Teknik baca hermeneutik Teknik Analisis Data

tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicobatafsirkan makna tersiratnya, signifikansinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode-kode yang lain, khususnya kode sastra dan kode budaya Nurgiyantoro, 2005:33. Jadi, jelaslah bahwa membaca hermeneutik jauh lebih sulit daripada pembacaan heuristik.

3.4.2 Teknik baca hermeneutik

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang retroaktif sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya Pradopo, 2005:135. Pembacaan heuristik harus diulang kembali dengan bacaan retroaktif dan ditafsirkan secara hermeneutik berdasarkan konvensi sastra, yaitu sistem semiotik tingkat kedua. Konvensi sastra yang memberikan makna itu di antaranya konvensi ketaklangsungan ucapan ekspresi Ibid, 2005:137. Hermeneutik, menurut Teeuw 1984:123, adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya. Penafsiran karya sastra secara lebih baik, di samping memerlukan pengetahuan dan atau kompetensi kode bahasa dan kode sastra, juga memerlukan kode budaya lengkapnya sosial budaya. Pengetahuan kode budaya akan memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran, mengingat karya sastra yang dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan kondisi baca:sistem sosial-budaya masyarakat tersebut. Jika Teeuw memandang heuristik sebagai ilmu untuk menemukan makna yang lebih luas, Endraswara lebih menekankan pada proses penemuan nilai-nilai itu. Menurut Endraswara 2003:42 hermeneutik berusaha memahami makna sastra yang ada di balik struktur. Pemahaman makna, tak hanya pada simbol, melainkan memandang sastra sebagai teks. Di dalam teks ada konteks yang bersifat polisemi. Maka peneliti harus menukik ke arah teks dan konteks sehingga ditemukan makna utuh. Penafsiran makna yang terdapat dalam teks tersebut didasarkan atas logika linguistik. Dalam kaitan ini Endraswara menulis logika linguistik akan membuat penjelasan teks sastra dan pemahaman makna dengan menggunakan “makna kata” dan selanjutnya “makna bahasa”. Makna kata lebih berhubungan dengan dengan konsep-konsep semantik teks sastra dan makna bahasa lebih bersifat kultural. Makna kata akan membantu pemahaman makna bahasa. Oleh karena itu, dari kata-kata itu akan tercermin makna kultural teks sastra Ibid : 42. Sedangkan mengenai cara kerja hermeneutik dalam menafsirkan karya sastra, Teeuw 1984:123 menyarankan penafsiran makna dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya, dan sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Di sinilah kemudian, antara lain muncul istilah lingkaran hermeneutik. Pemahaman karya sastra dengan teknik tersebut dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian. Pada giliran selanjutnya, hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut dipergunakan, dan lebih menyanggupkan kita, untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan secara lebih baik, luas, dan kritis. Demikian seterusnya dengan pembacaan berulang-ulang sampai akhirnya kita dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna intensionalnya secara optimal. Upaya pemahaman hermeneutik memang memerlukan pembacaan secara kritis, mendalam, dan apabila perlu dilakukan berulang-ulang. Endraswara 2003:45-46 menyarankan kepada peneliti sastra yang menerapkan teknik hermeneutik untuk melakukan “dekontekstualisasi” pembebasan teks dan “rekontekstualisasi”. “Dekontekstualisasi” adalah langkah menjaga otonomi teks ketika peneliti melakukan pemaknaan. Sedangkan “rekontekstualisasi” adalah langkah yang kembali ke konteks, untuk melihat latar belakang terjadi teks dan sebagainya. Hermeneutik telah menawarkan dua metode ”tafsir sastra”, yakni metode dialektik, membicarakan masa lalu dengan masa kini dan metode yang memperhatikan persoalan antara bagian dengan keseluruhan. Kedua metode itu mengharuskan peneliti untuk melakukan tafsir berdasarkan kesadarannya sendiri atas konteks historis-kultural. Dengan demikian hermeneutik memiliki sumbangan penting yakni : 1 hermeneutik menginkorporasikan suatu pengertian eksplisit mengenai “totalitas kultural”, misalnya dengan melihat sifat historis suatu kebenaran; 2 sifat sastra dalam kehidupan sosial sudah terdefinisikan karena analisisnya dimulai dari hubungan antara ilmu pengetahuan kultural dengan keseluruhan pengalaman kehidupan dalam suatu pengujian terhadap hubungan yang spesifik antara sastra dan pengalaman estetik dengan eksistensi sosial manusia; dan 3 hermeneutik membuka kemungkinan pemahaman trans-historis dengan konsep fungsi antara masa lalu dengan masa kininya Endraswara, 2003 : 42. Dalam penerapannya hubungan antara heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi, sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut sebagai pembacaan retroaktif, memerlukan pembacaan berkali-kali dan kritis Nurgiyantoro, 2005:32-33. Adapun konvensi sastra yang memberikan makna dalam pembacaan hermeneutik di antaranya adalah konvensi ketaklangsungan ucapan ekspresi. Ketaklangsungan ekspresi disebabkan oleh 1 penggantian arti displacing of meaning, 2 pemencongan atau penyimpangan arti distorting of meaning, dan 3 penciptaan arti creating of meaning Jabrohim, 2001:97. Secara garis besar pembacaan semiotik yang melalui dua teknik pembacaan itu dilakukan untuk mencari tanda-tanda kesejarahan yang kemudian disesuaikan dengan teks-teks nonsastra melalui intertekstualitas.

3.5 Langkah Kerja Penelitian