LATAR BELAKANG MASALAH Dinamika Kepemimpinan Tradisional Di Tapanuli Selatan (1930-1946)

1 BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia sebagai negara sedang berkembang masyarakatnya berada dalam katagori transisi. Masyarakat mulai bergeser dari pola kehidupan tradisional menuju ke pola kehidupan masyarakat moderen, namun tidak seluruhnya meninggalkan pola kehidupan tradisional. Hal ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat dan ini terlihat pada ciri-ciri umum masyarakat negara baru yang dikenal dengan sebutan “Primatic Society”. Masyarakat negara-negara yang sedang berkembang masih mencampur adukkan unsur-unsur yang saling bertentangan dalam sistem masyarakatnya, antara unsur- unsur moderen dan tradisional. Sebagai akibatnya timbul formalisme, yaitu adanya nilai-nlai pengaturan yang diterbitkan secara teoritis , tetapi pada kenyataannya diabaikan dan masih cenderung menganut pola-pola lama 1 1 H. Robert Louer, Perspektif Tentang Prubahan Sosial, Jakarta:PT. Rineka Cipta, 1993, hal. 442. . Proses modernisasi seperti ini yang tidak terelakkan telah melenyapkan atau setidaknya menghancurkan tradisi lama. Universitas Sumatera Utara 2 Masyarakat Indonesia, meskipun dalam katagori transisi atau sedang berkembang dengan segala cirri-cirinya, tetap memerlukan figur pemimpin. Kepemimpinan “leadership” adalah kemampuan seseorang yaitu pimpinan atau leader untuk mempengaruhi orang lain yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya, sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pimpinan tersebut. 2 Dengan demikian segala yang akan dilakukan di pedesaan memerlukan dukungan dari pemimpin dan kelompok yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh di desa. Diakui bahwa perubahan yang tejadi di pedesaan banyak membawa perubahan ke arah kemajuan, tidak hanya di bidang ekonomi, sosial budaya yang diikuti bidang-bidang lainnya, seperti gaya hidup, intraksi sosial, budaya, politik dan Pelaksanaan pembangunan diketahui bahwa, secara menyeluruh dan khususnya pembangunan di pedesaan sangat tergantung pada usaha-usaha mendinamisasikan masyarakatnya. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa mutlak sangat diperlukan. Dukungan masyarakat tidak begitu saja dapat diperoleh. Hal ini disebabkan munculnya kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda di setiap desa. Keadaan ini disebabkan melemahnya sistem komunal di desa, sebab dukungan tidak dapat diperoleh seperti masa lalu , ketika desa-sesa secara mudah dapat menggerakkan penduduk untuk kepentingan desanya. 2 D. Kenan Purba dan J.D. Purba, Sejarah Simalungun, Jakarta; Bina Budaya Simalungun, 1995, hal. 64 Universitas Sumatera Utara 3 sebagainya . Perubahan ini terjadi disebabkan oleh banyaknya factor, misalnya adanya pengaruh jumlah pendapatan yang meningkat, lapangan pekerjaan yang sangat bervariasi, kemajuan tehnologi, komunikasi moderen dan sebagainya. Perubahan yang terjadi di masyarakat juga tidak terlepas dari peran para pemimpin, baik formal, maupun informal di dalam kolektifitas Sosial. Ini terjadi antara pemimpin dengan yang dipimpin pengikut. Peran pemimpin dalam mengarahkan dan mempengaruhi pengikutnya menuju pada tujuan kolektif atau membentuk kelakuan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tertentu. Status peminpin pada masyarakatnya mempunyai fungsi atau peran, mengawasi agar tujuan bersama dapat tercapai. Khususnya dalam masyarakat. Pemimpin merupakan “agen of Change” yang paling efektif. Kemampuan pemimpin membawa pengikutnya akan membuahkan hasil keikutsertaan masyarakat dengan kesadaran penuh untuk ikut serta megambil peran membangun daerahnya, bukan hanya partisipsi semu karena ada paksaan. Dalam konteks kedaerahan sebutan pemimpin, baik itu yang dipilih oleh masyarakatnya maupun pimpinan yang didapat karena keturunan raja, memiliki dasar-dasar kepemimpinan yang secara historis diakui oleh masyarakat. Masyarakat Tapanuli Selatan merupakan bagian dari penyebaran etnis Batak yang tidak terlepas dari kepemimpinan yang didapat dari keturunan raja, yang tidak memiliki fungsi, sehingga keterikatan masyarakat dengan keberadaan raja-raja ini tidak memiliki kekuasaan terhadap rakyak, karena pemerintahan yang sah menurut Universitas Sumatera Utara 4 Undang-Undang Pemerintah Negara Republik Indonesia kepemimpinan terendah adalah di bawah kekuasaan kepala desa atau lurah. Permasalahannya bagaimana sebenarnya peran raja-raja ini di tengah-tengah masyarakatnya, dan bagaimana pula dilihat dari latar belakang sejarah keberadaan mereka maupun pandangan masyarakatnya terhadap raja-raja tersebut. Dari latar belakang sejarah, bahwa di Tapanuli Selatan pada waktu dulu, setiap desa huta dikepalai oleh “pamusuk” atau lebih dikenal dengan nama “Raja Pamusuk”. Kumpulan beberapa desa dipimpin oleh seorang “Panusunan bulung” atau ‘Raja Panusunang Bulung”, yang dipilih oleh kalangan “Raja Pamusuk”. “Raja Panusunan Bulung” merupakan pimpinan terpilih dan didampingi oleh “Raja Pangundian” yang berasal dari desa yang termasuk di wilayahnya. Akan tetapi setelah masyarakat Tapanuli Selatan berhasil dikuasai oleh kaum “Paderi” dan menyebarkan agama Islam di daerah Tapanuli Selatan. Agama Islam eksis di daerah itu dari pada nilai-nilai adat istiadat yang mereka anut, sehingga sistem kepemimpinan tradisional di Tapanuli Selatan mengalami perubahan. “Raja Panusunan Bulung” yang secara formalitas menguasai wilayah yang terdiri dari beberapa kampung dirubah sebutannnya sebagai “Kepala Kuria”.Hal ini terus berlanjut ketika kolonial Belanda berhasil menguasai wilayah daerah Tapanuli Selatan dan menjadikan ‘Kepala Kuria” ini sebagai alat kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Universitas Sumatera Utara 5 Fenomena “Raja” sebagai pemimpin pada masyarakat Tapanuli Selatan merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena kepemimpinan berdasarkan garis keturunan yang terdapat pada masyarakat Tapanuli Selatan yang berfungsi sebagai kepala desa juga berfungsi sebagai kepala adat yang terwujud dalam berbagai aktifitas masyarakat terutama pada upacara adat yang tetap dilestarikan. Dari latar belakang di atas penulis mengkaji masalah kepemimpinan dengan judul,”Dinamika Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Tapanuli Selatan 1930- 1946. Dalam penulisan Proposal Skripsi ini penulis membuat batasan waktu yang dimulai pada tahun 1930, dengan alasan bahwa pada tahun itu masyarakat Tapanuli Selatan menganggap bahwa “Kepala Kuria”, merupakan perpanjangan tangan Belanda, dengan tujuan utama untuk mengutip pajak dari rakyat dan menyerahkan masyarakat untuk melakukan kerja paksa rodi yang sangat menderitakan masyarakat Tapanuli Selatan. Tahun 1946 sebagai batas akhir dalam penelitian adalah, disebabkan masyarakat Tapanuli Selatan melalui partai-partai politik yang telah ada dan dengan telah diperolehnya kemerdekaan di Republik Indonesia, setiap pemimpin dari tingkat desa sampai Presiden harus melaksanakan kepemimpinan di pemerintahan secara demokratis dan memberhentikan “Kepala Kuria” sebagai pemimpin formal Universitas Sumatera Utara 6

2. PERUMUSAN MASALAH Dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa permasalahan pokok dari