Konflik Kerja-Keluarga, Tipologi Keluarga, dan Kepuasan Perkawinan pada Keluarga dengan Suami-Istri Bekerja

KONFLIK KERJA-KELUARGA, TIPOLOGI KELUARGA,
DAN KEPUASAN PERKAWINAN PADA KELUARGA
DENGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA

FITRI MELIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konflik Kerja-Keluarga,
Tipologi Keluarga, dan Kepuasan Perkawinan pada Keluarga dengan Suami-Istri
Bekerja adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November β014
Fitri Meliani
NIM Iβ511β0181

RINGKASAN

FITRI MELIANI. Konflik Kerja-Keluarga, Tipologi Keluarga, dan Kepuasan
Perkawinan pada Keluarga dengan Suami-Istri Bekerja. Dibimbing oleh EUIS
SUNARTI dan DIAH KRISNATUTI.
Ketidakseimbangan antara permintaan dengan ketersediaan lapangan kerja
bagi wanita yang semakin meningkat dari tahun ke tahun menciptakan dua pilihan
kegiatan ekonomi yang dapat dijalankan oleh wanita, yaitu di sektor formal dan
informal. Peran ganda wanita, yaitu di tempat kerja dan dalam rumah tangga
menghasilkan ketegangan dan konflik (role strain). Konflik tersebut terbagi
menjadi dua, yaitu konflik kerja mengganggu keluarga dan konflik keluarga
mengganggu kerja. Tuntutan dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan
keluarga (balancing work and family life) dapat menjadi sumber stres dalam
kehidupan keluarga, sehingga menjadi pencetus menurunnya kepuasan
perkawinan (satisfaction) dan berakibat buruk bagi keutuhan suatu keluarga.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konflik kerja-keluarga, tipologi
keluarga dan kepuasan perkawinan istri pada keluarga dengan suami istri bekerja.
Penelitian ini mengacu pada penelitian payung yang bertema keseimbangan kerja
dan keluarga (balancing work and family) menggunakan desain cross sectional
study. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive di Kecamatan Bogor Barat
dan Kecamatan Bogor Tengah. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari
– Juni β014. Contoh dalam penelitian ini adalah istri bekerja di sektor formal dan
informal yang memiliki salah satu anak berumur 0-6 tahun. Teknik penarikan
contoh dilakukan secara stratified non-proporsional random sampling sebanyak
1β0 orang.
Hasil penelitian menunjukkan istri yang bekerja di sektor formal cenderung
mengalami konflik kerja-keluarga yang lebih tinggi dibandingkan dengan istri
yang bekerja di sektor informal. Hal tersebut diduga karena aturan di tempat kerja
dan lama perjalanan ke tempat kerja pada sektor formal lebih menuntut waktu dan
perhatian dibandingkan dengan pekerjaan di sektor informal. Tingkat pendidikan
istri dan pendapatan keluarga berhubungan positif dengan kepuasan perkawinan.
Jumlah anggota keluarga dan lama pernikahan berhubungan negatif dengan
kepuasan perkawinan. Tidak ada perbedaan indikator tipologi antara istri yang
bekerja di sektor formal dan informal. indikator tipologi yang perlu ditingkatkan
adalah ketangguhan dan ikatan keluarga.

Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa instansi ketenagakerjaan
perlu menyusun kebijakan yang ramah keluarga, terutama berkaitan dengan
fasilitas, waktu kerja dan pendapatan pekerja. Bagi Lembaga Swadaya
Masyarakat dan Lembaga Pendidikan agar meningkatkan sosialisasi mengenai
peningkatan pendidikan dan keterampilan guna meningkatkan penghasilan
keluarga.
Kata kunci: konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga, kepuasan perkawinan,
keluarga dengan suami istri bekerja, pekerjaan formal, pekerjaan informal

SUMMARY
FITRI MELIANI. Work-Family Conflict, Family Typology, and Marital
Satisfaction of Dual Earner Families. Supervised by EUIS SUNARTI and DIAH
KRISNATUTI.
The imbalance between the availability of market and demand for female
labor is increasing from year to year, creating two choices of economic activities
that can be run by women, namely the formal and informal sectors. Dual role of
wife produces tension and conflict (role strain) between the demands of work and
family. Conflict is divided into two, namely work conflict interferes with family
and family conflict influence with work. In balancing the demands of work and
family life (balancing work and family life) may be a cause of stress in family life,

which became the cause of declining satisfaction (satisfaction) and bad for the
health and integrity of the family. Given the number of divorces in Indonesia that
increas every year, it is important to do further research on the problems faced by
dual- earner families in these modern times.
This study aims to analyze the work-family conflict, family typology and
wife marital satisfaction among dual earner families. This study draws on research
umbrella themed work and family balance (balancing work and family), using a
cross-sectional study design. Location determination is purposive in Bogor City,
namely West and Central District of Bogor. Data collection was conducted in
February-June β014. The example in this study is a working mother with the type
of formal or informal job, among dual earner families. Sampling techniques
performed non-proportional stratified random sampling of 1β0 people.
The results showed that wife worked in the formal sector tend to experience
work-family conflict is higher than with a wife who works in the informal sector.
This is presumably because the rules in the workplace and a long way to work in
the formal sector is more demanding of time and attention than the work in the
informal sector. Wife's education level and family income is positively related to
marital satisfaction. The number of family members and long marriage negatively
related to marital satisfaction. There is no difference between typology indicator
amaong wifes who work in the formal and informal sectors. The typology

indicators needs to be improved is family hardiness and bonding.
The results of the study recommend that governmentmust arrange a familyfriendly policies related to determination of facilities, hours of work, wages and
compensation for the wife work. NGO and Education Institution to help dual
earner families by socializing to improve family skill to increase family wage..
Keywords: work-family conflict, family typology, marital satisfaction, dual earner
family, formal job, informal job

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun β014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KONFLIK KERJA-KELUARGA, TIPOLOGI KELUARGA,
DAN KEPUASAN PERKAWINAN PADA KELUARGA
DENGAN SUAMI-ISTRI BEKERJA


FITRI MELIANI
Tesis
sebagai syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Lilik Noor Yuliati, MFSA

Judul
Nama
NIM

: Konflik Kerja-Keluarga, Tipologi Keluarga, dan Kepuasan

Perkawinan pada Keluarga dengan Suami-Istri Bekerja
: Fitri Meliani
: Iβ511β0181
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir.Euis Sunarti,M.S
Ketua

Dr.Ir. Diah Krisnatuti, M.Si
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Keluarga dan
Perkembangan Anak

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc., M.Sc

Dr. Ir.Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: βγ September β014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Rasa syukur juga penulis
haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi motivator
kehidupan bagi penulis. Tema yang dipilih dalam penelitian yang akan
dilaksanakan pada bulan Februari-Juni β014 adalah keseimbangan kerja-keluarga
dengan judul Konflik Kerja-Keluarga, Tipologi Keluarga, dan Kepuasan
Perkawinan pada Keluarga dengan Suami-Istri Bekerja.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.Si dan
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S selaku komisi pembimbing tesis atas arahan,
dukungan, pembelajaran, dan doa yang diberikan kepada penulis untuk
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orangtua, Ir. Zainal

Muttaqin, M.Sc. dan Neni Daerani, S.Pd., suami Andy Naisabury, dan putri Azka
Namira Fajriani, serta keluarga besar yang telah memberikan doa, semangat, dan
kasih sayang yang tidak pernah berhenti. Terima kasih kepada rekan penelitian,
yaitu Fitri Apriliana Hakim, Risda Rizkillah dan Nurlita Tsania yang telah
berjuang bersama untuk mencapai target penelitian agar selesai tepat waktu, serta
teman-teman IKA β01β atas bantuan dan saran yang telah diberikan. Akhir kata,
semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan segala
informasi yang terdapat didalamnya.
Bogor, November β014
Fitri Meliani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii


DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

8
8
β
4
4

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktural Fungsional
Konflik Kerja-Keluarga
Tipologi Keluarga

Tipe Keluarga Regeneratif
Tipe Keluarga Lenting
Kepuasan Perkawinan

5
5
6
7
9
10


KERANGKA PIKIR



METODE PENELITIAN
Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian
Gambar 5 Teknik penarikan contoh
Contoh dan Teknik Penarikan Contoh
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional

15
15
15
15
16
18
19

PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFI DAN KONFLIK KERJA-KELUARGA
TERHADAP KEPUASAN PERKAWINAN PADA KELUARGA DENGAN
SUAMI-ISTRI BEKERJA
β1
Abstrak
β1
Abstract
β1
Pendahuluan
ββ
Tujuan Penelitian
βγ
Manfaat Penelitian
βγ
Metode Penelitian
βγ
Hasil
β5
Pembahasan
β9
Simpulan
γ1

PERBEDAAN KONFLIK KERJA-KELUARGA DAN TIPOLOGI KELUARGA
BERDASARKAN JENIS PEKERJAAN ISTRI
γβ
Abstrak
γβ
Abstract
γβ
Pendahuluan
γγ
Tujuan Penelitian
γ4
Manfaat Penelitian
γ4
Metode Penelitian
γ4
Hasil
γ6
Pembahasan
47
Simpulan
49
PEMBAHASAN UMUM

50

SIMPULAN DAN SARAN



Simpulan
Saran




DAFTAR PUSTAKA

54

LAMPIRAN

60

RIWAYAT HIDUP

77

DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel β
Tabel γ
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Tabel 1β
Tabel 1γ
Tabel 14
Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Tabel β0
Tabel β1
Tabel ββ
Tabel βγ
Tabel β4

Variabel, skala, dan pengolahan data
Rataan faktor demografi
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi konflik
kerja mengganggu keluarga
Sebaran item berdasarkan rataan capaian konflik kerjakeluarga
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian kepuasan
perkawinan
Sebaran item berdasarkan rataan capaian kepuasan perkawinan
Hasil koefisien korelasi antara faktor demografi, konflik kerjakeluarga, dan kepuasan perkawinan
Koefisien regresi pengaruh karakteristik demografik dan
konflik kerja-keluarga terhadap kepuasan perkawinan
Hasil Uji beda karakteristik keluarga berdasarkan jenis
pekerjaan
Hasil uji beda karakteristik pekerjaan istri berdasarkan jenis
pekerjaan
Hasil uji beda dimensi konflik kerja-keluarga berdasarkan jenis
pekerjaan
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi konflik
kerja mengganggu keluarga menurut jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian konflik kerja mengganggu
keluarga berdasarkan jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian konflik keluarga
mengganggu kerja berdasarkan jenis pekerjaan
Hasil uji beda capaian dimensi tipologi keluarga berdasarkan
jenis pekerjaan
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi
ketangguhan keluarga (hardiness) menurut jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian ketangguhan keluarga
(hardiness) berdasarkan jenis pekerjaan
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi
koherensi keluarga menururt jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian koherensi keluarga
berdasarkan jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian ikatan keluarga berdasarkan
jenis pekerjaan
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi ikatan
keluarga menururt jenis pekerjaan
Hasil uji beda item rataan capaian fleksibilitas keluarga
berdasarkan jenis pekerjaan
Sebaran contoh berdasarkan kategori capaian dimensi
fleksibilitas keluarga menururt jenis pekerjaan
Koefisien korelasi antar indikator tipologi keluarga

17
β5
β6
β6
β7
β7
β8
β8
γ7
γ7
γ8
γ8
γ8
γ9
40
40
41
41


44
44
45
46

Tabel β5 Koefisien korelasi antar karakteristik keluarga, konflik kerja
keluarga, dan indikator tipologi keluarga

46

DAFTAR GAMBAR
Gambar
Gambar
Gambar
Gambar

1
β
γ
4

Model Penyesuaian dan Adaptasi Keluarga T-Double ABCX
Tipe keluarga regeneratif
Tipe keluarga resilient
Kerangka pikir konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan
kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami-isri
bekerja
Gambar 5 Teknik penarikan contoh
Gambar 6 Sebaran keluarga (%) berdasarkan model kuadran circumplex
tipe keluarga regeneratif berdasarkan jenis pekerjaan
Gambar 7 Sebaran keluarga (%) berdasarkan model kuadran circumplex
tipe keluarga lenting berdasarkan jenis pekerjaan

8
9
10
14
15

45

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Reliabilitas dan Validitas Variabel Utama Penelitian
Lampiran β Uji Normalitas dan Multicolinearity Variabel
Lampiran γ Uji Beda Karakteristik Keluarga
Lampiran 4 Uji Beda Karakteristik Pekerjaan Istri
Lampiran 5 Uji Beda Variabel Utama
Lampiran 6 Uji Korelasi dan Regresi Variabel Penelitian
Lampiran 7 Dokumentasi

60
61

65
68
70
75

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dewasa ini, persentase wanita bekerja terus meningkat dibandingkan tahuntahun sebelumnya. Berdasarkan data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(β01β), dari β008 hingga β010, persentase wanita bekerja meningkat dari γ7.9
persen (β008), dan γ8.β persen (β009) menjadi γ8,6 persen pada β010.
Peningkatan ini mengindikasikan bahwa kesempatan bekerja wanita semakin
besar. Saat ini, laki-laki dan wanita memiliki kesempatan yang sama di pasar
tenaga kerja. Peran ganda yang dijalani wanita dalam pekerjaan dan rumah tangga
menuntut lebih banyak waktu dan energi untuk memenuhi tanggung jawab pada
setiap peran tersebut. Tantangan ini berkaitan dengan adanya tuntutan (demands)
untuk menyerap lebih banyak sumber daya (resources) keluarga (McCubbin et al.,
1988), disebut sebagai konflik kerja-keluarga, yaitu wanita bekerja mengalami
efek langsung dan tidak langsung dari karir mereka, dan karir tersebut
memberikan efek langsung dan tidak langsung pada keluarga mereka (Greenhaus,
Parasuraman dan Collins, β001).
Pada level individu dan keluarga, tuntutan dalam menyeimbangkan
kehidupan pekerjaan dan keluarga (balancing work and family life) dapat menjadi
penyebab konflik dalam kehidupan keluarga, yang menjadi pencetus menurunnya
kepuasan dalam pekerjaan, hidup, perkawinan, dan meningkatkan distress yang
berakibat buruk bagi kesehatan, dan kesejahteraan suatu keluarga (Frone, Russell,
dan Barnes, β00γ; Boles, Johnston dan Hair, 1997). Terlebih, 56.β persen ibu-ibu
di negara Asia yang memiliki anak dibawah 6 tahun berstatus sebagai pekerja
(BLS, β01γ). Perkembangan anak usia 0 – 6 tahun adalah dasar yang penting bagi
perkembangan anak selanjutnya, karena fase awal kehidupan hingga 5 tahun
adalah golden age. Fase golden age adalah fase terpenting dalam memberikan
kasih sayang, perhatian, dan berbagai macam rangsangan agar setiap tugas
perkembangan dapat tercapai. Keterbatasan waktu ibu di rumah dapat berdampak
kurang baik pada pengasuhan anak di fase ini. Perubahan besar dalam
keberfungsian keluarga tersebut adalah gaya hidup keluarga dual-earner yang
merupakan tantangan bagi individu, keluarga, pekerja, komunitas dan pemerintah.
Kemampuan suatu keluarga mengatasi setiap kejadian, tantangan, tekanan dan
perubahan dalam hidup adalah kemampuan yang diperlukan agar menjadi
keluarga yang berfungsi secara tepat (McCubbin dan Thompson, 1987).
Setiap keluarga memiliki usaha yang berbeda-beda dalam menghadapi
kejadian, tekanan dan perubahan dalam hidup. Tipologi keluarga merupakan
karakteristik atau ciri-ciri keluarga dalam menilai, beroperasi, dan atau
berperilaku ketika menghadapi sumber stress (Sunarti β01β). Keluarga dengan
dimensi tipologi yang baik akan memiliki pola adaptasi yang positif terhadap
kondisi krisis, dan mengalami kepuasan perkawinan (McCubbin et al., 1988).
Kepuasan perkawinan menggambarkan evaluasi subjektif terhadap kualitas suatu
hubungan perkawinan (Roach, Frazier, dan Bowden, 1981). Kepuasan perkawinan
istri bekerja dapat dipengaruhi oleh kemampuan setiap keluarga menghadapi

β
konflik kerja-keluarga dan cara keluarga berperilaku dan beradaptasi ketika
mendapat tantangan dan tekanan yang dihadapi keluarga dengan diukur oleh
indikator tipologi keluarga (family hardiness, family coherence, family bonding
dan family flexibility).
Keluarga dual-earner adalah keluarga dengan suami dan istri yang samasama berperan aktif di ranah publik. Tugas yang tumpang tindih di tempat kerja
dan tugas di rumah dapat mempengaruhi keberfungsian keluarga, dimana tugas
utama istri adalah sebagai pemelihara rumah tangga. Keberfungsian keluarga
memegang peranan penting sebagai penyangga keutuhan keluarga. Mengingat
angka perceraian di Indonesia yang semakin bertambah setiap tahun, 70 persennya
diinisiasi oleh pihak istri, dan masih tertinggi di kawasan Asia Pasifik (BKKBN,
β01γ), maka penting untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai permasalahan
yang dihadapi oleh keluarga dual-earner di masa modern ini.
Perumusan Masalah
Keinginan bekerja wanita yang tidak memiliki pendidikan tinggi seringkali
tidak didukung oleh ketersediaan lapangan kerja, dengan begitu wanita cenderung
berpeluang di sektor informal. Komponen pekerja informal terdiri dari penduduk
bekerja dengan status berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap,
pekerja bebas di pertanian, pekerja bebas di nonpertanian dan pekerja keluarga/tak
dibayar (BPS, β014). Sektor informal banyak terdapat di perkotaan dan pedesaan,
kegiatannya terutama disektor perdagangan (penjual keliling, pedagang kaki lima,
tukang loak, penjual buku bekas), sedang dari sektor jasa adalah tukang becak,
buruh angkut, tukang gunting rambut dan sebagainya (Gilarso, 199β). Ahmad
(β00β) menambahkan, bahwa sektor informal disebut sebagai kegiatan ekonomi
yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memperoleh beberapa ciri seperti
kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat
harian, tempat tidak tetap dan berdiri sendiri. Tipe informal didominasi oleh
kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian
dan keterampilan khusus, lingkungan kecil atau keluarga serta tidak mengenal
perbankan, pembukuan maupun perkreditan (Firdiansyah, β009). Sektor formal
adalah usaha yang secara sah terdaftar dan mendapat izin dari pejabat berwenang.
Kegiatannya terhimpun dalam instansi pemerintah, bentuk badan usaha seperti
BUMN, BUMS, dan koperasi. Pekerjaan sektor informal adalah sebuah lapangan
kegiatan usaha yang bersifat independen (Triputrajaya, β011).
Peran ganda istri dijelaskan dalam konsep dualism cultural (Michelle dan
Louise, 1974), yang terbagi dalam dua lingkungan, yaitu domestik dan publik.
Peran domestik merupakan peran sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga,
sedangkan peran publik merupakan peran dalam lingkungan kerja anggota
masyarakat, dan organisasi. Peran ganda istri menghasilkan ketegangan dan
konflik peran (role strain) antara tuntutan pekerjaan dan keluarga. Konflik
tersebut terbagi menjadi dua (Voydanoff & Kelly 1984, dalam Kammeyer 1987).
Pertama, yaitu beban berlebih, yang artinya tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan
dan rumah tangga melebihi kapasitas seseorang dalam menanganinya karena
keterbatasan waktu dalam sehari untuk melakukan semua aktivitas yang
cenderung tidak terbatas. Konflik peran ganda yang kedua adalah tumpang tindih

γ
(interference) yang artinya ada pekerjaan di kantor yang harus diselesaikan,
sementara kewajiban keluarga juga harus dilaksanakan dalam waktu yang sama.
Konflik kerja-keluarga mendapat perhatian besar dari banyak peneliti karena
pengaruhnya terhadap berbagai aktifitas di tempat kerja dan rumah tangga. Pada
tempat kerja, konflik kerja-keluarga mengakibatkan munculnya stres kerja dan
niat pengunduran diri individu. Konflik kerja-keluarga adalah masalah bagi
pegawai maupun organisasi tempat individu bekerja. Hal ini mengganggu aktifitas
pegawai di tempat kerja dan menciptakan masalah pada situasi keluarga individu
(Adams, King, dan King, 1996; Ghayyur dan Jamal, β01β). Hubungan negatif
antara konflik kerja-keluarga dengan kepuasan perkawinan dapat dibuktikan
dengan fakta bahwa wanita bekerja yang memiliki level konflik kerja-keluarga
yang rendah mengalami kepuasan yang lebih tinggi dalam peran pekerjaan
maupun peran dalam keluarga (Williams dan Alliger, 1994; Judge, Ilies, dan
Scott, β006).
Tipologi keluarga masih jarang dikaji. Beberapa penelitian mengenai
tipologi keluarga membahas hubungan tipologi keluarga dengan ketahanan
keluarga, dan membahas tipologi keluarga berdasarkan wilayah (perdesaan dan
perkotaan), dan status ekonomi (miskin dan tidak miskin). Hasil yang menarik
untuk dibahas adalah bahwa proporsi tipe keluarga resilient lebih besar di
perdesaan, sedangkan tipe keluarga regeneratif lebih banyak di perkotaan, berarti
keluarga perkotaan memiliki tipologi yang lebih baik dari keluarga perdesaan
(Kharisma, β01γ; Sunarti β01βb). Keluarga tidak miskin memiliki persentase
indikator tipologi keluarga yang lebih baik dari keluarga miskin. Hal ini
menegaskan bahwa keluarga miskin memiliki keterbatasan dalam berbagai hal
bila dilihat dari tipologi keluarga (Ginanjarsari, β010). Ketiga penelitian tersebut
menggambarkan kemampuan keluarga dalam menghadapi situasi stres dalam hal
ekonomi dan wilayah tempat tinggal. Namun demikian, belum ada penelitian yang
mengkaji hubungan antara tipologi keluarga dengan konflik kerja-keluarga.
Penting untuk meneliti tipologi dan konflik kerja keluarga guna memetakan
kemampuan keluarga dalam mengelola tekanan yang timbul dari peran ganda istri.
Penelitian ini memperlihatkan implikasi keseimbangan dunia kerja dan
rumah tangga agar mencapai kesuksesan dan keharmonisan pada dua peran yang
berbeda. Kontribusi dari penelitian ini adalah mengkaji dampak konflik kerjakeluarga terhadap kepuasan perkawinan. Penting untuk memotret fenomena
keseimbangan kerja-keluarga pada masyarakat modern saat ini yang didominasi
oleh keluarga dengan suami-istri bekerja guna untuk membuat rekomendasi dan
pengembangan kebijakan. Guna menggambarkan proses dalam keluarga yang
mengalami konflik kerja-keluarga, diperlukan tipologi keluarga sebagai tolak ukur
keluarga yang regeneratif (regenerative) dan lenting (resilient), sehingga
diperoleh gambaran menyeluruh mengenai kepuasan perkawinan pada keluarga
dengan suami-istri bekerja. Berdasarkan fenomena di atas, penelitian ini ingin
menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana gambaran karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan istri,
konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan pada
keluarga dengan suami-istri bekerja?
β.
Adakah perbedaan karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan istri,
konflik kerja-keluarga dan tipologi keluarga berdasarkan jenis pekerjaan
formal dan informal?

4
γ.
4.

Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan
istri, konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan
pada keluarga dengan suami-istri bekerja?
Bagaimana pengaruh karakteristik keluarga dan konflik kerja-keluarga
terhadap kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami-istri bekerja?
Tujuan Penelitian

Umum :
Menganalisis konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan
perkawinan pada keluarga dengan suami-istri bekerja.
Khusus :
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan istri, konflik
kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan pada keluarga
dengan suami-istri bekerja.
β. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan istri,
konflik kerja-keluarga dan tipologi keluarga berdasarkan jenis pekerjaan
formal dan informal.
γ. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan
istri, konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan
pada keluarga dengan suami-istri bekerja.
4. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan konflik kerja-keluarga
terhadap kepuasan perkawinan pada keluarga dengan suami-istri bekerja.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keluarga
dengan suami-istri bekerja, karakteristik pekerjaan istri, konflik kerja-keluarga,
tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan. Penelitian ini diharapkan dapat
menjadi acuan informasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya. Bagi keluarga,
penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami bagaimana mengelola potensipotensi keluarga dalam menghadapi berbagai tekanan akibat konflik kerjakeluarga agar lebih merasa puas dengan perkawinannya. Bagi pemerintah dan
instansi, gambaran konflik yang dialami oleh dua tipe keluarga (regenerative dan
resilient) dan pengaruhnya terhadap kepuasan perkawinan pada keluarga dengan
suami-istri bekerja diharapkan dapat membantu merencanakan berbagai program
penyeimbang masalah pekerjaan dan keluarga (balancing work-family) dari sisi
internal keluarga, yaitu kepuasan perkawinan. Bagi pembaca, penelitian ini
diharapkan dapat menambah khasanah dan wawasan mengenai fenomena yang
berkaitan dengan kehidupan keluarga.

5

TINJAUAN PUSTAKA
Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional berlandaskan empat konsep yaitu sistem, struktur
sosial, fungsi dan keseimbangan. Teori ini membahas perilaku seseorang
dipengaruhi orang lain dan oleh institusi sosial, dan bagaimana perilaku tersebut
pada gilirannya mempengaruhi orang lain dalam proses aksi-reaksi berkelanjutan.
Teori ini memandang tidak ada individu dan sistem yang berfungsi secara
independen, melainkan dipengaruhi dan pada gilirannya mempengaruhi orang lain
atau sistem lain (Winton, 1995), serta mengakui adanya keragaman dalam
kehidupan sosial, yang merupakan sumber utama struktur masyarakat
(Megawangi, 1999).
Kajian berdasarkan teori sistem keluarga (Galvin dan Brommel, 1996)
melihat hubungan keluarga sebagai sesuatu yang menyeluruh, berinteraksi dan
saling bergantung satu sama lain untuk mengendalikan keseimbangan dan
kelangsungan sistem. Teori ini juga digunakan untuk menerangkan proses
komunikasi yang berlaku dalam keluarga. Teori tentang keluarga dapat dari empat
level analisis (Klein dan White, 1996). Pada level terkecil, keluarga dapat dilihat
sebagai hubungan interpersonal yang sederhana dalam melakukan pertukaran
(exchange). Pada level yang lebih besar lagi peran individu masih kentara namun
bentuk hubungannya lebih kompleks karena berbentuk jaringan. Pada level
analisis selanjutnya, keluarga tidak lagi dapat dilihat secara mudah pada level
individu karena sistem dan kelompok lebih dominan. Pada level yang paling
tinggi, keluarga dapat dianggap sebagai institusi yang solid dan lebih formal
seperti layaknya organisasi. Empat sistem dinilai vital dalam keluarga, yaitu
sistem perumusan sasaran dan rencana, sistem standarisasi, sistem upaya
peningkatan, dan sistem komunikasi serta pemecahan masalah. Masalah yang
tidak kalah penting adalah integrasi dari sistem-sistem itu. Contohnya,
menyekolahkan anak seharusnya dibarengi dengan upaya untuk meningkatkan
kemampuan membuat rencana, mempertahankan upaya tersebut dan diikuti oleh
keterbukaan dalam pemecahan masalah yang dihadapi.
Definisi keluarga dapat dilihat dari berbagai perspektif. Menurut Olson dan
DeFrain (β00γ) mendefinisikan keluarga sebagai komitmen antara dua orang atau
lebih untuk barbagi keintiman (sharing intimacy), sumber daya, pengambilan
keputusan, tanggung jawab dan nilai. Dalam kehidupan keluarga diperoleh
pandangan mengenai keluarga, yakni “Family System Theory”, yang menyatakan
bahwa segala sesuatu yang terjadi pada salah satu anggota keluarga akan
berpengaruh terhadap anggota keluarga yang lainnya. Antaranggota keluarga akan
saling berhubungan dan bekerja sebagai satu kelompok sistem keluarga (family
system).
Family System Theory dikembangkan dari general system theory. Beberapa
konsep dalam general system theory dianggap relevan dengan sistem keluarga.
Konsep mengenai multiple system level menjelaskan bahwa sistem melekat di
dalam sistem yang lain, dimana ketika perhatian difokuskan pada satu sistem
tertentu, maka satu supra-sistem (sistem yang lebih besar) dan sub-sistem (sistem
yang lebih kecil) biasanya akan ikut terlibat. Dalam pasangan suami istri, maka

6
supra-sistemnya adalah keluarga dan sub-sistemnya terdiri dari dua individu
(suami dan istri). Jika fokusnya adalah nuclear family (keluarga inti) maka suprasistemnya adalah extended family (keluarga besar) dan sub-sistemnya adalah
pasangan sumai istri atau unit diadic (dua orang) yang lainnya, seperti orang tuaanak. Sistem yang sehat digambarkan dengan adanya keseimbangan antara
separatedness (keterpisahan) sebagai individu dan connectedness (keterkaitan)
sebagai sebuah sistem. Dinamika akan membantu sistem untuk menjaga
keseimbangan antara separatedness-connectedness yang ada. Sistem keluarga
akan berfungsi dengan baik jika pertukaran informasi-informasi yang penting
dilakukan secara teratur antar anggota keluarga.
Konflik Kerja-Keluarga
Konflik kerja-keluarga dibangun dari paradigma stres dalam dunia kerja.
Terjadinya berbagai masalah baik di pekerjaan maupun di keluarga dapat
mengakibatkan konflik antara dua wilayah penting dalam kehidupan, yaitu
pekerjaan dan keluarga, salah satunya adalah adanya tuntutan peran yang
bertentangan. Netemeyer (1996) menyatakan bahwa konflik kerja-keluarga dapat
terjadi dari dua arah yaitu konflik kerja mengganggu keluarga (Work-Family
Conflict) dan konflik keluarga mengganggu pekerjaan (Family-Work Conflict).
Carlson et al. (β000) membagi tiga bentuk konflik kerja-keluarga, yaitu
time-based conflict (berdasarkan waktu), strain-based conflict (berdasarkan
ketegangan), dan behavior-based conflict (berdasarkan perilaku). Greenhaus dan
Beutell (1985) mendefinisikan, time-based conflict terjadi saat ada tuntutan waktu
di suatu peran yang menyulitkan keikutsertaan peran lainnya; strain-based conflict
adalah saat satu peran mengganggu peran lainnya; dan behavior-based conflict
adalah saat suatu perbuatan/perilaku yang dibutuhkan dalam satu peran tidak
sesuai dengan harapan dalam peran lain.
Penelitian mengenai konflik kerja-keluarga menemukan bahwa variabel ini
mempengaruhi beberapa aspek, yaitu psychological well-being, depresi, kepuasan
perkawinan, dan kepuasan hidup (Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik antara
pekerjaan dan keluarga memiliki konsekuensi nyata, yaitu dalam pencapaian karir
dan kualitas keluarga baik pada pria maupun wanita. Pada wanita, termasuk di
dalam konsekuensi ini adalah keterbatasan dalam pilihan berkarir, kurangnya
kesempatan bekerja dan kesuksesan peran dalam pekerjaan, dan kebutuhan
memilih antara dua kepentingan yang bertolak belakang, yaitu karir yang aktif dan
memuaskan, atau perkawinan dan anak. Tuntutan pekerjaan dapat mengancam
sumberdaya seseorang dari waktu ke waktu, terlalu lama terkena tuntutan seperti
jam kerja yang panjang dapat mengakibatkan kelelahan, emosi, dan stres. Hal
tersebut dapat mengakibatkan istri tidak dapat menyelesaikan sesuatu di rumah.
Walaupun istri memiliki pekerjaan penuh waktu diluar rumah, istri tetap
mengerjakan dua kali lebih banyak tugas-tugas rumah tangga daripada suami
(Greenhaus dan Friedman, β000).
Jam kerja yang panjang mempengaruhi keseimbangan kerja-keluarga secara
langsung dan anak yang sering menerima dampak dari ketidakseimbangan
tersebut. Jumlah dan tahap perkembangan anak (biasanya anak terkecil) menjadi
aspek penting yang berpengaruh dalam tuntutan keluarga. Konflik keluarga-kerja

7
(FWC) cenderung lebih tinggi pada pekerja yang menikah dibanding mereka yang
masih melajang, dan lebih dialami pekerja yang telah memiliki anak dibanding
pekerja yang belum memiliki anak (Lu, Gilmour, Kao, dan Huang, β006).
Perencanaan dan penyusunan jadwal merupakan bagian utama dari semua
kemampuan penyeimbangan peran ganda pada wanita (Greenhaus dan Friedman,
β000). Namun begitu, tidak semua penelitian menunjukkan hubungan yang
negatif antara peran dalam pekerjaan dan keluarga. Adanya percampuran nilai,
keterampilan dan perilaku yang telah dipelajari dari suatu peran (tempat kerja)
dapat mempengaruhi peran lainnya (rumah) (Haar dan Bardoel, β008). Tumpang
tindih peran dalam kerja dan keluarga dapat meningkatkan kepuasan keluarga
(Grzywacz, Almeida, dan McDonald, β00β).
Dua penelitian mengenai konflik kerja-keluarga pada keluarga Latin dan
keluarga Asia (Yang et al., β000 & Spector et al., β004) menunjukkan bahwa
pada lingkungan budaya kolektif, individu cenderung lebih sedikit mengalami
konflik kerja-keluarga, karena pekerjaan dan keluarga merupakan suatu integrasi.
Pekerjaan adalah suatu hal yang penting dan komponen vital dalam menjamin
kesejahteraan keluarga (Aryee et al., 1999; Spector et al., β004; Yang et al.,
β000). Bagi masyarakat kolektif, orang fokus pada kesejahteraan keluarga.
Pekerjaan tidak hanya berfungsi untuk mengembangkan diri, tapi juga untuk
menyokong keluarga. Masyarakat kolektif yang bekerja untuk hidup bergantung
pada kemakmuran keluarga sebagai syarat makna hidup dan kebahagiaan pribadi.
Orang Cina secara tradisional melihat pekerjaan sebagai kontribusi untuk
kesejahteraan keluarga, bukan untuk berkompetisi di dalamnya. Karena
masyarakat kolektif tidak melihat pekerjaan dan rumah sebagai dua hal yang
independen, maka mereka cenderung melihat waktu dan tuntutan kerja sebagai
kontribusi yang dikorbankan untuk kesejahteraan keluarga, sehingga konflik
kerja-keluarga rendah (WFC). Bila tuntutan peran di rumah yang lebih dirasakan,
konflik keluarga kerja (FWC) mereka juga lebih rendah dibanding masyarakat
individualist, karena memandang hal ini sebagai kewajiban dalam keluarga (Lu,
Gilmour, Kao dan Huang, β006).
Tipologi Keluarga
Teori stres keluarga
menggambarkan keluarga dalam menghadapi
transisis, krisis dan daptasi keluarga menggunakan Model Penyesuaian dan
Adaptasi Keluarga T-Double ABCX. Teori ini dibangun berdasarkan empat dasar
asumsi mengenai kehidupan keluarga, yaitu: (1) keluarga menghadapi tantangan
dan perubahan sebagai aspek yang alami dan dapat diprediksi sepanjang masa
hidup; (β) keluarga membangun kekuatan dan kemampuan dasar agar terus dapat
menumbuhkan dan mengembangkan anggota dan unit keluarga, juga untuk
melindungi keluarga dari gangguan utama; (γ) keluarga membangun kekuatan dan
kemampuan dasar dan unik yang dirancang untuk melindungi keluarga dari
stressor tak terduga dan tidak biasa, juga membantu keluarga beradaptasi selama
menghadapi krisis, transisi atau perubahan; dan (4) keluarga mendapat manfaat
dan berkontribusi dari jaringan relasi dan sumber daya dalam masyarakat,
khususnya saat menghadapi stress dan krisis.
Model ini dapat menjelaskan berbagai dimensi keluarga (balanced,
regenerative, resilient, rhythmic, dan traditionalistic) dan juga komponen

8
ketahanan keluarga (sumberdaya, koping, dan penilaian) dengan penekanan
terhadap tradisi keluarga, perayaan, ketangguhan, koherensi, rutinitas dan waktu
keluarga. Tipologi keluarga sebagai satu set atribut dasar tentang sistem keluarga
yang menjadi ciri dan menjelaskan bagaimana sebuah sistem keluarga biasanya
dinilai, beroperasi, dan/atau bersikap. Pola-pola ini yang diprediksi dan bisa
dilihat dari perilaku keluarga (yang diperkuat oleh aturan dan rutinitas), ternyata
memainkan peran penting dalam menjelaskan perilaku keluarga dalam
menghadapi peristiwa stres dan transisi atau perubahan (McCubbin, 1987).

Gambar 1 Model Penyesuaian dan Adaptasi Keluarga T-Double ABCX
Keterangan:
X
: Stressor / masalah keluarga
R
: Tingkat regeneratif keluarga
T
: Tipologi keluarga
AA : Setumpuk stressor keluarga
BB : Sumberdaya koping keluarga
CC : Persepsi keluarga terhadap stressor
CCC : Skema keluarga
XX : Adaptasi keluarga
PSC : Penyelesaian masalah keluarga

Gambar 1, memperlihatkan alur perjalanan keluarga dalam melakukan
penyesuaian dan adaptasi. Terdapat beberapa faktor penting dalam alur tersebut,
yaitu faktor X, R, T, AA, BB, CC, CCC, XX, PSC, dan XX. Faktor X
(stressor/transisi x yang muncul), yaitu kejadian dalam hidup keluarga (kematian,
membeli rumah, menjadi orang tua, dan lain-lain) yang mengakibatkan perubahan
dalam sistem sosial keluarga. Tingkat keparahan stressor atau transisi ditentukan
oleh derajat kekuatan stressor dalam mengganggu stabilitas keluarga, menuntut
sumber daya atau kemampuan keluarga. Faktor R (kerentanan keluarga) adalah:
(1) kumpulan stressor, baik di luar atau di dalam keluarga; (β) tahapan kehidupan
keluarga dengan segala tuntutan normatifnya dan keberagaman sumber daya dan
kekuatan, contohnya pada tahap keluarga memiliki remaja atau melepaskan anak
yang te;ah dewasa lebih rentan dalam tekanan ekonomi. Faktor T (tipe keluarga:
profil atau keberfungsian keluarga), yaitu menjelaskan bagaimana setiap tipologi
atau tipe keluarga memiliki atribut dasar yang berkaitan dengan sistem keluarga
dan memperlihatkan karakter bagaimana suatu keluarga memaknai, beroperasi
dan/atau berperilaku. Pola yang terprediksi ini diperkuat oleh aturan dan rutinitas,
yang memainkan peran penting saat keluarga menghadapi stressor atau transisi.
Faktor BB (sumber daya resisten: kemampuan dan kekuatan), yaitu saat sumber
daya keluarga bertemu dengan tuntutan dari stressor dan tantangan, yang sering
disebut sebagai fase penyesuaian keluarga sebagai kemampuan keluarga dalam

9
memfasilitasi keluarga untuk memecahkan masalah, koping dan menyesuaikan
diri menghadapi stressor.
Faktor CC (pemaknaan keluarga: fokus pada stressor), yaitu bagaimana
keluarga memaknai secara subjektif kejadian, stressor atau tantangan yang
dihadapi. Makna subjektif ini mereflkesikan keberagaman nilai suatu keluarga dan
bagaimana keluarga tersebut menghadapi perubahan dan tantangan sebelumnya.
Faktor PSC (pengelolaan keluarga: memecahkan masalah dan koping), dimana
pemecahan masalah sebagai kemampuan keluarga dalam mendefinisikan stressor
dan situasi dalam komponen yang dapat dikelola, untuk mengidentifikasi berbagai
alternatif untuk menyelesaikan masalah. Faktor XX (krisis, adjustment dan
maladjustment keluarga: tuntutan untuk berubah), yaitu hasil dari proses
penyesuaian keluarga, apakah suatu sistem keluarga akan berubah secara positif
setelah menyelesaikan masalah, atau tidak dapat menjaga stabilitas keluarga dan
menjadi maladjustment (tidak dapat menyesuaikan diri) sehingga menimbulkan
krisis dalam keluarga.
Tipe Keluarga Regeneratif
Tipe keluarga regeneratif meliputi dua level (rendah-tinggi) dimensi-dimensi
keutuhan keluarga (family coherence) dan ketahanan keluarga (family hardiness).
Dimensi keutuhan keluarga didefinisikan sebagai fundamental coping strategies
keluarga yang digunakan dalam mengelola masalah keluarga. Keutuhan keluarga
dioperasionalkan melalui pemahaman keluarga terhadap penerimaan, loyalitas,
kebanggaan, kepercayaan, kejujuran, respek, kepedulian dan berbagi dalam
mengelola tekanan dan ketegangan.
Indeks family hardiness (ketangguhan keluarga) terdiri dari empat sub-skala
yaitu kontrol, koorientasi, komitmen, tantangan, dan percaya diri. Menurut Failla
dan Jones (1991), ketangguhan keluarga dapat dikaitkan dengan penilaian
keluarga, dukungan sosial, koping orangtua yang terkait dengan mempertahankan
integrasi keluarga, dan kepuasan dengan fungsi keluarga. Ketangguhan dapat juga
didefinisikan sebagai komitmen untuk hidup, melihat perubahan sebagai
tantangan, dan memiliki kontrol atas hidup seseorang. Ketangguhan berhubungan
dengan hasil yang lebih baik dalam situasi stres.
Family Hardiness

Coherence

Family

Low

High

Low

Vulnerable
Families

Secure Families

High

Durable
Families

Regenerative
Families

Gambar β Tipe keluarga regeneratif
Ketangguhan juga sering dicirikan sebagai sifat tahan stress dan kekuatan
atau kemampuan untuk menghadapi dan menangani rintangan dalam hidup, yang
mengacu pada kekuatan internal dan ketahanan keluarga, dan ditandai oleh rasa
kontrol atas hasil dalam peristiwa kehidupan dan kesulitan (Lian dan Lin, β004).

10
Konstrak ketangguhan keluarga mencakup gagasan dan tanggapan anggota
keluarga terhadap stresor dalam hal ikatan keluarga dan dukungan dalam
menghadapi gangguan dan ketegangan keluarga, dimana ketangguhan keluarga,
fungsi keluarga, dan self-efficacy, berpengaruh signifikan satu sama lain (Chan
β005).
Menurut McCubbin dan Thompson (1988), indeks family coherence
(koherensi keluarga) terdiri dari tiga sub-skala utama: kebanggaan keluarga
(family pride), kepedulian keluarga (family caring) dan kepercayaan (trust).
Secara bahasa, koherensi memiliki makna sebagai koneksi sistematis atau logis
atau konsistensi yang merupakan integrasi berbagai elemen, hubungan, atau nilainilai. Koherensi keluarga mengacu pada sejauh mana persepsi orang melihat
kehidupan keluarga untuk dipahami, dikelola, dan dimaknai (Antonovsky dan
Sourani, 1988).
Model Regeneratif memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi dan
menjelaskan empat jenis sistem keluarga: (1) keluarga dengan koherensi keluarga
rendah dan ketangguhan keluarga rendah diberi nama keluarga rentan
(vulnerable), (β) keluarga dengan koherensi keluarga rendah dan sifat tangguh
keluarga tinggi dinamakan keluarga aman (secure), (γ) keluarga yang rendah pada
ketangguhan keluarga (family hardiness) tapi tinggi pada koherensi keluarga
dinamakan keluarga tahan lama (durable families), (4) keluarga yang tinggi pada
ketangguhan keluarga (family hardiness) dan koherensi keluarga (family
coherence) dinamakan keluarga regeneratif (McCubbin 1987).
Tipe Keluarga Lenting
Indeks ikatan keluarga (family bonding) menggambarkan kesatuan dan
kebersamaan keluarga dalam mengukur bagaimana keluarga berfungsi. Ikatan
keluarga merupakan tingkat kohesi keluarga dimana anggota keluarga saling
berbagi. Ikatan keluarga tetap dapat terjalin dengan kuat meskipun anggota
keluarga sibuk. Salah satunya dengan makan bersama, nonton TV bersama, dan
saling mengungkapkan rasa sayang. Fleksibilitas keluarga merupakan kemampuan
keluarga untuk mengubah peran mereka, tanggung jawab, peraturan dan
pembuatan keputusan untuk mengakomodasi perubahan kondisi.
Family Bonding

Flexibility

Family

Low

High

Low

Fragile
Families

Bonded
Families

High

Pliant
Families

Resilient
Families

Gambar γ Tipe keluarga resilient
Model sistem keluarga resilient (lenting) dicapai dengan menetapkan dua
tingkat (rendah dan tinggi) terhadap dimensi ikatan keluarga (family bonding) dan
dimensi fleksibilitas keluarga (family flexibility). Kelentingan merupakan

11
kecenderungan seseorang untuk melawan konsekuensi negatif dari sebuah resiko
dan mengembangkan kondisi yang memuaskan. Karakteristik keluarga lenting
berdasarkan sejumlah penelitian ialah mempunyai komitmen, kohesi, adaptasi,
komunikasi, spiritualitas, keterhubungan, dan manajemen sumber daya (Matthews
dan Gallo, β00γ). Dalam institusi keluarga, kelentingan dapat dipupuk melalui
struktur yang fleksibel, berbagi kepemimpinan, saling mendukung, dan kerja sama
tim dalam menghadapi tantangan hidup (Walsh, β00β). Keluarga dapat
mengembangkan fleksibilitas yang diperlukan untuk memenuhi tantangan hidup
dengan belajar dan menggunakan beberapa strategi yang sangat praktis yaitu
merancang rencana masa depan, bekerja sama, belajar dari pengalaman, dan
menikmati waktu bersama (Matthews dan Gallo, β00γ). Berbagi nilai yang sama
tidak hanya memberikan keluarga kelentingan untuk menghadapi tantangan, tetapi
juga mengikat keluarga bersama-sama. Memiliki sistem nilai umum menginduksi
rasa kebersamaan atau rasa saling memiliki yang pada gilirannya memberikan
keluarga kelentingan untuk menangani perubahan keadaan dan transisi kehidupan
(Silberberg, β001).
Dimensi ikatan keluarga didefinisikan sebagai sejauh mana keluarga secara
emosional terikat bersama-sama ke dalam sebuah unit keluarga yang berarti dan
menyeluruh. Keluarga yang mempunyai skor tinggi pada dimensi ini dapat
digambarkan sebagai keluarga yang terbuka untuk mendiskusikan masalah,
merasa dekat dengan anggota keluarga, berkeinginan tetap terhubung kepada
anggota keluarga lainnya, dan terlibat dalam melakukan sesuatu bersama-sama
sebagai unit keluarga. Dimensi fleksibilitas keluarga didefinisikan sebagai sejauh
mana unit keluarga mampu mengubah aturan, batas, dan peran untuk
mengakomodasi perubahan tekanan dari dalam dan luar unit keluarga. Keluarga
fleksibel digambarkan memiliki pola komunikasi yang terbuka, kemauan untuk
berkompromi, pengalaman dalam menggeser tanggung jawab antara anggota
keluarga, dan partisipasi aktif dari anggota keluarga dalam pengambilan
keputusan (McCubbin, 1987).
Tipologi ini mengasumsikan linearitas ikatan keluarga dan fleksibilitas
keluarga. Dengan dua tingkat untuk setiap dimensi, model Resilient
memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi dan menjelaskan empat jenis
sistem keluarga: (1) keluarga dengan ikatan keluarga rendah dan fleksibilitas
keluarga rendah diberi nama keluarga rapuh (fragile families), (β) keluarga
dengan fleksibilitas keluarga rendah tetapi ikatan keluarga tinggi dinamakan
keluarga terikat (bonded families), (γ) keluarga dengan ikatan keluarga rendah
tetapi fleksibilitas keluarga tinggi bernama keluarga lunak (pliant), (4) keluarga
dengan ikatan keluarga dan fleksibilitas yang tinggi bernama keluarga resilient.
Mereka menunjukkan bahwa mereka memiliki keunggulan dalam kemampuan
mereka untuk berubah. Keluarga tipe ini juga menunjukkan bahwa mereka
memiliki kekuatan besar dalam rasa persatuan internal. Mereka juga saling
memahami dan mendukung, merasa dekat satu sama lain, senang melibatkan
anggota keluarga lainnya, dan tidak memiliki kesulitan memutuskan apa yang
harus dilakukan sebagai unit keluarga (McCubbin, 1987).



Kepuasan Perkawinan
Kepuasan perkawinan merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan
pernikahan seseorang yang diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan
dalam jangka waktu tertentu (Roach, Frasier, dan Bowten, 1981). Hawkins (dalam
Olson dan Hamilton, 198γ) berpendapat bahwa kepuasan pernikahan merupakan
perasaan subyektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan aspekaspek yang ada dalam suatu pernikahan, seperti rasa bahagia, puas, serta
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya yang bersifat
individual. Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah
dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin
dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia
merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum
menikah.
Wright (199γ) menemukan bahwa pernikahan yang tidak bahagia dan
banyak mengalami konflik merupakan penyebab serius terjadinya depresi. Roy
(Johnson dan Jacob, β000) menyebutkan bahwa lebih dari 50% penderita depresi
melaporkan masalahmasalah pernikahan. Hasil penelitian (Clemension, β009)
juga mengungkapkan bahwa depresi berkaitan erat dengan adanya kekacauan
pernikahan, yang ditandai dengan adanya ketergantungan yang berlebihan,
hambatan dalam berkomunikasi, menarik diri, perasaam benci dan amarah yang
meluap, friksi atau perselisihan, serta berbagai perasaan negatif yang kuat.
Gove (dalam Hess, β008) mengungkapkan bahwa salah satu faktor penentu
kesehatan mental seseorang adalah kualitas afeksi terhadap pernikahannya, atau
dengan kata lain adanya kepuasan perkawinan. Bila seseorang merasa puas dan
bahagia akan pernikahan yang dijalani, maka dapat berpengaruh pada cara
pandangnya terhadap diri, lingkungan, maupun masa depannya, juga terhadap
kesehatan mental dan fisik. Clayton (1975) mengemukakan beberapa aspek
kepuasan perkawinan, yaitu: (1) kemampuan sosial (Marriage Sociability); (β)
persahabatan dalam perkawinan (Marriage Companionship); (γ) urusan ekonomi
(Economic Affair); (4) kekuatan perkawinan (Marriage Power); (5) hubungan
dengan keluarga besar (Extra Family Relationship); (6) persamaan ideology
(Ideological Congruence); (7) keintiman perkawinan (Marriage Intimacy); dan (8)
taktik interaksi (Interaction Tactics).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan dari penjelasan beberapa
teori dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan
perkawinan secara garis besar yaitu, rasa cinta dan saling tertarik, kemampuan
menyesuaikan diri, kedewasaan kepribadian, kemampuan komunikasi,
kemampuan memenuhi kebutuhan pasangan, kebijaksanaan terhadap pasangan,
kerjasama dalam penyelesaian konflik, hubungan seksual, saling pengertian,
hubungan dengan lingkungan luar, dan masalah keuangan.



KERANGKA PIKIR
Berdasarkan perumusan masalah, peneliti menduga adanya hubungan antara
konflik kerja-keluarga, tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan. Variabel yang
mendukung penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu variabel bebas dan variabel
terikat. Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel-variabel
lainnya. Sedangkan, variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh
variabel lain. Dalam penelitian ini, terdapat lima variabel besar, yaitu variabel
karakteristik keluarga, karakteristik pekerjaan istri, konflik kerja-keluarga,
tipologi keluarga dan kepuasan perkawinan.
Variabel yang mempengaruhi dalam penelitian ini ditunjukkan dengan garis
satu tanda panah. Variabel ka