Studi Patologi Efek Toksik Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) pada Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)

(1)

ABSTRACT

ORNELLA ZYNESHA. Toxicopathology Study of Black Seed Oil Extract

(Nigella sativa) on Liver and Kidney of Mice (Mus musculus). Under direction of

DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.

This study was aimed to get information about blackseed (Nigella sativa) toxicity on liver and kidney of mice. Seventy two mice (36 male and 36 female) of 4 weeks old mice were divided into four group, each group consist of nine mice. Group K was negative control (received aquadest 0.1 ml), group HS 0.1 (received 0.1 ml blackseed oil), group HS 0.2 (received 0.2 ml blackseed oil), and group HS honey (received 0.3 ml combination of blackseed oil and honey). The treatment was done for two months. Afterwards mice were euthanized by antlanto-occipitalis dislocation and followed with necropsy to collect tissue samples (liver and kidney). The tissue samples were processed to prepare histopathology slides with Hematoxilyn-Eosin stain. The parameters observed include to count and differenciate of the degenerative and necrosis of the liver and kidney cell using software Image J® for Microsoft® Windows®. Quantitative data were analyzed with software SPSS® 16.0 for Microsoft® Windows®

.

ANOVA test and followed by Duncan test. The result showed that habbatussauda caused increase of normal liver and kidney cell on group HS 0.1, HS 0.2, and HS honey which were significant (p<0.05) compared with the control group.


(2)

STUDI PATOLOGI EFEK TOKSIK EKSTRAK MINYAK

JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA HATI DAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus)

ORNELLA ZYNESHA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

ABSTRACT

ORNELLA ZYNESHA. Toxicopathology Study of Black Seed Oil Extract

(Nigella sativa) on Liver and Kidney of Mice (Mus musculus). Under direction of

DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH.

This study was aimed to get information about blackseed (Nigella sativa) toxicity on liver and kidney of mice. Seventy two mice (36 male and 36 female) of 4 weeks old mice were divided into four group, each group consist of nine mice. Group K was negative control (received aquadest 0.1 ml), group HS 0.1 (received 0.1 ml blackseed oil), group HS 0.2 (received 0.2 ml blackseed oil), and group HS honey (received 0.3 ml combination of blackseed oil and honey). The treatment was done for two months. Afterwards mice were euthanized by antlanto-occipitalis dislocation and followed with necropsy to collect tissue samples (liver and kidney). The tissue samples were processed to prepare histopathology slides with Hematoxilyn-Eosin stain. The parameters observed include to count and differenciate of the degenerative and necrosis of the liver and kidney cell using software Image J® for Microsoft® Windows®. Quantitative data were analyzed with software SPSS® 16.0 for Microsoft® Windows®

.

ANOVA test and followed by Duncan test. The result showed that habbatussauda caused increase of normal liver and kidney cell on group HS 0.1, HS 0.2, and HS honey which were significant (p<0.05) compared with the control group.


(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Studi Patologi Efek Toksik Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) Pada Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk

apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Ornella Zynesha NIM B04070006


(5)

STUDI PATOLOGI EFEK TOKSIK EKSTRAK MINYAK

JINTAN HITAM (Nigella sativa) PADA HATI DAN GINJAL

MENCIT (Mus musculus)

ORNELLA ZYNESHA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(6)

Judul penelitian : Studi Patologi Efek Toksik Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) pada Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus)

Nama mahasiswa : Ornella Zynesha

NRP : B04070006

Program studi : Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

Disetujui:

Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. APVet

Pembimbing skripsi I Pembimbing Skripsi II

Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet

Diketahui:

Wakil Dekan FKH IPB

Drh. H. Agus Setiyono, MS, PhD. APVet


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Ornella Zynesha, dilahirkan di Lhoksukon pada tanggal 5 Agustus 1989. Penulis merupakan anak pertama dari ayah yang bernama Tarmizi Ibrahim dan Ibu Amarlina.

Pada tahun 1994-1995, penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak Bhayangkari, Lhoksukon. Pendidikan Dasar di selesaikan di SD Negeri 02 Lhoksukon pada tahun 1995-2001. Pendidikan tingkat pertama diselesaikan di SLTP swasta panca Budi Medan pada tahun 2001-2004, sedangkan pendidikan tingkat atas diselesaikan di SMA Negeri 1 Lhoksukon pada tahun 2004-2007. Pada tahun yang sama Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi Anggota Divisi Internal Himpro Satwaliar (2008-2010). Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik II (2011).


(8)

PRAKATA

Puji syikur kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Studi Patologi Efek Toksik Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) pada Hati dan Ginjal Mencit (Mus musculus). Skripsi ini merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Proses penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayah dan ibu tercinta selaku orang tua penulis, atas kasih sayang, doa, motivasi, nasihat, dan dukungan yang luar biasa dan tak henti-hentinya kepada penulis.

2. Drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD. APVet dan Dr. Drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, motivasi, waktu, dan pemikiran selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

3. Drh. Chusnul Choliq, MS. MM selaku dosen pembimbing akademik. 4. Saudara/i tercinta Dara Aziliya, Bayu Firdauzi, dan M. Farish Aria atas

kasih sayang, motivasi, doa, dan dukungannya.

5. Tim Habbatussauda (Annisa Rahmi, Dian Mayasafira, Niken Rostika, Cut Dara Permata Sari, Nova Febrina, dan Agung Sudomo)

6. Arni, Sandra, Andi, Fakhri, Danang, Disa, Lia, Vera, Imel, Nabila, Fahrul, Husnul, Agung, Bang Rizal, Ibu yanti atas bantuan dan dukungan moril dan kebersaman yang telah kita lalui.

7. Ridha Pahlawan yang telah memberikan dukungan, doa, motivasi, kasih sayang, perhatian, dan pengertiannya yang luar biasa kepada penulis. 8. Staf Bagian Patologi FKH IPB (Pak Kasnadi, Pak Endang, Pak Soleh,


(9)

9. Teman-teman yang tergabung dalam Gianuzzi FKH 44, teman-teman satu PA (Kenyo, Yayan, Cholil, Arif, Aepul, Fahreza), HIMPRO Satwaliar, serta teman-teman mahasiswa yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersaman yang telah kita lalui.

Terakhir penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Segala sesuatu tidak ada yang sempurna, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Februari 2012

Ornella Zynesha NIM B04070006


(10)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

1.4 Hipotesis Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jinten Hitam (Nigella sativa) ... 3

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jintan Hitam ... 3

2.1.2 Morfologi Tanaman Jintan Hitam ... 3

2.1.3 Kandungan Kimia Jintan Hitam... 5

2.1.4 Manfaat Jintan Hitam ... 7

2.2 Madu ... 9

2.3 Mencit (Mus musculus) ... 11

2.4 Hati ... 12

2.4.1 Toksikologi Hati ... 14

2.5 Ginjal ... 15

2.5.1 Toksikologi Ginjal ... 16

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.3 Metode Penelitian ... 19

3.3.1 Preparasi Hewan Coba ... 19

3.3.2 Kandang Hewan Coba ... 19

3.3.3 Pakan dan Minum ... 20

3.3.4 Kelompok Perlakuan Penelitian ... 20


(12)

3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi ... 21

3.3.7 Pengamatan Sediaan Histopatologi ... 22

3.3.8 Pengolahan Data ... 22

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Histopatologi Hati ... 24

4.2 Histopatologi Ginjal ... 29

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 36

5.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi Biji Jintan Hitam ... 5

2. Kandungan Logam dalam Biji Jintan Hitam ... 5

3. Komposisi Asam Lemak dan Sterol Dari Biji Jintan Hitam... 6

4. Kandungan Tokoferol dan Polifenol Dari Minyak Biji Jintan Hitam 6 5. Komposisi Vitamin dari Biji Jintan Hitam ... 6

6. Komposisi Asam Amino Biji Jintan Hitam ... 7

7. Persentase Lesi Sel Hepatosit Mencit Jantan... 24

8. Persentase Lesi Sel Hepatosit Mencit Betina ... 24

9. Persentase Lesi Sel Epitel Tubulus Ginjal Mencit Jantan ... 24

10. Persentase Lesi Sel Epitel Tubulus Ginjal Mencit Betina ... 30


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman Jintan Hitam (Nigella Sativa) ... 4

2. Biji Jintan Hitam ... 4

3. Jintan Hitam dalam Sediaan Minyak ... 8

4. Madu ... 10

5. Mencit ... 12

6. Histologi Hati... 13

7. Nefron pada Ginjal ... 15

8. Histologi Tubulus dan Glomerulus Ginjal ... 16

9. Kandang Hewan Percobaan dari Boks Plastik... 20

10. Gambaran Histopatologi Sel Hepatosit ... 25


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada jaman sekarang manusia memiliki kehidupan yang serba modern. Mulai dari aktifitas industri, pertanian, pertambangan, peternakan, dan perikanan. Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan manusia sehari-hari itulah yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia itu sendiri. Bukan hanya manusia, hewan, dan tumbuhan pun terkena dampak dari ulah kegiatan manusia. Di alam ini berbagai penyebab penyakit terdapat dimana-mana seperti di udara, darat, dan air. Penyebab penyakit dapat berupa mikroorganisme, polutan, atau radiasi yang sebagian berasal dari kegiatan manusia.

Hasil dari kegiatan manusia tersebut dapat berupa gas CO2

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan suplemen dapat berupa rempah-rempah yang biasanya digunakan sebagai obat tradisional. Obat tradisional ini sudah dipercaya oleh masyarakat untuk menyembuhkan penyakit dan memberi daya tahan tubuh yang baik disamping memiliki efek samping yang relatif lebih kecil dibandingkan obat-obatan yang terbuat dari bahan kimia. Salah , limbah pabrik, pencemaran lingkungan seperti pencemaran air, tanah dan udara. Dari hasil kegiatan manusia dapat mempengaruhi kesehatan mereka sendiri, karena zat-zat tersebut dapat bersifat toksik bagi ekosistem. Bukan hanya zat-zat toksik, mikroorganisme pun sangat mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan. Seperti protozoa, virus, bakteri, jamur, cendawan dan cacing. Zat-zat dan agen–agen penyakit inilah yang sangat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.

Gangguan kesehatan yang ditimbulkan oleh hewan, tumbuhan, dan manusia saling terkait satu sama lainnya, sehingga diperlukan daya tahan tubuh manusia yang baik agar terhindar dari serangan penyakit. Daya tahan tubuh itu dapat diperoleh dari pola hidup yang sehat dan teratur, seperti mengkonsumsi makanan yang sehat, berolahraga, istirahat yang cukup serta mengkonsumsi bahan-bahan yang berkhasiat untuk meningkatkan imunitas tubuh serta daya tahan tubuh (suplemen dan vitamin).


(16)

satu rempah-rempah yang dipercaya dapat meningkatkan daya tahan tubuh yaitu ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa). Ekstrak minyak jintan hitam ini sudah beredar bebas di masyarakat dengan sebutan habbatussauda.

Ekstrak minyak jintan hitam yang beredar di masyarakat tersedia dalam bentuk minyak yang dibotolkan atau minyak yang dikapsulkan. Khasiat dari jintan hitam ini sudah dirasakan sangat baik oleh masyarakat dalam meningkatkan daya tahan tubuh, untuk melihat efek pada organ hati dan organ ginjal apakah bersifat toksik atau bersifat mencegah kerusakan, maka dilakukan penelitian untuk membuktikan khasiat jintan hitam secara ilmiah.

Selain dipasarkan dalam bentuk murni, ekstrak minyak jintan hitam dijumpai dalam sediaan campuran ekstrak minyak jintan hitam dan madu. Untuk melihat efek sinergisme dari kedua zat tersebut, maka dilakukan juga penelitian tentang khasiat ekstrak minyak jintan hitam dan madu.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak minyak jintan hitam (N. sativa) dan campuran ekstrak minyak jintan hitam dan madu terhadap sistem sel-sel hati dan ginjal sebagai organ yang berfungsi untuk detoksifikasi dan ekskresi pada mencit (Mus musculus).

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan campuran antara ekstrak minyak jintan hitam dan madu terhadap organ hati dan ginjal sebagai organ yang berfungsi untuk detoksifikasi dan ekskresi pada mencit.

1.4 Hipotesis

H0: Pemberian ekstrak minyak jintan hitam dapat menimbulkan efek toksik terhadap organ hati dan ginjal mencit.

H1: Pemberian ekstrak minyak jintan hitam tidak menimbulkan efek toksik terhadap organ hati dan ginjal mencit.


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa)

Tanaman Jintan hitam (N. sativa) merupakan salah satu spesies dari genus Nigella yang memiliki kurang lebih 14 spesies tanaman yang termasuk dalam famili Ranunculaceae.

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Jintan Hitam

Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Nama lain N. sativa diantaranya adalah: Kalonji (bahasa Hindi), Kezah (Hebrew), Chamushka (Rusia), Habbatus Sauda’ (Arab), Siyah daneh (Persian), Fennel Flower / Black Carraway / Nutmeg Flower / Roman Coriander / Black Onian Seed (English), atau Jintan Hitam (Indonesia) (Fitriana 2007).

Menurut Fitriana (2007) tanaman jintan hitam (N. sativa) diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Ranunculales Family : Ranunculaceae Genus : Nigella

Species : Nigella sativa

2.1.2 Morfologi Tanaman Jintan Hitam

Tanaman jintan hitam merupakan tanaman semak dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Ekologi dan penyebaran tanaman ini tumbuh mulai dari daerah Levant di Mediterania Timur Samudra Indonesia sebagai gulma semusim dengan keanekaragaman yang kecil. Budi daya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Hutapea 1994).

Jintan hitam memiliki kelopak bunga kecil, berjumlah lima, berbentuk bulat telur, ujungnya agak meruncing sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar. Bunga jintan hitam merupakan bunga


(18)

majemuk dan berbentuk karang. Mahkota bunga pada umumnya berjumlah delapan, berwarna putih kekuningan, agak memanjang, lebih kecil daripada kelopak bunga, berbulu jarang dan pendek. Tanaman ini berdaun lonjong dengan panjang 1.5-2 cm, berdaun tunggal dengan ujung dan pangkalnya runcing dan berwarna hijau. Kelopak bunga berjumlah lima dengan ukuran kecil, berbentuk bulat dan ujungnya agak meruncing. Bentuk dari tanaman jintan hitam dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman jintan hitam (N. sativa) terlihat batang berwarna hijau, kelopak bunga berjumlah lima dengan bentuk bulat dengan ujungnya agak meruncing (sumber: herbalgriya.wordpress.com).

Buah jintan hitam seperti polong, bulat panjang, dan coklat kehitaman. Bijinya kecil, bulat, hitam, jorong bersusut tiga tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut, panjang 3 mm, serta berkelenjar (Hutapea 1994). Bentuk biji jintan hitam dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Biji tanaman jintan hitam (N. Sativa) berbentuk oval dan berwarna coklat kehitaman (sumber: herbalgriya.wordpress.com).


(19)

2.1.3 Kandungan Kimia Jintan Hitam

Biji dan daun jintan hitam mengandung saponin dan polifenol (Hutapea 1994). Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak, melantin (saponin), nigelin (zat pahit), zat samak, nigelon, tymoquinone (Hargono 1985). Menurut Landa (2006) kandungan jintan hitam (N. sativa) antara lain minyak volatil yang berwarna kuning (0.5-1.6%), minyak campuran (35.6-41.6%), protein (22.7%), asam amino, gula reduksi, alkaloid, asam organik, tanin, resin, glukosida, toksik, metarbin, serat, mineral, vitamin, thiamin, niasin, piridoksin, asam folat. Komposisi biji jintan hitam disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Air 6.4 ± 0.15

Lemak 2.0 ± 0.54 Serat Kasar 6.6 ± 0.69 Protein 20.2 ± 0.82

Abu 4.0 ± 0.29

Karbohidrat 37.4 ± 0.87 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)

Biji jintan hitam juga mengandung logam yang berjumlah sekitar 1.510,8mg/100g biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan logam biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100gr)

Kalsium 188.0 ± 1.50 Besi 57.5 ± 0.50 Natrium 85.3 ± 16.07 Kalium 1.180 ± 10.00 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)

Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol dalam 100 g biji jintan hitam tersaji pada Tabel 3.


(20)

Tabel 3 Komposisi asam lemak dan sterol dari biji jintan hitam Asam lemak Jumlah (mg/100g)

Miristatat (C14:0) 1.2 ± 0.04 Palmitat (C16:0) 11.4 ± 1.00 Stearat (C18:0) 2.9 ± 0.24 Oleat (C18:1) 21.9 ± 1.00 Linoleat (C18:2) 60.8 ± 2.67 Arakhidonat (C20:0) Sedikit

Eicosadienoat 1.7 ± 0.11

Sterol Jumlah (%)

Campesterol 11.9 ± 0.99 Stigmasterol 18.6 ± 1.52

Β- sitosterol 69.4 ± 2.78 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)

Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai obat dan zat pembentuk rasa. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam Komposisi Jumlah (µg/g)

Total tokoferol 340 ± 8.66 Alfa-tokoferol 40 ± 10.00 Beta-tokoferol 50 ± 15.00 Gamma-tokoferol 250 ± 13.00 Total polifenol 1744 ± 10.60 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)

Biji jintan hitam dapat direkomendasikan sebagai makanan tambahan yang cukup bergizi. Kandungan vitamin biji jintan hitam tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi vitamin dari biji jintan hitam

Vitamin (µg per 100g)

B1(Thamin) 831 ± 11.36 B2(Riboflavin) 63 ± 3.36 B6(Pyridoxin) 789 ± 8.89 PP(Niasin) 6311 ± 16.52 Asam Folat 42 ± 4.52 Sumber : Nergiz dan Ötles (1993)


(21)

Selain itu jintan hitam mengandung delapan jenis dari sepuluh asam amino esensial dan tujuh jenis dari sepuluh asam amino non-esensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi asam amino biji jintan hitam

Asam amino Persentase Asam amino Persentase

Alanin 3.77 Serin 1.98 Valin 3.06 Asam aspartat 5.02 Glisin 4.17 Metionin 6.16 Isoleusin 4.03 Fenilalanin 7.93 Leusin 10.88 Asam glutamat 13.21 Prolin 5.34 Tirosin 6.08 Treonin 1.23 Lisin 7.62 Arganin 19.52 Sumber : Babayan et al. (1978)

2.1.4 Manfaat Jintan Hitam

Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et al. 2009). Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994). Sedangkan menurut Hargono (1952), biji jintan hitam berguna sebagai pelancar air susu ibu, pencegah muntah, pencahar, dan pengobatan pasca persalinan.

Berdasarkan berbagai penelitian yang telah dilakukan jintan hitam memiliki banyak kegunaan. Beberapa kegunaan jintan hitam menurut El Kandi dan Kandil (1987) adalah sebagai berikut :

a. Memperkuat sistem kekebalan tubuh dari serangan virus dan bakteri. S

b.

alah satu khasiat yang telah teruji untuk sistem kekebalan tubuh adalah jintan hitam dapat meningkatkan jumlah sel limfosit dan monosit. Jintan hitam dapat meningkatkan rasio antara sel T helper dengan sel T supresor sebesar 72% yang berarti meningkatkan aktivitas fungsional sel kekebalan tubuh.

Mempertahankan tubuh dari serangan kanker dan HIV c.

.

Sebagai Anti Histamin dan Anti Alergi. Berdasarkan penelitian Chakravaty (1993) mengemukakan bahwa kristal nigellon merupakan agen penghambat histamin. Cara kerjanya adalah dengan menghambat proteinkinase C yang dikenal sebagai zat yang memacu pelepasan histamin. Kristal nigellon juga menurunkan pengambilan kalsium dari sel-sel penyanggah sehingga dapat menghambat pelepasan histamin.


(22)

d. Meningkatkan laktasi, meningkatan metabolisme, memperlancar pencernaan, memperlancar peredaran darah, menurunkan tekanan darah, menurunkan tingkat gula darah, menstimulasi periode menstruasi, meningkatkan jumlah sperma. Jintan hitam juga dapat menghilangkan cacing dan parasit dalam usus, meredakan bronkhitis dan batuk, menurunkan demam, menenangkan jaringan syaraf, mendorong pertumbuhan rambut, mencegah kerontokan rambut, dan mencegah pengeriputan dan iritasi kulit (El Tahir dan Ashour 1993).

Saat ini telah tersedia berbagai produk olahan dari jinten hitam, antara lain dalam bentuk minyak maupun kapsul. Sediaan ekstrak jintan hitam dalam bentuk minyak dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Ekstrak Jintan Hitam (sumber:

Masyarakat di daerah Pakistan dan Bangladesh secara tradisional menggunakan jintan hitam untuk membantu mengatasi muntah-muntah, diare, dan sakit perut karena adanya gas dalam perut (kembung). Selain itu juga digunakan untuk membantu mengatasi keadaan yang tidak enak akibat obat pencahar. ‘Habbatussauda’ mengandung minyak atsiri dan volatil yang telah diketahui manfaatnya untuk memperbaiki pencernaan. Secara tradisional minyak atsiri digunakan untuk obat diare, beberapa penelitian yang membuktikan minyak volatile lebih ampuh membunuh strain bakteri Vibrio cholera dan Escherichia coli dibandingkan dengan antibiotik seperti Ampicillin dan Tetracyclin (Abidin 2006). Komponen alkaloid dalam jintan hitam yaitu nigelline yang menyebabkan rasa pahit berfungsi menurunkan demam, membersihkan dan mengeringkan pengeluaran ekskresi, menguatkan jaringan, mencegah iritasi kulit, meningkatkan


(23)

nafsu makan dan metabolisme, membantu masalah pencernaan dan mengurangi kelebihan asam (El Tahir dan Ashour 1993).

Hasil penelitian pada Cancer and Immuno Biological Laboratory (Anonim 2004) mengemukakan jintan hitam menstimulasi sumsum tulang dan sel imun, produksi interferon (berupa protein berjenis glikoprotein), melindungi sel normal dan perusakan sel oleh virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi sel-B. Jintan hitam juga baik dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat radikal bebas dan menghilangkannya. Selain itu, jinten hitam mengandung beta-carotene yang dikenal dapat menghancurkan sel karsinogenik.

2.2 Madu

Madu merupakan bahan makanan yang bersumber dari alam ini telah lama digunakan oleh masyarakat diseluruh dunia. Madu juga merupakan salah satu bahan makanan yang istimewa. Madu tidak sekedar untuk pemanis makanan atau minuman, tetapi lebih dari itu dapat digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Madu memiliki nilai gizi yang tinggi dan sangat berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit. Setiap orang dapat mengkonsumsi madu baik anak-anak, orang dewasa maupun manula. Khasiat dari madu yang tinggi menyebabkan banyak bahan makanan dan minuman lain yang dicampur dengan madu untuk meningkatkan khasiat makanan dan minuman tersebut (Suranto 2004). Madu juga sering dikombinasikan dengan obat-obat herbal, salah satunya adalah jintan hitam.

Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Banyak penyakit yang dapat disembuhkan dengan madu diantaranya penyakit lambung, radang usus, jantung, dan hipertensi. Selain itu, di dalam madu terdapat zat asetilkolin yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar peredaran darah dan menurunkan tekanan darah. Madu juga mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka luar dan penyakit infeksi (Suranto 2004). Madu mengandung senyawa fenofilik yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan berfungsi dalam menangkal radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada protein dan lemak. Antioksidan dapat mencegah terjadinya karsinogenesis dan mutagenesis (Abdul et al. 2008).


(24)

Madu mengandung banyak mineral seperti Natrium, Kalsium, Magnesium, alumunium, besi, fosfor, dan kalium. Vitamin-vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B12), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang terkandung di dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, perioksidase, dan lipase (Suranto 2004).

Madu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan rendah lemak. Kandungan gula dalam madu mencapai 80%, dan dari gula tersebut 85% berupa fruktosa dan glukosa (Suranto 2004). Komposisi madu asli bervariasi menurut jenis bunga dan asalnya. Komposisi madu asli terdiri dari air 18%, glukosa dan fruktosa 74%, sukrosa 0.9%, abu 0.18%, dan asam organik 0.4% (Sandjaja 2009). Madu yang telah dikombinasi dengan jintan hitam dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Madu (Setyo 2007).

Madu dikenal juga dengan berbagai macam jenis, yaitu diantaranya madu pollen (Bee pollen) dan bee bread. Bee pollen merupakan unsur reproduksi tumbuhan jantan yang berbentuk partikel halus dan berwarna kuning keemasan (Sari et al. 2008). Sudah lama sekali madu pollen digunakan untuk detoksifikasi dan penyembuhan alergi, kelelahan, kolesterol tinggi, infertilitas, impotensi, proses pemulihan setelah operasi, bahkan kanker. Banyak penelitian membuktikan bahwa madu pollen nutrisi berkhasiat untuk pengobatan dan pencegahan berbagai penyakit (Suranto 2007). Bee bread merupakan bahan makanan utama larva. Bee bread mengandung madu dan pollen yang sudah dicerna lebah. Dalam ilmu pengobatan tradisional China, bee bread dipercaya memperkuat fungsi hati, kantung empedu, otot mata, imajinasi, dan krativitas, serta memulihkan energi.


(25)

Bee bread juga baik dikonsumsi mereka yang mengalami masalah pada saluran pencernaan (Suranto 2004).

Madu juga mempunyai khasiat menstabilkan tekanan darah, sumber energi instan, dan kandungan glukosanya aman untuk penderita diabetes melitus, karena di dalam madu terdapat asetilkolin yang merupakan zat perangsang reseptor yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar peredaran darah, dan menurunkan tekanan darah (Suranto 2004).

2.3 Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) merupakan hewan percobaan yang berkembang biak dengan sangat cepat dan sangat mudah dipelihara. Sistem pemeliharaannya tidak membutuhkan banyak tempat dan biaya. Variasi genetiknya cukup besar serta sifat anatomis terkarateristik dengan baik. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya dan memiliki galur mencit berwarna putih. Mencit hidup dalam daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari daerah beriklim dingin, sedang, maupun panas dan terus menerus di dalam kandang atau secara bebas sebagai hewan liar (Malole dan Pramono 1989).

Menurut Besselsen (2004) taksonomi mencit adalah: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Subkelas : Theria Ordo : Rodensia

Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae

Subfamili : Murinae Genus : Mus

Species : Mus musculus

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorim atau hewan percobaan (Malole dan Pramono 1989). Mencit merupakan dasar dari rekayasa genetik pada hewan, karena sebagian besar gen mencit melakukan fungsi yang sama pada mencit seperti gen manusia berfungsi pada manusia, maka mencit dipandang


(26)

sebagai hewan ideal untuk studi perkembangan dan penyakit manusia (Brookes 1999). Mencit dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Mencit (Mus musculus) (sumber: www.pets.dinomarket.com

2.4 Hati

)

Hati merupakan organ yang sama seperti organ-organ yang lain yang mengalami fase petumbuhan dan perkembangan. Selama proses embriogenesis dan setelah kelahiran sampai kematangan, proses proliferasi yang diikuti proses diferensiasi. Umumnya pada awal kelahiran pada manusia fungsional sel hati belum matang, sedangkan rodensia dan anjing telah memiliki fungsi hati yang telah matang saat lahir (William dan Iatropoulos 2002).

Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak dibawah os costae. Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan darah. Hati menerima darah teroksigenasi dari arteri hepatika dan darah yang tidak teroksigenasi tetapi kaya akan nutrien dari vena portal hepatika (Sloane 1994). Hati mencit (Mus musculus) memiliki empat lobus utama yang saling berhubungan satu sama lain dan dapat tampak keseluruhannya pada bagian doersal organ ini. Keempat lobus tersebut dapat dibedakan yakni, sebuah lobus median, dua lobus lateral (kanan dan kiri), dan satu lobus caudal, yang terbagi setengah dibagian dorsal dan setengah lainnya dibagian ventral (Covelli 1972). Pada bagian profundus permukaan hepar terdapat pembuluh darah masuk (vena porta dan arteri hepatika) dan duktus hepatikus kiri dan kanan yang keluar dari organ ini didaerah yang disebut portal hepatis (Junqueira et al 1995). Menurut


(27)

penelitian Pratiwi (2010) berat hati mencit normal dewasa berkisar antara 1,2-1,6 gram. Histologi hati dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 6 Histologi Hati (sumber: Bowen 2012).

Fungsi dasar hati diantaranya adalah fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah, fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sistem metabolisme tubuh seperti menyimpan lemak, glikogen, albumin, sintesis protein plasma darah, detoksifikasi zat-zat toksik, merombak eritrosit yang rusak, mengeliminasi asam amino, menyimpan vitamin A dan B. Fungsi sekresi dan ekskresi yang berperan membentuk empedu sebagai kelenjar eksokrin yang mengalir melalui saluran empedu menuju ke saluran pencernaan (Guyton dan Hall 1996).

Menurut Pearce (1994), hati juga mempengaruhi komponen normal darah, yaitu (a) hati juga membentuk sel darah merah pada masa fetus, (b) hati sebagian berperan dalam penghancuran sel darah merah, (c) menyimpan hematin yang diperlukan untuk penyempurnaan sel darah merah baru, (d) membuat sebagian besar protein plasma, (e) membersihkan bilirubin dari darah, (f) menghasilkan protrombin dan fibrinogen yang perlu untuk penggumpalan darah.

Hati juga berfungsi sebagai metabolisme karbohidrat. Hati melakukan fungsi spesifik seperti: (1) menyimpan glikogen, (2) mengubah galaktosa dan fruktosa menjadi galaktosa, (3) glukoneogenesis, dan (4) membentuk banyak senyawa kimia penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat (Guyton dan Hall 1996).

Hati penting untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Misalnya, penyimpanan glikogen memungkinkan hati mengambil kelebihan


(28)

glukosa dari darah, menyimpannya, dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa darah mulai turun terlalu rendah. Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa dari hati (Guyton dan Hall 1996).

2.4.1 Toksikologi Hati

Hepatosit mempunyai kemampuan regenerasi yang sangat baik, walaupun hepatosit tersebut merupakan sel stabil dan membelah dengan lambat. Namun demikian kerusakan hepatosit tidak bersifat reversibel apabila mengalami kerusakan yang berat. Kondisi-kondisi yang mengakibatkan kerusakan hepatosit ringan bersifat reversibel, sedangkan kerusakan hati yang berat bersifat irreversibel. Pada tahap akhir, banyaknya degenerasi hepatosit merangsang terjadinya proses sirosis hepatis (Underwood 1994). Hepatosit yang terpapar zat toksin mengalami perubahan perlemakan (Fatty liver), dengan radang yang minimal, granula glikogen pada membran sel, dan pembesaran sel kuffer. Perubahan ultrastruktural adalah mitokondria besar dan padat dengan perubahan retikulum endoplasmik halus (Arvin 1996). Zat toksik juga dapat menyebabkan hepatosit mengalami fatty liver. Pada fatty liver secara mikroskopis tampak jaringan hati sudah tidak teratur, vakuola-vakuola lemak besar dan kecil dalam sitoplasma sel hati, inti sel hati terdesak ke tepi. Tampak pula stroma jaringan ikat yang menebal atau fibrosis pada daerah saluran portal kedalam lobulus hati yang membentuk pseudo lobuli atau lobus palsu (Sudiono et al. 2001).

Hati mamalia menerima darah dari saluran pencernaan melalui vena portal dan sekitar 30% dari sirkulasi darah pada arteri (William dan Iatropoulos 2002 ). Hati mengatur beberapa fungsi metabolisme penting dan kerusakan hati terkait dengan distorsi fungsi metabolisme. Dengan demikian, penyakit hati tetap menjadi masalah kesehatan yang serius. Meskipun kemajuan besar kedokteran modern, tidak memiliki banyak obat untuk pengobatan penyakit hati. Dewasa ini beberapa obat ada yang direkomendasikan dalam sistem pengobatan tradisional India untuk pengobatan penyakit hati. Beberapa ilmuwan meneliti dan menerapkan untuk memberikan bahan hepatoprotektif seperti pemberian Bayam Berduri (Amaranthus spinosus)(Zeashan et al. 2008).


(29)

2.5 Ginjal

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin atau air seni, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh. Ginjal juga berfungsi mengontrol volume dan komposisi cairan tubuh. Ginjal adalah organ berpasangan berbentuk kacang yang terletak di dinding abdomen posterior (dorsal). Ginjal sebelah kanan terletak lebih kranial bila dibandingkan dengan ginjal kiri. Ukuran ginjal kanan lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan ginjal kiri. Berat ginjal kanan sekitar 210 mg, sedangkan ginjal kiri sekitar 200 mg (Covelli 1972). Setiap ginjal dilingkupi kapsula tipis dari jaringan fibrous yang rapat membungkusnya, dan membentuk pembungkus yang halus (Pearce 1994).

Ginjal masing-masing terdiri dari kurang lebih satu juta nefron. Setiap nefron memiliki sebuah glomerulus yang terletak utama di korteks ginjal dan hasil penyaringannya akan menuju tubulus ginjal. Beberapa zat asing akan memberi dampak kerusakan pada tubulus proksimal ginjal, nefron merupakan bagian dengan sensitivitas yang lebih besar untuk efek nefrotoksik (Cristofori et al. 2007). Gambaran nefron pada ginjal dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 7 Nefron pada ginjal (sumber:

Tubulus ginjal terdiri dari tubulus proksimal, tubulus distal, serta lengkung Henle dimana terjadi reabsorbsi air, elektrolit, dan zat zat penting yang terlarut


(30)

lainnya. Tubulus proksimal berisi endositosis aktif atau aparatur lisosom, sehingga menunjukkan lokasi kerusakan yang berhubungan dengan kelebihan lisosomal, serta protein beracun (Cristofori et al. 2007). Morfologi tubulus dan glomerulus pada ginjal dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Histologi tubulus dan glomerulus ginjal dengan pewarnaan HE (sumber: i27.photobucket.com).

2.5.1 Toksikologi Ginjal

Ginjal memiliki kesamaan seperti hati apabila mengalami kerusakan, karena ginjal memiliki sel epitel yang dapat beregenerasi, tetapi tidak dapat kembali dengan sempurna seperti normal. Kerusakan epitel tubulus akibat iskhemia atau terpapar toksin dapat menimbulkan gagal ginjal klinis. Tetapi pada umumnya sangat banyak sel-sel epitel yang masih hidup dan dapat membentuk tubulus lagi sehingga fungsi ginjal normal kembali. Radang atau infeksi lain yang merusak glomerulus cenderung menetap atau mengakibatkan jaringan parut pada glomerulus sehingga kemampuan filtrasinya hilang. Demikian pula radang pada interstitial mempermudah timbulnya fibrosis sehingga mengganggu proses reabsorbsi dari tubulus kedalam sirkulasi darah (Underwood 1994). Degenerasi hydropis merupakan gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai besar, yang mengalami kerusakan sebenarnya adalah bagian mitokondria sel (Sudiono et al.


(31)

2001). Secara farmakokinetik, obat yang masuk kedalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama yang sangat penting untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme tubuh, termasuk zat-zat toksik yang tidak sengaja masuk ke dalam tubuh (Katzung 1989; Ganiswara 1995; Guyton dan Hall 1996). Berbagai senyawa kimia yang terkandung di dalam jintan hitam dapat berinteraksi di dalam tubuh dan menghasilkan metabolit yang bisa mempengaruhi struktur ginjal sebagai organ ekskresi utama. Gangguan struktur ini dapat dilihat dari perubahan sel epitel tubulus proksimal (Robbins dan Cotran 2005; Underwood 1994).

Penggunaan antibiotik juga sangat berpengaruh terhadap kerusakan ginjal, karena antibiotik yang diekskresikan melalui ginjal akan mengalami akumulasi di dalam tubuh. Antibiotik pada umumnya bersifat toksik, tetapi sifat ini relatif. Efek toksik dapat ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Golongan aminoglikosida (streptomisin dan kanamisin) dan golongan penisilin (amoksilin dan ampicilin) dieliminasi dari tubuh terutama dengan ekskresi ginjal (Ganiswara 1994).


(32)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang Hewan Percobaan Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan sediaan histopatologi bertempat di Laboratorium Histopatologi Bagian Patologi, Departemen KRP, FKH-IPB.

3.2 Alat dan bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Alat pemeliharaan mencit, berupa 16 boks plastik yang dimodifikasi sebagai kandang, timbangan digital, sonde lambung, dispenser dan spuit. 2. Alat nekropsi seperti jarum pentul, styrofoam, skalpel, gunting, pinset dan

wadah sampel organ (pot plastik).

3. Alat dalam pembuatan sediaan histopatologi, seperti tissue basket, gelas objek, cover glass, spidol, label, tissue cassette, Sakura® automatic tissue processor, Sakura® Paraffin Embedding Console,inkubator dan mikrotom Spencer®

4. Mikroskop cahaya Olympus .

® BH-1 dan

digital electronic eyepiece®

5. Perangkat lunak Image J

camera beserta satu set komputer untuk pengambilan gambar jaringan. ® untuk Microsoft® Windows®

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: .

1. Mencit berumur 4 minggu sebanyak 72 ekor yang terdiri dari 36 ekor mencit jantan dan 36 ekor mencit betina. Boks plastik modifikasi (Gambar 9) sebagai kandang.

2. Obat-obatan yang digunakan pada masa adaptasi, seperti anthelmintik (Albendazole 5%), antibiotik (Clavamox®), dan antiprotozoa (Flagyl®).


(33)

3. Minyak jintan hitam atau habbatussauda, kombinasi minyak jintan hitam atau habbatussauda dengan madu komersil siap pakai mengandung rasio 1 bagian ekstrak minyak jintan hitam dan 20 bagian madu.

4. Kebutuhan mencit

5. Kebutuhan nekropsi dan pembuatan sediaan histopatologi, seperti tisu, buffered neutral formalin (BNF) 10%, xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, parafin, Mayer’s Hematoksilin, lithium karbonat, Eosin, larutan albumin, dan air hangat dengan suhu 45

seperti air minum, pakan, kain sebagai alas kandang.

° 3.3 Metode Penelitian

C.

3.3.1 Preparasi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan 72 ekor mencit ( 36 ekor mencit jantan dan 36 ekor mencit betina) yang berumur 4 minggu, mencit dipelihara di di dalam boks dengan alas kain. Penelitian ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu masa adaptasi, perlakuan, dan pengamatan histopatologi organ. Mencit yang baru datang diadaptasikan dengan kandang baru selama dua hari, kemudian mencit diberi anthelmintik (Albendazole 5%) per oral dengan dosis 10 mg/kg BB dosis tunggal yang diulangi setiap dua minggu. Selama lima hari berturut-turut setelah itu, mencit diberi antibiotik (Clavamox®) per oral dengan dosis 5 mg/kg BBmg/kg BB. Terakhir, mencit diberi antiprotozoa (Flagyl®

3.3.2 Kandang Hewan coba

) selama lima hari berturut-turut dengan dosis pemberian yaitu 10 mg/kg BB per oral. Selama masa pemeliharaan dan perlakuan, mencit diberi pakan sebanyak 5 gram/ekor/hari dengan air minum yang ad libitum. Setelah masa pemeliharaan selesai, dilanjutkan dengan masa perlakuan. Masa ini berlangsung selama 2 bulan. Setelah itu, semua mencit dieuthanasi dengan cara dislokasio atlanto-occipitalis dan diambil organ hati dan ginjalnya untuk dibuat menjadi sediaan histopatologi.

Boks plastik dimodifikasi sebagai kandang yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum hewan. Kandang dan botol minum dibersihkan dan desinfeksi dengan Bayclin®, kemudian boks kandang dijemur hingga kering dan di dalamnya diberi alas dari kain. Mencit dibagi ke dalam empat kandang. Pembersihan kandang dan penggantian alas kain dilakukan setiap harinya, alas yang kotor


(34)

dicuci dengan deterjen dan kemudian direndam di dalam desinfektan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kebersihan lingkungan kandang hewan model, sehingga kesehatan hewan model dapat dipertahankan sampai penelitian akhir. Bentuk kandang hewan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kandang hewan percobaan dari boks plastik yang dimodifikasi

3.3.3 Pakan dan Minum

Pakan berupa pelet komersil diberikan sebanyak 5 gram/hari/ekor dan minuman diberikan ad libitum. Tempat atau botol minuman diganti setiap hari. 3.3.4 Kelompok Perlakuan Penelitian

Pada masa perlakuan, mencit dibagi menjadi empat kelompok setiap jenis kelamin. Satu kelompok terdiri dari 9 ekor mencit. Kelompok I merupakan kelompok kontrol negatif (diberi air minum 0,1 ml/ekor/hari) selanjutnya akan disebut sebagai kelompok kontrol. Kelompok II diberi perlakuan dengan ekstra jintan hitam (habbatussauda) dosis preventif yaitu 0,1 ml/ekor/hari selanjutnya disebut sebagai kelompok HS 0.1. Kelompok III diberi perlakuan dengan ekstrak jintan hitam dosis kuratif yaitu 0,2 ml/ekor/hari selanjutnya disebut sebagai kelompok HS 0.2. Terakhir, kelompok IV diberi perlakuan dengan kombinasi ekstrak jintan hitam dan madu dengan dosis 0,3 ml/ekor/hari selanjutnya disebut sebagai HS madu. Ekstrak minyak jintan hitam dan campuran jintan hitam dan madu diberikan dengan rute per oral. Masa perlakuan ini berlangsung selama dua bulan.


(35)

3.3.5 Nekropsi dan Pengambilan Sampel Organ

Setelah masa perlakuan berakhir, mencit-mencit ini kemudian dieuthanasi dengan cara dislokasio atlanto-occipitalis, kemudian dilakukan nekropsi untuk pengambilan hati dan ginjal. Organ-organ ini akan dijadikan sediaan histopatologi untuk diambil data-datanya, yang akan menjadi bukti ilmiah tentang khasiat dari jintan hitam (N. sativa). Pada awal proses pembuatan sediaan histopatologi, hewan yang telah dinekropsi diambil bagian hati dan ginjalnya, kemudian diawetkan di dalam larutan BNF 10%. Setelah larutan berpenetrasi sempurna ke dalam organ, langkah selanjutnya adalah grossing (memilih bagian dari organ yang akan dijadikan sediaan histopatologi) kurang lebih dengan pemotongan setebal 0.5 cm.

3.3.6 Pembuatan Sediaan Histopatologi

Potongan organ yang telah di grossing dimasukkan ke dalam tissue cassette dan tissue basket, setelah itu direndam kembali di dalam larutan BNF 10% hingga proses dehidrasi dilakukan dengan cara merendam sediaan tersebut berturut-turut kedalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut sebanyak 2 kali ulangan, xylol sebanyak dua kali ulangan, dan parafin sebanyak dua kali ulangan. Masing-masing proses perendaman dilakukan selama 2 jam dan berjalan secara otomatis dalam alat Sakura® automatic tissue processor.

Pada tahap selanjutnya, potongan organ dimasukkan ke dalam alat pencetak berisi parafin cair dengan bantuan alat (tissue embedding console). Letak potongan organ diatur agar tetap berada ditengah blok parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali sampai alat pencetak penuh, lalu dibiarkan sampai parafin mengeras. Setelah itu, jaringan dipotong dengan ketebalan 5µm dengan menggunakan mikrotom Spencer®. Hasil pemotongan yang berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air hangat (45°C) dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Sediaan diangkat dari permukaan air dengan gelas objek yang telah diolesi larutan albumin yang berfungsi sebagai perekat. Selanjutnya sediaan dikeringkan di dalam inkubator suhu 60°C selama satu malam.


(36)

Sediaan dimasukkan ke dalam xylol untuk deparafinisasi sebanyak dua kali. Selanjutnya sediaan akan melaui proses rehidrasi. Proses rehidrasi dimulai dari alkohol absolut sampai ke alkohol 80%, yang masing-masing lamanya dua menit. Setelah itu sediaan dicuci dengan air mengalir dan ditiriskan sampai tetesan air habis. Sediaan kemudian diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoksilin selama delapan menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air dan diwarnai dengan pewarnaan Eosin selama 2 menit. Selanjutnya sediaan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebihan sebelum akhirnya dikeringkan. Setelah kering, sediaan dicelupkan alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2 menit, xylol I selama satu menit, xylol II selama dua menit. Sediaan ditetesi perekat permount lalu tutup dengan cover glass, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Setelah perekat kering kemudian sediaan bisa diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya.

3.3.7 Pengamatan Sediaan Histopatologi

Pengamatan dilakukan terhadap sel-sel organ hati dan sel-sel organ ginjal dengan menggunakan mikroskop cahaya Olympus® BH-1. Pertama, mengambil foto sediaan organ hati disekitar vena porta atau vena sentralis dan ginjal pada tubulus proksimalis disekitar glomerulus dari masing-masing perlakuan pada 5 lapang pandang dengan menggunakan digital electronic eyepiece® dengan perbesaran 40× lensa objektif. Kedua, pengamatan dilakukan terhadap sediaan organ hati dan ginjal secara keseluruhan dengan melihat indikator adanya nekrosa, degenerasi hidropis, maupun degenerasi lemak. Terakhir, dilakukan pengamatan melalui foto sediaan untuk menghitung jumlah dari sel yang mengalami nekrosa, degenerasi hidropis, dan sel yang mengalami degenerasi lemak dengan menggunakan perangkat lunak Image J® untuk Microsoft® Windows®

3.3.8 Pengolahan Data

.

Hasil perhitungan berupa data-data jumlah sel hati dan sel pada tubulus ginjal yang mengalami nekrosa, degenerasi hidropis, dan degenerasi lemak dianalisis lebih lanjut secara statistika menggunakan analisis ANOVA dan diuji


(37)

lanjutan Duncan menggunakan program SPSS 16 dalam Microsoft Windows® untuk mengetahui signifikasinya.


(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Histopatologi Hati

Hati merupakan organ terpenting dalam menentukan sifat toksisitas suatu zat disebabkan hati menerima 80% suplai darah dari vena portal yang mengalirkan darah dari sistem gastrointestinal. Selain itu, hati menghasilkan enzim-enzim yang mempunyai kemampuan biotransformasi pada berbagai macam zat eksogen dan endogen untuk dieliminasi tubuh (Carlton dan McGavin 1995).

Berdasarkan satuan berat, volume aliran darah ke hati dan ginjal mempunyai nilai paling tinggi yang mengakibatkan organ-organ tersebut paling banyak terpapar toksikan. Fungsi metabolisme dan ekskresi pada kedua organ ini lebih besar, sehingga kedua organ tersebut lebih peka terhadap toksikan (Lu 1995). Telah dilakukan penelitian pemberian habbatussauda pada mencit untuk menganalisa efek toksik yang terkandung di dalam habbatussauda, sehingga didapatkan hasil analisis statistik lesi yang terjadi pada hepatosit. Hasil analisis statistik persentase lesi hepatosit dapat dilihat pada pada Tabel 8 dan Tabel 9.

Tabel 8 Persentase lesi hepatosit mencit jantan

Persentase (%)

Kelompok Degenerasi hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Normal

HS Kontrol 66.51 ± 4.17c 4.81 ± 6.80a 26.12 ± 2.71b 2.56 ± 0.91 HS 0.1

a

14.71 ± 6.18a 21.06 ± 7.07ab 5.15 ± 3.47a 59.08 ± 1.43 HS 0.2

c

43.99 ± 1.72b 22.46 ± 1.96ab 9.39 ± 5.26a 24.16 ± 1.19

HS Madu

ab

23.35 ± 7.75ab 33.99 ± 1.15b 9.40 ± 2.89a 33.26 ± 3.27b

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Tabel 9 Persentase lesi sel hepatosit mencit betina

Persentase (%)

Kelompok Degenerasi hidropis Degenerasi Lemak Nekrosa Normal HSKontrol 28.47 ± 1.44b 23.06 ± 3.05a 3.74 ± 4.06a 44.73 ± 1.55

HS 0.1

a

12.89 ± 4.10a 33.93 ± 1.23a 1.30± 0.58a 51.88 ± 8.98 HS 0.2

a

12.04 ± 3.20a 12.88 ± 6.05a 3.39 ± 2.25a 71.69 ± 8.47

HS Madu

a

12.75 ± 5.58a 24.18 ± 1.86a 1.77 ± 1.32a 61.30 ± 2.05a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang


(39)

Gambar 10 Gambaran histopatologi hepatosit dengan perlakuan ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa). Degenerasi hidropis (panah hijau), degenerasi lemak (panah biru),nekrosa (panah merah) dan sel hepatosit normal (panah kuning). Pewarnaan HE.

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa jumlah hepatosit normal mencit jantan pada kelompok perlakuan HS 0.1 lebih tinggi dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan lainnya, sedangkan pada Tabel 9 hepatosit normal mencit betina lebih tinggi pada kelompok perlakuan HS 0.2 dan tidak berbeda nyata terhadap kontrol dan semua kelompok perlakuan lainnya.

Peningkatan jumlah hepatosit normal terjadi pada kelompok-kelompok perlakuan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dengan demikian pemberian ekstrak minyak jintan hitam sangat berpengaruh terhadap peningkatan jumlah hepatosit normal. Hal ini disebabkan oleh salah satu kandungan dari habbatussauda adalah betakaroten yang berperan dalam pemeliharaan sel-sel epitel, menstabilkan radikal berinti karbon, pertumbuhan secara umum dan metabolisme (Ide 2010). Habbatussauda juga mengandung tokoferol yang


(40)

berfungsi dalam pemeliharaan membran sel (Sandjaja 2009). Khasiat dalam pemeliharaan hepatosit ini diduga dapat menyebabkan nilai rataan hepatosit normal kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Pengamatan mikroskopis sediaan histopatologi organ hati ditemukan perubahan yaitu hepatosit mengalami degenerasi hidropis (Gambar 10). Pada Tabel 8 dan Tabel 9 menunjukkan bahwa kelompok kontrol mencit jantan dan betina memiliki jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lainnya dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap semua kelompok perlakuan. Degenerasi hidropis merupakan respon awal terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik. Degenerasi hidropis terjadi karena adanya gangguan membran sel sehingga banyak cairan masuk ke dalam sitoplasma, menimbulkan vakuola-vakuola kecil sampai besar. Pada degenerasi hidropis, organel yang mengalami kerusakan sebenarnya adalah bagian mitokondria sel (Sudiono et al. 2001). Degenerasi hidropis terjadi pada semua kelompok perlakuan termasuk kelompok kontrol dikarenakan mencit yang digunakan bukan mencit Spesific Pathogen Free (SPF), yaitu mencit (hewan coba) yang bebas dari dari agen penyakit, mikroorganisme, dan parasit tertentu. Penggunaan hewan SPF lebih baik dikarenakan hewan dalam keadaan sudah bebas dari resistensi patogen dan infeksi tertentu serta memiliki genetik unggul sehingga terbebas dari penyakit. Selain itu pada saat pretreatmen telah digunakan

obat-obatan anticacing, antibiotik dan antiprotozoa yang memungkinkan toksik terhadap hati, serta pakan mencit komersil yang mengandung jagung yang rawan mengandung mikotoksin juga dapat menyebabkan toksik pada hati.

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak pada kelompok perlakuan mencit jantan HS 0.1, HS 0.2, dan HS madu bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak lebih tinggi terdapat pada kelompok perlakuan mencit jantan HS madu dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kelompok Pemberian ekstrak minyak jintan hitam dan kombinasi ekstrak minyak jintan hitam ditambah madu memiliki peran dalam menurunkan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi hidropis.


(41)

kontrol dan tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap kelompok perlakuan mencit jantan HS 0.1 dan HS 0.2, sedangkan Tabel 9 menunjukkan pada kelompok perlakuan mencit betina HS 0.2 mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, serta mengalami peningkatan pada kelompok perlakuan mencit betina HS 0.1 dan HS madu serta tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap kelompok kontrol. Faktor penyebab degenerasi lemak adalah bahan toksik, kekurangan oksigen, atau kelebihan konsumsi lemak dan protein (Dannuri 2009). Peningkatan jumlah hepatosit yang mengalami degenerasi lemak bisa disebabkan komponen alkaloid yang terkandung di dalam ekstrak minyak jintan hitam yaitu nigellin yang bersifat toksik sehingga menghambat kerja enzim yang terlibat dalam metabolisme lipid intraseluler (El Tahir dan Ashour 1993).

Penggunaan obat-obatan seperti obat antibiotik, antihelmintik, dan antiprotozoa saat pretreatment juga menjadi penyebab terjadinya degenerasi lemak pada hepatosit. Hal ini dikarenakan pada dasarnya obat-obatan terdiri dari zat kimia yang bersifat toksik, zat kimia yang telah diserap oleh epitel usus akan dibawa oleh vena porta dan dimetabolisme oleh hati sehingga zat toksik yang terkandung di dalam obat-obatan tersebut akan mempengaruhi kerja dari hepatosit (Lu 1995). Selain itu, pakan mencit juga kemungkinan menjadi penyebab terjadinya perubahan pada hepatosit berupa degenerasi lemak. Kemungkinan pakan mencit telah dicemari oleh mikotoksin pada saat penyimpanan, sehingga mikotoksin tersebut menginfeksi hepatosit. Hal ini dikarenakan mikotoksin mempunyai sifat racun yang tinggi yang akan mempengaruhi kerja hepatosit (Bahri et al. 2005)

Bahan toksik seperti saponin dan tanin yang terkandung di dalam habbatussauda juga diduga dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan berupa degenerasi lemak pada hepatosit (Mashhadian dan Rakhshandeh 2005; Al-Jabre et al. 2003). Penelitian Buriro et al (2011) selama 20 minggu menunjukkan bahwa Nigella sativa dapat menurunkan serum urea, trigliserida, dan kolesterol total. Penyebab adanya degenerasi lemak pada hepatosit dapat disebabkan kandungan alkaloid, saponin, dan tanin yang terkandung pada habbatussauda. Degenerasi lemak dapat dilihat pada Gambar 10.


(42)

Berdasarkan Tabel 8 dan Tabel 9 diketahui terjadi penurunan jumlah sel hepatosit yang mengalami nekrosa atau kematian sel pada kelompok perlakuan mencit jantan dan mencit betina. Semua kelompok perlakuan menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata terhadap kelompok kontrol, kecuali pada kelompok-kelompok perlakuan mencit jantan terhadap kelompok-kelompok kontrol. Pemberian habbatussauda dan kombinasi habbatussauda ditambah madu memberi efek dalam penurunan jumlah kematian sel hepatosit. Nekrosa atau kematian sel merupakan proses lanjutan dari degenerasi. Kausa nekrosa hati dapat dibagi menjadi kausa toksipatik, dan kausa trofopatik. Toksopatik disebabkan pengaruh langsung agen yang bersifat toksik, sedangkan kerusakan trofopatik disebabkan oleh defisiensi faktor-faktor yang penting untuk kelangsungan hidup sel, misalnya O2

Jumlah sel hati normal pada mencit perlakuan kombinasi pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan madu tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu signifikan dengan kelompok perlakuan habbatussauda saja. Pada Tabel 8 menunjukkan hepatosit normal pada perlakuan HS madu mencit jantan lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan HS 0.2, sedangkan pada Tabel 9 menunjukkan hepatosit normal pada perlakuan HS madu mencit betina dan zat makanan secara langsung atau tidak (Ressang 1984). Zat makanan menjadi berpengaruh terhadap terjadinya nekrosa pada hepatosit, karena pakan yang tercemar oleh mikotoksin selama penyimpan diduga menjadi penyebab terjadinya kematian sel atau nekrosa pada hepatosit (Bahri et al. 2005). Nekrosa adalah kematian sel yang umum setelah sel terpapar stimulus eksogen, seperti rangsangan kimia yang menyebabkan pembengkakan sel, selanjutnya membran sel pecah, terjadi denaturasi dan koagulasi sitoplasma serta hancurnya sel (Sudiono et al. 2001). Jaringan hati yang mengalami nekrosa dapat digantikan oleh regenerasi sel-sel hati yang masih hidup jika penyebab nekrosa dihilangkan (Ressang 1984). Secara mikroskopis, nekrosa bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram dan gelap (piknosis) serta adanya inti hepatosit yang mengalami karioreksis (Gambar 10). Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel dan terjadi peningkatan warna basofilik yang memadat dan mengecil. Dalam dua hari nukleus akan menghilang total (Kariolisis) (Sudiono et al. 2001).


(43)

lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan HS 0.1. Tingginya jumlah hepatosit normal pada kelompok perlakuan HS madu terhadap kelompok perlakuan habbatussauda dikarenakan kandungan dari habbatussauda bekerja secara sinergis dengan bahan-bahan yang terkandung pada madu. Kombinasi habbatussauda dan madu memiliki efek hepatoprotektif yang lebih besar (Al Ameen et al. 2011).

Ginjal adalah alat tubuh yang memiliki daya filtrasi dan reabsorpsi. Bagian yang merupakan bagian reabsorpsi ialah sel epitel tubulus. Sel-sel tubuli menyerap kembali sebagian besar air disamping garam. Selain itu, sel-sel tubuli juga menambah zat-zat kimia pada hasil penyaringan. Sel-sel tubuli mempunyai daya reabsorbsi dan daya sekresi (Ressang 1984). Epitel ginjal merupakan bagian yang sensitif terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik (Dannuri 2009). Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami lesi akibat iskemia dan zat toksik . Hal ini disebabkan pada tubuli proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi zat, sehingga kadar zat toksik lebih tinggi (Lullmann et al. 2005). Bila terjadi absorbsi bahan toksik pada epitel tubuli akan mengganggu metabolisme dan absorbsi. Selain itu kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan zat toksik (Dannuri 2009). Ada dua segmen tubuli yang mudah mengalami kerusakan, yaitu tubuli rekti proksimalis Kandungan madu berupa senyawa fenofilik yang berfungsi sebagai antioksidan yang berfungsi dalam menangkal radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada protein dan lemak, serta mencegah terjadinya karsinogenesis dan mutagenesis (Abdul et al. 2008).

Perbedaan hasil yang didapatkan pada mencit jantan dan betina dikarenakan adanya perbedaan sistem fisiologi tubuh dari kedua jenis kelamin mencit tersebut. Hormon merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kecepatan metabolisme tubuh. Hormon kelamin jantan berupa testosteron dapat meningkatkan kecepatan metabolisme basal kira-kira 10-15%, dan hormon kelamin betina berupa estrogen hanya beberapa persen tetapi tidak cukup bermakna, sehingga energi yang dihasilkan dalam sistem metabolisme di dalam sel juga berbeda-beda (Guyton dan Hall 1996).


(44)

dan segmen tebal loop henle dibagian medula. Hal ini dikarena kebutuhan energi yang tinggi, sedangkan aliran darah dan suplai oksigen relatif kecil yang masuk ke dalam medula (Cotran et al. 1989 dan Cheville 1999).

Pengamatan histopatologi pada ginjal menunjukkan adanya perubahan pada kelompok kontrol dan perlakuan. Perubahan yang terjadi meliputi degenerasi hidropis dan lemak maupun nekrosa. Penghitungan jumlah sel epitel tubulus yang mengalami lesio antara kelompok kontrol dan perlakuan dilakukan pada 5 bidang pandang. Hasil analisis statistik persentase sel epitel tubulus ginjal dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10 Persentase lesi sel epitel tubulus ginjal mencit jantan.

Persentase (%)

Kelompok Degenerasi Hidropis Degenerasi lemak Nekrosa Normal HS Kontrol 69.88 ± 5.03a 1.27 ± 0.33b 13.76 ± 1.37a 15.09 ± 6.74 HS 0.1

a

57.95 ± 5.02a 0.00 ± 0.00a 13.64 ± 6.52a 27.42 ± 3.45

HS 0.2

a

71.60 ± 1.82a 0.00 ± 0.00a 18.98 ± 2.25a 9.49 ± 3.72 HS Madu

a

59.63 ± 1.38a 0.00 ± 0.00a 21.29 ± 2.44a 18.09 ± 1.49a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang

nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Tabel 11 Persentase lesi sel epitel tubulus ginjal mencit betina.

Persentase (%)

Kelompok Degenerasi Hidropis Degenerasi Lemak Nekrosa Normal

HSKontrol 70.48 ± 1.05ab 2.43 ± 2.59a 17.10 ± 1.63a 9.99 ± 3.17

HS 0.1

a

63.12 ± 5.08a 0.00 ± 0.00a 13.82 ± 7.20a 23.06 ± 9.89 HS 0.2

a

81.93 ± 9.06b 0.61 ± 1.06a 6.79 ± 7.15a 10.67 ± 6.95 HS Madu

a

71.06 ± 8.00ab 0.45 ± 1.21a 12.14 ± 2.63a 16.84 ±8.59a Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan yang

nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.


(45)

Gambar 11 Gambaran histopatologi sel tubulus ginjal dengan perlakuan ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa)berupa degenerasi hidropis (panah hijau), degenerasi lemak (panah biru), nekrosa piknosis (panah merah), nekrosa karyorheksis (panah hitam) dan sel tubulus normal (panah kuning). Pewarnaan HE. Bar: 50 µm.

Pemberian Ekstrak minyak jintan hitam memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan mencit kelompok kontrol. Kelompok perlakuan memiliki rataan sel normal yang lebih tinggi dibandingkan dengan rataan jumlah sel normal pada kelompok perlakuan kontrol (Tabel 10 dan Tabel 11), walaupun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata. Pada kelompok perlakuan HS 0.2 mencit jantan mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol, walaupun tidak berbeda nyata. Penurunan ini bisa dikarenakan oleh daya tahan tubuh dan status imun masing-masing hewan berbeda, sehingga efek habbatussauda belum berpengaruh. Peningkatan sel epitel tubulus normal kemungkinan karena kandungan dari habbatussauda. Salah satu kandungannya adalah betakaroten yang berperan dalam pemeliharaan sel-sel epitel, menstabilkan radikal berinti karbon, pertumbuhan secara umum dan metabolisme (Ide 2010). Selain itu habbatussauda juga mengandung tokoferol yang berfungsi dalam pemeliharaan membran sel (Sandjaja 2009). Khasiat dalam pemeliharaan sel epitel ini kemungkinan dapat menyebabkan nilai rataan sel tubulus normal kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol.

Perubahan yang terjadi pada sel tubulus meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosa pada epitel tubulus (Gambar 11). Hasil pada Tabel 10 dan 11 menunjukkan bahwa degenerasi hidropis pada kelompok perlakuan HS 0.2 ml pada mencit jantan dan mencit betina lebih tinggi walaupun tidak berbeda


(46)

nyata (p>0.05) dibandingkan kelompok kontrol. Degenerasi hidropis terjadi sebagai respon terhadap iskemia dan keracunan. Korteks renalis merupakan bagian yang paling sensitif terhadap hipoksia (iskemia) terutama tubulus proksimal. Iskemia dapat terjadi karena keracunan zat kimia sehingga aliran oksigen ke sel tubulus ginjal menjadi berkurang. Mitokondria membutuhkan oksigen untuk fosforilasi oksidasi dan pembentukan adenosin trifosfat (ATP). Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa natrium-kalium dalam pengaturan keluar masuknya ion. Pada saat sel-sel kekurangan ATP, maka sel tidak dapat mempertahankan fungsinya, misalnya fungsi pemindahan natrium keluar dan kalium kedalam sel melalui pompa natrium-kalium (Corwin 2001). Iskemia dan keracunan mengakibatkan pompa ion natrium-kalium rusak sehingga kadar natrium dan tekanan osmotik di dalam sel meningkat dan terjadi penarikan air ke dalam sel. Pada keadaan ini sitoplasma membengkak akibat akumulasi cairan diantara matriks sel dan retikulum endoplasma. Secara mikroskopis sel-sel terlihat mengandung ruangan-ruangan jernih yang mengelilingi inti tetapi tidak sejernih glikogen atau lemak (Cheville 1999). Perubahan ini bersifat reversible, sehingga sel dapat kembali normal jika penyebabnya dihentikan.

Degenerasi hidropis yang terjadi pada kelompok kontrol kemungkinan terjadi akibat adanya pengaruh lingkungan yang memungkinkan mencit terpapar agen penyakit yang non spesifik, sedangkan degenerasi hidropis yang terjadi pada kelompok perlakuan selain karena pengaruh lingkungan, kemungkinan akibat senyawa yang terkandung di dalam habbatussauda. Setiap senyawa kimia pada dasarnya bersifat racun dan kejadian keracunan dapat terjadi karena pengaruh dosis dan cara pemberian (Darmansjah 1995; Selly dan Maronpot 1999).

Perubahan pada sel tubulus ginjal juga memperlihatkan adanya degenerasi lemak (Gambar 11). Hasil pada Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan serta tidak berbeda nyata (p>0.05) pada mencit betina dan berbeda nyata (p<0.05) pada mencit jantan. Degenerasi lemak merupakan penimbunan abnormal dari trigliserida dalam sel parenkim. Ditandai dengan adanya vakuola-vakuola lemak kecil di sitoplasma epitel tubulus ginjal sehingga jaringan tampak jernih.


(47)

Penyebabnya dapat bermacam-macam seperti toksin, malnutrisi protein, diabetes mellitus, obesitas, dan anoksia (Sudiono et al. 2001). Degenerasi lemak bisa disebabkan oleh komponen alkaloid yang terkandung di dalam ekstrak minyak jintan hitam yaitu nigellin yang bersifat toksik sehingga menghambat kerja enzim yang terlibat dalam metabolisme lipid intraseluler (El Tahir dan Ashour 1993).

Bahan toksik seperti saponin dan tanin yang terkandung di dalam habbatussauda juga diduga menjadi penyebab terjadinya perubahan berupa degenerasi lemak pada sel epitel tubulus (Mashhadian dan Rakhshandeh 2005; Al-Jabre et al. 2003). Penurunan jumlah sel epitel tubulus yang mengalami degenerasi lemak bisa dikarenakan kandungan dari jintan hitam dapat memelihara fungsi dari glomerulus dan sel epitel tubulus ginjal. Hal ini disebabkan oleh karena kandungan dari habbatussauda berupa betakaroten yang berperan dalam pemeliharaan sel-sel epitel, menstabilkan radikal berinti karbon, pertumbuhan secara umum dan metabolisme (Ide 2010).

Pada pengamatan mikroskopis sediaan histopatologi organ sel epitel tubulus ginjal selanjutnya ditemukan perubahan yaitu nekrosa (Gambar 11). Tabel 10 menunjukkan bahwa kelompok mencit jantan dengan perlakuan HS madu memiliki jumlah epitel tubulus yang mengalami nekrosa lebih tinggi walaupun tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok HS 0.1, sedangkan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa kelompok mencit betina kontrol memiliki jumlah sel epitel tubulus yang mengalami nekrosa lebih tinggi dan tidak berbeda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan lainnya. Nekrosis pada sel epitel tubulus terjadi pada semua perlakuan, nekrosis dapat terjadi karena bahan-bahan toksik yang masuk ke ginjal melalui aliran darah tersebut. Penyebab umum nekrosis tubular, yang berarti kerusakan sel epitel tubulus adalah iskhemia berat dan suplai oksigen dan zat makanan ke sel epitel tubulus yang tidak kuat dan racun, toksin, atau pengobatan yang merusak sel-sel epitel tubulus (Guyton dan Hall 1996). Sel-sel epitel tubulus yang mengalami nekrosa intinya terlihat gelap dan mengalami kariokreksis (Gambar 11).


(48)

Berdasarkan Tabel 10 dan Tabel 11 diketahui bahwa terdapat penurunan sel epitel tubulus yang mengalami nekrosa pada semua kelompok perlakuan pada mencit betina, sedangkan pada mencit jantan menunjukkan peningkatan jumlah sel epitel tubulus ginjal yang mengalami nekrosa bila dibandingkan dengan kelompok kontrol walaupun semua kelompok perlakuan pada mencit jantan dan betina tidak berbeda nyata (p>0.05) terhadap kelompok kontrol. Peningkatan sel epitel tubulus mencit jantan yang mengalami nekrosa bisa disebabkan oleh kandungan dari jintan hitam berupa saponin dan tanin yang merupakan senyawa bioaktif yang bersifat zat toksik (Mashhadian dan Rakhshandeh 2005; Al-Jabre et al. 2003).

Saponin dan tanin merupakan bahan yang bersifat toksik yang dapat menghambat pengangkutan oksigen oleh darah ke organ ginjal sehingga kerusakan pada sel epitel tubulus proksimal menjadi maksimal (Hopkins dan Huner 2004; Reid dan Roberts 2005). Nekrosa yang terjadi signifikan dengan naiknya dosis. Semakin naik dosis yang diberikan mengakibatkan nekrosa yang terjadi juga semakin besar. Terlalu tingginya dosis Nigella sativa yang digunakan pernah dilaporkan menyebabkan efek toksik yaitu penurunan jumlah trombosit tikus (Zaoui et al. 2002).

Peningkatan sel epitel tubulus yang mengalami nekrosa pada mencit jantan berbanding lurus dengan peningkatan sel epitel tubulus normalnya. Hal ini bisa disebabkan terjadinya regenerasi sel epitel tubulus. Menurut Carlton dan McGavin (1995) sel epitel tubulus yang mengalami nekrosa masih bisa beregenerasi untuk pemulihan fungsi ginjal bila penyebab kerusakan dihentikan dan membran basalis tubulus masih utuh.

Pada Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel normal epitel tubulus proksimal ginjal mencit jantan dan betina pada kelompok HS madu dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan kandungan dari habbatussauda dan kandungan madu bekerja secara sinergis. Kombinasi dari habbatussauda dan madu memiliki efek hepatoprotektif yang lebih besar dan memiliki efek tambahan yang bermanfaat dalam meningkatkan fungsi ginjal (Al-Ameen et al. 2011).


(49)

Degenerasi dan kematian sel yang terjadi pada kelompok kontrol mencit jantan dan betina kemungkinan terjadi akibat adanya pengaruh lingkungan dan pretreatment yang memungkinkan mencit terpapar infeksi penyakit, sedangkan degenerasi yang terjadi pada kelompok perlakuan selain karena pengaruh pretreatment, kemungkinan akibat senyawa yang terkandung dalam Habbatussauda. Kemungkinan juga disebabkan oleh kondisi imunitas setiap mencit berbeda-beda dan mencit yang digunakan bukan mencit Spesific Pathogen Free (SPF).

Peningkatan jumlah sel-sel yang mengalami kerusakan seperti degenerasi hidropis, degenerasi lemak dan sampai kematian sel karena adanya radikal bebas yang tinggi. Radikal bebas merupakan suatu kelompok bahan kimia dengan reaksi jangka pendek yang memiliki satu atau lebih elektron bebas, baik berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada lapisan luarnya (Droge 2002). Pada kondisi hiperkolesterolemia diduga terjadi kelainan metabolisme dalam tubuh yang kemungkinan akan dihasilkannya radikal bebas. Kelainan metabolisme ini kemungkinan akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan sistem oksidan (radikal bebas) (Handayani 2009). Kerusakan sel tubulus ginjal dan sel hepatosit dapat dicegah dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan.

Menurut penelitian-penelitian sebelumnya jintan hitam dikenal mengandung antioksidan. Jintan hitam mengandung Thymoquinone yang dapat mencegah terjadinya kerusakan sel akibat radikal bebas (El-Dakhakhny et al. 2002). Mengkonsumsi ekstrak minyak jintan hitam juga mengikuti aturan pemakaian dengan tidak mengkonsumsinya dengan dosis yang berlebihan. Untuk memelihara kesehatan atau pengobatan penyakit ringan, dosis atau aturan minum habbatussauda pada manusia adalah 40-80 mg/kg BB per hari, untuk penyakit tergolong sedang diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg BB per hari, sedangkan untuk penyakit berat diberikan dosis 200-300 mg/kg BB per hari (Hendrik 2011). Pada mencit dosis yang digunakan adalah 0.1 ml/ekor/hari pada dosis pencegahan, sedangkan 0.2 ml/ekor/hari pada dosis pengobatan selama dua bulan menunjukkan adanya peningkatan hepatosit dan sel epitel tubulus normal.


(50)

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan

Ekstrak minyak jintan hitam tidak bersifat toksik dan secara keseluruhan tidak meningkatkan lesio pada sel hepatosit dan sel epitel tubulus.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian dengan waktu yang lebih lama untuk melihat efek dari ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa) bila dikonsumsi dalam jangka panjang.

2. Perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa) dengan menggunakan hewan model SPF (Spesific Pathogen Free).

3. Perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa) dengan menggunakan hewan model yang mengalami gangguan hati dan ginjal.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul-Ghani AS, Dabdoub N, Muhammad R, Abdul-Ghani R, Qazza M. 2008. Effect of Palestinian Honey on Spermatogenesis in Rats. J Med Food 11(4):799-802

Abidin DZ. 2006. Perubatan Islam dan bukti Sains Modern. Malaysia: PTS Millenia. Hal 46-47

Al-Ameen NH, Altubaigy F, Jahangir T, Idr, Mahday IA, Mohammed EA, Musa OAA. 2011. Effect of Nigella sativa and Bee Honey on Pulmonary, Hepatic and Renal Function in Sudanese in Khartoum State. Journal of Medicinal Plants Research. 5(31):6857-6863

Al-Jabre S, Al-Akloby OM, Al-Qurashi AR. 2003. Thymoquinone, an Active Principle of Nigella sativa, Inhibited Aspergillus niger. Pakistan J. Med. Res. 42(3)

Al-Saleh, IA, Billedo G, dan El-Doush II. 2009. Levels of Selenium, DL-Alfa-Tocopherol, DL-Gamma-DL-Alfa-Tocopherol, All-Trans-Retinol, Thymoquinone andThymol in Different Brands of Nigella Sativa L. Seeds. Journal of Food Composition and Analysis. 19 : 167-175.

[Anonim]. 2004. Nigella sativa. [terhubung berkala]

[Anonim]. 2008. Kidney Gross Anatomy. [terhubung berkala]

[Anonim]. 2009. Multi Khasiat Habbatussauda (Nigella sativa / Jintan Hitam). [terhubung berkala] Juli 2011]

[Anonim]. 2011. Habbat’s black seed oil. [terhubung berkala] http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://batamhabbats [26 Desember 2011]

[Anonim]. 2011. Tikus Putih. [terhubung berkala] http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://media.dinomarket.com [15 Desember 2011]

[Anonim]. 2011. Anatomi Ginjal. [terhubung berkala] http://www.google.co.id/imgres?imgurl=http://1.bp.blogspot.com [20 Oktober 2011]


(52)

Arvin BK. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol 2. Behrman RE, Kliegmen RM, Arvin AM, editor: Wahab S, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Nelson textbook of pediatrics. Hal 1400-1401

Babayan VK, Koorttungal D, Hallaby GA. 1978. Proxymate analysis, fatty acid and composition of Nigella sativa L seeds. J Food Science 43:1314-1315 Bahri S, Maryam R, Widiastuti R. 2005. Cemaran Aflatoksin pada Bahan Pangan

dan Pakan di Beberapa Daerah Propinsi Lampung dan Jawa Timur. JITV 10(3): 236-241

Besselsen DG. 2004. Biology of Laboratory Rodent. [terhubung berkala]

Bowen R. 2012. Hepatic Histology: Hepatocytes. [terhubung berkala]

Brookes M. 1999. Bengkel Ilmu: Genetika. Prasetyoputri A, penerjemah; Andiani F, Nugraha D, Eddy MH, editor; Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Get a Grip on GENETICS. Hal 135-136

Buriro MA, Tayyab M, Ditta A. 2011. Nigella sativa (Kalonji); Effects on Serum Cholesterol of Albino Rats. Professional med J 18(1): 142-146

Carlton WW and MCGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterynary Pathology. Mosby-Year Book, Inc. St. Louis. Hal 81-101

Chakhravarty N. 1993. Inhibition of Histamin Release from Mast Cell by Nigellon. Intl J Pharm 70(3):237-242

Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. 2th

Covelli V. 1972. Guide to The Necropsy of The Mouse. [terhubung berkala]

ed. United States of America: Iowa state University Press. Hal 9-16

Cotran R, Kumar V, Robbins S. 1989. Robbins Pathology of Disease. Ed ke 4. Philadelphia: WB. Saunders Company.

Corwin EJ. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit EGC : Jakarta. Hal 751 Cristofori P, Zanetti E, Fregona D, Piaia A, Trevisan A. 2007. Renal Proximal

Tubule Segment-Specific Nephrotoxicity:An Overview on Biomarkers and Histopathology. Toxicologic Pathology 35:270–275


(53)

Dannuri H. 2009. Analisis Enzim Alanin Amino Tranferase (ALAT), Aspartat Amino Transferase (ASAT), Urea Darah, dan Histopatologis Hati dan Ginjal Tikus Putih Galur Sprague-Dawley Setelah Pemberian Angklak. J Teknol dan Industri Pangan 20(1):1-9

Darmansjah I. 1995. Dasar-dasar Toksikologi. Dalam Sulistia GG. Farmakologi dan terapi. FKUI Jakarta. Hal 765-763

Droge W. 2002. Free Radicals in The Physiological Control of Cell Function. Physiol Rev 82:47-95

El-Dakhakhny M, Madi NJ, Lambert N, Ammon HP. 2002. Nigella sativa Oil, Nigellone and Derived Thymoquinon Inhibit Synthesis of 5-Lipoxygenase Products in Polymorphonuclear Leukocytes from Rats. J Ethnopharmacol 81:161-164

El-Kadi A, Kandil O. 1987. The Black Seed (Nigella sativa) And Immunity: Its Effect On Human cell Subsets. Fed Proc 46: 1222-1226

El- Tahir KEH, Ashour. 1993. The Cardiovascular Action of The Volatile Oil of The Black Seed (Nigella sativa) in rats: alucidation of the mechanism of action. J Gen pharm 24(5):1123-1131

Fitriana ASN. 2007. Nigella sativa (Jintan hitam pahit). Tanaman Obat

Indonesia.[terhubungberkala]

Ganiswara G. 1995. Farmakologi dan Terapi. Ed ke 4. Sulistia, editor. Jakarta: Bagian Farmakologi Universitas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal 576-762

Guyton AC, Hall EJ. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Texbook of Medical Physiology. Hal 1103-1106

Handayani K. 2009. Efek Lovavastin Yang Difermentasi oleh kapang Monascus purpureus JMBA terhadapa kadar Kolesterol dan Histopatologi hati tikus galur Sparague Dawley [skripsi]. Lampung: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung. Hal 1-10

Hargono D. 1952. Tanaman obat Indonesia Jilid I. Depkes RI. Hal 65

Hendrik M. 2011. Herbal Hebat Bernama Habbatussauda. Pro Herbal. [Terhubu ng berkala]. Jul 2011]

Hopkins WG. And Huner NPA. 2004. Introduction to Plant Physiology. Third Edition. John Wiley and Sons, Inc. Ontario.


(1)

[DataSet1]

Case Processing Summary Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

nekrosa * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DH * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DL * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

normal * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

Report

perlakuan nekrosa DH DL normal

kontrol Mean 3.7450 28.4700 23.0600 44.7250

N 2 2 2 2

Std. Deviation 4.06586 1.44391E1 3.05470 1.54503E1 preventif Mean 1.3033 12.8867 33.9333 51.8767

N 3 3 3 3

Std. Deviation .58398 4.10809 1.23282E1 8.98055 kuratif Mean 3.3867 12.0467 12.8800 71.6900

N 3 3 3 3

Std. Deviation 2.25465 3.20063 6.05230 8.47496 madu Mean 1.7667 12.7467 24.1833 61.3033

N 3 3 3 3

Std. Deviation 1.32138 5.58224 1.86405E1 2.04732E1 Total Mean 2.4418 15.4527 23.5555 58.5509

N 11 11 11 11

Std. Deviation 2.05434 8.60510 1.32218E1 1.56159E1 ONEWAY nekrosa DH DL normal BY perlakuan

/MISSING ANALYSIS

/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05). ONEWAY


(2)

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

nekrosa Between Groups 121.331 3 40.444 2.600 .134

Within Groups 108.897 7 15.557

Total 230.229 10

DH Between Groups 408.425 3 136.142 2.056 .195

Within Groups 463.599 7 66.228

Total 872.024 10

DL Between Groups 2.660 3 .887 56.197 .000

Within Groups .110 7 .016

Total 2.771 10

normal Between Groups 580.435 3 193.478 2.266 .181

Within Groups 512.279 6 85.380

Total 1092.715 9

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets

nekrosa Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

preventif 3 13.6367

kontrol 2 13.7600

kuratif 3 18.9767

madu 3 21.2867

Sig. .073

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. DH

Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

preventif 3 57.9467

madu 3 59.6333

kontrol 2 69.8800

kuratif 3 71.5967

Sig. .110


(3)

DL Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

preventif 3 .0000

kuratif 3 .0000

madu 3 .0000

kontrol 2 1.2750

Sig. 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. normal

Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

kuratif 3 9.4300

kontrol 2 15.0850

madu 2 21.2800

preventif 3 28.4167

Sig. .076

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. MEANS TABLES=nekrosa DH DL normal BY perlakuan /CELLS MEAN COUNT STDDEV.

Means [DataSet2]

Case Processing Summary Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

nekrosa * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DH * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DL * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%


(4)

Report

perlakuan nekrosa DH DL normal

kontrol Mean 13.7600 69.8800 1.2750 15.0850

N 2 2 2 2

Std. Deviation 1.37179 5.03460 .33234 6.73873

preventif Mean 13.6367 57.9467 .0000 28.4167

N 3 3 3 3

Std. Deviation 6.51956 5.01639 .00000 3.45544

kuratif Mean 18.9767 71.5967 .0000 9.4300

N 3 3 3 3

Std. Deviation 2.25087 1.82083 .00000 3.72106

madu Mean 21.2867 59.6333 .0000 19.0867

N 3 3 3 3

Std. Deviation 2.43652 1.38075E1 .00000 1.49024E1

Total Mean 17.2018 64.2991 .2318 18.2700

N 11 11 11 11

Std. Deviation 4.79821 9.33822 .52636 1.05201E1

ONEWAY nekrosa DH DL normal BY perlakuan /MISSING ANALYSIS

/POSTHOC=DUNCAN ALPHA(0.05). ONEWAY

DataSet3

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

nekrosa Between Groups 143.535 3 47.845 1.505 .295

Within Groups 222.535 7 31.791

Total 366.070 10

DH Between Groups 539.395 3 179.798 3.645 .072

Within Groups 345.321 7 49.332

Total 884.717 10

DL Between Groups 8.894 3 2.965 2.314 .163

Within Groups 8.967 7 1.281

Total 17.861 10

normal Between Groups 334.889 3 111.630 1.676 .270

Within Groups 399.728 6 66.621

Total 734.617 9

Post Hoc Tests Homogeneous Subsets


(5)

DH Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05

1 2

preventif 3 63.1200

kontrol 2 70.4750 70.4750

madu 3 71.0167 71.0167

kuratif 3 81.9333

Sig. .252 .113

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. DL

Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

preventif 3 .0000

madu 3 .0000

kuratif 3 .6100

kontrol 2 2.4350

Sig. .052

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. normal

Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

kontrol 2 9.9900

kuratif 3 10.6733

madu 2 19.7350

preventif 3 23.0633

Sig. .146

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. MEANS TABLES=nekrosa DH normal BY perlakuan /CELLS MEAN COUNT STDDEV.

nekrosa Duncan

perlakuan N

Subset for alpha = 0.05 1

kuratif 3 6.7867

madu 3 12.1400

preventif 3 13.8200

kontrol 2 17.1000

Sig. .086


(6)

Means [DataSet3]

Case Processing Summary Cases

Included Excluded Total

N Percent N Percent N Percent

nekrosa * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DH * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

DL * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

normal * perlakuan 11 100.0% 0 .0% 11 100.0%

Report

perlakuan nekrosa DH DL normal

kontrol Mean 17.1000 70.4750 2.4350 9.9900

N 2 2 2 2

Std. Deviation 1.62635 1.05359 2.59508 3.16784

preventif Mean 13.8200 63.1200 .0000 23.0633

N 3 3 3 3

Std. Deviation 7.20011 5.08593 .00000 9.89512

kuratif Mean 6.7867 81.9333 .6100 10.6733

N 3 3 3 3

Std. Deviation 7.15556 9.06666 1.05655 6.94856

madu Mean 12.1400 71.0167 .0000 16.8433

N 3 3 3 3

Std. Deviation 2.62703 8.00216 .00000 8.58696

Total Mean 12.0400 71.7418 .6091 15.6109

N 11 11 11 11