Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi.

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR
ANTERA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN
PERLAKUAN CEKAMAN SUHU DAN MEDIA STARVASI

ANDI RAEHANA MUCHLIS

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Pembelahan
Sporofitik pada Kultur Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan
Perlakuan Cekaman Suhu dan Media Starvasi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Andi Raehana Muchlis
NIM G34080019

ABSTRAK
ANDI RAEHANA MUCHLIS. Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur
Antera Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu
dan Media Starvasi. Dibimbing oleh ENCE DARMO JAYA SUPENA dan
SUMARYONO.
Kultur haploid melalui proses androgenesis merupakan teknik untuk
menghasilkan galur murni secara cepat sebagai calon tetua dalam memproduksi
benih hibrida unggul. Upaya pengembangan teknik ini belum dilaporkan berhasil
pada tanaman kelapa sawit. Pemberian cekaman suhu rendah sebagai
praperlakuan, yang dilanjutkan dengan perlakuan kombinasi media starvasi dan
suhu, diharapkan dapat menginduksi pembelahan sporofitik untuk androgenesis
pada kelapa sawit. Kuncup bunga kelapa sawit yang digunakan pada penelitian ini
berasal dari ujung spikelet yang terletak di tengah malai dengan spata setengah
terbuka. Antera dari kuncup bunga ini mengandung populasi mikrospora yang

didominasi stadia uninukleat akhir. Praperlakuan perendaman spikelet dalam
media starvasi (media B) pada suhu dingin (4-9°C) selama 1 hari kemudian
anteranya dikultur pada media Y3 sistem media dua lapis dapat menginduksi
pembelahan sporofitik menjadi mikrospora multiselular 4-5 sel sebesar 0.9% pada
2 minggu setelah kultur (MSK). Persentase mikrospora multiselular lebih dapat
diinduksi lagi menjadi 2.1%, bila setelah praperlakuan suhu dingin selama 1 hari
dilanjutkan dengan perlakuan kultur antera dengan cekaman kombinasi media B
sistem media dua lapis dan suhu 25-28°C selama 7 hari, kemudian disubkultur ke
media Y3 sistem media dua lapis pada suhu 25-28°C selama 1 MSK. Hasil
penelitian ini dapat dijadikan tahap awal untuk induksi androgenesis dalam upaya
pengembangan teknologi haploid pada kelapa sawit.
Kata kunci: kelapa sawit, mikrospora, sporofitik, praperlakuan, starvasi.

ABSTRACT
ANDI RAEHANA MUCHLIS. Induction of Sporophytic Division in Anther
Culture of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) with Temperature Shock and
Starvation Medium Treatments. Supervised by ENCE DARMO JAYA SUPENA
and SUMARYONO.
Haploid culture via androgenesis is a rapid technique to produce pure lines
as parental candidates in producing superior hybrid varieties. This technique has

not been reported successful in oil palm plant. Cold shock pretreatment followed
by combination of starvation medium and temperature treatment, is expected to
induce sporophytic division for androgenesis induction in oil palm. The flower
buds of oil palm, used in this experiment were derived from the upper part of
spikelet located at the middle part of the inflorescence with a half part of spatha
was opened. The anthers from this buds contained population of microspores
mostly in late uninucleate. Spikelet immersion pretreatment on starvation medium
(B medium) in cold temperature (4-9°C) for 1 day then continued by culturing the
anthers in double-layer Y3 medium, was able to induce sporophytic division of
microspore with 4-5 cells as much as 0.9% after 2 weeks of culture. The
percentage of multicellular microspores could be increased up to 2.1%, when after
1 day of pretreatment at cold temperature the anthers were cultured in doublelayer B medium at 25-28°C for 7 days, then were subcultured in double-layer Y3
medium at 25-28°C for 1 week after culture. The results of this research could be
used as the first step for induction of androgenesis in developing haploid
technology in oil palm.
Key words: oil palm, microspore, sporophytic, pretreatment, starvation.

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR
ANTERA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) DENGAN
PERLAKUAN CEKAMAN SUHU DAN MEDIA STARVASI


ANDI RAEHANA MUCHLIS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah
ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
suri tauladan terbaik Rasulullah sallahu’alaihiwasallam, para keluarganya dan

orang-orang yang mengikuti jejak beliau sampai hari akhir.
Karya ilmiah berjudul “Induksi Pembelahan Sporofitik pada Kultur Antera
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) dengan Perlakuan Cekaman Suhu dan
Media Starvasi” ini dalam pelaksanaanya penulis banyak dibantu dan dibimbing
oleh berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1.
Dr. Ir. Ence Darmo Jaya Supena, M.Si. selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan fasilitas, pendanaan penelitian, masukan, arahan, dan juga
motivasi dalam penyusunan karya ilmiah ini.
2.
Ir. Sumaryono, M.Sc. yang dengan sabar telah membimbing, mengarahkan
dan menyediakan bahan penelitian dari kebun koleksi Balai Penelitian
Bioteknologi Perkebunan Bogor.
3.
Dr. Nunik Sri Ariyanti, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan
kritik dan saran terkait karya ilmiah ini.
4.
Kedua orang tua saya, Muchlis Mappangaja dan Andi Siti Latifah atas kasih
sayang, doa, motivasi, dan pengorbanan yang tiada henti-hentinya.
5.

Kakak dan adik: Andi Muthmainnah Muchlis, Andi Naimah Muchlis, Andi
Rizka Fitrah Muchlis, Andi Mi’rajusysyakur Muchlis, Andi Fathur Ridha
Muchlis, Andi Ma’gattang Ghafur Muchlis, Andi Farha Medina Muchlis,
Andi Muhammad Farouq Muchlis, atas doa, motivasi, dan inspirasinya.
6.
Soraya V, Khoerani, Nur’aini Y, Dyah S, dan sahabat-sahabat An Nahla atas
doa, bantuan, semangat dan motivasi yang diberikan.
7.
Teman-teman seperjuangan Biologi angkatan 45, atas kebersamaan dan
kesenangan selama ini.
8.
Pak Imron, teh Nia Dahniar, teh Sarah, pak Asep, pak Mulya, pak Hasan,
pak Yanto, mba Pepi, pak Edi, pak Agus, Ibu Retno, Ibu Eti, para staf
Departemen Biologi dan semua pihak yang telah membantu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Andi Raehana Muchlis

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


BAHAN DAN METODE

2

Alat dan Bahan

2

Metode

2

HASIL

3

PEMBAHASAN

7


SIMPULAN

9

DAFTAR PUSTAKA

9

LAMPIRAN

11

RIWAYAT HIDUP

12

DAFTAR TABEL
1 Persentase perkembangan mikrospora pada periode praperlakuan
perendaman spikelet di suhu dingin (4-9°C) dalam media B


5

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Bunga jantan kelapa sawit
Stadia mikrospora kelapa sawit
Perkembangan mikrospora hasil praperlakuan
Persentase perkembangan mikrospora pada perlakuan kombinasi
cekaman media dan suhu
5 Perkembangan mikrospora multiselular (6-8 sel) hasil perlakuan
kombinasi cekaman media B dan suhu 25-28°C selama 1 MSK

4
4
5
6

7

DAFTAR LAMPIRAN
1 Persentase perkembangan mikrospora pada kombinasi cekaman media
dan suhu

11

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bibit atau benih unggul sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Bibit unggul kelapa sawit adalah varietas
hibrida tipe tenera, hasil persilangan tetua tipe dura dengan tipe pisifera.
Pengadaan dan penyediaan bibit hibrida unggul dalam jumlah yang cukup menjadi
salah satu kendala dalam program perluasan areal maupun peremajaan
pertanaman kelapa sawit karena keterbatasan sumber tetua galur murni.
Galur murni dapat diperoleh melalui penyerbukan sendiri terkendali, namun
memerlukan 5-7 generasi dengan satu generasi pada kelapa sawit membutuhkan
waktu 3-4 tahun. Oleh karena itu diperlukan introduksi teknologi untuk
menghasilkan galur murni dalam waktu yang relatif singkat. Kultur haploid
melalui proses androgenesis merupakan teknik cepat untuk menghasilkan tanaman
haploid dan haploid ganda (galur murni) hanya dalam satu generasi (Ferrie et al.
1994; Collin dan Edwards 1998).
Dasar proses androgenesis adalah perkembangan embrio dari mikrospora,
yang diinisiasi melalui perubahan jalur perkembangan mikrospora dari
gametofitik ke arah sporofitik. Perubahan jalur perkembangan tersebut dapat
diinduksi dengan mengaplikasikan perlakuan cekaman. Beberapa contoh
perlakuan cekaman adalah perlakuan suhu 35oC (Dumas de Vaulx et al. 1981)
atau suhu 9oC (Supena et al. 2006) masing-masing selama satu minggu pada
kultur antera cabai, serta kombinasi suhu 33oC dan medium starvasi sumber
karbon dengan manitol pada Nicotiana tabacum (Touraev & Herbele-Bors 2003).
Praperlakuan sumber eksplan sebelum kultur pada kultur antera maupun
kultur isolasi mikrospora juga dapat menginduksi pembelahan sporofitik dan
androgenesis. Praperlakuan tersebut diantaranya adalah suhu 15-18oC selama 7
hari pada malai Triticum aestivum (Hu et al. 1995), suhu 4oC selama 1 hari pada
kuncup bunga cabai (Supena et al. 2006), dan suhu 38oC selama 6 hari pada malai
bunga jantan Cocos nucifera (Perera et al. 2008). Sedangkan praperlakuan suhu 49oC selama 7 hari pada kuncup bunga kedelai, baru terbukti dapat menginduksi
tahap awal pembelahan sporofitik (Budiana 2010).
Kultur haploid melalui proses androgenesis pada tanaman kelapa sawit
belum pernah dilaporkan berhasil (Dunwell et al. 2010). Kultur antera kelapa
sawit pada media semi padat pernah dilakukan, namun tidak berhasil dan tidak
diamati proses awal pembelahan sporofitiknya (Tirtoboma 1998). Pemberian
perlakuan suhu rendah (4-9oC) selama 1 hari pada kultur antera kelapa sawit
dalam sistem media dua lapis menggunakan media Teixeira et al. (1995), dan
sumber karbon maltosa 2% dapat mempertahankan viabilitas mikrospora dari fase
uninukleat akhir sampai 5 minggu setelah kultur (MSK) (Rahmawati 2011,
komunikasi pribadi). Oleh karenanya pemberian praperlakuan suhu rendah, yang
dilanjutkan dengan perlakuan cekaman kombinasi media starvasi sumber karbon
dan suhu, diharapkan dapat menginduksi pembelahan sporofitik untuk selanjutnya
akan dijadikan tahap awal induksi androgenesis dalam pengembangan teknologi
haploid pada kelapa sawit.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mempelajari pengaruh praperlakuan suhu
dingin terhadap malai bunga jantan kelapa sawit dan perlakuan cekaman
kombinasi media starvasi sumber karbon dan suhu inkubasi untuk induksi
pembelahan sporofitik pada kultur antera kelapa sawit dalam sistem media dua
lapis.

BAHAN DAN METODE
Alat dan Bahan
Bahan tanaman yang digunakan adalah malai bunga jantan kelapa sawit
dengan spata setengah terbuka dari tanaman tipe tenera berumur 3-7 tahun yang
diperoleh dari kebun koleksi Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor.
Bahan kimia yang digunakan diantaranya komponen media B (Touraev &
Herberle-Bors 2003) dan media Y3 (Teixeira et al. 1995), maltosa, arang aktif,
agar gelrite, Plant Preservative Mixture (PPMTM), dan pewarna 4,6-diamidino-2phenylindole (DAPI). Alat-alat yang digunakan diantaranya adalah laminar air
flow cabinet dan mikroskop fluoresens dengan UV filter.
Metode
1. Teknik Kultur
Pembuatan Media. Media B dan media Y3 dengan modifikasi sumber
karbon berupa maltosa 2%, dibuat dalam bentuk media cair dan sistem media dua
lapis. Sistem media dua lapis, yaitu lapisan bawah berupa media padat dan lapisan
atas berupa media cair. Untuk media padat ditambahkan arang aktif 10 g/l, dan
agar gelrite 2 g/l (Supena et al. 2006). Percobaan menggunakan cawan petri
berdiameter 6 cm yang diisi 3 ml media padat di bagian bawah dan menjelang
kultur ditambahkan 3 ml media cair serta diberi PPMTM 0.1% (v/v) sebagai
biosida (Paul et al. 2001).
Kultur Antera. Kuncup bunga dengan populasi mikrospora didominasi
stadia uninukleat akhir didesinfeksi selama satu menit dengan alkohol 70%,
kemudian dibilas dua kali dalam aquades steril. Kuncup bunga selanjutnya
didesinfeksi dalam NaOCl 2% dengan penambahan Tween-20 0.05% (v/v) selama
10 menit, kemudian dibilas tiga kali dalam akuades steril masing-masing 1, 5, 10
menit. Kuncup dan kelopak bunga dibuka menggunakan pinset, kemudian antera
dilepaskan dari filamen.
Antera dikulturkan pada media dua lapis sehingga mengapung pada
permukaan media cair. Pada setiap cawan petri dikulturkan 12 buah antera yang
berasal dari 12 kuncup bunga. Dalam satu kuncup bunga terdiri dari enam antera,
sehingga dapat ditempatkan untuk enam cawan petri yang berbeda. Kultur
diinkubasi pada suhu 25-28oC dalam kondisi gelap atau berdasarkan perlakuan
cekaman suhu. Kemudian antera dalam kultur diambil secara periodik pada 0, 1,
2, 3, 4, 5 MSK, masing-masing 2 antera yang terlihat segar (hidup) untuk
pengamatan perkembangan mikrospora dengan pewarnaan DAPI.

3
2. Percobaan
Praperlakuan Suhu Dingin pada Media Starvasi. Percobaan
praperlakuan dilakukan dengan cara “perendaman” pangkal spikelet target pada
media starvasi (media B) cair dan diinkubasi pada suhu dingin (4-9oC) selama
periode 0 (kontrol), 1, 3, dan 7 hari. Kemudian dilakukan kultur antera dengan
menggunakan media Y3 dengan modifikasi sumber karbon berupa maltosa 2%
dalam sistem media dua lapis, selanjutnya kultur diinkubasi pada suhu 25-28oC
dalam keadaan gelap.
Perlakuan Kombinasi Cekaman Media Starvasi dan Suhu. Setelah
diperoleh hasil terbaik yang dapat menginduksi pembelahan sporofitik dari
praperlakuan, dilakukan percobaan lanjutan yaitu perlakuan kultur berupa
kombinasi cekaman media starvasi dan suhu inkubasi. Cekaman media starvasi
adalah starvasi sumber karbon berupa media B, dengan media Y3 sebagai kontrol
dalam sistem dua lapis, sedangkan cekaman suhu terdiri dari 4-9oC (dingin), 2528oC (kontrol), dan 30-33oC (panas). Percobaan tersebut diinkubasi selama 7 hari
kemudian antera disubkulturkan pada media Y3 dan diinkubasi pada suhu 2528oC dalam keadaan gelap.
3. Teknik Pengamatan Perkembangan Mikrospora dalam Antera
Kuncup bunga kelapa sawit yang digunakan diperoleh dari malai dengan
spata setengah terbuka, pada spikelet di bagian tengah dan posisi bunga pada
spikeletnya di bagian ujung (Purnamasari 2012). Untuk mengetahui stadia
perkembangan mikrospora baik dari hasil percobaan praperlakuan maupun
perlakuan, dilakukan pengamatan mikrospora pada antera dengan teknik squash,
menggunakan pewarnaan DAPI dan diamati di bawah mikroskop fluoresens
dengan filter UV. Pengamatan perkembangan mikrospora dalam antera sebelum
kultur maupun pada umur kultur tertentu sesuai kebutuhan pengamatan, dilakukan
dengan menghitung masing-masing stadia perkembangan mikrospora.
Pengamatan dilakukan dalam 3 ulangan, masing-masing diamati pada 5 bidang
pandang.

HASIL
Stadia Mikrospora pada Antera. Kuncup bunga kelapa sawit yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari ujung spikelet yang terletak di tengah
malai dengan spata setengah terbuka (Gambar 1), memiliki antera yang
mengandung populasi mikrospora didominasi stadia uninukleat akhir yaitu 58.1%.
Ciri stadia mikrospora ini memiliki inti yang mengalami rekondensasi di tepi sel
(Gambar 2A dan Tabel 1). Dalam populasi mikrospora ditemukan pula
mikrospora stadia binukleat awal (24.0%) (Gambar 2B) dengan ciri mempunyai
inti yang telah mengalami pembelahan namun masih belum dapat dibedakan inti
vegetatif dan inti generatifnya, sedangkan stadia binukleat akhir telah membentuk
dua inti berbeda yaitu inti vegetatif dan inti generatif (11.1%) (Gambar 2C).
Mikrospora tanpa inti (6.9%) dijumpai juga dalam populasi mikrospora dari antera
kuncup bunga ini (Gambar 2D).

4

Gambar 1 Bunga jantan kelapa sawit, (A) Malai jantan dengan spata setengah
terbuka yang telah dibuka spatanya, (B) Spikelet, (C) Kuncup bunga
jantan kelapa sawit, (D) Kuncup bunga kelapa sawit yang telah dibuka
kelopaknya memiliki 6 buah anter. U= ujung, T= tengah, P= pangkal.
Garis skala= 1 cm untuk A-B, garis skala= 1 mm untuk C-D.

Gambar 2 Stadia mikrospora kelapa sawit. (A) Uninukleat akhir, (B) Binukleat
awal, (C) Binukleat akhir, (D) Mikrospora tanpa inti. Garis skala=
10µm untuk A-D.
Perkembangan Mikrospora Hasil Praperlakuan Spikelet pada Suhu
Dingin dalam Media Starvasi. Populasi mikrospora dalam antera secara umum
mengalami peningkatan persentase mikrospora fase binukleat awal dan akhir,
serta fase polen matang pada praperlakuan suhu dingin di media B. Sebaliknya
terjadi penurunan persentase mikrospora fase uninukleat akhir, segera setelah
selesai praperlakuan atau pada awal kultur (Tabel 1). Pemberian praperlakuan
spikelet di suhu dingin dalam media B selama 1, 3, dan 7 hari menghasilkan lebih
banyak mikrospora berinti tiga (1V+2G, 2V+1G, dan 3V) (Gambar 3A-C).
Selain diperoleh mikrospora fase tiga inti, praperlakuan juga menyebabkan
ditemukannya mikrospora multiselular dengan 4-5 sel (Gambar 3D). Mikrospora
multiselular tersebut ditemukan pada praperlakuan spikelet di suhu dingin dalam
media B selama 1 hari pada umur kultur 2 MSK dengan persentase 0.9% (Tabel
1). Dalam populasi mikrospora juga terjadi peningkatan mikrospora yang mati
(tanpa inti) secara bertahap sejak awal kultur (0 MSK), dengan rata-rata telah
mencapai 53% pada umur kultur 5 MSK (Tabel 1).
Praperlakuan perendaman spikelet di suhu dingin dalam media B selama 1
hari ini, dijadikan tahap atau kondisi awal untuk melakukan percobaan berikutnya

5
yaitu perlakuan kultur berupa kombinasi cekaman media B dan cekaman suhu
inkubasi (4-9°C, 25-28°C, dan 30-32°C).
Tabel 1 Persentase perkembangan mikrospora pada periode praperlakuan
perendaman spikelet di suhu dingin (4-9°C) dalam media B
Umur
Kultur
(MSK)
Stadia Awal :
R0
0
1
2
3
4
5
R1
0
1
2
3
4
5
R3
0
1
2
3
4
5
R7
0
1
2
3
4
5

Praperlakuan

Tanpa
Inti
6.9
12.7
39.7
45.4
47.6
63.2
73.1
1.3
42.5
43.3
43.6
43.6
45.2
8.0
42.0
45.1
45.8
45.8
46.0
10.0
41.2
43.3
46.6
48.0
49.5

Satu
Inti
LU
58.1
54.7
17.7
10.0
12.8
9.8
13.1
31.4
18.5
19.4
19.5
16.7
19.5
43.0
19.6
17.9
28.0
17.1
33.8
20.7
17.5
19.1
21.5
15.5
35.4

Dua Inti
EB
24.0
20.3
16.2
37.1
16.0
12.9
6.2
35.0
7.3
7.4
10.4
12.3
10.5
41.8
9.1
12.0
11.6
8.4
3.3
38.8
9.7
10.4
6.9
10.7
8.6

LB
11.1
12.3
13.2
3.1
17.1
14.1
7.6
26.9
18.0
18.4
22.0
17.7
21.0
6.1
16.6
17.1
13.8
25.8
15.5
24.5
22.8
21.7
20.1
21.8
5.1

MP
0.0
0.0
11.8
4.1
5.9
5.5
1.4
1.0
3.0
2.8
1.7
3.4
1.4
0.2
2.7
0.3
0.9
1.2
0.5
3.7
0.9
3.0
1.4
1.2
0.0

Tiga Inti
V+V
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
2.3
0.4
2.3
0.0
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
0.0
0.6
0.0
0.0
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0

1V+2G
0.0
0.0
1.5
0.3
0.5
1.2
0.0
1.3
9.9
5.5
2.9
6.4
1.9
0.5
10.0
7.4
0.0
0.9
0.9
2.1
7.5
2.6
3.7
2.8
1.4

2V+1G
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.7
0.4
0.0
0.0
0.0
0.5
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

3V
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

>Tiga
Inti
>3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.9
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0

Keterangan: R= Periode perendaman (0, 1, 3, 7 dalam hari), LU= uninukleat akhir, EB= binukleat awal, LB=
binukleat akhir, MP= polen matang, V= Inti vegetatif, G= Inti generatif, MSK= minggu setelah
kultur.

Gambar 3 Perkembangan mikrospora hasil praperlakuan. (A) Fase tiga inti yang
terdiri dari satu inti vegetatif dan dua inti generatif (1V+2G), (B) Fase
tiga inti 2V+1G, (C) Fase tiga inti yang terdiri dari tiga inti vegetatif,
(D) Mikrospora fase multiselular (4-5 sel). Garis skala= 10µm untuk
A-D.
Perkembangan mikrospora pada kombinasi cekaman media starvasi
dan suhu inkubasi. Percobaan kombinasi cekaman media B dan suhu (4-9°C, 2528°C, dan 30-32°C) pada kultur antera kelapa sawit setelah praperlakuan terhadap
spikelet di suhu dingin selama 1 hari pada media starvasi, memperlihatkan adanya
peningkatan induksi sporofitik walaupun belum menandakan terjadinya proses
embriogenesis (androgenesis). Induksi sporofitik pada perlakuan ini ditandai

6
dengan ditemukannya mikrospora fase tiga inti dengan setidaknya mengandung
dua inti vegetatif (2V+1G dan 3V) (Gambar 4A dan 4B).
Pemberian praperlakuan dilanjutkan dengan perlakuan cekaman media B di
suhu 25-28°C selama 1 MSK, merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan
mikrospora berinti lebih dari tiga sebesar 2.1% (Gambar 4C dan Gambar 5).
Persentase tersebut lebih besar dibandingkan kultur antera dengan hanya
melakukan praperlakuan saja. Kultur pada media kontrol (media Y3) di suhu
inkubasi yang sama pada 1 MSK, juga menghasilkan mikrospora berinti lebih dari
tiga namun persentasenya lebih rendah yaitu 0.7% (Gambar 4C).

A

B

C
Gambar 4

Persentase perkembangan mikrospora pada perlakuan kombinasi
cekaman media dan suhu inkubasi. (A) Mikrospora fase tiga inti
(2V+1G ), (B) Mikrospora fase tiga inti vegetatif, (C) Mikrospora
fase lebih dari tiga inti. B= Media B, Y= Media Y. 4, 25, 30= Suhu
inkubasi 4-9, 25-28, 30-33 (°C). MSK= minggu setelah kultur.

7

Gambar 5 Perkembangan mikrospora multiselular (6-8
sel) hasil perlakuan kombinasi cekaman
media B dan suhu 25-28°C selama 1 MSK.
Garis skala= 10µm.
Perlakuan suhu 30-32°C pada media B maupun media Y3 walaupun mampu
menghasilkan mikrospora hingga fase tiga inti (2V+1G, 3V) namun persentasenya
lebih kecil, dan cenderung lebih menyebabkan mikrospora tanpa inti yang cukup
tinggi dibandingkan perlakuan lainnya sejak 0 MSK (Lampiran 1).

PEMBAHASAN
Penelitian ini dapat mengkonfirmasi bahwa ciri morfologi bunga jantan
kelapa sawit dapat digunakan untuk mengetahui dan menduga stadia mikrospora.
Hasil yang disajikan pada gambar 1 dan tabel 1 sesuai dengan yang dilaporkan
Purnamasari et al. (2012), bahwa untuk mendapatkan stadia mikrospora yang
didominasi fase uninukleat akhir dapat diperoleh dari kuncup bunga bagian ujung
dari spikelet posisi di tengah malai, dengan malai spata setengah terbuka.
Penggunaan penciri morfologi untuk mengetahui stadia mikrospora juga telah
dilaporkan untuk tanaman lainnya, seperti warna ungu pada ujung antera tanaman
Capsicum annuum (Supena et al. 2006), rasio panjang braktea terhadap panjang
kuncup bunga pada tanaman kedelai (Budiana 2010), ukuran kuncup bunga pada
tanaman Nicotiana tabaccum (Wahida 2010), dan kuncup bunga jantan yang
terletak di pangkal spikelet pada malai tiga minggu sebelum spatanya terbuka
untuk tanaman Cocos nucifera (Perera et al. 2008).
Stadia mikrospora yang tepat sangat penting dalam kultur antera maupun
kultur isolasi mikrospora untuk induksi androgenesis. Stadia mikrospora yang
responsif adalah stadia uninukleat akhir sampai stadia binukleat awal, seperti yang
telah dilaporkan pada tanaman Cocos nucifera (Perera et al. 2008), Capsicum
annuum (Supena et al. 2006), dan Brassica napus (Custers et al. 1994). Pada fase
ini inti sel dalam kondisi labil yaitu peralihan dari fase G1 ke fase sintesis DNA,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk proses pembelokan arah perkembangan
gametofitik ke arah sporofitik untuk induksi androgenesis (Indrianto et al. 2001).
Induksi dan peningkatan proses androgenesis dapat dilakukan dengan
praperlakuan media starvasi serta perlakuan kombinasi cekaman media starvasi
dan suhu (Touraev et al. 1997). Pada penelitian ini praperlakuan suhu dingin pada
media B selama satu hari, mampu menginduksi mikrospora menjadi fase tiga inti
(2V+1G dan 3V). Mikrospora yang mengalami pembelahan simetris tersebut
(minimal 2V), mengindikasikan telah terjadinya pembelahan sporofitik. Induksi
pembelahan sporofitik ini lebih diperjelas lagi dengan diperolehnya hasil
praperlakuan suhu dingin terhadap spikelet di media B, yang menginduksi
perkembangan mikrospora multiselular (4-5 sel) sebesar 0.9% pada 2 MSK (Tabel
1). Hasil ini sesuai dengan praperlakuan suhu dingin selama satu hari yang dapat
meningkatkan induksi sporofitik pada kultur antera Capsicum annuum (Supena et
al. 2006). Media B yang digunakan merupakan media starvasi mengandung

8
manitol. Manitol digunakan sebagai penyeimbang osmosis pada kultur antera.
Menurut Hoekstra et al. (1997) praperlakuan suhu dingin pada media yang
mengandung manitol ini mampu meningkatkan kadar hormon ABA pada sel,
sehingga fase mRNA terhambat dan membelokkan arah perkembangan
gametofitik ke arah pembelahan sporofitik.
Pembelokan arah gametofitik ke arah sporofitik pada mikrospora merupakan
tahap awal proses androgenesis. Pada penelitian ini praperlakuan perendaman
spikelet di suhu dingin dalam media B pada kultur antera tanaman kelapa sawit,
meskipun telah mampu menginduksi pembelah sporofitik, namun presentasenya
masih sangat kecil. Perkembangan mikrospora masih didominasi perkembangan
gametofitik, dilihat dari persentase mikrospora fase binukleat akhir, fase polen
matang, dan fase tiga inti (1V+2G) yang cukup besar (Tabel 1).
Praperlakuan suhu dingin pada spikelet di media B yang dilanjutkan dengan
perlakuan kombinasi cekaman media starvasi dan suhu inkubasi pada penelitian
ini, mampu meningkatkan induksi pembelahan sporofitik dibandingkan dengan
hanya praperlakuan saja. Peningkatan pembelahan sporofitik tersebut ditandai
dengan ditemukannya mikrospora yang membelah secara simetris dengan tiga inti
(2V+1G dan 3V) dalam persentase yang lebih besar dibandingkan hanya
melakukan praperlakuan. Praperlakuan yang diikuti dengan perlakuan kombinasi
cekaman media B dan suhu dingin (4-9°C) baik untuk menginduksi pembentukan
mikrospora dengan tiga inti (2V+1G) (Gambar 4A). Adapun mikrospora dengan
tiga inti (3V) terinduksi baik pada kombinasi cekaman media B dan suhu tinggi
(30-32°C) (Gambar 4B). Hasil positif dalam menginduksi pembelahan sporofitik
dari rangkaian perlakuan ini, lebih dapat dilihat dari kombinasi cekaman media B
dan suhu inkubasi 25-28°C selama tujuh hari pada awal kultur dan disubkultur
pada media Y3 dalam suhu 25-28°C pada kondisi gelap. Rangkaian perlakuan ini
mampu lebih menginduksi pembentukan mikrospora multiselular (6-8 sel) hingga
2.1% pada 1 MSK (Gambar 4C dan Gambar 5).
Perlakuan media B yang dikombinasikan dengan cekaman suhu tinggi pada
kultur antera kelapa sawit ternyata tidak cocok digunakan untuk menginduksi
pembelahan sporofitik, karena tingkat kematian sel mikrospora yang tinggi
(Lampiran 1). Hal ini berbeda dengan tanaman seperti Nicotiana tabaccum
(Touraev dan Herberle-Bross 2003) bahwa kombinasi media starvasi dan suhu
tinggi mampu mendukung untuk membelokkan arah perkembangan gametofitik
ke arah sporofitik yang berlanjut ke androgenesis.
Pembelahan sporofitik sudah dapat diinduksi pada penelitian ini dengan
praperlakuan malai di suhu dingin (4-9°C) dalam media B selama 1 hari, yang
dilanjutkan starvasi pada media B pada suhu 25-28°C selama 7 hari. Untuk
mendukung proses pembelahan sporofitik yang mengarah ke androgenesis
disarankan selain dilanjutkan dengan subkultur antera ke media Y3, juga perlu
dicobakan penambahan hormon tumbuh pada media Y3, khususnya perimbangan
auksin dan sitokinin seperti penggunaan IAA dan zeatin dalam upaya untuk
induksi tahap berikutnya yaitu induksi androgenesis kelapa sawit.

9

SIMPULAN
Praperlakuan perendaman spikelet kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
dalam media B di suhu dingin (4-9°C) selama satu hari dapat menginduksi
pembelahan sporofitik sampai stadia multiselular 4-5 sel sebesar 0.9% pada umur
2 MSK dalam media Y3 kultur antera sistem media dua lapis. Persentase induksi
mikrospora multiselular ini lebih dapat ditingkatkan menjadi 2.1% dengan
melakukan perlakuan cekaman kombinasi media starvasi (media B) dan suhu 2528°C selama 7 hari kemudian disubkultur pada media Y3 dan diinkubasi pada
suhu 25-28°C selama 1 MSK. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tahap awal
untuk induksi androgenesis dalam upaya pengembangan teknologi haploid pada
kelapa sawit.

DAFTAR PUSTAKA
Budiana. 2010. Induksi pembelahan sporofitik mikrospora kedelai melalui kultur
antera pada sistem media dua lapis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Custers JBM, Cordewener JHG, Niillen Y, Dons HJM, Campagne MMVL. 1994.
Temperature controls both gametophytic and sporophytic development in
microspore cultures of Brassica napus. Plant Cell Rep. 13: 267-271.
Collin HA, Edwards S. 1998. Plant Cell Culture. Singapore (SG): Springerverlag. hlm 59-60.
Dumas de Vaulx, Chambonnet D, Pochard E. 1981. Culture in vitro d’antheres de
piment (Capsicum annuum L.): amelioration des taux d’obtention de plantes
chez differents genotypes par des traitments a + 35oC. Agronomie. 859-864.
Dunwell JM, Mike JW, Stephen N, Sri W, Andrew CS, Devi M, Yuzer A, Adam
EC, Caroline SF, Brian PF, Peter DSC. 2010. Production of haploid and
double haploid in oil palm. BMC Plant Biol. 10: 218-243.
Ferrie AMR, Palmer CE, Keller WA. 1994. Biotechnological application of
haploid. Di dalam: Shargool PD, Ngo TT, editor. Biotechnological
Application of Plant Culture. Boca Raton (US): CRC Press. hlm 77-109.
Hu TC, Ziauddin A, Simion E, Kasha KJ. 1995. Isolated microspore culture of
wheat (Triticum aetivum L.) in a defined media. In Vitro Cell Dev Biol. 7983.
Hoekstra S, Bergen van S, Brouwershaven van IR, Schilperoort RA, Wang M.
1997. Androgenesis in Hordeum vulgare L.: effects of mannitol, calcium
and abscisic acid on anther pretreatment. Plant Sci. 126: 211-218.
Indrianto A, Barinova I, Touraev A, Bors EH. 2001. Tracking individual wheat
microspores in vitro: identification of embryogenic microspores and body
axis formation in embryo. Planta. 212: 163-174.
Paul Al, Semer C, Kucharek T, Ferl RJ. 2001. The fungicidal and phytotoxic
properties of benomyl and PPM in suplemented agar media supporting
transgenic Arabidopsis plants for a space shuttle flight experiment. J Appl
Microbiol Biotech. 55: 480-485.

10
Perera PIP, Houcher V, Verdeil JL, Bandupriya HDD, Yakandawala DMD,
Weerakoon LK. 2008. Androgenic potential in coconut (Cocos nucifera L.).
Plant Cell Tiss Org Cult. 92: 293-302.
Purnamasari I, Sumaryono, Supena EDJ. 2012. Perkembangan mikrospora dalam
kultur antera dan viabilitas polen kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Di
dalam: Suryani A, Syamsu K, Saputra D, Suparman KS, Sulaeman I,
Sukmawati Y, editor. Akselerasi Inovasi Industri Kelapa Sawit untuk
Meningkatkan Daya Saing Global. Prosiding Seminar Nasional dan
Kongres MAKSI; 26 Jan 2012; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): MAKSI. hlm
111-118.
Supena EDJ, Suharsono S, Jacobsen E, Custers JBM. 2006. Successful
development of shed-microspore culture protocol for doubled haploid
production in Indonesian hot peppers (Capsicum annuum L.). Plant Cell
Rep. 25:1-10.
Teixeira JB, Stindahl MR, Nakamura T, Kirby EG. 1995. Establishment of oil
palm cell suspension and plant regeneration. Plant Cell Tiss Org Cult. 40:
105-111.
Tirtoboma. 1998. Culturability of oil palm microspore cells in relation to anther
maturity. Di dalam: Tahardi JS, Darmono TW, Siswanto, Santoso D,
Nataatmadja R, editor. Oil Palm Improvement through Biotechnology.
Prosiding Workshop BTIG; 16–17 Apr 1997; Bogor, Indonesia. Bogor (ID):
Biotec Res Unit for Estate Crops. hlm 42-47.
Touraev A, Vicente O, Heberle-Bors E. 1997. Initiation of microspore
embryogenesis by stress. Plant Sci. 2:297-302.
Touraev A, Herbele-Bors E. 2003. Anther and microspore culture in tobacco. Di
Dalam: Maluszynki M, Kasha KJ, Foster BP, Szarejko I, editor. Double
Haploid Production in Crop Plant. Dordrecht (NL): Kluwer Academic
Publisher. hlm 223-228.
Wahidah BF. 2010. Pengaruh stres pelaparan dan suhu tinggi terhadap induksi
embriogenesis mikrospora tembakau. J Biol. 14: 1-6.

11

LAMPIRAN
Lampiran 1

Persentase perkembangan mikrospora pada kombinasi cekaman
media dan suhu

Umur
Satu
>Tiga
Dua Inti
Tiga Inti
Tanpa
Kultur
Inti
Inti
Inti
(MSK)
LU
EB
LB
MP V+V
1V+2G 2V+1G 3V
>3
0
B–4
8.9
10.3
14.4
64.6 1.4
0.3
0.0
0.0
0.0
0.0
1
28.4
12.8
25.6
29.6 1.6
0.3
0.9
0.6
0.3
0.0
2
31.0
10.3
27.3
28.1 0.4
1.2
1.7
0.0
0.0
0.0
3
37.1
10.8
16.9
29.6 1.9
0.0
2.9
0.9
0.0
0.0
4
47.8
10.6
11.6
28.0 0.5
0.0
1.0
0.0
0.0
0.5
5
48.1
3.3
17.1
24.3 1.1
1.1
2.8
2.2
0.0
0.0
B – 25
0
11.6
2.1
53.4
26.5 4.2
1.1
0.0
1.1
0.0
0.0
1
44.1
0.0
29.6
21.5 0.5
0.5
1.1
0.5
0.0
2.1
2
51.1
0.0
34.0
9.6 0.0
2.7
2.1
0.0
0.0
0.0
3
62.3
0.0
31.4
6.3 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
4
64.0
0.0
27.4
7.1 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
5
72.6
0.0
19.3
8.0 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0
B – 30
30.0
9.2
26.5
33.2 0.7
0.0
0.0
0.4
0.0
0.0
1
57.7
16.1
9.1
15.0 0.7
0.4
0.4
0.7
0.0
0.0
2
59.4
6.9
20.1
13.7 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
3
65.5
13.2
10.5
9.1 0.0
0.9
0.5
0.0
0.5
0.0
4
66.0
5.8
12.5
6.2 0.0
1.7
1.2
0.0
1.7
0.0
5
68.6
3.14
16.6
10.3 0.0
0.9
0.5
0.0
0.0
0.0
Y–4
0
14.7
20.8
21.9
42.3 0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1
30.3
19.7
12.3
33.3 4.0
0.0
0.4
0.0
0.0
0.0
2
33.5
7.1
26. 9
29.7 1.4
0.0
1.4
0.0
0.0
0.0
3
35.5
23.1
14.5
22.0 2.2
0.0
2.2
0.0
0.0
0.5
4
35.7
20.9
7.6
32.3 0.0
0.0
3.0
0.4
0.0
0.0
5
56.1
13.5
7.6
21.1 0.4
0.0
1.4
0.0
0.0
0.0
Y – 25
0
18.7
6.7
44.4
16.8 11.9 0.0
1.5
0.0
0.0
0.0
1
28.6
8.5
41.1
11.6 7.5
0.0
3.1
0.0
0.0
0.7
2
31.7
6.1
38.3
20.6 0.0
0.0
3.3
0.0
0.0
0.0
3
33.5
9.5
41.8
13.9 0.6
0.0
0.6
0.0
0.0
0.0
4
53.7
5.3
27.9
12.6 0.5
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
5
55.5
5.5
24.2
13.2 1.1
0.0
0.6
0.0
0.0
0.0
Y – 30
0
34.4
22.1
7.7
35.9 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1
38.1
18.8
11.9
29.4 0.5
0.0
0.5
0.5
0.5
0.0
2
53.3
3.1
37.0
6.2 0.0
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
3
63.6
4.2
28.5
3.4 0.0
0.0
0.0
0.0
0.4
0.0
4
69.6
13.5
2.6
13.0 0.0
0.0
0.9
0.0
0.4
0.0
5
74.5
13.3
2.5
8.6 0.4
0.0
0.4
0.0
0.0
0.4
Keterangan: B= Media B, Y= Media Y, 4, 25, 30= Suhu inkubasi 4-9, 25-28, 30-33 (°C), LU= Uninukleat akhir, EB=
Binukleat awal, LB= Binukleat akhir, MP= Polen matang, V= Inti vegetatif, G= Inti generatif. MSK=
minggu setelah kultur.
Perlakuan

12

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 4 Juli 1990 dari pasangan
Bapak Muchlis Mappangaja dan Ibu Andi Siti Lathifah. Penulis merupakan anak
keempat dari sembilan bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1
Palopo dan masuk perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor Departemen Biologi
melalui jalur USMI.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Biologi Dasar TPB (2010-2012) dan staf akademik di Bimbingan Belajar I’m
Smart Cabang Bogor (2013). Selain itu penulis juga aktif dalam Lembaga Dakwah
Fakultas (LDF) SERUM-G FMIPA pada periode 2009/2010 dan Bina Desa
FMIPA pada periode 2010/2011. Penulis melakukan praktik lapangan pada tahun
2011 di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor (PKT-KRB) dengan
judul “Perbanyakan Tanaman Kantong Semar secara In vitro”.