Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DAN INDUKSI PEMBELAHAN
SPOROFITIK PADA KULTUR ANTERA KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

POPI SEPTIANI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRAK
POPI SEPTIANI. Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sprofitik pada Kultur
Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA
dan JULIARNI.
Pengembangan varietas hibrida kelapa sawit membutuhkan ketersediaan galur-galur murni
untuk dijadikan tetua. Teknologi haploid dapat dikembangkan untuk menghasilkan galur-galur
murni (tanaman haploid ganda) secara efisien hanya dalam 1-2 generasi. Penelitian ini bertujuan
menginduksi pembelahan sporofitik pada kultur antera dalam media dua lapis yang merupakan
langkah awal pengembangan kultur haploid pada kelapa sawit. Pangkal spikelet dari spikelet yang

terdapat pada pangkal malai dari malai jantan yang memiliki ¼ bagian pangkal malai berwarna
kuning dan ¾ bagian ujung malai berwarna coklat mengandung mikrospora tahap uninukleat
akhir. Sedangkan ujung spikelet dari spikelet yang terdapat pada ujung malai dari malai jantan
berwarna coklat dan sebagian seludang telah terbuka mengandung mikrospora tahap biselular
awal. Mikrospora tahap uninukleat akhir yang dikulturkan pada media standar embriogenesis
somatik kelapa sawit, memperlihatkan perkembangan gametofitik sampai tahap biselular pada
umur 6 sampai 10 hari setelah kultur (HSK). Pemberian cekaman suhu tinggi (32-33ºC) dalam
periode 0, 1, 3 dan 7 hari yang dikombinasikan dengan perlakuan sumber karbon berupa sukrosa,
maltosa ataupun manitol tidak dapat menginduksi pembelahan sporofitik dalam antera pada kutur
in vitro. Namun perlakuan cekaman suhu tinggi selama satu hari yang dikombinasikan dengan
sumber karbon maltosa 40 g/l dapat mempertahankan persentase mikrospora hidup sebesar 74.5%
sampai 28 HSK.

ABSTRACT
POPI SEPTIANI. Microspore Development and Induction of Sporophytic Division in Anther
Culture of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA
and JULIARNI.
Development of oil palm hybrid varieties needs availability of pure lines as parents. Haploid
culture can be developed to produce pure lines (double haploid plants) efficiently in 1-2
generations. The aim of this research was to induce sporophytic division in anther culture with

double-layer medium system as the first step in developing of haploid technology in oil palm.
Basal part of spikelet from spikelet which was located in basal part of male inflorescence having ¼
yellow basal part and ¾ brown upper part contained late uninucleate microspores. Whereas upper
part of spikelet from spikelet which was located in upper part of male inflorescence having brown
male flower inflorescence with partly opened spathe contained early bicellular microspores. Late
uninucleate microspores which were cultured in oil palm somatic embryogenesis medium showed
gametophytic development until bicellular stage after 6 to 10 days in culture (DAC). Heat shock
treatment (32-33ºC) for 0, 1, 3 and 7 days in combination with carbon source treatment i.e.
sucrose, maltose or mannitol were not able to induce sporophytic division in in vitro anther
culture. However, heat shock treatment for one day combined with 40 g/l maltose as carbon source
can sustain percentage of living microspore up to 74.5 % in 28 DAC.

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DAN INDUKSI PEMBELAHAN
SPOROFITIK PADA KULTUR ANTERA KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

POPI SEPTIANI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

Judul :

Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sporofitik pada
Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Nama : Popi Septiani
NIM : G34102065

Menyetujui :

Pembimbing I,

Pembimbing II,


Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si
NIP 131851278

Dr. Ir. Juliarni, M.Agr
NIP 132216226

Mengetahui :
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor

Dr. Drh. Hasim, DEA
NIP 131578806

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia
yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit

(Elaeis guineensis Jacq.)
Penelitian dilakukan mulai bulan Maret 2006 sampai dengan Juli 2007, di Laboratorium
Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi
IPB dan Laboratorium Riset, Fakultas Teknobiologi Unika Atmajaya, Jakarta.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si dan Dr.Ir.
Juliarni, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dan motivasi serta
kepada Ir. Dorly, M. Si selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan
karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi beserta seluruh staf dan laboran atas sarana, prasarana serta bantuan selama penulis
melakukan penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Koordinator dan staf
Laboratorium Riset Fakultas Teknobiologi Unika Atmajaya Jakarta, atas bantuan dan
kerjasamanya.
Ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan kepada Papa, Mama, Bang Ali dan
Adikku Rika atas doa, kasih sayang dan dukungannya. Terima kasih juga penulis sampaikan
kepada rekan-rekan di lab, Budi, Mbah, Usy, Tuti, Lulut, Jaya, Hakiim, Mas Firdaus, Mba Kiki,
Mba Wiwid, Mba Muti, Mba Agust, Mba Zendi, Mba Rina, Mba Ratna, Pak Muzuni, Bu Hanum,
Bu Srilis, Pak Hadi, Pak Ulung, Bang Yassier, Mba Ulfa, Mba Rida, Nindya, Zahroh, Dona, Sari
atas segala bantuannya. Kepada rekan-rekan Biologi 39 dan sahabat yang selalu memberi
semangat: Ammay, Ninda, Awi, Mia, Nirli, Venti, Dina, Ambar, Bian, Buly, Rama, Lia, Yeviza,
Yuni, dan Zantri.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.

Bogor, Januari 2008

Popi Septiani

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kotabumi, Lampung Utara pada tanggal 24 September 1984 dari ayah
H. Ir. Kahfi dan ibu Hj. Nani Sukarni. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pada
tahun 2002 penulis lulus dari SMU 9 Bandar Lampung dan diterima di Departemen Biologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum Biologi Dasar,
Anatomi dan Morfologi Tumbuhan dan Genetika Dasar. Penulis juga pernah aktif dalam
organisasi kewirausahaan Bioworld sebagai Ketua Divisi Tanaman Hias dan Anggrek periode
2004/2005. Penulis pernah menjadi Poster Presenter dalam International Symposium on
Sustainable Agriculture in Asia di Bogor, kerjasama antara IPB dan Universitas Ibaraki Jepang.
Penulis melaksanakan kegiatan praktik lapangan pada tahun 2005 di PT. Perkebunan Nusantara
VIII Gunung Mas, Cisarua, Bogor.


DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR GAMBAR.................................................................................................................

vii

PENDAHULUAN.....................................................................................................................

1

BAHAN DAN METODE .........................................................................................................
Sumber Antera. ..................................................................................................................
Pengamatan Morfologi Malai Jantan dan Tahap Perkembangan Mikrospora....................
Metode Kultur Sebar Mikrospora ......................................................................................
Komposisi Media Kultur................................................................................................
Isolasi Antera dan Inkubasi............................................................................................
Perlakuan Cekaman untuk Induksi Androgenesis..............................................................

1

1
1
2
2
2
2

HASIL ......................................................................................................................................
Hubungan antara Ciri Morfologi Malai Jantan dengan Tahap Perkembangan Mikrospora
Perkembangan Mikrospora dalam Antera pada Kultur in vitro .........................................
Perlakuan Cekaman untuk Induksi Androgenesis..............................................................

2
2
4
4

PEMBAHASAN.........................................................................................................................

6


SIMPULAN................................................................................................................................

7

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................

7

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Hubungan antara ciri morfologi malai jantan dan tahap perkembangan mikrospora kelapa
sawit ....................................................................................................................................

3

2 Perkembangan mikrospora dalam antera pada kultur in vitro .............................................

4


3 Persentase mikrospora hidup dalam media dengan sumber karbon berbeda dan
perlakuan lama inkubasi cekaman suhu tinggi (32-33 0C) ..................................................

5

PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
merupakan komoditas perkebunan andalan
yang banyak diminati oleh investor karena
nilai ekonominya cukup tinggi. Luas area
pertanaman maupun produksi kelapa sawit
di Indonesia setiap tahunnya selalu
meningkat dengan produksi per satuan luas
yang berpotensi untuk dapat ditingkatkan.
Menurut Deptan (2007) luas pertanaman
kelapa sawit pada tahun 2005 adalah
5 453 817 ha. Luas areal produksi sebesar
4 120 000 ha dan total produksi mencapai
64 255 300 ton sehingga rata-rata produktivitas adalah 17.4 ton/ha. Produktivitas
kelapa sawit di Indonesia masih lebih rendah

jika dibandingkan dengan Malaysia yang
telah mencapai 20.8 ton/ha dengan luas
areal produksi sebesar 3 620 000 ha (FAO
2007).
Peningkatan produksi kelapa sawit erat
kaitannya dengan pengadaan dan ketersediaan bibit berkualitas. Salah satu kendala yang
dihadapi hingga saat ini adalah keterbatasan
pengadaan bibit berkualitas tersebut. Hal ini
menimbulkan masalah baru yaitu beredarnya
bibit kelapa sawit palsu. Bibit unggul kelapa
sawit umumnya berupa varietas hibrida hasil
persilangan antara dua induk atau tetua.
Varietas-varietas hibrida baru diperoleh dari
calon tetua-tetua baru yang merupakan
galur-galur murni. Untuk memperoleh galur
murni dibutuhkan waktu yang lama sekitar
5-7 generasi melalui penyerbukan sendiri
terkendali, dengan satu generasi membutuhkan waktu 3-4 tahun. Oleh karena itu,
diperlukan introduksi teknologi untuk
menghasilkan galur murni dalam waktu
yang relatif singkat. Kultur haploid adalah
salah satu alternatif yang dapat menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda
hanya dalam satu generasi (Collin &
Edwards 1998).
Tanaman haploid adalah tanaman
dengan jumlah kromosom sama dengan sel
gamet. Hasil penggandaan kromosom
tanaman haploid adalah tanaman haploid
ganda yang merupakan galur murni karena
homozigot untuk keseluruhan lokusnya.
Metode yang paling banyak digunakan
untuk memperoleh tanaman haploid ganda
secara in vitro adalah kultur antera dan
kultur
mikrospora
melalui
proses
androgenesis yaitu proses perkembangan
embrio dari mikrospora (Ferrie et al. 1994).
Induksi androgenesis dapat dilakukan antara
lain dengan cekaman suhu tinggi (32-330C)

seperti pada Brassica napus (Ferrie 2003),
penggunaan sumber karbon pada media
yang sesuai yaitu mengganti sukrosa dengan
maltosa pada media kultur mikrospora
Hordeum vulgare (Kasha et al. 2003)
maupun kombinasi perlakuan cekaman suhu
tinggi (32-33ºC) dan starvasi sumber karbon
dengan
menggunakan
manitol
pada
Nicotiana tabacum (Touraev & HeberleBors 2003).
Sampai saat ini belum ada yang
melaporkan keberhasilan teknik androgenesis in vitro pada kelapa sawit. Namun
keberhasilan teknik embriogenesis somatik
pada kelapa sawit telah banyak dilaporkan
(Gorret et al. 2004; Rival et al. 1997;
Teixeira et al. 1993, 1995). Didasarkan pada
tahapan-tahapan induksi androgenesis pada
tanaman
model
dan
keberhasilan
embriogenesis somatik pada kelapa sawit
serta dikombinasikan dengan teknik kultur
antera pada media dua lapis yang
dikembangkan oleh Supena et al. (2006),
diharapkan pembelahan sporofitik pada
kultur antera kelapa sawit dapat diinduksi
untuk selanjutnya akan dijadikan tahap awal
induksi androgenesis dan pengembangan
teknologi haploid pada kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE
Sumber Antera
Antera yang digunakan berasal dari
malai jantan pada berbagai tahap perkembangan dari pohon kelapa sawit yang terdapat
di kampus IPB Darmaga, Bogor.
Pengamatan Morfologi Malai Jantan dan
Tahap Perkembangan Mikrospora
Bunga jantan pada berbagai tahap
perkembangan diamati morfologi malai
maupun bunganya. Antera kuncup bunga
diisolasi menggunakan pinset selanjutnya
didiseksi di dalam larutan manitol.
Mikrospora atau polen yang terlarut di
dalam larutan manitol diisolasi dengan cara
disentrifugasi dan selanjutnya DNA atau inti
sel diwarnai dengan 1.25 µg/ml pewarna
4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Fase
perkembangan mikrospora diamati menggunakan mikroskop fluoresens dengan UV
filter (Nikon Eclipse E-600). Hasil
pengamatan
tahapan
perkembangan
mikrospora dikorelasikan dengan morfologi
malai. Isolasi mikrospora atau polen
dilakukan juga untuk menghitung densitas
mikrospora (jumlah mikrospora per bunga).
Penghitungan densitas mikrospora dilakukan

2

dengan
hemasitometer
menggunakan
mikroskop cahaya (Nikon Labophot-2)
dengan perbesaran 40x10.
Metode Kultur Sebar Mikrospora
Komposisi Media Kultur. Media kultur
yang digunakan adalah media dua lapis yaitu
media cair di atas media padat (Supena et al.
2006). Kandungan media cair dan media
padat sama, namun pada media padat
ditambahkan 10 g/l arang aktif dan 2 g/l agar
pemadat gelrite. Komposisi media yang
digunakan ialah media kultur embriogenesis
somatik kelapa sawit menurut Teixeira et al.
(1995) yang mengandung nutrisi makro dan
mikro Y3, 267.5 mg/l NH4Cl, 500 mg/l
sistein, 10 mg/l asam nikotianat, 2.5 mg/l
tiamin, 0.8 mg/l piridoksin, vitamin Kao dan
Michayluk (vitamin KM), 100 mg inositol,
250 mg/l asam askorbat, 1.5 % sukrosa dan
0.5% glukosa. Cawan petri yang digunakan
berdiameter 6 cm yang mengandung 3 ml
media padat di bagian bawah dan 3 ml
media cair yang akan ditambahkan di
atasnya menjelang kultur.
Isolasi Antera dan Inkubasi Kultur.
Proses isolasi antera dilakukan pada kondisi
steril. Kuncup bunga kelapa sawit yang
mengandung mikrospora tahap uninukleat
akhir sampai biselular awal didesinfeksi
selama satu menit dalam alkohol 70%,
kemudian dibilas dua kali dalam akuades
steril.
Kuncup
bunga
selanjutnya
didesinfeksi dalam 2% NaOCl dengan
penambahan 0.05% (v/v) Tween-20 selama
10 menit, kemudian dibilas tiga kali dalam
akuades steril masing-masing selama 1, 5
dan 10 menit.
Kuncup bunga dibuka menggunakan
pinset, kemudian antera dipisahkan dari
filamen dan kelopak bunga. Antera
diletakkan pada media dua lapis sehingga
mengapung pada permukaan media cair.
Kemudian diberi 0.1% (v/v) PPMTM (Plant
Preservative Mixture) sebagai biosida yang
berfungsi untuk mencegah kontaminasi pada
kultur (Paul et al. 2001). Pada cawan petri
dikulturkan enam buah antera yang berasal
dari satu kuncup bunga. Kultur diinkubasi
pada suhu 25-28ºC selama 15 hari pada
kondisi gelap. Kemudian antera dalam
kultur yang berjumlah enam diambil satu
persatu secara berurutan pada 0, 1, 3, 6, 10
dan 15 hari setelah kultur (HSK) untuk
pengamatan perkembangan mikrospora.
Pengamatan dilakukan dari satu seri kultur
yang lengkap dan tidak terkontaminasi.

Perlakuan Cekaman untuk Induksi
Androgenesis
Perlakuan cekaman yang digunakan
yaitu cekaman suhu tinggi dan sumber
karbon pada media kultur. Perlakuan
cekaman suhu tinggi dilakukan dengan
menginkubasi kultur pada suhu 32-33ºC
dengan lama inkubasi 1, 3, dan 7 hari dalam
keadaan gelap secara kontinu. Setelah
perlakuan cekaman suhu tinggi, kultur
diinkubasi pada suhu 25-28ºC dan tetap
dalam keadaan gelap. Sedangkan untuk
kontrol, dari awal kultur diinkubasi pada
suhu 25-28ºC (Ferrie 2003). Perlakuan
sumber karbon pada media kultur dilakukan
dengan mengganti sumber karbon pada
media kultur standar kelapa sawit yaitu
20 g/l sukrosa (kontrol) menjadi 40 g/l
maltosa (Kasha et al. 2003) atau 55 g/l
manitol (Touraev dan Herbele-Bors 2003).
Manitol digunakan untuk membuat kondisi
miskin sumber karbon (starvasi). Perlakuan
starvasi dilakukan selama tujuh hari.
Kemudian pada hari ke-8, semua antera
dipindahkan ke media baru yang bersumber
karbon sukrosa.
Kombinasi perlakuan yang dilakukan
adalah perlakuan cekaman suhu tinggi (3233ºC) dengan empat taraf periode inkubasi
(0, 1, 3 dan 7 hari) dan tiga jenis sumber
karbon (sukrosa, maltosa dan manitol)
sehingga diperoleh 12 unit percobaan.
Percobaan dilakukan 10 ulangan, kemudian
dipilih satu ulangan terbaik yaitu ulangan
yang tiap perlakuannya lengkap dan tidak
terkontaminasi sampai umur 28 HSK.
Masing-masing antera diambil untuk
diisolasi mikrosporanya kemudian diwarnai
dengan pewarna DAPI dan diamati tahap
perkembangannya pada 7, 14, 21, 28 HSK.
Penghitungan persentase mikrospora hidup
dilakukan dengan menggunakan mikroskop
flouresens
dengan
perbesaran
200x
sebanyak dua bidang pandang dengan
jumlah total mikrospora yang diamati lebih
kurang 50 sel.

HASIL
Hubungan antara Ciri Morfologi Malai
Jantan dengan Tahap Perkembangan
Mikrospora
Malai jantan yang berwarna kuning pada
sebagian besar pangkalnya dan kecoklatan
pada bagian ujungnya (1A1) mengandung
mikrospora tahap sel induk polen (mother
cell) pada ujung spikelet dari spikelet yang
terdapat pada ujung malai dan mikrospora

3
tahap tetrad pada pangkal spikelet dari
spikelet yang terdapat pada pangkal malai.
Kromosom mengalami kondensasi di bagian
tengah sel pada tahap sel induk polen
(Gambar 1A2), kemudian sel induk polen
mengalami pembelahan meiosis membentuk
tetrad (Gambar 1A3).
Tahap
perkembangan
selanjutnya
dijumpai pada malai jantan yang ¼ bagian
pangkalnya berwarna kuning dan ¾ bagian
ujung malai berwarna coklat (Gambar 1B1).
Ujung spikelet dari spikelet yang terdapat
pada ujung malai mengandung mikrospora
tahap uninukleat awal dan pangkal spikelet
dari spikelet yang terdapat pada pangkal
malai mengandung mikrospora tahap
uninukleat akhir. Tahap uninukleat awal
ditandai oleh kromosom yang mulai
mengalami kondensasi (Gambar 1B2).
Berikutnya, inti terlihat kompak pada bagian
tepi sel karena terdorong oleh vakuola yang
membesar
atau
disebut
mikrospora
uninukleat akhir (Gambar 1B3).
Malai jantan tahap berikutnya berwarna
coklat dan sebagian seludangnya telah

terbuka (Gambar 1C1). Ujung spikelet dari
spikelet yang terdapat pada ujung malai
mengandung mikrospora tahap biselular
awal dan pangkal spikelet dari spikelet yang
terdapat pada pangkal malai mengandung
mikrospora tahap biselular tengah. Kedua
tahapan ini telah mengalami pembelahan
mitosis membentuk dua inti asimetri yaitu
inti vegetatif dan generatif. Mikrospora
tahap biselular awal ditandai oleh letak inti
vegetatif dan generatif yang
terlihat
bertumpuk (Gambar 1C2), sedangkan pada
tahap biselular tengah kedua inti tampak
terpisah (Gambar 1C3).
Selanjutnya malai yang berwarna coklat
dan mulai mekar karena seludang malai
telah terbuka (Gambar 1D1), mengandung
tahap biselular akhir pada ujung spikelet dari
spikelet yang terdapat pada ujung malai dan
polen matang pada pangkal spikelet dari
spikelet yang terdapat pada pangkal malai.
Tahap biselular akhir ditandai oleh inti
vegetatif yang bergerak mendekati dinding
sel (Gambar 1D2).

10 cm

A1

B1

D1

C1
iv
ig

A2

B2

A3

B3

D2

C2

30 µm

D3

C3

Gambar 1 Hubungan antara ciri morfologi malai jantan dan tahap perkembangan mikrospora
kelapa sawit. Tahapan perkembangan malai (A1-D1); Tahapan perkembangan
mikrospora (A2-D3). Malai A1 mengandung mikrospora tahap sel induk polen (A2)
sampai mikrospora tahap tetrad (A3); Malai B1 mengandung mikrospora tahap
uninukleat awal (B2) sampai mikrospora tahap uninukleat akhir (B3); Malai C1
mengandung mikrospora tahap biselular awal (C2) sampai mikrospora tahap biselular
tengah (C3); Malai D1 mengandung mikrospora tahap biselular akhir (D2) sampai polen
matang (D3); inti generatif (ig); inti vegetatif (iv).
B

4

Kemudian mikrospora berkembang hingga
pada akhirnya menjadi polen. Polen matang
kelapa sawit adalah biselular dengan sel
berinti generatif berada di dalam sitoplasma
sel
berinti
vegetatif
(Gambar 1D3).
Jumlah rata-rata mikrospora per bunga
adalah 443 200 dengan kisaran 288 000
sampai 672 000 sel mikrospora per kuncup
bunga.
Perkembangan Mikrospora dalam Antera
pada Kultur in vitro
Mikrospora tahap uninukleat akhir
(Gambar 2A) yang dikulturkan pada media
standar embriogenesis somatik kelapa sawit
dengan sistem kultur antera pada media dua
lapis dapat berkembang melalui proses
gametofitik tetapi tidak sampai pada tahap
akhir yaitu polen matang. Perkembangan
mikrospora hanya sampai pada tahap
biselular, karena sel mikrospora pada tahap
selanjutnya mengalami kematian yang
didahului dengan keluarnya inti dan
sitoplasma dari dinding sel (Gambar 2C-ik).
Selama satu hari kultur, mikrospora
masih tetap dalam tahap uninukleat akhir
(Gambar 2B). Proses pembelahan inti
mikrospora mulai teramati pada 3 HSK
(Gambar 2C-im). Namun, sebagian besar
mikrospora mulai mati yang ditandai dengan
hilang atau keluarnya inti setelah 3 HSK
(Gambar 2C-ik dan ti) dan kematian terus
bertambah sampai 15 HSK (Gambar 2F).
Perbedaan antara inti vegetatif dan inti
generatif terlihat jelas pada kultur umur 10

dan 15 HSK. Kedua inti sudah terpisah, inti
generatif terlihat lebih kompak dan lebih
terang sedangkan inti vegetatif terlihat
sebaliknya.
Pengaruh Perlakuan Cekaman untuk
Induksi Androgenesis
Mikrospora yang dikulturkan pada media
bersumber karbon sukrosa, maltosa dan
manitol dengan cekaman suhu tinggi (3233ºC) maupun kontrol, mengalami kematian
sel secara bertahap dan pembelahan
sporofitik tidak terinduksi. Persentase
mikrospora yang hidup menurun tajam pada
media bersumber karbon sukrosa dan
manitol dari 7 sampai 21 HSK. Hampir
semua mikrospora telah mati pada 21 HSK
(Gambar 3A dan 3C). Tetapi apabila
dibandingkan dengan sumber karbon
sukrosa, persentase sel hidup pada media
bersumber karbon manitol tanpa perlakuan
suhu tinggi (kontrol) masih lebih tinggi
khususnya pada 7 sampai 21 HSK (Gambar
3C).
Persentase mikrospora hidup yang lebih
tinggi diperoleh pada media bersumber
karbon maltosa. Persentase sel mikrospora
hidup tidak menurun drastis sampai 21 HSK,
bahkan pada cekaman suhu tinggi selama
satu hari, persentase mikrospora hidup
sampai 28 HSK sebesar 74.5%. Sedangkan
perlakuan cekaman suhu tinggi selama tiga
dan tujuh hari mengakibatkan jumlah sel
mikrospora mati semakin tinggi (Gambar
3B).
ti

ik
im

30 µm

A

D

B

C

E

F

Gambar 2 Perkembangan mikrospora dalam antera pada kultur in vitro. 0 HSK (A), 1 HSK (B), 3
HSK (C), 6 HSK (D), 10 HSK (E) dan 15 HSK (F). Sel mikrospora yang sedang
melakukan pembelahan inti (im), sel mikrospora dengan inti dan sitoplasma yang
sedang keluar (ik) dan sel mikrospora yang telah tidak memiliki inti (ti).

5

m ikrospora hidup (% )

100
80

60
40

20
0

A

7

14

21

28

7

14

21

28

7

14

21

28

Kontrol, 25ºC

32ºC, 1 hari

m ikrospora hidup (% )

100

80

60
40

20

0

B

mikrospora hidup (%)

100

80

60

40

20

0

C

32ºC, 3 hari

32ºC, 7 hari

Gambar 3 Persentase mikrospora hidup dalam media dengan sumber karbon berbeda dan
perlakuan lama inkubasi cekaman suhu tinggi (32-33ºC). Media bersumber karbon
sukrosa (A); Media bersumber karbon maltosa (B); Media bersumber karbon manitol
(C).

PEMBAHASAN
Penentuan tahap perkembangan mikrospora dalam antera yang akan dijadikan
eksplan pada induksi androgenesis melalui
kultur antera maupun kultur isolasi
mikrospora merupakan faktor penting.
Tahap paling responsif untuk induksi
androgenesis adalah saat pembelahan
mitosis pertama yaitu tahap uninukleat akhir
sampai biselular awal (Maraschin et al.
2005). Fase uninukleat akhir pada kelapa
sawit diperoleh dari pangkal spikelet dari
spikelet yang terdapat pada pangkal malai
pada malai yang memiliki ¼ bagian pangkal
malai berwarna kuning dan ¾ bagian ujung
malai berwarna coklat. Sedangkan tahap
biselular awal diperoleh pada ujung spikelet
dari spikelet yang terdapat pada ujung malai
dari malai yang berwarna coklat dan
sebagian seludangnya telah terbuka.
Berdasarkan hasil tersebut, ciri morfologi
malai dapat digunakan sebagai penanda
tahapan perkembangan mikrospora. Hasil
penelitian Supena et al. (2006) menunjukkan
adanya warna ungu pada ujung antera cabai
(Capsicum annuum) dapat digunakan
sebagai penanda
fase perkembangan
mikrospora, tetapi hal ini tidak dijumpai
pada antera kelapa sawit.
Keberhasilan
induksi
androgenesis
dipengaruhi juga oleh densitas mikrospora.
Densitas optimum kultur isolasi mikrospora
pada media cair bervariasi antara 104 hingga
105 sel per ml. Jumlah sel mikrospora yang
terlalu sedikit atau terlalu banyak akan
semakin memperkecil keberhasilan androgenesis (Rodrigues et al. 2006). Kelapa
sawit dengan jumlah 443 200 sel mikrospora
per bunga dikategorikan tinggi apabila
dibandingkan dengan spesies lain seperti
Brassica napus dengan jumlah 124 600
sel mikrospora per bunga (Pertl et al.
2002) dan kedelai dengan jumlah
310 000 sel mikrospora per bunga
(Rodrigues et al. 2006). Oleh karena itu
kemungkinan keberhasilan androgenesis
pada kelapa sawit diharapkan cukup besar.
Perkembangan mikrospora in vitro
dalam teknik kultur antera pada media dua
lapis dengan media standar embriogenesis
somatik kelapa sawit hanya dapat
mendukung perkembangan mikrospora dari
tahap uninukleat akhir hingga biselular
tengah. Hal ini menunjukkan bahwa jalur
gametofitik tetap terjadi tetapi tidak sampai
pada pematangan polen karena mikrospora
banyak yang mati akibat terjadi plasmolisis

mulai 3 HSK. Hal ini diduga karena sumber
karbon sukrosa dan glukosa tidak cocok
apabila diberikan ke dalam media kultur
antera kelapa sawit. Dugaan ketidakcocokan
penggunaan sukrosa sebagai sumber karbon
dalam kultur antera kelapa sawit didukung
oleh hasil percobaan pengaruh sumber
karbon maltosa yang dapat menurunkan laju
kematian mikrospora (Gambar 3B).
Dalam kultur in vitro tanaman, sukrosa
memang merupakan sumber karbon yang
paling banyak digunakan, tetapi pada
beberapa spesies seperti Barley (Hordeum
vulgare) dan Snapdragon
(Antirrhinum
majus) (Scott & Lyne 1995; Scott & Lyne
1994; Barinova et al. 2002), sukrosa justru
menyebabkan kematian sel karena memberi
efek toksik. Hal ini disebabkan karena
hidrolisis sukrosa sangat cepat sehingga
dapat mengakibatkan metabolisme sel juga
berjalan cepat. Pada akhirnya sel
mengakumulasi etanol dalam jumlah besar
sehingga memberi efek toksik pada sel yang
menyebabkan kematian sel. Sedangkan
hidrolisis maltosa berjalan lebih lambat,
oksigen untuk respirasi menjadi lebih
tercukupi dan energi dapat dimanfaatkan
secara bertahap oleh sel, akibatnya sel dapat
bertahan hidup pada media kultur (Scott &
Lyne 1995). Hidrolisis pada sukrosa berjalan
lebih cepat diduga karena enzim pemecah
sukrosa menjadi monosakaridanya bekerja
lebih cepat dibandingkan pada maltosa.
Hidrolisis yang cepat ini menyebabkan sel
mengalami defisiensi oksigen dan berada
dalam kondisi anaerob. Pada kondisi ini,
untuk memperoleh energi, sel akan
memasuki jalur fermentasi dengan hasil
akhir berupa etanol yang bersifat toksik
pada sel.
Manitol adalah karbohidrat yang tidak
dapat dihidrolisis. Biasanya digunakan
sebagai media starvasi yang dikombinasikan
dengan perlakuan suhu tinggi pada kultur
mikrospora tembakau untuk mengkondisikan agar mikrospora dibelokkan dari jalur
gametofitik (jalur perkembangan sel induk
gamet menjadi sel gamet) ke sporofitik
(jalur perkembangan sel gamet menjadi
embrio) (Touraev & Heberle-Bors 2003).
Manitol memberi efek kekeringan yang
dapat meningkatkan level ABA pada sel
sehingga sintesis mRNA terhambat dan
terjadi pembelokan dari jalur gametofitik ke
sporofitik (Harada & Imamura 1983).
Starvasi manitol pada kultur antera kelapa
sawit tidak dapat dikombinasikan dengan
cekaman suhu tinggi karena persentase

7
mikrospora hidup pada 7 HSK dengan
perlakuan cekaman suhu tinggi
lebih
rendah daripada kontrol. Sedangkan
penurunan persentase mikrospora hidup
pada 14 sampai dengan 28 HSK terutama
disebabkan oleh efek keracunan sukrosa
karena kultur pada hari ke-8 dipindahkan
pada media dengan sumber karbon sukrosa.
Cekaman suhu tinggi (32-33ºC) untuk
pada
kultur antera atau mikrospora
beberapa spesies seperti Brassica napus
(Ferrie 2003) dan Nicotiana tabacum
(Touraev & Heberle-Bors 2003), dapat
membelokkan
jalur
gametofitik
ke
sporofitik. Menurut Maraschin et al. (2005)
senyawa yang berperan dalam pembelokkan
jalur gametofitik ke sporofitik adalah heat
shock protein yang terinduksi oleh adanya
suhu tinggi. Pada penelitian ini perlakuan
cekaman dengan suhu tinggi yang
dikombinasikan dengan sumber karbon
sukrosa, maltosa dan manitol tidak dapat
menginduksi pembelahan sporofitik yang
merupakan
langkah
awal
induksi
androgenesis kelapa sawit. Perlakuan
cekaman suhu rendah (4-9ºC) yang
dikombinasikan dengan sumber karbon
maltosa seperti pada penelitian cabai
(Supena et al. 2006) ataupun praperlakuan
suhu dingin (4ºC) pada kuncup bunga seperti
pada Barley (Kruczkowska et al. 2002)
kemungkinan dapat dijadikan alternatif
dalam induksi androgenesis kelapa sawit.

SIMPULAN
Pangkal spikelet dari spikelet yang
terdapat pada pangkal malai dari malai
jantan yang memiliki ¼ bagian pangkal
berwarna kuning dan ¾ bagian ujung
berwarna coklat, mengandung mikrospora
tahap uninukleat akhir. Sedangkan ujung
spikelet dari spikelet yang terdapat pada
ujung malai dari malai jantan yang berwarna
coklat dan sebagian seludang telah terbuka
mengandung mikrospora tahap biselular
awal. Mikrospora tahap uninukleat akhir
yang dikulturkan pada media standar
embriogenesis somatik pada kelapa sawit
dengan suhu inkubasi 25-28ºC, memperlihatkan perkembangan gametofitik sampai
tahap biselular pada umur 6 sampai 10 HSK.
Pemberian cekaman suhu tinggi (3233ºC)
yang
dikombinasikan dengan
perlakuan sumber karbon berupa sukrosa,
maltosa ataupun manitol ternyata tidak dapat
menginduksi pembelahan sporofitik dalam
antera pada kutur in vitro. Namun perlakuan

cekaman suhu tinggi selama satu hari yang
dikombinasikan dengan sumber karbon 40
g/l maltosa terbukti dapat mempertahankan
persentase mikrospora hidup sebesar 74.5%
sampai 28 HSK.

DAFTAR PUSTAKA
Barinova I, Zhexembekova M, Barsova E,
Lukyanov S, Heberle-Bors E, Touraev
A. 2002. Antirrhinum majus microspore
maturation and transient transformation
in vitro. J Expt Bot 53: 1119-1129.
Collin HA, Edwards S. 1998. Plant Cell
Culture. Singapore: Springer-Verlag
Singapore Pte Ltd. hlm 59-60.
Ferrie AMR, Palmer CE, Keller WA. 1994.
Biotechnological
applications
of
haploids. Di dalam: Shargool PD, Ngo
TT, editor. Biotechnological Aplication
of Plant Cultures. Boca Raton: CRC
Press. hlm 77-109.
Ferrie A. 2003. Microspore culture of
Brassica
species.
Di
Dalam:
Maluszynki M, Kasha KJ, Foster BP,
Szarejko I, editor. Double Haploid
Production in Crop Plant, A Manual.
Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
hlm. 205-215.
Gorret N, Rosli SK, Oppenheim SF, Willis
LB, Lessard PA, Cho KR, Sinskey AJ.
2004. Bioreactor culture of oil palm
(Elaeis guineensis Jacq.) and effects of
nitrogen source, inoculum size, and
conditioned medium on biomass
production. J Biotechnol 108: 253-263.
Harada H, Imamura J. 1983. Factors that
stimulate pollen embryogenesis. Di
dalam: Cell and Tissue Culture
Techniques
for
Cereal
Crop
Improvement. Proceedings of Workshop
on Potential of Cell and Tissue Culture
Techniques in the Improvement of
Cereal Crops; Beijing, 19-23 Okt 1981.
Beijing: Science Press and International
Rice Research Institute. hlm 145-158.
Kasha KJ, Simion E, Oro R, Shim YS. 2003.
Barley isolated and microspore culture
protocol. Di Dalam: Maluszynki M,
Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor.
Double Haploid Production in Crop
Plant. Dordrecht: Kluwer Academic
Publisher. hlm 43-47.
Kruczkowska H, Pawlowska H, Skuncinska
B. 2002. Influence of anther
pretreatment on the efficiency of
androgenesis in barley. J Appl Genet
43: 287-296.

8
Maraschin SF, Priester W, Spaink HP, Wang
M. 2005. Androgenic switch: an
example of plant embryogenesis from
male gametophyte perspective. J Expt
Bot 56: 1711-1726.
Paul A-L, Semer C, Kucharek T, Ferl RJ.
2001. The fungicidal and phytotoxic
properties of benomyl and PPM in
suplemented agar media supporting
transgenic Arabidopsis plants for a
space shuttle flight experiment. J Appl
Microbiol Biotech 55 : 480-485.
Pertl M, Houser TP, Damgard C, Jorgensen
RB. 2002. Male fitness of oilseed rape
(Brassica napus), weedy B. rapa and
their F1 hybrids when pollinating B.
rapa seeds. Heredity 89: 212-218.
Rival A, Berlenc FA, Morcillo F, Tregear J,
Verdeil JL, Duval Y. 1997. Scalling-up
in vitro clonal propagation through
somatic embryogenesis: the case of oil
palm (Elaeis guineensis Jacq.). Plant
Tiss Cult Biotechnol 3: 74-83.
Rodrigues LR, de Camargo FB, BodaneseZanettini MH. 2006. Isolation and
culture of soybean (Glycine max L.
Merrill) microspore and pollen grains.
Braz Arch Biol Technol 49: 537-545.
Scott P, Lyne LR. 1994. Initiation of
embryogenesis from cultured barley
microspore: a further investigation into
the toxic effects of sucrose and glucose.
Plant Cell Tiss Org Cult 37: 61-65.

Scott P, Lyne RL, Ap Rees T. 1995.
Metabolism of maltose and sucrose by
microspore isolated from barley
(Hordeum vulgare L.). Planta 197: 435441.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E,
2006.
Succesfull
Custers
JBM.
development of a shed-microspore
culture protocol for double haploid
production in Indonesia hot pepper
(Capsicum annuum L.). Plant Cell Rep
25 : 1-10.
Teixeira JB, Sondahl MR, Kirby EG. 1993.
Somatic embryogenesis from immature
zygotic embryos of oil palm. Plant Cell
Tiss Org Cult 40: 227-233.
Teixeira JB, Sondahl MR, Nakamura T,
Kirby EG. 1995. Establishment of oil
palm cell suspensions and plant
regeneration. Plant Cell Tiss Org Cult
40: 105-111.
Touraev A, Heberle-Bors E. 2003. Anther
and microspore culture in tobacco. Di
Dalam: Maluszynki M, Kasha KJ,
Foster BP, Szarejko I, editor. Double
Haploid Production in Crop Plant.
Dordrecht
:
Kluwer
Academic
Publisher. hlm 223-228.

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DAN INDUKSI PEMBELAHAN
SPOROFITIK PADA KULTUR ANTERA KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

POPI SEPTIANI

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRAK
POPI SEPTIANI. Perkembangan Mikrospora dan Induksi Pembelahan Sprofitik pada Kultur
Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA
dan JULIARNI.
Pengembangan varietas hibrida kelapa sawit membutuhkan ketersediaan galur-galur murni
untuk dijadikan tetua. Teknologi haploid dapat dikembangkan untuk menghasilkan galur-galur
murni (tanaman haploid ganda) secara efisien hanya dalam 1-2 generasi. Penelitian ini bertujuan
menginduksi pembelahan sporofitik pada kultur antera dalam media dua lapis yang merupakan
langkah awal pengembangan kultur haploid pada kelapa sawit. Pangkal spikelet dari spikelet yang
terdapat pada pangkal malai dari malai jantan yang memiliki ¼ bagian pangkal malai berwarna
kuning dan ¾ bagian ujung malai berwarna coklat mengandung mikrospora tahap uninukleat
akhir. Sedangkan ujung spikelet dari spikelet yang terdapat pada ujung malai dari malai jantan
berwarna coklat dan sebagian seludang telah terbuka mengandung mikrospora tahap biselular
awal. Mikrospora tahap uninukleat akhir yang dikulturkan pada media standar embriogenesis
somatik kelapa sawit, memperlihatkan perkembangan gametofitik sampai tahap biselular pada
umur 6 sampai 10 hari setelah kultur (HSK). Pemberian cekaman suhu tinggi (32-33ºC) dalam
periode 0, 1, 3 dan 7 hari yang dikombinasikan dengan perlakuan sumber karbon berupa sukrosa,
maltosa ataupun manitol tidak dapat menginduksi pembelahan sporofitik dalam antera pada kutur
in vitro. Namun perlakuan cekaman suhu tinggi selama satu hari yang dikombinasikan dengan
sumber karbon maltosa 40 g/l dapat mempertahankan persentase mikrospora hidup sebesar 74.5%
sampai 28 HSK.

ABSTRACT
POPI SEPTIANI. Microspore Development and Induction of Sporophytic Division in Anther
Culture of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.). Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA
and JULIARNI.
Development of oil palm hybrid varieties needs availability of pure lines as parents. Haploid
culture can be developed to produce pure lines (double haploid plants) efficiently in 1-2
generations. The aim of this research was to induce sporophytic division in anther culture with
double-layer medium system as the first step in developing of haploid technology in oil palm.
Basal part of spikelet from spikelet which was located in basal part of male inflorescence having ¼
yellow basal part and ¾ brown upper part contained late uninucleate microspores. Whereas upper
part of spikelet from spikelet which was located in upper part of male inflorescence having brown
male flower inflorescence with partly opened spathe contained early bicellular microspores. Late
uninucleate microspores which were cultured in oil palm somatic embryogenesis medium showed
gametophytic development until bicellular stage after 6 to 10 days in culture (DAC). Heat shock
treatment (32-33ºC) for 0, 1, 3 and 7 days in combination with carbon source treatment i.e.
sucrose, maltose or mannitol were not able to induce sporophytic division in in vitro anther
culture. However, heat shock treatment for one day combined with 40 g/l maltose as carbon source
can sustain percentage of living microspore up to 74.5 % in 28 DAC.

PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
merupakan komoditas perkebunan andalan
yang banyak diminati oleh investor karena
nilai ekonominya cukup tinggi. Luas area
pertanaman maupun produksi kelapa sawit
di Indonesia setiap tahunnya selalu
meningkat dengan produksi per satuan luas
yang berpotensi untuk dapat ditingkatkan.
Menurut Deptan (2007) luas pertanaman
kelapa sawit pada tahun 2005 adalah
5 453 817 ha. Luas areal produksi sebesar
4 120 000 ha dan total produksi mencapai
64 255 300 ton sehingga rata-rata produktivitas adalah 17.4 ton/ha. Produktivitas
kelapa sawit di Indonesia masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan Malaysia yang
telah mencapai 20.8 ton/ha dengan luas
areal produksi sebesar 3 620 000 ha (FAO
2007).
Peningkatan produksi kelapa sawit erat
kaitannya dengan pengadaan dan ketersediaan bibit berkualitas. Salah satu kendala yang
dihadapi hingga saat ini adalah keterbatasan
pengadaan bibit berkualitas tersebut. Hal ini
menimbulkan masalah baru yaitu beredarnya
bibit kelapa sawit palsu. Bibit unggul kelapa
sawit umumnya berupa varietas hibrida hasil
persilangan antara dua induk atau tetua.
Varietas-varietas hibrida baru diperoleh dari
calon tetua-tetua baru yang merupakan
galur-galur murni. Untuk memperoleh galur
murni dibutuhkan waktu yang lama sekitar
5-7 generasi melalui penyerbukan sendiri
terkendali, dengan satu generasi membutuhkan waktu 3-4 tahun. Oleh karena itu,
diperlukan introduksi teknologi untuk
menghasilkan galur murni dalam waktu
yang relatif singkat. Kultur haploid adalah
salah satu alternatif yang dapat menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda
hanya dalam satu generasi (Collin &
Edwards 1998).
Tanaman haploid adalah tanaman
dengan jumlah kromosom sama dengan sel
gamet. Hasil penggandaan kromosom
tanaman haploid adalah tanaman haploid
ganda yang merupakan galur murni karena
homozigot untuk keseluruhan lokusnya.
Metode yang paling banyak digunakan
untuk memperoleh tanaman haploid ganda
secara in vitro adalah kultur antera dan
kultur
mikrospora
melalui
proses
androgenesis yaitu proses perkembangan
embrio dari mikrospora (Ferrie et al. 1994).
Induksi androgenesis dapat dilakukan antara
lain dengan cekaman suhu tinggi (32-330C)

seperti pada Brassica napus (Ferrie 2003),
penggunaan sumber karbon pada media
yang sesuai yaitu mengganti sukrosa dengan
maltosa pada media kultur mikrospora
Hordeum vulgare (Kasha et al. 2003)
maupun kombinasi perlakuan cekaman suhu
tinggi (32-33ºC) dan starvasi sumber karbon
dengan
menggunakan
manitol
pada
Nicotiana tabacum (Touraev & HeberleBors 2003).
Sampai saat ini belum ada yang
melaporkan keberhasilan teknik androgenesis in vitro pada kelapa sawit. Namun
keberhasilan teknik embriogenesis somatik
pada kelapa sawit telah banyak dilaporkan
(Gorret et al. 2004; Rival et al. 1997;
Teixeira et al. 1993, 1995). Didasarkan pada
tahapan-tahapan induksi androgenesis pada
tanaman
model
dan
keberhasilan
embriogenesis somatik pada kelapa sawit
serta dikombinasikan dengan teknik kultur
antera pada media dua lapis yang
dikembangkan oleh Supena et al. (2006),
diharapkan pembelahan sporofitik pada
kultur antera kelapa sawit dapat diinduksi
untuk selanjutnya akan dijadikan tahap awal
induksi androgenesis dan pengembangan
teknologi haploid pada kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE
Sumber Antera
Antera yang digunakan berasal dari
malai jantan pada berbagai tahap perkembangan dari pohon kelapa sawit yang terdapat
di kampus IPB Darmaga, Bogor.
Pengamatan Morfologi Malai Jantan dan
Tahap Perkembangan Mikrospora
Bunga jantan pada berbagai tahap
perkembangan diamati morfologi malai
maupun bunganya. Antera kuncup bunga
diisolasi menggunakan pinset selanjutnya
didiseksi di dalam larutan manitol.
Mikrospora atau polen yang terlarut di
dalam larutan manitol diisolasi dengan cara
disentrifugasi dan selanjutnya DNA atau inti
sel diwarnai dengan 1.25 µg/ml pewarna
4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Fase
perkembangan mikrospora diamati menggunakan mikroskop fluoresens dengan UV
filter (Nikon Eclipse E-600). Hasil
pengamatan
tahapan
perkembangan
mikrospora dikorelasikan dengan morfologi
malai. Isolasi mikrospora atau polen
dilakukan juga untuk menghitung densitas
mikrospora (jumlah mikrospora per bunga).
Penghitungan densitas mikrospora dilakukan

PENDAHULUAN
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
merupakan komoditas perkebunan andalan
yang banyak diminati oleh investor karena
nilai ekonominya cukup tinggi. Luas area
pertanaman maupun produksi kelapa sawit
di Indonesia setiap tahunnya selalu
meningkat dengan produksi per satuan luas
yang berpotensi untuk dapat ditingkatkan.
Menurut Deptan (2007) luas pertanaman
kelapa sawit pada tahun 2005 adalah
5 453 817 ha. Luas areal produksi sebesar
4 120 000 ha dan total produksi mencapai
64 255 300 ton sehingga rata-rata produktivitas adalah 17.4 ton/ha. Produktivitas
kelapa sawit di Indonesia masih lebih rendah
jika dibandingkan dengan Malaysia yang
telah mencapai 20.8 ton/ha dengan luas
areal produksi sebesar 3 620 000 ha (FAO
2007).
Peningkatan produksi kelapa sawit erat
kaitannya dengan pengadaan dan ketersediaan bibit berkualitas. Salah satu kendala yang
dihadapi hingga saat ini adalah keterbatasan
pengadaan bibit berkualitas tersebut. Hal ini
menimbulkan masalah baru yaitu beredarnya
bibit kelapa sawit palsu. Bibit unggul kelapa
sawit umumnya berupa varietas hibrida hasil
persilangan antara dua induk atau tetua.
Varietas-varietas hibrida baru diperoleh dari
calon tetua-tetua baru yang merupakan
galur-galur murni. Untuk memperoleh galur
murni dibutuhkan waktu yang lama sekitar
5-7 generasi melalui penyerbukan sendiri
terkendali, dengan satu generasi membutuhkan waktu 3-4 tahun. Oleh karena itu,
diperlukan introduksi teknologi untuk
menghasilkan galur murni dalam waktu
yang relatif singkat. Kultur haploid adalah
salah satu alternatif yang dapat menghasilkan tanaman haploid dan haploid ganda
hanya dalam satu generasi (Collin &
Edwards 1998).
Tanaman haploid adalah tanaman
dengan jumlah kromosom sama dengan sel
gamet. Hasil penggandaan kromosom
tanaman haploid adalah tanaman haploid
ganda yang merupakan galur murni karena
homozigot untuk keseluruhan lokusnya.
Metode yang paling banyak digunakan
untuk memperoleh tanaman haploid ganda
secara in vitro adalah kultur antera dan
kultur
mikrospora
melalui
proses
androgenesis yaitu proses perkembangan
embrio dari mikrospora (Ferrie et al. 1994).
Induksi androgenesis dapat dilakukan antara
lain dengan cekaman suhu tinggi (32-330C)

seperti pada Brassica napus (Ferrie 2003),
penggunaan sumber karbon pada media
yang sesuai yaitu mengganti sukrosa dengan
maltosa pada media kultur mikrospora
Hordeum vulgare (Kasha et al. 2003)
maupun kombinasi perlakuan cekaman suhu
tinggi (32-33ºC) dan starvasi sumber karbon
dengan
menggunakan
manitol
pada
Nicotiana tabacum (Touraev & HeberleBors 2003).
Sampai saat ini belum ada yang
melaporkan keberhasilan teknik androgenesis in vitro pada kelapa sawit. Namun
keberhasilan teknik embriogenesis somatik
pada kelapa sawit telah banyak dilaporkan
(Gorret et al. 2004; Rival et al. 1997;
Teixeira et al. 1993, 1995). Didasarkan pada
tahapan-tahapan induksi androgenesis pada
tanaman
model
dan
keberhasilan
embriogenesis somatik pada kelapa sawit
serta dikombinasikan dengan teknik kultur
antera pada media dua lapis yang
dikembangkan oleh Supena et al. (2006),
diharapkan pembelahan sporofitik pada
kultur antera kelapa sawit dapat diinduksi
untuk selanjutnya akan dijadikan tahap awal
induksi androgenesis dan pengembangan
teknologi haploid pada kelapa sawit.

BAHAN DAN METODE
Sumber Antera
Antera yang digunakan berasal dari
malai jantan pada berbagai tahap perkembangan dari pohon kelapa sawit yang terdapat
di kampus IPB Darmaga, Bogor.
Pengamatan Morfologi Malai Jantan dan
Tahap Perkembangan Mikrospora
Bunga jantan pada berbagai tahap
perkembangan diamati morfologi malai
maupun bunganya. Antera kuncup bunga
diisolasi menggunakan pinset selanjutnya
didiseksi di dalam larutan manitol.
Mikrospora atau polen yang terlarut di
dalam larutan manitol diisolasi dengan cara
disentrifugasi dan selanjutnya DNA atau inti
sel diwarnai dengan 1.25 µg/ml pewarna
4,6-diamidino-2-phenylindole (DAPI). Fase
perkembangan mikrospora diamati menggunakan mikroskop fluoresens dengan UV
filter (Nikon Eclipse E-600). Hasil
pengamatan
tahapan
perkembangan
mikrospora dikorelasikan dengan morfologi
malai. Isolasi mikrospora atau polen
dilakukan juga untuk menghitung densitas
mikrospora (jumlah mikrospora per bunga).
Penghitungan densitas mikrospora dilakukan

2

dengan
hemasitometer
menggunakan
mikroskop cahaya (Nikon Labophot-2)
dengan perbesaran 40x10.
Metode Kultur Sebar Mikrospora
Komposisi Media Kultur. Media kultur
yang digunakan adalah media dua lapis yaitu
media cair di atas media padat (Supena et al.
2006). Kandungan media cair dan media
padat sama, namun pada media padat
ditambahkan 10 g/l arang aktif dan 2 g/l agar
pemadat gelrite. Komposisi media yang
digunakan ialah media kultur embriogenesis
somatik kelapa sawit menurut Teixeira et al.
(1995) yang mengandung nutrisi makro dan
mikro Y3, 267.5 mg/l NH4Cl, 500 mg/l
sistein, 10 mg/l asam nikotianat, 2.5 mg/l
tiamin, 0.8 mg/l piridoksin, vitamin Kao dan
Michayluk (vitamin KM), 100 mg inositol,
250 mg/l asam askorbat, 1.5 % sukrosa dan
0.5% glukosa. Cawan petri yang digunakan
berdiameter 6 cm yang mengandung 3 ml
media padat di bagian bawah dan 3 ml
media cair yang akan ditambahkan di
atasnya menjelang kultur.
Isolasi Antera dan Inkubasi Kultur.
Proses isolasi antera dilakukan pada kondisi
steril. Kuncup bunga kelapa sawit yang
mengandung mikrospora tahap uninukleat
akhir sampai biselular awal didesinfeksi
selama satu menit dalam alkohol 70%,
kemudian dibilas dua kali dalam akuades
steril.
Kuncup
bunga
selanjutnya
didesinfeksi dalam 2% NaOCl dengan
penambahan 0.05% (v/v) Tween-20 selama
10 menit, kemudian dibilas tiga kali dalam
akuades steril masing-masing selama 1, 5
dan 10 menit.
Kuncup bunga dibuka menggunakan
pinset, kemudian antera dipisahkan dari
filamen dan kelopak bunga. Antera
diletakkan pada media dua lapis sehingga
mengapung pada permukaan media cair.
Kemudian diberi 0.1% (v/v) PPMTM (Plant
Preservative Mixture) sebagai biosida yang
berfungsi untuk mencegah kontaminasi pada
kultur (Paul et al. 2001). Pada cawan petri
dikulturkan enam buah antera yang berasal
dari satu kuncup bunga. Kultur diinkubasi
pada suhu 25-28ºC selama 15 hari pada
kondisi gelap. Kemudian antera dalam
kultur yang berjumlah enam diambil satu
persatu secara berurutan pada 0, 1, 3, 6, 10
dan 15 hari setelah kultur (HSK) untuk
pengamatan perkembangan mikrospora.
Pengamatan dilakukan dari satu seri kultur
yang lengkap dan tidak terkontaminasi.

Perlakuan Cekaman untuk Induksi
Androgenesis
Perlakuan cekaman yang digunakan
yaitu cekaman suhu tinggi dan sumber
karbon pada media kultur. Perlakuan
cekaman suhu tinggi dilakukan dengan
menginkubasi kultur pada suhu 32-33ºC
dengan lama inkubasi 1, 3, dan 7 hari dalam
keadaan gelap secara kontinu. Setelah
perlakuan cekaman suhu tinggi, kultur
diinkubasi pada suhu 25-28ºC dan tetap
dalam keadaan gelap. Sedangkan untuk
kontrol, dari awal kultur diinkubasi pada
suhu 25-28ºC (Ferrie 2003). Perlakuan
sumber karbon pada media kultur dilakukan
dengan mengganti sumber karbon pada
media kultur standar kelapa sawit yaitu
20 g/l sukrosa (kontrol) menjadi 40 g/l
maltosa (Kasha et al. 2003) atau 55 g/l
manitol (Touraev dan Herbele-Bors 2003).
Manitol digunakan untuk membuat kondisi
miskin sumber karbon (starvasi). Perlakuan
starvasi dilakukan selama tujuh hari.
Kemudian pada hari ke-8, semua antera
dipindahkan ke media baru yang bersumber
karbon sukrosa.
Kombinasi perlakuan yang dilakukan
adalah perlakuan cekaman suhu tinggi (3233ºC) dengan empat taraf periode inkubasi
(0, 1, 3 dan 7 hari) dan tiga jenis sumber
karbon (sukrosa,