yaitu:

1) jika hibah itu diberikan kepada orang lain (selain ahli waris) atau suatu badan hukum mayoritas pakar hukum islam sepakat tidak ada batasnya, tetapi

2) jika hibah itu diberikan kepada anak-anak pemberi hibah, menurut Imam Malik dan Ahlul Zahir tidak memperbolehkannya, sedangkan fuqaha’ amsar menyatakan makruh.

Sehubungan dengan tindakan rasulullah SAW. Terhadap kasus Nu’man Ibnu Basyir menunjukkan bahwa hibah orang tua terhadap anaknya haruslah disamakan bahkan banyak hadist lain yang redaksinya berbeda


(23)

menjelaskan ketidakbolehan membedakan pemberian orang tua kepada anaknya secara berbeda, yang satu lebih banyak dari yang lain

3. Menurut pendapat Imam Ahmad Ishaq, Tsauri, dan beberapa pakar hukum islam yang lain bahwa hibah batal apabila melebihkan satu dengan yang lain, tidak diperkenankan menghibahkan hartanya kepada salah seorang anaknya, haruslah bersikap adill diantara anak-anaknya. Kalau sudah terlanjur dilakukan maka harus dicabut kembali.

Yang masih diperselisihkan para ahli hukum islam adalah tentang bagaimana cara penyamaan sikap dan perlakuan anak-anak itu? Ada yang berpendapat bahwa pemberian itu adalah sama diantara anak laki-laki dan anak perempuan, ada pula yang berpendapat bahwa penyamaan antara anak laki-lakiitu dengan cara menetapkan bagian untuk seorang anak laiki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sesuai dengan pembagian waris. Menurut sebagian ahli hukum islam, sesungguhnya penyamaan itu bukan hal yang wajib dilaksanakan, tetapi sunnah saja. Mereka menyatakan bahwa hadist yang menyatakan menyamakan anak-anaknya dalam pemberian hibah adalah lemah, demikian juga hadist yang menyatakan bahwa pemberian semua harta yang berbentuk hibah kepada anak-anaknya yang nakal. Pendapat yang mewajibkan menyamakan pemberian semua harta berupa hibah kepada anak-anaknya adalah pendapat yang kuat. Oleh karena itu, jika dalam hal pemberian hibah itu tidak sesuai dengan ketentuan ini, maka hibahnya adalah batal Prinsip pelaksanaan hibah orang tua terhadap anaknya haruslah sesuai petunjuk Rasulullah SAW. Dalam berberapa hadist dikemukakan bahwa


(24)

bagian mereka supaya disamakan dan tidak dibenarkan memberi semua harta kepada salah seorang anaknya. Jika hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya melebihi dari ketentuan bagian waris, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai warisan. Sikap seperti ini menurut kompilasi didasarkan pada kebiasaan yang dianggap positif oleh masyarakat. Karena bukan suatu hal yang aneh apabila bagian waris yang dilakuka tidak adil akan menimbulkan penderitaan bagi pihak tertentu, lebih-lebih kalau penyelesaiannya sampai ke pengadilan agama tentu akan terjadi perpecahan keluarga. Sehubungan dengan hal ini Umar Ibnul Khttab pernah mengemukakan bahwa kembalikan putusan itu diantara sanak keluarga, sehingga mereka membuat perdamaian karena sesungguhnya putusan pengadilan itu sangat menyakitkan hati dan menimbulkan penderitaan

4. Ulama Malikyah menetapkan dalam syarat orang yang yang menghibahkan adalah Ahlan li tabarru’ yaitu orang yang berhak berderma dan bersedekah. Yang dimaksud dengan ahli tabarru’ adalah diantaranya adalah :

a) bukan seorang isteri. Jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertiga harta, karena ketika seorang isteri ketika menghibahkan harta melebihi sepertiga hartaharus mendapat izin dari suaminya

b) bukan orang yang sakit, yang sudah mendekati kematian. Syarat ini berlaku jika harta yang dihibahkan melebihi dari sepertga. Jika menghibahkan lebih dari sepertiga maka harus mendapat persetujuan ahli waris pada pasal 954 yang berisi wasiat pengangkatan waris, adalah suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiat kan, kepada seseorang atau lebih,


(25)

memberikan harta kekayaan yang akan di tinggal kan nya apabila ia meninggal dunia baik seluruh nya maupun sebagian seperti misal nya, setengah nya, sepertiga nya.

KHI PASAL 210 yang berbunyi: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki” Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan.

Hadis Nabi:


(26)

Artinya: Diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang parah padahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW


(27)

merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari}

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris39

a. Penerima wasiat dengan sengaja atau mencoba membunuh, dan menganiaya berat pewasiat.

2. Pihak Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat

Pihak-pihak yang tidak diperkenankan menikmati wasiat atau juga mengakibatkan wasiat menjadi batal diatur dalam Pasal 197 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yaitu:

b. Dipersalahkan karena memfitnah, telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman minimal lima tahun penjara atau lebih.

c. Dipersalahkan dengan kekerasan dengan mengancaman atau mencegah pewasiat untuk membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat;

d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak, memalsukan surat wasiat dari pewasiat.

39


(28)

Selanjutnya dalam Pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang melakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Kemudian dalam Pasal 208 KHI juga disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta wasiat.


(29)

BAB IV

PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Persamaan dan Perbedaan Pembuatan Surat Wasiat Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

Surat wasiat adalah surat di mana memuat keinginan-keinginan terakhir seseorang yang akan dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Lebih sering dalam wasiat seseorang memuat keinginannya yang terakhir berkaitan dengan harta yang dimilikinya yang hendak ia berikan/ wariskan kepada orang-orang yang disayanginya, namun tidak jarang memuat keinginannya mengenai hal-hal lain seperti penguburannya kelak (yang dikenal sebagai codicil).

Pengaturan tentang wasiat terdapat dalam Pasal 930-953 KUH Perdata. Pada prinsipnya pewaris yang membuat surat wasiat ini harus bebas dari intervensi pihak manapun, sehingga pasal tersebut di atas sangat menekankan tentang prosedur pembuatan wasiat guna menjamin tentang pembuatan wasiat seseorang dalam membuat wasiatnya sesuai kehendak bebasnya sendiri tanpa dipengaruhi orang lain, termasuk notaris sendiri.

Dalam prosedur pembuatan surat wasiat secara formal menurut KUH Perdata, ada beberapa macam jenis wasiat dan cara pembuatannya, yaitu:

1. Wasiat Olografis (Pasal 932 KUH Perdata); Wasiat tersebut seluruhnya ditulis sendiri oleh si pembuat, diberi tanggal dan ditandatangani olehnya. Harus disampaikan kepada notaris untuk disimpan dalam protokolnya, bisa dalam keadaan terbuka atau tertutup. Notaris membuat akta penyimpanan


(30)

(akta van depot) dengan dihadiri oleh dua orang saksi. Akta penyimpanan dibuat di bagian bawah surat wasiat jika darurat wasiat tersebut diserahkan dalam keadaan terbuka, namun jika diserahkan tertutup maka akta penyimpanannya dibuat tersendiri dan pembuat wasiat harus menulis di atas sampul surat dengan dihadiri oleh dua orang saksi dan notaris, bahwa sampul itu berisi wasiatnya, dan ditandatangani. Apabila pembuat wasiat pada saat menyerahkan sudah tidak dapat menulis atau menandatangani wasiatnya, maka notaris wajib menuliskan alasannya dalam akta penyimpanan atau sampul wasiat tersebut. Wasiat ini dapat diminta kembali oleh pembuatnya, jika menyuruh orang lain untuk mengambil maka diperlukan surat kuasa.

2. Wasiat Rahasia (Pasal 940 BW): Semua formalitasnya sama dengan wasiat olografis dengan beberapa perbedaan sebagai berikut: Wasiat dapat ditulis oleh orang lain/ tidak perlu ditulis sendiri asalkan ditandatangani oleh pewaris. Wasiat ini harus diserahkan dalam keadaan tertutup dan disegel, dengan syarat pewaris harus menjelaskan bahwa sampul itu berisi wasiatnya yang ditulis sendiri atau orang lain namun ditandatanganinya sendiri. Notaris akan memberi judul akta penyimpanannya dengan nama akta Superskripsi. Penyerahannya dilakukan di hadapan empat orang saksi.

3. Wasiat Umum (openbare akte) Pasal 938 BW; Akta ini tidak tertutup seperti wasiat rahasia atau olografis, bukan berarti semua orang boleh melihatnya, kerahaasiaan tetap dijaga oleh notaris seperti pada setiap akta


(31)

yang dibuatnya. Prosesnya adalah pembuat wasiat menghadap notaris dan menerangkan dengan lugas apa yang menjadi keinginan terakhirnya, lalu notaris menuliskan dengan kata-kata yang jelas. Jika proses tersebut tanpa dihadiri saksi-saksi, maka setelah akta itu selesai ditulis, pembuat wasiat harus mengulangi keinginan terakhirnya itu dihadapan para saksi (biasanya dalam praktek, notaris membacakan kembali keinginan terakhir pewaris dan menanyakan apakah betul demikian, jadi proses pembacaan akta dilakukan dua kali). Akta tersebut ditandatangani oleh pewaris kemudian notaris dan setelah itu oleh para saksi. Berikut ini beberapa hal berkaitan dengan wasiat dan kondisi pewaris saat membuat suatu wasiat, yaitu: apabila pewaris tidak dapat menulis (buta huruf)/ tuna aksara/ tuna netra. Seorang yang buta huruf tidak berarti tidak bisa membuat wasiat dan masih dimungkinkan untuk membuat wasiat dengan akta umum atau surat wasiat rahasia, asalkan dapat membubuhkan tanda tangannya/ cap jempolnya. Dan apabila pewaris tidak dapat berbicara/ tuna wicara, Seorang tuna wicara dapat membuat wasiat dalam bentuk wasiat olografis

dan surat wasiat rahasia, dan disebutkan bahwa ia harus datang sendiri kepada notaris untuk menyimpan wasiatnya (Pasal 941 KUH Perdata). Jika pewaris yang tidak dapat mendengar (tuna tungu), yaitu bahwa seorang yang tuli dapat membuat surat wasiatnya yaitu dengan bentuk surat wasiat


(32)

Sedangkan cara pembuatan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 195 yaitu:

1. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan 2 orang saksi, atau dihadapan notaris.

2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.

Dalam hal ini 2 (dua) orang saksi sangat dibutuhkan karena mengingat sangat pentingnya kedudukan wasiat terhadap harta peninggalan seseorang, suatu wasiat bila terjadi hendaklah dikuatkan dengan alat-alat bukti yang dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang akan datang. Apabila wasiat dinyatakan secara lisan maka hendaknya diucapkan dihadapan saksi-saksi yang dapat dipercaya dan tidak mempunyai hubungan kepentingan dengan harta peninggalan, seperti RT, RW, Lurah, atau pihak-pihak yang berwenang dalam masyarakat. Selain itu harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan (Pasal 196 KHI). Wasiat dalam bentuk tertulis akan lebih sempurna apabila ditulis di atas kertas bermaterai, wasiat yang dibuat secara tertulis hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dan disaksikan 2 orang saksi atau berdasarkan


(33)

akta notaris (Pasal 199 ayat (3) KHI). Dan agar tidak timbulnya keragu-raguan terhadap sebuah wasiat sebaiknya wasiat dilaksanakan dihadapan notaris. Surat wasiat yang dibuat berdasarkan akta notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris (Pasal 199 ayat (4)KHI).

Dan disebutkan juga dalam Pasal 204 KHI yaitu:

1. Jika pewasiat meninggal dunia, maka surat wasiat yang dibuat dihadapan notaris harus dibuka dan dibaca olehnya dihadapan para ahli waris, dan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat.

2. Jika surat wasiat yang tertutup disimpan bukan pada notaris, maka penyimpanan harus menyerahkan kepada notaris setempat atau kantor urusan agama setempat dan selanjutnya notaris atau kantor urusan agama tersebut membuka sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) Pasal ini.

3. Setelah isi serta maksud surat wasiat itu diketahui, maka oleh notaris atau kantor urusan agama diserahkan kepada penerima wasiat guna menyelesaikan selanjutnya.

Jadi kesimpulannya, yang merupakan persamaan dari pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan KHI yaitu bahwa isi dari surat wasiat dalam KUH Perdata maupun dalam KHI sama-sama berisi tentang pengangkatan atau penunjukan hak waris untuk seluruh atau sebagian dari pada harta pewaris, yang mana hak tersebut meliputi hak aktiva dan hak pasiva pewaris dan besarnya sebanding dengan warisan.


(34)

Adapun yang merupakan perbedaan dalam pembuatan surat wasiat menurut KUH Perdata dan KHI yaitu dalam KUH Perdata pembuatan surat wasiat hanya boleh ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pewasiat dengan bentuk akta tertulis sendiri, baik dengan akta umum, baik akta rahasia atau tertutup. Apabila surat wasiat tersebut disimpan kepada notaris maka harus ditandatangani oleh pewaris, notaris dan para saksi dalam akta penyimpanan tersebut. Sedangkan dalam KHI, suatu surat wasiat boleh dilakukan secara lisan saja ataupun secara tertulis di hadapan notaris dan dua orang saksi dan dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat.

B. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

1. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata

Pelaksanaan surat wasiat juga kerap kali dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di dalam pelaksanaan suatu surat wasiat, ahli waris dapat ditunjuk melalui:40

1. Surat wasiat atau testament

2. Dalam suatu akta di bawah tangan, yang ditulis dan diberi tanggal dan ditanda tangani oleh si pewaris.

3. Dalam suatu akta notaris yang istimewa.

Istilah yang istimewa ini tidak berarti bahwa dalam akta notaris dilarang memuat hal ini selain penunjuk pelaksana wasiat atau pelaksana testament,

40


(35)

dengan maksud agar apabila setelah seseorang berhalangan dapat diganti oleh orang lain. Si pewaris dapat menentukan, bahwa para pelaksana wasiat atau

testament dapat bekerja, artinya masing-masing dari mereka ada bagian dalam wasiat atau testament untuk dilaksanakan, jadi dapat disimpulkan bahwa seorang pelaksana wasiat atau testament tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti maksudnya pelaksana testament tidak dapat digantikan.

Surat wasiat atau testament dalam pelaksanaannya harus berdasarkan apa yang dibuat oleh si pewaris artinya si pewaris telah membuat masing-masing dari mereka ada bagian yang ditentukan, jadi dapat disimpulkan bahwa seorang pelaksana wasiat atau testament tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti, dengan kata lain si pewaris (pembuat wasiat) tidak boleh memberi kuasa kepada pelaksana wasiat atau pelaksana testament untuk menunjukkan pengganti apabila berhalangan.

Surat wasiat atau testament dalam pelaksana harus dilaksanakan. Pekerjaan atau tugas dari pelaksana wasiat merupakan hal penting yang harus diketahui yang mana apabila ada perselisihan ia berkuasa untuk memajukan kepada hakim guna mempertahankan sahnya wasiat atau testament.

Pekerjaan atau tugas dari pelaksana wasiat haruslah mendapat kuasa dari si pewaris, jika si pewaris warisan tidak memberikan kekuasaan untuk menguasai atau memegang semua atau sebagian dari barang warisan, maka si pelaksana hanya berkuasa untuk memberikan petunjuk untuk memperingati para ahli waris akan kewajiban selaku ahli waris akan hak-haknya terhadap harta warisan.


(36)

Pelaksana wasiat atau testament harus menyegel barang-barang warisan, jika di antara para ahli waris masih ada yang belum dewasa, di bawah curatele

dan mereka yang pada saat meninggalkan warisan tidak mempunyai wali atau

curator atau di antara ahli waris tidak ada yang hadir, maksudnya seorang yang mempunyai masalah dengan pengadilan segala perbuatan perdata setelah putusan pengadilan batal demi hukum tetapi tetap berhak membuat surat wasiat, sedangkan menyegel barang warisan bertujuan untuk mengamankan hak dari ahli waris sampai menunggu dewasanya ahli waris.

Pelaksana wasiat atau testament apabila hendak menghadiri pengurusan harta warisan atau menyelesaikan setelah lampau waktu satu tahun. Pasal 1018 KUH Perdata mengatakan: “apabila si pewaris dalam wasiat atau testament

membebaskan si pelaksana wasiat atau testament dari kewajiban untuk mempertanggungjawabkan, maka penetapan dalam wasiat atau testament adalah gagal atau batal”.41

1. Kalau tidak memberi pertanggung jawaban

Pelaksana wasiat atau testament dapat dipecat dengan alasan-alasan yang dipergunakan memecat wali dari seorang yang belum dewasa yaitu :

2. Apabila berkelakuan jelek

3. Apabila mereka menandakan tidak mampu melakukan kewajiban secara baik atau mengabaikan kewajiban-kewajibannya.


(37)

5. Apabila mereka dan keturunannya atau leluhurnya atau suami, istrinya mempunyai perkara di muka hakim yang di dalamnya terlibat kekayaan dari barang-barang warisan yang diurusnya itu.

6. Apabila mereka dihukum penjara selama dua tahun atau lebih.

Surat wasiat dalam KUH Perdata yang ditentukan oleh undang-undang tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dipandang Kompilasi Hukum Islam mengenai hal tersebut.

Pelaksana wasiat dalam KUH Perdata merupakan pandangan yang sangat universal tetapi mengikat masyarakat terhadap undang-undang tersebut, sedangkan peraturan yang ada dalam undang-undang Kompilasi Hukum Islam merupakan penelaah dari AI-Qur'an, hadist dan Sunnah yang merupakan pedoman bagi umat islam dalam menjalani kehidupan guna mendapat pencerahan hidup.

2. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KHI

Kompilasi Hukum Islam mengenai wasiat diatur dalam ketentuan umum Pasal 171 (huruf F) wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga, yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

Menurut ketentuan hukum Islam, bahwa bagi seseorang yang merasa ajalnya telah dekat dan ia meninggalkan harta yang cukup (apalagi banyak) maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat baik bagi kedua orang tuanya (demikian juga bagi kerabatnya), terutama sekali apabila ia telah pula dapat memperkirakan bahwa harta mereka (kedua orang tuanya) dan kerabatnya tidak cukup untuk keperluan mereka.


(38)

Menyangkut pelaksanaan wasiat menurut Kompilasi Hukum Islam sering sekali orang yang menerima warisan merasa telah tidak diperlakukan secara adil mengenai pembagian yang tak jarang bahkan sering terjadi silang sengketa mengenai warisan yang termuat dalam surat wasiat.

Kompilasi Hukum Islam Indonesia khususnya dalam ketentuan yang terdapat dalam Buku II Bab V Pasal 194 menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat tersebut adalah :42

1. Perwasiatan harus orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan didasarkan kesukarelaannya.

2. Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak si pewasiat.

3. Peralihan hak terhadap barang/ benda yang diwasiatkan adalah setelah si pewasiat meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dilakukan atau dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan antara lain (Pasal 195 KHI) :43

1. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.

2. Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan kecuali ada persetujuan semua ahli waris.

3. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.

4. Pertanyaan persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan maupun tulisan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat dihadapan notaris.

Persoalan wasiat ini apabila dihubungkan dengan persoalan pembagian harta warisan, maka haruslah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang menjadi wasiat dari si pewaris barulah kemudian harta tersebut dibagikan kepada ahli waris.

42


(39)

Surat wasiat yang telah dibuat dan dilaksanakan serta setiap orang yang memperoleh hak atas suatu warisan ada baiknya menyelidiki keadaan harta peninggalan, agar dapat mempertimbangkan manfaat bagi mereka untuk menerima warisan itu.

Begitu juga halnya dengan wasiat yang diberikan oleh si pewasiat untuk mengadakan pendaftaran atas harta peninggalannya. Apabila suatu wasiat yang dibuat dan telah dilaksnakan serta pula telah dilakukan pendaftarannya, si penerima wasiat berkewajiban untuk mengatur harta benda tersebut.

Dari semua yang telah dipaparkan di atas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa setiap wasiat harus diadakan atau berkewajiban untuk melakukan pendaftaran pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh Undang-undang yang mana dalam hal ini adalah dibuat akta notarisnya.


(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perbedaan pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam yaitu disebutkan dalam KUH Perdata bahwa surat wasiat dapat dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri, yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani oleh yang mewariskan atau olografis, baik dengan akta umum, juga akta rahasia atau tertutup. Surat wasiat harus disimpan kepada seorang notaris, dibantu oleh 2 orang saksi atau yang wajib segera membuat sebuah akte penyimpanan yang harus ditanda tangani oleh yang mewariskan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam suatu surat wasiat dapat dinyatakan dalam bentuk lisan di hadapan 2 orang saksi, atau dalam bentuk tertulis di hadapan 2 orang saksi, atau di hadapan notaris. Dan surat wasiat yang bentuknya tertutup dan disimpan pada notaris dapat dibuka olehnya di hadapan ahli waris dan disaksikan oleh 2 orang saksi dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut.

2. Pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata harus berdasarkan apa yang dibuat oleh pewaris artinya pewaris telah membuat masing-masing bagian ahli waris, sehingga seorang pelaksana wasiat tidak berkuasa menunjuk seorang pengganti. Pelaksana wasiat merupakan tugas penting yang harus diketahui yang mana apabila ada perselisihan ia berkuasa untuk memajukan kepada hakim guna mempertahankan sahnya surat wasiat, pelaksana wasiat harus menyegel barang-barang warisan, jika di antara para ahli waris tidak


(41)

ada yang hadir. Sedangkan menurut ketentuan hukum islam bagi seorang yang merasa ajalnya sudah dekat dan ia meninggalkan harta yang cukup maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat baik kepada orang tuanya, maupun kerabatnya. Kompilasi Hukum Islam dalam buku II Bab VI Pasal 194 menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat yaitu: pewasiat harus berumur 21 tahun, berakal sehat, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak pewasiat, peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah pewasiat meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dilakukan atau dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan antara lain (Pasal 195 KHI) :

a. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.

b. Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan kecuali ada persetujuan semua ahli waris.

c. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. d. Pertanyaan persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan

maupun tulisan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat dihadapan notaris. Kemudian wasiat yang diberikan oleh pewaris dapat dilakukan pendaftaran atas harta peninggalannya, dan setelah didaftarkan, si penerima wasiat berkewajiban untuk mengatur harta benda tersebut.


(42)

B. Saran

1 Dalam rangka pembentukan hukum nasional, lembaga wasiat di Indonesia, azas maupun pelaksanaannya hendaknya diatur dan didasarkan kepada agama atau kepercayaan yang dianut oleh pembuatnya.

2 Sebaiknya pemerintah bersama-sama dengan DPR membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang wasiat, karena wasiat yang diatur dalam KUH Perdata merupakan warisan jaman kolonial. Jadi sudah sepantasnyalah membentuk undang-undang yang sesuai dengan alam kemerdekaan sekarang.


(43)

BAB II

KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TENTANG WASIAT

A. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.13 Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiat itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 872 BW yang menerangkan wasiat atau testament, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Suatu testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfslling” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan

“testamentaire erfgenaam” yaitu ahli waris menurut wasiat dan sama halnya dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel.”14

Adapun dasar hukum wasiat dalam KUH Perdata terdapat pada Pasal 874 sampai dengan Pasal 1002 KUH Perdata yang isinya sebagai berikut:15

1. Bagian I Tentang Ketentuan Umum (diatur Pasal 874 s/d pasal 894): yang intinya, mengatur tentang Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli waris (Pasal 874 KUH Perdata). Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan 13

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 hal. 82.

14


(44)

seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUH Perdata). Ketetapan-ketetapan dengan surat wasiat tentang harta benda dapat juga dibuat secara umum, dapat juga dengan alas hak umum, dan dapat juga dengan alas hak khusus (Pasal 876 KUH Perdata). Ketetapan dengan surat wasiat untuk keuntungan keluarga-keluarga sedarah yang terdekat, atau darah terdekat dan pewaris, dibuat untuk keuntungan para ahli warisnya menurut undang-undang (Pasal 877 KUH Perdata). Ketetapan dengan surat wasiat untuk kepentingan orang-orang miskin, tanpa penjelasan lebih lanjut, dibuat untuk kepentingan semua orang, tanpa membedakan agama yang dianut (Pasal 878 KUH Perdata). Pengangkatan ahli waris yang bersifat melompat atau substitusi fidelcommissaire adalah dilarang (Pasal 879 KUH Perdata). Larangan terhadap pengangkatan ahli waris dengan wasiat

Fidelcommissaire (Pasal 880 KUH Perdata). Apabila pewaris telah meninggal, semua anaknya yang sah menurut hukum, baik yang telah lahir maupun yang akan dilahirkan, memperoleh seluruh atau sebagian harta warisan (Pasal 881 KUH Perdata). Seorang pihak ketiga mendapat hak warisan atau hibah wasiat dalam hal ahli waris atau penerima hibah wasiat tidak menikmatinya (Pasal 882 KUH Perdata). Hak pakai hasil diberikan kepada seseorang dan hak milik semata-mata diberikan kepada orang lain (Pasal 883 KUH Perdata). Harta peninggalan atau hibah wasiat seluruhnya atau sebagian, tidak boleh dipindahtangankan (Pasal 884 KUH Perdata). Surat wasiat tidak boleh ditafsirkan menyimpang (Pasal 885 KUH Perdata). surat wasiat lebih baik diselidiki lebih dahulu apa maksud si pewaris (Pasal 886 KUH Perdata), dan juga harus ditafsirkan dalam arti yang paling sesuai (Pasal 887 KUH Perdata). Surat wasiat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan (Pasal 888 KUH Perdata). Persyaratan tersebut dapat menghalangi pemberian harta waris (Pasal 899 KUH Perdata). Pewaris berhak untuk mengubah surat wasiat (Pasal 890 KUH Perdata). Alasan baik yang benar maupun yang palsu, namun berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan, menjadikan pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat batal (Pasal 891 KUH Perdata). Suatu beban ahli waris dapat dipikulkan kepada beberapa ahli waris atau penerima hibah wasiat (Pasal 892 KUH Perdata). Surat-surat wasiat yang dibuat akibat paksaan, penipuan atau akal licik adalah batal (Pasal 893 KUH Perdata). Bila suatu kecelakaan menyebabkan ahli waris meninggal dunia maka pewaris dapat membatalkan surat wasiatnya (Pasal 894 KUH Perdata).

2. Bagian II Tentang Kecakapan Seorang Untuk Membuat Surat Wasiat atau untuk Menikmati Keuntungan dari Surat Yang Demikian Yang Intinya Mengatur: Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar. (KUH Perdata. 433, 446, 448, 875, 898, 992 jo Pasal 896 KUH Perdata), setiap orang dapat membuat surat wasiat, dan dapat mengambil keuntungan dari surat wasiat, kecuali mereka yang menurut ketentuan-ketentuan bagian ini dinyatakan tidak cakap untuk itu. (KUH Perdata. 2, 118, 173, 433, 446, 448, 836, 897,


(45)

1676.), (Pasal 897 KUH Perdata), anak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat. (KUH Perdata. 151, 169, 330, 904 dst., 1677 jo Pasal 898 KUH Perdata), kecakapan pewaris dinilai menurut keadaannya pada saat surat wasiat dibuat. (KUH Perdata. 895, 904 dst. Jo Pasal 899 KUH Perdata) untuk dapat menikmati sesuatu berdasarkan surat wasiat, seseorang harus sudah ada pada saat si pewaris meninggal, dengan mengindahkan peraturan yang ditetapkan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang diberi hak untuk mendapat keuntungan dari yayasan-yayasan. (KUH Perdata. 472, 489 dst, 836, 881, 894, 973 dst., 976, 1001 dst. Jo Pasal 900 KUH Perdata (s.d.u. dg. S. 1937-572.), setiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk kepentingan lembaga kemasyarakatan, badan keagamaan, gereja atau rumah fakir-miskin tidak mempunyai akibat sebelum pemerintah atau penguasa yang ditunjuk oleh pemerintah memberi kuasa kepada para pengelola lembaga-lembaga itu untuk menerimanya (KUH Perdata. 1046, 1680.), (Pasal 901 KUH Perdata), seorang suami atau istri tidak dapat memperoleh keuntungan dari wasiat-wasiat istrinya atau suaminya, bila perkawinannya dilaksanakan tanpa izin yang sah, dan si pewaris telah meninggal pada waktu keabsahan perkawinan itu masih dapat dipertengkarkan di pengadilan karena persoalan tersebut (KUH Perdata. 28, 35 dst., 87, 91, 911 jo Pasal 902. (s.d.u. dg. S. 1935-486.), suami atau istri yang mempunyai anak atau keturunan dari perkawinan yang dahulu, dan melakukan perkawinan kedua atau berikutnya, tidak boleh memberikan dengan wasiat kepada suami. (Pasal 902a KUH Perdata dan (s.d.t. dg. S. 1923-31.), pasal yang lalu tidak berlaku dalam hal suami dan istri mengadakan kawin rujuk, dan dari perkawinan yang dahulu mereka mempunyai anak-anak atau keturunan, (Pasal 903 KUH Perdata) suami atau istri hanya boleh menghibah wasiatkan barang-barang dari harta bersama, sekedar barang-barang itu termasuk bagian mereka masing-masing dalam harta bersama itu. Akan tetapi bila suatu barang dari harta bersama itu dihibah wasiatkan, si penerima hibah wasiat tidak dapat menuntut barang itu dalam wujudnya, bila barang itu tidak diserahkan oleh pewaris kepada para ahli waris sebagai bagian mereka. (KUH Perdata. 128 dst., 134 dst., 138, 966, 1032, 1067 jo Pasal 904 KUH Perdata). Seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya. Setelah menjadi dewasa, dia tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu kepada bekas walinya, kecuali setelah bekas walinya itu mengadakan dan menutup perhitungan perwaliannya. Dari dua ketentuan di atas dikecualikan keluarga sedarah dari anak di bawah umur itu dalam garis lurus ke atas yang masih menjadi walinya atau yang dulu menjadi walinya. (KUH Perdata. 330, 410, 412, 897, 905, 911, 1681 jo Pasal 905 KUH Perdata), Anak di bawah umur tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu untuk keuntungan pengajarnya, pengasuhnya laki-laki atau perempuan yang tinggal bersama dia, atau gurunya laki-laki atau


(46)

perempuan di tempat pemondokan anak di bawah umur itu. Dalam hal ini dikecualikan penetapan-penetapan yang dibuat sebagai hibah wasiat untuk membalas jasa-jasa yang telah diperoleh, namun dengan mengingat baik kekayaan si pembuat wasiat maupun jasa-jasa yang telah dibaktikan kepadanya. (KUH Perdata. 879, 904, 911 jo Pasal 906 KUH Perdata). Dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan, dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat seseorang selama dia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan dia meninggal, (Pasal 907 KUH Perdata) notaris yang telah membuat wasiat dengan akta umum, dan para saksi yang hadir pada waktu itu, tidak boleh memperoleh kenikmatan apa pun dari apa yang kiranya ditetapkan dalam wasiat itu, (KUH Perdata 911, 938 dst., 944, 953, 1681; Not. 21 jo Pasal 908 KUH Perdata) Bila ayah atau ibu, sewaktu meninggal, meninggalkan anak-anak sah dan anak-anak di luar kawin tetapi telah diakui menurut undang-undang, maka mereka yang terakhir ini tidak akan boleh menikmati warisan lebih dari apa yang diberikan kepada mereka menurut Bab XII buku ini. (KUH Perdata 280 dst., 862 dst., 911, 916, 1681 jo Pasal 909 KUH Perdata) pelaku zinahan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinahnya, dan kawan berzinah ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat si pelaku, asal perzinahan itu, sebelum meninggalnya si pewaris, terbukti dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. (KUH Perdata 911, 1681; Rv. 83, 334, 402 jo S. 1872-11 jis. Stadblad. 1915-299, 642. (Bandingkan. KUH Perdata 937) (Pasal 911 KUH Perdata), suatu ketetapan wasiat yang dibuat untuk keuntungan orang yang tidak cakap untuk mendapat warisan, adalah batal, sekalipun ketetapan itu dibuat dengan nama seorang perantara. Yang dianggap sebagai orang-orang perantara ialah ayahnya dan ibunya, anak-anaknya dan keturunan anak-anaknya, suami atau istri. (KUH Perdata 183, 1681, 1921 jo F. 44 jo Pasal 912 KUH Perdata), orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu).

3. Bagian 3 tentang Legitime Portie Atau Bagian Warisan Menurut Undang-Undang

Dan Pemotongan Hibah-Hibah Yang Mengurangi Legitime Portie Itu bagian ini mengatur: (Pasal 913 KUH Perdata) Legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta-benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. (KUH Perdata 168, 176, 181, 307, 385, 842 dst., 875, 881, 902, 1019, 1686 dst. Jo Pasal 914 KUH Perdata) Suatu ketetapan dengan surat wasiat untuk keuntungan


(47)

keluarga-keluarga sedarah yang terdekat, atau darah terdekat dan pewaris, tanpa penjelasan lebih lanjut, dianggap telah dibuat untuk keuntungan para ahli warisnya menurut undang-undang. (Pasal 915 KUH Perdata). Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dan apa yang menurut undang-undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian. (Pasal 916 KUH Perdata) anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, memperoleh seperdua bagian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. (Pasal 916a KUH Perdata) untuk menghitung legitieme portie harus diperhatikan pihak-pihak yang menjadi ahli waris. (Pasal 917 KUH Perdata) keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah dan anak-anak di luar kawin yang diakui menurut undang-undang tidak ada, maka harta peninggalan tersebut harus dihibahkan. (Pasal 918 KUH Perdata) penetapan dengan akta antara mereka yang masih hidup atau dengan surat wasiat itu berupa hak pakai hasil yang jumlahnya merugikan

legitieme portie, maka para ahli waris yang berhak memperoleh bagian warisan itu boleh memiih untuk melaksanakan penetapan itu. (Pasal 919 KUH Perdata) Bagian yang boleh digunakan secara bebas, boleh dihibahkan, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan akta antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, baik kepada orang-orang bukan ahli waris maupun anak-anaknya atau kepada orang lain yang mempunyai hak atas warisan itu, tetapi tanpa mengurangi keadaan-keadaan di mana orang-orang tersebut terakhlr ini sehubungan dengan Bab 17 buku ini berkewajiban untuk memperhitungkan kembali. (Pasal 920 KUH Perdata) Pemberian-pemberian kepada ahli waris yang masih hidup yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi. (Pasal 921 KUH Perdata), untuk menentukan besarnya legitieme portie, pertama-tama hendaknya dijumlahkan semua harta yang ada pada waktu pewaris meninggal dunia. (Pasal 922 KUH Perdata). Pemindah-tanganan suatu barang, dengan bunga dianggap sebagai hibah. (Pasal 923 KUH Perdata), bila barang yang dihibahkan telah hilang di luar kesalahan ahli waris sebelum meninggalnya penghibah, maka hal itu akan dimaksukkan dalam

legitieme portie. (Pasal 924 KUH Perdata) Hibah-hibah semasa hidup sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme portie. (Pasal 925 KUH Perdata) Pengembalian barang-barang dalam wujud tetap. (Pasal 926 KUH Perdata). Pengurangan terhadap apa yang diwasiatkan, harus dilakukan tanpa membedakan antara pengangkatan tiap-tiap ahli waris. (Pasal 927 KUH Perdata), penerima hibah yang memanfaatkan barang-barang hibah wajib mengembalikan hasil dari pemanfaatan hibah tersebut. (Pasal 928 KUH Perdata) Barang-barang tetap harus dikembalikan ke dalam harta peninggalan. (Pasal 929 KUH Perdata) Tuntutan hukum untuk pengurangan atau pengembalian dapat diajukan oleh para ahli waris terhadap pihak ketiga yang memegang besit. 4. Bagian 4 Bentuk Surat Wasiat Mengatur: (Pasal 930 KUH Perdata) Tidak


(48)

sama. (Pasal 931 KUH Perdata), surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. (Pasal 932 KUH Perdata), wasiat olografis

harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. (Pasal 933 KUH Perdata), wasiat olografis setelah disimpan notaris sesuai dengan pasal yang lalu, mempunyai kekuatan yang sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umur. (Pasal 934 KUH Perdata), pewaris boleh meminta kembali wasiat olografisnya sewaktu-waktu asal untuk pertanggungjawaban notaris. (Pasal 935 KUH Perdata) sepucuk surat di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat. (Pasal 936 KUH Perdata), bila surat seperti yang dibicarakan dalam pasal yang lalu diketemukan setelah pewaris meninggal, maka surat itu harus disampaikan kepada Balai Harta Peninggalan yang di daerah hukumnya warisan itu dibuat. (Pasal 937 KUH Perdata), surat wasiat olografis yang tertutup yang disampaikan ke tangan notaris setelah meninggalnya pewaris harus disampaikan kepada Balai Harta Peninggalan. (Pasal 938 KUH Perdata), wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi. (Pasal 939 KUH Perdata) notaris harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas. (Pasal 940 KUH Perdata) Bila pewaris hendak membuat surat wasiat tertutup atau rahasia, dia harus menandatangani penetapan-penetapannya. (Pasal 942 KUH Perdata), setelah pewaris meninggal dunia, Notaris harus menyampaikan wasiat rahasia atau tertutup itu kepada Balai Harta Peninggalan yang dalam daerahnya warisan itu dibuat. (Pasal 943 KUH Perdata) notaris yang menyimpan surat-surat wasiat harus memberikannya kepada ahli waris. (Pasal 944 KUH Perdata), saksi-saksi yang hadir pada waktu pembukaan wasiat, harus sudah dewasa dan penduduk Indonesia. (Pasal 945 KUH Perdata), warga negara Indonesia yang berada di negeri asing tidak boleh membuat wasiat selain dengan akta otentik. (Pasal 946 KUH Perdata). Dalam keadaan perang, para tentara anggota angkatan bersenjata lain, yang berada di medan perang ataupun di tempat yang diduduki musuh boleh membuat surat wasiat mereka di hadapan seorang perwira yang serendah-rendahnya berpangkat letnan. (Pasal 947 KUH Perdata), surat wasiat orang-orang yang sedang berlayar di laut, boleh dibuat dihadapan nakhoda atau mualim kapal itu. (Pasal 948 KUH Perdata) Mereka yang mengidap penyakit menular dapat membuat surat wasiat di hadapan pegawai negeri. (Pasal 949 KUH Perdata), surat-surat wasiat tersebut dalam tiga pasal yang lalu harus ditandatangani oleh pegawai negeri. (Pasal 950 KUH Perdata) Surat-surat wasiat termaksud dalam Pasal-Pasal 946,947,948 alinea pertama. (Pasal 951 KUH Perdata) Dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal-Pasal 946, 947,948 alinea pertama, orang-orang yang disebut di dalamnya boleh membuat wasiat dengan surat di bawah tangan. (Pasal 952 KUH Perdata), surat wasiat demikian akan kehilangan kekuatannya bila pewaris meninggal. (Pasal 953 KUH Perdata)


(49)

formalitas-formalitas yang telah ditetapkan untuk berbagai-bagai surat wasiat itu harus diindahkan.

5. Bagian 5 Wasiat Pengangkatan Ahli Waris Mengatur Tentang: (Pasal 954 KUH Perdata), wasiat pengangkatan ahli waris ialah suatu wasiat, di mana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia. (Pasal 955 KUH Perdata), pada waktu pewaris meninggal dunia, para ahli waris yang diangkat dengan wasiat dapat memperoleh besit. (Pasal 956 KUH Perdata), bila timbul perselisihan tentang siapa yang menjadi ahli waris, maka Hakim dapat memerintahkan agar harta benda itu disimpan di pengadilan.

6. Bagian 6 Hibah Wasiat Mengatur: ( Pasal 957 KUH Perdata), hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu. (Pasal 958 KUH Perdata), hibah wasiat yang murni dan tidak bersyarat, diberikan kepada penerima wasiat (legitans). (Pasal 959 KUH Perdata), penerima hibah wasiat harus meminta barang yang dihibahkan kepada para ahli waris atau penerima wasiat yang diwajibkan untuk menyerahkan barang yang dihibahkan itu. (Pasal 96O KUH Perdata), bunga dan hasil barang-barang yang dihibahwasiatkan diberikan kepada penerima wasiat. ( Pasal 961 KUH Perdata), pajak wasiat diberikan kepada penerima Wasiat. (Pasal 962 KUH Perdata), bila pewaris mewajibkan suatu beban kepada beberapa penerima hibah, maka mereka wajib memenuhinya. (Pasal 963 KUH Perdata), barang yang dihibahwasiatkan harus diserahkan semuanya kepada ahli waris. (Pasal 964 KUH Perdata), setelah ahli waris menerima warisan maka hasil dari pemanfaatan harta waris tidak termasuk hibah waris. (Pasal 965 KUH Perdata) sebelum atau sesudah dibuat surat wasiat, barang yang dihibahwasiatkan terikat dengan hipotek atau dengan hak pakai basil untuk suatu utang dan harta peninggalan maka orang yang harus menyerahkan hibah wasiat itu tidak wajib melepaskan barang dan ikatan itu. (Pasal 966 KUH Perdata), bila pewaris menghibahwasiatkan barang tertentu milik orang lain, hibah wasiat tersebut batal. (Pasal 967 KUH Perdata) ketentuan pasal yang lalu tidak menjadi halangan untuk membebankan kewajiban tertentu kepada ahli waris atau penerima hibah wasiat. (Pasal 968 KUH Perdata), hibah-hibah wasiat mengenai barang-barang tetentu adalah sah. (Pasal 969 KUH Perdata), bila hibah wasiatnya terdiri dari barang-barang tak tentu, ahli waris tidak wajib memberikan barang yang terbaik. (Pasal 970 KUH Perdata), bila yang dihibahwasiatkan hanya hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan tanpa digunakan kata-kata hak pakai basil atau hak pakai oleh pewanis, maka barang yang bersangkutan haruslah tetap berada dalam pengelolaan ahli warisnya. (Pasal 971 KUH Perdata), hibah wasiat kepada seorang kreditur tidak boleh dihitung sebagai pelunasan piutangnya. (Pasal 972 KUH Perdata), bila warisan tidak seluruhnya atau hanya sebagian diterima, maka hibah-hibah wasiat itu harus dikurangi, sebanding dengan besarnya


(50)

masing-masing, kecuali bila pewaris telah menetapkan lain mengenai hal itu.

7. Bagian 7 Penunjukan Ahli Waris Dengan Wasiat Untuk Kepentingan Cucu-Cucu dan Keturunan Saudara Laki-Laki dan Perempuan Mengatur: (Pasal 973 KUH Perdata), barang-barang yang dikuasai sepenuhnya oleh orangtua, boleh mereka hibah wasiatkan. (Pasal 974 KUH Perdata) demikian juga, boleh dibuat penetapan wasiat untuk keuntungan satu atau beberapa saudara laki-laki atau perempuan dan pewaris. (Pasal 975 KUH Perdata), bila ahli waris meninggal dengan meninggalkan anak-anak, maka sekalian keturunan ini berhak menikmati bagian dari harta waris. (Pasal 976 KUH Perdata), segala ketetapan wasiat yang diizinkan oleh Pasal 973 dan 974, hanya berlaku pada pengangkatan waris. (Pasal 977 KUH Perdata), hak-hak ahli yang diangkat dengan penunjukkan ahli waris dengan wasiat, mulai berlaku pada saat berhentinya hak menikmati atas barang. (Pasal 978 KUH Perdata), barangsiapa membuat ketetapan-ketetapan tersebut dalam pasal yang lalu, dengan suatu wasiat atau dengan suatu akta notaris yang dibuat kemudian, boleh menempatkan barang-barang di bawah kekuasaan satu atau beberapa pengelola selama dalam masa beban. (Pasal 979 KUH Perdata), bila pengelola itu meninggal atau tidak ada, Hakim berkuasa mengangkat orang lain untuk mengganti pengurus itu. (Pasal 980 KUH Perdata), dalam waktu sebulan setelah meninggalnya orang yang membuat penetapan wasiat seperti di maka atas permintaan orang-orang yang berkepentingan atau atas tuntutan jawatan Kejaksaan, harus dibuat perincian barang-barang yang merupakan harta peninggalan itu. (Pasal 982 KUH Perdata), bila pewaris tidak mengangkat pengelola, maka barang-barangnya dikelola oleh ahli waris yang dibebani, dan ia wajib menjamin penyimpanannya. (Pasal 983 KUH Perdata), ahli waris memikul beban, harus merelakan barang-barang itu dialihkan, atas permohonan orang-orang yang berkepentingan. (Pasal 984 KUH Perdata), ahIi waris pemikul beban, yang menjalankan sendiri pengelolaannya, harus mengelola barang-barang itu sebagaimana layaknya seorang kepala rumah tangga yang baik. (Pasal 985 KUH Perdata), segala harta benda tetap, demikian pula bunga dan piutang, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani, kecuali dengan izin Pengadilan Negeri. (Pasal 986 KUH Perdata), pengangkatan ahli waris dengan wasiat yang pada bagian ini diperkenankan, tidak boleh dipertahankan terhadap pihak ketiga. (Pasal 987 KUH Perdata), ahli waris karena undang-undang atau ahli waris karena surat wasiat dan orang yang mengangkat ahli waris dengan wasiat, tidak boleh mengajukan bantahan kepada ahli waris. (Pasal 988 KUH Perdata), para pengelola wajib menyelenggarakan pengumuman, pendaftaran dan pembubuhan keterangan.

8. Bagian 8 Penunjukan Ahli Waris Dengan Wasiat dan Apa Yang Oleh Ahli Waris Atau Penerima Hibah Wasiat Tidak Dipindahtangankan Atau Dihabiskan Sebagai Harta Peninggalan Mengatur: (Pasal 989 KUH Perdata), dalam hal ada pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat ahli waris atau penerima hibah berhak memindahkan atau


(1)

ABSTRAK

Wasiat adalah suatu akta yang berisikan suatu pernyataan kemauan terakhir dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap kekayaannya setelah dia meninggal dunia kelak.

Wasiat mempunyai fungsi terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut ucapannya yang tujuannya yaitu untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcokan dan membagi-bagi harta peninggalannya dikemudian hari diantara para ahli waris.

Di dalam KUH Perdata surat wasiat dapat dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri, yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani oleh orang yang mewarisi atau olografis, pengaturan warsiat terdapat dalam Pasal 930-953 KUH Perdata.

Menurut Kompilasi Hukum Islam suatu surat wasiat dapat dinyatakan dalam bentuk lisan di hadapan 2 orang saksi, atau dihadapan notaris. Dan surat wasiat yang dibentuknya tertutup dan disimpan pada notaris dapat dibuka disaksikan oleh 2 orang saksi dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut, cara pembuatan wasiat diatur dalam Pasal 195.

Berangkat dari hal tersebut di atas, saya berharap dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan surat wasiat baik menurut KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam. Dimana surat wasiat sangat sulit untuk dibuktikan, maka dari itu wasiat harus dibarengi oleh 2 orang saksi atau dihadapan notaris, dan diharapkan dapat dijadikan sumbang saran dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum Perdata dan Hukum Islam.

Adapun beberapa temuan saya dalam kaitannya dengan penyelesaian surat wasiat, secara umum dapat digambarkan sebagai beriktu : bahwa sesungguhnya dalam pembuatan surat wasiat diperlukan penyuluhan tentang hukum dan hendak diperluas sampai daerah pedesaan yang penduduknya masih awam dengan hukum dan tidak mengetahui tentang aturan membuat wasiat, karena bagi masyarakat yang belum mengerti kemungkinan mereka hanya pasrah menerima penyelesaian yang merugikan salah satu pihak, maka dari itu saya berharap agar dilaksanakannya penyuluhan hukum tersebut sehingga keadilan itu benar-benar dapat ditegakkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam yang saya teliti dapat dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk menyusun skripsi ini saya melakukan penelitian ke perpustakaan yaitu dengan mengumpulkan semua buku-buku ataupun data-data yang ada diperpustakaan yang dibutuhkan dan menyangkut substansi penelitian untuk mengumpulan data penulisan skripsi ini.


(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul “Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam”.

Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berkenan menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Penjurusan / Bagian Hukum Keperdataan.

3. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Yesfrizawati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak – bapak dan Ibu – ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.


(3)

6. Para karyawan karyawati sekretariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selama ini sudah banyak membantu dan mendoakan penulis dalam menyusun skripsi ini.

7. Orang tuaku dan keluargaku yang kesemuanya telah memberikan do’a restu, nasehat, serta dorongannya baik secara moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tanpa hambatan yang berarti. 8. Semua orang yang penulis kenal, yang tidak dapat disebutkan namanya

satu-persatu dan sebelumnya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga segala amal dan budi baik yang diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin-amin ya robbal alamin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada kekurangan-kekurangan, dan penulis mengharapkan saran-saran dan kritik-kritik yang sifatnya membangun, demi untuk lebih sempurna dan lebih baik dalam penyusunan selanjutnya.

Medan, September 2010 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penuliasn ... 5

E. Tinjauan Pustakaan ... 6

F. Metode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TENTANG WASIAT ... 14

A.Dasar Hukum Wasiat ... 14

B. Syarat – Syarat Wasiat ... 23

C. Bentuk dan Sifat Wasiat ... 24

1. Wasiat Rahasia (geheim)... 24

2. Wasiat Umum (openbar) ... 25

3. Wasiat Ditulis sendiri (olografis) ... 27

4. Codicil ... 29


(5)

6. Erfstelling ... 30

7. Legaat... 31

8. Beban (last) ... 33

9. Fidei commis ... 34

D.Kecakapan Membuat Surat Wasiat ... 36

E. Pihak – Pihak yang Dapat Menikmati Wasiat dan yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat ... 36

BAB III KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT ... 39

A. Dasar Hukum Wasiat ... 39

B. Syarat-syarat Wasiat ... 44

C. Bentuk dan Sifat Wasiat ... 46

D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat ... 48

E. Pihak – Pihak yang dapat Menikmati Wasiat dan yang tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat ... 53

BAB IV PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 63

B. Persamaan dan Perbedaan Pembuatan Surat Wasiat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Huku m Islam ... 63

C. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kompilasi Hukum Islam ... 68

1. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata ... 68


(6)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A.Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75