Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Rangka Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat Di Indonesia (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden)

(1)

(Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

Oleh : TIGOR EINSTEIN NIM:109048000031

KONSENTERASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1434 H / 2013 M. x + 73 halaman + halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, serta untuk mengetahui apakah UU Nomor 42 Tahun 2008 telah sesuai dengan UUD 1945. Pada penelitian ini penulis memilih objek penelitian yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan lainnya seperti makalah, jurnal, dan sumber dari internet.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung yang diatur didalam UU Nomor 42 Tahun 2008 masih bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945, karena dalam Pembukaan UUD 1945 dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan Permusyawaratan-Perwakilan. Serta untuk masalah Calon Presiden dan Wakil Presiden harus dari Partai Politik jika dikaitkan dengan pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (3) UUD 1945, karena calon presiden dan wakil Presiden hanya dari parpol, merupakan bentuk ketidakadilan bagi masyarakat tidak berpartai. Oleh karena itu karena penulis merasa ada ketidaksesuaian antara Pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, maka sebaiknya MPR bersidang untuk menetapkan UUD yang sesuai dengan sifat, watak, dan cita-cita Bangsa Indonesia. Setelah itu Presiden bersama DPR membentuk kembali Undang-Undang dan Peraturan dibawahnya berdasarkan UUD yang sesuai dengan sifat, watak, dan cita-cita Bangsa Indonesia

Kata kunci: Kedaulatan Rakyat, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

Pembimbing : JM. Muslimin, MA. Ph.D Daftar Pustaka : Tahun 1956 s.d. Tahun 2012


(6)

Allahmdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan nikmatnya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden)” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. K.H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Drs. Abu Tamrin, SH, M.Hum. Selaku Kepala dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses penyusunan skripsi ini.


(7)

4. Bapak Dedy Nursamsi, SH. M. Hum dan Bapak Ismail Hasani, SH. MH yang telah bersedia untuk menguji skripsi ini dan memberikan masukan untuk menyempurnakan skripsi ini.

5. Kedua orang tuaku ayahanda Thomas Sinaga dan Ibunda Nuri Rochmawati yang ku sayangi dan ku hormati, terimakasih tak terhinga atas kasih sayang, do’a, bimbingan, nasehat, materi serta segala yang telah diberikan untuk ananda.

6. Seluruh sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum yang baik hati, khususnya prodi Ilmu Hukum angkatan 2009 terimakasih yang tak terhingga yang sudah membantu dan memotivasi penulis.

7. Seluruh kawan-kawan yang tak dapat satu persatu disebutkan namanya, yang telah banyak memberi masukan, dorongan, dan bantuan sampai selesainya skripsi ini.

8. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka (Amien).


(8)

bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr, Wb.

Jakarta, 9 Januari 2014 Penulis,


(9)

PERSETUJUAN PEMBIMBING...i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...ii

LEMBAR PERNYATAAN ...iii

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFTAR ISI………...viii

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Metode Penelitian...9

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu...13

F. Sistematika Penelitian...14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDAULATAN RAKYAT, PARTAI POLITIK, DAN PEMILIHAN UMUM...15

A. Kedaulatan Rakyat...15


(10)

UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008...44

A. Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden...44

B. Mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008...48

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TERHADAP PRINSIP KEDAULATAN RAKYAT YANG TERMAKTUB DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR 1945…………...55

A. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara Langsung Melalui Pemilu………...55

B. Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Wakil Presiden Independen dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden...66

BAB V PENUTUP...70

A. Kesimpulan...70

B. Saran...71


(11)

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Seiring berayunnya bandul sejarah, sejak proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga sekarang, bangsa Indonesia ternyata telah mengenal lima konstitusi, yaitu: Konstitusi Pertama, adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi Kedua, adalah Konstitusi (Sementara) Repubik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) tahun 1949, buah dari Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tanggal 27 Desember 1949. Konstitusi Ketiga, adalah Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang ditetapkan tanggal 15 Agustus 1950, dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1950. Konstitusi Keempat, sama dengan konstitusi pertama yang berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan nuansa spirit Piagam Djakarta. Konstitusi Kelima, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diubah empat kali, tahun 1999 sampai 2002.1

Kekecewaan yang mendalam terhadap pemerintahan yang dianggap sangat otoriter mendorong terjadinya reformasi disegala bidang, termasuk perubahan UUD 1945. Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik

1

Taufiqurrohman Syahuri,Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum(Jakarta: Kencana, 2011), h. v-vi.


(13)

Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) memberikan landasan yang kuat bagi bangsa untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara, terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia sesuai harapan rakyat dan semangat reformasi.2 Perubahan UUD 1945 pun telah membawa dampak yang besar terhadap perubahan sistem hukum dan perundang-undangan yang berhubungan erat dengan masalah kenegaraan.3

UUD 1945 saat ini telah mengalami perubahan secara mendasar. Dikatakan mendasar bukan saja karena adanya penambahan secara signifikan dalam jumlah ketentuannya (bab, pasal, ayat) maupun diadopsinya lembaga-lembaga negara baru melainkan memang ada hal fundamental yang berubah sehingga membawa dampak sistemik.4Perubahan itu telah melahirkan konstitusi yang baru meskipun tetap dinamakan sebagai UUD NRI Tahun 1945. Pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam rumusan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli UUD NRI Tahun 1945 yang pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.5

2

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2012), h. xvii.

3

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (1): Jenis, Fungsi , Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 1-2.

4

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 492-493.


(14)

Perubahan UUD NRI Tahun 1945 berdampak pada perubahan kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga yang memegang dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, karena kedaulatan rakyat pasca perubahan konstitusi dilaksanakan menurut UUD NRI Tahun 1945. Kedudukan MPR, seperti halnya lembaga-lembaga negara lain, tergantung pada wewenang, tugas, dan fungsi yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Perubahan kedudukan MPR tersebut juga berimplikasi pada hilangnya wewenang MPR untuk membentuk Ketetapan MPR yang bersifat megatur keluar, seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara.6Tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden-pun hilang.

Sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998, Indonesia telah menempuh jalan demokrasi.7 Pengertian dan pelaksanaan demokrasi bagi rakyat Indonesia tidak merupakan soal baru.8 Di dalam UUD NRI Tahun 1945 Amandemen tidak menjelaskan satupun didalam klausul-klausulnya tentang Lembaga Negara yang menjalankan kedaulatan rakyat tersebut, sehingga pelaksanaan kedaulatan rakyat itu dijalankan dengan pemilu yang dilakukan oleh rakyat secara langsung tanpa perlu dilembagakan. Indonesia sejak digulirkannya reformasi kembali menggunakan demokrasi (pemilu) secara

5

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. xix.

6

Ibid., h. xix-xx.

7

AE Priyono, dkk, Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia (Jakarta: Demos, 2007), h. 43.

8

Soepardo, dkk, Manusia Dan Masyarakat Baru Indonesia: Civics (Jakarta: Departemen P. P. Dan K., 1960), h. 81.


(15)

langsung dalam mengangkat orang-orang yang akan menjabat didalam lembaga-lembaga Negara yang ada di Negara Republik Indonesia, termasuk Presiden dan Wakil Presiden.

Bagi sejumlah Negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai Negara demokrasi, pemilu memang dianggap sebagai lambing sekaligus tolok ukur utama dan pertama demokrasi.9 Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap demokrasi.Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga Negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi.10

Demokrasi digamabarkan oleh Aristoteles ialah “… landasan demokratis adalah kebebasan; yang menurut pendapat orang pada umumnya, hanya dapat dinikmati dalam Negara semacam itu, hal ini diakui sebagai tujuan utama setiap demokrasi. Salah satu prinsip kebebasan ialah setiap orang secara bergantian wajib memerintah dan diperintah, dan memang keadilan demokratis merupakan penerapan persamaan jumlah bukan proporsi, dari situ disimpulkan bahwa mayoritas harus memiliki kekuasaan tertinggi, dan apa pun yang disetujui oleh mayoritas harus menjadi tujuan dan adil. Setiap warga Negara, dikatakan, harus mempunyai persamaan, dan oleh karenanya dalam sebuah demokrasi, kaum miskin mempunyai kekuasaan lebih banyak daripada kaum kaya, karena jumlah mereka lebih besar, dan

9

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h. 329.

10

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 401.


(16)

kehendak mayoritaslah yang paling tinggi. Oleh karena itu hal ini merupakan salah satu sifat kebebasan yang dianut oleh kaum democrat sebagai perinsip Negara mereka.”11

Untuk memahami pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia ini, baik sebelum UUD 1945 di amandemen maupun sesudah UUD 1945 diamandemen, ada baiknya perkataan Prof. Soepomo yang juga menjadi penjelasan didalam UUD 1945 menjadi acuan, yaitu, “Memang untuk menyelidiki hokum dasar (droit constitutionnel) satu Negara, tidak cukup hanya menyelidiki pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya (loi constitutionelle) saja, akan tetapi harus menyelidiki juga bagaimana prakteknya dan bagaimana suasana kebatinannya (geistlichen Hintergrund) dari Undang-Undang Dasar itu.”

Indonesia mengalami banyak perubahan kedaulatan dan pelaksanaan kedaulatan tersebut beriringan dengan konstitusi yang berlaku. Bahkan fenomena yang sekarang terjadi ialah kedaulatan rakyat yang diatur dalam UUD 1945 Amandemen, makin lama kedaulatan rakyat tersebut malah cenderung bergeser atau berubah menjadi kedaulatan parpol.

Perkembangan menunjukan, dalam industri politik harga demokrasi ternyata sangat mahal. Butuh modal banyak kalau ingin investasi dalam pasar demokrasi.12 Pada pemilu tahun 2004, beberapa partai politik mengeluarkan dana cukup besar untuk belanja iklan. Berdasarkan pemantauan Transparancy

11

Diane Ravitch dan Abigail Thernstrom, Demokrasi: Klasik dan Modern (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 13.

12

Ruslan Ismail Mage, Industri Politik: Strategi Investasi Politik Dalam Pasar Demokrasi, (Jakarta: RMBOOKS, 2009), h. xii.


(17)

International (TI), Indonesia selama pekan pertama kampanye di 15 persen daerah pemilihan, tercatat PDIP mengeluarkan dana kampanye terbanyak sebesar Rp. 3,6 miliar. Nilai ini masih ditambah dengan dengan biaya iklan di televisi yang biaya penayangannya saja hingga minggu kedua kampanye mencapai Rp. 7 miliar. Dibelakangnya menyusul PAN dengan Rp. 1,9 miliar, PPP Rp. 1,8 miliar, PKB Rp. 1,4 miliar, PKS Rp. 1,3 miliar, Golkar Rp. 867 Juta, serta PBB Rp. 284 juta.13Selain itu, dari beberapa liputan media menjelaskan, untuk menjadi caleg di kabupaten/ kota, harus menyiapkan dana 75 sampai 100 juta, untuk caleg tingkat satu di Provinsi 150 sampai 300 juta, untuk caleg DPR RI 500 juta sampai 1 miliar. Lebih mengejutkan lagi, untuk pilkada menurut hitungan Asro Kamal Rokan harus mengeluarkan 30 miliar untuk satu pasangan, untuk gubernur pasti lebih besar lagi. Jika rata-rata setiap calon bupati dan walikota mengeluarkan sekitar 30 miliar, maka uang tidak produktif yang beredar didalam 483 pilkada seluruh indonesia sekitar 14,4 triliun. Sedang untuk 33 provinsi jika rata-rata 75 miliar lebih, maka uang tidak produktif bertebar sekitar 2,4 triliun rupiah.14 Maka tak heranlah, jika setiap calon yang berhasil menduduki jabatan yang diincarnya berusaha untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya dan mencari modal kembali untuk persiapan pemilu periode berikutnya lewat jalan korupsi.

Selain itu, para elit yang terlibat masalah korupsi uang negara dan uang rakyat – sudah jelas-jelas dengan bukti nyata – berhasil lolos melarikan diri malahan menduduki jabatan penting. Bahkan, sibuk menyiapkan diri untuk

13

Ibid., h. 116.

14


(18)

berlaga dalam komedi capres mendatang untuk menyelamatkan diri sendiri.15 Oleh karena masalah itulah, penulis menulis skripsi ini dengan judul yaitu: “PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DALAM RANGKA PELAKSANAAN KEDAULATAN RAKYAT DI INDONESIA (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tidak membahas persoalan seluruh pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang pernah dilaksanakan di Indonesia, penulis hanya memfokuskan penelitian pada pelaksanaan kedaulatan rakyat di Indonesia dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden pada era reformasi yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah yang akan dihasilkan ialah:

a) Bagaimana mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008?

15

Adhie M. Massardi, dkk, Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul (Jakarta: Republika Penerbit, 2011), h. xiii.


(19)

b) Apakah pemilihan presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 telah sesuai dengan prinsip Kedaulatan Rakyat yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945?

C. Tujuan dan manfaat penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini ialah:

a) Untuk mengetahui mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008.

b) Untuk mengetahui keselarasan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dengan prinsip Kedalatan Rakyat yang termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: a. Manfaat akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu hokum khususnya ilmu hukum kelembagaan Negara.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemasukan bagi pejabat-pejabat di lembaga-lembaga Negara dalam


(20)

menetapkan hukum untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

c. Manfaat untuk masyarakat

Penelitian ini pun diharapkan dapat memberi pemahaman kepada masyarakat luas akan kedaulatan yang berada ditangannya, dan memberikan kesadaran kepada rakyat agar kedaulatan tersebut tidak hilang begitu saja dan dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya, terutama dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden.

D. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah jenis penelitian normatif. Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan Ilmu Hukum yang di Barat biasa juga disebut dogmatika Hukum.16 Penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.17

16

Sulistiyowati Irianto dan Shidarta, ed., Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 142.

17


(21)

2. Teknik Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach dan pendekatan sejarah (history approach).18

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan yang akan digunakan adalah UUD 1945, UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, serta Peraturan perundang-undangan lain yang menunjang penelitian skripsi ini.

Pendekatan konseptual diambil dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam penelitian ini. Secara konseptual,kedaulatan rakyat dan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah tertuang dalam UU Nomor 42 Tahun 2008, namun untuk melengkapi, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut terhadap pandangan-pandangan dari berbagai pihak serta konsep yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan yang pernah digunakan atau yang masih berlaku sampai saat ini berkaitan dengan kedaulatan rakyat dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Selnjutnya ialah pendekatan sejarah sebagai pelengkap untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi berubahnya pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

3. Jenis Data Dan Bahan Hukum

18


(22)

Data yang dipergunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder dalam penelitian hukum adalah data yang diperoleh dari hasil penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau materi penelitian yang sering disebut bahan hukum.19

Adapun data sekunder atau bahan hukum yang digunakan penulis adalah:

a. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan perjanjian internasional (traktat).20 Bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini antara lain seperti UUD 1945 (sebelum amandemen), UUD NRI 1945 amandemen, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang pemilu, Putusan MK Nomor 98/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 99/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, buku,

19

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 156.

20 Ibid


(23)

buku teks, jurnal ilmiah, surat kabar (koran), pamflet, leaflet, brosur, dan berita internet.21

c. Bahan non hukum, ini dapat berupa semua literatur yang berasal dari non hukum, sepanjang berkaitan atau mempunyai relevansi dengan topik penelitian.22

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan/atau bahan non hukum. Penelusuran bahan bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dilakukan penelusuran dengan melalui media internet.23

5. Teknik Pengolahan Data

Setelah data dan bahan hukum dikumpulkan tahap selanjutnya adalah adalah melakukan pengolahan data, yaitu mengelola data sedemikian rupa sehingga data dan bahan hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis, sehingga akan memudahkan penulis melakukan analisis.24

Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan bahan berwujud kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum

21Ibid

., h. 157-158.

22

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 143.

23

Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, h. 160.

24Ibid


(24)

tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis.25

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun2012.

E. Review Kajian Terdahulu

Banyak ahli-ahli yang membahas tentang kedaulatan rakyat, diantaranya ialah Sri Edi Swasno (Pembangunan BerwawasanSejarah: Kedaulatan Rakyat, Demokrasi Ekonomi, Dan Demokrasi Politik) dan Bagar Manan (Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, Dan Negara Hukum).

Selain itu banyak pula sarjana-sarjana yang menulis skripsi tentang kedaulatan rakyat ini, seperti Herni Lestari, Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Politik Islam Dan Politik Indonesia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004) dan Nurul Ghazy, Pengaruh Globalisasi Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2009).

Namun penulis menganggap bahwa skripsi ini unik daripada yang lain, karena selain membahas tentang teori-teori tentang demokrasi, pemilu, dan partai politik, serta konsep kedaulatan rakyat dalam perspektif Islam. Selain

25 Ibid


(25)

itu juga skripsi ini berusaha untuk menggali konsep dan pelaksanaan kedaulatan rakyat bangsa Indonesia berdasarkan sejarah. Oleh karena itu skripsi ini diharapkan dapat melengkapi pustaka-pustaka ilmu hukum Kelembagaan Negara.

F. Sistematika Penelitian:

Bab I: berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review kajian terdahulu, dan sistematika penelitian.

Bab II: berisi pengertian kedaulatan rakyat, pengertian partai politik, dan pengertian pemilu.

Bab III: menguraikan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden serta mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Bab IV: menguraikan putusan MK terhadap pengujian Undang Nomor 42 Tahun 2008, dan analisa Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 terhadap prinsip kedaulatan rakyat yang terdapat dalam UUD 1945.

Bab V bab ini merupakan bab terakhirdari penulisan skripsi ini, untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian serta memberikan saran dan kritik yang dianggap perlu pada permasalahan yang diteliti.


(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEDAULATAN RAKYAT, PARTAI POLITIK, DAN PEMILIHAN UMUM

A. Kedaulatan Rakyat

1. Sejarah Kedaulatan Rakyat (Demokrasi)

Dalam perkembangannya, teori kedalatan memiliki beberapa macam antara lain Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Negara, kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat. Di abad 21 ini, Kedaulatan Rakyat yang hampir dipakai oleh seluruh negara-negara di dunia, atau yang lebih dikenal dengan istilah demokrasi.

Pada permulaan pertumbuhannya, demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara kota (citystate) Yunani Kuno abad ke-6 sampai abad ke-3 sebelum masehi merupakan demokrasi langsung, yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas.26

Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia barat waktu bangsa Romawi berkuasa, yang dikatakan oleh suku bangsa

26Ni’matul Huda, Ilmu Negara


(27)

Eropa Barat dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan dari tahun 600-1400. Masyarakat Abad Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal, yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat-pejabat agama lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan, demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta 1215.

Sebelum abad pertengahan berakhir, di Eropa Barat , pada permulaan abad ke-16, muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang modern, menyebabkan Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural dalam rangka mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dengan keyakinan bahwa akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissnce (1350-1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan, seperti Italia, dan Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss, dan sebagainya.

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesuastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yang tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandang baru. Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul, menyebabkan manusia berhasil melepaskan diri dari penguasaan kereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk


(28)

dogma maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya dibidang pemerintahan. Ini dinamakan pemisahan antara gereja dan negara.

Kedua aliran pikiran tersebut, mempersiapkan orang Eropa Barat pada masa 1650-1800 menyelami masa Aufklarung (Abad Pemikiran) beserta Rasionalisme, suatu aliran pikiran yang ingin memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio) semata-mata.27 Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluasakan gagasan ini dibidang politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas.

Monarki-monarki absolut ini telah muncul dalam masa 1500-1700, sesudah berakhirnya Abad Pertengahan. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep “Hak Suci Raja” (Divine Right of Kings). Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengaruh berkat majunya kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya.

27 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia

(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 238-241.


(29)

Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai social contract (kontrak sosial). Salah satu dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universil. Kontrak sosial beranggapan bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana dimana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya dengan aman.

Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, pada akhir abad ke 19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage)28

Sejak awal abad ke-20, gelombang aspirasi kearah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan dan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan “pisau” demokrasi dan HAM sebagai instrument perjuangan yang efektif dan membebaskan.29

2. Pengertian Kedaulatan Rakyat

Kedaulatan adalah sebuah istilah hukum yang sangat dalam dan jauh arti maknanya, walaupun mempunyai perbatasan yang tegas bagi para ahli

28

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 55-56.

29

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 533.


(30)

hokum internasional.30 Sifat khusus pada suatu negara yang membedakannya dengan semua unit perkumpulan lainnya adalah negara memiliki kekuasaan untuk membuat dan melaksanakan undang-undang dengan segala cara maupun paksaan yang diperlukan. Kekuasaan seperti ini disebut kedaulatan.31 Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara. Sifat-sifat kedaulatan itu tunggal, asli, dan tidak terbagi.32Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan menimbulkan percekcokan dalam suatu negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang akan menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat.33

Secara internal, istilah ini bermakna supermasi seseorang atau sekumpulan orang didalam negara atas individu-individu atau perkumpulan individu dalam wilayah yuridiksinya. Secara eksternal, berarti independensi mutlak satu negara sebagai suatu keseluruhan dalam hubungannya dengan negara-negara lainnya. Secara etimologi, kata kedaulatan berarti superiritas belaka, tetapi ketika diterapkan pada negara, kata tersebut berarti superioritas dalam arti khusus.34

Menurut Locke: “Negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup,

30

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 Jilid Ketiga (Jakarta: Siguntang, 1960), h. 893.

31

C. F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Kajian Tentang Sejarah Dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2008), h. 8.

32

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), h. 69.

33

Tan Malaka, Merdeka 100%: Tiga Percakapan Ekonomi Politik (Jakarta: Marjin Kiri, 1987), h. 12.

34


(31)

dan kebebasan, baik terhadap bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat, tetapi tidak semuanya.”35

Teori kedaulatan rakyat ini antara lain juga diikuti oleh Immanuel Kant, yaitu yang mengatakan bahwa tujuan Negara itu adalah untuk menegakan hukum dan menjamin kebebasan daripada para warga negaranya.36

Kedaulatan rakyat dapat diartikan dua macam:

a. Kedaulatan rakyat dalam arti: rakyatlah yang diangap menjadi sumber atau asal segala kekuasaan dalam negara. Segala hokum dan peraturan yang diciptakan oleh rakyat harus ditaati lebih dari hokum atau peraturan manapun juga, lebih dari hukum yang diperintahkan oleh Tuhan sekalipun. Dalam hal ini berlakulah semboyan: “suara rakyat suara Tuhan”.

b. Kedaulatan rakyat dalam arti: rakyat merupakan tempat kekuasaan yang tertinggi, kekuasaan mana sebenarnya karunia Tuhan. Karena souvereiniteit menurut paham ini karunia Tuhan, maka kebenaran hokum rakyat wajib diukur (diselaraskan) dengan kehendak Tuhan.37

3. Konsep Demokrasi

Ada bermacam-macam istilah demokrasi. Semua konsep ini memakai itilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat berkuasa” atau

35Ni’matul Huda, Ilmu Negara

, h. 189.

36

Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 2005), h. 161.

37


(32)

“goverment or rule by the people”. (Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/ berkuasa).38

Tokoh yang menjadi bapak dari ajaran ini adalah J. J. Rousseau. Menurut teori ini, rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya kepada negara. Kemudian negara memecah menjadi beberapa kekuasaan yang diberikan kepada pemerintah ataupun lembaga perwakilan. Apabila pemerintah tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan kehendak rakyat, maka rakyat akan bertindak untuk mengganti pemerintah itu. Kedaulatan rakyat ini, didasarkan pada kehendak umum yang disebut dengan volonte generale oleh Rousseau.39

Kemauan bersama (volonte generale) ini, sebagai suatu kualitas. Kemauan bersama senantiasa bertujuan kebaikan dan kepentingan bersama, ia senantiasa benar dan adil. Ia akan mengalahkan kepentingan diri, yang menurut pendapat Rousseau memang tidak akan muncul apabila manusia itu dibiarkan berpikir sendiri tanpa dipengaruhi oleh bisikan dan hasutan dari luar. Kemauan bersama, katanya, tidak sama dengan kemauan semua sekutu (volonte des tous), ini termasuk dalam lingkungan kuantitas, yakni berupa jumlah dari kemauan-kemauan yang ada. Kemauan bersama, adalah pemegang kedaulatan yang tidak terbatas, tidak dapat diserahkan dan tidak dapat pula dibagi-bagi. Kedaulatan terletak pada pihak yang memerlukan kemauan bersama, jadi rakyat keseluruhan. Kemauan bersama juga

38

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 50.

39

Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The State


(33)

merupakan sumber hukum yang senantiasa harus didasarkan pada “bersamanya” bukan diuntukkan bagi seseorang atau segolongan.40

Oleh karena negara untuk kepentingan bersama, maka menurut Montesquieu kekuasaan negara haruslah dipisah-pisahkan.41

Salah satu konsep demokrasi yang kita kenal ialah demokrasi konstitusional. Demokrasi Konstitusional sendiri memiliki ciri tersendiri, yaitu terbatasnya kekuasaan pemerintah serta tidak dibenarkannya tindakan sewenang-wenang pemerintah kepada masyarakat. Kedua hal itu termaktub secara gambling dalam konstitusi, yang menjadi acuan bagi pemerintah. Ciri tersebut memiliki nafas yang sama dengan pernyataan Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely” (manusia yang memiliki kekuasaan cenderung akan menyalah-gunakannya, dan apabila manusia memiliki kekuasaan yang absolute atau tidak terbatas, tentunya akan disalah gunakan). Pemisahan dan/atau pembagian kekuasaan, sehingga kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu lembaga atau individu, dalam prakteknya di Indonesia dapat dilihat melalui tiga lembaga Negara utama yang berperan dalam menjalankan roda pemerintahan, yaitu eksekutif (presiden), legislatif (DPR) serta yudikatif (MA).

Sama halnya dengan sang induk, demokrasi konstitusional juga berkembang merespon pada tuntutan zamannya. Setelah pada abad 19 menitik beratkan pada penegakan hokum serta HAM, dalam

40

Firdaus Syam, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Ideologi, Dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 155.

41

C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Ilmu Negara (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 160.


(34)

perkembangannya dewasa ini, terdapat syarat-syarat bagi penyelenggaraan demokrasi konstitusional, yaitu:

a. Perlindungan konstitusionil, yang mencakup perlindungan terhadap hak-hak individu serta prosedur untuk memperoleh perlindung tersebut.

b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. c. Pemilihan umum yang bebas.

d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

e. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi. f. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).42

Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah :

a. Gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap negaranya.

b. Pembatasan tercantum dalam konstitusi. c. Disebut “constitutional government

Konsep demokrasi konstitusional memiliki tiga aspek utama, yaitu penataan lembaga negara, proses legislasi, dan judicial review.

Aspek pertama, penataan lembaga negara merupakan hal penting karena lembaga negara ini yang menjalankan kekuasaan negara. Prinsip pembagian kekuasaan (division of powers) yang semula diagungkan diganti

42 B. Harimurti, “Sistem Pemerintahan Indonesia

-Demokrasi Konstitusional”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://www.koranpagi.com/sistem-pemerintahan-indonesia/


(35)

pemisahan kekuasaan (separation of powers) dengan prinsip checks and balances. Perubahan signifikan dengan meninggalkan doktrin supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi.Pemisahan kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan yang berpeluang disalahgunakan.

Prinsip checks and balances ditandai fungsi legislasi di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (dan Dewan Perwakilan Daerah), tetapi presiden masih memiliki hak mengajukan rancangan undang-undang, membahas, dan memberikan persetujuan. Kekuasaan legislasi juga dikontrol dan diimbangi Mahkamah Konstitusi dalam menguji konstitusionalitas undang-undang (judicial review). Begitu pula kekuasaan eksekutif dikontrol dengan fungsi pengawasan DPR dan DPD.

Prinsip ini melengkapi doktrin pemisahan kekuasaan dengan kelemahan tidak mungkin kekuasaan mutlak diisi orang-orang dan fungsi yang murni berbeda dan terpisah.Tetapi, pemisahan kekuasaan ini bukan tanpa masalah. Janedjri menyatakan, bisa muncul ketegangan yang mengganggu fungsi masing lembaga negara karena beda tafsir atas kekuasaan masing-masing dan personifikasi lembaga dengan pribadi pejabat. Hubungan tidak sehat manakala melibatkan hubungan emosional.

Aspek kedua, yaitu pembuatan hukum melalui proses legislasi. Pembentukan hukum harus dilakukan melalui mekanisme demokratis dan cerminan ideal dan kebutuhan masyarakat. Hak-hak konstitusional, termasuk hak-hak masyarakat hukum adat, tidak boleh dilanggar norma yang hierarkinya lebih rendah karena konstitusi akan turun derajat tertingginya.


(36)

Selain itu, Janedjri juga mengulas secara mendalam prasyarat demokratisasi pembentukan undang-undang agar terpenuhi yaitu dengan ada keterbukaan, forum publik, dan partisipasi dari masyarakat.

Aspek ketiga yaitu judicial review. Mekanisme ini penegasan prinsip checks and balances, memperkuat negara demokrasi konstitusional, dan mengawal konstitusi sebagai supreme law dan menjaga konstitusi agar hidup.43

Carol C. Gould mengklasifikasikan demokrasi dalam tiga model, yaitu (1) model individualisme liberal, (2) model pluralis, dan (3) model sosialisme holistik. Teori model demokrasi model individualisme liberal menjeaskan demokrasi sebagai pelindung orang dari kesewenang-wenangan kekuasaan pemerintah, dan mendudukan pemerintah sebagai pelindung kebebasan seluruh rakyat dari ancaman dan gangguan. Model demokrasi ini menginginkan kesamaan universal bagi seluruh rakyat dan kesamaan hak bagi seluruh rakyat itu dalam proses politik. Pandangan ini ditandai oleh one man one vote.

Teori model pluralis merupakan kebalikan dari individualisme abstrak yang menekankan kepentingan pribadi individu-individu yang saling lepas. Dalam hal ini pluralisme memusatkan perhatian pada kepentingan kelompok sebagai agregasi dari kepentingan individual, dan pemunculannya akan mengakibatkan konflik dalam proses politik. Sehingga demokrasi politik

43

Flory Kresinda Sonnie, “Konsep Demokrasi dan Demokrasi Konstitusional Indonesia”, artikel diakses pada 10 Januari 2014 dari http://konsepdemokrasi.blogspot.com/2012/03/konsep-demokrasi.html


(37)

ditafsirkan sebagai sistem pemerintahan yang menengahi konflik (kompetisi) itu untuk memperoleh keseimbangan sosial. Menurut teori ini demokrasi politik memaksimumkan terwakilinya individu-individu yang kepentingannya mungkin tidak akan diwakili secara memadai oleh kekuasaan kelompok tempat ia bergabung. Teori ini juga menyatakan bahwa pluralisme melindungi kebebasan memilih para individu dengan menyediakan alternatif-alternatif politik yang mampu mewakili pluralitas kelompok kepentingan (interest group) ataupun partai. Struktur politik yang diciptakannya adalah menutup kemungkinan hegemoni dari suatu kelompok atau partai tunggal.

Model pandangan ketiga, sosialisme holistik, merupakan salah satu pendekatan yang menekankan demokrasi ekonomi dan muncul untuk menanggapi ditolaknya kenyataan hubungan sosial dan ekonomi yang dilontarkan oleh individualisme liberal.44

B. Partai Politik

1. Sejarah Partai Politik

Partai politik pertama lahir dinegara-negara Eropa Barat. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik, maka partai politik telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah di pihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang

44


(38)

sedang dalam proses memodernisasikan diri. Maka dari itu, dewasa ini di negara-negara baru pun partai sudah menjadi lembaga politik yang biasa dijumpai.45

Di negara-negara yang menganut paham paham demokrasi, gagasan mengenai partisipasi rakyat mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat berhak turut menentukan siapa-siapa yang akan menjadi pemimpin yang nantinya menentukan kebijaksanaan umum (public policy). Di negara-negara totaliter gagasan mengenai partisipasi rakyat didasari pandangan elit politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langgeng. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan alat yang baik.46

Pada permulaan perkembangannya di negara-negara Barat seperti, Inggris, Perancis, kegiatan politik pada mulanya dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan-ini mula-mula bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan dengan terbentuknya panitia-pantia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa pemilihan umum. Oleh karena di rasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, kelompok politik dalam parlemen lambat laun berusaha memperkembangkan organisasi massa, dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam parlemen dengan panitia pemilihan yang memiliki paham dan kepentingan yang sama, dan

45

A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia (Yogyakarta: Graha ilmu, 2007), h. 101.

46


(39)

lahirlah partai politik. Partai politik semacam ini menekankan kemenangan dalam pemilihan umum dan dalam masa antara kedua pemilihan umum biasanya kurang aktif. Ia bersifat partai lindungan (patronage party) yang biasanya tidak memiliki disiplin partai yang ketat. 47

Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa Barat, timbul pula partai yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini bersandar pada suatu pandangan hidup atau ideologi tertentu seperti Sosialisme, Kristen Demokrat, dan sebagainya. Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih kuat, sedangkan pimpinan lebih terpusat.48

Dinegara-negara jajahan partai-partai politik sering didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar DPR kolonial. Malahan partai-partai kadang-kadang menolak untuk duduk dalam badan legislatif, seperti yang terjadi di India dan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa, serta pendidikan umum, maka bertambah kuatlah kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai.49

2. Definisi Partai Politik

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh

47

A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 101-102.

48

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 160.

49


(40)

kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik melalui cara yang konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan yang mereka miliki.50

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, definisi partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dibawah ini disampaikan beberapa definisi mengenai partai politik: a) Carl J. Friedrich: Partai politik adalah sekelompok manusia

yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materil.

b) R. H. Soltau: Partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka

50


(41)

c) Sigmund Neumann: Partai Politik adalah dari aktivis-aktivia politik yang berusaha untuk menguasai pemerintah serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.

3. Tujuan Partai Politik

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, tujuan partai politik dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum partai politik adalah:

a) Mewujudkan cita-cita nasional bangsa indonesia sebagaimana dimaksud dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Menjaga dan memeihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan.

d) Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan khusus partai Politik adalah:

a) Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. b) Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan


(42)

c) Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

4. Fungsi Partai Politik

Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik memiliki fungsi antara lain:

a) Pendidikan bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat.

c) Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.

d) Partisipasi politik warga negara indonesia, dan.

e) Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Menurut A. Rahman H. I., fungsi partai politik adalah meliputi: a) Sosialisasi politik

b) Partisipasi politik c) Komunikasi politik d) Artikulasi kepentingan e) Agregasi kepentingan


(43)

f) Pembuatan kebijaksanaan51

Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, partai politik di dalam negara demokratis menyelenggarakan beberapa fungsi, antara lain:

a) Partai sebagai sarana komunikasi politik.

Partai politik menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.

b) Partai sebagai sarana sosialisasi politik.

Adalah fungsi sebagai proses melalui mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana dia berada. Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya.

c) Partai politik sebagai sarana recruitment politik.

Partai politik juga berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakatuntuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

d) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.

Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat adalah wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai politik berusaha untuk mengatasinya.

51


(44)

5. Klasifikasi Partai

Klasifikasi partai dapat dilakukan dengan berbagai cara. Bila dilihat dari segi komposisi dan fungsi keanggotaannya, secara umum dapat dibagi dalam dua jenis, yaitu:

a) Partai Massa.

Partai massa mengutamakan kekuatan berdasarkan keunggulan jumlah anggota, oleh karena itu ia biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat untuk bernaung dibawahnya dalam memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan kabur. b) Partai kader

Partai kader mementingkan ketaatan organisasi dan disiplin kerja dari anggota-anggotanya. Pimpinan partai biasanya menjaga kemurnian doktrin politik yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadp calon anggotanya dan memecat anggota yang menyeleweng dari garis partai yang ditetapkan.52 Klasifikasi lainnya menurut sifat dan orientasi, partai politik dapat dibagi dalam dua jenis:

a) Partai Lindungan (Patronage Party).

Partai lindungan umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (sekalipun organisasi ditingkat lokal cukup ketat), disiplin yang lemah dan biasanya tidak terlalu mementingkan

52


(45)

pemungutan iuran secara teratur. Maksud utamanya ialah memenangkan pemilihan umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya, karena itu hanya giat menjelang masa-masa pemilihan umum.

b) Partai Ideologi.

Partai ideologi atau partai azas (Sosialisme, Fasisme, Komunisme, Kristen-Demokrat) biasanya mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam kebijaksanaan pimpinan dan berpedoman pada disiplin partai yang kuat dan mengikat. Terhadap calon anggota diadakan saringan, sedangkan untuk menjadi anggota pimpinan disyaratkan lulus melalui beberapa tahap percobaan. Untuk memperkuat ikatan bathin dan kemurnian ideologi, maka dipungut iuran secara teratur dan disebarkan organ-organ partai yang memuat ajaran-ajaran serta keputusan-keputusan yang telah dicapai oleh pimpinan.53

Klasifikasi partai politik menurut jumlah sistem partai yang ada dalam suatu negara. Klasifikasi ini antara lain:

a) Sistem Partai Tunggal.

Sistem satu partai atau sistem partai tunggal tidaklah layak disebut sebagai “sistem” karena ia bukanlah kumpulan atau unsur yang saling berhubungan karena tidak ada yang bersaing

53


(46)

dalam sistem kepartaian tersebut. Bentuk partai tunggal identik dengan sistem politik totaliter dan/atau sistem politik komunisme.

b) Sistem Partai Hegemonik.

Agak berbeda dengan bentuk kepartaian tunggal, sistem partai hegemonik hegemonik memberi ruang bagi partai-partai lain untuk turut terlibat dalam konstelasi pemilihan umum dalam sebuah sistem kepartaian. Namun tidak ubahnya dengan bentuk partai tunggal, sistem partai hegemonik ternyata hanya menyediakan ruang pengakuan bagi partai besar dukungan pemerintah. Artinya, partai-partai politik lain yang terlibat dalam sistem kepartaian hanya dijadikan legitimasi formal pemerintah dalam rangka kebutuhan politik internasional rezim yang berkuasa agar disebut sebagai pemerintahan yang demokratis.

c) Sistem Dua Partai.

Sistem kepartaian ini menyediakan ruang bagi dua partai untuk bersaing guna mendapatkan dan/atau mempertahankan otoritasnya dalam suatu sistem politik. Dalam sistem ini terbangun secara pasti antara partai berkuasa dengan partai oposisi. Partai politik yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum secara otomatis menjadi partai berkuasa selama waktu yang ditetapkan oleh konstitusi. Sedangkan partai


(47)

yang kalah menjadi partai oposisi yang memberikan antitesisi atau counterpart pada setiap kebijakan dan/atau keputusan politik yang dihasilkan oleh pemerintah.

d) Sistem Multi Partai.

Sistem multi partai adalah sistem kepartaian yang terdiri atas dua atau lebih partai politik yang dominan. Sistem multi partai merupakan produk dari struktur masyarakat yang pluralis, heterogen, serta majemuk.54

C. Pemilihan Umum

1. Definisi Pemilihan Umum

Menurut Dr. Indria Samego, pemilihan umum disebut juga dengan “Political Market”. Artinya bahwa pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/ masyarakat berinteraksi untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan serangkaian aktifitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media massa cetak, audio, maupun audio visual, serta media lainnya seperti spanduk, pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka) atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, azas, ideologi serta janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan

54

Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2007), h. 114-118.


(48)

dapat menentukan pilihannya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.55

Di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Tujuan Pemilihan Umum

Menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, tujuan penyelenggaraan pemilihan umum itu ada empat, yaitu:

a) Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai.

b) Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan.

c) Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat, dan. d) Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.56 3. Azas Pemilihan Umum

Azas Pemilu yang ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu:

55

A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 147.

56


(49)

a) Langsung

Artinya rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara.

b) Umum

Artinya semua warga negara yang telah berusia 17 tahun atau telah menikah berhak untuk memilih dan telah berusia 21 tahun berhak dipilih dengan tanpa ada diskriminasi.

c) Bebas

Artinya rakyat pemilih berhak memilih menurut hati nuraninya tanpa adanya pengaruh, tekanan, atau paksaan dari siapapun atau dengan apapun.

d) Rahasia

Artinya rakyat pemilih dijamin oleh peraturan tidak akan diketahui oleh pihak siapapun dan dengan jalan apapun siapa yang dipilihnya.

e) Jujur

Semua pihak yang terlibat dalam pemilu harus bersikap jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f) Adil

Setiap pemilihan dan parpol peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.


(50)

4. Sistem Pemilihan Umum

Sistem pemilu berbeda satu sama lain, tergantung darimana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat, atau apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya dilembaga perwakilan rakyat, atau juga tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu antara sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis. Sistem pemilihan mekanis mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, dan komunisme sama-sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.

Sementara itu dalam sistem pemilihan yang bersifat organis, pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan genealogis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendikiawan), lembaga-lembaga sosial (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme seperti komunitas atau persekutuan-persekutuan hidup. Dengan pandangan demikian, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai penyandang dan pengendali hak pilih. Dengan perkataan lain, persekutuan-persekutuan


(51)

itulah yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan perwakilan masyarakat.57

Sistem yang lebih umum, yaitu sistem pemilihan mekanis, sistem ini biasa dilaksanakan dengan dua cara, yaitu:

a) Single-Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut Sistem Distrik).

b) Multi-Member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan Sistem Perwakilan Berimbang).58

Sistem yang pertama, sistem distrik. Dinamakan demikian karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau dapil yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota lembaga perwakilan yang diperlukan dipilih,59 dan hanya mempunyai satu wakil dalam lembaga perwakilan. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi.60

Sementara itu, pada sistem yang kedua, yaitu sistem perwakilan berimbang atau perwakilan proporsionil, persentase kursi di lembaga perwakilan rakyat dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai dengan persentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik. Umpamanya,

57

Ibid., h. 421-422.

58

A. Rahman H. I., Sistem Politik Indonesia, h. 151.

59

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, h. 424.

60


(52)

jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilu tercatat ada 1.000.000 orang. Jumlah kursi di lembaga perwakilan yang ditentukan 100 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan jumlah suara 10.000. Pembagian kursi di Badan Perwakilan Rakyat tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilihan umum.61

5. Kedaulatan Rakyat dan Pemilihan Presiden di Indonesia

Indonesia pernah mengalami beberapa metoda dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Jika dilihat dari metoda yang digunakan, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pemilihan langsung dan pemilihan tak langsung.

Menurut teori, pengisian jabatan Presiden dapat dibedakan menjadi dua cara utama, yaitu:

a) Pemilihan langsung (popular vote). Rakyat secara langsung memilih calon-calon Presiden yang diajukan atau memajukan diri dalam pemilihan.

b) Pemilihan tidak langsung (indirect popular vote). Pemilihan tidak langsung dapat dibedakan antara:

 Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat seperti Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.

 Presiden dipilih oleh badan atau lembaga pemilih (electoral college) yang sengaja “dibentuk” melalui pemilihan langsung oleh rakyat untuk setiap kali pemilihan Presiden.

61


(53)

 Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat bersama-sama dengan badan perwakilan rakyat negara bagian.

 Presiden dipilih oleh badan perwakilan rakyat pusat dan oleh anggota-anggota yang khusus dipilih badan perwakilan rakyat negara bagian.62

I. Pemilihan Presiden Langsung

Setelah Amandemen UUD 1945 selesai dilaksanakan maka tuntutan akan pemilihan umum Presiden secara langsung dapat terrealisir. Ini disebabkan karena Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.63

62

Jimly Asshiddiqie, dkk, Gagasan Amandemen UUD 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan MKRI, 2006), h. 36-37.

63

Aris Sutanto, “Pemilihan Presiden Secara Langsung”, artikel diakses pada 22 November 2013 dari http://arissutanto.blogspot.com/2009/03/pemilihan-presiden-secara-langsung_29.html


(54)

II. Pemilihan Presiden Tidak Langsung

Pemilihan Presiden secara Tidak Langsung pernah dilakukan di Indonesia sebelum Amandemen UUD 1945 dilakukan, khususnya terjadi pada masa Orde Baru. Pada Masa Orde Baru Pemilihan Presiden dilaksanakan oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen. Namun Proses Pemilu secara tidak langsung terjadi karena, MPR yang berisikan DPR dan Utusan dari daerah-daerah serta utusan dari golongan-golongan, DPR dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat. Namun sayangnya pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto, sebagian besar anggota MPR ditunjuk dan diberhentikan oleh presiden, sehingga memungkinkan Soeharto menjabat presiden berulang kali.


(55)

A. Persyaratan Calon Presiden Dan Wakil Presiden

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, persyaratan untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden antara lain:

1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2) Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. 3) Tidak pernah mengkhianati negara, serta tidak pernah

melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.

4) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

5) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6) Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan kekayaan penyelenggara negara.

7) Tidak sedang memilik tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara.


(56)

9) Tidak pernah melakukan perbuatan tercela 10) Terdaftar sebagai pemilih.

11) Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak selama 5 (lima) tahun terakhir yang dibuktikan dengan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.

12) Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. 13) Setia kepada pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

14) Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

15) Berusia sekurang-kurangnya 35 (tiga puluh lima) tahun.

16) Berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

17) Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.


(57)

18) Memiliki visi misi dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia.

Lalu menurut Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2008, calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Jika calon presiden atau Wakil Presiden itu adalah pejabat negara, maka menurut pasal 6 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008, bahwa Pejabat Negara yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya.

Kemudian bakal pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut mendaftarkan diri dengan melengkapi persyaratan, antara lain:

1) Kartu tanda penduduk dan akta kelahiran Warga Negara Indonesia.

2) Surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3) Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk oleh KPU.

4) Surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

5) Surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan/atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri.


(58)

6) Fotokopi NPWP dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir.

7) Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon.

8) Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

9) Surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10) Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilam yang telah mempunyai ketetapan hukum tetap karena telah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidan penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 11) Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, STTB, syahadah,

sertifikat, atau surat keterangan lain yang di legalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah.

12) Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G30S/PKI dari kepolisian.


(59)

13) Surat pernyataan bermaterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan.

B. Mekanisme Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Yang Diatur Dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Tatacara atau prosedur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen IV, yaitu:64

1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat 1), setelah amandemen III. 2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh

partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum (pasal 6A ayat 2), setelah amandemen III.

3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap propinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah propinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6A ayat 3), setelah amandemen III.

4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara

64 Irzu Muhammad, “Mekanisme Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden”, artikel

diakses pada 4 oktober 2013 dari http://id.shvoong.com/social-sciences/political-sciences/2242883-mekanisme-pemilihan -presiden-dan wakil/#ixzz2gkhrQcEB.


(60)

terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.(pasal 6A ayat 4), setelah mandemen IV.

5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-undang (pasal 6A ayat 5), setelah amandemen III.

6) Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanyauntuk satu kali masa jabatan (pasal 7), setelah amandemen I.

7) Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut.

8) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan dengan sungguh-sungguh dihadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung. (pasal 9 ayat 2), setelah amandemen I. Sedangkan mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lebih rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, antara lain:


(1)

Calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum, sehingga secara umum UU 42 Tahun 2008 hanya merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945, yang menyatakan “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”;

3. Dengan demikian, pengaturan tentang partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum yang berhak mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 8 dan Pasal 13 ayat (1) UU 42/2008, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang menetapkan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai poltik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”. Dengan perkataan lain, konstruksi yang dibangun dalam konstitusi, bahwa pengusulan Pasangan Calon oleh partai politik atau gabungan partai politik mencerminkan bahwa sistem politik yang dibangun mengacu pada sistem komunal/kolegial, bukan berlandaskan pada sistem individual (perseorangan);

4. Dalil yang menyatakan bahwa Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 merupakan bentuk perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah benar. Akan tetapi pelaksanaan dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidaklah melanggar hak seseorang “untuk memilih dan dipilih”, karena dalam pelaksanaan Pemilu setiap orang mempunyai hak dan dijamin untuk melaksanakan kedaulatannya untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; namun demikian untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden terdapat syarat-syarat yang dimuat dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam UU 42/2008 a quo. Dengan demikian pembatasan dalam Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 13 ayat (2) UU 42/2008 tidaklah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 dan bukanlah merupakan pengaturan yang diskriminatif. Apalagi jika dilihat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menjelaskan bahwa kedaulatan rakyat itu harus dilaksanakan menurut UUD 1945;

c. Putusan Nomor 51-52-59/PUU/2008 bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah mempertimbangkan hal berikut ini:


(2)

1. bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 9 UU 42/2008 berpotensi menyebabkan tidak terselenggaranya Pemilu yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, Mahkamah berpendapat tidak ada korelasi logis antara syarat dukungan 20 % (dua puluh perseratus) kursi DPR atau 25 % (dua puluh lima perseratus) suara sah secara nasional yang harus diperoleh partai untuk mengusulkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilihan Umum yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia jujur dan adil, karena justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan pada rakyat pemilih yang berdaulat. Hal demikian juga untuk membuktikan apakah partai yang mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden mendapat dukungan luas dari rakyat pemilih;

2. Lagi pula, syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20% (dua puluh perseratus) kursi di DPR atau 25 % (dua puluh lima perseratus) suara sah nasional sebelum pemilihan umum Presiden, menurut Mahkamah, merupakan dukungan awal; sedangkan dukungan yang sesungguhnya akan ditentukan oleh hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang kelak akan menjadi Pemerintah sejak pencalonannya telah didukung oleh rakyat melalui partai politik yang telah memperoleh dukungan tertentu melalui Pemilu;

3. Bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan undang-undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk undang-undang. Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, maka Mahkamah tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable. Sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan


(3)

UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah;

[3 .1 5 ] Menimbang bahwa terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 a quo, yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon, dengan alasan-alasan yang tidak

berbeda dengan alasan dan dasar konstitusionalitas yang diajukan dalam 6 (enam) perkara secara keseluruhan yang telah diperiksa dan diputus oleh

Mahkamah sebelumnya, maka Mahkamah tidak dapat lagi menguji pasal-pasal tersebut.

[3 .1 6 ] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 60 UU MK dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, maka terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji oleh Mahkamah, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali, kecuali jika diajukan dengan alasan-alasan konstitusionalitas yang berbeda. Mahkamah berpendapat bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon dalam pengujian materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang yang diuji, terutama pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian tidak berbeda, sehingga oleh karenanya Mahkamah harus menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima;

[3 .1 7 ] Menimbang bahwa khusus terhadap Pasal 1 angka 2 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

1. Pasal 1 angka 2 UU 42/2008, merupakan bagian dari ketentuan umum yang menguraikan pengertian atau definisi operasional, yang dimaksudkan agar batas pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang berfungsi menjelaskan makna suatu kata atau istilah yang harus dirumuskan sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda. Permohonan yang mempersoalkan batasan pengertian, singkatan atau hal-hal lain yang bersifat umum, yang dijadikan dasar bagi pasal-pasal berikutnya dalam Undang-Undang a quo, sangat tidak beralasan.


(4)

2. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 yang juga dimohonkan diuji mengatur tentang mekanisme internal Partai Politik dalam pemilihan dan pengusulan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum, sama sekali tidak memiliki masalah konstitusionalitas yang harus dipersoalkan dan alasan yang diajukan sepanjang mengenai pengujian Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 42/2008 tersebut tidak berdasar hukum;

3. Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 yang hanya menentukan tenggang waktu untuk pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, merupakan pilihan pembentuk undang-undang yang menjadi kewenangannya sehingga materinya tidak dapat dimintakan pengujian. Berdasarkan ketiga alasan tersebut maka permohonan Pemohon sepanjang mengenai Pasal 1 angka 2, Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 harus dinyatakan ditolak.

[3 .1 8 ] Menimbang bahwa alasan-alasan permohonan tentang usul perubahan pasal-pasal sebagaimana tertera dalam paragraf [3.13] menurut Mahkamah tidak rasional sehingga tidak berdasar hukum untuk dipertimbangkan.

4. KONKLUSI

Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta di atas, Mahkamah berkesimpulan:

[4 .1 ] Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan a quo;

[4 .2 ] Pemohon sebagai kelompok perorangan yang mempunyai kepentingan yang sama memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, sedangkan sebagai Komite Pemerintahan Rakyat Independen Ibukota Negara tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing);

[4 .3 ] Materi muatan Pasal 8 dan Pasal 9 UU 42/2008 yang dimohon untuk diuji telah pernah diputus oleh Mahkamah dalam perkara sebelumnya.


(5)

[4 .4 ] Pengujian terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 14 ayat (2) UU 42/2008 tidak beralasan dan tidak berdasar hukum.

5. Amar Putusan

Dengan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta Pasal 56 ayat (5) dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

Mengadili,

Menyatakan Permohonan Pemohon terhadap Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924) tidak dapat diterima.

Menolak Permohonan Pemohon selebihnya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Kamis tanggal sepuluh bulan September tahun dua ribu sembilan dan diucapkan dalam persidangan terbuka untuk umum pada hari Senin tanggal empat belas bulan September tahun dua ribu sembilan, oleh kami sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, Achmad Sodiki, Harjono, M. Arsyad Sanusi, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati, masing-masing sebagai Anggota dengan dibantu oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakil.

KETUA ttd


(6)

ANGGOTA-ANGGOTA,

ttd.

Abdul Mukthie Fadjar

ttd.

Maruarar Siahaan ttd.

Achmad Sodiki

ttd. Harjono

ttd.

M. Arsyad Sanusi

ttd.

M. Akil Mochtar

ttd. Muhammad Alim

ttd.

Maria Farida Indrati PANITERA PENGGANTI,

Ttd Sunardi


Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS IJIN CUTI KEPALA DAERAH PROVINSI UNTUK MENGIKUTI PEMILIHAN PRESIDEN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

0 2 16

ANALISIS YURIDIS SENGKETA DAFTAR PEMILIH TETAP (DPT) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2009 BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

0 6 16

Pengusulan Pasangan Calon Presiden Dan Wakil Presiden Sebagai Peserta Pemilu Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

0 10 122

Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai peserta pemilu menurut undang-undang pilpres

1 8 14

KEWENANGAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM PEMBERHENTIAN PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Dalam Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

0 4 20

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Kema Unpad.

0 0 1

peran media dalam kampanye di tinjau dari undang-undang no.42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden berdasarkan hukum penyiaran di indonesia.

0 1 1

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

0 0 66

KUALIFIKASI PELANGGARAN PIDANA PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

0 0 10

ANALISIS PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM ( Studi terdahap Undang-Undang No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden) - Raden Intan Repository

0 0 90