Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta Induksi Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill)

INISIASI DAN PROLIFERASI KALUS SERTA INDUKSI
KALUS EMBRIOGENIK PADA KULTUR ANTERA
KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

RUFAI’AH FAISOL DZURAIBAK

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Inisiasi dan Proliferasi
Kalus serta Induksi Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max
L. Merrill) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Rufai’ah Faisol Dzuraibak
G353100051

RINGKASAN
RUFAI’AH FAISOL DZURAIBAK. Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta Induksi
Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill).
Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan IKA MARISKA
SOEDHARMA.
Pengembangan teknologi haploid melalui kultur antera, merupakan teknik
alternatif untuk mempercepat proses perbaikan genetik dan pemuliaan tanaman.
Namun, kultur antera untuk tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) belum
berhasil diterapkan karena keberhasilannya masih sangat rendah, dan bahkan di
Indonesia belum dilaporkan berhasil. Penelitian yang dilakukan adalah untuk
mengembangkan kultur antera kedelai melalui tahapan inisiasi dan proliferasi
kalus, kemudiaan induksi kalus embriogenik.
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media dasar Murashige
dan Skoog dan kedelai yang digunakan adalah varietas Wilis. Perlakuan inisiasi
kalus menggunakan picloram (1, 3, 5 mg L-1) secara tunggal maupun

dikombinasikan dengan BA 0.5 mg L-1, sedangkan untuk proliferasi kalus
menggunakan kombinasi NAA, picloram, dan BA. Induksi kalus embriogenik
diberikan perlakuan BA dan kinetin yang dikombinasikan dengan beberapa asam
amino.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan picloram secara tunggal
tidak mampu menginisiasi kalus, tetapi bila dikombinasikan dengan BA dapat
menginisiasi kalus. Proliferasi kalus dapat dilakukan pada semua kombinasi NAA,
picloram, dan BA. Hasil induksi kalus embriogenik yang dicirikan dengan kalus
berstruktur remah dan noduler terjadi pada perlakuan BA 1 mg L-1 dan Kinetin 2
mg L-1 dengan penambahan asam amino glutamin 100 mg L-1, arginin 100 mg L-1,
prolin 100 mg L-1, dan kasein hidrolisat 200 mg L-1. Berdasarkan hasil studi ploidi
dan histologi, ternyata kalus yang dihasilkan adalah diploid.
Kata kunci: kultur antera, kedelai, kalus, embriogenik, diploid

SUMMARY
RUFAI’AH FAISOL DZURAIBAK. Callus Initiation and Proliferation Along
with Embryogenic Callus Induction in Anther Culture of Soybean (Glycine max L.
Merrill). Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA and IKA MARISKA
SOEDHARMA.
The development of haploid technology through anther culture is an

alternative technique to accelerate the genetic improvement process and plant
breeding. However, the anther culture of soybean (Glycine max L. Merrill) has not
been successfully implemented yet because of its very low success rates, even in
Indonesia there is no report of soybean anther culture having succeeded. The
objective of study was to develop soybean anther culture through callus initiation
and proliferation, then followed by embryogenic callus induction.
The medium used was Murashige and Skoog’s base medium and the
soybean used was Wilis cultivar. Treatments for callus initiation were picloram
only (1, 3, 5 mg L-1) or combined with 0.5 mg L-1 BA, whereas callus proliferation
used a combination of NAA, picloram, and BA. Embryogenic callus inductions
were treated with BA and kinetin which were combined with several amino acids.
The results of this study showed that treatment with picloram only was
unable to initiate callus formation, but when combined with BA, it was able to
initiate callus formation. Callus proliferation can be done in all NAA, picloram,
and BA combinations. The embryogenic callus induction that characterized as
crumbly and nodular callus were successfully induced with 1 mg L-1 BA and 2
mg L-1 Kinetin with the addition of the amino acids 100 mg L-1 glutamine, 100 mg
L-1 arginine, 100 mg L-1 proline, dan 200 mg L-1 hydrolyzed casein. Based on the
ploidy and histological studies, the calluses formed were diploid.
Keywords: anther culture, soybean, callus, embryogenic, diploid


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INISIASI DAN PROLIFERASI KALUS SERTA INDUKSI
KALUS EMBRIOGENIK PADA KULTUR ANTERA
KEDELAI (Glycine max L. Merrill)

RUFAI’AH FAISOL DZURAIBAK

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

Judul Tesis : Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta Induksi Kalus Embriogenik pada
Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill)
Nama
: Rufai’ah Faisol Dzuraibak
NIM
: G353100051
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Ence Darmo Jaya Supena, MSi

Ketua

Dr Ir Ika Mariska Soedharma, APU
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
(06 Agustus 2014)

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai
April 2013 ialah kultur antera, dengan judul Inisiasi dan Proliferasi Kalus serta
Induksi Kalus Embriogenik pada Kultur Antera Kedelai (Glycine max L. Merrill).
Hasil dari penelitian sedang diajukan untuk publikasi di Jurnal Agronomi
Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Ence Darmo Jaya
Supena, MSi dan Ibu Dr Ir Ika Mariska Soedharma, APU selaku pembimbing. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak bisa saya
sebutkan satu per satu. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Rufai’ah Faisol Dzuraibak


DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian

1
1
2
3

2 METODE

Bahan
Alat
Prosedur Penelitian
Pra perlakuan kuncup bunga dan kultur antera
Induksi dan proliferasi kalus
Pembentukan kalus embriogenik
Studi Sitologi dan Histologi
Analisis Data

3
3
3
3
3
4
4
5
5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Induksi dan proliferasi kalus
Induksi kalus embriogenik
Histologi dan sitologi kalus
Pembahasan

6
6
6
7
8
10

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

12
12
12


DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR GAMBAR
1 Pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap induksi kalus
2 Keragaan kalus setelah dilakukan subkultur pada media dengan zat
pengatur tumbuh berbeda
3 Kalus noduler dan berwarna hijau setelah dilakukan subkultur pada
media induksi kalus embriogenik
4 Visual dan histologi kalus embriogenik
5 Hasil analisis tingkat ploidi sel-sel kalus dan daun kedelai dengan alat
flowcytometer
6 Penampang melintang kalus umur 45 hari setelah kultur

6
7
8
8
9
10

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi Media Murashige and Skoog (1962)
2 Komposisi Vitamin Morel and Weatmore (1951)

15
15

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kedelai (Glycine max L. Merrill) merupakan salah satu tanaman pangan
penting di Indonesia dan menjadi salah satu sumber protein nabati utama.
Produksi nasional kedelai kering pada tahun 2013 adalah hanya 807.6 ribu ton
biji kering dengan luas areal panen 554.1 ha (BPS 2013), sedangkan
kebutuhannya mencapai kurang lebih 2.2 juta ton per tahun. Tingginya kebutuhan
kedelai yang tidak diimbangi dengan pasokan produksinya, mendorong perlu
dilakukannya peningkatan produksi kedelai di Indonesia. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan yaitu melalui program pemuliaan tanaman untuk mengupayakan
tersedianya bibit unggul yang berkualitas.
Pemuliaan tanaman kedelai di Indonesia masih dilakukan secara
konvensional, yaitu dengan menyilangkan antar varietas yang dilanjutkan dengan
proses seleksi untuk menghasilkan varietas baru. Proses ini membutuhkan waktu
yang lama karena untuk memperoleh galur-galur yang stabil secara genetik
memerlukan 5-6 generasi, sehingga diperlukan teknologi alternatif lainnya yang
mempercepat proses pemuliaan.
Teknologi haploid melalui kultur mikrospora atau antera tanaman memiliki
beberapa kelebihan yang dapat mendukung kegiatan pemuliaan tanaman, jika
dibandingkan dengan cara konvensional. Teknologi haploid menawarkan peluang
untuk mendapatkan galur-galur homozigot lebih cepat dan lebih efisien hanya 1-2
generasi dibandingkan dengan teknik konvensional melalui penyerbukan sendiri
terkendali, yang membutuhkan waktu 5-6 generasi. Oleh karena itu,
pengembangan dan penerapan teknologi haploid akan mempercepat proses seleksi.
Selain itu, sifat-sifat unggul yang dikendalikan alel-alel resesif pada suatu
tanaman, dapat dideteksi secara dini pada tanaman haploid dan haploid ganda
(Dewi et al. 1996; Datta 2005; Forster et al. 2007).
Kultur haploid tanaman yang paling banyak dikembangkan adalah melalui
induksi androgenesis, baik melalui kultur antera pada media padat maupun kultur
mikrospora pada media cair. Proses androgenesis adalah induksi embriogenesis
dari mikrospora (sel gamet jantan) sampai menjadi embrio dan selanjutnya
beregenerasi membentuk tanaman. Prinsip dasar dan tahapan awal induksi
androgenesis adalah membelokkan perkembangan sel-sel mikrospora dari
perkembangan dan pembelahan gametofitik ke arah pembelahan sporofitik
menuju embriogenesis, yang pada keadaan normal mikrospora tersebut
mengalami perkembangan gametofitik menjadi polen (Datta 2005).
Kultur haploid melalui kultur antera telah terbukti mampu mempercepat
proses seleksi dan pelepasan varietas baru. Kultur antera telah berhasil diterapkan
pada beberapa tanaman, di antaranya Brassica napus (Burbulis et al. 2004),
Capsicum annuum (Supena et al. 2006), Triticum aestivum (Zheng 2003), dan
Oryza sativa (Guzma´n & Francisco 2000). Kultur antera kedelai telah dan sedang
dikembangkan di beberapa negara seperti di Cina (Hu et al. 1996), India (Tiwari
et al. 2004), dan Brazil (Kaltchuk-Santos et al. 1997; Lauxen et al. 2003; Moraes
et al. 2004; Rodrigues et al. 2006; Cordoso et al. 2007). Kultur antera pada
tanaman kedelai ini belum berhasil diterapkan untuk keperluan praktis dan

2
pemuliaan kedelai karena keberhasilan dalam kultur antera kedelai masih rendah.
Di Indonesia, pengembangan kultur antera kedelai baru sampai tahap fase kalus
dan belum mampu menginduksi embriogenesisnya (Zulkarnain 2005, 2008;
Fathia dan Zulkarnain 2007). Oleh karena itu kultur antera pada tanaman kedelai
masih perlu terus dikembangkan, untuk mendapatkan teknologi kultur haploid
yang optimal.
Ketepatan fase perkembangan mikrospora yang digunakan pada kultur
antera merupakan salah satu faktor keberhasilan induksi androgenesis. Fase
perkembangan mikrospora terbaik untuk tanaman kedelai pada media padat
adalah fase berinti tunggal awal sampai akhir (Lauxen et al. 2003), sedangkan
dalam kultur antera kedelai sistem media dua-lapis fase perkembangan
mikrospora terbaik untuk induksi pembelahan sporofitik adalah fase berinti
tunggal akhir dan berinti dua awal. Fase ini terdapat dalam antera yang diisolasi
dari kuncup bunga yang mempunyai rasio panjang braktea terhadap panjang
kuncup yaitu 2/2.5-2/3.5 (Budiana 2010).
Pemberian pra perlakuan juga menjadi salah satu faktor keberhasilan kultur
antera. Pra perlakuan berupa cekaman dapat membelokkan jalur perkembangan
gametofitik ke pembelahan dan perkembangan sporofitik (Datta 2005). Pra
perlakuan dapat berupa temperatur (rendah atau tinggi), osmotik, starvasi nitrogen
atau karbon. Pra perlakuan dapat diaplikasikan pada tanaman utuh, kuncup bunga
atau langsung pada mikrospora (Touraev et al. 1997). Pra perlakuan pada bunga
sebelum dikulturkan pada temperatur 2-4 °C selama 3-12 hari merupakan pra
perlakuan yang efektif untuk menginduksi kalus antera kedelai varietas Chinese
(Hu et al. 1996).
Zat pengatur tumbuh tanaman juga mempunyai peran yang sangat penting
untuk menginduksi embriogenesis mikrospora dalam kultur antera kedelai.
Penambahan kombinasi 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 2 mg L-1 dengan
6-benzyladenine (BA) 0.5 mg L-1 pada media padat memberikan respon terbaik
untuk menginduksi embriogenesis pada kultur antera kedelai (Kaltchuk-Santos et
al. 1997). Pengaruh lain pemberian 2,4-D 2 mg L-1 dengan IBA 0,5 mg L-1 dalam
media padat dapat meningkatkan terbentuknya kalus pada kultur antera kedelai
(Tiwari et al. 2004). Pada kultur antera kedelai kultivar China, konsentrsi 2,4-D 2
mg L-1 dapat menginduksi kalus sebesar 22.4%, (Hu et al. 1996). Namun,
penggunaan 2,4-D yang terlalu tinggi pada kultur antera kedelai kultivar IAS5
dapat mempercepat plasmolisis mikrospora dan tidak meningkatkan proses
androgenesis (Rodrigues et al. 2004).

Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan maka kultur
antera kedelai masih perlu dikembangkan. Penelitian kultur antera kedelai ini
dicobakan pada media MS padat dengan penambahan beberapa zat pengatur
tumbuh auksin dan sitokinin, juga dengan penambahan beberapa asam amino
untuk melihat pengaruhnya terhadap kultur antera kedelai varietas Wilis.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kultur antera kedelai
varietas Wilis pada media padat melalui tahapan inisiasi dan proliferasi kalus,
kemudian induksi kalus embriogenik, dan pengujian tingkat ploidi dari kalus yang
dihasilkan.

2 METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang berlangsung selama
enam bulan mulai bulan Oktober 2012 sampai April 2013 di Laboratorium
Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB) IPB Bogor.

Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah kuncup bunga kedelai varietas Wilis.
Penanaman dilakukan di dalam polybag ukuran 50x26 cm dengan media
campuran tanah:kasting (3:1) seberat 8 kg/polybag dengan 3 tanaman/polybag dan
dipupuk dengan NPK (15-15-15) dengan dosis 0.8 g/polybag. Pemupukan
dilakukan satu kali pada umur 10 hari setelah tanam. Penanaman dilakukan di
tempat terbuka di luar rumah kaca, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi (PPSHB) IPB Bogor.
Media dasar yang digunakan untuk kultur antera adalah media MS
(Murashige dan Skoog 1962) yang diperkaya dengan vitamin Morel dan
Weatmore (1951), masing-masing secara lengkap disajikan pada Tabel Lampiran
1 dan 2. Sumber karbon yang ditambahkan pada media adalah maltosa 20 g L-1
pada media induksi dan proliferasi kalus, selanjutnya digunakan sukrosa 30 g L-1
pada media pembentukan kalus embriogenik. Media dibuat padat dengan
penambahan agar-agar gelrite 2 g L-1 dan pH media diatur hingga mencapai pH
5.8±0.1.

Alat
Penentuan tingkat ploidi kalus diidentifikasi menggunakan flowcytometer.
Penyayatan pada metode pembenaman parafin menggunakan mikrotom putar.

Prosedur Penelitian
Pra perlakuan kuncup bunga dan kultur antera
Kuncup bunga dipanen pada pagi hari yaitu kuncup bunga yang mempunyai
rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2.5-2/3 yang mengandung
mikrospora dengan mayoritas berinti tunggal akhir. Kemudian kuncup bunga
diinkubasi pada suhu 4-9 °C selama 5 hari sebagai pra perlakuan sebelum isolasi

4
antera. Kuncup bunga disterilisasi dalam alkohol 70% selama 30 detik, dibilas 3
kali dengan aquades steril, kemudian direndam dalam NaOCl 2% yang ditambah
Tween-20 0.05% (v/v) selama 10 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan aquades
steril masing-masing 1, 5, 10 menit. Selanjutnya antera dari setiap kuncup bunga
yang berjumlah 10 secara acak dimasukkan dalam petri sesuai perlakuan hingga
tiap petri berisi 10 antera yang berasal dari 10 kuncup bunga berbeda.
Induksi dan proliferasi kalus
Perlakuan yang diuji pada tahapan induksi kalus adalah 3 taraf konsentrasi
picloram (auksin) secara tunggal maupun kombinasi dengan BA (sitokinin)
terhadap induksi kalus yaitu:
(1) picloram 1 mg L-1
(2) picloram 3 mg L-1
(3) picloram 5 mg L-1
(4) picloram 1 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1
(5) picloram 3 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1
(6) picloram 5 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1
Selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu ruang 25 °C ± 1 °C pada kondisi gelap
selama satu bulan. Pengamatan meliputi waktu inisiasi kalus, struktur dan warna
kalus, dan dilakukan pengamatan histologi kalus.
Tahap berikutnya, kalus dari hasil perlakuan sebelumnya disubkultur pada 4
taraf perlakuan konsentrasi auksin picloram dan NAA yang dikombinasikan
dengan BA 0.1 mg L-1. Perlakuan yang diuji pada tahap ini yaitu :
(1) picloram 2.5 mg L-1 + NAA 2.5 mg L-1
(2) picloram 3 mg L-1 + NAA 3 mg L-1
(3) picloram 10 mg L-1 + NAA 5 mg L-1
(4) picloram 5 mg L-1 + NAA 10 mg L-1
Kultur diinkubasi pada suhu 25 °C ± 1 °C dalam kondisi terang. Pengamatan
dilakukan terhadap morfologi kalus, kemudian disubkulturkan pada media
pembentukan kalus embriogenik.
Pembentukan kalus embriogenik
Kalus yang memiliki keragaan visual yang baik dari percobaan sebelumnya
kemudian dicobakan pada perlakuan untuk induksi kalus embriogenik yaitu:
(1) BA 1 mg L-1 + kinetin 1 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1 +
prolin 100 mg L-1
(2) BA 1 mg L-1 + kinetin 1 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1
(3) BA 2 mg L-1 + kinetin 1 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1
(4) BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1
(5) BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 + kasein hidrolisat 200 mg L-1
(6) BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1 +
prolin 100 mg L-1
(7) BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 + kasein hidrolisat 200 mg L-1 + prolin
100 mg L-1
Kultur diinkubasi pada suhu 25 °C ± 1 °C pada kondisi terang. Pengamatan
meliputi perkembangan kalus, dan dilakukan pengamatan histologi.

5
Studi Sitologi dan Histologi
Pengamatan tingkat ploidi dilakukan dengan mengidentifikasi dan
memastikan tingkat ploidi, yaitu kalus berumur 45 hari setelah tanam dan daun
kedelai yang masih muda (kontrol) diidentifikasi menggunakan alat flowcytometer
Partec Cyflow Space. Kandungan DNA dalam inti sel kalus dan daun diisolasi
secara mekanis dengan memotong dan mencacah menggunakan silet dalam 250 µl
buffer nuclei extraction (Partec®) yang mengandung 4,6 diamidino-2phenylindole (DAPI). Setelah hancur ditambahkan lagi 750 µl buffer nuclei
extraction dan suspensi disaring dengan nylon mess 35 µm, kemudian dianalisis
dengan flowcytometer (Dolezel et al. 2007). Penentuan tingkat ploidi dilakukan
dengan melihat posisi puncak grafik pada histogram yang diperlihatkan di display
monitor. Kemudian dibandingkan tingkat ploidi kalus dengan kontrolnya.
Metode pembenaman dalam parafin (Sass 1958) untuk mengetahui struktur
dan asal sel-sel kalus. Material berupa kalus pada umur 45 hari setelah kultur dan
kalus yang noduler sebelumnya difiksasi dengan FAA (Formalin Acetic Acid
Alkohol) selama tiga hari. Kemudian dilakukan pencucian dengan etanol 50%.
Selanjutnya tahap dehidrasi dan penjernihan yang dilakukan secara bertahap
dengan larutan Johansen I-VI. Tahapan selanjutnya dilakukan infiltrasi sebelum
dilakukan penanaman dalam parafin. Penyayatan dilakukan dengan mikrotom
putar, dan pewarnaan menggunakan pewarnaan ganda yaitu safranin dan fastgreen.
Preparat histologi diamati di bawah mikroskop cahaya dan dipotret dengan
kamera.

Analisis Data
Percobaan disusun menurut Rancangan Acak Lengkap sederhana dengan
perlakuan sesuai keperluan yang sudah diuraikan sebelumnya dengan 3 ulangan.
Setiap ulangan terdiri atas 10 wadah kultur (cawan petri) yang di dalam masingmasing wadah dikulturkan 10 antera dari 10 kuncup bunga. Pengamatan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan eksplan dilakukan setiap minggu selama 8
minggu percobaan. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis menggunakan
ANOVA (Analisis Sidik Ragam).

6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil

Kalus yang tumbuh (%)

Induksi dan proliferasi kalus
Hasil percobaan induksi kalus menunjukkan bahwa penggunaan picloram
tunggal yang ditambahkan pada media MS padat tidak mampu menginduksi
kalus pada kultur antera kedelai varietas Wilis, tetapi bila picloram tersebut
dikombinasikan dengan BA dapat menginduksi kalus (Gambar 1). Persentase
kalus yang terbentuk tidak berbeda nyata antar perlakuan picloram 1 mg L-1 + BA
0.5 mg L-1; picloram 3 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1 dan picloram 5 mg L-1 + BA 0.5
mg L-1 yaitu masing-masing 76.7% ; 70.0% dan 76.7%.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

(1 )

(2 )

( 3)

( 4)

( 5)

( 6)

Perlakuan

Gambar 1 Pengaruh perlakuan zat pengatur tumbuh terhadap induksi kalus:
(1) picloram 1 mg L-1; (2) picloram 3 mg L-1; (3) picloram 5
mg L-1; (4) picloram 1 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1; (5) picloram 3
mg L-1 + BA 0.5 mg L-1; (6) picloram 5 mg L-1 + BA 0.5 mg L-1
Kalus mulai terbentuk sekitar 2 minggu setelah kultur, ditandai dengan
antera mulai membesar dari ukuran normalnya, warna berubah dari hijau menjadi
kuning kecoklatan, kemudian kalus semakin membesar dan kekuningan dengan
struktur yang sangat kompak. Kalus ini selanjutnya disubkultur pada media yang
memiliki zat pengatur tumbuh yang berbeda agar kalus yang kompak lebih remah
dan embriogenik. Zat pengatur tumbuh yang dipergunakan berupa picloram, NAA,
dan BA.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kalus yang disubkultur pada
media dengan zat pengatur tumbuh berupa picloram, NAA, dan BA tidak berbeda
secara visual antar perlakuan yang dicobakan, yaitu struktur masih kompak dan
berwarna kekuningan (Gambar 2). Pemberian NAA yang dikombinasikan dengan
picloram dan BA hanya menyebabkan pertumbuhan kalus pada tahap ini lebih
cepat dibandingkan dengan pertumbuhan kalus pada tahap induksi kalus
sebelumnya.

7

(1)

(2)

(3)

(4)

(A)

(1)

(2)

(3)

(4)

(3)

(4)

(B)

(1)

(2)
(C)

Gambar 2 Keragaan kalus setelah dilakukan subkultur pada media dengan zat
pengatur tumbuh berbeda: (A) kalus yang berasal dari picloram 1 mg
L-1 + BA 0.5 mg L-1; (B) kalus yang berasal dari picloram 3 mg L-1 +
BA 0.5 mg L-1; (C) kalus yang berasal dari picloram 5 mg L-1+ BA
0.5 mg L-1; (1) picloram 2.5 mg L-1 + NAA 2.5 mg L-1 + BA 0.1
mg L-1; (2) picloram 3 mg L-1 + NAA 3 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1; (3)
picloram 10 mg L-1 + NAA 5 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1; (4) picloram 5
mg L-1 + NAA 10 mg L-1 + BA 0.1 mg L-1
Induksi kalus embriogenik
Upaya untuk mendapatkan kalus embriogenik dilakukan dengan
penambahan asam amino dan penggunaan zat pengatur tumbuh berupa kinetin dan
BA. Hasil dari semua perlakuan yang dicobakan yaitu, kalus mulai remah dan
noduler, serta berwarna hijau (Gambar 3). Namun, penambahan asam amino dan
dua sitokinin yang dikombinasikan pada kultur antera kedelai dalam penelitian ini
hanya mampu membentuk kalus yang remah dan noduler tetapi tidak mampu
menginduksi embriogenesis. Kalus yang noduler ini diharapkan akan dapat
membentuk embrio, bila kondisi yang diperlukan kalus terpenuhi.

8

(A)

(A)

Gambar 3 Kalus noduler dan berwarna hijau setelah dilakukan subkultur pada
media induksi kalus embriogenik: (A) kalus dari perlakuan BA 1 mg L-1
+ kinetin 2 mg L-1 + glutamin 100 mg L-1 + arginin 100 mg L-1 + prolin
100 mg L-1; (B) kalus dari perlakuan BA 1 mg L-1 + kinetin 2 mg L-1 +
kasein hidrolisat 200 mg L-1 + prolin 100 mg L-1.
Tanda panah menunjukkan kalus noduler
Histologi dan Sitologi Kalus
Kalus yang noduler dijadikan sebagai preparat penampang histologi kalus
dengan metode parafin. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat sel-sel
yang bersifat embriogenik pada kalus tersebut (Gambar 4B).

A)

(A)

B)
(B)

Gambar 4 Visual dan histologi kalus embriogenik: (A) kalus noduler; (B)
penampang melintang kalus noduler.
Tanda panah menunjukkan sel kalus embriogenik
Hasil yang diharapkan dari kultur antera adalah diperolehnya tanaman yang
berasal dari sel gamet sehingga menghasilkan tanaman haploid atau haploid
ganda. Namun, pada kultur antera kedelai Wilis dalam penelitian ini, belum
berhasil meregenerasikan tanaman, melainkan hanya sampai tahap kalus yang

9
embriogenik. Oleh karena itu pengecekan tingkat ploidi dengan menggunakan
flowcytometer hanya dapat dilakukan terhadap sel-sel kalus yang dihasilkan.
Kandungan DNA relatif ditentukan dari nilai intensitas fluoresen yang dihasilkan
dari ikatan pewarna inti DAPI dan molekul DNA. Intensitas fluoresen yang
dipancarkan akan mencerminkan jumlah dan kandungan DNA pada sejumlah inti
yang terwarnai oleh DAPI. Penentuan tingkat ploidi dilakukan dengan melihat
posisi puncak grafik pada histogram. Berdasarkan analisis flowcytometer, puncak
grafik antara sel-sel kalus hasil kultur antera kedelai dengan kontrol (daun muda
kedelai) memiliki kandungan DNA relatif dan jumlah inti yang sama, maka
tingkat ploidi sel-sel kalus antera kedelai yang diperoleh yaitu diploid (Gambar 5).
Hal tersebut terjadi dikarenakan sel yang berkembang kemungkinan bukan berasal
dari mikrospora melainkan dari jaringan dinding antera kedelai yang memiliki
ploidi yang sama dengan sel somatiknya.

(A)

(B)

Gambar 5 Hasil analisis tingkat ploidi sel-sel kalus dan daun kedelai dengan alat
flowcytometer: (A) tingkat ploidi dari sel-sel daun kedelai varietas Wilis
(kontrol) adalah diploid; (B) tingkat ploidi sel-sel dari kalus yang
diuji adalah diploid
Pengamatan histologi kalus saat kalus berumur 45 hari setelah kultur
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai asal kalus yang terbentuk,
yaitu berasal dari jaringan somatiknya atau dari mikrospora. Hasil dari
pengamatan histologi menunjukkan bahwa kalus terbentuk dari jaringan dinding
antera atau bukan berasal dari mikrospora (Gambar 6). Oleh karenanya tingkat
ploidi kalus sama dengan jaringan somatiknya yaitu diploid.

10

Gambar 6 Penampang melintang kalus umur 45 hari setelah kultur.
Tanda panah menunjukkan antera kedelai

Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa kultur
antera kedelai varietas Wilis ini hanya mampu menginduksi kalus pada media
dengan perlakuan kombinasi picloram (auksin) dengan BA (sitokinin). Fathia dan
Zulkarnain (2007) juga melaporkan bahwa untuk meningkatkan pembentukan
kalus pada kultur antera kedelai membutuhkan penambahan kombinasi 2,4 D
(auksin) dengan kinetin (sitokinin).
Pemberian NAA yang dikombinasikan dengan picloram dan BA hanya
menyebabkan pertumbuhan kalus pada tahap ini lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan kalus pada tahap induksi. Pertumbuhan kalus yang cepat disebabkan
sel-sel dalam kalus membelah secara aktif. Sel yang membelah cepat tersebut
menyebabkan sel berada dalam ketidakseimbangan aktivitas mitosis, sehingga
menyebabkan terjadinya variasi jenis kalus dan respon organogenesisnya
(Bouman dan De Klerk 2001). Profase merupakan aktivitas mitosis dominan yang
terjadi pada kalus, metafase dan telofase berada pada frekuensi yang rendah,
sedangkan anafase sangat jarang terjadi (Cellarova et al. 1990).
Kalus yang remah dan noduler didapatkan pada media dengan penambahan
asam amino dan zat pengatur tumbuh berupa kinetin dan BA. Pengaruh positif
pemberian asam amino untuk induksi embriogenesis ataupun organogenesis dari
kalus telah banyak dilaporkan. Menurut Fu et al. (1997) perkembangan embrio
kedelai yang rendah dapat ditingkatkan dengan penambahan asam amino seperti
glutamin, asparagin, dan kasein hidrolisat dalam media kultur. Pemberian prolin
dapat meningkatkan regenerasi kalus yang membentuk tunas pada kultur in vitro
tanaman padi (Lestari dan Yunita 2008). Prolin merupakan asam amino yang
banyak digunakan untuk meningkatkan proses embriogenesis (Purnamaningsih
2002). Pemberian asam amino pada penelitian ini yaitu berupa prolin, arginin,
glutamin, dan kasein hidrolisat hanya mampu membentuk kalus yang noduler.
Menurut Loganathan et al. (2010) selain asam amino ada beberapa faktor lain
yang menentukan keberhasilan embriogenesis diantaranya adalah jenis dan umur
eksplan, konsentrasi auksin dan penggunaan sumber karbon selama induksi
embriogensis.

11
Analisis sitologi eksplan hasil kultur antera pada level in vitro sangat
diperlukan untuk mengetahui tingkat ploidi. Keberhasilan pengungkapan tingkat
ploidi sangat menentukan arah pengembangan tanaman, khususnya tanaman
haploid, terkait dengan perbanyakan eksplan, penyiapan planlet, penggandaan
kromosom hingga produksi tanaman haploid ganda. Winarto (2011) telah
melakukan pengujian tingkat ploidi pada kultur Anthurium menggunakan
pewarnaan kromosom dengan donor berupa kalus, ujung tunas, dan akar. Namun,
pemanfaatan kalus dan ujung tunas tidak sesuai bila digunakan sebagai donor
eksplan dalam penentuan tingkat ploidi eksplan karena hasil utama yang dapat
diamati di bawah mikroskop berupa titik-titik kromosom yang tersebar dalam sel
atau mosaik kromosom. Pengecekan tingkat ploidi pada tahap kalus dalam
penelitian ini menggunakan alat flowcytometer, dimana hasil yang diperoleh
ploidi kalus sama dengan ploidi daun muda kedelai yaitu diploid.
Berdasarkan hasil pengamatan histologi pada saat kalus berumur 45 hari
setelah kultur, maka kemungkinan kalus berasal dari jaringan dinding antera
kedelai, dimana jaringan dinding antera kedelai terluka sehingga menginduksi
terbentuknya kalus. Mikrospora di dalam dinding antera kedelai tidak terinduksi
dan masih dalam keadaan seperti semula. Seperti halnya penelitian pada kultur
antera Anthurium selama perkembangan kalus, mikrospora dalam dinding antera
tidak tumbuh, dan tetap dalam keadaan semula sampai tiga bulan dalam kultur
(Winarto et al. 2010). Hal ini dikarenakan dinding antera yang terinduksi.
Kultur antera pada media padat lebih memiliki kecenderungan untuk
membentuk kalus yang lebih banyak berasal dari dinding atau jaringan anteranya.
Penelitian kultur antera kedelai selanjutnya, sebaiknya menggunakan metode yang
meminimalisir pembentukan kalus. Kultur antera kedelai yang dilakukan pada
media dua lapis telah mampu menginduksi pembelahan sporofitik dengan
membentuk struktur multiseluler sampai 12 sel dan tidak melalui tahapan kalus
(Budiana 2010). Pengembangan kultur antera kedelai pada media dua lapis lebih
berpeluang untuk berhasil dalam pengembangan selanjutnya. Perspektif ini
didukung hasil percobaan Parra-Vega et al. (2013) yang membandingkan dua
prosedur kultur antera cabai. Bila antera cabai dikulturkan pada media padat dapat
menginduksi embriogenesis melalui tahapan kalus (Dumas de Vaulx et al. 1981),
sedangkan jika dikulturkan pada media dua lapis dapat menginduksi
embriogenesis langsung tanpa melalui tahapan kalus (Supena et al. 2006). Kultur
antera melalui tahapan kalus lebih cenderung menghasilkan tanaman yang diploid
daripada tanaman haploid, seperti halnya pada kultur antera Bupleurum chinense,
hanya berhasil meregenerasikan satu tanaman haploid dan 155 tanaman diploid
dari 156 kultur antera yang dicobakan (Yang et al. 2011).

12

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Penambahan picloram secara tunggal dalam media dasar MS untuk kultur
antera kedelai tidak mampu menginisiasi kalus, tetapi bila dikombinasikan dengan
BA dapat menginisiasi kalus. Proliferasi kalus dapat dilakukan pada semua
kombinasi NAA, picloram, dan BA. Hasil induksi kalus embriogenik yang
dicirikan dengan kalus berstruktur remah dan noduler terjadi pada perlakuan BA 1
mg L-1 dan kinetin 2 mg L-1 dengan penambahan asam amino glutamin 100
mg L-1, arginin 100 mg L-1, prolin 100 mg L-1, dan kasein hidrolisat 200 mg L-1.
Berdasarkan hasil studi ploidi dan histologi, kalus yang dihasilkan adalah diploid.

Saran
Untuk penelitian selanjutnya dalam upaya mengembangkan kultur antera
kedelai, disarankan menggunakan metode dan media yang dapat meminimalisir
terbentuknya kalus.

DAFTAR PUSTAKA
Bouman H, De Klerk GJ. 2001. Measurement of the extent of somaclonal
variation in Begonia plants regenerated under various conditions
comparison of three assays. Theor Appl Genet. 102(1): 111-117.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Berita Resmi Statistik No. 73/11/Th. XVI
tentang Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai. Jakarta: BPS.
Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik mikrospora kedelai melalui kultur
antera pada sistem media dua lapis. Tesis. Bogor. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Burbulis N, Kupriene R, Ûilenaite L. 2004. Embryogenesis, callogenesis and
plant regeneration from anther cultures of spring rape (Brassica napus L.).
Acta Universitatis Latviensis. 676:153–158.
Cellarova E, Rycglova M, Seidelova A, Honcriv R. 1990. Comparison of mitotic
activity and growth in two long term callus culture of Matricaria recutita L.
Acta Biotech. 10(3): 245-251.
Cordoso MB, Bodanese-Zanettini MH, Mundstock EC, Kaltchuk-Santos E. 2007.
Evaluation of gelling agents on anther culture: response of two soybean
cultivars. Braz Arch Biol Technol. 50(6): 933-939.
Datta SK. 2005. Androgenic haploids: factors controlling development and its
application in crop improvement. Curr Sci. 89: 1870-1878.
Dewi IS, Hanarida I, Rianawati S. 1996. Anther culture and its application for rice
improvement program in Indonesia. Indon Agric Res Dev J. 18: 51-56.

13
Dolezel J, Greilhuber J, Suda J. 2007. Flow Cytometry with Plant Cells: Analysis
of Genes, Chromosomes, and Genomes. Weinhem: Wiley-VCH.
Dumas de Vaulx R, Chambonnet D, Pochard E. 1981. Culture in vitro d’anthe`res
de piment (Capsicum annuum L.): ame`lioration destaux d’obtenction de
plantes chez diffe´rents ge´notypes par destraitments a` +35°C. Agronomie.
1: 859–864.
Fathia NME, Zulkarnain. 2007. Respon in vitro antera kedelai terhadap zat
pengatur tumbuh. Jurnal Agronomi. 11(2): 59-67.
Forster BP, Heberle-Bors E, Kasha KJ, Touraev A. 2007. The resurgence of
haploids in higher plants. Trends in Plant Sci. 12(8): 368-375.
Fu Y, Nicolodi C, Santini L, Spano L, Mariotti D. 1997. Development and
germination of somatic embryos from immature soybean kotiledons: role of
auksin like compounds and organic nitrogen. J Genet Breed. 51: 341-345.
Guzma´n M, Francisco JZA. 2000. Increasing anther culture efficiency in rice
(Oryza sativa L.) using anthers from ratooned plants. Plant Science. 151:
107–114.
Hu CY, Yin GC, Bodanese-Zanettini MH. 1996. Haploid of Soybean. Di dalam:
Jain SM, Sopory SK, Veilleux RE, editors. In Vitro Production in Higher
Plant. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher. hlm 377-395.
Kaltchuk-Santos E, Mariath JE, Mundstock E, Yeh-Hu C, Bodanese-Zanetti MH.
1997. Cytologycal analysis of early microspore divisions and embryo
formation in cultured soybean anther. Plant Cell Tiss Organ Cult. 49: 107115.
Lauxen MS, Kaltchuk-Santos E, Hu C, Callegarri-Jacques SM, BodaneseZanettini MH. 2003. Floral bud size and developmental stage in soybean
microspores. Braz Arch Biol Technol. 46(4): 515-520.
Lestari EG, Yunita R. 2008. Induksi kalus dan regenerasi tunas padi varietas
Fatmawati. Bul Agron. 36(2): 106-110.
Loganathan M, Maruthasalam S, Shiu LY, Lien WC, Hsu WH, Lee PF, Yu CW,
Lin CH. 2010. Regeneration of soybean (Glycine max L. Merrill) through
direct somatic embryogenesis from the immature embryonic shoot tip. In
Vitro Cell Dev Biol Plant. 46: 265-273.
Moraes AP, Bodanese-Zanettini MH, Callegarri-Jacques SM, Kaltchuk-Santos E.
2004. Effect of temperature shock on soybean microspore embryogenesis.
Braz Arch Biol Technol. 47(4): 537-544.
Morel G, Wetmore RH. 1951. Tissue culture of monocotyledons. Am J Bot. 38:
138-140.
Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bio-assays
with tobacco tissue cultures. Plant Physiol. 15: 473-497.
Parra-Vega V, Renau-Morata B, Sifres A, Segui-Simarro JM. 2013. Stress
treatments and in vitro culture conditions influence microspore
embryogenesis and growth of callus from anther walls of sweet pepper
(Capsicum annum L.). Plant Cell Tiss Organ Cult. 112: 353-360.
Purnamaningsih P. 2002. Regenerasi tanaman melalui embryogenesis somatic dan
beberapa gen yang mengendalikannya. Buletin Agrobio. 5(2): 51-58.
Rodrigues LR, Forte BC, Olieveira JMS, Mariath JEA, Bodanese-Zanettini MH.
2004. Effects of light conditions and 2,4-D concentration in soybean anther
culture. Plant Growth Regulation. 44: 125-131.

14
Rodrigues LR, Forte BC, Bodanese-Zanettini MH. 2006. Isolation and culture of
soybean (Glycine max L. Merrill) microspores and pollen grains. Braz Arch
Biol Technol. 49(4): 537-544.
Sass JE. 1958. Botanical Microtechnique. Edisi ke-3. The Iowa State Collage
Press. Ames. Iowa.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Succesfull
development of a shed-microspore culture protocol for double haploid
production in Indonesian hot pepper (Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep.
25: 1-10.
Touraev A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1997. Initiation of microspore
embryogenesis by stress. Trends in Plant Sci. 2: 298-300.
Tiwari S, Shanker P, Tripathi M. 2004. Effects of genotype and culture medium
on in vitro androgenesis in soybean (Glycine max L. Merr.). Ind Jour
Biotech. 3: 441-444.
Winarto B, Mattjik NA, Purwito A, Marwoto B. 2010. Improvement of selected
induction culture media on callus induction in anther culture of anthurium
and a histological study on its callus formation. Jurnal Natur Indonesia.
12(2): 93-101.
Winarto B. 2011. Pewarnaan kromosom dan pemanfaatannya dalam penentuan
tingkat ploidi eksplan hasil kultur anter Anthurium. J Hort. 21(2): 113-123.
Yang C, Zhao Y, Wei J, Zhao L, Sui C, Zhang Z, Cui L. 2011. Factors affecting
embryogenic callus production and plant regeneration in anther culture of
Bupleurum chinense. Chinese Herbal Medicines. 3(3): 214-220.
Zheng MY. 2003. Microspore culture in wheat (Triticum aestivum) doubled
haploid production via induced embryogenesis. Plant Cell Tiss Organ Cult.
73: 213-230.
Zulkarnain. 2005. Pengaruh pra-perlakuan stres pada kultur antera empat kultivar
kedelai. Jurnal Akta Agrosia. 8: 56-6.
Zulkarnain. 2008. Respon antera kedelai kultivar Merubetiri terhadap pemberian
putrescine pada kultur in vitro. Jurnal Agronomi. 12(1): 9-16.

LAMPIRAN

15
Lampiran 1 Komposisi Media Murashige and Skoog (1962)
Jenis
Hara Makro

Hara Mikro

Bahan Kimia
KNO3
NH4NO3
CaCl2.2H2O
MgSO4.7H2O
KH2PO4
MnSO4.4H2O
ZnSO4.7H2O
H3BO3
KI
CuSO4.5H2O
CoCl2.6H2O
FeSO4.7H2O
Na2EDTA.2H2O

Konsentrasi (mg L-1)
1900
1650
440
370
170
22.3
8.6
6.2
0.83
0.025
0.025
27.8
32.3

Lampiran 2 Komposisi Vitamin Morel and Weatmore (1951)
Bahan Kimia
Mesoinositol
Tiamin
Piridoksin
Asam mikotinat
Biotin
Kalsium pantotenat

Konsentrasi (mg L-1)
100
1
1
1
0.01
1

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 20 Februari 1987 sebagai
anak ketiga dari pasangan Bapak Faisol (Alm.) dan Ibu Siti Rochayati. Pendidikan
sarjana ditempuh di Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman di
Purwokerto, lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010, penulis diterima di Program
Studi Biologi Tumbuhan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor di Bogor.