Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam

(1)

PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT UNDANG –

UNDANG HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Hukum

Disusun Oleh

NIM. 050200010 ANDRIE HANAFIE

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT UNDANG –

UNDANG HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI

HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakutlas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

050200254 ANDRIE HANAFIE

Departemen Hukum Keperdataan BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

NIP 196204211988031004 Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS

Dosen Pembimbing I Pembimbing II

Drs. dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA Yefrizawati, SH, M.Hum NIP 195103171980031002 NIP 197512102002122001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Wasiat adalah suatu akta yang berisikan suatu pernyataan kemauan terakhir dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap kekayaannya setelah dia meninggal dunia kelak.

Wasiat mempunyai fungsi terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut ucapannya yang tujuannya yaitu untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcokan dan membagi-bagi harta peninggalannya dikemudian hari diantara para ahli waris.

Di dalam KUH Perdata surat wasiat dapat dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri, yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani oleh orang yang mewarisi atau olografis, pengaturan warsiat terdapat dalam Pasal 930-953 KUH Perdata.

Menurut Kompilasi Hukum Islam suatu surat wasiat dapat dinyatakan dalam bentuk lisan di hadapan 2 orang saksi, atau dihadapan notaris. Dan surat wasiat yang dibentuknya tertutup dan disimpan pada notaris dapat dibuka disaksikan oleh 2 orang saksi dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut, cara pembuatan wasiat diatur dalam Pasal 195.

Berangkat dari hal tersebut di atas, saya berharap dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan surat wasiat baik menurut KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam. Dimana surat wasiat sangat sulit untuk dibuktikan, maka dari itu wasiat harus dibarengi oleh 2 orang saksi atau dihadapan notaris, dan diharapkan dapat dijadikan sumbang saran dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum Perdata dan Hukum Islam.

Adapun beberapa temuan saya dalam kaitannya dengan penyelesaian surat wasiat, secara umum dapat digambarkan sebagai beriktu : bahwa sesungguhnya dalam pembuatan surat wasiat diperlukan penyuluhan tentang hukum dan hendak diperluas sampai daerah pedesaan yang penduduknya masih awam dengan hukum dan tidak mengetahui tentang aturan membuat wasiat, karena bagi masyarakat yang belum mengerti kemungkinan mereka hanya pasrah menerima penyelesaian yang merugikan salah satu pihak, maka dari itu saya berharap agar dilaksanakannya penyuluhan hukum tersebut sehingga keadilan itu benar-benar dapat ditegakkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam yang saya teliti dapat dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk menyusun skripsi ini saya melakukan penelitian ke perpustakaan yaitu dengan mengumpulkan semua buku-buku ataupun data-data yang ada diperpustakaan yang dibutuhkan dan menyangkut substansi penelitian untuk mengumpulan data penulisan skripsi ini.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul “Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Undang – Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam”.

Penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penyusunan skripsi ini penulis telah mendapat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penulis berkenan menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH, MS, selaku Ketua Penjurusan / Bagian Hukum Keperdataan.

3. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Yesfrizawati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan dengan penuh perhatian memberikan petunjuk serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Bapak – bapak dan Ibu – ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.


(5)

6. Para karyawan karyawati sekretariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selama ini sudah banyak membantu dan mendoakan penulis dalam menyusun skripsi ini.

7. Orang tuaku dan keluargaku yang kesemuanya telah memberikan do’a restu, nasehat, serta dorongannya baik secara moril maupun materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tanpa hambatan yang berarti. 8. Semua orang yang penulis kenal, yang tidak dapat disebutkan namanya

satu-persatu dan sebelumnya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga segala amal dan budi baik yang diberikan kepada penulis, akan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT, Amin-amin ya robbal alamin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih ada kekurangan-kekurangan, dan penulis mengharapkan saran-saran dan kritik-kritik yang sifatnya membangun, demi untuk lebih sempurna dan lebih baik dalam penyusunan selanjutnya.

Medan, September 2010 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penuliasn ... 5

E. Tinjauan Pustakaan ... 6

F. Metode Penulisan ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TENTANG WASIAT ... 14

A.Dasar Hukum Wasiat ... 14

B. Syarat – Syarat Wasiat ... 23

C. Bentuk dan Sifat Wasiat ... 24

1. Wasiat Rahasia (geheim)... 24

2. Wasiat Umum (openbar) ... 25

3. Wasiat Ditulis sendiri (olografis) ... 27

4. Codicil ... 29


(7)

6. Erfstelling ... 30

7. Legaat... 31

8. Beban (last) ... 33

9. Fidei commis ... 34

D.Kecakapan Membuat Surat Wasiat ... 36

E. Pihak – Pihak yang Dapat Menikmati Wasiat dan yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat ... 36

BAB III KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT ... 39

A. Dasar Hukum Wasiat ... 39

B. Syarat-syarat Wasiat ... 44

C. Bentuk dan Sifat Wasiat ... 46

D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat ... 48

E. Pihak – Pihak yang dapat Menikmati Wasiat dan yang tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat ... 53

BAB IV PELAKSANAAN SURAT WASIAT MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 63

B. Persamaan dan Perbedaan Pembuatan Surat Wasiat dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Huku m Islam ... 63

C. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata dan Kompilasi Hukum Islam ... 68

1. Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata ... 68


(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A.Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75


(9)

ABSTRAK

Wasiat adalah suatu akta yang berisikan suatu pernyataan kemauan terakhir dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap kekayaannya setelah dia meninggal dunia kelak.

Wasiat mempunyai fungsi terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut ucapannya yang tujuannya yaitu untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcokan dan membagi-bagi harta peninggalannya dikemudian hari diantara para ahli waris.

Di dalam KUH Perdata surat wasiat dapat dinyatakan baik dengan akta tertulis sendiri, yang seluruhnya harus ditulis dan ditanda tangani oleh orang yang mewarisi atau olografis, pengaturan warsiat terdapat dalam Pasal 930-953 KUH Perdata.

Menurut Kompilasi Hukum Islam suatu surat wasiat dapat dinyatakan dalam bentuk lisan di hadapan 2 orang saksi, atau dihadapan notaris. Dan surat wasiat yang dibentuknya tertutup dan disimpan pada notaris dapat dibuka disaksikan oleh 2 orang saksi dengan membuat berita acara pembukaan surat wasiat tersebut, cara pembuatan wasiat diatur dalam Pasal 195.

Berangkat dari hal tersebut di atas, saya berharap dari penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pelaksanaan surat wasiat baik menurut KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam. Dimana surat wasiat sangat sulit untuk dibuktikan, maka dari itu wasiat harus dibarengi oleh 2 orang saksi atau dihadapan notaris, dan diharapkan dapat dijadikan sumbang saran dalam dunia ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum Perdata dan Hukum Islam.

Adapun beberapa temuan saya dalam kaitannya dengan penyelesaian surat wasiat, secara umum dapat digambarkan sebagai beriktu : bahwa sesungguhnya dalam pembuatan surat wasiat diperlukan penyuluhan tentang hukum dan hendak diperluas sampai daerah pedesaan yang penduduknya masih awam dengan hukum dan tidak mengetahui tentang aturan membuat wasiat, karena bagi masyarakat yang belum mengerti kemungkinan mereka hanya pasrah menerima penyelesaian yang merugikan salah satu pihak, maka dari itu saya berharap agar dilaksanakannya penyuluhan hukum tersebut sehingga keadilan itu benar-benar dapat ditegakkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam yang saya teliti dapat dikatakan sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Untuk menyusun skripsi ini saya melakukan penelitian ke perpustakaan yaitu dengan mengumpulkan semua buku-buku ataupun data-data yang ada diperpustakaan yang dibutuhkan dan menyangkut substansi penelitian untuk mengumpulan data penulisan skripsi ini.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru dalam kehidupannya. Dalam arti sosiologis manusia menjadi pengemban hak dan kewajiban, selama manusia masih hidup di dalam masyarakat, dia mempunyai tempat di dalam masyarakat disertai dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban terhadap orang atau anggota lain dari masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada dalam masyarakat itu. Manusia dalam perjalanan hidupnya di dunia ini mengalami 3 peristiwa penting, yaitu: waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, dan waktu ia meninggal dunia.

Pada umumnya setiap orang mempunyai hak untuk membuat surat atau akta wasiat, yang di dalamnya terkandung kemauan terakhir dari pihak yang membuatnya dan hal ini boleh dicabut kembali selama dia (si pewasiat) sebelum meninggal atau selama dia masih hidup. Wasiat atau disebut juga testament diatur dalam buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Masalah wasiat atau testament adalah suatu masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat umumnya. Hal ini disebabkan karena penghidupan masyarakat tidak terlepas dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan atau kepuasan hidupnya, dan khusus melalui wasiat orang ingin memenuhi kehendaknya berupa pernyataan tentang harta kekayaannya pada masa yang akan datang atau di kemudian hari.

Pada umumnya, surat wasiat dibuat dengan tujuan agar para ahli waris tidak dapat mengetahui apakah harta warisan yang ditinggalkan oleh pewasiat


(11)

akan diwariskan kepada ahli warisnya, atau malah diwariskan kepada pihak lain yang sama sekali bukan ahli warisnya sampai tiba waktu pembacaan surat wasiat tersebut. Dan hal tersebut kerap kali menimbulkan persoalan di antara para ahli waris dengan yang bukan ahli waris, akan tetapi sesuai surat wasiat orang yang bukan ahli waris tersebut mendapat harta wasiat. Tentunya akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dan mengajukan bantahan/pembatalan tentang kebenaran isi surat wasiat yang dibuat oleh si pewaris. Oleh karena itu surat wasiat itu berlaku sesudah si pewaris meninggal dunia sehingga sangat sukar untuk membuktikan keabsahannya sebab ada juga surat wasiat dibuat tanpa campur tangan seorang notaris.

R. Subekti, mengatakan bahwa:

“Suatu wasiat atau testament adalah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal”.1

Dalam Pasal 875 KUH Perdata “wasiat atau testament adalah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”.

2

1

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Inter Masa, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1998, hal. 93. (selanjutnya disebut R. Subekti 1)

2

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2000, hal. 194. (selanjutnya disebut R. Subekti 2)

Sudah tentu masih banyak lagi pendapat-pendapat lain dari para sarjana hukum yang mengemukakan masalah wasiat, tetapi tidak selamanya para sarjana hukum itu mempunyai pendapat yang sama tentang defenisi wasiat atau

testament. Sesuai dengan pepatah “Sebegitu banyak kepala, sebegitu banyak


(12)

Tetapi dari pendapat para sarjana dimaksud dapat disimpulkan bahwa, wasiat atau testament itu adalah suatu cara untuk memenuhi kehendak atau keinginan seseorang tentang harta kekayaannya di kemudian hari atau pada masa yang akan datang. Namun demikian kehendak atau keinginan seseorang itu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku dan oleh sebab itu hukum mengatur tentang pemberian atau pembatasan wasiat ini.

Dalam hal ini adalah patut kalau hukum mengizinkan untuk menentukan cara pembagian harta warisan yang menyimpang dari hukum waris biasa. Karena pada hakikatnya seorang pemilik barang-barang kekayaan berhak penuh untuk melakukannya sesuai dengan kehendaknya dan hakikat ini adalah suatu kemauan terakhir dari pewaris yang patut di hormati dalam batas-batas tertentu.

Dengan adanya testament ini, maka sering terhindar pertikaian di antara para ahli waris dalam hal pembagian harta warisan. Karena ahli waris menghormati kemauan ataupun kehendak terakhir dari si pewaris tersebut. Namun demikian, agar pembagian harta warisan secara praktis dan adil dapat dilaksanakan maka hukum membatasi testament itu, pembatasan mana tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.

Adanya perbedaan antara ketentuan hukum yang berlaku dengan praktek hukum dalam masyarakat tentang pembuatan surat wasiat pada masa ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah ketentuan hukum yang masih ada dapat dipakai dalam kemajuan perkembangan masyarakat dalam bidang hukum.

Karena adanya beberapa hukum perdata yang berlaku di Indonesia, maka tentang wasiat pun belum ada kesatuan atau keseragaman hukum yang


(13)

mengaturnya. Karena hukum perdata yang berlaku di Indonesia itu ada beberapa macam, maka penulis akan berusaha untuk mencoba membahas masalah wasiat atau testament ini menurut hukum-hukum tersebut dan tentang bagaimanakah pengaturannya akan penulis bahas dalam bagian berikutnya.

B. Perumusan Masalah

Setiap melakukan penelitian penting dikemukakan permasalahan dalam penulisan karena dalam hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan.

Adapun yang merupakan permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Bagaimana perbedaan pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan

Kompilasi Hukum Islam.

b. Bagaimana pelaksanaan surat wasiat menurut KUH Perdata dan Kompilasi Huku m Islam.

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan

Penulisan tentang pelaksanaan surat wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam bertujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi hukum atau perundang-undangan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan surat wasiat menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam namun disamping itu juga bertujuan: 1. Mengetahui perbedaan pembuatan surat wasiat dalam KUH Perdata dan


(14)

2. Mengetahui pelaksanaan surat wasiat berdasarkan KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Dari Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat: 1. Secara Teoritis

a. Menambah khasanah ilmu Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam khususnya hukum waris berdasarkan testamen (wasiat).

b. Memberi bahan masukan dan/atau dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum perdata khususnya wasiat.

2. Secara praktis

a. dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi para praktisi hukum sehubungan dengan wasiat.

b. Mengungkap masalah-masalah yang timbul dan/atau muncul dalam lapangan hukum dan masyarakat serta memberikan solusinya sehubungan dengan wasiat.

D. Keaslian Penulisan

“Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam” yang diangkat menjadi judul skripsi merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun skripsi ini berdasarkan referensi buku-buku, hasil pemikiran, bahan-bahan dari media


(15)

internet, dan juga melalui bantuan dari berbagai pihak. Semua ini merupakan implikasi pengetahuan dalam bentuk tulisan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Wasiat Menurut Hukum Perdata

Seorang pemilik harta kekayaan, yang pada masa hidupnya sering mempunyai keinginan agar supaya harta bendanya atau harta kekayaannya diperlukan untuk atau menurut kehendaknya di kemudian hari setelah ia meninggal dunia.

Wasiat juga merupakan suatu jalan bagi pemilik harta kekayaan dan harta benda semasa hidupnya untuk menyatakan keinginannya yang terakhir tentang pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku setelah ia meninggal dunia.

Di kota-kota besar khususnya, pada akhir-akhir ini tidak jarang wasiat itu ditulis oleh seorang notaris yang khusus diundang untuk mendengarkan ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Dengan cara demikian maka wasiat tersebut memperoleh bentuk akta notaris dan yang disebut Testament.

Menurut Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “surat wasiat atau testament ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”. Jadi wasiat atau testament adalah suatu akta yang berisikan


(16)

suatu pernyatan kemauan terakhir dari seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap kekayaannya setelah dia meninggal dunia kelak.

Keinginan terakhir ini lazimnya diucapkan pada waktu si pewaris sudah sakit keras, serta tidak dapat diharapkan akan sembuh kembali lagi, bahkan kadang-kadang dilakukan pada saat sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Mengucapkan kemauan terakhir ini biasanya dilakukan dihadapan anggota keluarganya yang terdekat yang dapat dipercayai olehnya.

Untuk lebih tegasnya, sesungguhnya wasiat itu mempunyai maksud terutama untuk mewajibkan para ahli warisnya membagi-bagi harta peninggalannya dengan cara yang layak menurut ucapannya yang tujuannya yaitu untuk mencegah perselisihan, keributan dan cekcok dalam membagi-bagi harta peninggalannya dikemudian hari diantara para ahli waris.

Wasiat atau testament ini seperti juga pewarisan atau penghibahan, mempunyai dua corak sebagai berikut : 3

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapatlah di tarik kesimpulan yaitu:

a. Mereka yang membuat suatu pernyataan tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dunia, pada asasnya hanyalah pernyataan suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.

b. Pewaris yang telah menetapkan bagian-bagian harta warisannya untuk ahli warisnya, menjadi hak para ahli warisnya dalam garis lencang dan hak tersebut tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.

4

1) Bahwa wasiat berlaku sesudah pewaris meninggal dunia. 2) Senantiasa dapat dicabut kembali semasa pewaris masih hidup.

3

R. Subekti, op.cit., hal.106-107.

4


(17)

3) Surat wasiat dapat diubah jika memuat tujuan atau dasar yang tidak sopan dan tidak mungkin dilakukan juga bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.

Pembuatan wasiat atau testament adalah “merupakan suatu tindakan yang sangat pribadi, hal ini berarti bahwa tindakan itu tidak dapat oleh seorang wakil, baik wakil berdasarkan undang-undang maupun wakil berdasarkan kontrak. Lain halnya dalam mengikat perkawinan dan membuat syarat-syarat perkawinan dapat dilakukan oleh seorang wakil, tetapi membuat wasiat atau testament harus pewaris sendiri, hal tersebut juga berlaku dalam hal pembuatan wasiat atau testament di muka seorang notaris, tetapi berlaku juga untuk semua formalitas-formalitas yang diperlukan untuk membuat suatu wasiat atau testament, misalnya untuk formalitas membuat suatu wasiat atau testament rahasia atau juga diperlukan untuk membuat wasiat atau testament yang dikehendaki juga untuk membatalkan wasiat atau

testament itu”.5

a. Wasiat Rahasia (Geheim).

Ketentuan umum menurut Pasal 931 BW (KUH Perdata) wasiat atau testament menurut bentuknya terdiri dari :

b. Wasiat Umum (Openbaar). c. Wasiat ditulis sendiri (Olografis) d. Codicil

e. Wasiat Darurat

5


(18)

2. Pengertian Wasiat Menurut Hukum Islam

Kalau diperhatiakan dari segi asal kata wasiat berasal dari kata Arab, yaitu “Al- washiyah yang secara harfiah artinya adalah pesan, perintah atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah wafat”.6

Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati.7

Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka rela yang dikaitkan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang, ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati”.

Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pemberian manfaat dari milik pemberi wasiat kepada yang menerima wasiat.

8

6

Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam, Penerbit Mandar maju, Bandung, 2009. hal 141

7

http://www.pemantauperadilan.com/delik/4HUKUM%20WARIS%20ISLAM%20DAN%20PERM ASALAHANNYA.pdf (di akses tanggal 2010-06-03)

8


(19)

Dan adapun pendapat M. Sulaiman Rasyid dalam bukunya Fiqh Islam tentang wasiat, yang menyatakan bahwa “Wasiat ialah pesan atau kebaikan hati yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia”.9

Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.10

Sedangkan Al-Jaziri, menjelaskan bahwa di kalangan mazhab Syafi'i, Hambali, dan Maliki memberi definisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (Pasal 171 huruf f).11

Pada dasarnya inti dari definisi yang amat beragam itu ialah bahwa wasiat itu merupakan pesan dari seseorang yang isinya memberikan sejumlah harta atau

9

10

Ibid;

tanggal 03 Juni 2010)


(20)

pembatasan/ pengurangan utang atau pemberian manfaat harta kepada orang lain setelah ia wafat. Dengan istilah lain bahwa wasiat itu pesan yang intinya memberikan harta kepada pihak lain yang pemberian itu mulai berlaku apabila pihak yang berpesan meninggal dunia.

Jadi ahli waris tidak saja atau bukan saja sebagai penerima warisan, tetapi masih diberi kesempatan untuk menikmati wasiat dengan ketentuan tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari sisa harta peninggalan. Pada ketentuan tersebut telah jelas bahwa wasiat tidak boleh melampaui 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan. Maka jika jumlah wasiat-wasiat untuk orang tua, keluarga dekat dan janda telah sepertiga, maka Iain-lain wasiat tidak bernilai lagi dan jika 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan kurang dari 1/3 (sepertiga) atau kurang dari jumlah wasiat-wasiat untuk orang tua, keluarga dekat janda, setelah itu biasanya dibagikan antara wasiat-wasiat untuk orang tua dan keluarga dekat menurut pengurangan yang berimbang.

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar dapat mencapai tujuan lebih terarah serta dapat dipertanggung jawabkan, maka skripsi ini menggunakan penelitian yang bersifat deskriktif analitis dan dilakukan melalui metode pendekatan yuridis normatif. Adapun pengumpulan data dari tulisan ini, dilakukan melaui studi pustaka (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang ingin diteliti. Bahan pustaka yang dijadikan sumber dari penelitian disebut juga data sekunder.


(21)

Metode library research ini dilakukan melalui upaya untuk mempelajari sumber-sumber/bahan tertulis tersebut berupa buku-buku, artikel dokumen-dokumen, hasil seminar, diskusi, simposium, dan sebagainya.12

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini di buat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini berupa satu kesatuan yang saling berhubungan antara satu dengan yang lain yang dapat dilihat sebagai berikut: Bab I Pendahuluan; pada bab ini berisikan tentang hal-hal dasar yang akan

dijelaskan pada bab-bab berikutnya yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tentang Wasiat; pada bab ini akan dibahas mengenai, dasar hukum dari wasiat, syarat-syarat wasiat, bentuk dan sifat wasiat, kecakapan membuat surat wasiat, pihak-pihak yang dapat menikmati wasiat dan yang tidak diperkenankan menikmati wasiat.

Bab III Ketentuan Kompilasi Hukum Islam Tentang Wasiat; pada bab ini akan dibahas mengenai, dasar hukum wasiat, syarat-syarat wasiat, bentuk dan sifat wasiat, kecakapan membuat surat wasiat, pihak-pihak yang dapat menikmati wasiat dan yang tidak diperkenankan menikmati wasiat.

12


(22)

Bab IV Pelaksanaan Surat Wasiat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Kompilasi Hukum Islam; pada bab ini akan dibahas mengenai, pelaksanaan surat, wasiat menurut, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam, persamaan dan perbedaan pembuatan surat wasiat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.

Bab V Kesimpulan dan Saran; pada bab ini berisikan tentang rangkuman dari seluruh pembahasan penulis pada bab-bab sebelumnya, serta beberapa saran.


(23)

BAB II

KETENTUAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA TENTANG WASIAT

A. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya.13 Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiat itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 872 BW yang menerangkan wasiat atau testament, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Suatu testament berisi apa yang dinamakan suatu “erfslling” yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Orang yang ditunjuk itu dinamakan

“testamentaire erfgenaam” yaitu ahli waris menurut wasiat dan sama halnya

dengan seorang ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si meninggal “onder algemene titel.”14

Adapun dasar hukum wasiat dalam KUH Perdata terdapat pada Pasal 874 sampai dengan Pasal 1002 KUH Perdata yang isinya sebagai berikut:15

1. Bagian I Tentang Ketentuan Umum (diatur Pasal 874 s/d pasal 894): yang intinya, mengatur tentang Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli waris (Pasal 874 KUH Perdata). Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan

13

Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 hal. 82.

14

Ibid hal., 83

15


(24)

seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUH Perdata). Ketetapan-ketetapan dengan surat wasiat tentang harta benda dapat juga dibuat secara umum, dapat juga dengan alas hak umum, dan dapat juga dengan alas hak khusus (Pasal 876 KUH Perdata). Ketetapan dengan surat wasiat untuk keuntungan keluarga-keluarga sedarah yang terdekat, atau darah terdekat dan pewaris, dibuat untuk keuntungan para ahli warisnya menurut undang-undang (Pasal 877 KUH Perdata). Ketetapan dengan surat wasiat untuk kepentingan orang-orang miskin, tanpa penjelasan lebih lanjut, dibuat untuk kepentingan semua orang, tanpa membedakan agama yang dianut (Pasal 878 KUH Perdata). Pengangkatan ahli waris yang bersifat melompat atau substitusi fidelcommissaire adalah dilarang (Pasal 879 KUH Perdata). Larangan terhadap pengangkatan ahli waris dengan wasiat

Fidelcommissaire (Pasal 880 KUH Perdata). Apabila pewaris telah

meninggal, semua anaknya yang sah menurut hukum, baik yang telah lahir maupun yang akan dilahirkan, memperoleh seluruh atau sebagian harta warisan (Pasal 881 KUH Perdata). Seorang pihak ketiga mendapat hak warisan atau hibah wasiat dalam hal ahli waris atau penerima hibah wasiat tidak menikmatinya (Pasal 882 KUH Perdata). Hak pakai hasil diberikan kepada seseorang dan hak milik semata-mata diberikan kepada orang lain (Pasal 883 KUH Perdata). Harta peninggalan atau hibah wasiat seluruhnya atau sebagian, tidak boleh dipindahtangankan (Pasal 884 KUH Perdata). Surat wasiat tidak boleh ditafsirkan menyimpang (Pasal 885 KUH Perdata). surat wasiat lebih baik diselidiki lebih dahulu apa maksud si pewaris (Pasal 886 KUH Perdata), dan juga harus ditafsirkan dalam arti yang paling sesuai (Pasal 887 KUH Perdata). Surat wasiat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan (Pasal 888 KUH Perdata). Persyaratan tersebut dapat menghalangi pemberian harta waris (Pasal 899 KUH Perdata). Pewaris berhak untuk mengubah surat wasiat (Pasal 890 KUH Perdata). Alasan baik yang benar maupun yang palsu, namun berlawanan dengan undang-undang atau kesusilaan, menjadikan pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat batal (Pasal 891 KUH Perdata). Suatu beban ahli waris dapat dipikulkan kepada beberapa ahli waris atau penerima hibah wasiat (Pasal 892 KUH Perdata). Surat-surat wasiat yang dibuat akibat paksaan, penipuan atau akal licik adalah batal (Pasal 893 KUH Perdata). Bila suatu kecelakaan menyebabkan ahli waris meninggal dunia maka pewaris dapat membatalkan surat wasiatnya (Pasal 894 KUH Perdata).

2. Bagian II Tentang Kecakapan Seorang Untuk Membuat Surat Wasiat atau untuk Menikmati Keuntungan dari Surat Yang Demikian Yang Intinya Mengatur: Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu surat wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar. (KUH Perdata. 433, 446, 448, 875, 898, 992 jo Pasal 896 KUH Perdata), setiap orang dapat membuat surat wasiat, dan dapat mengambil keuntungan dari surat wasiat, kecuali mereka yang menurut ketentuan-ketentuan bagian ini dinyatakan tidak cakap untuk itu. (KUH Perdata. 2, 118, 173, 433, 446, 448, 836, 897,


(25)

1676.), (Pasal 897 KUH Perdata), anak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat. (KUH Perdata. 151, 169, 330, 904 dst., 1677 jo Pasal 898 KUH Perdata), kecakapan pewaris dinilai menurut keadaannya pada saat surat wasiat dibuat. (KUH Perdata. 895, 904 dst. Jo Pasal 899 KUH Perdata) untuk dapat menikmati sesuatu berdasarkan surat wasiat, seseorang harus sudah ada pada saat si pewaris meninggal, dengan mengindahkan peraturan yang ditetapkan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang ini. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang diberi hak untuk mendapat keuntungan dari yayasan-yayasan. (KUH Perdata. 472, 489 dst, 836, 881, 894, 973 dst., 976, 1001 dst. Jo Pasal 900 KUH Perdata (s.d.u. dg. S. 1937-572.), setiap pemberian hibah dengan surat wasiat untuk kepentingan lembaga kemasyarakatan, badan keagamaan, gereja atau rumah fakir-miskin tidak mempunyai akibat sebelum pemerintah atau penguasa yang ditunjuk oleh pemerintah memberi kuasa kepada para pengelola lembaga-lembaga itu untuk menerimanya (KUH Perdata. 1046, 1680.), (Pasal 901 KUH Perdata), seorang suami atau istri tidak dapat memperoleh keuntungan dari wasiat-wasiat istrinya atau suaminya, bila perkawinannya dilaksanakan tanpa izin yang sah, dan si pewaris telah meninggal pada waktu keabsahan perkawinan itu masih dapat dipertengkarkan di pengadilan karena persoalan tersebut (KUH Perdata. 28, 35 dst., 87, 91, 911 jo Pasal 902. (s.d.u. dg. S. 1935-486.), suami atau istri yang mempunyai anak atau keturunan dari perkawinan yang dahulu, dan melakukan perkawinan kedua atau berikutnya, tidak boleh memberikan dengan wasiat kepada suami. (Pasal 902a KUH Perdata dan (s.d.t. dg. S. 1923-31.), pasal yang lalu tidak berlaku dalam hal suami dan istri mengadakan kawin rujuk, dan dari perkawinan yang dahulu mereka mempunyai anak-anak atau keturunan, (Pasal 903 KUH Perdata) suami atau istri hanya boleh menghibah wasiatkan barang-barang dari harta bersama, sekedar barang-barang itu termasuk bagian mereka masing-masing dalam harta bersama itu. Akan tetapi bila suatu barang dari harta bersama itu dihibah wasiatkan, si penerima hibah wasiat tidak dapat menuntut barang itu dalam wujudnya, bila barang itu tidak diserahkan oleh pewaris kepada para ahli waris sebagai bagian mereka. (KUH Perdata. 128 dst., 134 dst., 138, 966, 1032, 1067 jo Pasal 904 KUH Perdata). Seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai umur delapan belas tahun penuh, tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya. Setelah menjadi dewasa, dia tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu kepada bekas walinya, kecuali setelah bekas walinya itu mengadakan dan menutup perhitungan perwaliannya. Dari dua ketentuan di atas dikecualikan keluarga sedarah dari anak di bawah umur itu dalam garis lurus ke atas yang masih menjadi walinya atau yang dulu menjadi walinya. (KUH Perdata. 330, 410, 412, 897, 905, 911, 1681 jo Pasal 905 KUH Perdata), Anak di bawah umur tidak boleh menghibah wasiatkan sesuatu untuk keuntungan pengajarnya, pengasuhnya laki-laki atau perempuan yang tinggal bersama dia, atau gurunya laki-laki atau


(26)

perempuan di tempat pemondokan anak di bawah umur itu. Dalam hal ini dikecualikan penetapan-penetapan yang dibuat sebagai hibah wasiat untuk membalas jasa-jasa yang telah diperoleh, namun dengan mengingat baik kekayaan si pembuat wasiat maupun jasa-jasa yang telah dibaktikan kepadanya. (KUH Perdata. 879, 904, 911 jo Pasal 906 KUH Perdata). Dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan, dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat seseorang selama dia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan dia meninggal, (Pasal 907 KUH Perdata) notaris yang telah membuat wasiat dengan akta umum, dan para saksi yang hadir pada waktu itu, tidak boleh memperoleh kenikmatan apa pun dari apa yang kiranya ditetapkan dalam wasiat itu, (KUH Perdata 911, 938 dst., 944, 953, 1681; Not. 21 jo Pasal 908 KUH Perdata) Bila ayah atau ibu, sewaktu meninggal, meninggalkan anak-anak sah dan anak-anak di luar kawin tetapi telah diakui menurut undang-undang, maka mereka yang terakhir ini tidak akan boleh menikmati warisan lebih dari apa yang diberikan kepada mereka menurut Bab XII buku ini. (KUH Perdata 280 dst., 862 dst., 911, 916, 1681 jo Pasal 909 KUH Perdata) pelaku zinahan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinahnya, dan kawan berzinah ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat si pelaku, asal perzinahan itu, sebelum meninggalnya si pewaris, terbukti dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. (KUH Perdata 911, 1681; Rv. 83, 334, 402 jo S. 1872-11 jis. Stadblad. 1915-299, 642. (Bandingkan. KUH Perdata 937) (Pasal 911 KUH Perdata), suatu ketetapan wasiat yang dibuat untuk keuntungan orang yang tidak cakap untuk mendapat warisan, adalah batal, sekalipun ketetapan itu dibuat dengan nama seorang perantara. Yang dianggap sebagai orang-orang perantara ialah ayahnya dan ibunya, anak-anaknya dan keturunan anak-anaknya, suami atau istri. (KUH Perdata 183, 1681, 1921 jo F. 44 jo Pasal 912 KUH Perdata), orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta istri atau suaminya dan anak-anaknya, tidak boleh menikmati suatu).

3. Bagian 3 tentang Legitime Portie Atau Bagian Warisan Menurut Undang-Undang

Dan Pemotongan Hibah-Hibah Yang Mengurangi Legitime Portie Itu bagian ini mengatur: (Pasal 913 KUH Perdata) Legitime portie atau bagian warisan menurut undang-undang ialah suatu bagian dari harta-benda yang harus diberikan kepada para ahli waris dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal dunia tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah antara orang-orang yang masih hidup, maupun sebagai wasiat. (KUH Perdata 168, 176, 181, 307, 385, 842 dst., 875, 881, 902, 1019, 1686 dst. Jo Pasal 914 KUH Perdata) Suatu ketetapan dengan surat wasiat untuk keuntungan


(27)

keluarga-keluarga sedarah yang terdekat, atau darah terdekat dan pewaris, tanpa penjelasan lebih lanjut, dianggap telah dibuat untuk keuntungan para ahli warisnya menurut undang-undang. (Pasal 915 KUH Perdata). Dalam garis ke atas legitieme portie itu selalu sebesar separuh dan apa yang menurut undang-undang menjadi bagian tiap-tiap keluarga sedarah dalam garis itu pada pewarisan karena kematian. (Pasal 916 KUH Perdata) anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, memperoleh seperdua bagian sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. (Pasal 916a KUH Perdata) untuk menghitung legitieme portie harus diperhatikan pihak-pihak yang menjadi ahli waris. (Pasal 917 KUH Perdata) keluarga sedarah dalam garis ke atas dan garis ke bawah dan anak-anak di luar kawin yang diakui menurut undang-undang tidak ada, maka harta peninggalan tersebut harus dihibahkan. (Pasal 918 KUH Perdata) penetapan dengan akta antara mereka yang masih hidup atau dengan surat wasiat itu berupa hak pakai hasil yang jumlahnya merugikan

legitieme portie, maka para ahli waris yang berhak memperoleh bagian

warisan itu boleh memiih untuk melaksanakan penetapan itu. (Pasal 919 KUH Perdata) Bagian yang boleh digunakan secara bebas, boleh dihibahkan, baik seluruhnya maupun sebagian, baik dengan akta antara yang masih hidup maupun dengan surat wasiat, baik kepada orang-orang bukan ahli waris maupun anak-anaknya atau kepada orang lain yang mempunyai hak atas warisan itu, tetapi tanpa mengurangi keadaan-keadaan di mana orang-orang tersebut terakhlr ini sehubungan dengan Bab 17 buku ini berkewajiban untuk memperhitungkan kembali. (Pasal 920 KUH Perdata) Pemberian-pemberian kepada ahli waris yang masih hidup yang merugikan bagian legitieme portie, boleh dikurangi. (Pasal 921 KUH Perdata), untuk menentukan besarnya legitieme portie, pertama-tama hendaknya dijumlahkan semua harta yang ada pada waktu pewaris meninggal dunia. (Pasal 922 KUH Perdata). Pemindah-tanganan suatu barang, dengan bunga dianggap sebagai hibah. (Pasal 923 KUH Perdata), bila barang yang dihibahkan telah hilang di luar kesalahan ahli waris sebelum meninggalnya penghibah, maka hal itu akan dimaksukkan dalam

legitieme portie. (Pasal 924 KUH Perdata) Hibah-hibah semasa hidup

sekali-kali tidak boleh dikurangi, kecuali bila ternyata bahwa semua harta benda yang telah diwasiatkan tidak cukup untuk menjamin legitieme

portie. (Pasal 925 KUH Perdata) Pengembalian barang-barang dalam

wujud tetap. (Pasal 926 KUH Perdata). Pengurangan terhadap apa yang diwasiatkan, harus dilakukan tanpa membedakan antara pengangkatan tiap-tiap ahli waris. (Pasal 927 KUH Perdata), penerima hibah yang memanfaatkan barang-barang hibah wajib mengembalikan hasil dari pemanfaatan hibah tersebut. (Pasal 928 KUH Perdata) Barang-barang tetap harus dikembalikan ke dalam harta peninggalan. (Pasal 929 KUH Perdata) Tuntutan hukum untuk pengurangan atau pengembalian dapat diajukan oleh para ahli waris terhadap pihak ketiga yang memegang besit. 4. Bagian 4 Bentuk Surat Wasiat Mengatur: (Pasal 930 KUH Perdata) Tidak


(28)

sama. (Pasal 931 KUH Perdata), surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. (Pasal 932 KUH Perdata), wasiat olografis harus seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris. (Pasal 933 KUH Perdata), wasiat olografis setelah disimpan notaris sesuai dengan pasal yang lalu, mempunyai kekuatan yang sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umur. (Pasal 934 KUH Perdata), pewaris boleh meminta kembali wasiat olografisnya sewaktu-waktu asal untuk pertanggungjawaban notaris. (Pasal 935 KUH Perdata) sepucuk surat di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat. (Pasal 936 KUH Perdata), bila surat seperti yang dibicarakan dalam pasal yang lalu diketemukan setelah pewaris meninggal, maka surat itu harus disampaikan kepada Balai Harta Peninggalan yang di daerah hukumnya warisan itu dibuat. (Pasal 937 KUH Perdata), surat wasiat olografis yang tertutup yang disampaikan ke tangan notaris setelah meninggalnya pewaris harus disampaikan kepada Balai Harta Peninggalan. (Pasal 938 KUH Perdata), wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris dan dua orang saksi. (Pasal 939 KUH Perdata) notaris harus menulis atau menyuruh menulis kehendak pewaris dalam kata-kata yang jelas. (Pasal 940 KUH Perdata) Bila pewaris hendak membuat surat wasiat tertutup atau rahasia, dia harus menandatangani penetapan-penetapannya. (Pasal 942 KUH Perdata), setelah pewaris meninggal dunia, Notaris harus menyampaikan wasiat rahasia atau tertutup itu kepada Balai Harta Peninggalan yang dalam daerahnya warisan itu dibuat. (Pasal 943 KUH Perdata) notaris yang menyimpan surat-surat wasiat harus memberikannya kepada ahli waris. (Pasal 944 KUH Perdata), saksi-saksi yang hadir pada waktu pembukaan wasiat, harus sudah dewasa dan penduduk Indonesia. (Pasal 945 KUH Perdata), warga negara Indonesia yang berada di negeri asing tidak boleh membuat wasiat selain dengan akta otentik. (Pasal 946 KUH Perdata). Dalam keadaan perang, para tentara anggota angkatan bersenjata lain, yang berada di medan perang ataupun di tempat yang diduduki musuh boleh membuat surat wasiat mereka di hadapan seorang perwira yang serendah-rendahnya berpangkat letnan. (Pasal 947 KUH Perdata), surat wasiat orang-orang yang sedang berlayar di laut, boleh dibuat dihadapan nakhoda atau mualim kapal itu. (Pasal 948 KUH Perdata) Mereka yang mengidap penyakit menular dapat membuat surat wasiat di hadapan pegawai negeri. (Pasal 949 KUH Perdata), surat-surat wasiat tersebut dalam tiga pasal yang lalu harus ditandatangani oleh pegawai negeri. (Pasal 950 KUH Perdata) Surat-surat wasiat termaksud dalam Pasal-Pasal 946,947,948 alinea pertama. (Pasal 951 KUH Perdata) Dalam hal-hal yang diatur dalam Pasal-Pasal 946, 947,948 alinea pertama, orang-orang yang disebut di dalamnya boleh membuat wasiat dengan surat di bawah tangan. (Pasal 952 KUH Perdata), surat wasiat demikian akan kehilangan kekuatannya bila pewaris meninggal. (Pasal 953 KUH Perdata)


(29)

formalitas-formalitas yang telah ditetapkan untuk berbagai-bagai surat wasiat itu harus diindahkan.

5. Bagian 5 Wasiat Pengangkatan Ahli Waris Mengatur Tentang: (Pasal 954 KUH Perdata), wasiat pengangkatan ahli waris ialah suatu wasiat, di mana pewaris memberikan kepada satu orang atau lebih harta benda yang ditinggalkannya pada waktu dia meninggal dunia. (Pasal 955 KUH Perdata), pada waktu pewaris meninggal dunia, para ahli waris yang diangkat dengan wasiat dapat memperoleh besit. (Pasal 956 KUH Perdata), bila timbul perselisihan tentang siapa yang menjadi ahli waris, maka Hakim dapat memerintahkan agar harta benda itu disimpan di pengadilan.

6. Bagian 6 Hibah Wasiat Mengatur: ( Pasal 957 KUH Perdata), hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu. (Pasal 958 KUH Perdata), hibah wasiat yang murni dan tidak bersyarat, diberikan kepada penerima wasiat (legitans). (Pasal 959 KUH Perdata), penerima hibah wasiat harus meminta barang yang dihibahkan kepada para ahli waris atau penerima wasiat yang diwajibkan untuk menyerahkan barang yang dihibahkan itu. (Pasal 96O KUH Perdata), bunga dan hasil barang-barang yang dihibahwasiatkan diberikan kepada penerima wasiat. ( Pasal 961 KUH Perdata), pajak wasiat diberikan kepada penerima Wasiat. (Pasal 962 KUH Perdata), bila pewaris mewajibkan suatu beban kepada beberapa penerima hibah, maka mereka wajib memenuhinya. (Pasal 963 KUH Perdata), barang yang dihibahwasiatkan harus diserahkan semuanya kepada ahli waris. (Pasal 964 KUH Perdata), setelah ahli waris menerima warisan maka hasil dari pemanfaatan harta waris tidak termasuk hibah waris. (Pasal 965 KUH Perdata) sebelum atau sesudah dibuat surat wasiat, barang yang dihibahwasiatkan terikat dengan hipotek atau dengan hak pakai basil untuk suatu utang dan harta peninggalan maka orang yang harus menyerahkan hibah wasiat itu tidak wajib melepaskan barang dan ikatan itu. (Pasal 966 KUH Perdata), bila pewaris menghibahwasiatkan barang tertentu milik orang lain, hibah wasiat tersebut batal. (Pasal 967 KUH Perdata) ketentuan pasal yang lalu tidak menjadi halangan untuk membebankan kewajiban tertentu kepada ahli waris atau penerima hibah wasiat. (Pasal 968 KUH Perdata), hibah-hibah wasiat mengenai barang-barang tetentu adalah sah. (Pasal 969 KUH Perdata), bila hibah wasiatnya terdiri dari barang-barang tak tentu, ahli waris tidak wajib memberikan barang yang terbaik. (Pasal 970 KUH Perdata), bila yang dihibahwasiatkan hanya hasil-hasil dan pendapatan-pendapatan tanpa digunakan kata-kata hak pakai basil atau hak pakai oleh pewanis, maka barang yang bersangkutan haruslah tetap berada dalam pengelolaan ahli warisnya. (Pasal 971 KUH Perdata), hibah wasiat kepada seorang kreditur tidak boleh dihitung sebagai pelunasan piutangnya. (Pasal 972 KUH Perdata), bila warisan tidak seluruhnya atau hanya sebagian diterima, maka hibah-hibah wasiat itu harus dikurangi, sebanding dengan besarnya


(30)

masing-masing, kecuali bila pewaris telah menetapkan lain mengenai hal itu.

7. Bagian 7 Penunjukan Ahli Waris Dengan Wasiat Untuk Kepentingan Cucu-Cucu dan Keturunan Saudara Laki-Laki dan Perempuan Mengatur: (Pasal 973 KUH Perdata), barang-barang yang dikuasai sepenuhnya oleh orangtua, boleh mereka hibah wasiatkan. (Pasal 974 KUH Perdata) demikian juga, boleh dibuat penetapan wasiat untuk keuntungan satu atau beberapa saudara laki-laki atau perempuan dan pewaris. (Pasal 975 KUH Perdata), bila ahli waris meninggal dengan meninggalkan anak-anak, maka sekalian keturunan ini berhak menikmati bagian dari harta waris. (Pasal 976 KUH Perdata), segala ketetapan wasiat yang diizinkan oleh Pasal 973 dan 974, hanya berlaku pada pengangkatan waris. (Pasal 977 KUH Perdata), hak-hak ahli yang diangkat dengan penunjukkan ahli waris dengan wasiat, mulai berlaku pada saat berhentinya hak menikmati atas barang. (Pasal 978 KUH Perdata), barangsiapa membuat ketetapan-ketetapan tersebut dalam pasal yang lalu, dengan suatu wasiat atau dengan suatu akta notaris yang dibuat kemudian, boleh menempatkan barang-barang di bawah kekuasaan satu atau beberapa pengelola selama dalam masa beban. (Pasal 979 KUH Perdata), bila pengelola itu meninggal atau tidak ada, Hakim berkuasa mengangkat orang lain untuk mengganti pengurus itu. (Pasal 980 KUH Perdata), dalam waktu sebulan setelah meninggalnya orang yang membuat penetapan wasiat seperti di maka atas permintaan orang-orang yang berkepentingan atau atas tuntutan jawatan Kejaksaan, harus dibuat perincian barang-barang yang merupakan harta peninggalan itu. (Pasal 982 KUH Perdata), bila pewaris tidak mengangkat pengelola, maka barang-barangnya dikelola oleh ahli waris yang dibebani, dan ia wajib menjamin penyimpanannya. (Pasal 983 KUH Perdata), ahli waris memikul beban, harus merelakan barang-barang itu dialihkan, atas permohonan orang-orang yang berkepentingan. (Pasal 984 KUH Perdata), ahIi waris pemikul beban, yang menjalankan sendiri pengelolaannya, harus mengelola barang-barang itu sebagaimana layaknya seorang kepala rumah tangga yang baik. (Pasal 985 KUH Perdata), segala harta benda tetap, demikian pula bunga dan piutang, tidak boleh dipindahtangankan atau dibebani, kecuali dengan izin Pengadilan Negeri. (Pasal 986 KUH Perdata), pengangkatan ahli waris dengan wasiat yang pada bagian ini diperkenankan, tidak boleh dipertahankan terhadap pihak ketiga. (Pasal 987 KUH Perdata), ahli waris karena undang-undang atau ahli waris karena surat wasiat dan orang yang mengangkat ahli waris dengan wasiat, tidak boleh mengajukan bantahan kepada ahli waris. (Pasal 988 KUH Perdata), para pengelola wajib menyelenggarakan pengumuman, pendaftaran dan pembubuhan keterangan.

8. Bagian 8 Penunjukan Ahli Waris Dengan Wasiat dan Apa Yang Oleh Ahli Waris Atau Penerima Hibah Wasiat Tidak Dipindahtangankan Atau Dihabiskan Sebagai Harta Peninggalan Mengatur: (Pasal 989 KUH Perdata), dalam hal ada pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat ahli waris atau penerima hibah berhak memindahkan atau


(31)

menghabiskan barang-barang warisan. (Pasal 990 KUH Perdata), kewajiban untuk membuat perincian harta peninggalan atau daftar setelah pewaris meninggal, dan kewajiban untuk menyerahkan surat-surat itu kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. (Pasal 991 KUH Perdata, setelah meninggalnya ahli waris atau penerima hibah yang dibebani, ahli waris berhak menuntut, supaya segala sesuatu yang masih tersisa dan warisan atau hibah wasiat itu segera diserahkan.

9. Bagian 9 Pencabutan Dan Gugurnya Wasiat Mengatur Tentang: (Pasal 992 KUH Perdata), suatu wasiat, baik seluruhnya maupun sebagian, tidak boleh dicabut, kecuali dengan suatu akta notaris yang khusus, yang mengandung pernyataan pewaris tentang pencabutan seluruhnya atau sebagian wasiat yang dulu. (Pasal 993 KUH Perdata), surat wasiat yang memuat penetapan-penetapan yang dahulu, seharusnya diulangi agar tidak menimbulkan kerancuan. (Pasal 994 KUH Perdata), surat wasiat yang baru dapat membatalkan penetapan-penetapan surat wasiat yang terdahulu. (Pasal 995 KUH Perdata), pencabutan yang dilakukan dengan surat wasiat yang kemudian baik secara tersurat maupun tersirat berlaku sepenuhnya. (Pasal 996 KUH Perdata), semua pemindahtanganan, harta warisan seluruhnya atau sebagian, akan mengakibatkan tercabutnya hibah wasiat yang dipindahtangankan. (Pasal 997 KUH Perdata), semua penetapan dengan surat wasiat yang dibuat dengan persyaratan yang bergantung pada peristiwa yang tidak tentu terjadinya dan sifatnya sehingga pewaris harus dianggap telah menggantungkan pelaksanaan penetapannya. (Pasal 998 KUH Perdata), bila pewaris bermaksud menangguhkan pelaksanaan penetapannya, maka hal yang demikian itu tidak menghalangi ahil waris atau penerima hibah yang ditetapkan itu untuk mempunyai hak yang diperoleh itu. (Pasal 999 KUH Perdata), suatu hibah wasiat gugur, bila barang yang dihibahwasiatkan musnah sama sekali semasa pewaris masih hidup. (Pasal 1000 KUH Perdata), suatu hibah wasiat berupa bunga, piutang atau tagihan utang lain kepada pihak ketiga, gugur pada saat pewaris meninggal dunia. (Pasal 1001 KUH Perdata) , suatu penetapan yang dibuat dengan wasiat, gugur bila ahli waris atau penerima hibah yang ditetapkan itu menolak warisan atau hibah wasiat itu. (Pasal 1002 KUH Perdata), warisan atau hibah wasiat bagi para ahli waris atau penerima hibah menjadi bertambah, dalam hal pengangkatan ahli waris atau pemberian hibah wasiat ditetapkan untuk beberapa orang. (Pasal 1003 KUH Perdata), selanjutnya pewaris juga harus memberikan hibah wasiat kepada beberapa orang bersama-sama, bila barang tersebut tidak dapat dibagi-bagi. (Pasal 1004 KUH Perdata), pernyataan gugurnya surat-surat wasiat dapat diminta setelah meninggalnya pewaris.


(32)

B. Syarat-Syarat wasiat

Orang yang memiliki harta terkadang aberkeinginan agar hartanya kelak jika ia meninggal dapat di manfaatkan sesuai kebutuhan. Pemberian harta warisan ini dapat dilakukan dengan surat wasiat.16

Adapun yang merupakan syarat-syarat wasiat terdiri:

17

1. Menurut Pasal 895 KUH Perdata: Pembuat testament harus mempunyai budi akalnya, artinya tidak boleh membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur.

2. Menurut Pasal 897 KUH Perdata: Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testament.

Sementara itu syarat-syarat isi wasiat sebagai berikut:18

a. Dalam Pasal 888 KUH Perdata: Jika testament memuat syarat – syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak tertulis.

b. Dalam Pasal 890 KUH Perdata : Jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testament tidaklah syah.

c. Dalam Pasal 893 KUH Perdata: Suatu testament adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat.

Selain larangan – larangan tersebut di atas yang bersifat umum di dalam hukum waris terdapat banyak sekali larangan – larangan yang tidak boleh dimuat dalam testament. Di antara larangan itu, yang paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga legitieme portie ( bagian mutlak para ahli waris ) menjadi kurang dari semestinya.

16

Sembiring M U, Beberapa Bab Penting Dalam Hukum Waris Menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, Program Pendidikan Notariat, Fakultas Hukum Usu, Medan,

1989, Hal. 45.

17

18

http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Istimewa%3APencarian&search=wasiat+men urut+kuh+perdata&fulltext=Cari diakses tangga l4 juni


(33)

Selain ahli waris juga dapat menerima seluruhnya maupun sebagian harta, misalnya setengahnya atau sepertiganya. Seperti yang tercantum dalam pasal 754 yang berbunyi ; wasiat pengangkatan waris adalah suatu wasiat, dengan mana si yang mewasiatkan, kepada seorang atau lebih memberikan harta yang akan ditinggalkannya apabila ia meninggal dunia baik seluruhnya maupun sebagian seperti misalnya setengahnya, sepertiganya.19

C. Bentuk dan Sifat Wasiat 1. Wasiat rahasia (geheim)

Syarat-syarat wasiat rahasia ini diatur dalam Pasal 940 dan 941 KUH Perdata (BW) wasiat rahasia ini ditulis sendiri oleh si pewaris atau menyuruh orang lain untuk menulisnya. Jadi harus ditulis sendiri dan ditanda tangani sendiri.

Tulisan ini ditutup dalam sampul dan sampulnya disegel, diserahkan kepada notaris atau penutupan dan penyegelan itu boleh dilakukan di muka notaris dengan empat orang saksi. Kemudian si peninggal warisan membuat suatu keterangan di muka notaris dan saksi-saksi, bahwa yang termuat dalam sampul itu adalah wasiatnya atau testamentnya dan ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulisnya dan ditandatangani sendiri.

Kemudian notaris membuat akta superscripsi yaitu untuk membuatkan keterangan itu, akta mana dapat ditulis sendiri dalam surat yang memuat keterangan itu sendiri atau pada sampulnya. Akta superscripsi ini harus ditanda tangani oleh notaris. Jika si pewaris tidak dapat menanda tangani, maka hal tersebut harus disebut dalam akta superscripsi itu. Wasiat atau testament rahasia

19


(34)

ini harus disimpan oleh notaris bersama-sama dengan aslinya dari akta-akta notaris lain.

Dalam hal si pewaris adalah orang bisu, tetapi dapat menulis maka wasiat atau testament tetap harus ditulis, diberi tanggal dan ditanda tangani oleh pewasiat. Kemudian wasiat atau testament harus ditulis si pewaris di muka notaris dan para saksi, bahwa tulisan yang diserahkan itu adalah wasiatnya. Untuk ini notaris membuat kata superscripsi dan menyebutkan didalamnya bahwa keterangan dari si pewaris itu ditulis di hadapan notaris dan saksi-saksi.

Untuk ini notaris berkewajiban untuk memberitahukan adanya wasiat itu kepada orang yang berkewajiban, apabila si pewaris itu telah meninggal dunia.

Suatu wasiat atau testament tidak boleh dibuat oleh dua orang, baik seorang kedua maupun seorang ketiga maupun saling menguntungkan. Dasar larangan ini ialah untuk mempersulit penarikan kembali dari wasiat atau testament itu.

2. Wasiat Umum (Openbaar)

Pasal 938 BW (KUH Perdata) menentukan bahwa wasiat atau testament umum atau wasiat tak rahasia ini harus dibuat di muka seorang notaris yang dihadiri oleh dua orang saksi. Si pewaris menyatakan kemauannya kepada notaris secara secukupnya, maka notaris harus menulis atau menyuruh menulis pernyataan itu dalam kata-kata yang terang.

Pernyataan yang dibuat dalam pasal BW adalah untuk menegaskan bahwa notaris tidak perlu menulis semua kata-kata yang diucapkan si pewaris, cukup hanya yang perlu saja menurut notaris, agar yang ditulis itu menjadi terang


(35)

maksudnya. Pendapat lain yang menyatakan itu harus secara lisan bukanlah merupakan syarat mutlak. Menurut R. Subekti yang perlu mengenai pernyataan ini adalah bahwa notaris ini mengerti apa yang dinyatakan oleh si pewaris.

Wasiat atau testament ini lazim disebut wasiat atau testament lisan juga, sebagaimana orang yang sakit tetapi dapat bicara ingin membuat wasiat, maka kemauannya tersebut dapat ditulis di kertas. Kemudian tulisan ini di baca notaris dengan suara keras dan setelah mendengarkannya, si pewaris menganggukkan kepalanya, maka pernyataan dengan cara ini pun sudah cukup terang dan juga sah. Syarat untuk menjadi seorang saksi sama halnya dengan wasiat atau

testament rahasia. Ditambah pula dengan ketentuan siapa-siapa yang tidak boleh

menjadi saksi, yaitu :

1. Para ahli waris atau orang-orang yang dihibah barang-barang, sanak keluarga mereka sampai tingkat keempat.

2. Anak-anak, cucu-cucu serta anak menantu notaris atau cucu, menantu notaris.

3. Pembantu notaris.

Pernyataan si pewaris ini dapat dilakukan kepada notaris di luar hadirnya para saksi, kemudian ditulis pula oleh notaris. Sebelum tulisan notaris itu dibacakan lebih dahulu si pewaris harus menyatakan lagi kemauannya secara singkat di muka para saksi. Barulah tulisan notaris itu dapat dibacakan dan kepada si pewaris ditanyakan, apakah sudah betul yang dibacakan itu kemauannya yang terakhir.


(36)

Kemudian akta itu ditanda tangani notaris, para saksi dan oleh si pewaris tidak dapat atau berhalangan untuk menandatangani maka harus disebut dalam akta notaris dan harus disebutkan bahwa acara selengkapnya harus dilakukan.

Bentuk wasiat atau testament umum inilah yang sering atau paling banyak dipakai, karena notaris dapat mengawasi isinya sehingga notaris dapat menasehatkan supaya wasiat atau testament itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang.

3. Wasiat ditulis sendiri (Olografis)

Menurut Pasal 932 BW (KUH Perdata) bahwa wasiat ini seluruhnya harus ditulis dan ditandatangani oleh orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri

(eigenhanding), kemudian diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk

disimpan (gedeponered). Penyerahan tersebut harus pula dihadiri oleh dua orang saksi.20

Penyerahan itu mungkin tidak tertutup, jadi tidak rahasia, maka akta penerimaan untuk disimpan tadi oleh notaris ditulis pada wasiat atau testamentnya

Pada waktu penyerahan wasiat atau testament itu kepada notaris untuk disimpan, mungkin wasiat atau testament sudah tertutup dalam satu sampul yang disegel. Dalam hal ini si pewaris di muka notaris dan para saksi mencatat pada sampul yang menyatakan bahwa dalam sampul dan wasiatnya, dan catatan itu harus ditanda tangani oleh si pewaris. Dan notaris sendiri harus membuat akta tersendiri dalam hal menerima wasiat atau testament untuk disimpan, akta mana harus ditanda tangani oleh notaris, para saksi dan si pewaris.

20


(37)

di bawah tulisan si pewaris yang mengandung kemauan terakhir. Kemudian notaris, para saksi dan si pewaris menandatangani wasiat atau testamentnya, jika berhalangan untuk menanda tangani sampul atau akta penerimaan yang dibuat notaris, maka dalam hal ini notaris harus mencatat hal ini serta sebab-sebabnya dia berhalangan.

Kekuatan wasiat atau testament ini sama dengan kekuatan wasiat atau

testament rahasia yang dibuat di muka notaris, dan tanggal ditulis dalam wasiat itu

sendiri tidak diperhatikan. Jika terbukti bahwa wasiat atau testament itu ditulis dan ditanda tangani oleh si pewaris, maka hal demikian dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya.

Maka dengan ini terhindarlah cekcok di muka hakim mengenai pembagian kewajiban membuktikan hal sesuatu untuk pertanggung jawaban notaris, maka permintaan kembali itu harus dinyatakan dalam suatu akta otentik, biasanya dengan akta notaris. Dengan demikian wasiat atau testament olografis ini harus dianggap seperti ditarik kembali.

Apabila wasiat atau testament olografis itu diserahkan kepada notaris dengan sampul yang disegel, maka notaris tidak berhak membuka segel itu, kecuali jika si pewaris wafat atau meninggal dunia, notaris menyerahkan kepada Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) untuk dibuka seperti wasiat atau testament rahasia, yaitu dengan membuat proses verbal dari pembukaan itu dan wasiat atau


(38)

4. Codicil

Di samping tiga macam wasiat atau testament tersebut undang-undang mengenal yang dinamakan “codicil”. Sebagaimana diketahui cidikal ialah suatu akta dibawah tangan (jadi bukan akta notaris), diberi tanggal dan ditandai tangani oleh pewasiat sendiri.21

Hal ini diatur dalam Pasal 946, 947, 948 BW (KUH Perdata), Semuanya wasiat atau testament yang diatur menurut Pasal 946, 947 dan pasal 948 BW tersebut diatas harus ditandatangani oleh si pewaris dan sekurang-kurangnya

Orang yang akan meninggalkan warisan itu menetapkan hal-hal yang tidak termasuk pemberian atau pembagian warisan. Misalnya: Membuat pesanan-pesanan tentang penguburan mayatnya, juga pengangkatan seorang Executeur

Testamentair, pemesanan tentang pakaian-pakaian dan perhiasan.

Penarikan kembali kemauan terakhir ini dapat dilakukan dengan akta di bawah tangan. Surat wasiat ini boleh disimpan sendiri atau ke pihak yang dipercayai. Surat wasiat yang demikian ini hanya sah dengan isi terbatas. Jika yang hendak dihadiahkan itu perhiasan atau permata, harus dicantumkan dengan jelas satu persatu barang-barang apa saja yang akan diberi. Akan tetapi jika yang diwasiatkan itu sendiri dari sejumlah uang, bagaimanapun kecilnya uang itu tidak boleh dimasukkan ke dalam codicil. Penarikan kembali codicil ini sederhana saja yaitu dengan jalan memusnahkannya. Penarikan kembali atau mengubah isi codicil yang baru atau dengan akta wasiat atau akta testament.

5. Wasiat Darurat

21


(39)

seorang saksi, kalau mereka tidak menulis maka hal ini harus disebutkan dalam wasiat atau testament itu.22

Erfstelling adalah penentuan dalam testament yang maksudnya bahwa

seorang tertentu ditunjuk oleh si pewaris untuk menerima seluruh harta warisan atau sebahagian tertentu. Orang yang ditunjuk tersebut dinamakan “testamentaire Wasiat atau testament luar biasa atau darurat menurut pasal-pasal tersebut di atas tidak berlaku setelah lampau waktu enam bulan sesudah hal yang menyebabkan hal yang luar biasa tadi berhenti. Tenggang waktu enam bulan ini terhitung dari sejak pembuatan akta. Dalam keadaan luar biasa wasiat atau

testament dapat dibuat dengan akta di bawah tangan, asal ditulis, diberi tanggal

dan ditandatangani oleh si pewaris. Akta ini hanya berlaku selama tiga bulan terhitung dari waktu yang menyebabkan sifat luar biasa itu sendiri, kecuali kalau akta itu diserahkan kepada notaris untuk disimpan secara ketentuan olografis.

Suatu wasiat atau testament yang tidak memenuhi syarat menurut BW (KUH Perdata) adalah batal. Soal batal ini adalah dengan sendirinya tidak perlu diminta pembatalannya oleh siapapun juga. Jadi hakim harus menganggap wasiat atau testament itu batal, jika diketahui bahwa wasiat atau testament itu tidak memenuhi syarat-syarat menurut BW (KUH Perdata).

Pada hakekatnya suatu wasiat atau testament berisi tentang Erfstelling,

Legaat, beban (last), Fidil Commis.

6. Erfstelling

tanggal 15 juni 2010


(40)

erfgenaam”, yaitu ahli waris menurut wasiat, dan sama halnya dengan seorang

ahli waris menurut undang-undang, ia memperoleh segala hak dan kewajiban si pewaris “under algemene titel”.23

Legaat adalah petunjuk seseorang tertentu untuk mewarisi barang tertentu

atau sekumpulan barang tertentu seperti misalnya suatu rumah tertentu, atau suatu mobil tertentu atau semua barang bergerak milik si peninggal warisan, atau hak memetik hasil atau seluruh warisan atau sebahagian (Pasal 957 BW). Segala barang yag diserahkan baik barang-barang bergerak maupun barang-barang yang Misalnya seperdua, sepertiga dan sebagainya (Pasal 954 KUH Perdata). Orang yang menerima atau mendapat erfstelling ini mempunyai kedudukan sebagai ahli waris ab intestato, artinya orang ini tidak hanya mendapat hak-hak yang melekat pada benda itu, akan tetapi ia juga mempunyai kewajiban-kewajiban. Misalnya membayar hutang-hutang si pewaris.

Dalam wasiat atau testament seperti ini si pewasiat hanya menentukan siapa-siapa yang menerima atau mendapat wasiat atau testament setelah ia kelak meninggal dunia. Dan ada kalanya ditentukan berapa bagian masing-masing para penerima wasiat yang telah ditunjuk itu. Apabila si pewasiat tidak menentukan bagian masing-masing maka dianggaplah mereka memperoleh bagian yang sama besarnya. Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa erfstelling itu adalah penunjukan seseorang atau beberapa orang untuk menjadi ahli waris yang akan menerima seluruh atau sebagian harta dari harta warisannya.

7. Legaat

23


(41)

tidak bergerak, misal mobil, rumah dan tanah yang luas, serta surat-surat yang berhubungan dengan benda itu haruslah secara jelas dan terperinci dimuat dalam wasiat atau testament.

Orang-orang yang menerima barang-barang bergerak dan barang tidak bergerak milik si peninggal warisan, hak memetik hasil seluruh harta warisan atau sebahagian ini dinamakan “Legataris”. Seorang legataris tidak hanya berhak menerima warisan bahkan legataris berhak dan dapat menuntut dari ahli waris supaya barang tertentu itu dapat diserahkan kepadanya.

Jadi kedudukannya adalah seperti kedudukan orang yang berpiutang. Dengan demikian ia tidak bertanggung jawab atas hutang-hutang si pewaris. Apakah seorang legataris dengan adanya wasiat atau testament itu sejak wafatnya si peninggal warisan menjadi pemilik-pemilik barang yang diberikan, ataukah ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan barang itu kepadanya baru sesudah penyerahan itu ia menjadi pemilik.

Pasal 960 BW (KUH Perdata) menentukan si penerima legaat dapat menerima semua hasil sejak wafatnya si pewaris dengan tidak diperdulikan kapan barangnya diserahkan, yaitu:

1. Apabila hal itu ditentukan oleh si peninggal warisan dalam wasiat atau

testament.

2. Apabila yang diberikan sebagai legaat adalah suatu bunga selama hidup atau gaji tahunan, gaji bulanan, gaji mingguan dengan dinamakan nafkah untuk keperluan sehari-hari.


(42)

Ada kalanya seorang legataris yang menerima beberapa benda, diwajibkan memberikan benda itu kepada orang lain ayang ditunjuk dalam wasiat atau testament, pemberian ini dinamakan “Sub Legaat”.

Suatu erfstelling atau suatu legaat dapat juga digantungkan pada suatu syarat atau suatu kejadian di kemudian hari yang pada waktu pembuatan wasiat atau testament belum tentu akan terjadi atau tidak, misalnya seseorang dijadikan ahli waris atau diberikan suatu barang warisan dengan syarat bahwa dari perkawinannya akan dilahirkan seorang anak laki-laki. Namun tidak diperbolehkan suatu syarat yang pelaksanaannya berada di dalam kekuasaannya si waris atau legataris sendiri. Misalnya suatu syarat yang berbunyi bahwa si ahli waris atau legataris akan mengadakan pesta.

Suatu syarat yang sama sekali tidak mungkin terlaksana juga tidak diperbolehkan dicantumkan dalam suatu wasiat atau testament, maka syarat itu adalah batal artinya dianggap sebagai tidak tertulis dan wasiat atau testament, berlaku seolah-olah tidak mengandung suatu syarat. Suatu legaat dan erfstelling juga dapat digantungkan pada suatu ketetapan waktu.

8. Beban (Last)

Pada kemungkinan lain dalam suatu wasiat atau testament dapat ditentukan bahwa seseorang akan diberikan keuntungan dengan suatu beban

(last). Beban yang ditentukan dalam wasiat atau testament ini dapat merupakan

kewajiban dari ahli waris, dapat pula merupakan kewajiban legataris.

Suatu legaat dapat disertai suatu kewajiban beban kepada si legataris, misalnya seorang dijadikan waris dengan beban untuk memberikan suatu


(43)

pensiunan kepada ibunya si pewaris. Jika suatu beban tidak dipenuhi, maka warisan atau legaat dapat dibatalkan atas permintaan yang berkepentingan atau atas permintaan ahli waris yang lain.

Selanjutnya Pasal 962 BW menentukan, apabila kepada legataris oleh si pewaris dibebani berbagai kewajiban maka para legataris harus memenuhi kewajiban itu, masing-masing seimbang dengan jumlah barang-barang legaat yang mereka akan terima. Kecuali apabila si pewaris menentukan lain dan membebankan kewajiban itu misalnya hanya kepada salah seorang legataris saja.

Kewajiban yang dibebankan kepada legataris, dapat bermacam-macam isinya. Dan dalam Pasal 967 BW diperbolehkan seorang legataris diwajibkan melakukan pembayaran uang kepada seorang ketiga, atau untuk membayar hutang-hutang dengan uang kepunyaan si legataris sendiri. Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa beban merupakan suatu kewajiban yang apabila beban ini tidak dipenuhi akan mengakibatkan batalnya warisan atau legaat atas permintaan yang berkepentingan.

9. Fidei Commis

Fidei Commis adalah suatu pemberian warisan kepada seorang ahli waris

dengan ketentuan bahwa ia diwajibkan untuk menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu tertentu atau apabila apabila si ahli waris itu sendiri telah meninggal dunia warisan itu harus diserahkan kepada orang yang sudah ditetapkan atau ditentukan dalam wasiat atau testament.

Orang yang akan menerima warisan ini dinamakan “Verwachter” oleh karena ia menerima warisan itu dengan melewati semacam Undang-Undang, yang


(44)

dinamakan “Erfstelling Voor De Hand” yaitu pemberian warisan secara melangkah.

Pada umumnya fidei commis dilarang oleh undang-undang. Alasan larangan ini ialah karena adanya benda-benda yang untuk waktu lama dan tidak tertentu akan disingkirkan dari lalu lintas hukum dan dianggap sebagai suatu rintangan besar bagi kelancaran lalu lintas hukum, kecuali dua macam fidei

commis yang diperbolehkan oleh undang-undang yaitu:

1. Untuk memenuhi seseorang dan supaya benda itu diwariskan lagi kepada anak-anak si ahli waris sendiri.

2. Lazim disebut fidei commis de residue, ditetapkan bahwa seseorang ahli waris harus mewariskan lagi apa yang dikemudian hari masih ketinggalan dari warisan yang diperolehnya, jadi sisanya saja yang diberikan kepada orang lain.

Jadi di dalam fidei commis ada dua orang penerima warisan yang berturut-turut akan menjadi pemilik dari barang warisan tersebut. Yaitu:24

a. “Ahli waris” dalam garis lurus (garis lurus ke bawah dan garis lurus keatas) diatur dalam Pasal 913 KUH Perdata.

b. “Ahli waris” yaitu orang-orang yang terpanggil untuk mewaris diatur dalam Pasal 913 KUH Perdata.


(45)

D. Kecakapan Membuat Surat Wasiat

Kecakapan membuat wasiat atau testament dan untuk menariknya kembali diatur dalam Pasal 895 BW. Syarat pokok bagi seseorang untuk dapat membuat atau cakap membuat wasiat atau testament pada umumnya adalah sama dengan syarat pokok bagi orang untuk melakukan perbuatan hukum yaitu bahwa orang itu harus mampu atau cakap untuk menentukan kemauannya secara bebas atau merdeka, yaitu :

Testament berlaku ketika pewaris sudah meninggal dunia, selama pewaris

masih hidup, ia masih berhak untuk merubah atau mencabut testamentnya, sehingga dapat dikatakan testament akan memiliki kekuatan hukum ketika si pewaris meningggal dunia. Pihak-pihak yang dapat menikmati wasiat ( ahli waris

testament) yaitu:25

1. Orang yang mempunyai hak atas hak waris yang timbul karena adanya pemberian/ testament.

2. Ahli waris tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap.

E. Pihak-Pihak Yang Dapat Menikmati Wasiat dan Yang Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat

1. Yang Dapat menikmati Wasiat

Testament berlaku ketika pewaris sudah meninggal dunia, selama pewaris

masih hidup, ia masih berhak untuk merubah atau mencabut testamentnya, sehingga dapat dikatakan testament akan memiliki kekuatan hukum ketika si

25

tanggal 4 juni 2010.


(46)

pewaris meningggal dunia. Pihak-pihak yang dapat menikmati wasiat ( ahli waris

testament) yaitu:26

a. Orang yang mempunyai hak atas hak waris yang timbul karena adanya pemberian/testament.

b. Ahli waris tidak dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap.

2. Tidak Diperkenankan Menikmati Wasiat

Di atas sudah disebutkan syarat-syarat dan siapa-siapa yang cakap atau dapat untuk membuat wasiat atau testament. Disamping ada yang boleh menikmati wasiat atau testament tentu ada pula orang yang tidak pantas atau tidak diperkenankan menikmati wasiat atau testament. Seseorang dianggap tidak pantas atau tidak diperkenankan menikmati wasiat dalam hal sebagai berikut :27

26

Ibid.,

27

Pasal 901-912 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1. (a) Apabila ia dihukum oleh hakim, oleh karena membunuh si pemberi wasiat (pewasiat).

(b) Apabila ia dengan paksaan menghalang-halangi si pemberi wasiat (pewasiat) akan mengubah, membuat atau mencabut wasiat atau

testament.

(c) Apabila ia menghilangkan, membinasakan atau memalsukan wasiat atau testament dari pemberi wasiat (pewasiat).

2. Orang yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaan maupun hubungan keluarga dengan si pemberi wasiat (pewasiat), tidak diperbolehkan mendapat keuntungan dari wasiat atau testament. Misalnya notaris yang membuatkan surat wasiat itu beserta saksi-saksinya:

(a) Dokter serta perawat yang merawat si pemberi wasiat (pewasiat) selama sakit.

(b) Perkawinan suami isteri dan pada saat suami atau isteri wafat masih dapat dibatalkan, oleh karena untuk perkawinan itu tidak ada izin yang diperlukan antara/dengan anak yang belum dewasa.


(47)

(c) Seorang yang belum dewasa meskipun sudah berumur 18 tahun, dilarang memberi suatu barang secara testament kepada walinya, kecuali wali itu adalah orang tua nenek sendiri.

3. Anak diluar perkawinan tidak boleh menerima hibah wasiat yang melebihi bagiannya, kecuali kalau ada testament atau wasiat. Hal ini adalah untuk menghindari anak luar kawin lebih beruntung dari pada anak yang sah. 4. Salah seorang suami isteri, apabila ada dilakukan suatu perzinahan

(overspel) yaitu seorang suami atau isteri bersetubuh dengan orang lain

dan hal zina ini ditentukan telah terjadi oleh hakim. Maka mereka melakukan zina itu tidak boleh saling memberi hibah wasiat.

Selain itu wasiat juga tidak dapat diberikan kepada juru, atau ahli obat, dan guru agama. Akibat dari ketentuan-ketentuan inilah, maka semua perbuatan dari penerima wasiat atau penerima testament, yang tidak pantas atau yang tidak diperkenankan itu menikmati harta atau benda yang diwasiatkan adalah batal.


(48)

BAB III

KETENTUAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WASIAT

A. Dasar Hukum Wasiat

Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman tentang wasiat Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam melaksanakannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sahnya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitu pula di Indonesia, sama mempunyai aturan sendiri tentang wasiat ini. Di antaranya di atur dalam BW untuk non muslim atau kaum adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Meskipun di atur dalam BW dan KHI, ketentuan-ketentuan daerah masih diperhatikan dan dijadikan rujukan penentuan hukum.

Sumber hukum yang mengatur tentang wasiat tercantum dalam QS Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S Al Baqarah : 180).


(49)

Dalam tafsir dijelaskan bahwa makna ma’ruf ialah adil dan baik. Wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu.

Adapun mengenai hukum wasiat para ahli hukum berbeda pendapat yaitu:28

1. Pendapat pertama memandang bahwa wasiat itu wajib bagi setiap orang yang meninggalkan harta, baik harta itu banyak atau sedikit. Pendapat ini dikatakan oleh Az-zuhri dan Abu Mijlaz.

2. Pendapat kedua memandang bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat yang tidak mewarisi dari si mayyit wajib hukumnya. Ini menurut Masruq, lyas, Qatadah, Ibnu Jarir dan Az-zuhri.

3. Pendapat ketiga Imam dari aliran Zaidiyah yang menyatakan bahwa wasiat itu bukanlah kewajiban atas setiap orang yang meninggalkan harta dan bukan pula kewajiban terhadap kedua orang tua dan karib akan tetapi wasiat itu berbeda-beda hukumnya menurut keadaan.

4. Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa QS Al-Baqarah ayat 180 dan QS An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa ”Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan”.

Selain beberapa pendapat di atas, maka hukum wasiat juga diatur sebagai berikut:29

1. Wajib: berwasiat wajib hukumnya apabila wasiat itu untuk hak-hak Allah SWT yang dilalaikan oleh pewasiat, misalnya zakat yang belum dibayar,

karafat, nadzar, fidyah, puasa, haji, dan lain-lain sebagainya atau sebagai

pemenuhan hak-hak sesama yang tidak diketahui oleh pewasiat itu sendiri. 2. Sunnah: untuk orang-orang yang tidak menerima pusaka atau untuk motif

sosial, seperti berwasiat kepada fakir miskin, anak yatim yang bertujuan untuk menambah amal kepada Allah SWT, memberi sumbangan pembangunan rumah-rumah Ibadah, sumbangan kepada kaum kerabat yang kekurangan.

3. Haram: berwasiat untuk keperluan maksiat, seperti berwasiat untuk mendirikan tempat-tempat perjudian,pelacuran, dan sebagainya.

28

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1991, Hal. 88.

29


(1)

ada yang hadir. Sedangkan menurut ketentuan hukum islam bagi seorang yang merasa ajalnya sudah dekat dan ia meninggalkan harta yang cukup maka diwajibkan kepadanya untuk membuat wasiat baik kepada orang tuanya, maupun kerabatnya. Kompilasi Hukum Islam dalam buku II Bab VI Pasal 194 menyatakan bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan wasiat yaitu: pewasiat harus berumur 21 tahun, berakal sehat, harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak pewasiat, peralihan hak terhadap barang/benda yang diwasiatkan adalah setelah pewasiat meninggal dunia.

Menyangkut persyaratan yang harus dilakukan atau dipenuhi dalam pelaksanaan perwasiatan antara lain (Pasal 195 KHI) :

a. Apabila wasiat itu dilakukan secara lisan maupun tertulis hendaklah pelaksanaannya dilakukan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dihadapan notaris.

b. Wasiat hanya dibolehkan maksimal sepertiga dari harta warisan kecuali ada persetujuan semua ahli waris.

c. Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. d. Pertanyaan persetujuan pada poin 2 dan 3 dapat dilakukan secara lisan

maupun tulisan dihadapan 2 (dua) orang saksi atau dibuat dihadapan notaris. Kemudian wasiat yang diberikan oleh pewaris dapat dilakukan pendaftaran atas harta peninggalannya, dan setelah didaftarkan, si penerima wasiat berkewajiban untuk mengatur harta benda tersebut.


(2)

B. Saran

1 Dalam rangka pembentukan hukum nasional, lembaga wasiat di Indonesia, azas maupun pelaksanaannya hendaknya diatur dan didasarkan kepada agama atau kepercayaan yang dianut oleh pembuatnya.

2 Sebaiknya pemerintah bersama-sama dengan DPR membentuk suatu undang-undang khusus yang mengatur tentang wasiat, karena wasiat yang diatur dalam KUH Perdata merupakan warisan jaman kolonial. Jadi sudah sepantasnyalah membentuk undang-undang yang sesuai dengan alam kemerdekaan sekarang.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku – Buku

Direktorat Jendral Pembinaan Badan Peradilan Agama, Komplikasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama, Jakarta, 1998/1999.

Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta. 2002

Isa, M. Arif, M. Hukum Waris Menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Belanda, PT. Intermasa, Jakarta, 1986.

Lubis, K Suhrawardi, Hukum Waris Islam (lengkap dan praktis), Sinar Grafika, Jakarta. 1997

Nazir Moh, Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta. 1997

Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara, Penterjemah Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Bumi Restu, 1997

Perangin, Efendi, Hukum Warisan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan 2003

Prodjodikoro, Wirdjono, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1991

Rasyid, Sulaiman Fiqh Islam, Java Murni, 1995

Subekti R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, Cetakan Keduapuluh Lima, 2000

______, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Cetakan Kesepuluh, Jakarta, 1998

Surat Edaran Mahkamah Agung, No. 3 Tahun 1963, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000

Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2004

Usman, Rachmadi, Hukum Kewarisan Islam, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009


(4)

B. Media Elektronik

06-03)


(5)

KHI PASAL 210 yang berbunyi: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki” Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, beliau mencantumkan syarat-syarat hibah, yang salah satunya adalah: pada dasrnya, hibah adalah pemberian yang tidak ada kaitannya dengan kewarisan kecuali kalau ternyata bahwa hibah itu, akan mempengaruhi kepentingan dan hak-hak ahli waris. Dalam hal demikian, perlu ada batas maksimal hibah, tidak melebihi sepertiga harta seseorang, selaras dengan batas wasiyat yang tidak melebihi sepertiga harta peninggalan. 4. Hadis Nabi:

Artinya: diriwayatkandari Sa’ad bin Abi Waqosh ra: pada tahun Haji Penghabisan (wada’)Nabi Muhammad SAW mengunjungiku seraya mendoakan kesehatanku. Aku berkata kepada nabi Muhammad SAW, “aku lemah karena sakitku yang


(6)

parahpadahal aku kaya dan aku tidak punya ahli wariskecuali seorang anak perempuan. Haruskah aku menyedekahkan 2/3 kekayaanku? Nabi Muhammad SAW bersabda, “tidak” kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda bahkan 1/3 telah cukup banyak. Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismudalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan merekadalam keadaan miskin, mengemis kepada orang lain. Kau akan memperoleh pahala dari sedekah yang dikeluarkan dengan niat karena Allah, bahkam untuk yang kau suapkan dalam mulut isteriu”. Aku berkata,”ya rasulullah, apakah aku akan sendirian ketika para sahabatku pergi?”. Nabi Muhammad SAW bersabda, “jika kamu ditinggalkan, apapun yang kau kerjakan akan mengangkat mu ke tempat yang tinggi. Dan mungkin saja kau akan berumur panjang hingga(dating suatu saat ketika) sebagian orang mengambil keuntungan darimu, dan sebagian yang lain mengambil kemudharatandarimu.” Ya Allah, lengkapkan hijrah sahabatku dan jangan biarkan mereka berpaling “. Dan rasullah SAW merasa sedih dengan meninggalnya Sa’ad bin khaulah yang miskin di Makkah. (sedangkan sepeninggal nabi Muhammad SAW, Sa’ad bin Abi Waqash hidup dengan umur yang panjang).{HR.Bukhari}

Dimana hadist tersebut seolah menggambarkan bahwa bersedekah yang lebih dari sepertiga merupakan tindakan yang berakibat merusak esensi dan kepentingan dari ahli waris