Analisis Koefisien Inbreeding Dan Karakteristik Suara Jalak Putih (Sturnus Melanopterus Daudin 1800) Di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga Jawa Barat

ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING DAN KARAKTERISTIK SUARA
JALAK PUTIH (Sturnus melanopterus Daudin 1800) DI PUSAT
PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT

BANGKIT MAULANA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis koefisien
inbreeding dan karakteristik suara jalak putih (Sturnus melanopterus daudin 1800)
di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, jawa barat adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Bangkit maulana
NIM E34100063

vi
ABSTRAK
BANGKIT MAULANA. Analisis Koefisien Inbreeding dan Karakteristik Suara
Jalak Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat Penyelamatan Satwa
Cikananga Jawa Barat. Dibimbing oleh
ANI MARDIASTUTI dan
BURHANUDDIN MASY’UD.
Jalak putih merupakan satwa yang tergolong critically endangered di
dalam daftar merah IUCN sehingga perlu dilakukan upaya konservasi eks-situ.
Salah satu lembaga yang melakukan penangkaran eks-situ adalah Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC). Penangkaran eks-situ memiliki resiko
terjadinya inbreeding yang dapat mengakibatkan penurunan daya survival dan
pertumbuhan yang abnormal pada satwa. Penelitian dilakukan untuk

mengidentifikasi manajemen pemeliharaan jalak putih secara umum,
mengidentifikasi inbreeding dan membandingkan karakteristik suara pada jalak
putih. Data mengenai pemeliharaan dan silsilah diambil dengan wawancara
kepada pengelola dan penelusuran dokumen. Identifikasi inbreeding dilakukan
dengan penelusuran silsilah dan pendekatan ukuran morfometri, serta dilakukan
pembandingan suara pada tiap generasi. Pemeliharaan jalak putih, khususnya pada
sistem kandang dan penjodohan diatur agar tidak terjadi perkawinan yang tidak
terkontrol, tiap kandang diberi sekat dan penjodohan dilakukan dengan
memerhatikan hubungan kekerabatan calon induk. Tidak ditemukan peristiwa
inbreeding pada jalak putih di PPSC melalui pendekatan silsilah, sedangkan pada
pendekatan inbreeding melalui abnormalitas pertumbuhan menunjukkan adanya
perbedaan performa pertumbuhan lebar kepala, panjang jari kaki ketiga. Hasil
pembandingan karakteristik suara menunjukkan adanya perbedaan pada durasi
dan amplitudo suara pada generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Kata kunci: inbreeding, jalak putih, PPSC, Sturnus melanopterus, suara

ABSTRACT
BANGKIT MAULANA. Analisys of Inbreeding Coefficient and Vocal
Characteristic on Black-winged Starling (Sturnus melanopterus Daudin 1800) in
Cikananga Animal Rescue Center West Java. Supervised by ANI

MARDIASTUTI and BURHANUDDIN MASY’UD.
Black-winged Starling is critically endangered species in IUCN Red List
data book, and needs to conduct ex-situ conservation. One of ex-situ captive
breeding institution is Cikananga Animal Rescue Center (CARC). There are risks
of inbreeding in ex-situ captive breeding, such as decreasing survival and growth
abnormality. This research aimed to identify management of Black-winged
Starling in general, identify inbreeding and compare Black-winged Starling’s
vocalisation characteristics. Data on maintenance and studbook were taken by
interviewing keepers and tracing management documents. Identification the
inbreeding aimed by tracing Black-winged Starling’s studbook and morfometry
size approach, and comparing vocalisation characteristics Black-winged Starling

on each generation. Black-winged Starling maintenance, notably in cage system
and parents pairing regulated to avoiding uncontrolled breeding, each cage was
given partition and the breeding noticed the genetic relationship of prospective
parent.
There was no inbreeding based on studbook approach. Inbreeding
approach by abnormality in growth show there is a different in growth
performance in head width and third digit lengh. Comparsion on vocalization
characteristics showed a difference in duration and amplitude of the sound in the

first, second, and third generation.
Keywords: Black-winged Starling, CARC, inbreeding, Sturnus melanopterus,
vocalisation

iv

ANALISIS KOEFISIEN INBREEDING DAN KARAKTERISTIK SUARA
JALAK PUTIH (Sturnus melanopterus Daudin 1800) DI PUSAT
PENYELAMATAN SATWA CIKANANGA JAWA BARAT

BANGKIT MAULANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

x

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dan sebagai
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2014 ini ialah inbreeding
pada satwa di penangkaran, dengan judul Analisis Koefisien Inbreeding dan
Karakteristik Suara Jalak Putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) di Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga, Jawa Barat.
Karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik karena tidak luput dari
dukungan berbagai pihak baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Penghargaan dan terimakasih diberikan kepada Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, M Sc

dan Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, M.S sebagai dosen pembimbing yang dengan
sepenuh hati mendukung dan senantiasa memberikan kritik dan saran.
Terimakaih juga diucapkan kepada orang tua penulis, Bapak Abdul Satar
dan Ibu Asiah serta kelima orang kakak penulis yang selalu menyelipkan doa
dalam shalat untuk kelancaran penyusuan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Anais Tritto, Kang Iing, Kang Ajile, Kang Asep, Pak Oni serta
seluruh staff Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga yang telah membantu selama
pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Adinda
Pryanka, Kak Aronika Kaban, M Fahmi Permana, keluarga besar Nepenthes
Rafflesiana (KSHE angkatan 47), HIMAKOVA, Rekan-rekan “wearelegend47”,
Angkatan XI MAN Insan Cendekia Gorontalo, Kontrakan “Rumah BETA” serta
seluruh pihak yang turut menyukseskan penyusunan karya ilmiah ini yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Bangkit Maulana

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


viii

DAFTAR GAMBAR

viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

2

Waktu dan Lokasi Penelitian

2

Alat dan Bahan

2

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

2

Analisis Data


3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

5
5
13
18

Simpulan

18

Saran

19


DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

21

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Kategori tingkat inbreeding
Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan dan betina (F0,

F1 dan F2)
Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih pada tiap generasi
Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih betina tiap generasi
Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan tiap generasi
Uji beda (uji t) pada organ sisi kanan dan kiri
Perbandingan karakteristik suara jalak putih di PPSC

4
11
11
12
12
13
13

DAFTAR GAMBAR
1
2

(a) Silsilah Suatu individu G; (b) Aliran gen individu G
Kandang jalak putih di PPSC; (a) kandang pre-release; (b) kandang
flock; (c) kandang pasangan
3 Pakan jalak putih di PPSC; (a) pepaya, (b) voer, (c) belalang, dan (d)
pisang
4 Kartu Identitas Jalak Putih di PPSC
5 Nest box pada kandang jalak putih di PPSC
6 Penelusuran silsilah jalak putih dengan kode 269 dan 481
7 Oscillogram suara jalak putih pada generasi pertama (F0), kedua
(F1) dan ketiga (F2)
8 Perbedaan ukuran tarsometatarsus karena perbedaan ukuran ring

4
7
7
8
9
10
13
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Pengukuran peubah ukuran tubuh jalak putih di PPSC
Pohon filogeni jalak putih di PPSC

21
24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jalak putih (Sturnus melanopterus Daudin 1800) merupakan salah satu
jenis burung yang mengalami perubahan status yang cepat menurut International
Union for Conservation of Nature (IUCN) . Tahun 2000, spesies Jalak putih mulai
dikategorikan ke dalam threatened species atau spesies terancam (kategori
endangered atau genting) dan pada tahun 2010 spesies ini dikategorikan sebagai
critically endangered atau kritis akibat penurunan jumlahnya di alam (IUCN
2010). Jalak putih juga telah ditetapkan sebagai satwa dilindungi oleh Pemerintah
Indonesia melalui Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya.
Kondisi populasi Jalak putih yang mengalami tekanan ini menuntut
adanya upaya konservasi dalam pelestariannya, antara lain dengan melakukan
penangkaran dan pelepasliaran hasil penangkaran ini ke alam. Penangkaran satwa
liar secara eks-situ dilakukan dengan cara memanipulasi kondisi lingkungan
tempat hidup satwa, pakan, dan kebutuhan lainnya dengan tujuan akhir satwa
dapat berkembang biak dengan baik.
Salah satu lembaga yang melakukan usaha konservasi satwa liar termasuk
jalak putih adalah Yayasan Cikananga Konservasi Terpadu melalui Pusat
Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) pada program pengembangan spesies
terancam punah atau Cikananga Conservation Breeding Center (CCBC).Lembaga
ini telah memulai pengembangbiakan jalak putih sejak tahun 2009 dengan jumlah
induk yang dimiliki oleh PPSC hanya sembilan ekor. Jumlah induk yang terbatas
dikhawatirkan dapat mengakibatkan tekanan inbreeding pada populasi. Saat ini,
jumlah jalak putih yang berhasil dikembangbiakan mencapai 200 individu (PPSC
2013).
Inbreeding atau silang dalam yang terjadi pada suatu populasi dapat
meningkatkan derajat homozigositas
sekaligus menurunkan derajat
heterozigositas. Sebagai contoh, jika terdapat 1.000 lokus heterozigot dalam
populasi, maka akan berubah menjadi 750 gen yang tetap heterozigot setelah satu
generasi kawin dengan saudara dekatnya (Rahmanovic et al. 2008). Inbreeding
dapat menyebabkan penurunan performa baik produksi maupun reproduksi serta
menimbulkan beberapa kelainan (abnormalitas) yang merugikan. Salah satu
bentuk abnormalitas yang dapat muncul pada beberapa jenis burung adalah
pertumbuhan yang abnormal dan kemampuan bersuara yang kurang akibat
pertumbuhan pita suara yang tidak optimal. Penelitian mengenai karakteristik
suara pada jalak putih hasil pengembangbiakan di penangkaran perlu dilakukan
untuk melihat pengaruh tingkat inbreeding terhadap kemampuan bersuara burung
Jalak putih.
Program penangkaran di PPSC ditujukan untuk menangkarkan jenis yang
terancam punah dan dikembalikan atau dilepasliarkan ke habitat alaminya. Untuk
keberhasilan pelepasliaran dibutuhkan bibit jalak putih yang berkualitas baik
dengan salah satu indikator berupa kualitas genetik yang baik, oleh karena itu,
diperlukan analisis koefisien inbreeding yang menjadi salah satu faktor penentu
kualitas genetik yang baik.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi manajemen pemeliharaan
jalak putih secara umum, mengidentifikasi inbreeding dan membandingkan
karakteristik suara pada jalak putih yang dikembangkan di Pusat Penyelamatan
Satwa Cikananga (PPSC)
Manfaat Penelitian
1.
2.
3.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
Sebagai salah satu dasar dalam pengelolaan PPSC dan lembaga konservasi
eks-situ lainnya.
Memperoleh informasi mengenai tingkat inbreeding pada jalak putih yang
ada di PPSC
Memperoleh informasi mengenai karakteristik suara pada jalak putih yang
ada di PPSC
METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan di PPSC, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat
pada tanggal 8 Maret 2014 hingga 30 April 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain penggaris, jangka
sorong (dial caliver) dengan ketelitian 0.05 mm, pita ukur dengan ketelitian 0.05
cm, timbangan dengan ketelitian alat 1 gram, kamera, kantong burung dan alat
tulis. Perekaman suara dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat perekam
suara SONY IC recorder ICD-PX312 yang dilengkapi dengan mikrofon,
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan program pengolah suara gold wave
dan raven. Adapun bahan atau objek penelitian adalah jalak putih yang telah
mencapai umur dewasa sejumlah 37 ekor.

Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Manajemen Pemeliharaan
Metode pengumpulan data manajemen pemeliharaan dilakukan dengan cara
pengamatan langsung, wawancara kepada pengelola dan penelusuran dokumen
dan literatur. Data mengenai manajemen pemeliharaan mencakup sistem
kandang, manajemen pakan, teknik pengembangbiakan dan teknologi breeding.
Analisis Koefisien Inbreeding
Perhitungan koefisien inbreeding diawali dengan penelaahan silsilah
seluruh individu jalak putih yang ada di PPSC. Data yang diperoleh dibuat ke
dalam silsilah (studbook) kemudian dibuat dalam diagram panah untuk
menentukan hubungan kekerabatan antar jalak putih. Pengambilan data juga

3
dilakukan dalam bentuk wawancara kepada pengelola khususnya yang mengampu
program CCBC jalak putih untuk mengetahui silsilah jalak putih yang ada di
PPSC.
Karakteristik Morfologis
Pengukuran karakter morfologi ini dilakukan untuk melihat perkembangan
jalak putih pada tiap generasi. Perkembangan pertumbuhan individu-individu
jalak putih ini akan dijadikan salah satu parameter untuk mengetahui tekanan
inbreeding yang terjadi. Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat adanya
inbreeding adalah pertumbuhan yang tidak normal.
Parameter peubah ukuran tubuh diambil menggunakan jangka sorong dan
pita ukur. Peubah ukuran tubuh yang diukur mencakup panjang paruh, tinggi
paruh, lebar pangkal paruh atas, panjang kepala, lebar kepala, tinggi kepala,
panjang tibia kanan dan kiri, panjang tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang jari
kaki ketiga kanan dan kiri, diameter tarsometatarsus kanan dan kiri, panjang
tubuh total, panjang rentang sayap kanan dan kiri, panjang bulu ekor serta berat
badan total (Lampiran 1)
Pada peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral (Kiri-kanan),
maka pengukuran dilakukan pada kedua bagian tubuh tersebut (peubah ukuran
tubuh bagian kiri dan bagian kanan). Data yang diperoleh dijadikan sebagai acuan
dalam perhitungan fluktuasi asimetri dan sebagai salah satu indikator terhadap
adanya gejala inbreeding pada jalak putih. Selain melakukan pengukuran peubah
ukuran tubuh, dilakukan juga pengukuran terhadap berat tiap individu burung.
Karakteristik Suara
Perekaman suara dilakukan terhadap tiga individu sampel pada tiap
generasi. Pengambilan sampel suara dilakukan dengan merekam minimal lima
cuplikan suara pada tiap individu burung. Tipe suara yang direkam yaitu tipe
suara yang sama agar dapat dibandingkan tiap individu.

Analisis Data
Perhitungan Koefisien Inbreeding
Menurut Noor (1996), koefisien inbreeding dapat dihitung menggunakan
diagram panah. Pembuatan diagram panah setiap individu pada kedua silsilah
tersebut dimasukkan sekali pada diagram panah walaupun pada kenyataannya
individu-individu tersebut muncul beberapa kali.
Koefisien inbreeding dari individu dihitung dengan menentukan n, yaitu
banyaknya individu dalam alur (tidak termasuk individu yang diperhatikan) yang
terdiri dari moyang bersama dari tetua yang kawin sedarah (inbred). Nilai
koefisien inbreeding dihitung dengan rumus menurut Allendorf dan Luikart
(2008) :

4
Keterangan:
F
= Nilai Koefisien inbreeding
n
= banyaknya anak panah dalam setiap jalur
= Koefisien inbreeding moyang bersama
Menurut Cervantes et al. (2007), hasil perhitungan koefisin inbreeding ini
kemudian dibagi ke dalam empat selang nilai disajikan dalam Tabel 3. Adapun
contoh silsilah (pohon filogeni) dan aliran genetik pada suatu sata disajikan dalam
Gambar 1.
Tabel 1 Kategori tingkat inbreeding
Nilai Koefisien Inbreeding (F)
Kategori
0
Non Inbreed
0-6,25%
Rendah
6,25%-12,5%
Sedang
> 12,5%
Tinggi
Sumber: Cervantes et al. (2007)

(a)
(b)
Gambar 1 (a) Silsilah Suatu individu G; (b) Aliran gen individu G
Langkah 1

: Individu G memiliki nenek moyang yang sama (B), dapat
dipastikan bahwa koefisian inbreeding-nya lebih besar dari nol
Langkah 2
: Nenek moyang B tidak diketahui sehingga koefisien inbreeding
B diasumsikan nol (noninbred)
Langkah 3
: Terdapat satu loop moyang bersama individu G, yaitu G-E-B-FG, nilai n=4.
Nilai koefisien inbreeding pada individu G sebesar 0,125. Nilai koefisien
inbreeding juga akan dihubungkan dengan data hasil pengukuran peubah ukuran
tubuh dan dianalisis secara deskriptif.
Perhitungan Fluktuasi Asimetri
Fluktuasi asimetri pada peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral
diuji menggunakan uji t dengan selang kepercayaan 95% antara peubah ukuran
tubuh kanan dan kiri serta dihubungkan dengan besarnya koefisien inbreeding
individu dan dianalisis secara deskriptif.

5
Suara
Seluruh data suara rekaman burung dipindah dari alat perekam ke
komputer kemudian dikonversikan ke dalam bentuk WAVE sehingga kompatibel
untuk dianalisis menggunakan program gold wave. Keluaran hasil dari program
gold wave berupa oscilogram yang menunjukkan alur (trace) frekuensi dalam
kilohertz (kHz) dan waktu (detik). Hasil analisis suara akan dibandingkan tiap
generasi dan dijelaskan secara deskriptif mengenai hubungannya dengan nilai
koefisien inbreeding. Adapun parameter suara yang diambil yaitu:
1. Frekuensi, merupakan jumlah getaran per detik dari satu syllable
(canggung) pada oscilogram
2. Durasi suara, adalah lama tempuh suara pada saat individu burung
memproduksi suara
3. Amplitudo merupakan simpangan terjauh dari syllable (kuat suara)
Parameter yang diambil diolah menggunakan program gold wave dan
dianalisis dengan program Raven dengan keluaran yang disajikan dalam
oscillogram yang menunjukkan alur frekuensi suara dalam kHz dan waktu (detik).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Manajemen Pemeliharaan dan Inbreeding
Pemeliharaan jalak putih di PPSC bertujuan untuk mengembangbiakan
jalak putih untuk keperluan pelepasliaran kembali ke alam. Pemeliharaan
dilakukan secara intensif, yaitu pemenuhan seluruh kebutuhan jalak putih
disediakan oleh pengelola.
Kegiatan pemeliharaan burung di pusat penyelamatan maupun
penangkaran, kandang merupakan habitat buatan pengganti habitat alami.
Kandang disesuaikan dengan kebutuhan satwa yang dipelihara. Jenis kandang
untuk pemeliharaan jalak putih di PPSC, yaitu kandang untuk pasangan, kandang
flock (kawanan), kandang anakan serta kandang pre-release. Penggolongan
kandang lebih didasarkan pada komposisi jalak putih pengisi kandang karena
fasilitas pada tiap kandang tergolong sama, kecuali nest box yang hanya
diletakkan bagi pasangan yang siap berbiak
Kandang jalak putih terbuat dari rangka kayu (kecuali pada kandang prerelease) yang dipasangi kawat ram berukuran 1 cm x 1 cm. Bagian atap kandang
menggunakan plastik gelombang. Ukuran kandang tiap individu bervariasi.
Kandang jalak putih di PPSC dibagi menjadi ke dalam tiga blok, yaitu blok A, B
dan PKBSI. Blok A berisi kandang pasangan jalak putih yang tidak produktif
(tidak berbiak) dan anakan. Blok B merupakan blok untuk kandang pasangan
yang siap berbiak serta jalak putih yang telah menjadi kawanan. Blok terakhir,
blok PKBSI, merupakan blok yang berisi kandang pasangan yang siap berbiak
saja. Pembagian ke dalam blok dilakukan untuk memudahkan pengelola dalam
memberikan perlakuan dalam pemeliharaan.
Pemeliharaan kandang jalak putih mencakup pembersihan kandang dari
kotoran dan rontokan bulu jalak putih di lantai kandang serta penggantian air pada

6
wadah untuk keperluan mandi jalak putih. Hal ini dilakukan untuk mencegah
jamur dan penyakit lain yang dapat membahayakan jalak putih.
Kandang Pasangan
Kandang pasangan merupakan kandang untuk memelihara pasangan
indukan jalak putih. Kandang pasangan terdiri dari dua jenis, yaitu kandang
pasangan untuk percobaan kecocokan pasangan dan kandang pasangan untuk
pasangan jalak putih yang sudah cocok (siap berbiak). Pasangan yang telah cocok
diletakkan di kandang yang telah dilengkapi dengan nest box, sedangkan pasangan
yang belum cocok diletakkan di kandang tanpa nest box untuk dilakukan
percobaan kecocokan pasangan dengan individu lainnya. Kedua jenis kandang
pasangan ini hanya dibedakan oleh ada atau tidaknya nest box yang digunakan
jalak putih untuk mengerami telur selama 14-15 hari dan untuk memelihara
anakan hingga anakan siap keluar kandang pada usia 23-24 hari.
Kandang pasangan juga dilengkapi daun pinus yang diletakkan di lantai
kandang sebagai bahan dasar untuk membuat tempat meletakkan telur di dalam
nest box. Daun pinus digunakan untuk menggantikan rumput-rumput kasar dan
jerami yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sarang oleh jalak di alam.
Daun pinus yang diletakkan di lantai kandang juga dijadikan sebagai indikator
bahwa induk betina akan bertelur, karena ketika jumlah daun pinus yang
diletakkan di lantai kandang berkurang menandakan pasangan telah membuat
sarang di dalam nest box untuk persiapan bertelur.
Kandang Anakan
Anakan jalak putih yang telah berusia 35 hari, dipisahkan dengan
induknya dan diletakkan di dalam kandang yang dikelompokkan berdasarkan
pasangan indukannya. Jumlah anakan jalak putih di dalam kandang berbedabeda, sekitar dua hingga lima ekor, sesuai jumlah anak yang dihasilkan oleh suatu
pasangan induk. Jenis kandang anakan sama halnya dengan kandang indukan
yang masih dalam tahap pencarian pasangan, yaitu tanpa nest box.
Kandang Flock (kawanan)
Kandang flock digunakan untuk memelihara anakan jalak putih yang
berasal dari beberapa indukan dan sudah siap untuk mencari pasangan. Di dalam
kandang ini diamati perilaku mencari pasangan bagi jalak putih muda. Apabila
terdapat jalak putih yang berpasangan, maka pasangan dipindahkan ke kandang
pasangan dan diamati lebih lanjut kecocokan pasangannya, termasuk diperiksa
hubungan kekerabatannya.
Kandang Pre-Release
Kegiatan breeding jalak putih di PPSC bertujuan untuk mendukung
kegiatan konservasi jalak putih melalui program release. Individu jalak putih yang
akan disiapkan untuk kegiatan release dipelihara di dalam kandang pre-release.
Jalak putih yang ditempatkan di dalam kandang ini adalah individu-individu
dewasa yang telah terbentuk sebagai suatu kawanan dan dianggap sudah siap
untuk di lepas liarkan kembali ke alam. Jumlah individu pada kandang pre-release
bergantung pada besarnya kandang dan jumlah kawanan.

7
Kandang pre-release terdiri dari dua ruang yang dihubungkan dengan
kanal. Ruangan pertama dengan ukuran panjang 18,3 m, lebar 5,9 m dan tinggi
3,1 m sedangkan ruangan kedua memiliki panjang 5 m, lebar 4,8 m dan tinggi 2,3
m. Pada ruangan kedua, difokuskan untuk kegiatan pemberian pakan dan
pengobatan serta mempermudah penangkapan jalak putih, sedangkan ruangan
pertama merupakan tempat untuk habituasi awal sebelum dimasukkan ke kandang
habituasi di lokasi release.

(a)

(c)

(b)

Gambar 2 Kandang jalak putih di PPSC; (a) kandang pre-release; (b) kandang
flock; (c) kandang pasangan
Manajemen Pakan
Pemberian pakan jalak putih di PPSC hanya dilakukan pada pagi hari saja.
Pakan yang diberikan berupa buah pisang, pepaya dan voer sedangkan bagi Jalak
putih yang sedang menyapih anak, diberikan pakan tambahan berupa belalang,
jangkrik atau kroto. Kroto diberikan pada pasangan jalak putih yang memiliki
anakan dengan usia 1-5 hari. Apabila anakan telah berusia 6-35 hari, pakan
tambahan yang diberikan berupa belalang ataupun jangkrik.
Potongan pepaya dan pisang yang telah dikupas (Gambar 3) ditempelkan
pada paku yang telah dipasang di tempat bertengger di dalam kandang, sedangkan
voer dan jangkrik ditempatkan di wadah pakan yang berada di dalam kandang.
Selain pemberian pakan, setiap pagi juga diberikan air minum di dalam tempat
minum

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 3 Pakan jalak putih di PPSC; (a) pepaya, (b) voer, (c) belalang, dan (d)
pisang
Teknik Pengembangbiakan
Suatu penangkaran, keberhasilan reproduksi satwa merupakan salah satu
indikator keberhasilan sebuah penangkaran. Pemilihan indukan yang tepat
menentukan keberhasian reproduksi. Perkembangbiakan jalak putih di PPSC

8
diawali dengan pemilihan pasangan dengan menggabungkan indivdu jalak putih
muda di dalam kandang kawanan yang berisi beberapa individu jalak putih.
Aktivitas jalak putih tersebut diamati untuk mencari individu Jalak putih yang
cenderung berpasangan yang kemudian akan dipisahkan ke dalam kandang
pasangan. Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memilih pasangan,
antara lain kecocokan pasangan, kesehatan dan hubungan kekerabatan
Hubungan kekerabatan jalak putih di PPSC dapat diketahui dengan
mengecek kartu biodata satwa dan buku silsilah yang merekam asal-usul tiap
individu jalak putih. Gambar 4 menunjukkan biodata satwa yang mencakup nama
dan nama ilmiah satwa, nomor ring satwa, kode satwa, induk jantan dan betina,
tanggal lahir (tanggal kedatangan bagi satwa yang berasal dari luar PPSC), blood
line tetua (pasangan nenek/kakek dari induk jantan dan betina).

Jalak Putih
(Sturnus melanopterus)
Ring number/colour

: K425567/ right brown

Sex

:M

Origin

: Cikananga CB F1

Studbook number

: BWS 022

Date of birth

: B. 23. 3. 08

Parents (male)

: BWS 14

(female)

: BWS 15

Gambar 4 Kartu Identitas Jalak Putih di PPSC
Penulisan kode orang tua dan bloodline satwa di kartu identitas yang
diletakkan di tiap kandang dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan kegiatan
penjodohan pasangan jalak putih ketika di kandang, pengelola tidak harus
membuka studbook kembali untuk mengetahui asal-usul satwa. Bloodline tetua
diberikan kode terentu dengan menuliskan kode huruf diselingi garis miring (/).
Huruf sebelum garis miring merupakan kode tetua dari induk jantan sedangkan
kode setelah garis miring merupakan kode bagi tetua dari induk betina.
Pemilihan Indukan
Jalak putih yang telah memasuki masa kain dikumpulkan di dalam kandang
kawanan. Selama di dalam kandang kawanan, pengelola mengamati perilaku
kawin burung. Apabila terdapat burung yang telah mendapatkan pasangan, kedua
burung dipindahkan di dalam kandang pasangan. Calon indukan yang dipilih yang
tidak sakit dan cacat fisik serta dipertimbangkan kekerabatannya dengan cara
menelusuri silsilah kedua calon indukan.

9
Penempatan Pasangan
Pasangan jalak putih yang telah cocok diletakkan di dalam kandang
pasangan yang telah dilengkapi nest box (Gambar 5) dan daun pinus kering
sebagai bahan untuk membuat tempat meletakkan telur. Nest box didesain agar
mudah dipantau keberadaan dan jumlah telur yang ada di dalamnya. Pengecekan
telur dilakukan setiap hari dan dilakukan pencatatan terkait tanggal bertelur
indukan. Telur Jalak putih menetas pada usia 14-15 hari. Apabila telah memasuki
hari ke-16, maka telur yang gagal menetas dibuang agar tidak membusuk di dalam
nest box.

Gambar 5 Nest box pada kandang jalak putih di PPSC
Pembesaran Anakan
Anakan jalak putih yang baru menetas di dalam nest box diamati
perkembangannya setiap hari. Apabila ada anakan jalak putih yang mati dibuang
untuk menjaga kesehatan anakan yang masih hidup. Pemberian pakan anakan
jalak putih ketika berusia 1-35 hari diberikan melalui induk. Perawatan anakan
dilakukan secara alami oleh induk. Pakan diletakkan di tempat pakan induk dan
induk jalak putih yang akan menyapih anaknya hingga usia 35 hari. Jalak putih
usia satu sampai lima hari, pakan yang diberikan berupa kroto karena anakan
belum mampu mencerna belalang maupun jangkrik sedangkan pada usia 5-35
hari, pakan yang diberikan berupa belalang dan jangkrik yang berukuran kecil.
Anakan yang telah mencapai usia 35 hari dipisahkan dari induk dan
ditempatkan di kandang anakan bersama jalak putih lain yang berasal dari induk
sama. Selain di dalam kandang anakan, sebagian individu juga ditempatkan
langsung di dalam kandang flock. Pembesaran di dalam kandang flock dilakukan
agar mempermudah pada kegiatan penentuan pasangan ketika jalak putih telah
dewasa atau siap kawin.
Analisis Koefisien Inbreeding
Penentuan nilai koefisien inbreeding pada jalak putih di PPSC diawali
dengan menelusuri silsilah tiap individu untuk mengetahui tetua dari individu
tersebut. Penelusuran pada dua sampel jalak putih ditunjukkan pada Gambar 6.
Penelusuran silsilah pada jalak putih dilakukan untuk mempermudah perhitungan
nilai koefisien inbreeding. Sampel dengan kode 269 dan 481 tidak ditemukan
tetua bersama, sehingga tidak dibutuhkan penghitungan nilai koefisien inbreeding
pada sampel dan dipastikan sampel termasuk tidak inbreeding. Hal serupa juga
terjadi pada seluruh sampel jalak putih yang berjumlah 37 ekor (Lampiran 2)

10
Wild

Wild

Wild

Wild

014
M

Wild

015
F

Wild

Wild

Wild

017
M

018
F

024
M

035
F
269
M

Wild

Wild

014
M

015
F

Wild

Wild

056
M

Wild

009
F

Wild

019
M

162
M

Wild

Wild

017
M

018
F
048
F

176
F
481

: F3,

: F2,

: F1,

: F0, F: Betina, M: Jantan

Gambar 6 Penelusuran silsilah jalak putih dengan kode 269 dan 481
Hasil Pengukuran Peubah Ukuran Tubuh Jalak Putih di PPSC
Selain dengan penghitungan nilai koefisien inbreeding, dilakukan juga
pendekatan performa pertumbuhan untuk melihat indikasi terjadinya inbreeding
pada jalak putih di PPSC. Penelitian dilakukan dengan membandingkan peubah
ukuran tubuh jalak putih jenis kelamin jantan dan betina. Peubah ukuran tubuh
dan hasil pengukuran disajikan di dalam Tabel 2. Tidak diperlukan
pengelompokkan sampel pada peubah ukuran tubuh yang tidak berbeda nyata,
sehingga perbandingan tidak dikelompokkan antara jantan dan betina (Tabel 3).
Peubah ukuran tubuh yang berbeda nyata antara jantan dan betina, sampel
dikelompokkan menurut jenis kelamin dan dibandingkan pada ketiga generasi
sampel. Perbandingan pada jenis kelamin betina ditunjukkan pada Tabel 4 dan
perbandingan pada jenis kelamin jantan ditunjukkan pada Tabel 5. Perbandingan
tiga peubah ukuran tubuh yang tersebar secara bilateral disajikan dalam Tabel 6.

11
Tabel 2 Perbandingan peubah ukuran tubuh jalak putih jantan dan betina (F0, F1
dan F2)
No Parameter
Jantan (n=20)
Betina (n=17)
a
1
Panjang paruh (mm)
22.05 ± 1.24
20.90 ± 1.09b
a
2
Tinggi paruh (mm)
8.01 ± 0.47
7.80 ± 0. 54a
3
Lebar paruh (mm)
8.19 ± 0.52a
7.65 ± 0.50b
a
5
Tinggi kepala (mm)
23.41 ± 0.93
22.72 ± 0.76a
6
Lebar kepala (mm)
21.95 ± 0.64a
21.25 ± 0.39b
a
7
Panjang kepala (mm)
34.23 ± 1.41
33.22 ± 0.99a
8
Panjang tibia kanan (mm)
43.33 ± 3.17a
42.55 ± 3.22a
a
9
Panjang tibia kiri (mm)
44.04 ± 3.68
42.88 ± 3.11a
10 Panjang tarsometatarsus kanan (mm)
35.04 ± 2.64a
33.09 ± 1.72a
a
11 Panjang tarsometatarsus kiri (mm)
35.28 ± 3.25
32.77 ± 1.68a
12 Diameter tarsometatarsus kanan (mm)
5.11 ± 0.83a
4.45 ± 0.36b
a
13 Diameter tarsometatarsus kiri (mm)
5.08 ± 0.67
4.48 ± 0.41b
a
14 Panjang jari kaki ketiga kanan (mm)
19.59 ± 0.84
18.97 ± 0.90a
15 Panjang jari kaki ketiga kiri (mm)
19.39 ± 0.53a
19.07 ± 1.25a
a
16 Panjang sayap kanan (mm)
133.62 ± 3.52
127.47 ± 3.30b
17 Panjang sayap kiri (mm)
133.27 ± 3.12a 126.98 ± 3.84b
18 Panjang tubuh total (mm)
245.83 ± 8.27a 238.24 ± 4.80b
19 Panjang bulu ekor (mm)
81.97 ± 4.60a
79.22 ± 3.68a
a
20 Berat tubuh total (gr)
93.33 ± 9.88
82.98 ± 7.69b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang
signifikan (p