Struktur Tuturan Ritual Kelompok Etnik Lamaholot

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005

STRUKTUR TUTURAN RITUAL

KELOMPOK ETNIK LAMAHOLOT

Simon Sabon Ola dan Theo Eban Ola

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa Cendana

Abstract

In many cases, the analysis of language without serious attention to social and cultural context could be meaningless. Many studies and experts conclude that there are obvious interrelationship among language, society, and culture. This paper discusses the structure of ritual speech Lamaholot ethnic, an ethnic group in East Flores, East Nusa Tenggara. The problem discussed in this paper is that how are the language structures and uttering structures of ritual speech of Lamaholot ethnic? The result of analysis shows that the language structures and uttering structure have particular interrelationship. The interrelationship shows the segments of culture possessed by the speech community of the Lamaholot language.

Key words: ritual speech, Lamaholot ethnic group, language structure, uttering structure, speech community

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa selalu digunakan dalam konteks sosial dan budaya penuturnya, sebagaimana dikatakan oleh Brown dan Yule (1996:25) bahwa untaian bahasa (linguistic string) yang dianalisis sepenuhnya tanpa memperhitungkan konteks telah dipertanyakan secara serius. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Foley (1997:249), bahwa berbicara merupakan tindakan yang dibentuk secara budaya. Pemakaian bahasa Lamaholot (selanjutnya BL), sebuah bahasa daerah di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sudah tentu terikat konteks sosial budaya yang melatarinya. Bahasa Lamaholot menggambarkan salah satu ciri penuturnya yang secara kolektif merasa memiliki budaya dan etnik Lamaholot. Sebagai bahasa etnik sekaligus sebagai pemarkah etnik, bahasa Lamaholot berfungsi sebagai sarana pemertahanan dan pewarisan tradisi, khususnya sebagai wahana upacara-upacara adat/ upacara ritual.

Pemakaian bahasa ritual bersifat khas dan berbeda dengan bahasa sehari-hari (ordinary language), baik gaya, struktur, pilihan kata, maupun konteks penuturannya. Tulisan ini berfokus pada struktur tuturan ritual kelompok etnik Lamaholot (TRKEL) yang mencakup struktur kebahasaan dan struktur penuturan. TRKEL pernah diuraikan dalam beberapa tulisan, antara lain: Ata Kiwan (lihat “Sastra Lisan Lamaholot” Laporan penelitian oleh Sanga, dkk.1995), dan Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor (Ardnt

2002). Meskipun tidak secara khusus membahas struktur TRKEL, bagian tertentu dari tulisan-tulisan tersebut, terutama contoh-contoh tuturan ritual yang terdapat di dalam tulisan tersebut, dapat dijadikan rujukan awal.

1.2 Rumusan Masalah

Masalah yang mendasari tulisan ini didasarkan pada masalah penelitian lapangan untuk disertasi penulis. Masalah yang dibahas dalam tulisan ini ialah “Bagaimana struktur TRKEL di Pulau Adonara, Flores Timur?” Rumusan ini mencakup sejumlah unsur, yakni:

a. struktur kebahasaan, yang mencakup: aspek fonologi dan aspek morfosintaksis;

b. struktur penuturan, berkaitan dengan tampilan bagian-bagian (pendahuluan, inti, penutup) dan hubungan antarbagian dalam TRKEL.

Rumusan masalah di atas bertolak dari asumsi bahwa sebagai salah bentuk pemakaian bahasa, TRKEL memiliki struktur yang bersifat khas. Struktur yang bersifat khas itu merupakan kreativitas bahasa dan budaya pemiliknya.

1.3 Metode Penelitian

Secara umum prosedur suatu penelitian mencakup pendataan, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Pendataan dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara, dibantu dengan teknik perekaman dengan pita kaset dan kamera video. Data yang telah diperoleh berupa tuturan ritual tersebut dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Hasil analisis itu disajikan dengan menggunakan

metode deskriptif.

Penelitian ini berlokasi di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan keragaman variasi bahasa yang diasumsikan adanya variasi tuturan ritual, maka kelompok etnik Lamaholot di Pulau Adonara dipilah menjadi empat bagian, yakni Adonara Timur Bagian Utara, Adonara Timur Bagian Selatan, Adonara Barat Bagian Utara, dan Adonara Barat Bagian Selatan dengan masing-masing satu kampung tradisi, yakni Witihama, Lamawolo, Kenotan, dan Lewokeda (tidak digunakan sebutan desa sebagai konsep sekaligus unsur dari sistem pemerintahan moderen yang sering batasannya melampaui batas-batas subkultur). Narasumber penelitian ini adalah Bapak Alias Tupen, Bapak Petrus Lae Sili, Bapak Domi Samon, dan Bapak Markus Ledun.

1.4 Data dan Sumber Data

Data TRKEL yang dianalisis dalam kajian ini terdiri atas dua kategori, seperti berikut ini.

a. Penawon, tuturan ritual pada upacara bau’ lolon, upacara memberikan sesajian/ persembahan kepada leluhur agar seseorang atau sekelompok orang dibebaskan dari malapetaka, bebas dari penyakit, dan diberikan kesejahteraan hidup.

b. Kelolo, tuturan ritual untuk mencari kebenaran, yang terdiri atas kelolo belo tapo,

kelolo beloberekane, dan kelolo buhuk adok.

Kelolo belo tapo, sesuai dengan namanya, adalah tuturan ritual untuk memastikan kesalahan yang dibuat seseorang yang menyebabkan kematiannya melalui upacara belo tapo (pemotongan buah kelapa tua).

Kelolo belo berekane adalah tuturan ritual untuk membuktikan kebenaran. Tuturan ritual ini biasanya diucapkan dalam upacara pain napa (yang berkaitan dengan perkawinan) dan upacara tula bale (pembuatan rumah adat)/dei bale (pembangunan rumah adat). Kelolo buhuk adok adalah tuturan ritual yang diucapkan untuk menemukan kebenaran melalui upacara uku gahin (berkaitan dengan pembunuhan/perang).

Data primer diperoleh dari tua-tua adat dan dukun tradisi sebagai narasumber. Di samping data yang diperoleh dari narasumber, juga dimanfaatkan data TRKEL yang terdapat dalam beberapa pustaka antara lain: Ardnt (versi terjemahan 2002) dan Sanga, dkk. (1995) sebagai data sekunder.

2. KONSEP ACUAN

Ada dua konsep yang yang perlu dijelaskan untuk menyamakan pemahaman, yakni tuturan ritual dan

struktur. Uraian masing-masingnya dapat dilihat pada bagian berikut ini.

2.1 Tuturan Ritual

Konsep tuturan ritual (ritual speech) yang digunakan dalam berbagai pustaka linguistik antropologi dan sastra umumnya tidak dirumuskan secara formal dalam bentuk definisi. Sejumlah pustaka yang dicermati memaparkan konsep tuturan ritual dengan merinci ciri-ciri bentuk lingual yang dimanfaatkan dan konteks yang melatari penuturannya. Berbagai pendapat tentang konsep tuturan ritual dapat dirinci sebagai berikut: a. Fox (1986:102) berpendapat bahwa bahasa

ritual secara khas berbeda dengan bahasa sehari-hari. Pada bagian lain (hal. 98) Fox juga mengatakan bahwa bahasa ritual mendapatkan sebagian besar ciri puitiknya dari penyimpangan-penyimpangan sistematis terhadap bahasa sehari-hari. Di samping itu, terdapat pula pemakaian sinonimi, sintesis, dan antitesis (hal. 132, 134). Fox juga mengemukakan ciri-ciri tuturan ritual, sebagai berikut:

(1) sebagai bahasa sehari-hari yang ditingkatkan bentuk, fungsi, dan artinya (lihat juga Saville-Troike, 1986:46); (2) mempunyai bentuk dan susunan yang

cenderung tetap; (3) puitis dan metaforis;

(4) sering menyajikan polisemi, hominimi, dan sinonimi;

(5) bentuk dan maknanya berkaitan secara sistematis.

b. Dalam Teori dan Metode Linguistik III

disebutkan bahwa bahasa ritual dapat dianggap sebagai sesuatu yang sakral; sebagai satu-satunya, atau paling tidak sebagai media yang paling ulung untuk berkomunikasi dengan yang Maha Suci.

c. Foley (1997:336) berpendapat bahwa bahasa ritual bercirikan pemakaian paralelisme. d. Kuipers (1998) dengan data bahasa ritual

Weyewa (Sumba Barat) menemukan bahwa yang menonjol dalam tuturan ritual adalah penyepasangan (paralel) antara baris pertama dengan baris kedua dalam hal irama dan makna. Kuiper juga mengatakan bahwa tuturan ritual merupakan “bahasa para leluhur” yang disebut dengan “bahasa ibu, bahasa ayah”.

Dalam konteks penelitian ini, yang dimaksudkan dengan tuturan ritual mengandung ciri-ciri: (1) bentuk (termasuk diksi dan persajakan) yang cenderung tetap; (2) dituturkan oleh orang-orang tertentu; (3) dituturkan pada upacara ritual tradisi; (4) cenderung bersuasana sakral sehingga berdaya magis; (5) cenderung


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 bersifat monolog karena mitra tuturnya bersifat

supranatural. 2.2 Struktur

Struktur secara leksikal mengandung makna ‘susunan’, ‘urutan’, atau ‘bangun’. Secara konseptual dan kontekstual, struktur dimaknai sebagai hubungan antarbagian yang bersifat koheren (bdk. Teeuw 1951:5). Struktur dibangun oleh sejumlah unsur yang saling memberi makna; makna suatu unsur ditentukan oleh kehadiran unsur-unsur lainnya. Struktur merupakan suatu sistem sehingga tidak ada unsur yang tidak penting. Setiap unsur yang ada dalam sistem penting karena memiliki fungsi tertentu. Jika sebuah unsur dalam sistem itu berubah, maka perubahan itu harus diikuti oleh perubahan unsur-unsur lainnya. Dalam konteks ini, struktur mencakup urutan penuturan dan struktur bahasa yang ditampilkan dalam TRKEL dengan kekhasannya.

2.3 Kebudayaan dan Bahasa

Kebudayaan merupakan hasil interaksi antarmanusia dengan menggunakan simbol. Berkaitan dengan itu, Geertz (dalam Casson 1981:17) berpendapat bahwa kebudayaan adalah sistem makna simbolik (symbolic meaning system). Goodenough (Casson 1981:17) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan sistem pengetahuan, keyakinan, dan nilai yang berada di dalam pikiran individu anggota masyarakat. Pendapat ini jika dikaitkan dengan pendapat Geertz, maka diperoleh titik sentuh, yakni sistem baik sistem pengetahuan, keyakinan, maupun nilai yang ada pada setiap individu terlahir dari proses interaksi antarmanusia. Dengan demikian, kebudayaan sesungguhnya adalah komunikasi (Duranti 1997:33), dan karena itu kebudayaan merupakan warisan sosial yang bersifat kolektif (Beals 1967:5).

Kebudayaan berkaitan dengan bahasa. Bahasa dalam kaitan dengan kebudayaan dikatakan berperan ganda, yakni sebagai bagian dari kebudayaan, dan sebagai wahana untuk memahami dan mengkreasikan kebudayaan, serta untuk mewariskan kebudayaan. White dan Dillingham (1973:31) juga berpendapat:

“Language is a part of culture: the science of lingistics is subdivision of culturology”. Hubungan bahasa dan kebudayaan tergambar dalam Hipotesis Sapir-Whorf, bahwa ada hubungan antara perbedaan bahasa dengan perbedaan budaya (lihat Malmkjaer 1991:306—307; bdk. Wierzbicka, 1991:1,4). Sapir mengatakan bahwa terdapat hubungan antara studi bahasa dengan studi kebudayaan, sedangkan Whorf berpendapat bahwa studi linguistik berkaitan dengan cara berpikir masyarakat (bdk. Poedjosoedarmo 2001:8 - 9).

3. ANALISIS STRUKTUR TRKEL

Analisis mengenai struktur TRKEL ini dipilah menjadi dua macam struktur, yakni (1) struktur kebahasaan dan (2) struktur penuturan. Struktur kebahasaan yang dimaksudkan dalam analisis ini adalah bentuk-bentuk linguistik yang digunakan dalam TRKEL, sedangkan struktur penuturan adalah urutan penuturan dan hubungan antarbagiannya.

3.1 Struktur Kebahasaan

Analisis struktur kebahasaan dalam TRKEL mencakup (1) aspek fonologis dan (2) aspek morfosintaksis. Berikut ini adalah paparan hasil analisis perihal struktur kebahasaan TRKEL. 3.1.1 Fonologi

Bahasa manusia pada umumnya mengandung keindahan. Hal ini tampak pada perbedaan gaya/ langgam dan variasi bahasa yang digunakan oleh individu dalam suatu masyarakat tutur. Perbedaan tekanan, intonasi, pilihan kata, ragam kalimat, dan gaya bahasa, adalah gambaran mengenai naluri kemanusiaan yang senantiasa memperhatikan aspek keindahan dalam komunikasi lisan. Faktor keindahan sangat menonjol dalam bahasa lisan karena pemanfaatan unsur musikalitas. Unsur ini tidak hanya berfungsi estetis, tetapi juga berfungsi sebagai rambu bagi pendengar dalam memahami maksud tuturan secara lebih spesifik.

Studi fonologi mencakup fonetik dan fonemik. Analisis ini mempertimbangkan kedua cakupan studi fonologi dimaksud karena tuturan ritual yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup bahasa ritual dalam pemakaian (tuturan ritual) dan naskah hasil transkripsi tuturan ritual. Analisis tuturan ritual terutama difokuskan pada peran unsur-unsur suprasegmental, sedangkan analisis naskah tuturan ritual difokuskan pada unsur-unsur segmental.

Bahasa Lamaholot Dialek Nusa Tadon (selanjutnya disingkat BLDNT) memiliki 13 buah vokal, 17 konsonan (Sabon Ola dkk. 1999:110). Data TRKEL menunjukkan, dari aspek fonologi segmental, tidak terdapat fonem yang tipikal terhadap tuturan ritual. Artinya, keempat puluh fonem BLDNT tidak dapat dijadikan dasar pembeda antara BLDN yang digunakan sehari-sehari dengan BLDN yang digunakan dalam tuturan ritual. Dengan kata lain, bunyi-bunyi segmental yang digunakan dalam tuturan ritual sama dengan yang digunakan dalam tuturan biasa/pemakaian sehari-hari.

Berbeda halnya dengan unsur-unsur suprasegmental, BLDNT memiliki sejumlah ciri suprasegmental yang bersifat fonemis, yakni tekanan (stress) dan nada (pitch). Ciri


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 suprasegmental yang bersifat fonemis ini terdapat

pada level kata, seperti contoh berikut ini:

‘maē ‘alas’ ma’e ‘banjir besar’

nae’ ‘satu bagian (tenunan)’ na’e ‘3TG, dia’

uw∂ ‘mengingatkan’ uw∂’ ‘pantat’

Pada tataran sintaksis, TRKEL memperlihatkan pemanfaatan ciri suprasegmental. Meskipun tidak tipikal terhadap tuturan ritual, pemanfaatannya dapat dimaknai secara sosial dan secara budaya. Ciri suprasegmental yang dimanfaatkan, yaitu tekanan lembut, intonasi datar, dan durasi panjang.

Tekanan lembut, intonasi datar, dan durasi panjang lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tekanan lembut digunakan penutur untuk seakan-akan membujuk, intonasi datar digunakan untuk meminta, dan durasi panjang lazimnya digunakan untuk seakan-akan penutur menyapa dari kejauhan.

Berbeda halnya dengan pemakaian ciri-ciri suprasegmental tersebut di atas dalam tuturan ritual, dalam TRKEL, ciri suprasegmental digunakan dengan makna lembut, netral, dan kejauhan jarak; tiga makna yang secara simbolik berkaitan satu sama lainnya. Keterkaitan ini secara budaya dapat dipahami dari perspektif tuturan ritual sebagai wahana komunikasi dengan wujud supranatural. Dari perspektif ini, kelembutan bernuansa meminta, netral bernuansa pasrah, dan kejauhan jarak bernuansa kesungguhan. Pemakaian ciri suprasegmental dalam TRKEL terdapat pada Tabel 1.

Penutur dalam menyampaikan tuturan ritual sebenarnya menyampaikan permintaan agar dirinya dan orang-orang yang diwakilinya memperoleh hidup sehat, aman, damai, dan sejahtera; bebas dari penyakit, terhindar dari malapetaka dan peperangan, serta terhindar dari kemiskinan dan kemelaratan.

Dalam menyampaikan tuturan ritual, penutur sebenarnya pasrah pada kebaikan dan kasih sayang leluhur dan Rera Wulan Tana Ekan.

Diterimanya permohonan penutur bergantung pada kesungguhan meminta yang dilandasi oleh kebenaran (koda). Tuturan ritual sebagai doa tradisi yang tidak dilandasi oleh keberpihakan penutur (dan orang-orang yang diwakilinya) pada kebenaran, maka hasil dari doa itu ialah malapetaka.

Pemanfaatan ciri suprasegmental dalam TRKEL mengandung nilai ‘tahu diri’. Nilai ini secara sosial menuntun orang-orang Lamaholot berperilaku suka membangun kerja sama yang disebut gemohing, kumpulan orang yang bekerja sama untuk mewujudkan tujuan bersama. Dari titik pandang religius, nilai ‘tahu diri’ ini diinterpretasikan sebagai “keterikatan” pada nasib (bukan pasrah pada nasib). Berusaha dan berjuang adalah hal yang mutlak dilakukan. Namun dengan semboyan Teti nabe sera soron, Lali nabe neten nein ‘diturunkan dari atas, diserahkan dari bawah’, orang Lamaholot kemudian menyadari bahwa sesuatu yang diterimanya adalah hasil dari usaha dan perjuangan yang disertai doa kepada leluhur dan sang pencipta. Jika sesuatu yang diterimanya itu tidak sesuai dengan harapan, mereka tidak pernah putus asa. Jika keberuntungan tidak berpihak pada mereka, mereka senantiasa mengoreksi diri dengan mengatakan:

Rae nei-ket wa’ ulin

3JM beri-1JM belum ada

‘mereka belum berkenan memberikan’

Ahe hae noon nalan ulin

Sesuatu mungkin ada salam masih

‘mungkin masih ada keselahan’

Ukuro mu’ ki’

Rundingkan lagi dulu

‘perlu pengaturan kembali’

Jika dicermati, ketiga contoh di atas tidak memperlihatkan keputusasaan. Bukan berarti bahwa dalam masyarakat Lamaholot tidak ada bentuk lingual yang menyatakan keputusasaan.

Tabel 1. Pemakaian ciri suprasegmental dalam TRKEL Ciri Suprasegmental Makna Pemakaian

Sehari-hari

Makna Pemakaiannya dalam TRKEL

Makna Budaya tekanan lembut

intonasi datar durasi panjang

membujuk memberitakan

menyapa dari kejauhan

bujukan kepasrahan kesungguhan


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Bentuk lingual untuk menyatakan keputusasaan

terdapat juga dalam masyarakat Lamaholot, seperti contoh berikut ini:

Rae pa pete tite hala

3JM mungkin ingat 1JM tidak

‘mungkin (mereka) tidak ingat kita’

Rae pa gelupaka roonet

3JM mungkin lupa-3JM dengan-1M

‘mungkin mereka tidak ingat kita’

Ekspresi keputusasaan juga bisa dinyatakan secara retoris, sebagai berikut:

Ra’e rabe gelupaka hae’?

3TG secara lupa-3JM mungkin

‘Mungkinkan mereka lupa?’

Kedua bentuk pengungkapan di atas sesungguhnya ungkapan kekecewaan. Dari hasil pengamatan di lapangan, bentuk pengungkapan yang bermakna kekecewaan itu hanya merupakan tantangan bagi mereka untuk senantiasa bekerja keras dan menjalin hubungan baik dengan leluhur dan Rera Wulan Tana Ekan. Sikap inilah yang disimpulkan sebagai tidak adanya keputusasaan pada manusia Lamaholot.

3.1.2 Morfosintaksis

Aspek morfosintaksis merupakan perpaduan antara morfologi dan sintaksis. Paduan ini didasarkan pada ciri tipologis BLDN yang mengenal persesuaian antara subjek dengan verba. Ciri ini memungkinkan lesapnya subjek; subjeknya tercakup di dalam verbanya. Misalnya,

Go’e k-enu wai

1TG 1TG-minum air ‘saya minum air’ Konstruksi di atas dapat disederhanakan menjadi Kenu wai yang lengkap pengertiannya. Contoh di atas menunjukkan bahwa pada konstruksi tertentu sulit dipisahkan antara morfologi dan sintaksis. Secara morfologis kenu

merupakan morfem dasar yang tidak bisa diurai menjadi unsur bermakna yang lebih kecil lagi. Secara sintaksis, bentuk kenu mengandung pengertian bahwa yang melakukan tindakan “minum” ialah subjek 1TG.

Keeratan hubungan antara morfologi dan sintaksis dalam BLDNT juga didukung oleh konstruksi dasar kalimat berupa SVO yang

bertipologi akusatif dan alternasinya berupa SOV yang bertipologi ergatif. Perhatikan contoh berikut ini.

(a) Rae r-∂ wã wata’

3JM AV-petik jagung

‘mereka memetik jagung’

(b) Wat’a ra’e r∂wa-ro

Jagung 3JM 3JM-petik-OV

‘jagung mereka petik’

Konstruksi SOV menghendaki hadirnya pemarkah diatesis objektif (objective voice, OV) ro, sebaliknya pada konstruksi SVO terdapat pemarkah inklusif diatesis agentif (agentive voice,

AV).

Uraian singkat dan contoh-contoh di atas cukup dijadikan alasan untuk tidak memisahkan morfologi dan sintaksis dalam pembahasan mengenai kedua tataran linguistik ini dalam TRKEL. Meskipun keduanya dipadukan dalam morfosintaksis, dalam pembahasan, konsep-konsep morfologi dan sintaksis tetap diberlakukan sebagai dua hal yang berbeda dalam pengertian umum secara linguistik.

Hal-hal menonjol yang berkaitan dengan aspek morfosintaksis dalam TRKEL meliputi (1) pemakaian pronomina, baik pronomina persona maupun pronomina posesif; (2) konstruksi susun-balik (inversi); (3) konstruksi elips. Ketiga hal ini berkaitan. Konstruksi susun-balik dapat menyebabkan perubahan verba yang berfungsi memperjelas fungsi sintaksis pronomina; fungsi sintaksis pronomina pada konstruksi SVO memungkinkan lesapnya unsur sintaksis tertentu yang menghasilkan konstruksi elips. Meskipun erat hubungan antara pronomina, konstruksi susun-balik, dan konstruksi elips, dalam pembahasannya, ketiga hal ini dipilah untuk memperjelas peran masing-masing di dalam memberi ciri terhadap TRKEL.

Pronomina persona dalam BLDNT meliputi 1TG go’e ‘saya’, 1JM (ink.) tite ‘kita’, 1JM (eks.) kame ‘kami’, 2TG mo’e ‘engkau’, 2JM mio ‘kamu’, 3TG na’e ‘dia’, dan 3JM ra’e

‘mereka’. Semua jenis pronomina ini berfungsi sebagai SUBJ(-ek), OBJ(-ek), dan POSS(-esif). Fungsi masing-masingnya dapat dilihat pada Tabel 2.


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Tabel 2. Fungsi pronomina persona dalam BLDNT

PRONOMINA

SUBJ OBJ POSS

1TG go’e

1JM (ink.) tite

1JM (eks.) kame

2TG mo’e

2JM mio

3TG na’e

3JM ra’e

go’e/ -k tite/ -net kame/ -nem

mo’e/ -no mio/ -ne na’e/ -ro ra’e/ -we

goen/ -k tit’en/ -ket kam’en/ -kem

moen/ -m mi’on/ -ke

na’en/ -n ra’en/ -ka

Untuk menjelaskan pemakaian pronomina persona dalam TRKEL, perhatikan penggalan data A1 berikut ini.

Inak amak koda k∂wokot Go hin tula uma lango mion

Go mayan mio doen mio wahan kae Rae ile dihau lau watan di dai Teti timu dihau lali warat dihaka Ti taan to’u khirin ehan

Mio molo kame dore Ti tula uma lango mion Baat dimaaro k∂lieka’ Doan dimaaro daheka’ L∂man dimaaro woloya

………. Terjemahan bebas: Leluhurku

Kini kubangun kediamanmu Kuajak kalian semua

Datang dari utara, juga dari selatan Datang dari timur, juga dari barat Kita bersepakat

Tunjukkan kami jalan

Untuk membangun kediamanmu Ringankan yang berat

Dekatkan yang jauh Dangkalkan yang dalam ………

Pemakaian pronomina sebagai subjek dalam penggalan TRKEL, yakni 1TG go, IJM (ink.) ti, 1JM (eks.) kame, dan 2JM mio. Bentuk go

dan ti merupakan variasi bebas (bentuk singkat) dari go’e dan tite. Pemakaian pronomina go/ go’e

yang dimaksudkan dalam konteks ini ialah penutur, ti/ tite mengacu pada penutur dan para leluhur, kame mengacu pada penutur dan hadirin, dan mio mengacu pada para leluhur.

Berdasarkan pemakaian tersebut dapat dipilah dua kelompok pelibat dalam TRKEL, yaitu pelibat 1 (P1), yang terdiri dari penutur dan hadirin, dan leluhur sebagai pelibat 2 (P2). Pemakaian pronomina tersebut juga menunjukkan bahwa komunikasi dalam TRKEL tergolong komunikasi dua arah. Hal ini secara khusus tampak pada pemakaian pronomina mio ‘kamu’.

Dalam komunikasi dua arah terdapat alih-fungsi, sebagaimana peralihan fungsi dari komunikator menjadi komunikan, atau dari pembicara menjadi pendengar, dan sebaliknya. Dalam tuturan ritual, tidak terjadi alih-fungsi sebagaimana komunikasi sehari-hari. Reaksi, tanggapan, ataupun jawaban dari P2 tidak dalam bentuk verbal (berupa kata-kata), melainkan dalam bentuk kejadian, peristiwa, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan kualitas hidup P1.

Pemakaian pronomina tite, kame, dan mio

dalam TRKEL menggambarkan himpunan, kesatuan, dan kebersamaan. Pronomina tite

sebagai pronomina 1JM (ink.) menyatakan kesatuan antara mereka yang masih hidup dengan orang-orang yang telah meninggal. Perhatikan hubungan yang terdapat pada penggalan data A1 berikut ini.

Ti taan tou khirin ehan ‘kita bersepakat’

Mio molo kame dore ‘tunjukkan kami jalan’ Pronomina tite sebagai pronomina 1JM (ink.) dalam konteks penggalan tuturan ritual di atas mencakup pula mio. Pronomina tite dalam hal ini meliputi penutur, hadirin, dan leluhur.

Pronomina kame sebagai pronomina 1JM (eks.) yang dimaksudkan adalah penutur dan hadirin. Para leluhur, dalam konteks ini, tidak termasuk dalam cakupan pronomina kame sejalan dengan sifat ekslusifnya. Pemakaian pronomina

mio (2JM) menggambarkan himpunan orang-orang yang telah meninggal. Leluhur bukanlah arwah


(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 orang per orang, melainkan suatu keseluruhan

yang diyakini telah menjadi bagian dari Rera Wulan Tana Ekan.

Berdasarkan pemakaian pronomina dalam TRKEL tampak keutuhan yang dibangun antara penutur, hadirin, dan leluhur. Keutuhan ini mensyaratkan kesatuan dan kebersamaan. Keutuhan tersebut, dalam masyarakat kelompok etnik Lamaholot, merupakan syarat mutlak dalam memperjuangkan kesejahteraan lahir dan batin. Keutuhan itu pulalah merupakan jaminan bagi masyarakat kelompok etnik Lamaholot agar terbebas dari malapetaka dan kematian. Di samping pemakaian pronomina sebagai subjek, terdapat pemakaian pronomina sebagai objek. Mengacu pada penggalan data A1 tersebut di atas, pemakaian pronomina sebagai objek, yakni mio (wahankae), seperti pada bagian penggalan: Go mayan mio doen mio wahankae (1TG, panggil, 2JM, berseru, 2JM, seluruh = kumenyapa dan berseru kepada kamu semua) ‘kuajak kalian semuanya’

Jika dikaitkan dengan kependekan dan keringkasan bentuk ekspresi, tampak bahwa dalam TRKEL digunakan pronomina persona sebagai objek dalam bentuk yang lengkap. Bentuk di atas, jika dikaitkan dengan pemakaian sehari-hari, akan diekspresikan, sebagai berikut:

(1) Go maya-ne go doe-ne

1TG panggil-2JM 1TG berseru-2JM

(2) Go maya-ne no’on doe-ne

1TG panggil-2JM dan berseru-2JM

Meskipun ada pilihan bentuk yang paling singkat dan sederhana, dalam tuturan ritual dipilih bentuk yang lebih lengkap. Apalagi dalam hubungan sosial vertikal, pronomina sebagai objek jarang digunakan dengan alasan kesantunan. Pronomina persona sebagai objek tidak biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Dalam pemakaian sehari-hari, pronomina persona sebagai objek umumnya digantikan oleh pemarkah diatesis objektif (objective voice) –ne. Demikian pula pemakaian adverbia wahankae ‘semua’ yang sesungguhnya telah tercakup dalam ciri kejamakan objek. Penggunaan adverbia wahankae dalam konteks ini bermaksud menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan leluhur ialah suatu keseluruhan (wholeness).

Pemakaian semacam ini bermakna, di samping kesantunan, juga bermakna kelugasan/ kepolosan. Penutur menyampaikan kepada wujud tertinggi melalui leluhur segala sesuatu (keluhan, permintaan, harapan) secara ‘apa adanya’. Hal ini sejalan dengan prinsip hidup kelompok etnik ini yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.

Penggunaan pronomina posesif pun merupakan unsur morfosintaksis yang dibahas berkaitan dengan TRKEL. Pronomina posesif yang terdapat dalam data A1, yakni mi’on (=kamu punya) dalam bagian penggalan data berikut ini. Go hin tula uma lango mi’on

1TG ASP buat rumah rumah 2JM-punya Ti tula uma lango mi’on

1JM (ink) buat rumah rumah 2JM-punya

Bentuk uma lango mi’on, dalam pemakaian sehari-hari, jarang digunakan meskipun bentuk tersebut berterima. Bentuk yang lazim digunakan sehari-hari, yakni mio umha-ke langu-ke, yang membolehkan lesapnya mio sehingga menjadi umha-ke langu-ke. Bentuk –ke sebagai pemarkah posesif dapat menggantikan secara penuh pronomina personanya.

Pemakaian bentuk lengkap berkaitan dengan pronomina posesif bermakna kesantunan, sama dengan pemakaian pronomina persona sebagai objek. Pronomina posesif (termasuk pronomina persona sebagai objek) yang mengacu pada supranatural, dalam hal ini leluhur, tidak digantikan oleh pemarkah posesif. Di samping penggunaan pronomina, hal lain yang dikaji dalam TRKEL yang tercakup di dalam morfosintaksis adalah penggunaan konstruksi susun-balik (inversi), konstruksi dengan verba mendahului subjek. Karena BLDN berdiatesis agentif dan objektif dengan persesuaian antara subjek dan verba, di samping tidak mengenal bentuk pasif, maka konstruksi verba mendahului subjek tidak berterima. Walaupun tidak terdapat konstruksi verba mendahului subjek (maksudnya, inversi), konstruksi dasar menjadi tolok ukur untuk menentukan konstruksi susun-balik. Dalam konteks BLDN, dan dalam konteks pembahasan ini, yang dimaksudkan dengan konstruksi susun-balik adalah konstruksi alternasi, atau yang bukan berkonstruksi SVO.

Data menunjukkan bahwa tidak terdapat konstruksi alternasi. Dalam TRKEL hanya terdapat konstruksi SVO. Konstruksi ini secara tipologis berdiatesis agentif. Dengan demikian, pronomina SUBJ pada konstruksi SVO dalam TRKEL selalu berperan sebagai pelaku/ agen. Peran agen ini mengandung pengertian bahwa keterlibatan atau campur tangan leluhur sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat kelompok etnik Lamaholot.

Hal berikut yang dikaji dalam TRKEL terkait dengan aspek morfosintaksis, yaitu konstruksi elips. Bentuk elips yang digunakan teridentifikasi berikut ini.

Ba’at dimaaro k∂ lieka

Berat buat-2JM ringan


(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Jauh buat-2JM dekat

Leman dima’aro woloya’

Dalam buat-2JM dangkal

Ka’an pa’o bo’e guna gotak mio

1TG-buat memberi makan 2JM

Ka’an mio aeke p∂ ne’ek∂

1TG-buat 2JM muka-POSS2JM terang Contoh-contoh di atas memperlihatkan pelesapan SUBJ. Pelesapan itu dimungkinkan karena secara tipologis SUBJ telah menyatu dengan verba dalam bentuk pemarkah diatesis agentif. Pronomina persona sebagai SUBJ dalam contoh-contoh di atas dapat ditentukan berdasarkan pemarkah diatesis pada verbanya. Verba bermarkah diatesis, yakni (di-)ma’aro dan

ka’an. Verba ma’aro terdiri atas pemarkah diatesis agentif ma’an dan pemarkah diatesis objektif –ro

(mengacu pada kesulitan: jarak yang jauh, dan medan yang dalam/terjal), sedangkan verba ka’an

hanya mengandung pemarkah diatesis agentif. Verba ma’an menandakan SUBJ 2TG

mo’e ataupun 2JM mio, sedangkan verba kaan

menandakan SUBJ 1TG. Sebagaimana asas kebersamaan dan keutuhan yang tergambar dalam TRKEL, SUBJ orang ke-2 untuk verba ma’an

berupa jamak yang dapat membenarkan asas kebersamaan dan keutuhan dimaksud. Sementara SUBJ untuk verba ka’an haruslah 1JM, dan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah penutur.

Berbeda dengan pronomina posesif yang selalu lengkap pemakaiannya, dalam TRKEL pronomina persona sebagai SUBJ dan sebagai OBJ sering berupa pemarkah yang secara morfosintaksis tercakup di dalam verba. Pemarkah tersebut menggambarkan diatesis, baik agentive voice maupun objektive voice. Pemakaian pemarkah diatesis tersebut memberikan penekanan pada verba. Artinya, maksud yang tersirat dalam verba merupakan inti harapan dan permintaan penutur bersama orang orang yang diwakilinya.

Inti harapan dan permintaan berdasarkan data di atas adalah verba-verba: dahe’, wolo, pa’o bo’e guna gotak, dan mio aeke p∂ne’ek∂.

3.2 Struktur Penuturan

Tuturan ritual umumnya memiliki urutan penuturan yang lebih apik dibandingkan dengan tuturan biasa. TRKEL memiliki struktur penuturan: pembukaan/ pendahuluan, inti/ isi, dan penutup. Dasar pemikiran mengenai bagian-bagian TR ini tergolong sederhana, yakni bahwa setiap pertemuan dalam kelompok etnik Lamaholot selalu ada tiga tindakan, yakni mayan ‘memanggil’ atau ahak ‘menyapa’, marin ‘mengatakan, menyampaikan maksud’, dan t∂nan ‘pamit’. Ketiga hal ini dapat disepadankan dengan

menyapa, mengungkapkan maksud/ isi hati, dan pamit dalam bahasa Indonesia.

Tindakan mayan lazim digunakan untuk mengawali pertemuan, marin adalah tindakan menyampaikan maksud, dan t∂nan adalah tindakan verbal yang mengindikasikan saat akan berpisah/ meninggalkan mitra tutur. Dalam bahasa Lamaholot, struktur sebagaimana disebutkan di atas dapat menjadi antara tuturan ritual dan tuturan biasa. Bentuk lingual yang digunakan untuk menyapa dalam tuturan biasa, antara lain:

a. Sepat ki.

singgah dulu ‘Singgah sebentar’

b. Sepat hala?

singgah tidak ‘Tidak singgah dulu?’

c. Mala d∂ga?

lewat ke mana ‘Ke mana?’

d. D∂gaku beto?

dari mana datang ‘Dari mana?’

e. H∂gul∂ b∂∂t∂n∂ uli pe mala ga?

pagi buta masih tapi lewat mana ‘Ke mana pagi-pagi ini?’

f. Maã r∂ma.

2JM-buat malam ‘Sampai malam’

g. Tutun to’u ki’.

bakar satu dulu ‘merokok dulu’

h. Golo’ k∂bako ki’.

gulung tembakau dulu ‘merokok dulu’

i. Sepat p∂n∂rhi-ko/-ke ki’

‘singgah istirahat-2TG/-2JM dulu’ ‘Singgah istirahat sebentar’

j. Hip’a-ko/-ke ki’

berteduh-2TG/-2JM dulu ‘Berteduh sebentar (dari kehujanan)’

Contoh di atas merupakan bentuk verba tegur-sapa dalam bahasa Lamaholot yang dituturkan oleh penyapa (adressor) (P1) yang sedang berada di tempat tinggalnya terhadap pesapa (adressee) (P2) yang secara kebetulan lewat dan keberadaannya (mereka) terjangkau oleh pandangan dan suara penyapa.

Bentuk tegur-sapa yang dipilih tidak bersifat manasuka, tetapi berdasarkan konteks, terutama berdasarkan kondisi yang dialami/yang dihadapi oleh pesapa. Jika pesapa sedang kehujanan, maka penyapa akan memilih (a) atau (j). Pilihan (a) tidak secara eksplisit menggambarkan maksud penyapa bahwa orang yang tampak olehnya sedang kehujanan perlu diberikan tempat berteduh. Pesapa pun,


(9)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 berdasarkan situasi, menafsirkan bahwa ia

(mereka, jika pesapanya jamak) diajak singgah untuk berteduh karena si penyapa ingin agar ia (mereka) tidak lebih lama kehujanan. Pilihan (b) secara eksplisit menggambarkan maksud penyapa. Bagi masyarakat kelompok etnik Lamaholot, tegur sapa dengan bentuk lingual seperti (a) dan (j) tidak mengandung pengertian basa-basi.

Berbeda halnya jika pesapa tidak dalam kesulitan, maka penyapa mungkin akan memilih bentuk lingual seperti pada (b) atau (f). Pilihan (b) mengandung pengertian bahwa penyapa sesungguhnya tidak menghendaki pesapa singgah di tempatnya. Jika terdapat sedikit kesungguhan dalam mengajak, maka dipilihnya bentuk lingual (sapaan) lain, yakni (a) Sepat ki’ ‘singgah dulu/ sebentar’. Pilihan (f) tidak mengandung ajakan. Penyapa sepenuhnya berbasa-basi, juga tidak berniat mengecek bagaimana, mengapa, dan untuk apa pesapa sampai kemalaman.

Pilihan (a) dan (j) menggambarkan sikap saling menolong, sedangkan pilihan (b) dan (f) menggambarkan aspek kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat. Uraian ini tidak bermaksud memaparkan secara rinci sikap berbahasa sebagai cermin budaya yang ditampakkan pada pemakaian bentuk lingual tegur-sapa, melainkan sebagai bukti bahwa tindakan menyapa dalam tuturan sehari-hari berbeda dengan tindakan menyapa dalam tuturan ritual.

Bentuk lingual untuk menyapa merupakan pemarkah dimulainya suatu pembicaraan. Dalam tuturan ritual, pemarkah lingual berawalnya tuturan ialah:

(1) Ama R∂ra Wulan Ema Tana Ekan Ina Ama Koda K∂wokot

Inak teti lango amak lali pita

Sapaan awal yang ditujukan kepada pelibat yang tak tampak (dalam konteks supranatural) secara serta-merta mengubah situasi dari tuturan biasa ke tuturan ritual. Para pelibat yang hadir berubah perhatian dengan melibatkan seluruh pikiran dan perasaan mereka, seakan pelibat yang tak tampak itu hadir di tengah-tengah mereka, mendengarkan sapaan petutur, dan selanjutnya mau menerima permintaan mereka.

Bagian berikut dari struktur tuturan ritual adalah marin, yang sering secara lengkap diungkapkan dalam bentuk paralel tutu’ marin. Bagian ini berisi maksud penyampaian berupa permintaan/ permohonan, yang dalam bahasa Lamaholot diungkapkan dengan l∂ta’ neten atau

gaha’. Bentuk lingual yang dipilih untuk bagian ini tidak bersifat baku. Cara mengekspresikannya bergantung pada kreativitas petutur. Bagian ini dapat diidentifikasikan melalui dua cara yakni, (a) mengidentifikasi bentuk lingual sebagai pembuka

tuturan dan (b) mengidentifikasi bentuk lingual yang berisi maksud dan tujuan tuturan.

Setelah batas akhir bentuk lingual pembuka terdapat inti tuturan ritual. Perhatikan contoh berikut ini.

(2) R∂ra Wulan Tana Ekan Ina’ Ama’ Koda K∂wokot Go’ hi tula’ uma lango mi’on Rae ile dihau lau watan di dai

……….

Dua baris pertama merupakan bagian pembukaan sebagai sapaan. Baris ketiga dan seterusnya merupakan isi/ inti tuturan. Pada bagian tersebut digunakan bentuk lingual kreatif. Bentuk lain dalam mengungkapkan isi pada baris kedua dan ketiga kutipan di atas sebagai berikut:

(3) Go’ hi k∂tula uma lango mio Go l∂ta inak-amak mio wahankae

Rae ile di lodo’ ha’uke lau watan digere da’ike

Petutur pada contoh (2) menyebut leluhur secara tidak eksplisit, sedangkan pada contoh (3), para leluhur disebut secara eksplisit inak-amak.

Contoh (2) memperlihatkan pelesapan penyebutan leluhur dan menggantikannya dengan metafora ‘ruang’ yang diyakini sebagai tempat tinggal para leluhur. Penyebutan ile ‘gunung’ dan watan

‘pantai’ bermakna ‘kesatuan dalam keseluruhan’. Perihal bagian akhir dari suatu keseluruhan tutural ritual terdapat dua bentuk pengungkapannya. Kedua bentuk dimaksud adalah bentuk verbal dan bentuk nonverbal. Pemilihan (dan) pemakaian kedua bentuk ini bergantung pada maksud/tujuan tuturan. Jika tuturan itu diucapkan pada saat memberikan persembahan kepada leluhur, maka ekspresi verbalnya adalah:

(4) Gẽ molo menu wahan∂

Kã purek kenu dore

Ekspresi verbal ini bersamaan dengan ekspresi nonverbal berupa menuangkan tuak ke tanah sebagai simbol memberikan persembahan kepada leluhur.

Berbeda halnya jika tuturan ritual untuk menentukan kebenaran termasuk mencari kesalahan yang menyebabkan musibah, maka ekspresi verbalnya selalu berkaitan dengan tindakan nonverbal yang dilakukan segera setelah selesai tuturan. Contoh berikut ini adalah tuturan ritual untuk mencari kesalahan yang menyebabkan kematian seseorang; upacaranya disebut Belo Tapo

‘potong kelapa’.


(10)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005

lein liman bera nuhun d∂la ti na matana’ naan turun∂ petapo k∂saet ∂ka napun

Sebagaimana nama upacaranya, ekspresi verbal berupa tuturan ritual selalu diikuti dengan pemotongan kelapa. Jika kelapa terbelah secara sempurna dalam sekali potong, maka kesalahan ataupun kebenaran yang dimaksudkan dalam inti tuturan terbukti. Sebaliknya, jika kelapa terbelah secara tidak sempurna, maka pembuktian dinyatakan gagal dan perlu diadakan pembuktian ulang.

Di samping bagian penutup tuturan ritual bermarkah seperti kedua contoh di atas, terdapat bagian penutup yang tidak bermarkah, atau dengan kata lain, tidak terdapat ekspresi verbal maupun nonverbal yang menyatakan bahwa sebuah tuturan ritual akan berakhir. Perhatikan contoh berikut ini (petikan sebagian tuturan ritual untuk pembersihan diri dari kesalahan sekaligus memohon kesembuhan).

(6) ……….

Ake g∂t∂ koda muri, ake dahan khirin muri

Koda na’en gohuka’, khirin na’ne wahaka’

Ele na’en patero kae’

Berdasarkan struktur tuturan ritual dengan pemarkah pembukaan, isi, dan penutup yang berbeda, dapat dikelompokkan tuturan ritual kelompok etnik Lamaholot menjadi (1) tuturan ritual dengan struktur lengkap; dan (2) tuturan ritual dengan struktur tidak lengkap. Tuturan ritual dengan struktur lengkap digunakan untuk maksud memberikan persembahan, mencari kebenaran, meminta restu, memohon penyembuhan, ataupun pengukuhan, sedangkan tuturan ritual dengan struktur tidak lengkap digunakan untuk maksud memohon penyertaan dalam usaha ataupun dalam perjalanan. Struktur lengkap digunakan jika tuturan ritual diucapkan pada upacara yang memanfaatkan media/perangkat penunjang, seperti hewan, tuak, dll. Sebaliknya, struktur tak lengkap digunakan jika tuturan disampaikan pada upacara yang tidak menggunakan media penunjang.

4. SIMPULAN

Tulisan ini membahas struktur kebahasaan dan penuturan tuturan ritual TRKEL. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara struktur bahasa dan struktur penuturan TRKEL yang dilihat pada tataran fonologi, morfosintaksis, dan budaya berbahasa masyarakat

penutur BL. TRKEL memperlihatkan keserasian hubungan antara struktur bahasa, keindahan bahasa, dan budaya bertutur masyarakat penuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Beals, Alam R. 1967. Culture in Process. New York: Holt Reinhart dan Winston.

Bock, Philip K. 1972. “Social Structure and Language Structure.” Dalam Joshua A. Fishman (ed), Reading in the Sociology of Language. Paris: Mouton.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana (Terjemahan oleh I. Soetikno dari judul asli: Discourse Analysis). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. London: Collier Macmillan Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic

Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karanganmengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Kuipers, Adam dan Jessica Kuper (eds). 2000.

Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (terjemahan oleh Haris Munandar, dari judul asli: The Social Science Encyclopedia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Malmkjaer, Kirsten, dan James M. Anderson (eds.). 1991. The Linguistics Encyclopedia. New York: Rutledge.

Poedjosudarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sabon Ola, Simon. 1998. “Bahasa, Gambaran Budaya Penuturnya (Tinjauan Awal terhadap Ungkapan Bahasa Kedang).”

Linguistika, Tahun V, 6: 21—27.

Sanga, Felysianus, dkk. 1995. Sastra Lisan Lamaholot. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell.


(11)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra,

Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

White, Leslie dan Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. New York: Burgess.

Wierzbicka, Anna. 1991. Cross-Cultural Pragmatics, The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.


(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Tabel 2. Fungsi pronomina persona dalam BLDNT

PRONOMINA

SUBJ OBJ POSS

1TG go’e 1JM (ink.) tite 1JM (eks.) kame 2TG mo’e 2JM mio 3TG na’e 3JM ra’e

go’e/ -k tite/ -net kame/ -nem

mo’e/ -no mio/ -ne na’e/ -ro ra’e/ -we

goen/ -k tit’en/ -ket kam’en/ -kem

moen/ -m mi’on/ -ke

na’en/ -n ra’en/ -ka Untuk menjelaskan pemakaian pronomina

persona dalam TRKEL, perhatikan penggalan data A1 berikut ini.

Inak amak koda k∂ wokot Go hin tula uma lango mion

Go mayan mio doen mio wahan kae Rae ile dihau lau watan di dai Teti timu dihau lali warat dihaka Ti taan to’u khirin ehan

Mio molo kame dore Ti tula uma lango mion Baat dimaaro k∂ lieka’ Doan dimaaro daheka’ L∂ man dimaaro woloya ……….

Terjemahan bebas:

Leluhurku

Kini kubangun kediamanmu Kuajak kalian semua

Datang dari utara, juga dari selatan Datang dari timur, juga dari barat Kita bersepakat

Tunjukkan kami jalan

Untuk membangun kediamanmu Ringankan yang berat

Dekatkan yang jauh Dangkalkan yang dalam ………

Pemakaian pronomina sebagai subjek dalam penggalan TRKEL, yakni 1TG go, IJM (ink.) ti, 1JM (eks.) kame, dan 2JM mio. Bentuk go dan ti merupakan variasi bebas (bentuk singkat) dari go’e dan tite. Pemakaian pronomina go/ go’e yang dimaksudkan dalam konteks ini ialah penutur, ti/ tite mengacu pada penutur dan para leluhur, kame mengacu pada penutur dan hadirin, dan mio mengacu pada para leluhur.

Berdasarkan pemakaian tersebut dapat dipilah dua kelompok pelibat dalam TRKEL, yaitu pelibat 1 (P1), yang terdiri dari penutur dan hadirin, dan leluhur sebagai pelibat 2 (P2). Pemakaian pronomina tersebut juga menunjukkan bahwa komunikasi dalam TRKEL tergolong komunikasi dua arah. Hal ini secara khusus tampak pada pemakaian pronomina mio ‘kamu’.

Dalam komunikasi dua arah terdapat alih-fungsi, sebagaimana peralihan fungsi dari komunikator menjadi komunikan, atau dari pembicara menjadi pendengar, dan sebaliknya. Dalam tuturan ritual, tidak terjadi alih-fungsi sebagaimana komunikasi sehari-hari. Reaksi, tanggapan, ataupun jawaban dari P2 tidak dalam bentuk verbal (berupa kata-kata), melainkan dalam bentuk kejadian, peristiwa, ataupun hal-hal yang berkaitan dengan kualitas hidup P1.

Pemakaian pronomina tite, kame, dan mio dalam TRKEL menggambarkan himpunan, kesatuan, dan kebersamaan. Pronomina tite sebagai pronomina 1JM (ink.) menyatakan kesatuan antara mereka yang masih hidup dengan orang-orang yang telah meninggal. Perhatikan hubungan yang terdapat pada penggalan data A1 berikut ini.

Ti taan tou khirin ehan ‘kita bersepakat’ Mio molo kame dore ‘tunjukkan kami jalan’ Pronomina tite sebagai pronomina 1JM (ink.) dalam konteks penggalan tuturan ritual di atas mencakup pula mio. Pronomina tite dalam hal ini meliputi penutur, hadirin, dan leluhur.

Pronomina kame sebagai pronomina 1JM (eks.) yang dimaksudkan adalah penutur dan hadirin. Para leluhur, dalam konteks ini, tidak termasuk dalam cakupan pronomina kame sejalan dengan sifat ekslusifnya. Pemakaian pronomina mio (2JM) menggambarkan himpunan orang-orang yang telah meninggal. Leluhur bukanlah arwah


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 orang per orang, melainkan suatu keseluruhan

yang diyakini telah menjadi bagian dari Rera Wulan Tana Ekan.

Berdasarkan pemakaian pronomina dalam TRKEL tampak keutuhan yang dibangun antara penutur, hadirin, dan leluhur. Keutuhan ini mensyaratkan kesatuan dan kebersamaan. Keutuhan tersebut, dalam masyarakat kelompok etnik Lamaholot, merupakan syarat mutlak dalam memperjuangkan kesejahteraan lahir dan batin. Keutuhan itu pulalah merupakan jaminan bagi masyarakat kelompok etnik Lamaholot agar terbebas dari malapetaka dan kematian. Di samping pemakaian pronomina sebagai subjek, terdapat pemakaian pronomina sebagai objek. Mengacu pada penggalan data A1 tersebut di atas, pemakaian pronomina sebagai objek, yakni mio (wahankae), seperti pada bagian penggalan: Go mayan mio doen mio wahankae (1TG, panggil, 2JM, berseru, 2JM, seluruh = kumenyapa dan berseru kepada kamu semua) ‘kuajak kalian semuanya’

Jika dikaitkan dengan kependekan dan keringkasan bentuk ekspresi, tampak bahwa dalam TRKEL digunakan pronomina persona sebagai objek dalam bentuk yang lengkap. Bentuk di atas, jika dikaitkan dengan pemakaian sehari-hari, akan diekspresikan, sebagai berikut:

(1) Go maya-ne go doe-ne

1TG panggil-2JM 1TG berseru-2JM (2) Go maya-ne no’on doe-ne

1TG panggil-2JM dan berseru-2JM

Meskipun ada pilihan bentuk yang paling singkat dan sederhana, dalam tuturan ritual dipilih bentuk yang lebih lengkap. Apalagi dalam hubungan sosial vertikal, pronomina sebagai objek jarang digunakan dengan alasan kesantunan. Pronomina persona sebagai objek tidak biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Dalam pemakaian sehari-hari, pronomina persona sebagai objek umumnya digantikan oleh pemarkah diatesis objektif (objective voice) –ne. Demikian pula pemakaian adverbia wahankae ‘semua’ yang sesungguhnya telah tercakup dalam ciri kejamakan objek. Penggunaan adverbia wahankae dalam konteks ini bermaksud menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan leluhur ialah suatu keseluruhan (wholeness).

Pemakaian semacam ini bermakna, di samping kesantunan, juga bermakna kelugasan/ kepolosan. Penutur menyampaikan kepada wujud tertinggi melalui leluhur segala sesuatu (keluhan, permintaan, harapan) secara ‘apa adanya’. Hal ini sejalan dengan prinsip hidup kelompok etnik ini yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.

Penggunaan pronomina posesif pun merupakan unsur morfosintaksis yang dibahas berkaitan dengan TRKEL. Pronomina posesif yang terdapat dalam data A1, yakni mi’on (=kamu punya) dalam bagian penggalan data berikut ini. Go hin tula uma lango mi’on

1TG ASP buat rumah rumah 2JM-punya

Ti tula uma lango mi’on

1JM (ink) buat rumah rumah 2JM-punya

Bentuk uma lango mi’on, dalam pemakaian sehari-hari, jarang digunakan meskipun bentuk tersebut berterima. Bentuk yang lazim digunakan sehari-hari, yakni mio umha-ke langu-ke, yang membolehkan lesapnya mio sehingga menjadi umha-ke langu-ke. Bentuk –ke sebagai pemarkah posesif dapat menggantikan secara penuh pronomina personanya.

Pemakaian bentuk lengkap berkaitan dengan pronomina posesif bermakna kesantunan, sama dengan pemakaian pronomina persona sebagai objek. Pronomina posesif (termasuk pronomina persona sebagai objek) yang mengacu pada supranatural, dalam hal ini leluhur, tidak digantikan oleh pemarkah posesif. Di samping penggunaan pronomina, hal lain yang dikaji dalam TRKEL yang tercakup di dalam morfosintaksis adalah penggunaan konstruksi susun-balik (inversi), konstruksi dengan verba mendahului subjek. Karena BLDN berdiatesis agentif dan objektif dengan persesuaian antara subjek dan verba, di samping tidak mengenal bentuk pasif, maka konstruksi verba mendahului subjek tidak berterima. Walaupun tidak terdapat konstruksi verba mendahului subjek (maksudnya, inversi), konstruksi dasar menjadi tolok ukur untuk menentukan konstruksi susun-balik. Dalam konteks BLDN, dan dalam konteks pembahasan ini, yang dimaksudkan dengan konstruksi susun-balik adalah konstruksi alternasi, atau yang bukan berkonstruksi SVO.

Data menunjukkan bahwa tidak terdapat konstruksi alternasi. Dalam TRKEL hanya terdapat konstruksi SVO. Konstruksi ini secara tipologis berdiatesis agentif. Dengan demikian, pronomina SUBJ pada konstruksi SVO dalam TRKEL selalu berperan sebagai pelaku/ agen. Peran agen ini mengandung pengertian bahwa keterlibatan atau campur tangan leluhur sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat kelompok etnik Lamaholot.

Hal berikut yang dikaji dalam TRKEL terkait dengan aspek morfosintaksis, yaitu konstruksi elips. Bentuk elips yang digunakan teridentifikasi berikut ini.

Ba’at dimaaro k∂ lieka Berat buat-2JM ringan Doan dima’aro daheka’


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Jauh buat-2JM dekat

Leman dima’aro woloya’ Dalam buat-2JM dangkal Ka’an pa’o bo’e guna gotak mio 1TG-buat memberi makan 2JM Ka’an mio aeke p∂ ne’ek∂

1TG-buat 2JM muka-POSS2JM terang Contoh-contoh di atas memperlihatkan pelesapan SUBJ. Pelesapan itu dimungkinkan karena secara tipologis SUBJ telah menyatu dengan verba dalam bentuk pemarkah diatesis agentif. Pronomina persona sebagai SUBJ dalam contoh-contoh di atas dapat ditentukan berdasarkan pemarkah diatesis pada verbanya. Verba bermarkah diatesis, yakni (di-)ma’aro dan ka’an. Verba ma’aro terdiri atas pemarkah diatesis agentif ma’an dan pemarkah diatesis objektif –ro (mengacu pada kesulitan: jarak yang jauh, dan medan yang dalam/terjal), sedangkan verba ka’an hanya mengandung pemarkah diatesis agentif.

Verba ma’an menandakan SUBJ 2TG mo’e ataupun 2JM mio, sedangkan verba kaan menandakan SUBJ 1TG. Sebagaimana asas kebersamaan dan keutuhan yang tergambar dalam TRKEL, SUBJ orang ke-2 untuk verba ma’an berupa jamak yang dapat membenarkan asas kebersamaan dan keutuhan dimaksud. Sementara SUBJ untuk verba ka’an haruslah 1JM, dan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah penutur.

Berbeda dengan pronomina posesif yang selalu lengkap pemakaiannya, dalam TRKEL pronomina persona sebagai SUBJ dan sebagai OBJ sering berupa pemarkah yang secara morfosintaksis tercakup di dalam verba. Pemarkah tersebut menggambarkan diatesis, baik agentive voice maupun objektive voice. Pemakaian pemarkah diatesis tersebut memberikan penekanan pada verba. Artinya, maksud yang tersirat dalam verba merupakan inti harapan dan permintaan penutur bersama orang orang yang diwakilinya.

Inti harapan dan permintaan berdasarkan data di atas adalah verba-verba: dahe’, wolo, pa’o bo’e guna gotak, dan mio aeke p∂ ne’ek.

3.2 Struktur Penuturan

Tuturan ritual umumnya memiliki urutan penuturan yang lebih apik dibandingkan dengan tuturan biasa. TRKEL memiliki struktur penuturan: pembukaan/ pendahuluan, inti/ isi, dan penutup. Dasar pemikiran mengenai bagian-bagian TR ini tergolong sederhana, yakni bahwa setiap pertemuan dalam kelompok etnik Lamaholot selalu ada tiga tindakan, yakni mayan ‘memanggil’ atau ahak ‘menyapa’, marin ‘mengatakan, menyampaikan maksud’, dan t∂nan ‘pamit’. Ketiga hal ini dapat disepadankan dengan

menyapa, mengungkapkan maksud/ isi hati, dan

pamit dalam bahasa Indonesia.

Tindakan mayan lazim digunakan untuk mengawali pertemuan, marin adalah tindakan menyampaikan maksud, dan t∂nan adalah tindakan verbal yang mengindikasikan saat akan berpisah/ meninggalkan mitra tutur. Dalam bahasa Lamaholot, struktur sebagaimana disebutkan di atas dapat menjadi antara tuturan ritual dan tuturan biasa. Bentuk lingual yang digunakan untuk menyapa dalam tuturan biasa, antara lain:

a. Sepat ki.

singgah dulu ‘Singgah sebentar’ b. Sepat hala?

singgah tidak ‘Tidak singgah dulu?’ c. Mala d∂ga?

lewat ke mana ‘Ke mana?’ d. D∂gaku beto?

dari mana datang ‘Dari mana?’

e. H∂gul∂ b∂∂t∂n∂ uli pe mala ga? pagi buta masih tapi lewat mana ‘Ke mana pagi-pagi ini?’

f. Maã r∂ma.

2JM-buat malam ‘Sampai malam’ g. Tutun to’u ki’.

bakar satu dulu ‘merokok dulu’ h. Golo’ k∂bako ki’.

gulung tembakau dulu ‘merokok dulu’ i. Sepat p∂n∂rhi-ko/-ke ki’

‘singgah istirahat-2TG/-2JM dulu’ ‘Singgah istirahat sebentar’ j. Hip’a-ko/-ke ki’

berteduh-2TG/-2JM dulu ‘Berteduh sebentar (dari kehujanan)’

Contoh di atas merupakan bentuk verba tegur-sapa dalam bahasa Lamaholot yang dituturkan oleh penyapa (adressor) (P1) yang sedang berada di tempat tinggalnya terhadap pesapa (adressee) (P2) yang secara kebetulan lewat dan keberadaannya (mereka) terjangkau oleh pandangan dan suara penyapa.

Bentuk tegur-sapa yang dipilih tidak bersifat manasuka, tetapi berdasarkan konteks, terutama berdasarkan kondisi yang dialami/yang dihadapi oleh pesapa. Jika pesapa sedang kehujanan, maka penyapa akan memilih (a) atau (j). Pilihan (a) tidak secara eksplisit menggambarkan maksud penyapa bahwa orang yang tampak olehnya sedang kehujanan perlu diberikan tempat berteduh. Pesapa pun,


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 berdasarkan situasi, menafsirkan bahwa ia

(mereka, jika pesapanya jamak) diajak singgah untuk berteduh karena si penyapa ingin agar ia (mereka) tidak lebih lama kehujanan. Pilihan (b) secara eksplisit menggambarkan maksud penyapa. Bagi masyarakat kelompok etnik Lamaholot, tegur sapa dengan bentuk lingual seperti (a) dan (j) tidak mengandung pengertian basa-basi.

Berbeda halnya jika pesapa tidak dalam kesulitan, maka penyapa mungkin akan memilih bentuk lingual seperti pada (b) atau (f). Pilihan (b) mengandung pengertian bahwa penyapa sesungguhnya tidak menghendaki pesapa singgah di tempatnya. Jika terdapat sedikit kesungguhan dalam mengajak, maka dipilihnya bentuk lingual (sapaan) lain, yakni (a) Sepat ki’ ‘singgah dulu/ sebentar’. Pilihan (f) tidak mengandung ajakan. Penyapa sepenuhnya berbasa-basi, juga tidak berniat mengecek bagaimana, mengapa, dan untuk apa pesapa sampai kemalaman.

Pilihan (a) dan (j) menggambarkan sikap saling menolong, sedangkan pilihan (b) dan (f) menggambarkan aspek kesopanan dalam kehidupan bermasyarakat. Uraian ini tidak bermaksud memaparkan secara rinci sikap berbahasa sebagai cermin budaya yang ditampakkan pada pemakaian bentuk lingual tegur-sapa, melainkan sebagai bukti bahwa tindakan menyapa dalam tuturan sehari-hari berbeda dengan tindakan menyapa dalam tuturan ritual.

Bentuk lingual untuk menyapa merupakan pemarkah dimulainya suatu pembicaraan. Dalam tuturan ritual, pemarkah lingual berawalnya tuturan ialah:

(1) Ama R∂ra Wulan Ema Tana Ekan Ina Ama Koda K∂wokot

Inak teti lango amak lali pita

Sapaan awal yang ditujukan kepada pelibat yang tak tampak (dalam konteks supranatural) secara serta-merta mengubah situasi dari tuturan biasa ke tuturan ritual. Para pelibat yang hadir berubah perhatian dengan melibatkan seluruh pikiran dan perasaan mereka, seakan pelibat yang tak tampak itu hadir di tengah-tengah mereka, mendengarkan sapaan petutur, dan selanjutnya mau menerima permintaan mereka.

Bagian berikut dari struktur tuturan ritual adalah marin, yang sering secara lengkap diungkapkan dalam bentuk paralel tutu’ marin. Bagian ini berisi maksud penyampaian berupa permintaan/ permohonan, yang dalam bahasa Lamaholot diungkapkan dengan l∂ta’ neten atau gaha’. Bentuk lingual yang dipilih untuk bagian ini tidak bersifat baku. Cara mengekspresikannya bergantung pada kreativitas petutur. Bagian ini dapat diidentifikasikan melalui dua cara yakni, (a) mengidentifikasi bentuk lingual sebagai pembuka

tuturan dan (b) mengidentifikasi bentuk lingual yang berisi maksud dan tujuan tuturan.

Setelah batas akhir bentuk lingual pembuka terdapat inti tuturan ritual. Perhatikan contoh berikut ini.

(2) R∂ra Wulan Tana Ekan Ina’ Ama’ Koda K∂wokot Go’ hi tula’ uma lango mi’on Rae ile dihau lau watan di dai ……….

Dua baris pertama merupakan bagian pembukaan sebagai sapaan. Baris ketiga dan seterusnya merupakan isi/ inti tuturan. Pada bagian tersebut digunakan bentuk lingual kreatif. Bentuk lain dalam mengungkapkan isi pada baris kedua dan ketiga kutipan di atas sebagai berikut:

(3) Go’ hi k∂tula uma lango mio Go l∂ta inak-amak mio wahankae

Rae ile di lodo’ ha’uke lau watan digere da’ike

Petutur pada contoh (2) menyebut leluhur secara tidak eksplisit, sedangkan pada contoh (3), para leluhur disebut secara eksplisit inak-amak. Contoh (2) memperlihatkan pelesapan penyebutan leluhur dan menggantikannya dengan metafora ‘ruang’ yang diyakini sebagai tempat tinggal para leluhur. Penyebutan ile ‘gunung’ dan watan ‘pantai’ bermakna ‘kesatuan dalam keseluruhan’.

Perihal bagian akhir dari suatu keseluruhan tutural ritual terdapat dua bentuk pengungkapannya. Kedua bentuk dimaksud adalah bentuk verbal dan bentuk nonverbal. Pemilihan (dan) pemakaian kedua bentuk ini bergantung pada maksud/tujuan tuturan. Jika tuturan itu diucapkan pada saat memberikan persembahan kepada leluhur, maka ekspresi verbalnya adalah:

(4) Gẽ molo menu wahan∂ Kã purek kenu dore

Ekspresi verbal ini bersamaan dengan ekspresi nonverbal berupa menuangkan tuak ke tanah sebagai simbol memberikan persembahan kepada leluhur.

Berbeda halnya jika tuturan ritual untuk menentukan kebenaran termasuk mencari kesalahan yang menyebabkan musibah, maka ekspresi verbalnya selalu berkaitan dengan tindakan nonverbal yang dilakukan segera setelah selesai tuturan. Contoh berikut ini adalah tuturan ritual untuk mencari kesalahan yang menyebabkan kematian seseorang; upacaranya disebut Belo Tapo ‘potong kelapa’.


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 lein liman bera nuhun d∂la

ti na matana’ naan turun∂ pe tapo k∂saet ∂ka napun

Sebagaimana nama upacaranya, ekspresi verbal berupa tuturan ritual selalu diikuti dengan pemotongan kelapa. Jika kelapa terbelah secara sempurna dalam sekali potong, maka kesalahan ataupun kebenaran yang dimaksudkan dalam inti tuturan terbukti. Sebaliknya, jika kelapa terbelah secara tidak sempurna, maka pembuktian dinyatakan gagal dan perlu diadakan pembuktian ulang.

Di samping bagian penutup tuturan ritual bermarkah seperti kedua contoh di atas, terdapat bagian penutup yang tidak bermarkah, atau dengan kata lain, tidak terdapat ekspresi verbal maupun nonverbal yang menyatakan bahwa sebuah tuturan ritual akan berakhir. Perhatikan contoh berikut ini (petikan sebagian tuturan ritual untuk pembersihan diri dari kesalahan sekaligus memohon kesembuhan).

(6) ……….

Ake g∂t∂ koda muri, ake dahan khirin muri

Koda na’en gohuka’, khirin na’ne wahaka’

Ele na’en patero kae’

Berdasarkan struktur tuturan ritual dengan pemarkah pembukaan, isi, dan penutup yang berbeda, dapat dikelompokkan tuturan ritual kelompok etnik Lamaholot menjadi (1) tuturan ritual dengan struktur lengkap; dan (2) tuturan ritual dengan struktur tidak lengkap. Tuturan ritual dengan struktur lengkap digunakan untuk maksud memberikan persembahan, mencari kebenaran, meminta restu, memohon penyembuhan, ataupun pengukuhan, sedangkan tuturan ritual dengan struktur tidak lengkap digunakan untuk maksud memohon penyertaan dalam usaha ataupun dalam perjalanan. Struktur lengkap digunakan jika tuturan ritual diucapkan pada upacara yang memanfaatkan media/perangkat penunjang, seperti hewan, tuak, dll. Sebaliknya, struktur tak lengkap digunakan jika tuturan disampaikan pada upacara yang tidak menggunakan media penunjang.

4. SIMPULAN

Tulisan ini membahas struktur kebahasaan dan penuturan tuturan ritual TRKEL. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara struktur bahasa dan struktur penuturan TRKEL yang dilihat pada tataran fonologi, morfosintaksis, dan budaya berbahasa masyarakat

penutur BL. TRKEL memperlihatkan keserasian hubungan antara struktur bahasa, keindahan bahasa, dan budaya bertutur masyarakat penuturnya.

DAFTAR PUSTAKA

Beals, Alam R. 1967. Culture in Process. New York: Holt Reinhart dan Winston.

Bock, Philip K. 1972. “Social Structure and Language Structure.” Dalam Joshua A. Fishman (ed), Reading in the Sociology of Language. Paris: Mouton.

Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana (Terjemahan oleh I. Soetikno dari judul asli: Discourse Analysis). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Casson, Ronald W. 1981. Language, Culture, and Cognition. London: Collier Macmillan Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic

Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction.Oxford: Blackwell.

Fox, James J. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

Kuipers, Adam dan Jessica Kuper (eds). 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial (terjemahan oleh Haris Munandar, dari judul asli: The Social Science Encyclopedia). Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Malmkjaer, Kirsten, dan James M. Anderson (eds.). 1991. The Linguistics Encyclopedia. New York: Rutledge.

Poedjosudarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Sabon Ola, Simon. 1998. “Bahasa, Gambaran Budaya Penuturnya (Tinjauan Awal terhadap Ungkapan Bahasa Kedang).” Linguistika, Tahun V, 6: 21—27.

Sanga, Felysianus, dkk. 1995. Sastra Lisan Lamaholot. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Saville-Troike, Muriel. 1982. The Ethnography of Communication. Oxford: Basil Blackwell.


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume I No. 2 Oktober Tahun 2005 Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra,

Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

White, Leslie dan Beth Dillingham. 1973. The Concept of Culture. New York: Burgess.

Wierzbicka, Anna. 1991. Cross-Cultural Pragmatics, The Semantics of Human Interaction. New York: Mouton de Gruyter.