Putusan Mahkamah Konstitusi TINJAUAN PUSTAKA
ditemukan oleh hakim lebih ditekankan, karena dinegara common law, legislasi dipandang ganya sebagai fungsi tambahan belaka.
John Henry Marryman menyebutkan, karena peran strategisnya itu hakim sebagai pahlawan budaya, atau figur dari seorang bapak. Menilik perkembangan
hukum dari common law system, hukum di tangan hakim dibuat salah satunya dengan alasan kedekatannya dari satu kasus, dan membangun sebuah badan
hukum yang mengikat hakim-hakim di bawahnya, inilah yang disebut sebagai doktrin stare decisi untuk memutuskan perkara yang sama dengan cara yang
sama. Berbeda dengan itu, hakim dinegara-negara civil law hanyalah operator
dari mesin yang dirancang dan dibangun oleh legislator. Fungsinya adalah salah satu mekanis, dan dinegara civil law nama-nama legilator yang besar dalam
sejarah bukan hakim. Hakim dalam sistem civil law bukan pahlawan budaya atau figur bapak, hakim adalah seorang pegawai sipil yang melakukan fungsi penting
tetapi pada dasarnya tidak memiliki daya cipta. Kecendrungan keputusan- keputusan pengadilan yang lebih tinggi pada yuridiksi civil law dikuatkan secara
alami. Hakim pada tradisi civil law tidak pernah diartikan sebagai pemain yang memainkan peran dibagian utama. Hal ini diperkuat oleh ideologi anti-yudisial
dan konsekuensi logis dari doktrin rasionalistik pemisahan kekuasaan ketat. Hakim civil law dengan demikian memainkan peran yang jauh lebih sederhana
dari hakim dalam tradisi common law. John Henry Marryman menjelaskan tentang pentingnya interprestasi oleh
hakim dalam penemuan hukum, baik dalam tradisi civil law maupuncommon law.
Doktrin pemisahan
kekuasaan menganggap
bahwa pengadilan
tidak diperkenankan melakukan fungsi interpretatif, tetapi harus merujuk pada masalah
penafsiran hukum yang ditentukan badan legislatif itu sendiri sebagai solusi. Legislatif akan memberikan interprestasi otoritatif untuk memandu hakim.
Dengan cara ini kecacatan hukum akan terhindari, pengadilan akan dicegah untuk membuat hukum, dan negara akan aman dari ancaman tirani yudisial.
2. Manfaat Teori Bekerjanya Hukum dari Seidman dan Chambliss dalam Pembuatan Putusan MK.
46
Menurut Robert B. Seidman dan William J.Chambliss dalam teori bekerjanya hukum, pembentukan hukum dan implementasinya tidak
akan terlepas dari pengaruh atau asupan kekuatan-kekuatan sosial dan personal, kekuatan sosial politik. Teori bekerjanya hukum ini
menjelaskan bagaimana pengaruh dan personal dalam pembentukan dan implementasinya. Dalam konteks hukum yang berupa Undang-Undang,
kekuatan personal yang dimaksudkan adalah kekuatan-kekuatan politik dilingkungan DPR dan pemerintah, dimana kekuatan-kekuatan politik
itu adalah sebagai oembentuk undang-undang. Menurut Seidman dan Chambliss, setiap peraturan hukum itu
menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharpkan untuk bertindak:
1 Tindakan apa yang akan diambil oleh pemegang peran sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangan tergantung dan dikendalikan oleh
46
Ibid hal 61
peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas lembaga pelaksanaanya, serta dari suatu kompleks kekuatan sosial,
politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya; 2 Tindakan yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respon
terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-
sanksinya dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politik, dan sebagainya yang bekerja atas dirinya, serta dari umpan balik yang akan
datang dari pemegang peran dan birokrasi. 3 Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pembuat Undang-
Undang sebagai respons terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peratura hukum yang berlaku, dari
sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuatan sosial, politk, dan lain sebagainya yang bekerja atas mereka, serta dari umpan balik
yang datang dari pemegang peran dan birokrasi Mengacu pada tiga poin diatas, didapat pula gambaran bahwa
pembentukan putusan MK dikendalikan tidak hanya oleh peraturan hukum yang ada undang-undang dan Undang-Undang Dasar saja, tetapi dikendalikan juga
oleh kekuatan sosial dan persoalan. Secara tidak langsung teori bekerjanya hukum dapat dijelaskan bahwa berlakunya aturan hukum dapat dipengaruhi oleh
kekuatan personel, lingkungan sosial, ekonomi, sosial, budaya, politik. Salah satu kekuatan sosial dalam teks ini adalah jaringan sosial.
3. Manfaat Teori Cybernetics dalam Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
47
Cybernetics merupakan salah satu mekanis mechanism system, yang secara analogi diterapkan dalam kehidupan manusia living organism-human life.
Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Norber Wiener, Guru Besar Matematika di Massachuttes Institute of Technology MIT. Kata
“cybernetics” diambil dari bahasa Yunani yaitu
“kubernetes” yang sama artinya dengan “steersman” atau “governor”, yang dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “alat” atau
“pengatur” on an engine.
Cybernetics sebagai transformasi teori komunikasi mekanis yang berakar pada fisika dan matematika kedalam bentuk kehidupan manusia. Wiener tidak
menemukan perbedaan essensial antara proses pemberian dan penerimaan perintah pada mesin dan manusia. Cybernetics menaruh perhatian besar dalam
terhadap proses penyelenggaraan pesan messeges dalam proses komunikasi itu.perhatian cybernetics ditempatkan pada kesamaan karateristik yang menjadi
dasar dari proses komunikasi itu. Dalam sistem komunikasi proses hubungan antara “pemberi pesan” Komunikan I dengan “penerima pesan” Komunikan II.
Komunikan I memberikan pesan kepada Komunikan II semata-mata dianggap sebagai reaksi otomatis akibat yang disebabkan oleh adanya aksi pemberian
pesan dari Komunikan I. Menurut Wiener, sistem pesan dan sistem kontrol otomatis itu hakikatnya
adalah sistem pemberian perintah imperative mood-order searah. Mengacu pada
47
Ibid hal 63
teori Cybernatics, pelaksanaan putusan MK yang tidak memiliki daya dukung pemaksa eksekutorial harus didukung jaringan sosial yang terkait dengan putusan
tersebut melalui perintah dari MK. 4. Penemuan Hukum rechtsvinding oleh hakim di Lembaga Pengadilan
Metode Penemuan Hukum Rechtsvinding
48
Ada perbedaan pandangan tentang metode atau penemuan hukum oleh hakim antara yuris Eropa Kontinental dengan yuris Anglo saxon. Pada umumnya
yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode interprestasi dengan metode konstruksi. Sebaliknya, di Anglo saxon membuat
pemisahan yang tegas antara interprestasi dengan konstruksi. Perbedaan prinsip antara interprestasi dan konstruksi yaitu interprestasi atau penafsiran terhadap
Undang-Undang masih tetap berpegang pada teks itu, sedangkan pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logis untuk mengembanggkan lebih lanjut suatu
teks. Ada dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hakim selalu
melakukan penemuan hukum atau tidak, pertama pandangan menurut doktrin Sens Clair, bahwa penemuan hukum oleh hakim dibutuhkan jika 1 peraturan belum
ada untuk suatu kasus in-konkreto, atau 2 peraturannya sudah ada tapi belum jelas. Doktrin Sens Clair ini meliputi 5 butir sebagai berikut:
a. Ada teks Undang-Undang dimengerti maknanya sendiri dan berdasarkan setiap penjelasan sebelumnya, serta tidak mungkin
menimbulkan keraguan
48
Ibid hal 67
b. Karena bahasa hukum berdasarkan bahasa percakapan sehari-hari maka dapat dianggap semua istilah yang tidak ditentukan oleh
pembuat Undang-Undang tetap saja sama artinya dengan yang dimilikinya dalam bahasa percakapan biasa
c. Kekaburan suatu teks Undang-Undang hanya mungkin terjadi karena mengandung arti yang ambigu atau karena kekurangan arti yang lazim
dari istilah-istilah itu d. Secara ideal, biasanya yang dijadikan pegangan bagi pembuat undang-
undang adalah ia harus merumuskan teks undang-undangnya dengan sejelas-jelasnya.
e. Untuk mengetahu adanya kekaburan ataupun tidak adanya kekaburan teks Undang-Undang, tidak diperlukannya penafsiran.sebaliknya,
pengakuan tentang jelas atau kaburnya teks menghasilkan kriteria yang memungkinkan untuk menilai apakah suatu penafsiran atau penemuan
hukum memang atau tidak diperlukan. Kedua, pandangan para penganut penemuan hukum harus selalu dilakukan
yaitu hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. Hakim pada dasarnya mengkonstatasi peristiwa konkrat, sekaligus merumuskan peristiwa
konkret dan mengkualifikasi peristiwa konkret, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari peristiwa konkret danatau memberi hukum atau hukumannya.
Penafsiran hukum secara alam pikiran hukum pada dasarnya dapat diterima sebagai jembatan antara undang-undang yang statis dan kaku dengan
masa kini dan masa depan. Hukum akan dicari dan dipercayai masyarakat ketika mampu menjalankan tugas memandu dan melayani masyarakat.
Pembentukan hukum-hukum baru yang berwujud pada putusan MK diambil berdasarkan pertimbangan terhadap fakta-fakta yang terungkap dalam
persidangan meliputi ringkasan
49
: a. Maksud dan tujuan pemohon
b. Kewengan Mahkamah sebagaimana dimaksud pada Pasal 24C UUD 1945 padal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
c. Kedudukan hukum legal standing sebagaimana diaksudkan Pasal 51 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
d. Alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 3 huruf a dan atau huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
e. Kesimpulan mengenai semua hal yang telah dipertimbanggkan. Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hak hukum. Putusan
constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan Putusan condemnatoir adalah
putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi.
50
Dilihat dari perkembangannya terdapat pula amar putusan lainnya dalam praktik Mahkamah Konstitusi, yaitu
51
: 1. Konstitusional Bersyarat Conditionally Constitutional
49
Sekretariat Jenderal ... Loc.cit. hal 136
50
Sekretariat Jenderal ...Op.cit. hal 55
51
Ibid hal 137- 147
Dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK diatur tiga jenis amar putusan, yaitu permohonan tidak dapat diterima,
permohonanan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Jika hanya berdasarkan pada ketiga jenis putusan tersebut akan sulit untuk
menguji undang-undang dimana sebuah Undang-Undang seringkali mempunyai sifat yang dirumuskan secara umum, padahal dalam
rumusan yang sangat umum itu belum diketahui apakah dalam pelaksanaanya akan bertentangan dengan UUD atau tidak.
2. Tidak Konstitusional Bersyarat Conditionally Uncontitutional
52
Putusan tidak konstitusional bersyarat juga disebabkan jika hanya berdasarkan pada amar putusan yang diatud ddalam pasal 56 undang-
undang nomor 24 tahun 2003 tentang MK, maka akan sulit untuk menguji undang-undang dimana sebuah Undang-Undang sering kali
memiliki sifat yang dirumuskan secara umum. Dalam konklusi putusan,sepanjang tidak dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan
maka putusan tersebut tidak konstitusional bersyarat. 3. Penundaan Keberlakuan Putusan
Penundaan keberlakuan putusan diambil MK untuk kepentingan umum yang jauh lebih besar, MK merasa perlu membatasi akibat hukum yang
timbul dari pernyataan inkonstitusionalitas suatu Undang-Undang. 4. Perumusan Norma dalam Putusan
Perumusan norma dalam putusan dinyatakan MK jika bagian-bagian tertentu dalam pasal-pasal yang diajukan permohonan sebagai
52
ibid
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.