Teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding pada jalak bali (Leucopsar rothschildi) di Mega Bird and Orchid Farm (MBOF), Bogor, Jawa Barat

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jalak bali (Leucopsar rothschildi) merupakan jenis burung dari famili Sturnidae yang hanya terdapat di Indonesia yaitu di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Populasinya di alam dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan sehingga telah dinyatakan langka dan terancam punah. Selain itu, jalak bali telah mendapatkan perhatian serius bagi usaha pelestarian dalam peningkatan populasinya. Penurunan populasi ini disebabkan adanya perburuan secara liar oleh manusia dan gangguan pada habitat alaminya berupa penebangan pohon yang menyebabkan rusak atau hilangnya sarang tempat tinggal burung ini. Penebangan pohon ini juga menyebabkan berkurangnya pohon-pohon penghasil pakan bagi burung (Damanik 1996). Berdasarkan data terakhir tahun 2006, jumlah populasi jalak bali di alam yaitu sebanyak enam ekor (TNBB 2009).

Terancamnya kehidupan jalak bali telah mendapat perhatian dari dunia internasional. Menurut Sukmantoro et al. (2007), nama jalak bali tercantum dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dengan kategori kritis (Critical endangered) serta memasukkan jalak bali ke dalam Red Data Book yaitu buku yang memuat daftar jenis flora dan fauna yang terancam punah. Dalam konvensi perdagangan internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of wild fauna and flora) jalak bali terdaftar dalam Appendix I yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970 yang menerangkan bahwa burung jalak bali dilindungi oleh Undang-Undang.

Terancamnya populasi jalak bali di alam menyebabkan perlu adanya upaya konservasi agar keberadaan jalak bali di alam tetap lestari. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan penangkaran atau konservasi ex-situ. Tujuan usaha pelestarian (konservasi) jalak bali yang dikembangkan melalui program penangkaran adalah untuk meningkatkan populasi jalak bali dengan tetap menjaga


(2)

kemurnian genetiknya (Masy’ud 1992). Penangkaran secara ex-situ dilakukan dengan cara memanipulasi pakan, lingkungan, dan kebutuhan lain dari satwa yang ditangkarkan sehingga satwa tersebut mampu berkembangbiak dengan baik.

Salah satu penangkaran jalak bali yang telah berhasil yaitu penangkaran

Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil wawancara pendahuluan dengan pihak pengelola penangkaran MBOF, jalak bali di penangkaran tersebut pada awalnya hanya berjumlah tiga pasang dengan jumlah telur yang dihasilkan 2 – 4 butir telur tiap satu kali reproduksi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pengetahuan mengenai teknik penangkaran yang merupakan salah satu kunci yang memegang peranan penting dalam usaha pelestarian populasi jalak bali.

Teknik penangkaran dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dari penangkaran jalak bali di MegaBird and Orchid Farm (MBOF) sangat diperlukan. Faktor penentu keberhasilan diperlukan mengingat jumlah populasi jalak bali di alam sangat terbatas, maka keberhasilan suatu penangkaran merupakan suatu keharusan. Dalam usaha penangkaran, kualitas bibit akan mempengaruhi variasi genetik hal ini berkaitan erat dengan kualitas keturunan yang akan dihasilkan untuk mempertahankan variasi genetik.

Hasil penangkaran jalak bali perlu dilakukan perhitungan “koefisisen

inbreeding” pada calon-calon pasangan. Koefisien silang dalam (inbreeding) digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat silang dalam dan mengukur penurunan derajat heterozigositas suatu individu relatif terhadap tetua bersamanya. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi penangkaran untuk mengetahui perihal koefisisen inbreeding agar dapat dilakukan pengaturan perkawinan dengan tepat sehingga dapat mengurangi tingkat

inbreeding di penangkaran. Selain itu, untuk mengetahui ada atau tidaknya tekanan inbreeding pada jalak bali di penangkaran MBOF dengan dilakukan penelaahan karakteristik morfologi (genetik).


(3)

3

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian adalah:

1. Mengidentifikasi teknik penangkaran jalak bali yang ada di MBOF.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan dalam menangkarkan jalak bali di MBOF.

3. Menganalisis hubungan kekerabatan atau silsilah dengan menggunakan diagram pohon pada jalak bali di MBOF.

4. Menghitung koefisisen inbreeding dan mengukur karakteristik morfologi jalak bali untuk mengidentifikasi keberadaan inbreeding depression pada jalak bali di MBOF.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien

inbreeding pada jalak bali (Leucopsar rothschildi) diharapkan dapat dijadikan suatu informasi bagi upaya pengembangan penangkaran jalak bali khususnya di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat dan sebagai dasar dalam penyusunan studbook (buku silsilah) jalak bali.


(4)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Jalak Bali

Jalak bali tergolong dalam jenis burung berkicau. Dalam bahasa Bali diberi nama Curik putih atau Curik bali sedangkan dalam bahasa asing diberi nama

White starling, White minah, Bali minah, Bali starling, dan Rotschild’s minah (Alikodra 1987). Klasifikasi jalak bali menurut Stersemann (1912) dalam

Alikodra (1987) adalah Phyllum: Chordata, Class: Aves, Ordo: Passeriformes, Famili: Sturnidae, Genus: Leucopsar, Species: Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912.

Berdasarkan laporan TNBB (2011), ciri-ciri morfologis jalak bali yang khas adalah sebagai berikut:

1. Bulunya 90% berwarna putih bersih hanya pada ujung bulu sayap dan bulu ekornya ditemukan warna hitam dengan lebarnya lebih kurang 25 mm. 2. Pelupuk matanya berwarna biru tua mengelilingi bola mata, paruh runcing

dengan panjang 2 – 5 cm dengan bentuk yang khas pada bagian atasnya terdapat peninggian yang memipih tegak, dan rahangnya berwarna abu-abu kehitaman.

3. Burung jantan bentuknya lebih indah mempunyai jambul di kepalanya dengan beberapa helai bulu berwarna putih bersih.

4. Jalak bali mempunyai kaki berwarna biru abu-abu dengan empat jari jemari (1 ke belakang dan 3 ke depan).

5. Ukuran jalak bali jantan dan betina sulit dibedakan namun secara umum jalak bali jantan lebih besar dan memiliki kuncir yang lebih panjang.


(5)

5

Gambar 1 Jalak bali (Leocopsar rotchildii) jantan dan betina (Sumber: Isom 2011).

2.2 Habitat dan Penyebaran

Penyebaran populasi jalak bali pada masa lampau menurut IUCN (1966) mencapai daerah Bubunan, sekitar 50 km sebelah timur kawasan Taman Nasional Bali Barat. Menurut Hartojo dan Suwelo (1988), penyebaran perkiraan populasi jalak bali pada akhir tahun 1984 hanya tinggal di kawasan Taman Nasional Bali Barat yaitu di hutan-hutan Tegal Bunder, Prapat Agung, Batu Licin, Lampu Merah, Teluk Kelor, Tanjung Gelap, Banyuwedang, dan Cekik. Habitat yang disukai oleh jalak bali seperti hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan musim dataran rendah (Alikodra 1987). Hasil pengamatan yang dilakukan tim ICBP dan Dirjen PHKA menunjukan bahwa penyebaran jalak bali hanya ada di Taman Nasional Bali Barat dengan jumlah populasi yang sangat terbatas di sebelah Utara jalan yang membelah kawasan Taman Nasional Bali Barat dari Gilimanuk sampai ke Singaraja (Hartojo dan Suwelo 1988).

2.3 Populasi

Perkembangan populasi jalak bali di Taman Nasional Bali Barat dari tahun ke tahun terus menurun bahkan mencapai kondisi kritis. Tahun 1977 diperkirakan sejumlah 210 ekor (Alikodra 1978) kemudian menurun menjadi 104 ekor pada tahun 1984 (Helvoort et al. 1985), dan tahun 1986 oleh Pujiati (1987) memperkirakan sejumlah 54 ekor. Pada tahun 1989 Ballen dan Sutawidjaja (1990) memperkirakan populasi tidak lebih dari 25 ekor dan dalam perkiraan yang


(6)

dilakukan oleh tim bali starling project bulan Oktober 1990 menunjukan keadaan populasi yang sangat kritis yaitu sekitar 13 – 18 ekor (Taman Nasional Bali Barat 1991). Data pada bulan Desember 2006, populasi di alam liar tercatat hanya tersisa sebanyak enam ekor (Taman Nasional Bali Barat 2009).

2.4 Sistem Penangkaran

Penangkaran merupakan kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwaliar dan tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasi dengan mempertahankan kemurnian jenis sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam tetap terjaga yang meliputi kegiatan pengumpulan bibit, pengembangbiakan, memelihara, membesarkan, dan restocking yang bertujuan untuk melestarikan satwaliar dan tumbuhan alam maupun memperbanyak populasinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Thohari 1987).

Suwelo (1988) membagi sistem penangkaran menjadi intensif dan ekstensif. Intensif mengarah pada menternakan satwaliar (game farming) sedangkan ekstensif mengarah pada pemeliharaan satwaliar (game ranching). Ciri intensif yaitu semua sarana dan prasarana disediakan oleh pengelola seperti kebun binatang. Sistem ini mengandalkan kerja manusia seperti memberi makanan dan minuman. Ciri ekstensif yaitu hanya menyediakan atau menanam hijauan. Sistem ekstensif ini dapat dilakukan pada habitat dimana jenis tersebut berkembang misalnya pada taman buru atau dapat pula pada tempat yang berpagar tetapi dalam tempat berpagar tersebut tidak ada bangunan atau dibuat sedikit mungkin bangunan buatan manusia.

Berdasarkan tujuannya, penangkaran dibagi menjadi dua yaitu penangkaran untuk budidaya dan penangkaran untuk konservasi (Helvoort et al. 1986). Perbedaan antara penangkaran untuk tujuan budidaya dengan untuk tujuan konservasi dapat dilihat pada Tabel 1.


(7)

7

Tabel 1 Perbedaan antara penangkaran untuk budidaya dan konservasi

Aspek Budidaya Konservasi

Obyek

Beberapa individu dan ciri-cirinya Suatu populasi dan ciri-cirinya Ras (Varietas, forma) Jenis/anak jenis

Jumlah Individu total yang

dimanipulasikan (N) terbatas Jumlah total individu (N) besar

Sasaran

Domestikasi Realease

Perubahan, dalam arti mencaiptakan

ras,forma Tidak merubah jenis

Komersial ( terutama segi kuantitas) Non komersial

Terkurung untuk selama-lamanya. Pengembalian kepada alam asli

Manfaat

Memenuhi kebutuhan material (protein, kulit dan lain-lain)

Memepertahankan stabilitas ekosistem

(memenuhi kebutuhan batin dan sosial (burung berkicau, anjing kesayangan)

Meningkatkan nilai keindahan alam

Jangka waktu Pendek sampai sedang (1-250 tahun) Selama-lamanya

Metode

Terapkan teknologi reproduksi (IB,

IVF, TE, dll) Mempertahankan sex ratio Jumlah mau kawin ditingkatkan Jaga keturunan tidak didominasi Penentuan pasangan diatur Pasangan acak

Kembangkan galur murni  inbreeding; lakukan mutasi gen

Hindari inbreeding & mutasi gen

Sumber : Helvoort et al. 1986

Dalam melakukan usaha-usaha kegiatan penangkaran terdapat beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan yaitu (Soedharma 1985):

1. Mencari tempat penangkaran yang cocok untuk dapat dilakukan dengan baik ditinjau dari lokasi untuk pelepasan kembali ke alam dan pemanfaatan bibit untuk kepentingan usaha.

2. Mengetahui dengan benar ketersediaan di alam dan status populasi di alam. 3. Kesiapan teknologi yang sudah dikuasai untuk penangkaran agar bisa

berhasil.

4. Kesiapan perangkat kebijaksanaan sistem pengendalian pengawasan.

5. Faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat setempat yang akan terlibat di dalamnya.

2.5 Penangkaran Jalak Bali

Penangkaran jalak bali merupakan upaya yang harus dilakukan untuk menaggulangi punahnya jalak bali di alam. Pelepasan ke alam hasil penangkaran jalak bali (restocking) akan berhasil menambah populasi di alam apabila


(8)

sebab-sebab yang pada awalnya telah mengakibatkan kemerosotan populasi jalak bali sudah ditanggulangi dengan baik (Helvoort et al. 1986).

Beberapa penangkaran jalak bali yang sudah ada seperti di Kebun Binatang Surabaya (KBS), Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah, penangkaran jalak bali UD. Safari Bird Farm di kabupaten Jombang, dan penangkaran di Tegal Bunder, Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Perkembangan penangkaran di Tegal Bunder TNBB pada beberapa tahun terakhir terlihat mengalami penurunan yang merupakan hasil sumbangan dari KBS dan TSI (Taman Safari Indonesia) I Cisarua serta hasil sitaan maupun anak yang dihasilkan seluruhnya berjumlah 284 ekor dan pada tahun 2006 tersisa sekitar 70 ekor. Hal tersebut disebabkan antara lain kurang gencarnya penelitian tentang pengembangan penangkaran dari pihak terkait, sehingga para petugas hanya memiliki pengetahuan yang terbatas dalam pengelolaan penangkaran tersebut dan kematian satwa dalam penangkaran di TNBB tersebut cukup memprihatinkan (Aryanto 2010).

2.6 Aspek Teknik Penangkaran 2.6.1 Perkembangbiakan

Jalak bali termasuk burung yang terbang secara bergerombol pada saat musim kawin (antara bulan November sampai dengan bulan April sedangkan di penangkaran terjadi sepanjang tahun) dan dalam mencari makan (Helvoort et al.

1988). Hartojo dan Suwelo (1985) mengatakan musim kawin terjadi pada bulan Januari sampai dengan April/Mei. Menurut Gepak (1986), masa breeding burung jalak bali di habitatnya pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret. Perbedaan musim kawin diduga berhubungan dengan tersedianya makanan dalam jumlah cukup bagi jalak bali pada musim breeding tersebut. Musim breeding ini agak berbeda dengan penangkaran burung jalak bali di Kebun Binatang Surabaya (KBS). Jalak bali di KBS dapat bertelur setiap saat. Setiap bertelur dapat menelur 2 – 4 butir. Setiap pasang induk paling banyak hanya mampu membesarkan dua ekor burung.


(9)

9

Jalak bali jantan dan betina sulit dibedakan kecuali melalui perilaku pada saat birahi dan hal tersebut tidak pasti 100% (Helvoort et al. 1985). Sangat sulit dilakukan pembakuan kriterianya hanya para pakar dan penggemar burung yang telah lama menangani jalak bali yang dapat menentukan jenis kelamin. Kriteria-kriteria alam yang dipakai para pakar yaitu melalui ciri-ciri khas yang dimiliki tiap jenis kelamin tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2 Ciri-ciri morfologi yang membedakan jenis kelamin jalak bali

Ciri Morfologi Jenis Jantan Jenis Betina

Kepala Lebih besar dan bentunya panjang Lebih kecil dan bentuknya cenderung bulat

Daerah sekitar mata Warna lebih gelap dan permukaannya lebih kasar

Warna lebih terang dan permukaannya lebih halus Ukuran tubuh Lebih besar dan gagah Lebih ramping

Jambul Lebih panjang dan hampir

merupakan kuncir Relatif lebih pendek dan datar Sumber: Jaya 2006

Jalak bali memiliki sifat monogamus yaitu sex ratio jantan dan betina adalah 1:1. Selama melakukan perkawinan jalak bali tidak boleh merasa terganggu karena akan mengakibatkan gagalnya perkawinan tersebut. Oleh karena itu, pada saat melangsungkan perkawinan, kandang harus tertutup dan bebas gangguan (Jaya 2006). Pada musim kawin, jalak bali jantan sering mengejar betina dan mencoba mengusir jantan yang lain dan jika terjadi kecocokan maka antara keduanya sering berdekatan. Pada saat bercumbu jambul yang panjang pada jantan terlihat ditegakan dan diturunkan sambil berkicau (MacKinnon 1989).

Ciri-ciri jalak bali yang akan bertelur antara lain frekuensi masuk ke sarang baik jantan maupun betina relatif tinggi dibanding biasanya dan sering membawa ranting-ranting kering atau rumput masuk kedalam sarang sebagai alas sarang (Nurana 1989). Jalak bali bertelur antara dua sampai tiga butir dalam satu kali reproduksi (MacKinnon 1989). Telur jalak bali berwarna kebiru-biruan, berbentuk bulat panjang (oval), rata-rata berukuran panjang 30,8 mm dan lebar 22,3 mm dengan bobot 8,2 gram (Sieber 1983 dalam Helvoort et al. 1986).

Lama pengeraman telur berlangsung rata-rata 11 – 14 hari (Nurana 1989). Di tempat penangkaran, pengeraman telur dimulai pada waktu telur pertama kali dihasilkan (Sieber 1983 dalam Helvoort et al. 1986). Lama pengasuhan anak di penangkaran kurang lebih selama satu bulan. Apabila lebih dari satu bulan anak jalak bali belum dipisahkan dengan induknya maka anak jalak bali tersebut


(10)

dipatuki induknya terutama oleh jantannya bahkan dapat menyebabkan anak burung tersebut mati. Naluri yang mendorong induk untuk menyapih anaknya diduga karena induknya mulai birahi. Dugaan ini berdasarkan data perkembangbiakan jalak bali. Jika anak sudah disapih, 1 – 2 minggu kemudian induknya bertelur kembali (Nurana 1989). Anakan jalak bali dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Anakan jalak bali (sumber: berita burung 2010).

2.6.2 Pakan

Makanan jalak bali berupa buah-buahan, biji-bijian, dan serangga (MacKinnon 1989). Makanan alaminya seperti tembelekan (Lantana camara) dan macam-macam serangga (capung, belalang, dan ulat). Di tempat penangkaran, pakan yang umum diberikan adalah pepaya, pisang, telur serangga (kroto), tulang cumi-cumi, dan ulat hongkong (Nurana 1989).

2.6.3 Kandang

Kandang untuk penangkaran jalak bali dapat ditempatkan pada suatu areal yang cukup luas, yang penting harus mempertimbangkan kondisi alami dari jenis burung jalak bali tersebut. Untuk menjamin keamanan dan masa pakai yang lama, maka kandang penangkaran dapat terbuat dari rangka besi atau tiang kayu yang bagus. Dinding kandang dapat dibuat terbuka dengan kawat ram (berdiameter 1 cm) untuk seluruh dinding atau sebagian dinding dibuat tertutup dari tembok atau ram yang ditutup dengan plastik gelap, sebagian ditutup oleh genteng atau asbes dan sebagian lainnya dibiarkan terbuka yang ditutup dengan kawat ram. Kandang penangkaran dibedakan atas beberapa jenis dengan ukuran yang berbeda-beda


(11)

11

(Masy’ud 2010). Untuk lebih jelasnya jenis dan ukuran kandang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Jenis dan ukuran kandang penangkaran jalak bali

No Jenis Kandang Ukuran Kandang

1 Kandang pembiakan 4m x 3m x 2.5m atau 3m x 2,5m x 2,25m 2 Kandang sapihan 4m x 4m x 2,5m atau 3m x 3m x 2,5m 3 Kandang calon induk 6m x 3m x 2m

4 Kandang karantina 4m x 1m x 2,25m

5 Kandang angkut 80cm x 30cm x 20cm

6 Kandang kubah (pelepasliaran) Tinggi 17,5m dan diameter 17,5m Sumber: Masy’ud (2010).

2.6.4 Bibit

Syarat keberhasilan pengembangbiakan jalak bali di penangkaran diawali dengan ketepatan dalam memilih bibit. Penangkaran harus benar-benar memperhatikan kualitas bibit atau syarat bibit yang baik yaitu bibit harus sehat, tidak cacat, bersuara lantang dan bagus serta jelas asal usulnya. Sebagai jenis monomorfik yaitu jenis yang memilki ciri morfologi yang relatif sama antara jantan dan betina, maka dalam memilih bibit harus dipastikan bahwa pasangan bibit yang dipilih jelas terdiri dari jantan dan betina. Menurut Masy’ud (2010), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih bibit yang baik yaitu:

1. Bentuk dan berat badan

Bibit jalak bali yang baik memilki bentuk badan bulat panjang dan relatif lebih berat dari pada bibit jalak bali betina.

2. Bulu

Bulu bibit yang baik tampak mengkilap, tidak kumal dan apabila disemprotkan air maka air semprotan tidak menempel pada bulunya.

3. Sikap

Sikap yang gagah, sorot mata yang tajam, kepala yang tegak tetapi tidak tampak liar.

4. Usia

Burung yang dipilih sebagai bibit harus memiliki usia yang muda karena memungkinkan stress dan sifat liarnya masih relatif kecil.


(12)

2.6.5 Perawatan kesehatan

Perawatan kesehatan adalah sebuah proses yang berhubungan dengan pencegahan, perawatan, dan manajemen penyakit. Kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang akan menentukan keberhasilan penangkaran burung jalak bali. Kunci dalam perawatan kesehatan burung adalah pada pemberian makanan yang teratur dan bergizi serta sesuai kesukaan. Burung yang stress biasanya disebabkan karena kelaparan dan akan menjadi liar sehingga dapat menggagu kesehatan dan perkembangbiakannya. Selain itu, kebersihan dari makanan, tempat makan, dan lingkungan kandang dapat mempengaruhi kesehatan jalak bali. Ventilasi udara dan sirkulasi udara di dalam kandang juga harus optimal. Selain itu, adanya gangguan lain seperti ular, tikus, dan kucing karena dapat menjadi predator dan sebagai pembawa penyakit (Masy’ud 2010).

Untuk meningkatkan daya tahan tubuh jalak bali di penangkaran, dapat dilakukan dengan cara memberikan multivitamin secara teratur. Untuk mengobati sekaligus untuk mencegah terjangkitnya penyakit cacing dapat juga diberikan obat-obatan. Selain itu, untuk mempertinggi daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit maka salah satu cara yang terbaik adalah dengan memberikan makanan yang bergizi. Makanan harus di selang-seling dengan pur kesehatan. Cahaya matahari di pagi hari penting bagi kesehatan burung sebagai sumber provitamin D. Oleh karena itu, diusahakan agar cahaya matahari pagi masuk dengan jumlah yang cukup kedalam kandang (Masy’ud 2010).

2.7 Inbreeding

Silang dalam (Inbreeding) adalah persilangan antar satwa yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika dibanding dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok tempat satwa tersebut berada. Silang dalam ini mengakibatkan meningkatnya derajat homozigisitas dan pada saat bersamaan menurunkan derajat heterozigositas (Noor 2008).

Menurut Warwick et al. (1986), silang dalam adalah perkawinan antar individu-individu yang lebih dekat hubungannya dibandingkan rata-rata satwa dalam bangsa atau populasi itu yaitu satwa yang mempunyai moyang bersama dalam 4 sampai 6 generasi pertama silsilahnya. Pengaruh genetik dari silang dalam yaitu meningkatkan proporsi lokus-lokus genetik yang homozigot bila


(13)

13

dibandingkan dengan proporsi yang diakibatkan dari persilangan satwa-satwa bukan inbreeding dari populasi yang sama. Silang dalam merupakan proses yang seimbang dan menyebabkan fiksasi gen-gen yang tak disukai sama cepatnya dengan gen-gen yang disukai.

Menurut Helvoort (1988), penangkaran satwaliar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran tersebut telah berhasil mengembangbiakan jenis satwa yang ditangkarkan dan satwa hasil penangkaran tersebut berhasil bereproduksi di alam bebas. Di dalam populasi yang kecil, meningkatnya inbreeding lebih cepat dibandingkan dalam populasi yang besar.

Helvoort (1988) mengatakan bahwa, burung-burung yang sudah kawin dalam (inbreed) tidak patut di tangkarkan karena genetika populasi dan variasi genetiknya rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap daya reproduksi, ketahanan tubuh, dan penampilan bibit. Cara-cara mengurangi inbreeding menurut Thohari (1987) adalah sebagai berikut:

1. Pengambilan satwa dari populasi yang berbeda.

2. Melakukan test heterozigositas pada satwa yang akan digunakan sebagai bibit. Lebih tinggi tingkat heterozigositasnya nilai satwa sebagai bibit lebih baik.

3. Melakukan pencatatan silsilah yang teratur pada setiap individu yang ditangkar.

4. Memasukan individu baru secara berkala yang bukan satwa inbreed atau tidak mempunyai hubungan keluarga dengan satwa yang telah ada.

Koefisien inbreeding merupakan peluang dua alel dalam satu lokus untuk sama (homozigot) dalam satu keturunan. Menurut Noor (2008), koefisien

inbreeding dapat digunakan untuk mengukur peningkatan homozigositas suatu individu akibat silang dalam. Koefisien ini dapat pula digunakan untuk mengukur penurunan derajat heterozigositas suatu individu relatif terhadaap tetuanya pada populasi yang sama. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui perihal koefisisen inbreeding.


(14)

Menurut Masy’ud (1992), perhitungan koefisien silang dalam dilakukan berdasarkan informasi silsilah jalak bali dengan menelaah buku silsilah (studbook). Jika koefisien silang dalam bernilai nol, maka pasangan tersebut dipindahkan dan ditempatkan dalam satu kandang untuk diamati perilaku asosiasinya lebih lanjut dan penampilan reproduksinya. Sebaliknya, jika koefisien silang dalam bernilai satu atau mendekati satu, maka pasangan tersebut dipisahkan kembali untuk dicarikan pasangannya dengan jalak bali lain.


(15)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai teknik penangkaran dan analisis koefisien inbreeding

jalak bali dilakukan di penangkaran MegaBird and Orchid Farm (MBOF), Desa Ciujung Tengah, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengamatan dan pengumpulan data di MBOF dilakukan pada bulan Juni – Oktober 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain alat tulis, penggaris, jangka sorong, kamera digital, timbangan, termometer dry-wet, dan pita ukur. Bahan yang digunakan adalah jalak bali hasil penangkaran dan pakan jalak bali yang terdapat di MBOF.

3.3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder sedangkan metode pengumpulan data yaitu pengamatan langsung dan pengukuran, teknik wawancara serta penelusuran dokumen. Jenis data dan metode pengumpulan data lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4

Tabel 4 Jenis data dan metode pengumpulan data.

Data yang diambil

Jenis data Metode pengumpulan data Primer Sekunder

Pengamtan dan pengukuran

Wawan cara Dokumen/ literatur I Teknik penangkaran

Pakan v v v v v

Perawatan kesehatan v v v

Tenaga kerja v v

Kandang v v v

Sejarah v v

Organisasi v v

Teknik reproduksi v v v

Populasi v v v

Faktor keberhasilan v v v

II Koefisisen inbreeding

Silsilah jalak bali v v

III Karakteristik morfologi

Data kuantitatif v v v v


(16)

3.3.1 Teknik penangkaran

Pengelolaan penangkaran dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan dan wawancara kepada pengelola. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teknik keberhasilan penangkaran jalak bali, data yang diambil meliputi:

1. Teknik reproduksi jalak bali di penangkaran meliputi pemilihan bibit, seks ratio, pembentukan pasangan, dan tingkat keberhasilan breeding.

2. Pakan, palatabilitas, jumlah konsumsi, dan nilai gizi serta jadwal waktu pemberiannya. Pakan yang diberikan kepada jalak bali dipenangkaran dilakukan analisis proksimat dan diambil sampel makanan untuk mengetahui kandungan zat makanan dalam makanan tersebut.

3. Perkandangan yang meliputi jenis kandang, ukuran dan konstruksi kandang, perlatan dan perlengkapan kandang serta suhu dan kelembaban dalam kandang.

4. Pemeliharaan kesehatan dan perawatan kesehatan, jenis penyakit yang sering diderita serta cara pengobatannya.

5. Faktor penentu keberhasilan penangkaran jalak bali di MBOF.

Selain itu, juga dilakukan wawancara mengenai teknik penangkaran di MBOF yang digunakan untuk mendukung data meliputi:

1. Asal muasal bibit jalak bali yang ditangkarkan beserta sistem karantinanya. 2. Sejarah penangkaran jalak bali.

3. Organisasi penangkaran dan tenaga kerja (SDM) .

4. Populasi jalak bali yang meliputi jumlah, jenis kelamin, dan kelas umur.

3.3.2 Analisis koefisisen inbreeding

Penelaahan silsilah jalak bali di penangkaran dilakukan dengan teknik wawancara dengan pihak pengelola ada di penangkaran tersebut. Data yang diperoleh dibuat data catatan kelahiran atau silsilah (studbook) kemudian dibuat diagram pohon untuk menentukan hubungan kekerabatan jalak bali di MBOF.


(17)

17

3.3.3 Penelaahan karakteristik morfologis

Penelaahan karakteristik morfologis dapat dilakukan dengan melihat karakteristik morfologis baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Data karakteristik morfologis yang bersifat kuantitatif meliputi berbagai ukuran tubuh yaitu, panjang badan, panjang sayap, panjang ekor, panjang kepala, panjang kaki, panjang paruh, dan tinggi paruh. Data ukuran tubuh tersebut dilakukan melalui pengukuran, sedangkan untuk data karakteristik kualitatif meliputi warna dan pola bulu sayap dan bulu ekor, warna paruh, warna kaki, warna mata, dan daerah sekitar mata.Peubah ukuran tubuh yang diukur meliputi: 1. Panjang tubuh total yang diukur dari ujung paruh sampai dengan ujung bulu

ekor dengan menggunakan pita ukur.

2. Panjang rentang sayap yang diukur dengan merentangkan sayap dari pangkal sayap hingga ujung sayap dengan menggunakan pita ukur.

3. Panjang ekor yang diukur dari pangkal ekor sampai ujung ekor dengan menggunakan pita ukur.

4. Panjang kaki yang diukur dari pangkal kaki hingga ujung kaki menggunakan pita ukur.

5. Panjang kepala yang diukur dari bagian tengkuk hingga ujung paruh dengan menggunakan jangka sorong.

6. Panjang paruh yang merupakan panjang maxilla (paruh atas) yang diukur dengan menggunakan jangka sorong.

7. Tinggi paruh pada bagian paruh tertinggi yang diukur dengan menggunakan jangka sorong.


(18)

Gambar 4 Pengukuran panjang sayap.

Gambar 5 Pengukuran panjang kepala.

Gambar 6 Pengukuran panjang ekor.


(19)

19

Gambar 8 Pengukuran panjang kaki.

Gambar 9 Pengukuran tinggi paruh.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Teknik penangkaran jalak bali

Data mengenai teknik penangkaran jalak bali dianalisis secara deskriptif yang meliputi sejarah penangkaran, populasi, perkandangan, pakan, perawatan kesehatan, dan teknik reproduksi. Selain dianalisis secara deskriptif, data mengenai pakan jalak bali juga dilakukan analisis secara kuantitatif. Berikut rumus yang digunakan:

3.4.1.1Jumlah konsumsi

Keterangan:

JK = jumlah konsumsi

B = berat pakan sebelum diberikan b = berat pakan sisa


(20)

3.4.1.2Tingkat palatabilitas

Keterangan:

% P = tingkat palatabilitas G0 = berat pakan semula

G1 = pakan sisa 3.4.1.3Kandungan gizi pakan

Kandungan gizi pakan jalak bali di penangkaran diperoleh melalui studi literatur untuk mengetahui analisis proksimat yaitu analisis kimia untuk mengetahui kandungan zat makanan yang terdapay di dalam bahan makanan.

3.4.1.4Jumlah kebutuhan pakan

Kebutuhan pakan yang perlu diketahui yaitu kebutuhan protein dan kebutuhan kalori. Kebutuhan protein dapat diperoleh dengan rumus:

Kebutuhan kalori dapat diperoleh dengan rumus:

3.4.1.5Faktor keberhasilan

Untuk mengetahui faktor penentu keberhasilan penangkaran burung jalak bali di MBOF dapat dilakukan perhitungan presentase daya tetas telur yaitu:

a. Presentase daya tetas telur:

Keterangan:

∂ = ∑ telur yang menetas β = ∑ total telur ditetaskan

%P = G0-G1 x 100%

G0

∂ x 100 %

. β

∑ konsumsi suatu pakan

∑ konsumsi pakan keseluruhan x %PK

∑ konsumsi suatu pakan ∑ konsumsi pakan keseluruhan


(21)

21

b. Tingkat perkembangbiakan dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:

t Tt Keterangan:

t = ∑ induk yang berkembangbiak Tt =∑ induk keseluruhan

c. Persentase angka kematian tiap kelas umur: M

Mt Keterangan:

M = ∑ anak yang hidup tiap kelas umur ke–i Mt = ∑ total anak yang hidup tiap kelas umur ke–i

Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat keberhasilan penangkaran di MBOF yaitu:

0 – 30 % = rendah 30 – 60 % = sedang 60 – 100% = tinggi

3.4.2 Perhitungan Koefisisen Inbreeding

Rumus yang digunakan terdiri dari beberapa formula:

3.4.2.1Perhitungan koefisien kekerabatan adalah :

Keterangan :

R = koefisien kekerabatan

n = Jumlah anak panah dari setiap jalur.

Salah satu cara untuk menghitung koefisien inbreeding yaitu dengan menggunakan diagram panah. Pembuatan diagram panah setiap individu pada kedua silsilah tersebut dimasukan sekali pada diagram panah walaupun pada kenyataannya individu-individu tersebut muncul beberapa kali (Noor 1996). Contoh perhitungan koefisien inbreeding:

R = ∑( 1/2 )n

x 100 %


(22)

Langkah- langkah untuk menghitung koefisien inbreeding suatu individu X (Fx) sebagai berikut (Nurana 1989):

Langkah 1 : Merunut dan menggambarkan asal usul nenek moyangnya sampai tidak diketahui atau sampai nenek moyangnya berasal dari alam. Jika dalam salsilah tidak ada kawin dengan keluarga berarti koefisisen

inbreeding X (Fx) = 0.

Langkah 2 : Menentukan koefisien nenek moyang yang sama (Fc). Koefisien

inbreeding nenek moyang harus dihitung sebelum menghitung koefisien inbreeding X (Fx). Cara perhitungan koefisien inbreeding

nenek moyang sama dengan perhitungan koefisien inbreeding

individu X (langkah 4 dan 5).

Langkah 3 : Memperhatikan aliran gen pada gambar silsilah

Langkah 4 : Menghitung koefisien inbreeding masing-masing. Aliran gen dengan rumus:

F = ½ ∑ (1/2)n

(1+Fc)

Langkah 5 : Koefisien individu X adalah jumlah koefisien masing-masing aliran gen.

Contoh perhitungan koefisien inbreeding X pada silsilah seperi pada gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10 (a) Silsilah suatu individu X; (b) aliran gen individu X.

D E

X A B

A A C

D E


(23)

23

Langkah 1 : Gambar 10 B memperlihatkan bahwa X mempunyai nenek moyang yang sama yaitu A berati memilki koefisien inbreeding X (Fx) lebih dari nol.

Langkah 2 : Karena nenek moyang A tidak diketahui diasumsikan nenek moyang A tidak ada yang kawin dengan keluarga berarti koefisien inbreeding

A (Fc) = 0.

Langkah 3 : Berdasarkan silsilah ada satu jalur yang menghubungkan individu S dan D melalui A yang memilki dua anak panah (gambar 1 B) yaitu D-A-E dan n = 2. Nilai koefisien inbreeding individu X dapat dilihat pada tabel 5.

Langkah 4 : Perhitungan koefisien inbreeding pada individu X Tabel 5 Nilai perhitungan koefisien inbreeding pada individu X

Lintasan Fc N Koefisien inbreeding

X-D-A-E-X 0,00 2 1/2∑ (1/2)2 (1+0,00) = 0.125

Langkah 5 : karena hanya terdapat satu lintasan gen maka koefisien inbreeding X (fx) = 0,125.

3.4.2.2Perhitungan koefisisen inbreeding

Perhitungan koefisien silang dalam (Inbreeding) pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan dengan ½. Rumus untuk mengukur koefisien silang dalam adalah (Noor 2008):

Keterangan :

F = koefisien silang dalam (inbreeding)

3.4.2.3Koefisien inbreeding jika tetua bersama inbreed

Koefisien kekerabatan dan koefisien silang dalam yang dipengaruhi oleh silang dalam dapat juga terjadi pada tetua bersama. Rumus dasar untuk menghitung koefisien silang dalam dapat dimodifikasi jika tetua bersamanya juga

inbreed. Rumus yang telah dimodifikasi adalah (Noor 2008):

Keterangan:

Fc = koefisien silang dalam tetua bersama.

F= ½ ∑ (1/2)n

F = ½ ∑ (1/2)n


(24)

3.4.2.4Silang dalam pada satu atau dua individu yang berkerabat

Silang dalam pada satu atau kedua individu yang berkerabat cenderung mengurangi kekerabatan antara kedua individu tersebut. Silang dalam mengakibatkan individu-individu tersebut lebih homozigot yang berakibat menurunkan genotip. Jadi pada dasarnya hal ini akan mengurangi peluang kedua individu memilki gen-gen yang sama sebesar rataan kedua koefisien silang dalam. Rumus untuk menghitung koefisisen kekerabatan pada kasus ini (Noor 2008) adalah :

Keterangan :

Rxy = koefisien kekerabatan antara individu X dan Y

n = jumlah generasi dari individu X dan Y sampai pada moyang bersama Fx = koefisien silang dalam individu X

Fy = koefisien silang dalam individu Y 3.4.3 Karakterisrik Morfologi

Penelaahan karakteristik morfologi (genetik) dilakukan tehadap lima pasang jalak bali yang ada di penangkaran (generasi F1). Data karakteristik morfologi yang dianalisis berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif ditabulasikan ke dalam tabel dan dianalisis secara deskriptif, sedangkan data kuantitatif yang terkumpul ditabulasi dan dihitung nilai rataan dan simpangan bakunya selanjutnya dilakukan pengujian perbandingan nilai rataan dengan uji t-student menggunakan software SPSS untuk menentukan adanya perbedaan antar jenis kelamin (jantan dan betina). Selain itu, juga dilakukan perbandingan terhadap pengukuran morfologi kuantitatif yang telah dilakukan di MBOF dengan pengukuran morfologi yang terdahulu secara deskriptif untuk menentukan ada tidaknya inbreeding depression karena terjadinya penurunan dari sifat-sifat morfologinya.

Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95%. Pengujian terhadap hubungan antara parameter yang diukur dan diamati menggunakan hipotesis sebagai berikut:

Rxy = ∑ (1/2)n(1+Fa)


(25)

25

H0 = tidak ada perbedaan morfologi kuantitatif yang nyata antara jenis

kelamin jantan dan betina jalak bali di MBOF

H1 = ada perbedaan morfologi kuantitaif yang nyata antara jenis kelamin

jantan dan betina jalak bali di MBOF

Pengambilan keputusan atas hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan kriteria sebagai berikut:

Jika t hitung > dari t tabel, maka tolak H0


(26)

KONDISI UMUM

4.1 Sejarah Kawasan

Penangkaran Mega Bird Farm didirikan pada tahun 1996 berdasarkan hobi pengelola dalam memelihara burung khususnya burung-burung berkicau dan burung jalak bali (Leucopsar rothschildi). Pada tahun 2010, lokasi ini berganti nama menjadi Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) yang kemudian disahkan dan diakui oleh pemerintah berdasarkan pada Surat Keputusan Direktorat Jenderal PHKA No. SK. 22/IV-SET/2010 tentang pemberian izin penangkaran jalak bali (Leucopsar rothschildi) yang dilindungi oleh undang-undang dan Surat Keputusan BBKSDA Jawa Barat No. SK. 164/BBKSDA-JABAR-1/2010 tentang pemberian izin penangkaran burung yang tidak dilindungi oleh undang-undang serta pada tahun 2011 pemerintah juga telah mengeluarkan surat keputusan melalui Direktorat Jenderal PHKA dengan No. SK. 22/IV-SET/2011 tentang izin usaha penangkaran burung (aves) yang dilindungi oleh undang-undang.

4.2 Tujuan dan Manfaat

Mega Bird and Orchid Farm memiliki tujuan untuk kegiatan konservasi (pelepas-liaran ke alam) dan untuk tujuan ekonomi. Selain itu, penangkaran ini juga memiliki manfaat antara lain:

a. Untuk kegiatan pendidikan dan penelitian

b. Menjaga jenis-jenis dilindungi dari ancaman kepunahan

c. Mengembangbiakkan jenis-jenis dilindungi di luar habitat aslinya dengan tetap menjaga kemurnian genetiknya.

4.3 Letak dan Luas Kawasan

Secara administratif, MBOF terletak di Desa Cijujung Tengah, RT. 05/ RW. 04, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi tersebut memiliki luas total sebesar 23.500 m2 yang terdiri dari luas bangunan sebesar 10.000 m2 dan luas pekarangan sebesar 13.500 m2. Berikut lokasi MBOF pada Gambar 11.


(27)

27

Gambar 11 Lokasi Mega bird and Orchid Farm.

4.4 Kondisi Biologi

Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat di penangkaran MBOF antara lain pohon rambutan (Nephelium lappaceum), jambu air (Syzygium aqueum), mangga (Mangifera indica), jambu biji (Psidium guajava), pisang (Musa sp.), dan pepaya (Carica papaya). Beberapa jenis burung yang ditangkarkan di MBOF dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Beberapa jenis burung yang ditangkarkan di MBOF

No. Nama Lokal Nama Ilmiah Daerah Asal

1 Jalak bali Leucopsar rothschildi Endemik Bali Barat

2 Cucak rawa Pycnonotus zeylanicus Jawa, Sumatera, Kalimantan 3 Gelatik jawa Padda oryzivora Jawa, Bali, P. Kangean 4 Beo nias Gracula religiosa Jawa, Bali, Sumatera 5 Cendrawasih merah Paradisaea rubra P. Bantana, Gemien, Saonek 6 Cendrawasih kuning kecil Paradisaea minor Papua bag. Utara dan bag. Barat 7 Rangkong badak Buceros rhinoceros Sumatera, Kalimantan, Jawa 8 Kuau raja Argusianus argus Sumatera, Kalimantan 9 Kakatua raja Probosciger atterimus P. Misool, Kep. Aru

10 Merak hijau Pavo muticus Jawa

11 Merak biru Pavo cristatus Bangladesh, India, Nepal 12 Mambruk victoria Goura victoria P. Yapen, P. Biak


(28)

4.5 Struktur Organisasi dan Kepegawaian

Mega Bird and Orchid Farm secara keseluruhan dipimpin oleh seorang direktur (Drs. Megananda Daryono, MBA) yang dibantu oleh seorang manajer (Supriyanto Akdiatmojo) dan seorang asisten manajer (Hari Dimas Prayogo), serta pegawai sebanyak 14 orang. Selain itu, untuk menjaga keamanan di lokasi tersebut, pengelola menggunakan tenaga keamanan sebanyak enam orang.

4.6 Aksesibilitas

Mega Bird and Orchid Farm terletak tidak jauh dari pusat kota Bogor. Lokasi ini dapat dicapai dari terminal Baranang Siang yang memiliki jarak + 12,5 km dengan waktu tempuh + 1,5 jam jika menggunakan angkutan umum dan + 45 menit jika menggunakan kendaraan pribadi. Selain itu, lokasi ini juga dapat dicapai dari arah Kampus IPB Darmaga yang memiliki jarak + 12 km dengan waktu tempuh + 1 jam jika menggunakan angkutan umum dan + 30 menit jika menggunakan kendaraan pribadi.


(29)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Teknik Penangkaran

Secara umum beberapa aspek teknik manajemen penangkaran satwa sangat menentukan keberhasilan suatu jenis satwa. Aspek teknik penangkaran tersebut diantaranya adalah sejarah penangkaran jalak bali, jumlah populasi jalak bali dipenangkaran, jenis penyakit dan perawatan kesehatan, manajemen pakan, sistem perkandangan, teknik reproduksi, dan faktor penentu keberhasilan penangkaran jalak bali di MBOF. Penjelasan secara lengkap mengenai pengelolaan aspek teknik penangkaran jalak bali (Leucopsar rothschildi) di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan pihak pengelola disajikan berikut ini.

5.1.1 Sejarah penangkaran

Jalak bali di penangkaran MBOF dimulai pada tahun 1996. Pada awalnya jalak bali yang ada di penangkaran MBOF hanya berjumlah tiga pasang yang berasal dari sumbangan Taman Safari I Cisarua, Bogor. Setelah itu, populasi jalak bali semakin bertambah dengan adanya sumbangan-sumbangan dari pencinta burung dan membeli dari penangkar burung berkicau serta membeli jalak bali dari penangkap burung di alam. Jalak bali hasil sumbangan dan perdagangan tersebut dijadikan sebagai indukan (F0). Perbanyakan jalak bali juga dilakukan dengan cara menjodohkan jalak bali yang ada sehingga dapat berkembang biak.

Pada awalnya pemilik penangkaran membuat penangkaran burung hanya untuk dijadikan hiburan dan hobi, namun karena kecintaannya pada burung-burung berkicau termaksuk jalak bali pemilik penangkaran menangkarkan burung-burung berkicau tersebut. Hingga saat ini penangkaran MBOF yang terletak di daerah Cijujung Bogor semakin berkembang dengan menambah banyak jenis-jenis yang baru.

Penangkaran MBOF memilki tujuan konservasi dan ekonomi. Pada tahun 2009, penangkaran Mega Bird and Orchid Farm telah menyumbangkan dua pasang jalak bali ke Nusa Penida (Bali) bekerjasama dengan APCB (Asosiasi Pelestari Curik Bali) dan Taman Safari I Cisarua, Bogor. Pelepasan ke alam


(30)

dilakukan oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2009. Selain itu, jalak bali yang ada di penangkaran hingga saat ini dilakukan transaksi perdagangan secara legal yang telah mendapatkan persetujuan dari Kementrian Kehutanan.

Asal usul bibit jalak bali di MBOF pada dasarnya merupakan hasil breeding

dari Taman Safari I Cisarua, Bogor dan para pecinta burung. Kelebihan bibit jalak bali yang berasal dari hasil penangkaran memiliki tubuh yang sehat karena pakan yang dikonsumsi memilki kandungan gizi yang sesuai dan adanya pengaturan dalam pemberian pakan, kebutuhan akan protein, lemak, karbohidarat, vitamin, dan mineral terpenuhi. Silsilah bibit jalak bali di MBOF tidak diketahui secara pasti karena tidak adanya buku silsilah (studbook) di penangkaran tersebut, sehingga untuk mengetahui silsilah jalak bali hanya melalui wawancara kepada pengelola.

5.1.2 Populasi jalak bali di penangkaran

Populasi jalak bali di MBOF sampai pada bulan Oktober tahun 2011 berjumlah 91 ekor yang meliputi jenis kelamin dan kelas umur sebagai berikut (Tabel 7).

Tabel 7 Populasi jalak bali tahun 2011 berdasarkan jenis kelamin dan kelas umur

Kelas umur Jenis kelamin Jumlah Keterangan

0 – 2 bulan - 15 ekor Anakan

2 – 5 bulan - 30 ekor Anakan

5 – 12 bulan - 10ekor Anakan

1 – 2 tahun - - -

2 – 3 tahun 6 jantan,6 betina 12 ekor - 3 – 4 tahun 7 jantan, 7 betina 14 ekor Indukan (F1) 4 – 5 tahun 5 jantan, 5 betina 10 ekor Indukan (F0)

Berdasarkan tabel 7 populasi jalak bali paling banyak berada pada usia anakan (0 – 12 bulan) hal ini dikarenakan setiap bulan jalak bali di penangkaran MBOF mampu berkembangbiak sebanyak 8 – 12 kali dalam satu tahun dengan jumlah telur yang dihasilkan 2 – 3 telur. Namun, yang dapat tumbuh dengan baik hanya sekitar 1 – 2 ekor. Jalak bali pada usia 1 – 2 tahun tidak terdapat di penangkaran karena pada kelas umur tersebut jalak bali sudah siap untuk dijual kepada para penghobi burung kecuali jalak bali yang dipersiapkan untuk menjadi indukan. Tujuan pembuatan penangkaran MBOF ini adalah dengan tujuan konservasi dan tujuan ekonomi sehingga sudah banyak jalak bali yang


(31)

31

diperjualbelikan dengan mendapatkan ijin dari Menteri Kehutanan. Berikut grafik populasi jalak bali dalam lima bulan terakhir di MBOF (Gambar 12).

Gambar 12 Pertumbuhan populasi jalak bali di MBOF selama lima bulan terakhir tahun 2011.

Pada tahun 2011, populasi dan tingkat keberhasilan jalak bali meningkat ditandai dengan adanya peningkatan terhadap jumlah populasi jalak bali setiap bulan. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa dalam satu bulan populasi jalak bali bertambah 8 – 11 ekor. Pada tahun 2011 populasi jalak bali di MBOF lebih meningkat. Hal ini dikarenakan pada tahun ini adanya indukan-indukan baru yang merupakan generasi F1 atau hasil perkawinan indukan sebelumnya.

5.1.3 Sistem perkandangan

Salah satu aspek penting dari usaha penangkaran satwa adalah kandang yang berfungsi sebagai habitat buatan (artificial habitat) atau tempat hidup satwa. Kandang sebagai tempat hidup satwa harus memenuhi semua kebutuhan hidup satwa seperti luas yang cukup untuk pertumbuhan hidup satwa, suhu, kelembaban serta sirkulasi udara yang cukup dan tersedianya komponen penunjang lainnya seperti tempat berlindung, bertengger, dan berkembangbiak serta terjaga sanitasinya dari serangan penyakit.

Penyediaan habitat buatan sebagai tempat hidup di penangkaran jalak bali menjadi salah satu prasyarat penting yang harus dipersiapkan sebelum pengembangan penangkaran. Habitat tersebut yaitu berupa kandang dan komponen pendukung dalam kandang. Kandang merupakan faktor utama dalam


(32)

faktor penentu keberhasilan penangkaran jalak bali di penangkaran Mega Bird and Orchid Farm.

5.1.3.1Jenis, ukuran, dan konstruksi kandang

Jenis kandang jalak bali yang ada di penangkaran MBOF terbagi kedalam empat bagian yaitu kandang peraga, kandang kawin (indukan), kandang pemeliharaan, dan kandang inkubator (anakan atau piyik jalak bali). Berikut konstruksi dan ukuran kandang jalak bali di penangkaran MBOF (Tabel 8).

Tabel 8 Jenis, konstruksi, dan ukuran kandang jalak bali di penangkaran MBOF.

Jenis kandang Kontruksi kandang ukuran kandang unit Jumlah

(ekor)

Kandang peraga

Batako, kawat ram, kayu, pohon rambutan untuk angkringan

1m x 1,5 x 2m 3 3 – 6 Kandang

pemeliharaan

Berbentuk sangkar (triplek dan kayu)

40cm x 60cm x

40cm 6 – 15 2 – 4

Kandang reproduksi

Batako,kawat ram, kayu, dan pohon palem untuk angkringan)

3 m x 1,5m x 3m 12 2

Inkubator Papan dan kayu 110cm x 47cm x

45cm 1 4 – 6

Kandang indukan (kandang reproduksi) jalak bali di penangkaran MBOF dibagi kedalam dua blok yaitu blok A dan blok B. Jalak bali yang berada dikandang blok A merupakan anak jalak bali generasi F1 yang sudah siap untuk bereproduksi (dewasa) sehingga dijadikan indukan dan diletakan pada kandang reproduksi, sedangkan kandang blok B merupakan jalak bali generasi F0 yang berasal dari sumbangan atau membeli dari tukang burung. Kandang indukan terletak pada bagian dalam, sedangkan kandang peraga dan kandang pemeliharaan terletak di bagian luar. Kandang indukan jauh lebih tetutup bila dibandingkan dengan kandang lainnya karena bertujuan untuk kelangsungan perkawinan pasangan-pasangan jalak bali. Selain itu, agar tidak terganggu oleh aktivitas manusia.

Jumlah unit kandang peraga sebanyak tiga buah yang terdiri dari tiga sampai dengan enam ekor, sedangkan pada kandang pemeliharan terdapat 6 – 15 kandang tergantung kebutuhan dan kandang tersebut dapat menampung 2 – 4 ekor jalak bali serta untuk inkubator tedapat satu buah unit. Kandang peraga terletak pada bagian depan penangkaran. Jalak bali pada kandang peraga ini adalah jalak


(33)

33

bali yang sudah tidak bereproduksi. Usia jalak bali ini berkisar antara dua sampai dengan tiga tahun. Berikut gambar kandang peraga di MBOF (Gambar 13).

Gambar 13 Kandang peraga jalak bali di MBOF, bagian kandang: (A) angkringan, (B) papan interpretasi, (C) pintu kecil, dan (D) pintu besar.

Kandang peraga yang ada di MBOF memiliki pintu yang cukup besar di bagian bawah yang berfungsi untuk memudahkan pengelola untuk mengganti air minum dan air mandi. Selain itu, untuk memudahkan dalam membersihkan kandang. Selain pintu yang besar, juga terdapat pintu yang sangat kecil terletak pada bagian tengah untuk memudahkan dalam memberi pakan jalak bali. Berikut gambar kandang reproduksi di MBOF (Gambar 14).

Gambar 14 Kandang reproduksi jalak bali di MBOF, bagian kandang: (A) pintu kecil, (B) pintu besar.

Kandang reproduksi dibuat sangat tertutup dan memiliki dua buah pintu yang terdiri dari satu pintu besar pada bagian bawah dan satu pintu kecil pada

A

B

C

D

A


(34)

bagian tengah. Fungsi pintu yang besar adalah untuk memudahkan pengelola dalam membersihkan kandang dan mengganti air mandi dan air minum, sedangkan fungsi pintu kecil adalah untuk mengganti pakan setiap harinya.

Kandang pemeliharaan terletak di bagian luar dan berbentuk sangkar-sangkar kecil yang cukup banyak. Kandang pemeliharaan ini diletakkan dengan cara digantungkan pada tiang besi dan pada malam hari dimasukan kedalam kantor. Kandang pemeliharaan hanya memiliki satu buah pintu untuk memasukan jalak bali kedalam kandang. Berikut gambar kandang pemeliharaan jalak bali di MBOF (Gambar 15).

Gambar 15 Kandang pemeliharaan jalak bali di MBOF.

Inkubator digunakan untuk piyik-piyik jalak bali mulai dari 0 bulan sampai berusia 2 – 3 bulan. Terbuat dari papan dan kayu yang cukup kuat. Berikut gambar kandang inkubator jalak bali di MBOF (Gambar 16).

Gambar 16 Inkubator piyik jalak bali di MBOF, bagian kandang: (A) tiga buah jendela inkubator.

A

A

A


(35)

35

5.1.4.2Fasilitas kandang

Fasilitas yang harus ada didalam kandang yaitu tempat makan, tempat minum, tempat mandi, tempat angkringan (bertengger), tempat tertelur, dan lain-lain. Berikut fasilitas kandang sesuai dengan jenis kandang di penangkaran MBOF (Tabel 9).

Tabel 9 Jenis dan fasilitas kandang jalak bali di penangkaran MBOF

Jenis kandang Fasilitas Keterangan

Kandang peraga Tempat makan, minum dan mandi.

Pohon rambutan untuk angkringan -

Kandang pemeliharaan Tempat makan, minum, dan kayu untuk bertengger,

Mandi di luar kandang pemeliharaan (tempat mandi khusus)

Kandang reproduksi

Tempat makan, minum dan mandi. Pohon palem untuk angkringan (bertengger), kotak sarang untuk piyik atau temapat bertelur jalak bali

-

Inkubator Sarang burung, lampu (untuk

menghangatkan) -

Tempat pakan dan air pada kandang peraga dan reproduksi tebuat dari wadah plastik agar tidak mudah pecah bila terjatuh. Tempat makan diletakan di bagian tengah dekat dengan pintu utama dan dikaitkan pada kawat ram (dinding kandang) agar memudahkan dalam pemberian makan. Selain itu, pakan jalak bali juga ada yang digantung di kawat ram seperti pisang sedangkan tempat minum dan tempat mandi diletakan di bawah dengan menggunakan wadah plastik dengan ukuran yang cukup besar. Berikut gambar tempat makan dan tempat minum jalak bali di MBOF (Gambar 17).

Gambar 17 Tempat makan dan tempat minum sekaligus mandi jalak bali di MBOF.


(36)

Tempat makan dan minum pada kandang pemeliharaan juga terbuat dari wadah plastik dan digantung atau dikaitkan pada sela-sela kayu di dalam kandang pemeliharaan. Namun, tempat mandi kandang pemeliharaan di tempatkan terpisah dengan kandang. Setiap pagi dan sore jalak bali dikeluarkan untuk dimandikan di tempat mandi khusus. Hal ini dilakukan karena jalak bali yang ada didalam kandang pemelihaan ini belum cukup dewasa berkisar antara 3 – 7 bulan. Tempat bertengger atau angkringan dalam kandang dibuat dengan meletakan pohon rambutan dan pohon palem. Tempat bertelur atau kotak sarang pada kandang reproduksi di letakan 1,5 meter dari lantai kandang, terbuat dari papan berbentuk kotak. Berikut gambar kotak sarang jalak bali di MBOF (Gambar 18).

Gambar 18 Kotak sarang jalak bali di MBOF.

Tempat makan dan minum pada inkubator terbuat dari bahan alumunium. Makanan yang diberikan pada piyik jalak bali adalah pur yang diencerkan dengan air panas. Tempat makan dan minum tidak diletakan dalam kandang karena pada piyik jalak bali diberi makan dengan cara disuapi. Inkubator terletak didalam ruangan atau kantor penangkaran MBOF. Lampu dinyalakan setiap waktu agar suhu ruangan tetap hangat. Pada kandang inkubator terdapat beberapa jendela agar sirkulasi udara berjalan dengan baik.

5.1.3.3Pemeliharaan kandang

Perawatan kandang dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan kondisi kandang dan fasilitasnya sedemikian rupa sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangbiakan jalak bali secara optimal. Perawatan kandang dilakukan dengan cara pembersihan kandang secara rutin. Pembersihan


(37)

37

kandang dilakukan setiap hari di pagi hari dan pergantian pakan dan air dilakukan setiap hari.

Menurut Masy’ud (2010), perawatan kandang juga dilakukan pada pohon atau tanaman tempat berteduh jalak bali agar tidak terlalu tinggi dan disesuaikan dengan keadaan ruang kandang. Beberapa jenis tanaman yang dapat ditanam dalam kandang antara lain murbei, kembang sepatu, palm, wijaya kusuma, dan lain-lain. Perawatan dapat dilakukan dengan memangkas atau memotong seperlunya. Saat pemangkasan atau pemotongan perlu diperhatikan masa kawin atau masa pengeraman telur untuk menghindari burung menjadi stress karena dapat berakibat negatif seperti gagal perkawinan, telur gagal menetas, bahkan kadang telur dimakan oleh induknya.

5.1.3.4Suhu dan kelembaban kandang

Secara keseluruhan, bentuk kandang jalak bali di MBOF berbentuk persegi panjang. Bentuk kandang persegi panjang paling banyak digunakan oleh penangkar jalak bali. Hal ini disebabkan dalam pembuatan kandang lebih mudah dan efektif. Selain itu, kandang jalak bali di MBOF memiliki atap yang sebagian tetutup asbes dan sebagian hanya tertutup oleh kawat ram, sehingga cahaya matahari dapat masuk kedalam kandang. Dengan demikian kandang dapat terhindar dari kelembaban yang mengundang berkembangbiaknya virus dan bakteri penyakit. Suhu di sekitar kandang dapat dilihat pada Gambar 19.


(38)

Suhu udara disekitar kandang jalak bali di MBOF pada pagi hari berkisar antara 27 – 28oC, sedangkan pada siang hari suhu sekitar kandang jalak bali dapat mencapai 30oC, dan pada sore hari suhu di sekitar kandang kembali menurun menjadi 27oC. Pengukuran suhu tidak dilakukan di dalam kandang akan tetapi dilakukan diluar kandang jalak bali atau di sekitar kandang jalak bali karena alat pengukur suhu (termometer dry-wet) tidak dapat dimasukan dalam kandang dan dikhawatirkan jalak bali dapat merusak alat pengukur suhu tersebut sedangkan dalam kandang reproduksi atau kandang indukan, termometer dry-wet tidak dapat dimasukan dalam kandang jalak bali karena dikhawatirkan dapat menggangu jalak bali yang akan bertelur.

Berdasarkan hasil penelitian Damanik (1996), suhu udara pagi didalam kandang penangkaran jalak bali TMII adalah 25 – 29oC, sedangkan penangkaran jalak bali di Madiun (26,5–29oC). Pada siang hari suhu udara di penangkaran jalak bali TMII dapat mencapai 27 – 31oC dan di Madiun 31,5 – 36,5oC. Suhu udara pada siang hari di penangkaran TMII dan penangkaran di Madiun jauh lebih tinggi di bandingkan dengan suhu udara di penangkaran MBOF. Suhu di sekitar kandang jalak bali di MBOF cukup rendah karena daerah sekitar kandang banyak ditanami oleh pepohonan yang cukup besar seperti pohon rambutan dan pohon mangga. Selain itu, didalam kandang jalak bali juga terdapat pohon rambutan atau palem yang dapat digunakan sebagai tempat bertengger.

Suhu di Taman Nasional Bali Barat yang merupakan habitat alami jalak bali yaitu sekitar 15 – 30oC (PHKA 2004). Suhu tersebut cukup rendah bila dibandingkan dengan penangkaran MBOF karena pengamatan suhu selama penelitian hanya dilakukan pada pagi hari hingga sore hari sedangkan pada malam hari tidak dilakukan pengukuran suhu. Suhu pada siang hari di penangkaran hampir sama dengan suhu pada siang hari atau suhu terpanas jalak bali di alam yaitu 30oC. Selain pengukuran suhu, pengukuran kelembaban sekitar kandang juga perlu dilakukan. Hasil pengukuran kelembaban sekitar kandang ditunjukkan pada Gambar 20.


(39)

39

Gambar 20 Kelembaban sekitar kandang jalak bali di penangkaran MBOF. Berdasarkan grafik dapat diketahui bahwa kelembaban kandang jalak bali menurun pada siang hari yaitu pada pukul 11.00 sampai dengan pukul 14.00 sebesar 59%, sedangkan pada pagi hari dan sore hari kelembaban lingkungan penangkaran meningkat mencapai 64%. Dapat dikatakan bahwa kelembaban sekitar kandang jalak bali di MBOF berkisar antara 59 – 64%. Kelembaban lingkungan jalak bali di alam atau di Taman Nasional Bali Barat sekitar 65,25% (PHKA 2004). Kelembaban tersebut tidak jauh berbeda dengan kelembaban di penangkaran sehingga kondisi lingkungan penangkaran MBOF sesuai untuk penangkaran jalak bali.

5.1.4 Manajemen pakan

5.1.4.1Pemberian pakan dan minum

Jenis pakan yang diberikan pada jalak bali di penangkaran burung MBOF adalah pisang, jangkrik, pur, dan kroto. Makanan utama jalak bali adalah pisang, serangga, dan pur, sedangkan kroto hanya diberikan sesekali karena jumlah kroto yang sangat terbatas. Pemberian jangkrik hanya diberikan pada jalak bali di kandang reproduksi, sedangkan kandang pertumbuhan hanya diberikan pisang dan pur. Kandang reproduksi yaitu kandang indukan (F0) yang terletak pada bagian dalam sedangkan kandang pertumbuhan merupakan kandang peraga (jalak bali yang belum bereproduksi). Keterbatasan dalam pemberian pakan jangkrik ini dikarenakan harga jangkrik cukup mahal dan jumlahnya yang terbatas. Selain itu, jalak bali yang berada di kandang reproduksi merupakan jalak bali indukan yang


(40)

sedang berkembangbiak, sehingga dibutuhkan pakan yang lebih banyak. Pemberian pakan diberikan secara rutin pada pagi hari, begitu juga dengan pemberian air minum diganti setiap hari pada bagi hari.

Pemberian pakan pisang terlebih dahulu dikupas sebagian kulitnya. Pisang kepok diberikan sebanyak satu sampai dengan tiga buah. Pisang yang telah dikupas sebagian kulitnya tersebut diberikan pada jalak bali dengan cara diletakkan pada wadah pakan atau digantungkan pada kawat ram yang merupakan konstruksi kandang. Pur yang diberikan pada jalak bali diletakkan pada wadah pakan.

Pemberian pakan jangkrik untuk jalak bali dilakukan dengan cara meletakkan jangkrik pada wadah pakan yang telah disediakan. Namun untuk jangkrik, terlebih dahulu dipotong bagian kakinya agar jangkrik tidak dapat terbang. Jangkrik yang diberikan pada jalak bali indukan diberikan secukupnya karena pakan jangkrik dapat membantu proses birahi agar indukan segera bertelur bertelur. Berikut jenis dan jumlah pakan yang diberikan perpasang jalak bali di

penangkaran (Mas’yud 2010).

Tabel 10 Jenis dan jumlah pakan yang diberikan perpasang jalak bali di penangkaran

No Jenis pakan Jumlah pemberian

1

Pakan nabati

Pisang 110 gram

Pepaya 80 gram

2

Pakan hewani

Ulat hongkong 10 gram

Jangkrik 2 ekor

Telur semut 10 gram

3

Pakan konsentrat

Fancy gold food 10 gram

Fancy food anti strees 10 gram

Kroto kristal 10 gram

Kroto voer 521 10 gram

Sumber: Masy’ud (2010).

Pakan yang diberikan pada piyik jalak bali berupa pur yang dicampur dengan air hangat dan dihaluskan. Cara pemberian pakan pada piyik jalak bali dengan cara menyuapinya secara perlahan begitu juga dengan air minumnya. Pakan untuk piyik jalak bali diberikan setengah jam sampai satu jam sekali karena piyik jalak bali biasanya membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak. Berikut gambar pakan jalak bali di MBOF (Gambar 21).


(41)

41

Gambar 21 Pakan jalak bali (pur dan pisang kepok) di MBOF.

5.1.4.2Jumlah konsumsi dan palatabilitas

Jumlah konsumsi adalah selisih antara berat pakan awal dengan berat pakan sisa, sedangkan tingkat palatabilitas adalah tingkat kesukaan satwa terhadap suatu jenis makanan tertentu. Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Rata-rata jumlah konsumsi dan tingkat palatabilitas

Jenis pakan

Kandang pertumbuhan/ekor Kandang reproduksi/ekor

Rata-rata

∑ konsumsi/hari/ekor

Rata-rata palatabilitas

Rata-rata

∑konsumsi/hari/ekor

Rata-rata Palatabilitas

Pisang

kepok 40,2 g 55,84 % 8,96 g 15,39 %

Pur 6,33 g 50,18 % 3,39 g 13,96 %

Jangkrik - - 15,18 g 59,22 %

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap jumlah konsumsi dan palatabilitas dengan ulangan sebanyak 14 kali (2 minggu) bahwa pada kandang pertumbuhan, jalak bali lebih menyukai pisang kepok dibandingkan dengan pur dengan rata-rata jumlah konsumsi pisang kepok 40,2 gram/ekor/hari dan pur 6,33 gram/ekor/hari dan tingkat palatabilitas masing-masing adalah 55,84% dan 50,18 %.

Jalak bali pada kandang reproduksi lebih menyukai jangkrik dibandingkan dengan pur dan pisang kepok. Rata-rata jumlah konsumsi jangkrik sebanyak 15,18 gram/ekor/hari dengan rata-rata palatabilitas 59,22% dan rata-rata jumlah

konsumsi pisang kepok sebanyak 8,96 gram/ekor/hari dan pur 3,39 gram/ekor/hari. Rata-rata palatabilitas pisang dan pur adalah 15,38 % dan

13,96 %. Hal ini dikarenakan jangkrik memilki nilai kandungan gizi (protein dan lemak) yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan pakan lain sehingga jalak bali


(42)

lebih memilih jangkrik sebagai konsumsinya. Menurut Soemadi dan Mutholib (1995), jalak bali termasuk dalam golongan burung yang memakan serangga, tetapi juga mengkonsumsi buah-buahan dan juga biji-bijian. Selain itu, burung ini juga memakan kutu, caplak, nyamuk, ulat, cacing, belalang, dan serangga lain serta makan buah dan biji-bijian.

Jenis pisang yang diberikan pada jalak bali di MBOF adalah pisang kepok. Jenis pisang yang umumnya dijadikan pakan burung adalah pisang kepok dan pisang siam. Burung yang menyukai buah ini antara lain jalak bali, jalak putih, cucakrawa, cucak biru, madi, kakaktua, nuri, beo, kutilang, dan lain-lain. Kualitas pisang ditentukan oleh sifat fisik dan kandungan gizinya, dimana komposisi kandungan zat gizi pisang berbeda-beda tergantung jenisnya tetapi yang jelas pisang merupakan sumber karbohidrat yang baik bagi burung.

Jenis serangga yang diberikan pada jalak bali di MBOF yaitu jangkrik. Jangkrik yang diberikan pada jalak bali yaitu jangkrik dengan keadaan masih hidup. Selain jangkrik, terdapat pakan jalak bali tambahan yaitu kroto. Kroto dapat berupa telur, larva, dan semut merah dewasa yang telah mati. Namun, kroto yang diberikan pada jalak bali di MBOF yaitu telur semut rangrang yang dikeringkan. Kroto untuk jalak bali di MBOF tidak setiap hari diberikan dan hanya sesekali saja. Kroto dapat dikatakan berkualitas baik apabila tidak berbau, tidak lengket, berwarna cerah, dan tidak bercampur dengan jenis semut lain (Gambar 22).

Gambar 22 Pakan jalak bali (kroto dan jangkrik).

Pakan buatan yang diberikan pada jalak bali di penangkaran adalah pur. Menurut Soemarjoto dan Prayitno (1999), beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian pakan buatan antara lain:


(43)

43

1. Perusahaan pakan buatan cukup banyak. Tentu saja kualitas produk yang dihasilkan tidak sama. Oleh karena itu, pada saat membeli pakan buatan perlu dipertimbangkan kualitas pakan yang akan dibeli, bukan karena harganya murah.

2. Pakan buatan (pur) harus selalu dijaga agar tidak sampai basah. Apabila pakan ini terkena air maka akan mengembang dan cepat rusak, serta menimbulkan bau.

3. Pakan pur ada tiga jenis yaitu untuk burung muda, burung remaja, dan burung dewasa. Pemberian harus disesuaikan dengan tahap perkembangan burung.

4. Pemberian pakan harus disesuaikan dengan besar dan kecilnya burung, setelah masuk ke tembolok pur akan berkembang. Oleh karena itu, pemberian pakan buatan harus dibatasi karena apabila terlalu banyak dan berkembang dalam tembolok dapat menyebabkan burung sakit bahkan kematian.

5.1.4.3Analisis proksimat

Kualitas pakan sangat ditentukan oleh nilai gizi yang terkandung dalam pakan tersebut. Secara umum, pakan yang diberikan pada burung harus mengandung protein, karbohidrat, mineral, lemak, vitamin, dan air (Soemadi dan Mutholib 1995). Menurut Ginantra et al. (2009) sumber pakan langsung di alam berupa biji dan buah dan untuk memenuhi kebutuhan proteinnya juga menyediakan serangga seperti belalang, semut, ulat, dan kupu-kupu. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi yang terkandung dalam pakan yang diberikan pada jalak bali. Berikut tabel kandungan gizi pakan jalak bali di MBOF (Tabel 12).

Tabel 12 Kandungan gizi pakan jalak bali

Nilai Gizi Pisang kepok Pur Kroto Jangkrik

Kadar abu (%) 2,65 5,90 4,20 -

Kadar protein (%) 4,30 21,05 47,80 13,70

Sarat kasar % 1,33 4,19 9,50 2,90

Kadar lemak (%) 0,19 7,21 14,84 5,30

Kalori (kkal) 3869,30 4753,03 5143,00 117,00

Kadar air (%) 66,48 8,82 - 76,00

Ca (%) 0,03 1,08 - -

P (%) 0,09 0,75 - -

BETN (%) - - 23,66 -


(44)

Berdasarkan tabel 9, pakan kroto memilki kadar protein tertinggi yaitu 47,80%, sedangkan jangkrik memiliki kadar protein 13,7%. Kroto juga memilki kadar lemak tertinggi yaitu 14,84% dan jangkrik memiliki kadar lemak 5,3%. kadar abu yang dimiliki kroto yaitu 4,20%, serat kasar sebesar 9,50%, kalori sebesar 51,43 kkal, dan BETN sebesar 23,66%, sedangkan jangkrik memilki serat kasar sebesar 2,9%, kalori sebesar 117 kkal, dan kadar air 76,0%.

Pur memiliki kasar kalori tertinggi yaitu 4753,03 kkal diikuti oleh pisang kepok sebanyak 3869,30 kkal. Pisang kepok memilki kadar abu 2,65 %, kadar protein pisang kepok 4,30%, serat kasar pisang kepok 1,33%, kadar lemak pisang kepok 0,19%, dan kadar air pisang kepok 66,48%. Pisang kepok memilki kadar air yang cukup tinggi sehingga tergolong buah-buahan yang mudah membusuk karena memiliki kadar air yang cukup tinggi, sedangkan pur memilki kadar air 8,82%, kadar abu 5,90%, kadar protein 21,05%, serat kasar 4,19%, dan kadar lemak 7,21%.

Kandungan serat kasar pada suatu pakan menunjukan kesukaran pakan tersebut untuk dicerna. Dalam pakan burung diperlukan protein yang tinggi untuk keperluan pertumbuhan dan aktivitasnya. Sorseno (1995) menyatakan burung-burung muda memerlukan pakan yang kaya akan protein. Agar fungsi tubuh berjalan normal, selain jumlah pakan kualitas pakan juga perlu diperhatikan. Pakan yang diberikan tidak hanya cukup secara kualitas dan kuantitas, tetapi juga seimbang. Kualitas pakan sangat ditentukan oleh nilai gizi yang dikandung dalam pakan tersebut. Secara umum, pakan yang diberikan kepada burung harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, mineral, vitamin, dan air (Soemadi dan Mutholib 1995).

Secara kimiawi, protein merupakan suatu bahan organik yang bersifat kompleks dan mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan terkadang belerang hingga fosfor. Unsur-unsur ini terbentuk dalam asam amino. Nilai protein sebagai unsur zat makanan sangat ditentukan oleh jumlah dan asam amino yang menyusunnya. Dari penelitian dapat diketahiui bahwa lebih dari 20 macam asam amino penyusun protein, sepuluh diantaranya sangat penting bagi tubuh burung yaitu asam amino arginin, histidin, isoleusin, lisin, leusin, metionin, fenilalanin, triptofan, treonin, dan falin (Soemadi dan Mutholib 1995).


(45)

45

Peranan protein dalam tubuh burung adalah sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan yang rusak. Bahan baku pembentukan enzim, hormon dan antibodi (zat kekebalan) jumlah protein yang dikonsumsi burung dari pakan yang disediakan harus seimbang dengan kebutuhannya. Burung ocehan memerlukan protein kurang lebih 35% dari jumlah makanannya.

Bentuk karbohidrat paling umum terdapat dalam pati. Pati digunakan sebagai sumber energi. Sebelum dimanfaatkan oleh tubuh burung, pati terlebih dahulu dirombak menjadi satuan yang lebih kecil berupa gula glukosa dengan bantuan suatu zat yang disebut enzim. Setelah itu, diserap dan diangkat oleh darah melalui dinding-dinding usus halus untuk kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh.

Karbohidrat berperan dalam tubuh burung sebagai sumber energi, membakar lemak, dan membantu memperkecil oksidasi protein menjadi energi serta memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan normal. Kadar karbohidrat dalam tubuh burung umumnya berkisar 2% dari bobotnya. Makanan yang mengandung karbohidrat dalam ransum burung ocehan sebaiknya sekitar 70% dari pakan yang diberikan sehari-hari (Soemadi dan Mutholib 1995).

Fungsi lemak dalam tubuh burung adalah sebagai sumber energi, mengatur suhu tubuh, melindungi organ tubuh, membawa vitamin A,D,E K, membawa asam lemak esensial, dan sebagai bahan baku pembentukan hormon steroid. Kandungan lemak dalam pakan burung ocehan sebaiknya tidak lebih dari 8%. Apabila kekurangan lemak, burung akan memperlihatkan gejala berupa kulit bersisik dan mengalami proses reproduksi yang tidak normal bahkan menyebabkan kematian. Sebaliknya, apabila lemak berlebihan juga merugikan karena tidak semua lemak dapat dicerna tubuh dan akhirnya akan terbuang percuma bersama dengan kotoran atau menumpuk diantara otot-otot tubuh maupun dibawah kulit (Soemadi dan Mutholib 1995).

Vitamin didefinisikan sebagai substansi organik yang dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil untuk pengaturan berbagai proses dalam tubuh. Vitamin dapat dibedakan menjadi vitamin yang dapat larut dalam air dan vitamin yang dapat larut dalam lemak. Vitamin A,D, E, dan K termasuk vitamin yang larut dalam lemak, sedangkan vitamin B dan C larut dalam air.


(46)

Secara umum, mineral berfungsi memelihara kondisi tubuh, memelihara cairan tubuh, menjaga kepekaan syaraf dan otot, mengatur proses metabolisme tubuh, mengatur keseimbangan kandungan asam dan basa dalam tubuh, dan sebagai unsur pembentuk tulang. Bagi burung, kegunaan mineral lebih khusus lagi yaitu untuk memelihara kesehatan tulang dan bulu, menambah nafsu makan, dan menghindari kanibalisme antar burung (Soemadi dan Mutholib 1995).

5.1.4.4Kebutuhan pakan

Kebutuhan pakan jalak bali dapat diketahui berdasarkan hasil perhitungan terhadap rata-rata jumlah konsumsi dan hasil analisis proksimat. Berdasarkan data tersebut dapat diperoleh kebutuhan protein dan kalori pada pakan jalak bali di MBOF sebagai berikut (Tabel 13):

Tabel 13 Kebutuhan pakan jalak bali di MBOF

No. Jenis pakan Protein kasar (%) Kalori (Kkal)

1 Pisang kepok 1,34 1259,31

2 Pur 2,59 585,28

3 Jangkrik 7,55 64,51

Jumlah 11,48 1909,1

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh jumlah protein kasar yang terkandung dalam pakan yang diberikan pada jalak bali di MBOF yaitu sebesar 11,48 %. Menurut Sudaro dan Siriwa (1999), total protein yang biasa dipakai untuk pembuatan pakan adalah 10 – 30% dengan rata-rata sebesar 15%. Kebutuhan protein sebesar 15% tidak begitu jauh bila dibandingkan dengan kebutuhan protein kasar di MBOF yaitu 11,48%, sehingga dapat dikatakan kandungan protein pada pakan jalak bali di MBOF sudah cukup baik.

Kebutuhan kalori jalak bali di MBOF yaitu sebanyak 1909 Kkal. Berdasarkan hasil penelitian Paryanti (2003), kebutuhan kalori burung Perkici dagu merah (Charmosyna placentis) di penangkaran bidang Zoologi Puslit Biologi-LIPI diperoleh hasil mengenai data kebutuhan kalori pakan burung perkici dagu merah yaitu sebesar 1479,678 Kkal. Kebutuhan kalori yang diberikan pada jalak bali di MBOF lebih banyak dibandingkan dengan hasil penelitian Paryanti (2003), tetapi tidak jauh berbeda sehingga kebutuhan kalori jalak bali di MBOF dapat dikatakan cukup baik.


(1)

Diagram panah

Rumus Koefisien inbreeding

F = ½ ∑ (1/2)n

(1+Fc) F = ½ ∑ (1/2)2 (1 + 0) 0,125

O

R S


(2)

80

Lampiran 5 Perhitungan persentase daya tetas telur, perkembangbiakan induk dan angka kematian (tahun 2011)

a. Presentase daya tetas telur :

Keterangan :

∂ = ∑ telur yang ditetaskan dalam satu tahun β = ∑ total telur yang ada dalam satu tahun

daya tetas telur

b. Tingkat perkembangbiakan dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut

t Tt Keterangan :

t = ∑ induk yang berkembangbiak dalam satu tahun Tt =∑ induk keseluruhan dalam satu tahun

c. Persentase angka kematian (tiap kelas umur) M

Mt Keterangan :

M = ∑ anak yang mati tiap kelas umur

Mt = ∑ total anak keseluruhan tiap kelas umur x 100 %

x 100 %

∂ x 100 % . β

240

360 x 100% = 66.66%

10

12 x 100% = 83.33%

120


(3)

angka kematian jalak bali di MBOF (tahun 2010) a. Presentase daya tetas telur :

Keterangan :

∂ = ∑ telur yang ditetaskan dalam satu tahun β = ∑ total telur yang ada dalam satu tahun

daya tetas telur

b. Tingkat perkembangbiakan dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut

t Tt Keterangan :

t = ∑ induk yang berkembangbiak dalam satu tahun Tt =∑ induk keseluruhan dalam satu tahun

c. Persentase angka kematian (tiap kelas umur) M

Mt Keterangan :

M = ∑ anak yang mati tiap kelas umur

Mt = ∑ total anak keseluruhan tiap kelas umur x 100 %

x 100 %

∂ x 100 % . β

192

288 x 100% = 66.66%

8

12 x 100% = 66.66%

96


(4)

82

Lampiran 7 Perhitungan persentase daya tetas telur, perkembangbiakan induk dan angka kematian jalak bali di MBOF (tahun 2009)

a. Presentase daya tetas telur :

Keterangan :

∂ = ∑ telur yang ditetaskan dalam satu tahun β = ∑ total telur yang ada dalam satu tahun

daya tetas telur

b. Tingkat perkembangbiakan dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut

t Tt Keterangan :

t = ∑ induk yang berkembangbiak dalam satu tahun Tt =∑ induk keseluruhan dalam satu tahun

c. Persentase angka kematian (tiap kelas umur) M

Mt Keterangan :

M = ∑ anak yang mati tiap kelas umur

Mt = ∑ total anak keseluruhan tiap kelas umur x 100 %

x 100 %

∂ x 100 % . β

120

180 x 100% = 66.66%

5

12 x 100% = 41.66%

60


(5)

Bird and Orchid Farm, Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN

MASY’UD dan LIN NURIAH GINOGA.

Jalak bali (Leucopsar rothschildi) merupakan satwa endemik Pulau Bali. Jalak bali di alam mengalami penurunan sehingga telah dinyatakan langka dan terancam punah. Terbukti dengan di cantumkan jalak bali dalam Red Data Book oleh IUCN dengan kategori critical endangered dan Appendix I CITES. Terancamnya populasi jalak bali di alam menyebabkan perlu adanya upaya konservasi. Upaya konservasi tersebut adalah penangkaran atau konservasi ex-situ. Salah satu penangkaran jalak bali yang telah berhasil yaitu penangkaran Mega Bird and Orchid Farm (MBOF). Perhitungan koefisien inbreeding perlu dilakukan terhadap jalak bali hasil penangkaran untuk mempertahankan kemurnian genetiknya dan pengukuran morfologi untuk mengetahui keberadaan tekanan inbreeding.

Penelitian dilaksanakan di Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) Bogor, Jawa Barat. pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2011. Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Teknik penangkaran dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, sedangkan analisis koefisien inbreeding secara kuantitatif dan perbandingan ukuran tubuh jenis kelamin dengan uji t-student menggunakan SPSS 16.0. Selain itu dilakukan perbandingan ukuran tubuh dengan hasil penelitian terdahulu secara deskriptif sedangkan untuk karakteristik morfologi kualitatif dianalisis secara deskriptif.

Penangkaran jalak bali di MBOF dimulai pada tahun 1996 dengan populasi sebanyak tiga pasang yang berasal dari sumbangan Taman Safari I Cisarua Bogor, dari penjual burung dan pencinta burung. Populasi jalak bali sampai dengan Oktober 2011, yaitu sebanyak 91 ekor. Jenis kandang yang ada di MBOF terdiri dari kandang peraga, kandang reproduksi, kandang pemeliharaan dan inkubator. Pakan yang diberikan pada jalak bali pisang kepok, pur, jangkrik

dan kroto. Rata-rata jumlah konsumsi tertinggi yaitu jangkrik sebesar 15,18 g/ekor/hari dan tingkat palatabilitasnya 59,22%. Kebutuhan protein jalak

bali di MBOF yaitu sebesar 11,48 % dan kebutuhan kalorinya sebesar 1909,0 Kkal. Jenis penyakit yang pernah di derita jalak bali di MBOF yaitu katarak, cacar pada kaki, flu, dan sakit mata. Presentase dan kriteria keberhasilan penangkaran jalak bali di MBOF yaitu daya tetas telur tinggi (66,66%), angka kematian sedang (33,33%) dan tingkat perkembangbiakan tinggi (63,88%).

Analisis koefisien inbreeding diperoleh nilai 0 karena tidak ada individu yang inbreeding, akan tetapi terdapat kemungkinan adanya perkawinan saudara tiri dengan nilai koefisien inbreeding 0,125. Karakteristik morfologi kuantitatif diperoleh hasil tidak berbeda nyata untuk semua peubah yang diukur dan berdasarkan hasil perbandingan morfologi dengan penelitian Masy’ud (1992) dan Helvoort et al. (1985) tidak berbeda jauh sehingga dapat dikatakan belum terjadi tekanan inbreeding pada jalak bali di MBOF.


(6)

SUMMARY

BELINDA DWI YUNANTI. Captive Breeding Technique dan Inbreeding Coefficient Analysis to Bali Starling (Leucopsar rothschildi Stresseman 1912) In Mega Bird and Orchid Farm Bogor, West Java. Under Supervision of

BURHANUDDIN MASY’UD and LIN NURIAH GINOGA.

Bali starling (Leucopsar rothschildi) is an endemic species of Bali Island which needed to be preserved. It’s population in the nature had decreased that the species stated as rare and endangered. It had been include in the criticaly endangered category of the Red Data Book and also included in the Appendix 1 CITES. The condition required conservation efforts. Captivity bread in ex-situ conservation. Was one of the effort to conserve bali starling. Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) was one of the captive breeding effort which succeed in breeding bali starling. Calculation of inbreeding coefficient should be done forward bali starling bred in the farm in order to maintain it’s genetic purity. Morphological measurement should also be done to identify inbreeding pressure.

Research was held in Mega Bird and Orchid Farm (MBOF) on June until October 2011. The data type used was consisted of primary and secondary data. The data of techniques captive breeding was analyzed descriptive and quantitative analysis, inbreeding coefficient was quantitative analysis. Analysis using t-student test was also employed in compary body size of female and male bali starling, The test was conducted using SPSS 16.0. Descriptive analysis was also conducted compary data of body size in this research with data in previous research and qualitative morfological characteristic of bali starling.

Captive breeding of bali starling in MBOF began in 1996 with three pairs of bali Starling origineted from Safari Park I Cisarua Bogor, from the bird seller and the bird lovers. There were 91 individual of bali starling up to Oktober 2011. The kind of cage in MBOF consisted of display cage, maintenance cage, reproduction cage and incubator. The feed given to the bali Starling were banana, voer, crickets, and kroto (ant’s egg). The average number of highest consumption was crickets 15.18 g/tail/day and the palatability of 59.22 %. Each individual of bali starling in MBOF needed 11.48% protein and1909.0 kcal/day. Types of diseases that had attacted in the bali Starling MBOF were cataracts, smallpox on foot, flu (influenza) and sore eyes. Percentage and criteria captive breeding success of bali starling were high egg hatching rate (66.66%), moderate mortality (33.33%) and reproduction level high (63.88%) .

The analysis of inbreeding coefficient should a result of 0 value, which ment that there was not any occurrence of inbreeding. However, there was a possibility of helf sibling marriage with inbreeding coefficient value of 0.25. There was not any significant different between quantitatif morphological characteristic of the male and female body size. There was any significant difference between the data of morfological characterstic current research the previous once conducted by Masy’ud (1992) and Helvoort et al. (1985) which ment that there had not been any inbreeding pressure to bali starling in MBOF.