Analisis Stabilisasi Harga Pangan Di Indonesia.

ANALISIS STABILISASI HARGA PANGAN DI INDONESIA

MOHAMMAD ALFIE REZA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Stabilisasi Harga
Pangan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2015

Mohammad Alfie Reza
NRP H151120351

RINGKASAN
MOHAMMAD ALFIE REZA. Analisis Stabilisasi Harga Pangan di
Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan TANTI NOVIANTI.
Pemerintah mempunyai tugas pokok untuk mengendalikan komoditas
pangan dalam jumlah yang cukup dan dengan harga yang terjangkau di seluruh
wilayah Indonesia. Kenaikan dan gejolak harga yang terjadi pada komoditas
pangan akan menurunkan kesejahteraan rakyat, terutama rakyat yang
berpenghasilan rendah dan juga memicu kenaikan laju inflasi. Beras merupakan
komoditas pangan utama masyarakat Indonesia sementara cabai dan bawang
merah adalah kelompok bumbu yang digunakan sebagai penyedap rasa dan sangat
dibutuhkan oleh masyarakat dalam mengolah makanan. Gejolak harga yang
terjadi pada ketiga komoditas ini akan berdampak kepada masyarakat luas selaku
konsumen dan juga para petani selaku produsen komoditas tersebut. Oleh karena
itu, pemerintah harus melakukan intervensi untuk menstabilkan harga di pasar.
Tujuan utama penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi harga komoditas tersebut serta mengestimasi nilai willingness to
pay (wtp) konsumen di pasar. Metode survey dilakukan untuk mengestimasi nilai

wtp dan pendekatan vector error correction model (vecm) untuk menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi harga. Data yang digunakan adalah data primer
dengan responden para konsumen di Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk
Beras Cipinang dan data sekunder yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan
publikasi nasional serta internasional.
Hasil empiris menunjukkan bahwa kenaikan jumlah stok dan pasokan dapat
menurunkan harga komoditas sejak bulan pertama dan mulai stabil pada bulan
ketiga. Volume impor dan harga internasional mempunyai porsi yang semakin
meningkat dalam menjelaskan dinamika harga. Harga referensi impor untuk cabai
rawit dan bawang merah belum memperhitungkan variabel wtp konsumen.
Rekomendasi yang disarankan adalah pemerintah perlu mengembangkan pasar
lelang baik di daerah produsen dan konsumen untuk menjaga kelancaran pasokan
dan stok. Selain itu pemerintah perlu mempertimbangkan wtp konsumen dalam
menentukan harga referensi di pasar. Untuk bisa terlepas dari ketergantungan
impor maka perlu suatu strategi tentang perencanaan produksi yang disesuaikan
dengan kebutuhan pasar dan kondisi geografi, serta skema distribusi dan tata
niaga yang jelas.
Kata Kunci : beras, cabai rawit merah, bawang merah, stabilisasi harga, vecm, wtp,
harga referensi impor


SUMMARY
MOHAMMAD ALFIE REZA. Analyses of Food Price Stabilization in Indonesia.
Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and TANTI NOVIANTI .
The government main task is to control the availability of food commodities
at affordable prices in all region of Indonesia. The rise and price fluctuations in
these commodities will reduce people welfare, especially low-income people and
also trigger an increase in the rate of inflation. Rice is the staple goods of most
people, while chilies and shallots is a kind of spices that is needed for food flavor.
Price fluctuations that occur in these commodities will have an impact on the
public as consumers and farmers as producers .The government must intervene to
stabilize food prices in the market.
The main objective of this study is to analyze the factors that affect the price
of the commodities and try to estimate the willingness to pay (wtp) of consumers
in the market. Survey method conducted for estimating the value of wtp and
Vector Error Correction Model (vecm) to analys factors that affect the price. The
data used is primary data whose respondents are buyer in Pasar Induk Kramat Jati
and Pasar Induk Beras Cipinang, while secondary data collected from various
sources from national and international publications .
The empirical results show that the increase in the amount of stock and
supply can lower commodity prices since the first month and began to stabilize in

the third month. The volume of imports and international prices have increased
portion in explaining the dynamics of the price. Import reference price for small
red chilies and shallots have not cover consumer wtp variables. Suggested
recommendation is that the government needs to develop the auction market in
both producers and consumers region to maintain smooth supply and stock. In
addition, the government needs to consider the consumer wtp in determining the
reference price in the market. To be apart of import dependence, it is necessary to
establish production planning strategies that are tailored to the needs of the market
and geography, as well as the clear scheme of distribution and trade system.
Keywords : rice, small red chilies, shallots, price stabilization, vecm, wtp, import
reference price

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS STABILISASI HARGA PANGAN DI INDONESIA

MOHAMMAD ALFIE REZA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir D.S Priyarsono, MS

Judul Tesis : Analisis Stabilisasi Harga Pangan di Indonesia

Nama
: Mohammad Alfie Reza
NIM
: H151120351

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi
Ketua

Dr Tanti Novianti, SP, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr

Tanggal Ujian:
19 Desember 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah kebijakan stabilisasi harga pangan, dengan judul
Analisis Stabilisasi Harga Pangan di Indonesia.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus,
SP, MSi selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Tanti Novianti, SP, MSi
selaku anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir D.S

Priyarsono, MS selaku penguji pada sidang tesis dan juga Bapak Dr Alla Asmara,
SP, MSi selaku wakil dari komisi pendidikan atas saran dan masukannya demi
perbaikan tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan
kepada Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola
Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar
penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada,
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Tak lupa ucapan
terima kasih kepada Bapak H. Suminto (Pasar Kramat Jati) dan Bapak Ery
Muhtarsyid, SE (Pasar Beras Cipinang) yang telah membantu penulis dalam
melakukan pengumpulan data primer di kedua pasar serta untuk teman-teman IPB
Kemendag atas segala bantuannya selama penulis menyelesaikan pendidikan di
IPB. Ungkapan terima kasih terdalam untuk istriku, Dwi Nurul Komariah, SPd
dan anakku tercinta, Muhammad Bilal Tsaqif atas segala doa, kasih sayang,
dukungan, dan kesabaran yang diberikan serta orang tua yang senantiasa
mendoakan sehingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung

jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi
dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di
masa mendatang.

Bogor, Januari 2015
Mohammad Alfie Reza

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
5
6
6
7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran Penelitian
Hipotesis Penelitian


7
7
12
15
16

3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis

17
17
21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

21

Analisis Faktor yang Mempengaruhi Harga Beras, Cabai Rawit dan
Bawang Merah
Analisis Willingness to Pay Konsumen Beras, Cabai Rawit dan
Bawang Merah
Pembahasan

21
31
34

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Implikasi Kebijakan
Saran Penelitian Lanjutan

36
36
37
37

DAFTAR PUSTAKA

38

LAMPIRAN

41

RIWAYAT HIDUP

60

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Variabel dan sumber data sekunder dalam penelitian
Variabel WTP
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga cabai rawit merah
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga bawang merah
Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras

14
16
18
20
21
30
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Pergerakan harga beras medium nasional
Pergerakan harga cabai dan bawang merah nasional
Kerangka Pemikiran Penelitian
Hasil analisis IRF untuk beras
Hasil analisis IRF untuk cabai rawit merah
Hasil analisis IRF untuk bawang merah
Hasil analisis FEVD beras
Hasil analisis FEVD cabai rawit merah
Hasil analisis FEVD bawang merah

2
3
12
23
24
25
26
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Uji stasioneritas
Uji lag optimum
Uji stabilitas VAR
Uji kointegrasi
Hasil estimasi VECM beras
Hasil estimasi VECM cabai rawit merah
Hasil estimasi VECM bawang merah
Hasil IRF beras
Hasil IRF cabai rawit merah
Hasil IRF bawang merah
Hasil FEVD beras
Hasil FEVD cabai rawit merah
Hasil FEVD bawang mrah
Distribusi Nilai WTP
Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP

41
46
48
49
51
52
53
55
55
56
56
57
57
58
59

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Stabilisasi harga pangan merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir
setiap negara di dunia. Beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas harga
pangan adalah kenaikan populasi penduduk, perubahan iklim, hambatan
perdagangan internasional dan tren penggunaan biofuel. Penelitian yang dilakukan
Trostle (2008) menyebutkan bahwa harga pangan dunia seperti biji-bijian dan
minyak sayuran yang merupakan dua komoditas utama dalam rumah tangga
mengalami peningkatan harga yang sangat tajam hingga 60 persen hampir di
seluruh belahan dunia selama tahun 2007-2008.
Harga komoditas pangan yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani
sebagai produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen dan berpotensi
menimbulkan keresahan sosial (Sari 2010). Oleh karena itu, hampir semua negara
melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok dan
strategis. Indonesia saat ini juga masih berusaha untuk mencari solusi
permasalahan fluktuasi harga pangan di dalam negeri. Sampai saat ini pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan 2 (dua) Undang-undang terkait ketahanan dan
stabilitas harga pangan, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Amanat Undang-undang tersebut adalah pemerintah pusat dan daerah
bertugas mengendalikan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan/atau barang
penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Barang-barang
tersebut harus tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, serta pada
harga yang wajar untuk menjaga keterjangkauan daya beli di tingkat konsumen
sekaligus melindungi pendapatan produsen.
Harga komoditas pangan mempunyai peranan penting dalam pengendalian
inflasi. Kenaikan harga bahan pangan juga digolongkan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) sebagai komponen inflasi bergejolak (volatile foods), karena sifatnya yang
mudah dipengaruhi oleh masa panen, gangguan alam, harga komoditas bahan
pangan domestik dan internasional. Porsi sumbangannya yang cukup signifikan
terhadap inflasi dan responnya yang cepat terhadap berbagai shocks membuatnya
layak untuk dijadikan leading indicators inflasi (Prastowo et al. 2008). Hasil
penelitian Resnia (2012) juga menunjukkan bahwa harga komoditas pangan
cenderung meningkat sebesar 5 – 12 persen per tahun selama periode 1999-2011.
Beberapa komoditas pangan yang penting dalam pengendalian inflasi dan
cenderung mengalami kenaikan harga adalah beras dan dari kelompok bumbubumbuan yaitu cabai dan bawang merah. Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk
komoditas ini cenderung meningkat setiap tahunnya dan persentase pengeluaran
rata-rata rumah tangga untuk komoditas ini juga cenderung tetap (Tabel 1).
Kondisi ini berbeda dengan teori yang disampaikan oleh Engel yang
menyatakan bahwa peningkatan pendapatan akan menaikkan kesejahteraan
masyarakat sehingga pangsa pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga akan
semakin berkurang. Pangsa pengeluaran pangan untuk komoditas beras, cabai dan
bawang merah yang cenderung tetap menunjukkan bahwa masyarakat masih
menggunakan pendapatannya untuk membeli komoditas pangan ini.

2
Tabel 1 IHK dan Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga 2008 - 2013
Komoditas
Beras :
IHK
Pangsa Pengeluaran (%)
Bumbu-bumbuan (cabai
dan bawang merah) :
IHK
Pangsa Pengeluaran (%)
Sumber : BPS (2014)

Tahun
2010
2011

2008

2009

108.36
10.15

114.12
9.57

134.06
8.86

116.87
1.12

125.24
1.08

164.31
1.09

2012

2013

153.83
8.89

170.83
7.48

178.39
8.24

165.72
1.06

150.69
1.02

223.77
0.96

Beras merupakan komoditas strategis yang dapat mempengaruhi kestabilan
ekonomi, sosial bahkan politik. Komoditas beras masih menjadi salah satu
komoditi kunci dalam mempengaruhi kestabilan harga-harga umum.Kenaikan
harga beras dapat memicu kenaikan harga barang-barang lain (Sari 2010). Pasca
kemerdekaan Indonesia tahun 1945, setiap pemimpin bangsa Indonesia berusaha
untuk menyeimbangkan harga beras. Di satu sisi pemerintah berusaha agar harga
beras tetap rendah bagi konsumen dan di sisi lain memberikan pendapatan tinggi
untuk petani padi. Pada awal tahun 1970, pemerintah orde baru banyak
mengeluarkan anggaran untuk subsidi input, infrastruktur pertanian dan program
lainnya untuk meraih swasembada beras. Pada masa ini, anggaran untuk
menunjang produksi beras berasal dari penjualan minyak bumi dan pemerintah
mendirikan Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mengelola persediaan beras
nasional.
Pasca krisis 1998, pemerintah Indonesia meliberalisasi perdagangan beras,
memprivatisasi Bulog dan menghapuskan hambatan perdagangan. Sampai dengan
tahun 2002 swasembada panngan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap
beras impor meningkat dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras
menjadi tidak stabil (Sari 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Resnia (2012)
menyatakan bahwa pada periode 1999-2011 beras mengalami fluktuasi harga
dengan nilai koefisien variasi sebesar 13.7 persen.
Sampai saat ini Bulog tidak lagi menguasai atau memonopoli perdagangan
beras di Indonesia, sehingga harga beras di pasar domestik dapat dipengaruhi
berbagai faktor. Bulog hanya diberi amanat untuk mengelola pengadaan dan
persediaan beras jenis medium yang merupakan konsumsi utama masyarakat
Indonesia.Harga beras medium memiliki tren yang terus meningkat (Gambar 1).
Peningkatan harga ini jika terus dibiarkan akan menaikkan tingkat inflasi dan
mengurangi daya beli masyarakat.
Berbeda dengan beras, cabai dan bawang merah bukan merupakan bahan
pangan pokok masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, cabai dan bawang
merah merupakan produk hortikultura Indonesia yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat Indonesia. Kedua komoditas ini adalah bumbu utama dalam hampir
setiap masakan di seluruh nusantara. Konsumsi cabai di Indonesia selama lima
tahun terakhir (2008-2012) menunjukkan bawah jenis cabai yang paling banyak
dikonsumsi oleh rumah tangga di Indonesia adalah cabai merah, cabai rawit dan
yang paling kecil adalah cabai hijau.

3

9600
9400
9200
9000
8800
Rp/Kg 8600
8400
8200
8000
7800
Jan 13
Feb 13
Mar 13
Apr 13
Mei 13
Juni 13
Juli 13
Agts 13
Sept 13
Okt 13
Nop 13
Des 13
Jan 14
Feb 14
Mar 14
Apr 14
Mei 14
Juni 14
Juli 14
Agts 14
Sept 14
Okt 14
Nop 14
Des 14

7600

Sumber : Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis (Bapokstra)
Kementerian Perdagangan (2014)
Gambar 1 Pergerakan harga beras medium nasional periode Jan 2013 – Des 2014
Ditinjau dari sisi stabilitas harga, cabai rawit merah merupakan komoditas
yang mempunyai stabilitas harga paling rendah dengan koefisien variasi sebesar
43.01 persen, dibandingkan dengan cabai merah besar dengan nilai 22.04 persen,
cabai keriting sebesar 26.28 persen dan cabe rawit hijau sebesar 27.28 persen
(Bappenas 2013). Cabai bisa dikonsumsi secara langsung oleh rumah tangga atau
digunakan sebagai bahan baku untuk industri makanan dalam bentuk cabai bubuk
dan cabai kering. Di Indonesia, konsumsi cabai sebagian besar masih dalam
bentuk cabai segar. Bawang merah merupakan jenis rempah-rempah yang disukai
masyarakat Indonesia yang biasa digunakan sebagai bumbu masakan untuk
menambah kelezatan suatu hidangan, atau pelengkap dari suatu makanan serta
bisa juga dipakai untuk pengobatan. Sama seperti cabai, harga bawang merah juga
cenderung meningkat (Gambar 2).
Pemerintah tidak mempunyai badan khusus untuk mengintervensi pasar
dalam rangka stabilisasi harga cabai dan bawang merah. Pemerintah
menggunakan kebijakan stabilisasi yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian
dan Kementerian Perdagangan. Koordinasi antara kedua kementerian teknis ini
dalam pengambilan kebijakan sangat berperan penting dalam stabilisasi harga di
pasar.
Kebijakan yang sering dilakukan untuk meredam gejolak kenaikan harga
adalah dengan impor. Kebijakan ini seharusnya hanya bersifat jangka pendek dan
sementara karena barang impor dari negara lain biasanya sudah terdistorsi oleh
subsidi yang diberikan oleh pemerintah negara asal barang impor (Sawit 2003).
Kebijakan impor juga akan dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar
internasional dan nilai tukar yang berlaku pada periode pelaksanaan impor
(Cinthia 2013).

4
.
80000
70000
60000
50000
Rp/Kg 40000

Cabai Merah

30000

Bawang Merah

20000
10000
0
Jan Mar Mei Juli Sept Nop Jan Mar Mei Juli Sept Nop
13 13 13 13 13 13 14 14 14 14 14 14

Sumber : Direktorat Bapokstra, Kemendag (2014)
Gambar 2 Pergerakan harga cabai dan bawang merah nasional periode Jan 2013 –
Des 2014
Namun ternyata kebijakan impor untuk cabai rawit dan bawang merah terus
dilakukan setiap tahun dan jumlahnya terus meningkat dari tahun 2006 s.d 2012,
sehingga pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan untuk membatasi pintu
masuk produk hortikultura berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60
tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 30 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk
Hortikultura. Peraturan ini membatasi pintu masuk produk impor hanya pada
empat pintu masuk yaitu Bandara Soekarno Hatta, Tanjung Perak, Belawan dan
Makassar.
Kebijakan ini ternyata digugat oleh Amerika Serikat (AS) ke World Trade
Organization (WTO), karena dianggap merugikan ekspor AS. Gugatan AS ini
akhirnya menyebabkan Kementerian Perdagangan merevisi aturan impor
hortikultura melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 tahun 2013 tentang
Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang intinya menghilangkan aturan tentang
pintu masuk produk impor dan menggunakan harga referensi atau paritas untuk
melakukan impor hortikultura. Harga referensi impor untuk cabai rawit merah
adalah Rp 28.000/kg dan bawang merah Rp 25.700/kg, yang berarti bahwa
pemerintah dapat membuka kran impor jika harga komoditas tersebut di pasaran
melebihi harga referensi.
Namun kebijakan tentang harga referensi impor ini menjadi bahan kritikan
dari beberapa pihak antara lain para petani cabai dan bawang merah yang menilai
bahwa keputusan tentang besaran harga referensi ini tidak berdasarkan
pertimbangan dari daerah produsen utama cabai dan bawang merah. Pemerintah
seharusnya meminta masukan dan berdiskusi dengan mereka tentang besaran harga
referensi. Selain itu timbul juga pertanyaan mengenai dasar perhitungan yang
digunakan dalam penetapan besaran harga referensi serta kapan dan dimana lokasi
pasar yang akan digunakan untuk memutuskan pembukaan kran impor.

5
Dari sisi perdagangan dalam negeri yang perlu mendapat perhatian adalah
pada fungsi pasar sebagai lembaga yang sangat penting dalam sistem distribusi
komoditas tersebut di pasar. Kemampuan dalam pengendalian terhadap faktorfaktor yang berpengaruh terhadap distribusi komoditas pangan disinyalir dapat
mengurangi tekanan inflasi yang berasal dari komoditas pangan (Prastowo et al.
2008). Salah satu domain yang perlu diperhatikan dalam aliran komoditas
pertanian adalah pasar induk atau pusat distribusi suatu komoditas. Pusat
distribusi atau pasar induk adalah tempat yang berfungsi sebagai penyangga
komoditas utama untuk menunjang kelancaran arus barang baik antar
kabupaten/kota maupun antar provinsi untuk tujuan pasar dalam negeri dan atau
luar negeri.
Distribusi beras, cabai dan bawang merah melibatkan dua pasar induk
utama yaitu Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Pasar Induk Kramat Jati
(PIKJ). Kedua pasar tersebut memiliki jumlah pasokan dan volume transaksi yang
sangat besar sehingga sangat berperan dalam distribusi beras, cabai dan bawang
merah tidak hanya untuk di Jakarta tapi juga ke berbagai daerah dan pulau di
Indonesia. Salah satu fungsi pasar adalah menetapkan nilai atau harga dan
demikian juga yang terjadi pada Pasar Induk Kramat Jati dan Pasar Induk
Cipinang.
Tingkat harga yang terjadi di pasar akan dipengaruhi oleh biaya yang
dikeluarkan oleh pedagang, kompetisi di pasar dan nilai kesediaan membayar
konsumen (Willingness To Pay/WTP). Nilai wtp konsumen merupakan harga
maksimum yang bersedia dibayarkan oleh konsumen karena terkendala anggaran
atau harga minimum yang bersedia dibayarkan karena ragu terhadap kualitas
komoditas jika harganya lebih rendah daripada harga minimum (Le Gall Ely
2009). Nilai WTP ini menggambarkan tingkat harga psikologis yang terjadi di
pasar pada waktu tertentu dan dapat diestimasi dengan melakukan survey pada
konsumen
Perumusan Masalah
Seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014,
pemerintah berkewajiban untuk menyediakan bahan pangan bagi seluruh rakyat
dengan harga yang terjangkau dan stabil. Gejolak dan kenaikan harga yang
cenderung terjadi setiap tahunnya akan sangat berpengaruh terhadap daya beli
masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah. Masyarakat akan
semakin sulit untuk menjangkau tingkat harga komoditas pangan ini. Hal ini akan
berdampak pada kesulitan masyarakat dalam memenuhi bidang lain seperti
kesehatan dan pendidikan (Ahsan et al. 2012).
Untuk mengatasi lonjakan harga maka pemerintah melakukan kebijakan
impor. Namun impor tidak dapat dilakukan terus-menerus, kebijakan impor dalam
jangka panjang diperkirakan merusak harga domestik karena harga barang impor
biasanya lebih murah akibat mendapat subsidi dari negara eksportir. Pemerintah
telah berupaya menekan impor dengan mengeluarkanPeraturan Menteri
Perdagangan Nomor 30 tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura,
yang membatasi pintu masuk produk impor hanya pada empat pintu masuk yaitu
Bandara Soekarno Hatta, Tanjung Perak, Belawan dan Makassar.

6
Kebijakan ini ternyata digugat oleh Amerika Serikat (AS) ke World Trade
Organization (WTO), karena dianggap merugikan ekspor AS. Gugatan AS ini
akhirnya menyebabkan Kementerian Perdagangan merevisi aturan impor
hortikultura melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 tahun 2013
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang intinya menghilangkan aturan
tentang pintu masuk produk impor dan menggunakan harga referensi atau paritas
untuk melakukan impor hortikultura. Harga referensi impor adalah suatu tingkat
harga dimana impor tidak boleh dilakukan jika harga domestik masih berada
dibawah tingkat harga ini (UNCTAD 2012)
Penetapan harga referensi ini masih menggunakan pendekatan biaya
produksi dan distribusi dari sisi produsen yang besarannya masih dipertanyakan
apakah dapat meningkatkan kesejahteraan petani selaku produsen. Sementara dari
sisi konsumen, dengan semakin bertambahnya jumlah pendapatan masyarakat
Indonesia maka kecenderungan harga psikologis konsumen juga akan meningkat.
Harga psikologis konsumen merupakan harga maksimum yang rela dibayarkan
oleh konsumen untuk memperoleh suatu barang/jasa dengan kualitas yang baik
(Le Gall Ely 2009), konsep ini dapat diperkirakan dengan menghitung nilai wtp
konsumen.
Selain tentang impor, pemerintah juga seharusnya memperhatikan tentang
jumlah pasokan dan stok yang ada di pasar. Kelancaran pasokan dan jumlah stok
yang aman di pasar akan dapat menjaga stabilitas harga komoditas pangan. Nilai
kurs dan harga internasional juga perlu dimasukkan sebagai faktor-faktor yang
mempengaruhi harga di pasar.
Berdasarkan paparan di atas, rumusan masalah yang akan dikaji oleh penulis
adalah :
1. Apakah jumlah pasokan, nilai tukar, volume impor, harga internasional dan
stok berpengaruh terhadap harga beras, cabai rawit dan bawang merah?
2. Berapa harga psikologis konsumen untuk beras, cabai rawit dan bawang
merah?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga beras, cabai rawit dan
bawang merah.
2. Mengestimasi harga psikologis untuk beras, cabai rawit dan bawang merah.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan stabilisasi harga pangan.
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
4.

Manfaat dari penelitian ini antara lain:
Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan untuk
menyusun kebijakan stabilisasi harga beras, cabai dan bawang merah.
Petani dan pedagang, hasil penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai
sumber informasi mengenai harga beras, cabai dan bawang merah.
Peneliti, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
penelitian selanjutnya yang lebih mendalam dan luas cakupannya.
Masyarakat umum,hasil penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai
sumber informasi tentang stabilisasi harga pangan.

7
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk menganalisis hubungan antara harga cabai dan bawang merah di
Pasar Induk Kramat Jati dengan jumlah pasokan, nilai tukar, volume impor dan
harga internasional digunakan data deret waktu bulanan dari bulan Januari tahun
2006 sampai dengan Desember 2013. Sedangkan untuk komoditas beras
menggunakan variabel yang sama pada Pasar Induk Beras Cipinang dengan
menambahkan variabel jumlah stok, dengan data deret waktu dari bulan Januari
2007 sampai dengan Desember 2013.
Untuk mengukur harga psikologis pasar akan digunakan analisis wtp yang
dilakukan melalui kuesioner yang diisi oleh konsumen di Pasar Induk Kramat Jati
dan Pasar Induk Beras Cipinang. Beras yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
beras medium yang merupakan jenis beras yang paling banyak diperdagangkan di
Indonesia, dan cabai adalah dari jenis cabai rawit merah yang mempunyai
koefesien variasi terbesar dibandingkan dengan jenis cabai yang lain sehingga
harga cabai rawit merah adalah yang paling tidak stabil.
.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Pangan
Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan
antara kuantitas penawaran dan kuantitas permintaan yang dibutuhkan konsumen.
Jika terjadi kelebihan penawaran maka harga komoditas akan turun, sebaliknya
harga komoditas akan naik jika terjadi kekurangan penawaran. Untuk komoditas
pertanian yang tergantung pada musim, maka fluktuasi harga pada saat musim
panen dan paceklik akan terjadi.
Ketidakstabilan harga tersebut, dapat memukul produsen pada musim panen
dan sebaliknya memberatkan konsumen pada musim paceklik. Disamping itu juga
akan berakibat pada kondisi makroekonomi khususnya peningkatan inflasi.
Menurut Blein dan Longo (2009), fluktuasi harga pangan domestik dapat
disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1. Faktor alam, seperti cuaca, iklim dan musim
2. Berkurangnya jumlah persediaan, khususnya di tingkat rumah tangga dan
masyarakat
3. Tidak adanya organisasi produsen (petani) dalam rantai pemasaran
4. Tidak terjadinya integrasi pasar.
Penelitian Brummer et al. (2013) menyimpulkan bahwa fluktuasi harga
pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan di pasar. Untuk
komoditas hasil pertanian, pasar input dan bahan bakar fosil sangat mempengaruhi
fluktuasi harga. Stok juga dapat mempengaruhi harga, stok yang rendah akan
menyebabkan harga meningkat di pasar.

8
Selain itu, komoditas pertanian juga mempunyai ciri mudah rusak
(perishable) dan memakan ruang (bulkyness), sehingga rantai distribusi produk ini
harus dapat dibuat sependek mungkin. Semakin panjang rantai distribusi maka
kualitas produk akan berkurang dan harga semakin mahal di tingkat konsumen.
Salah satu lembaga yang berperan penting dalam rantai distribusi adalah
keberadaan sarana distribusi perdagangan. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 48 Tahun 2013 Sarana Distribusi Perdagangan adalah sarana berupa pasar
tradisional dan pusat distribusi yang mendukung kelancaran arus barang dan/atau
/jasa. Pusat distribusi ini kita kenal juga dengan istilah pasar induk. Pasar induk
adalah tempat yang berfungsi sebagai penyangga komoditas utama untuk
menunjang kelancaran arus barang baik antarkabupaten/kota, maupun antar
provinsi untuk tujuan pasar dalam negeri dan/atau pasar luar negeri. Kondisi fisik
pasar dan sarana pendukungnya dalam keadaan yang baik akan mampu
mempercepat kelancaran proses distribusi.
Aliran informasi, struktur dan perilaku pedagang di pasar juga akan
mempengaruhi pembentukan harga komoditas. Informasi tentang jenis, kualitas
dan waktu suatu komoditas dibutuhkan oleh konsumen akan sangat bermanfaat
bagi petani dalam perencanaan produksi. Struktur pasar berdampak juga pada
penetapan harga, selama ini petani dalam memasarkan komoditasnya berhadapan
dengan struktur pasar oligopsoni sementara konsumen akhir berhadapan dengan
pasar oligopoli. Hal ini akan berdampak pada kerugian di pihak petani dan
konsumen sementara para pedagang lebih banyak menikmati keuntungan.
Kebijakan Stabilisasi Harga
Kebijakan stabilisasi harga dapat didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk
memperbaiki keseimbangan antara penawaran dan permintaan agregat dalam
perekonomian, dengan tujuan untuk mengurangi inflasi dan memperkuat posisi
neraca pembayaran internasional (Crockett 1981). Usaha-usaha yang dilakukan
dapat berupa kebijakan fiskal dan moneter atau kombinasi antara keduanya.
Penerapan kebijakan stabilisasi di negara-negara berkembang harus
mempertimbangkan karakteristik perekonomian negara-negara tersebut, antara
lain :
1. Rendahnya derajat subsitutabilitas antara output dalam negeri dan ouput luar
negeri
2. Kecilnya kekuatan pasar (daya saing)
3. Pasar uang yang belum berkembang (untuk menarik kapital luar negeri)
Secara garis besar menurut Rashid (2007), kebijakan stabilisasi harga
pangan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Non Market Based Options
1. Harga Dasar dan Harga Atas
Dilaksanakan dengan cara menetapkan harga dasar (floor price) dan
harga atas (ceiling price) yang dikombinasikan dengan cadangan/stok
dan operasi pasar jika terjadi lonjakan harga yang tajam
2. Cadangan Pangan Strategis
Dilakukan dengan menjaga cadangan pangan untuk keadaan darurat
tanpa penggunaan harga dasar dan harga atas.

9
3. Pajak Ekspor dan Tarif Impor
Dilakukan dengan menetapkan besaran pajak ekspor dan tarif impor
sesuai dengan produksi domestik dan kondisi di pasar.
4. Kerjasama dengan swasta
Bentuknya adalah dengan kerjasama antara pemerintah dengan swasta,
dimana pihak swasta dapat menggunakan gudang pemerintah dengan
harga yang disubsidi.
b. Market Based Options
1. Sistem Resi Gudang
Petani atau pedagang membawa hasil pertanian mereka ke gudang dan
kemudian mendapat resi/tanda bukti, dimana resi ini dapat digunakan
sebagai jaminan untuk mendapat pinjaman uang di bank.
2. Bursa Berjangka Komoditi
Penjual dan pembeli menyepakati pertukaran di masa depan atas
sejumlah hasil pertanian dengan sejumlah uang tertentu.
3. Asuransi Indeks Cuaca
Metode ini bukan hanya sekedar untuk menstabilkan harga namun juga
dapat memitigasi kerugian akibat perubahan cuaca. Caranya adalah
pemerintah menjual polis asuransi dengan harga subsidi kepada para
petani. Jika indeks cuaca turun pada tingkatan tertentu maka petani
akanmendapat bayaran sebagai kompensasi gagal panen.
4. Bursa Berjangka Internasional
Membutuhkan partisipasi yang besar oleh petani, pedagang atau lembaga
perantara (misal organisasi petani dan importir) serta pemerintah. Cara
ini berhasil diterapkan di Ghana (coklat) dan Guatemala (kopi).
Selain kebijakan di atas, pemerintah juga dapat mengembangkan pasar
lelang untuk membantu para petani kecil dalam memasarkan hasil pertaniannya.
Para petani kecil akan menghadapi tantangan yang sangat berat kedepannya,
antara lain kompetisi pasar, fluktuasi harga dan kenaikan harga input. Mereka
akan sulit dalam memasarkan hasil pertaniannya, namun keberadaan pasar lelang
akan mempertemukan petani dengan para pembeli (ritel, distributor, grosir) secara
langsung dimana terjadi transfer kepemilikan produk melalui mekanisme dimana
petani masih mempunyai kekuatan untuk mengendalikan harga produknya. Selain
itu, pasar lelang juga berfungsi dalam memelihara kualitas, kemasan, transportasi
dan metode pembayaran suatu produk (Tourte and Gaskell 2004).
Kebijakan Nasional Perberasan dan Hortikultura
Kebijakan nasional perberasan di Indonesia sejak tahun 1967 dapat dibagi
menjadi tiga fase (Sari 2010), yaitu :
1. Periode 1967-1996
Pada kurun waktu ini pemerintah mengendalikan pasar beras dengan
melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi dan menjaga
stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras
nasional melalui Badan Usaha Logistik (Bulog). Saat itu, impor diatur dengan
ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif serta bertujuan untuk
menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional.

10
2. Periode 1997-2001
Pada masa ini pemerintah Indonesia meliberalisasi pasar beras,
memprivatisasi Bulog dan menghapuskan hambatan perdagangan. Semua ini
dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan International
Monetary Fund (IMF) yang memaksa pemerintah menandatangani surat
perjanjian (Letter of Intent/LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak
krisis ekonomi asia. Hal ini menyebabkan ketergantungan terhadap impor
pangan meningkat dan harga di tingkat produsen dan konsumen menjadi
tidak stabil.
3. Periode 2001-Sekarang
Secara bertahap pemerintah kembali mengendalikan pasar beras dalam
negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan dengan masa
sebelum liberalisasi. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif
liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras.
Kebijakan terdahulu yaitu Harga Dasar Gabah (HDG) diganti dengan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP).
Sejak tahun 2003, status Bulog berubah dari Lembaga Pemerintah Non
Departemen (LPND) menjadi Perusahaan Umum (Perum) atau yang
sekarang dikenal dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Masalah bisa
muncul karena terjadi kontradiksi dalam diri Bulog sebagai lembaga yang
harus mengemban peran sosial dan sekaligus juga komersial. Kondisi ini
juga bisa menciptakan peluang bagi maraknya praktik manipulasi dan
inefisiensi untuk tujuan mendapatkan untung pribadi dan perusahaan. Selain
itu, pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor
1109/M-DAG/8/2007 tertanggal 30 Agustus 2007, menyerahkan kekuasaan
kepada Bulog untuk mengatur tata niaga perberasan nasioanl.
Seiring dengan semakin bertambahnya kerjasama bilateral dan regional
antara Indonesia dengan negara-negara lain maka kebijakan perdagangan juga
memegang peranan penting dalam stabilisasi harga pangan domestik. Komoditi
beras termasuk dalam kelompok sensitive list dalam perundingan-perundingan
perdagangan, artinya pemerintah masih membatasi impor beras melalui berbagai
instrument dalam rangka stabilisasi harga di tingkat produsen dan konsumen.
Cabai dan bawang merah merupakan produk hortikultura yang tidak
termasuk dalam sensitive list, sehingga impor produk ini akan lebih terbuka jika
dibandingkan dengan beras. Selama masa krisis dari tahun 1998-2004, pemerintah
menetapkan tarif impor sebesar lima persen untuk cabai dan bawang merah
konsumsi (Kementerian Keuangan 2012). Setelah tanggal 1 Januari 2005,
Indonesia melakukan Program Harmonisasi Tarif Bea Masuk dengan menetapkan
tarif yang relatif tinggi untuk beberapa produk pertanian termasuk hortikultura
yaitu sebesar 10-40 persen. Namun dengan semakin banyaknya perjanjian Free
Trade Area (FTA) di kawasan ASEAN atau Pasifik maka untuk beberapa negara
importir tidak dikenakan bea masuk atau nol persen.

11
Upaya terkini yang dilakukan pemerintah untuk menekan impor adalah
dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 tahun 2012
tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura, yang membatasi pintu masuk
produk impor hanya pada empat pintu masuk yaitu Bandara Soekarno Hatta,
Tanjung Perak, Belawan dan Makassar.Kebijakan ini ternyata digugat oleh
Amerika Serikat (AS) ke World Trade Organization (WTO), karena dianggap
merugikan ekspor AS. Gugatan AS ini akhirnya menyebabkan Kementerian
Perdagangan merevisi aturan impor hortikultura melalui Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 16 tahun 2013 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura
yang intinya menghilangkan aturan tentang pintu masuk produk impor dan
menggunakan harga referensi atau paritas untuk melakukan impor hortikultura
Dengan peraturan baru ini importasi komoditas cabai dan bawang merah
segar untuk konsumsi akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan harga
referensi. Ringkasnya, jika harga cabai dan bawang merah berada di bawah
harga referensi, maka impor tidak akan dilakukan sampai harga kembali mencapai
harga referensi. Sebaliknya jika harga telah melampaui harga referensi, maka
akan dipertimbangkan untuk importasi guna memastikan kecukupan pasokan di
pasar. Dalam implementasinya harga referensi akan ditetapkan oleh Tim
Pemantau Harga Produk Hortikultura yang anggotanya dibentuk oleh Menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan dan terdiri
dari unsur instansi terkait. Harga referensi bawang merah ini dapat dievaluasi
sewaktu-waktu oleh Tim Pemantau Harga tersebut.
Kebijakan harga referensi impor ini sesungguhnya adalah suatu bentuk Non
Tariff Measures (NTM) yang diklasifikasikan dalam jenis Price Control
Measures, Including Additional Taxes and Charges. NTM adalah suatu kebijakan
selain tarif yang berpotensi mempunyai pengaruh dalam perdagangan barang baik
dari sisi harga ataupun kuantitas yang diperdagangkan. Kebijakan ini bermaksud
untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri.
Dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tariff atau NTM dapat diketahui
dengan pendekatan teori ekonomi kesejahteraan (welfare economics) yaitu dengan
konsep pengukuran surplus konsumen dan surplus produsen. Surplus konsumen
dapat didefinisikan sebagai sejumlah uang yang bersedia dibayarkan oleh pembeli
dari mengkonsumsi suatu barang dikurangi dengan sejumlah uang yang
sebenarnya dibayarkan. Surplus produsen adalah sejumlah uang yang diterima
oleh produsen dari suatu produk yang dihasilkannya dikurangi dengan biaya yang
digunakan untuk memproduksi barang itu (Mankiw 2001).
Willingness to Pay (WTP)
Secara umum, willingness to pay (wtp) atau kecenderungan untuk membayar
diartikan sebagai jumlah yang rela dibayarkan seorang konsumen untuk
memperoleh suatu barang atau jasa. Zhao dan Kling (2005) mengemukakan wtp
adalah batas atas dari harga suatu barang yang ingin dibeli oleh konsumen pada
waktu tertentu. Untuk memperoleh taksiran wtp (eliciting wtp) dari suatu barang
atau jasa dapat digunakan metode atau teknik stated or revealed preferences
survey (survei preferensi konsumen). Metode atau teknik stated preferences (SP)
adalah suatu metode ex-ante yang digunakan untuk mengukur preferensi
masyarakat atau konsumen apabila kepada mereka diberikan alternatif atau pilihan.

12
Dalam operasionalnya, survei SP dapat dilakukan dengan metode
Contingent Valuation (CV) atau sering juga disebut sebagai wtp survey, yang
secara langsung dapat memperoleh nilai-nilai wtp dari konsumen.Pendekatan
dasar dari metode CV adalah menjelaskan suatu skenario kebijakan tertentu secara
hipotetik yang dituangkan dalam suatu kuesioner, dan kemudian ditanyakan atau
diserahkan kepada konsumen untuk mengetahui wtp yang sebenarnya dari suatu
barang atau jasa tertentu. Menurut Pattanayak et al. (2006), ada dua manfaat
melakukan survei CV, yaitu dapat memperoleh opini dan preferensi konsumen
terhadap suatu barang atau jasa secara langsung serta merupakan bentuk
eksperimen lapangan yang praktis.
Konsep wtp awalnya digunakan pada bidang lingkungan untuk menghitung
nilai keberadaan (existence value) dari suatu barang (Portney 1994), kemudian
terus berkembang ke bidang ekonomi, pemasaran dan penentuan harga suatu
barang/jasa (Lipovetsky et al. 2011). Menurut Le Gall Elly (2009), nilai wtp
konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan konsumen, tetapi juga faktor
eksternal antara lain kualitas, merk, promosi, cara pembayaran dan juga tingkat
harga ekstrim yang pernah terjadi pada produk tersebut.
Tinjauan Empiris
Penelitian-penelitian tentang ketahanan pangan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi harga pangan telah banyak dilakukan antara lain oleh Ahsan,
Iftikhar dan Kemal (2011) yang meneliti tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi harga pangan di Pakistan dengan menggunakan metode Error
Correction Model (ECM) dan Autoregressive Distributed Lag (ARDL).
Berdasarkan model yang dikembangkan, variabel pendapatan perkapita, output
pertanian, subsidi pertanian, money supply dan harga pangan dunia merupakan
faktor penting penentu perubahan harga di Pakistan. Kesimpulan yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah faktor yang paling mempengaruhi harga di
Pakistan adalah money supply. Dalam jangka panjang, pemberian subsidi akan
mampu menurunkan harga walau pengaruhnya sangat kecil, sedangkan harga
pangan dunia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan harga di
Pakistan.
Selain itu ada juga penelitian oleh Balcombe (2009) tentang sifat dan
determinasi volatilitas harga komoditas pertanian dengan menggunakan data
harga komoditas pertanian dari tahun 1962 sampai dengan 2008. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa seluruh komoditas memiliki volatilitas yang persisten.
Volatilitas harga minyak adalah yang paling signifikan mempengaruhi harga
komoditas pertanian, sementara nilai tukar dapat menjadi variabel prediksi adanya
volatilitas harga. Terdapat bukti yang kuat bahwa tingkat stok dan hasil panen
juga mempengaruhi volatilitas harga.

13
Minot (2011) meneliti tentang dampak perubahan harga dunia pada
sebelas negara di sub sahara Afrika dengan menggunakan data harga 60
komoditas dari sebelas negara tersebut. Setelah memperhatikan trend harga pada
tahun 2007-2008, peneliti menggunakan Error Correction Model (ECM) untuk
mengetahui transmisi harga dunia kepada negara-negara di sub sahara afrika.
Hasilnya adalah harga pangan di kawasan ini naik sebesar 63 persen antara tahun
pertengahan 2007 dan 2008. Komoditas beras Afrika lebih terpengaruh oleh harga
dunia dibandingkan dengan jagung.Respon kebijakan dan faktor lokal diduga
memperburuk kenaikan harga di kawasan ini. Disarankan agar kawasan ini
melakukan investasi di bidang pertanian, menerapkan kebijakan yang lebih baik,
memfasilitasi perdagangan bahan pangan, dan diversifikasi pangan pokok.
Gouel dan Jean (2012) meneliti tentang kebijakan yang diambil oleh
negara-negara berkembang dalam menghadapi lonjakan harga pangan. Dalam
penelitian diasumsikan negara adalah small open developing country dimana
pemerintah dapat mengintervensi harga pangan dengan kebijakan perdagangan
dan kebijakan stok pangan dalam kondisi pasar yang tidak lengkap. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan perdagangan (pajak ekspor dan
subsidi impor) dan stok pangan dapat mencegah terjadinya lonjakan harga.
Namun jika kebijakan stok hanya berdiri sendiri, maka tidak akan efektif dalam
mencegah lonjakan harga, karena dalam small open economy lonjakan harga lebih
disebabkan oleh tingginya harga dunia, dan ketika harga dunia tinggi maka stok
yang ada akan dijual ke pasar dunia.
Hubungan antara lonjakan harga dan perubahan stok pangan diteliti oleh
Wiggins dan Keats (2009). Dalam kesimpulannya mereka menyatakan bahwa stok
mencerminkan produksi dan konsumsi pada periode waktu yang berdekatan, jadi
penurunan rasio stok berarti terjadi pergerakan pada kurva penawaran dan
permintaan serta cenderung akan menaikkan harga. Ketika stok sudah mencapai
batasnya atau sudah habis maka penyesuaian pasar dalam jangka pendek terhadap
guncangan permintaan dan penawaran akan ditransmisikan seluruhnya pada
perubahan harga. Banyak analis yang menilai bahwa kurangnya stok merupakan
penyebab fundamental terjadinya lonjakan harga pangan tahun 2007-2008. Untuk
mengatasi masalah ini ada beberapa usulan yang disampaikan antara lain dengan
memberikan bantuan pangan internasional melalui World Food Programme
(WFP), pembentukan cadangan pangan nasional dan regional, penertiban
administrasi tentang jumlah stok pangan di setiap negara dan mendorong peran
yang lebih besar pada lembaga-lembaga dunia seperti WTO, FAO dan IMF.
Serra dan Gill (2012) meneliti tentang fluktuasi harga jagung di Amerika
Serikat dalam dua dekade terakhir. Volatilitas harga dijelaskan dengan volatility
clustering, harga bahan bakar ethanol (energi), stok jagung dan kondisi ekonomi
global. Variabel tersebut diolah dengan metode Multiple Generalized Auto
Regressive Conditional Heteroscedastivity (GARCH). Kesimpulan penelitian
menyatakan bahwa terjadi transmisi harga di pasar antara ethanol dan jagung serta
pengadaan stok dapat mengurangi fluktuasi harga jagung secara signifikan.

14
Penelitian di Indonesia dilakukan oleh Ilham (2006) yang mencoba
mengukur efektivitas kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan
dampaknya pada stabilitas ekonomi makro. Analisis dilakukan dengan metode
Vector Error Correction Model (VECM) dengan menggunakan data deret waktu
dari tahun 1975 s.d 2004. Hasil penelitiannya adalah pangsa pengeluaran pangan
layak dijadikan indikator ketahanan pangan dan berdasarkan indikator tersebut
hasil pembangunan selama ini lebih dinikmati penduduk berpendapatan tinggi
dibandingkan dengan penduduk berpendapatan sedang dan rendah. Selain itu,
kebijakan harga pangan tidak berpengaruh terhadap konsumsi energi dan protein
dan ketersediaan di tingkat nasional tidak menjamin akses pangan penduduk.
Kebijakan harga pangan mengakibatkan stagflasi ekonomi namun tidak
menyebabkan peningkatan pengangguran dan instabilitas pada perekonomian
makro.
Penelitian Willingness To Pay (WTP) antara lain dilakukan oleh Bernard
dan Mitra (2007) yang mengkaji kesediaan membayar produk eco-labelling di
Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 13 persen
responden bersedia membayar 10 persen di atas harga premium, sedangkan sekitar
27 persen responden tidak bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk
produk yang lebih ramah lingkungan.
Berges dan Casellas (2009) melakukan penelitian tentang willingness to
pay komoditas susu dengan kualitas tertentu di kota Mar del Plata, Argentina.
Metode yang digunakan adalah Contingent Valuation dengan kesimpulan bahwa
WTP untuk susu yang berkualitas adalah relatif rendah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai WTP akan semakin meningkat jika konsumen
mengetahui tentang informasi kualitas susu dan membaca label.
Ameriana (2006) menganalisis WTP konsumen terhadap tomat yang aman
dari residu pestisida, hasil penelitian menunjukkan bahwa tomat aman residu
pestisida mempunyai peluang pasar yang cukup baik dengan 59.26 persen
responden bersedia membayar premium untuk tomat tersebut. Kesediaan
konsumen untuk membayar premium dipengaruhi oleh faktor-faktor umur, jumlah
anggota keluarga, pengeluaran keluarga, kepedulian konsumen serta keyakinan
konsumen terhadap produk.
Nurlatifah (2011) meneliti tentang determinan ketahanan pangan rumah
tanggga di Jawa Timur dengan salah satunya menggunakan model logistik
menyimpulkan bahwa usia dan pendidikan kepala rumah tangga dan jumlah
anggota keluarga berpengaruh signifikan pada ketahanan pangan rumah tangga di
Jawa Timur. Kahar (2010) meneliti pola konsumsi dan keterkaitannya dengan
karakteristik sosial ekonomi di Provinsi Banten menyimpulkan bahwa jumlah
pendapatan, tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga berpengaruh
signifikan dalam pola konsumsi masyarakat
Penelitian ini memiliki kesamaan dan kebaruan dibandingkan dengan
penelitian-penelitian di atas. Persamaan penelitian ini adalah ada beberapa
variabel penjelas yang sama untuk menerangkan variabel harga pasar yaitu nilai
kurs, harga internasional dan volume impor. Kebaruan penelitian ini adalah
berusaha menduga pengaruh dari jumlah pasokan dan stok terhadap harga.Untuk
metode penelitian menggunakan metode yang telah digunakan pada penelitian
sebelumnya yai