Dinamika Kepemimpinan Tradisional Di Tapanuli Selatan (1930-1946)

(1)

DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI

SELATAN (1930-1946)

SKRIPSI SARJANA

0

L

E

H

N a m a : Aprita Natalia Situmorang Nim :040706005

Pembimbing,

Dra. Nurhabsyah, M.Si NIP 131460526

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI

SELATAN (1930-1946)

Yang diajukan oleh :

Aprita Natalia Situmorang 040706005

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian Skripsi :

Pembimbing,

Dra. Nurhabsyah, M.Si

NIP 131460526

tanggal………

Ketua Departemen Sejarah

tanggal……….

Dra. Fitriaty Harahap, S.U

NIP. 131284309

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI

SELATAN (1930-1946)

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

N A M A : Aprita Natalia Situmorang NIM : 040706005

Pembimbing,

Dra. Nurhabsyah, M.Si

NIP 131460526

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk

melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(4)

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA DEPARTEMEN

DISETUJUI OLEH :

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH KETUA,

Dra. Fitriaty Harahap, SU NIP. 131284309


(5)

Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan.

Pada : Tanggal : Hari :

Fakultas Sastra USU Dekan

Drs. Syaifuddin, MA., Ph. D. NIP. 132098531

Panitia Ujian

NO Tanda Tangan

1. Dra. Fitriaty Harahap, SU (...) 2. Dra. Nurhabsyah, M. Si. (...) 3. Dra. Peninna Simanjuntak, MS (...)


(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Menyadari untuk terwujudnya Skripsi ini, berkat adanya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini sudah selayaknya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya serta rasa hormat kepada:

1. Ayahanda dan Ibunda yang telah memberikan segala kebutuhan dan

dukungan baik moril dan materil, semoga Tuhan selalu memberkatiNya.

2. Bapak Rektor Prof. Chairuddin P. Lubis, DTMH, Sp.A(K) atas kesempatan

yang diberikan kepada penulis untuk mempergunakan segala fasilitasselama mengikuti perkuliahan.

3. Bapak Drs. Syaifuddin, MA, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra USU

4. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, SU Ketua Departemen Sejarah FS USU yang

selalu memberi bimbingan kepada para mahasiswa/i di Departemen Sejarah.

5. Ibu Dra Nurhabsyah M. Si. Sekretaris Departemen Sejarah sekaligus

sebagai Dosen Pembimbing Penulis.

6. Seluruh Staf Akademika Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara,

khususnya Staf Pengajar di Departemen Sejarah tempat Penulis menimba ilmu.

7. Semua teman-teman Penulis di Departemen Sejarah Fakultas Sastra USU

Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, kepada semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

Medan, 30 Juni 2009 Penulis

Aprita Natalia Situmorang 040706005


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis Ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Kasih dan SayangNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.

Adapun judul Skripsi yang Penulis tulis adalah mengenai, ”DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN (1930-1945)”, yang diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sejarah pada Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas tentang kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan pada masa sebelum kemerdekaan. Penulis menyadari bahwa, penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah Studi Kepustakaan dan Studi Lapangan. Selain itu digunakan juga wawancara bebas untuk lebih mendalami keadaan kepemimpinan tradisional yang pernah berlangsung di Tapanuli Selatan.

Tujuan dari penulisan Skripsi ini, dengan mengambil judul, ”DINAMIKA KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN (1930-1945)”, adalah untuk mengetahui bagaimana pemimpin pada masa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia.

Sadar akan keterbatasan ilmu yang penulis miliki, maka dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritikan dan saran demi kesempurnaan Skripsi ini.

Akhir kata semoga Skripsi ini bermanfaat bagi Penulis khususnya dan pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, 30 Juni 2009

Penulis

Aprita Natalia Situmorang 040706005


(8)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iii

ABSTRAK... iv

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 2

1.2. Rumusan Masalah... 6

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...6

1.4. Tinjauan Pustaka... 7

1.5. Metode Penelitian... 9

BAB II.GAMBARAN UMUM DAERAH TAPANULI SELATAN... 13

2.1. Letak Geografis... 13

2.2. Lingkungan Geografis... 12

2.3. Wilayah Persekutuan Adat... 22

2.4. Pelapisan Sosial... 24

BAB III. Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 28

3.1. Sistem Pemerintahan Tradisional... 28

3.2. Masa Kekuasaan Pemerintah Paderi... 29

3.3. Masa Pemerintahan Kolomial Belanda... 32

3.4. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia... 35

BAB IV. Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 37

4.1 .Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 37

4.2. Fungsi Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan... 40

BAB V. KESIMPULAN... 42

DAFTAR PUSTAKA... 43


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis system kepemimipinan tradisional di Tapanuli Selatan.

Sistem kepemimpinan tradisional merupakan system pemerintahan huta yang pernah ada di Tapanuli Selatan. Seluruh huta (kampung) dipimpin oleh “Raja Pamusuk” yang diangkat dari seseorang, yaitu pemimpin dari gabungan dari beberapa huta yang ada disuatu kampung dan dinamakan “Raja Panusunan Bulung.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun kekuasaan raja ini berkurang terlebih-lebih setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian kedudukan raja pada masa kini hanyalah merupakan raja adat saja dalam pelaksanaan pada upacara adat, seperti, kematian, perkawinan, dan upacara-upacara adat.

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni anteropologi, sosiologi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.

Penelitian ini membicarakan tentang Kepemimpinan Tradisional di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946. Pemimpin merupakan seseorang yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.

Metode yang digunakan dalam meneliti kepemimpinan di daerah Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif.

Tujuan penelitian tentang Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946 adalah untuk menjelaskan bentuk dan fungsi pemimpin tradisional bagi masyarakat di Tapanuli Selatan. Umumnya Pemimpin Tradisional di Tapanuli Selatan memperoleh jabatan itu berdasarkan ascribed status artinya

kedudukan yang diperoleh dengan sendirinya, oleh karena faktor usia, jenis kelamin, asal usul dan lain sebagainya .


(10)

ABSTRAK

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis system kepemimipinan tradisional di Tapanuli Selatan.

Sistem kepemimpinan tradisional merupakan system pemerintahan huta yang pernah ada di Tapanuli Selatan. Seluruh huta (kampung) dipimpin oleh “Raja Pamusuk” yang diangkat dari seseorang, yaitu pemimpin dari gabungan dari beberapa huta yang ada disuatu kampung dan dinamakan “Raja Panusunan Bulung.

Seiring dengan perjalanan waktu, lambat laun kekuasaan raja ini berkurang terlebih-lebih setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Namun demikian kedudukan raja pada masa kini hanyalah merupakan raja adat saja dalam pelaksanaan pada upacara adat, seperti, kematian, perkawinan, dan upacara-upacara adat.

Penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan studi lapangan dengan menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Selain itu juga menggunakan wawancara bebas dan pendekatan disiplin ilmu lain, yakni anteropologi, sosiologi sesuai dengan kebutuhan guna memperkaya penulisan ini.

Penelitian ini membicarakan tentang Kepemimpinan Tradisional di Kabupaten Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946. Pemimpin merupakan seseorang yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat.

Metode yang digunakan dalam meneliti kepemimpinan di daerah Tapanuli Selatan adalah dengan metode sejarah dan untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah penulis menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan. Dari sumber yang diperoleh, maka disimpulkan dan menghasilkan penulisan deskriptif kualitatif.

Tujuan penelitian tentang Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan pada tahun 1930-1946 adalah untuk menjelaskan bentuk dan fungsi pemimpin tradisional bagi masyarakat di Tapanuli Selatan. Umumnya Pemimpin Tradisional di Tapanuli Selatan memperoleh jabatan itu berdasarkan ascribed status artinya

kedudukan yang diperoleh dengan sendirinya, oleh karena faktor usia, jenis kelamin, asal usul dan lain sebagainya .


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia sebagai negara sedang berkembang masyarakatnya berada dalam katagori transisi. Masyarakat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju ke pola kehidupan masyarakat moderen, namun tidak seluruhnya meninggalkan pola kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat dan ini terlihat pada ciri-ciri umum masyarakat negara baru yang dikenal dengan sebutan “Primatic Society”.

Masyarakat negara-negara yang sedang berkembang masih mencampur adukkan unsur yang saling bertentangan dalam sistem masyarakatnya, antara unsur-unsur moderen dan tradisional. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya nilai-nlai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis , tetapi pada kenyataannya

diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama1

1

H. Robert Louer, Perspektif Tentang Prubahan Sosial, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 442.

. Proses modernisasi

seperti ini yang tidak terelakkan telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan tradisi lama.


(12)

Masyarakat Indonesia, meskipun dalam katagori transisi atau sedang berkembang dengan segala cirri-cirinya, tetap memerlukan figur pemimpin. Kepemimpinan “leadership” adalah kemampuan seseorang (yaitu pimpinan atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pimpinan

tersebut.2

Dengan demikian segala yang akan dilakukan di pedesaan memerlukan dukungan dari pemimpin dan kelompok yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh di desa. Diakui bahwa perubahan yang tejadi di pedesaan banyak membawa perubahan ke arah kemajuan, tidak hanya di bidang ekonomi, sosial budaya yang diikuti bidang-bidang lainnya, seperti gaya hidup, intraksi sosial, budaya, politik dan Pelaksanaan pembangunan diketahui bahwa, secara menyeluruh dan khususnya pembangunan di pedesaan sangat tergantung pada usaha-usaha mendinamisasikan masyarakatnya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa mutlak sangat diperlukan. Dukungan masyarakat tidak begitu saja dapat diperoleh. Hal ini disebabkan munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda di setiap desa. Keadaan ini disebabkan melemahnya sistem komunal di desa, sebab dukungan tidak dapat diperoleh seperti masa lalu , ketika desa-sesa secara mudah dapat menggerakkan penduduk untuk kepentingan desanya.

2


(13)

sebagainya . Perubahan ini terjadi disebabkan oleh banyaknya factor, misalnya adanya pengaruh jumlah pendapatan yang meningkat, lapangan pekerjaan yang sangat bervariasi, kemajuan tehnologi, komunikasi moderen dan sebagainya.

Perubahan yang terjadi di masyarakat juga tidak terlepas dari peran para pemimpin, baik formal, maupun informal di dalam kolektifitas Sosial. Ini terjadi antara pemimpin dengan yang dipimpin (pengikut). Peran pemimpin dalam mengarahkan dan mempengaruhi pengikutnya menuju pada tujuan kolektif atau membentuk kelakuan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tertentu. Status peminpin pada masyarakatnya mempunyai fungsi atau peran, mengawasi agar tujuan bersama dapat tercapai. Khususnya dalam masyarakat. Pemimpin merupakan “agen of Change” yang paling efektif. Kemampuan pemimpin membawa pengikutnya akan membuahkan hasil keikutsertaan masyarakat dengan kesadaran penuh untuk ikut serta megambil peran membangun daerahnya, bukan hanya partisipsi semu karena ada paksaan. Dalam konteks kedaerahan sebutan pemimpin, baik itu yang dipilih oleh masyarakatnya maupun pimpinan yang didapat karena keturunan (raja), memiliki dasar-dasar kepemimpinan yang secara historis diakui oleh masyarakat.

Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan bagian dari penyebaran etnis Batak yang tidak terlepas dari kepemimpinan yang didapat dari keturunan (raja), yang tidak memiliki fungsi, sehingga keterikatan masyarakat dengan keberadaan raja-raja ini


(14)

Undang-Undang Pemerintah Negara Republik Indonesia kepemimpinan terendah adalah di bawah kekuasaan kepala desa atau lurah. Permasalahannya bagaimana sebenarnya peran raja-raja ini di tengah-tengah masyarakatnya, dan bagaimana pula dilihat dari latar belakang sejarah keberadaan mereka maupun pandangan masyarakatnya terhadap raja-raja tersebut.

Dari latar belakang sejarah, bahwa di Tapanuli Selatan pada waktu dulu, setiap desa (huta) dikepalai oleh “pamusuk” atau lebih dikenal dengan nama “Raja Pamusuk”. Kumpulan beberapa desa dipimpin oleh seorang “Panusunan bulung” atau ‘Raja Panusunang Bulung”, yang dipilih oleh kalangan “Raja Pamusuk”. “Raja Panusunan Bulung” merupakan pimpinan terpilih dan didampingi oleh “Raja Pangundian” yang berasal dari desa yang termasuk di wilayahnya. Akan tetapi setelah masyarakat Tapanuli Selatan berhasil dikuasai oleh kaum “Paderi” dan menyebarkan agama Islam di daerah Tapanuli Selatan. Agama Islam eksis di daerah itu dari pada nilai-nilai adat istiadat yang mereka anut, sehingga sistem kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan mengalami perubahan. “Raja Panusunan Bulung” yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa kampung dirubah sebutannnya sebagai “Kepala Kuria”.Hal ini terus berlanjut ketika kolonial Belanda berhasil menguasai wilayah daerah Tapanuli Selatan dan menjadikan ‘Kepala Kuria” ini sebagai alat kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda.


(15)

Fenomena “Raja” sebagai pemimpin pada masyarakat Tapanuli Selatan merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena kepemimpinan berdasarkan garis keturunan yang terdapat pada masyarakat Tapanuli Selatan yang berfungsi sebagai kepala desa juga berfungsi sebagai kepala adat yang terwujud dalam berbagai aktifitas masyarakat terutama pada upacara adat yang tetap dilestarikan.

Dari latar belakang di atas penulis mengkaji masalah kepemimpinan dengan judul,”Dinamika Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Tapanuli Selatan 1930-1946. Dalam penulisan Proposal Skripsi ini penulis membuat batasan waktu yang dimulai pada tahun 1930, dengan alasan bahwa pada tahun itu masyarakat Tapanuli Selatan menganggap bahwa “Kepala Kuria”, merupakan perpanjangan tangan Belanda, dengan tujuan utama untuk mengutip pajak dari rakyat dan menyerahkan masyarakat untuk melakukan kerja paksa (rodi) yang sangat menderitakan masyarakat Tapanuli Selatan.

Tahun 1946 sebagai batas akhir dalam penelitian adalah, disebabkan masyarakat Tapanuli Selatan melalui partai-partai politik yang telah ada dan dengan telah diperolehnya kemerdekaan di Republik Indonesia, setiap pemimpin dari tingkat desa sampai Presiden harus melaksanakan kepemimpinan di pemerintahan secara demokratis dan memberhentikan “Kepala Kuria” sebagai pemimpin formal


(16)

2. PERUMUSAN MASALAH

Dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa permasalahan pokok dari

Dinamika Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan Tahun 1930-1946. Untuk lebih mengarahkan penelitian ini maka diambil permasalahan pokok dalam bentuk pertanyaan, yaitu:

1.Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.

2.Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan

3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan

1. Bagaimana bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.

2. Bagaimana fungsi kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan.

3.2. Manfaat

1. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi peneliti selanjutnya,

terutama yang terkait dengan masalah ini.

2. Secara akademik hasil penulisan ini untuk menambah literatur dalam memeperkaya khasanah penulisan sejarah terutama mengenai kepemimpinan tradisional.


(17)

4. TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian memerlukan landasan teoritis yang akan membantu

memberikan dasar pokok bagi kelanjutan proses penelitian. Landasan teoritis akan diperoleh melalui riset yang rutin terhadap kepustakaaan yang relevan dengan dengan topic atau objek penelitian. Dengan demikian penelaahan studi kepustakaan merupakan kegiatan mutlak dalam proses penelitian. Dalam hal ini akan dikemukakan beberapa buku yang mendukung konsep, hipotesa, dan teori sehubungan dengan objek yang diteliti.

Dalam buku Monografi Kebudayaan Angkola-Mandailing (1982), memberikan informasi Sejarah Adat di Tapanuli Selatan. Selain itu buku ini juga menjelaskan sebelum kehadiran colonial Belanda di Tapanuli Selatan, pemerintahan tradisional tertingggi di Tapanuli Selatan dikepalai oleh “Raja Panusunan” yang membewahi beberapa desa yang dikepalai oleh “Raja Pamusuk”.

Simanjuntak (1998) menjelaskan tentang struktur social dan system politik masyarakat Batak Toba hingga tahun 1945 dalam sebuah pendekatan Sejarah dan Anteropologi Politik. Dalam laporan penelitian ini dijelaskan bahwa, keterkaitan Sejarah orang Batak dan Perubahan Sosial yang dilatarbelakangi oleh perkembangan social budaya yang bergerak sangat cepat berdampak terhadap kehidupan dan pergaulan social orang Batak Toba di Kabupaten Tapanuli Utara. Laporan ini


(18)

menjelaskan Struktur Sosial masyarakat Batak Toba dengan segala pengaruh budaya yang mempengaruhinya khususnya pemerintah colonial Belanda.

Perubahan sosial masyarakat Indonesia ditinjau dari Persfektif Anteropologi (2002) oleh Sairun menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada masyarakat Indonesia bagaimana dan prilaku bagaimana yang dapat menimbulkan berbagai perubahan dan berakibat pada dinamika sosial, sehingga memiliki hubungan dengan masalah yang dikaji.

Menurut David Krech dalam bukunya Individual in Society: A Text Book of Social Psycology (1962) seorang pemimpin yang baik harus mampu menghimpun satu organisasi yang besar dan harus dapat membentuk suatu ideologi yang kuat. Masuknya ide-ide yang baru kesuatu tempat (desa) akan membawa perubahan baik besar maupun kecil pada daerah itu. Salah satunya adalah perubahan dalam bidang status masyarakat yang mendiami/menguasai daerah itu.

Sebelum masuknya kolonial Belanda ke Tapanuli Selatan, pada masyarakat di daerah itu dikenal kelompok “hatoban”, yaitu orang-orang yang mengalami kekalahan di dalam perang antar desa. Ketika Tapanuli Selatan masa berkuasanya kolonial Belanda dan pada waktu telah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, kelompok “hatoban” di atas dapat saja memegang jabatan baru yang diperolehnya atas usaha, pendidikan formal, penghasilan dan


(19)

keaktifan yang disebut dengan istilah “achieved status” sedangkan kepemimpinan sebelum masuknya kekuasan Belanda dan Indonesia belum merdeka, kepemimpinan yang diperankan ketika itu adalah “ascribed status”, yaitu kedudukan yang diperoleh dengan sendirinya, misalnya karena faktor usia, jenis kelamin, asal usul dan lain sebagainya. Keadaan ini akhirnya di Tapanuli Selatan menimbulkan dan membentuk golongan sosial ba laluru atau disebut juga dengan nama “New Social Group”. Golongan inilah yang nantinya memegang kekuasaan atau jabatan di kantor-kantor pemerintahan maupun desa-desa yang telah dikuasai oleh pemerintah Belanda maupun ketika Indonesia merdeka.

5. METODE PENELITIAN

Metode Sejarah adalah mengkaji dan menganalisa secara kritis rekaman dari

peninggalan masa lampau.3

Dalam mendeskripsikan sebuah tulisan yang bersifat ilmiah harus didukung oleh metode dan tehnik mendapatkan data yang akurat. Dilakukannnya pengumpulan sumber yang didasarkan pada seleksi dan akurasi akan melahirkan suatu tulisan yang ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Adapun dasar penulis untuk merampungkan tulisan ini, tidak terlepas dari langkah-langkah metode penulisan

Begitu juga dengan penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah untuk mempermudah penelitian agar tercapai hasil yang maksimal.


(20)

secara kronologis. Penulis menempuh langkah-langkah penulisan untuk mengungkapkan penelitian, adalah sebagai berikut:

a. Heuristik, yaitu proses pemilihan objek dan pengumpulan informasi atau sumber yang berkaitan dengan tulisan yang sedang dikaji.

b. Kritik intern dan kritik ekstern. Proses ini adalah merupakan langkah bagi penulis untuk menggiring hasil tulisan menjadi “objektif”, dan sesuai dengan kenyataan yang selama ini terjadi.

Kritik intern adalah: ketika penulis mendapatkan sumber, penulis harus dapat melihat dan menyelidiki isi dari sumber yang diperolehnya itu. Dalam hal ini sumber-sumber yang telah terkumpul dikaji, apakah pernyataan yang diuat dalam sumber itu, merupakan fakta histories yang meliput i isi, bahasa, situasi dan lain sebagainya. Kritik ekstern adalah: penyelidikan terhadap sumber yang diperoleh dengan meneliti keadaan luar dari sumber-sumber yang digunakan, apakah sumber yang digunakan itu otentik atau tidak

c. Interpretasi adalah suatu hasil pengamatan dalam menganalisa sumber dengan berpedoman pada fenomena yang telah diselidiki.

d. Historiografi sebagai tahapan akhir dalam sebuah penelitian sejarah. Historiografi. adalah penulisan sejarah dengan melakukan kegiatan penulisan mengenai masalah atau aspek tertentu tentang manusia pada masa lampau.


(21)

Historigrafi mempunyai peranan penting, karena dari penulisan tersebut akan diketahui apa hasil dari sebuah penelitian.

Penyusunan penulisan penelitian ini menggunakan metode sejarah, sesuai dengan tujuan dari hasil akhir penulisan adalah ingin mendeskripsikan peristiwa yang terjadi di masa lampau.

Metode sejarah yang telah dipaparkan di atas, yang bertumpu pada beberapatahapan yang disusn secara sistematis yang harus dilalui oleh penulis sejarah yang tidak boleh ke luar dari kaedah ilmu sejarah diharapkan dapat menghasilkan penulisan yang bernilai ilmiah.

Langkah awal yang dilakukan adalah menentukan judul, topik, mengumpulkan sebanyak mungkin sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan berkaitan dengan penelitian.

Pengumpulan data ini, dimulai dari mengunjugi berbagai sumber yang berada di berbagai perpustakaan pemerintah maupun perpustakaan swasta, instansi yang menyimpan dokumen dan berhubungan dengan penelitian yang diangkat.

Hal yang juga penulis lakukan adalah studi observasi ke daerah Tapanuli Selatan, sebagai objek daerah yang diteliti


(22)

Tahap pengumpulan sumber ini dilajutkan dengan kritik intern dan ekstern terhadap sumber-sumber yang telah terkumpul.

Sumber yang telah di kritik, dipahami, kemudian di interpretasi dan selanjutnya ditulis dan diharapkan menghasilkan penulisan sejarah yang deskriptif kualitatif.


(23)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH TAPANULI SELATAN

2.1. Letak Geografis

Daerah Tapanuli Selatan yang akan dibicarakan dalam skripsi ini adalah meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing. Kedua daerah ini meskipun berada sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada perbedaan yang khas diantara keduanya. Oleh sebab itulah dalam bab 2 pada gambaran umum dikemukakan tentang geografis Sipirok dan Mandailing.

Daerah Sipirok merupakan sebuah kecamatan yang berada di Provinsi Sumatera Utara berjarak 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Padang Sidempuan ke Kecamatan Sipirok adalah 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae Jae dengan ibukotanya Pahae, yaitu daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya 42 km. Tepatnya letak Kecamatan Sipirok ini berada dalam jalur lintas Sumatera bagian barat dan merupakan jalan utama yang menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa. Letak daerah Kecamatan Sipirok yang sangat strategis itu sudah barang tentu sangat menguntungkan dalam upaya melancarkan perdagangan hasil-hasil produksi yang ada dan dikelola oleh Masyarakat Tapanuli Selatan.


(24)

Kecamatan Sipirok dengan ibukotanya Sipirok berada di daerah perbatasan antara etnis Mandailing dan etnis Batak Toba. Untuk lebih jelasnya keberadaan daerah Kecamatan Sipirok adalah sebagai berikut:

- Sebelah timur berbatas dengan Kecamatan Padang Bolak

- Sebelah barat berbatas dengan Kecamatan Batang Toru

- Sebelah utara berbatas dengan Kecamatan Pahae Jae

- Sebelah selatan berbatas dengan Padang Sidempuan

Luas wilayah Kecamatan Sipirok 72,085 km2, dengan ketinggian di atas 900

m dari permukaan laut. Sebagaimana dengan daerah-daerah yang ada di Indonesia dengan ketinggian seperti itu, Kecamatan Sipirok juga mempunyai musim yang sama dengan dengan tempat-tempat lainnya, yaitu didapati musim hujan dan musim kemarau. Curah hujan rata-rata per tahunnya berkisar antara 1846 mm/liter dengan

suhu udara maksimum 25oC sampai dengan suhu udara minimum 18oC.

Kondisi alam yang berbukit-bukit dan tidak adanya sungai-sungai besar di Kecamatan Sipirok, selain menanm padi daerah ini menghasilkan tanaman yang tidak tergantung pada air, seperti karet, kopi, lada, kayu manis, tembakau, cengkeh, dan lain sebagainya. Keadaan geografis seperti ini membuat masyarakat yang berada di Kecamatan Sipirok hanya mengandalkan pertanian penanaman padi menunggu hujan turun, yaitu pada bulan September-Desember. Cara-cara seperti ini mereka warisi dari


(25)

para leluhur meraka yang membuka daerah Sipirok dan sudah terpola selama beberapa generasi.

2.2. Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama masyarakat di Kecamatan Sipirok adalah bertani dengan menanam padi di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan September-Desember petani turun ke sawah dan mengolah sawahnya. Jika cuaca baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam mengolah sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.

Masyarakat Sipirok, jika selesai panen padi di sawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa penanaman palawija dilakukan oleh masyarakat Sipirok biasanya pada awal musim kemarau, sehingga petani harus bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam


(26)

tanaman palawija yang disesuaikan dengan masa tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani di Kecamatan Sipirok sebahagian dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya yang antara lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat ataupun jiran tetangga.

Selain bertani masyarakat di Kecamatan Sipirok mempunyai keahlian lain, seperti membuat kramik/grabah, kerajinan tangan dari manik-manik berupa dompet, tempat sirih, menenun kain khas Sipirok, membuat tikar dari rotan dan pandan serta ulos.

2.3. Latar Belakang Sejarah Tapanuli Selatan

Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh sub etnis Sipirok/Angkola. Pakar Antrropolgi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis Mandailing dan etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi dari daerah Batak, yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik dari duapuluh generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar dan berkembag dengan pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar ke daerah-derah yang dapat menampung mereka.


(27)

Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di pinggiran sungai dan berbatang sangat keras). Pohon ini ditemukan marga Siregar, dan tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok. Marga Siregar yang dating ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang

datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.1

3.Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan Sibolga. Mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung Pusuk Buhit dekat Danau Toba.

Mereka menyebar pada tiga daerah, yaitu:

1.Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut.

2.Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub etnis Batak Gayo atau Batak Alas.

2

Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar, penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaannya yang dipimpinnya menjadi tiga kerajaan, yaitu:

1

Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan,1964, hal. 47-48.

2


(28)

1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua

2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan

3. Kerajaan Sipirok dpimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal

Untuk mempersatukan ketiga kerajaan ini, maka disuatu tempat yang bernama Dolok Pamelean dibuatlah tempat pertemuan (bukit persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang sekarang).

Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal. Berada di tengah Pulau Sumatera sepanjang jalan raya lintas Sumatera lebih kurang 40 km dari Padang Sidimpuan ke selatan dan lebih kurang 150 km dari Bukit Tinggi ke utara.Berbatas dengan:

- Angkola di sebelah utara

- Pesisir di sebelah barat

- Minangkabau di sebelah selatan dan

- Padang Lawas di sebelah timur3

3

Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Medan: Forkala Provinsi Sumatera Utara, 2005, hal 6.


(29)

Batas-batas tersebut tidaklah sama dengan batas-batas administrasi pemerintahan. Batas ini didasarkan kepada wilayah masyarakat adat.

Wilayah Mandailing didiami oleh etnis Mandailing. Wilayah Angkola didiami oleh etnis Angkola, serta etnis Minangkabau mendiami daerah Minangkabau. Mandailing sendiri dibagi dua walaupan adatnya sama. Pembagian iyu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat.

Daerah Mandailing Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari laru dan Tambangan di sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang.

2.2 Lingkungan Etnografis

Etnis Sipirok Angkola adalah orang yang berasal dari Sipirok Angkola. Secara turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal. Etnis Sipirok / menganut sistem garis keturunan ayah (patrilinial) yang terdiri dari marga-maraga:

- Harahap


(30)

- Rambe

- Ritonga

- Pohan

- Dan lain-lain.

Etnis Mandailing adalah orang yang berasal dari Mandaiking. Secara turun temurun dimanapun dia bertempat tinggal. Etnis Mandailing menganut sistem garis keturunan ayah (patrilinial) yang terdiri dari marga-maraga:

- Nasution

- Lubis

- Pulungan

- Rangkuti

- Batubara

- Daulay

- Matondang

- Parinduri

- Hasibuan

- Dan lain-lain4

marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, Ada beberapa marga yang dating kemudian dan mendiami wilayah yang kemudian dianggap

4


(31)

sebagai warga Mandailing dan tidak mau disebutsebagai warga pendatang. Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuantelah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya.

Marga-marga initidak serentak mendiami wilayah Mandailing, Ada beberapa marga yang dating kemudian dan mendiami wilayah yang kemudian dianggap sebagai warga. Mandailing dan tidak mau disebutsebagai warga pendatang. Sebagai contoh, Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuantelah turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona bulu. Demikian juga marga lainnya.

Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan berkebun, buruh tani, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan.


(32)

Usaha perkebunan rakyat meliputi tanaman karet, kopi, kulit manis, kelapa. Disamping itu pertanian pangan meliputi padi sawah, kentang, jahe, sayur mayor dan lain-lain. Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha nelayan dan penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industry, rotan, dan kayu.

Disamping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan adalah daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan masyarakatnya.yang berkehidupan di daerah Tapanuli Selatan.

2.3. Wilayah Persekutuan Adat

Persekutuan (kesatuan) masyarakat adat Tapanuli Selatan, yang dipimpin oleh seorang raja, mendiami wilayah-wilayah tertentu, wilayah dimana masyarakat tersebut bermukim, sebagai wadah tempat berkumpulnya dan mengikatkan diri terhadap kelompoknya. Huta (kampong) merupakan suatu kesatuan pada kelompok in itu.


(33)

Menurut Wisnyodipuro,

“Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak Kemasyarakatan, bercorak komunal. Manusia di dalam hukum adatadalah orang yang terikat kepada masyarakat,tidak sama sekali terbebas dalam segala

perbuatan .5

a Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 (empat) sampai 6

(enam) kepala keluarga, terletak ditengah-tengah perladangan atau persawahan dan mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk).

Wilayah sebagai anggota masyarakatnya mengikatkan diri satu sama lainnya di dalam satu ikatan. Di Tapanuli Selatan disebut huta atau kampung (desa). Di samping huta, wadah sebagai tempat tinggal kelompok masyarakat adat di Tapanuli Selatan Selatan, dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu:

b Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari (enam) sampai sepuluh

kepala keluarga.

c Pagaran suatu perkampungan yang terdiri dari 10 (sepuluh) sampai 20

(duapuluh) kepala keluarga yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu kampungnya (induk)

d Janjian, adalah kumpulan dari beberapa huta. Raja-raja dari huta itu yang

disebut dengan raja Pamusuk yang membentuk satu ikatan atau perjanjian

5


(34)

bila salah satu huta menghadapi masalah, maka huta yang lain harus turut membantu menyelesaikannya. Wilayah janjian ini dikepalai oleh raja Panusunan.

Apabila huta telah diresmikan sesuai dengan ketentuan adat, maka huta itu disebut Bona Buli. Ciri-ciri huta yang menjadi Bona Bulu adalah jika satu kampong itu telah diberi batas. Huta yang sudah merupakan Bona Bulu itu mempunyai Bagas Godang dan Sopo Godang sebagai tempat kediaman raja dan sebagai tempat masyarakat bermusyawarah dan melakukan pertemuan dengan raja.

2.4. Pelapisan Sosial

Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa ( bukan bangsawan) yang disebut sebagai “halak na bahat”. (orang kebanyakan), dan status yang terendah terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk pada golongan hatoban adalah :

a. Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan.

b. Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman


(35)

c. Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan budak, dan kalau hutangnnya sudah lunas kembali menjadi orang

bebas.6

Budak yang sudah berumah sendiri dan mengerjakan lading atau sawah sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu-waktu dapat disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”.

Budak yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani segala keperluan majikannyadinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan). Budak yang tinggal di rumah sendiri

Berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian milik majikannya dinamakan “hatoban marsaro” ( budak yang sudah dibebaskan, tetapi tidak tinggal di rumah majikannya} dinamakan “ompung dalam” dan berstatus sebagai orang kebanyakan penduduk biasa

Sejak tahun 1876, pemerintah colonial Belanda menghapuskan perbudakan di kawasan Tapanul Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan pemerintah Kolonial, tetapi dalam kedudukannya pada masyarakat di Tapanuli Selatan, mereka yang dibebaskan oleh Belanda itu kedudukannya masih tetap rendah dalam kaca mata etnis-etnis yang ada di Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapanuli Selatan, sedapat


(36)

mungkin menghindar berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya.

Datangnya zaman kemerdekaan, pandangan masyarakat di Tapanuli Selatan terhadap golongan bekas “hatoban”. Kelompok ini mengalami perun\bahan yang cukup besar. Artinya, mereka tidak lagi dipandang terlalu rendah dan zaman telah berubah, mereka sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama dengan masyarakat lainnya. Kemerdekaan Zaman kemerdekaan merubah pandangan masyarakat, membuat orang yang dianggap “hatoban” tidak dideskriminatif lagi.

Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu pertempuran/perkelahian/perselisihan. Bagi masyarakat di Tapanuli Selatan kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama. Yang kalah, harus menjdi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada si pemenang.


(37)

“Hatoban”, tidak hanya diakui oleh kelompok yang menang dalam suatu pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh masyarakat yang mendiami wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(38)

BAB III

KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN

3.1 Sistem Pemerintahan Tradisional

Pada zaman dahulu, di Mandailing terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang biasa disebut “huta” (kampung). Setiap “huta”, dipimpin oleh seorang raja yang menyelenggarakan pemerintahan bersama dengan tokoh-tokoh “namora natoras”, biasanya terdiri dari “kepala-kepala ripe”, yaitu pimpinan kelompok-kelompok penduduk yang mendiami sebuah “huta” dan juga tokoh-tokoh adat serta orang-orang yang dituangkan.

Kelompok masyarakat yang dinamakan “ripe” biasanya terdiri dari orang-orang yang satu marga. Dalam setia[ “huta” biasanya bertempat tinggal penduduk yang terdiri dari beberapa marga dan yang menjadi raja adalah marga yang membuka kampung. Biasanya setiap kepala “ripe”,

mempunyai fungsi dalam pemerintahan sebagai “namora natoras” yang mewakili kelompok marganya dalam pemerintaha.

Meskipun yang menjadi pemimpin di setiap “huta” adalah seorang raja, tetapi di dalam menyelenggarakan pemerintahannya seorang raja tidak dapat berbuat secara diktator tanpa persetujuan dari tokoh tokoh”namora


(39)

natoras”. Setiap keputusan atau tindakan yang menyangkut kepentingan rakyat dan tindakan yang menyangkut adat istiadat selalu harus dimusyawarahkan oleh raja dengan “namora natoras”, dan keputusan diambil secara mufakat.

Musyawarah adat maupun pemerintahan, biasanya diselenggarakan secara terbuka di Balai Sidang Adat yang dinamakan “Sopo Godang”. Sistem pemerintahan yang bersifat demokratis di Tapanuli Selatan, pada masa yang lalu dilambangkan melalui bangunan tradisional “Sopo Godang”, yang sengaja dibuat tanpa dinding. Keadaan yang demikian itu melambangkan bahwa rakyat bebas mendengar setiap musyawarah adat dan pemerintahan yang dilakukan oleh raja bersama-sama dengan “namora natoras”. Setiap “huta” yang telah mempunyai status sebagai kerajaan

mempunyai sebuah bangunan”Sopo godang”, untuk tempat raja dan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat bermusyawarah.

3.2. Masa Kekuasaan Pemerintah Paderi

Dalam membicarakan kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan, daerah tersebut pernah berada di bawah kekuasaan Kaum Padri sejak tahun

1816. Pada waktu itu terjadilah pengislaman pada masyarakat Tapanuli Selatan, yang menurut sebelumnya Animisme ( Sipelebegu).


(40)

Karena berada di bawah pengaruh Animisme, tentu saja adat istiadat orang mandailing sebelum ditaklukkan oleh kaum Paderi banyak berkaitan dengan kepercayaan itu. Keadaan adat istiadat yang demikian, tentu saja sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dibawa oleh kaum Paderi dari Sumatera Barat. Oleh karena itu dalam mengembangkan ajaran agama Islam, kaum Paderi telah menghapuskan berbagai kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan agama Islam. Dengan demikian, maka terjadilah berbagai perubahan besar dalam adat istiadat mayarakat Tapanuli Selatan di bawah ajaran agama Islam yang dikebangkan oleh kaum Paderi. Namun demikian, Pemerintah Paderi masih memberikan toleransi pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sejauh tidak

merubah aqidah agama islam. 7

Kalau waktu sebelumnya raja “Panusunan” Bulung” yang membawahi beberapa “huta”, hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat Sejak berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing, atau pemerintahan tradisional yang ada setelah kaum Paderi menguasai daerah

ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah merubah struktur dan sistem pemerintahan yang ada.

7


(41)

istiadat. Sedangkan raja “Pamusuk” mempunyai peranan yang lebih dominan dalam setiap “huta” yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayaj ini dikuasai oleh kaun Paderi, atau agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur pemerintahan itu mengalami perubahan.

Raja “Panusunan Bulung” yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa “huta”, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi kepala “Kuria”. Istilah “Kuria” ini berasal dari bahasa Arab”Qoriah’. Yang artinya adalah wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai “khadi”, yang dapat juga berarti “hakim”.

Dengan demikian seorang raja “Panusunan Bulung” yang mengepalai sebuah “Kuria”, Keika nama itu sudah berubah menjadi “Khadi”, dan kekuasaannya juga bertambah luas para “Khadi setiap “Kuria”, bukan saja berkuasa dibidang keagamaan, melainkan juga dibidang politik, ekonomi,,

dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh tradisional pada masa paderi

memerintah berdasat pada syariat ( norma-norma menurut ajaran agama Islam ).8

8

Sejarah Perkembangan Pemerintah Departemen Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara, Diktat, Prov. SU., 1990, hal. 37.

Hal ini terus berlanjut sampai kolonial Belanda menguasai Tanah Mandailing.


(42)

3.3 Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Sejak Pemerintah Kolonial Belanda dapat menguasai daerah Mandailing pada tahun 1840, maka pemerintah Belanda mengadakan reorganisasi dalam pemerintahannya. Dengan cara menghapuskan secara resmi nama raja “Panusunan” dan menggantikannya dengan nama “Kepala Kuria”. Raja “Pamusuk”. Diganti dengan nama ke[ala kampung dan raja “Ripe”, diganti dengan nama kepala “Ripe”.

Dalam menjalankan pemerintahannya, kepala “Kuria”, ini adalah sebagai perpanjangan tangan pemerintahan Belanda di wilayahnya. Untuk mempermudah dal

am melaksanakan kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda merubah baik struktur maupun sistem pemerintahan di daerah-daerah yang dikuasainya.

Kawasan Tapanuli Selatan disebut dengan nama “Afdeeling”. Padang Sidempuan yang dikepalai oleh seorang Residen yang berkedudukan di Padang Sidempuan.

Afdeeling Padang Sidempuan dibagi atas 3 (tiga) wilayah kekuasaan, yaitu:

1. Onder Afdeeling Angkola dan Sipirok

2. Onder Afdeeling Padang Lawas


(43)

Onder Afdeeling masing-masing dikepalai oleh seorang”Counteleur” dan dibantu

oleh masing-masing demang9

1. Onder Afdeeling Angkola dan Sipirok berkedudukan di Padang

Sidempuan. Onder Afdeeling ini dibagi lagi atas 3 (tiga) onder distrik, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten

, yaitu:

2. Demang, yaitu:

a. Distrik Anggkola berkedudukan di Padang Sidempuan

b. Distrik Batang Toru berkedudukan di Batang Toru

c. Distrik Sipirok berkedudukan di Sipirok

3. Onder Afdeeling Padang Lawas, berkedudukan di Sibuhuan. Onder

Afdeeling dibagi lagi atas 3 (tiga) Onder Distrik, yang masing-masing dikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:

a. Distrik Padang Bolak berkedudukan di Gungung Tua

b. Distrik Barumun berkedudukan di Sibuhuan

c. Distrik Dolok berkedudukan di Sipiongot

4. Onder Afdeeling Mandailing Natal, berkedudukan di Kota Nopan.

9


(44)

Onder Afdeeling ini dibagi pula atas 5 ( lima ) Onder Distrik, masing-masingdikepalai oleh seorang Asisten Demang, yaitu:

a.Distrik Panyabungan berkedudukan di Panyabungan

b. Distrik Kotanopan berkedudukan di Kotanopan

c.Distrik Muara Sipongi berkedudukan di Muara Sipongi

d. Distrik Natal berkedudukan di Natal

e.Distrik Batang Natal berkedudukan di Muara Soma

Setiap Distrik dibagi atas beberapa “Kuria”, yang dikepalai oleh kepala “Kuria”. “Kuria” ini, dipecah pula menjadi beberapa kampung dan setiap kampung dikepalai oleh seorang “Ripe”. (pembagian kampung ini dilakukan jika mempunyai penduduk yang banyak).

4.4Masa Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada waktu terjadinya Revolusi Kemerdekaan pada tahun 1945, kedudukan raja adat yang ada ditangan kepala “Kuria”, berubah. Dengan adanya surat ketetapan Residen Tapanuli yang bernama Dr. F.L. Tobing, No. 274 tanggal 14 Maret 1946, lembaga kekuasaan dihapuskan dan diganti dengan Dewan Nagari. Jabatan kepala “Kuria” dan kepala kampong ditiadakan. Sebagai gantinya diangkat

Ketua Dewan Nagari dan Ketua Kampung10

10

Ibid., hal. 33.


(45)

Hal ini menunjukkan adanya batasan yang jelas antara tata pemerintahan dengan adat istiadat. Meskipun terjadi Perubahan, dalam kelembagaan pemerintahan, namun adat dan tradisi akan tetap berjalan.

Wewenang Ketua Dewan Nagari dan Ketua Kampung itu, adalah khusus dalam bidang pemerintahan saja. Sedangkan urusan adat tetap dipegang dan dilaksanakan oleh mereka yang berhak menurut kebiasaan dalam masyarakat. Itulah sebabnya, upacara-upacara adat tetap dipimpin oleh raja “Panusunan” dan raja “Pamusuk” untuk memimpin adat istiadat di Tapnuli Selatan.

Di daerah Tapanuli Selatan jelas sekali pemisahan antara pemimpin informal dan pemimpin non formal. Demikian juga dengan tata cara pengangkatan kedua pemimpin itu. Keadaan ini membuat masyarakat yang ada di Tapanuli Selatan tidak terjadi perebutan kepemimpinan di antara dua kekuatan informal itu. Kedua pemimipin mempunyai kekuasaan berbeda tetapi sama-sama sangat dihormati oleh masyarakat yang mendiami daerah Tapanuli Selatan.

Keadaan in dapat terjadi dikarenakan kepemimpinan yang ada di Tapanuli Selatan, merupakan produk budaya lokal, yaitu kearifan budaya. Dimana kearifan budaya, diciptakan oleh sekelompok etnis sudah barang tentu untuk kepentingan kelompoknya. Selain itu kearifan budaya yang ada di Tapanuli Selatan tetap terlestari


(46)

karena masyarakat yang ada percaya, bahwa inilah yang terbaik bagi kelanggengan etnis di Tapanuli Selatan.


(47)

BAB IV

KEPEMIMPINAN TRADISIONAL DI TAPANULI SELATAN

4.1 Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan

Setiap kelompok masyarakat mempunyai ketentuan-ketentuan yang harus diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan. Ketentuan-ketentuan itu harus didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari masyarakat itu sendiri.

Berbicara masalah bentuk kepemimpinan tradisonal tentu tidak terlepas darimasyarakat yang memang masih mendasarkan kehidupan sosial kemasyarakatan tersebut, kepada apa-apa yang telah menjadi kebiasaan dan telah dianggap sebagai bagian dari tata cara dan prilaku yang telah menjadi ketetapan dalam hukum adat bagi masyarakatnya.

Bentuk hukum kekeluargaan (patrilineal) sangat mempengaruhi sistem pemerintahannya terutama berdasarkan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan dari hasil hutan dan lain sebagainya. Semua anggota masyarakatnya sama dalam hak dan kewajibannya. Kehidupannya berciri komunal, dimana gotongroyong, tolong menolong merupakan ciri yang tampak jelas dan memiliki peranan terpenting. Sementara itu Supomo mengatakan, bahwa


(48)

persekutuan-dengan suatu kotapraja di negeri-negeri Barat dan di Indonesia modern. Melainkan kehidupan masyarakat di dalam badan-badan persekutuan itu bersifat kekeluargaan yang merupakan kesatuan hidup bersama, dari suatu golongan manusia yang satu

sama lain saling mengenal11.

Lebih jauh dikatakan bahwa, kepala/ketua dari sekelompok masyarakat/rakyat bertugas memelihara kehidupan. Hukum di dalam persekutuan menjadikan hukum itu dapat berjalan dengan selayaknya.

Oleh karenannya berdasarkan kenyataan di lapangan dapat ditentukan bahwa, bentuk kepemimipinan tradisional pada masyarakat Tapanuli Selatan dapat digambarkan seperti bagan dalam lampiran I.

Bentuk kepemimpinan tradisional seperti yang digambarkan dalam bagan lampiran I, lepas dari bentuk pemerintahan resmi yang ada pada lembaga pemerintahan negara republik Indonesia. Namun bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan ini merupakan mitra pemerintah dalam menjalankan pembangunan di masyarakat.

11

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977, hal. 65


(49)

Dapat dijelaskan bahwa, raja “Panusunan”. Adalah raja yang disetujui dan sekaligus sebagai raja “huta” di dalam “huta”nya sendiri. Raja “Panusunan ini merupakan raja tertinggi dari kesatuan beberapa “huta”. Adapun raja “Pamusuk, merupakan raja-raja yang berada di bawah raja “Panusunan”, sedangkan “Ripe” merupakan raja terendah di bawah raja “pamusuk” yang bertempat tinggal bersama-sama di satu “Huta”.

Bentuk kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan ini, sudah tidak terlihat lagi. Hal ini disebabkan perkembangan dinamika di Tapanuli Selatan dan perubahan-perubahan sistempemerintahan yang dibuat dan dilaksanakan penguasa. Keberadaan raja “Panusunan” hanya terlihat apabila dalam suatu “Huta” sedang berlangsung kegiatan adat maupun upacara adat.

4.2 Fungsi Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab-bab terdahulu, bahwa dalam sebuah “Huta” raja mempunyai kedudukan yang tertinggi sebagai kepala adat dan pemerintahan. Kedudukan dan status raja yang demikian itu, raja hanyalah mempunyai fungsi sebagai menjalankan pemerintahan, membuat pengesahan terhadap peraturan adat dan juga menjalankan pengadilan terhadap penduduk melakukan kesalahan.


(50)

Dalam menjalankan fungsinya ini, raja harus senantiasa bekerjasama dan melibatkan raja-raja yang ada dalam satu huta. Keputusan raja didasarkan atas musyawarah dan mufakat. Apabila raja membuat satu keputusan, tetapi raja-raja yang ada dalam satu “Huta” tidak menyetujuinya, maka keputusan yang diputuskan oleh raja tersebut, tidak akan berlaku untuk keperluan pemerintahan maupun keperluan adat, tetapi setiap keputusan ,aupun tindakan yang diambil melalui musyawarah dan mufakat baru dianggap syah apabila telah disetujui atau diberi pengesahan oleh raja.

Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa sistem pemerintahan tradisional yang berlaku di Tapanuli Selatan adalah sistem demokrasi. Dalam sistem pemerintahan yang demikian itu, seorang raja yang ternyata melakukan kesalahan menurut adat istiadat dapat diturunkan dari kedudukannya oleh masyarakat melalui permusyawaratan dan mufakat.

Selain dari pada itu, jika tiba masa kekuasaan seorang raja, raja itu bisa diganti. Misalnya karena meninggal dunia atau melanggar adat istiadat yang berlaku di daerah Tapanuli Selatan. Pergantian raja dilakukan melalui pemilihan langsung yang diikuti oleh penduduk sebuah “Huta”, jadi tidak selamanya sistem pemerintahan yang berlaku berdasarkan turun temurun, tetapi dapat digantikan oleh kerabatnya yang lain ataupun orang lain apabila memang menang dalam pemilihan. Namun yang tetap berhak menjadi raja sebagai penggantinya adalah tetap dari golongan kelompok bangsawan yang ada dan berasal dari “Huta” itu.


(51)

Dengan demikian pergantian pemimpin tidak mendapatkan kendala. Hal ini disebabkan orang yang menggatikan berasal dari keliarga sendiri, meskipus syarat utama untuk menjadi pemimpin yang dicintai oleh rakyat harus dipunyai oleh seorang pemimpin, seperti mempunyai sifat-sifat yang dapat menjadi suri tauladan bagi masyarakat yang dipimpinnya.


(52)

BAB V

KESIMPULAN

Dari uraian-uraian di atas yang telah dikembangkan dalam pembahasan skripsi ini, dapat disimpukan sebagai berikut:

• Sistem pemerintahan tradisional di tapanuli selatan, merupakan sistem

pemerintahan yang demokratis atau berdasarkan pada musyawarah mufakat.

• Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada masyarakat Tapanuli

Selatan, dalam menjalankan fungsinya tetap bersama-sama dengan raja “Huta” lainnya.

• Kedudukan raja sebagai penguasa tertinggi pada masyarakat Tapanuli

Selatan tidak selamanya berdasarkan secara turun temurun, melainkan dapat juga melalui pemilihan dari keluarga dekatnya yang keturunan bangsawan dan dari satu marga induk.

• Raja-raja di daerah Tapanuli Selatan merupakan raja yang diangkat oleh

kelompoknya berdasar pada kepintarannya mengelola dan

mempersatukan kelompok masyarakat yang berada di “Huta”, atau kampungnya.


(53)

• Kelompok masyarakat yang ada di daerah Tapanuli Selatan, sangat taat dan patuh terhadap aturan yang telah di atur dalam hukum adat yang merupakan kearifan lokal milik masyarakat etnis Tapanuli Selatan.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1995.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999.

Lauer, H., Robert, Persfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka cipta, 1993.

Lubis, Z., Pangaduan, dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, 1998.

Nasution, Pandapotan, Adat Budaya Mandailing Dalam Tangtangan Zaman, Medan: FORKALA, Provinsi Sumatera Utara, 2005

Parlindungan, Mangaraja Onggang, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1965.

Provinsi Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara, Medan: DIKLAT PROPSU, 1990.

Rajab, Muhammad, Sejarah Pers di Sumatera Utara, Medan: Penerbit Waspada,1978.

Scrike, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi, Jakarta: Bharata, 1973.

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.

Soekanto, Soedjono, Menuju Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Radjawali. 1981.

Wignyodipuro, Suryo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Bandung: Penerbit Alumni, 1971


(55)

Zakaria, R., Yando. Monografi Kebudayaan Mandailing, Angkola, di Kabupaten Tapanuli Selatan, Jakarta: Proyek Pengembangan Pemikiran Sumatera Utara Dohot Anak Boruna, 1982


(56)

Lampiran I

Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan

Raja Panusunan Bulung

Raja Pamusuk A

Raja Pamusuk B

Raja Pamusuk C


(57)

PETA SUMATERA UTARA


(58)

DAFTAR INFORMAN

1. N a m a : Ir. Yusri Nasution Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

2. N a m a : Darul Nafis, SH Umur : 65 Tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

3. N a m a : Rohani Harahap Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumahtangga

4. N a ma : Fauziah Nasution Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

5. N a m a : M. Rizal Rambe Umur : 30 Tahun Pekerjaan : Pegawai Swasta


(59)

6. N a m a : Nurhayati Pohan Umur : 61 Tahun


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah (terj.) Nugroho Notosusanto, Jakarta: UI

Press, 1995.

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya,

1999.

Lauer, H., Robert, Persfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rineka cipta,

1993.

Lubis, Z., Pangaduan, dan Zulkifli Lubis, Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan

Masyarakat Sipirok, Medan: USU Press, 1998.

Nasution, Pandapotan, Adat Budaya Mandailing Dalam Tangtangan Zaman,

Medan: FORKALA, Provinsi Sumatera Utara, 2005

Parlindungan, Mangaraja Onggang, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan,

1965.

Provinsi Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen

Dalam Negeri di Provinsi Sumatera Utara, Medan: DIKLAT

PROPSU, 1990.

Rajab, Muhammad, Sejarah Pers di Sumatera Utara, Medan: Penerbit

Waspada,1978.

Scrike, B.J.O. Pergolakan Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan

Bibliografi, Jakarta: Bharata, 1973.

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.

Soekanto, Soedjono, Menuju Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Radjawali.

1981.

Wignyodipuro, Suryo, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Bandung: Penerbit

Alumni, 1971


(2)

Zakaria, R., Yando. Monografi Kebudayaan Mandailing, Angkola, di Kabupaten

Tapanuli Selatan, Jakarta: Proyek Pengembangan Pemikiran

Sumatera Utara Dohot Anak Boruna, 1982


(3)

Lampiran I

Bentuk Kepemimpinan Tradisional di Tapanuli Selatan

Raja Panusunan Bulung

Raja Pamusuk A

Raja Pamusuk B

Raja Pamusuk C


(4)

PETA SUMATERA UTARA


(5)

DAFTAR INFORMAN

1. N a m a : Ir. Yusri Nasution Umur : 60 Tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

2. N a m a : Darul Nafis, SH Umur : 65 Tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

3. N a m a : Rohani Harahap Umur : 57 Tahun

Pekerjaan : Ibu rumahtangga

4. N a ma : Fauziah Nasution Umur : 50 Tahun

Pekerjaan : Pedagang

5. N a m a : M. Rizal Rambe Umur : 30 Tahun Pekerjaan : Pegawai Swasta


(6)

6. N a m a : Nurhayati Pohan Umur : 61 Tahun